Profenofos - IPB Repository

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pestisida
Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama yang berasal dari
kata pest (hama) dan cide (membunuh). Pestisida mencakup bahan-bahan
kimia yang digunakan untuk mengendalikan jasad hidup yang merugikan
manusia, tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk
kesejahteraan hidupnya, agar kerugian dan gangguan dapat ditekan
seminimum mungkin ( Sastroutomo, 1992; Tarumingkeng, 1992; Ware, 1986;
Wudianto, 1992).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang
pengawasan dan peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida,
pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain, jasad renik dan virus dan
biopestisida yang digunakan untuk memberantas dan mencegah hama dan
penyakit yang merusak tanaman, pada bagian-bagian tanaman atau hasil
pertanian,
memberantas
pertumbuhan
yang
gulma,
tidak
mematikan
diinginkan,
daun
mengatur
dan
atau
mencegah
merangsang
pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk,
memberantas hama-hama air, memberantaslmencegah binatang-binatang
dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat
pengangkutan yang dapat menyebabkan suatu penyakit pada manusia atau
binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan tanaman, tanah dan air
(Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida, 1985; Wudianto, 1992).
Definisi pestisida menurut The United State Federal Environmental
Pesticide Control Act adalah :
(1) Semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas,
mencegah atau menangkal gangguan oleh serangga, binatang
pengerat, nematoda, cendawan, gulma, bakteri, jasad renik yang
dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat
pada manusia dan binatang lainnya;
(2)
Semua zat atau campuran zat yang digunakan sebagai pengatur
pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Natawigena, 1989).
2.2. Penggolongan Pestisida
Penggolongan pestisida dapat dikategorikan dari berbagai dasar yaitu
1. Penggolongan berdasarkan jasad sasaran ;
Ditinjau dari sasarannya, pestisida dapat digolongkan menjadi
akarisida
(pembunuh tungau
atau
caplak),
nematisida
(pembunuh
nematoda), rodentisida (pembunuh binatang pengerat), herbisida (pembunuh
gulma), insektisida (pembunuh serangga), dan fungisida (pembunuh jamur
atau cendawan). Pestisida yang paling banyak digunakan dalam jumlah yang
cukup besar untuk meningkatkan produksi pertanian adalah herbisida,
fungisida
dan
insektisida
(Matsumura,
1985;
Sastroutomo,
1992;
Tarumingkeng, 1992).
2. Penggolongan berdasarkan bahan asal :
a. Pestisida organik alam, misalnya dari tanaman nimba dan
tembakau
b. Pestisida organik sintetik seperti klor-organik, fosfat organik,
karbamat
c. Pestisida an-organik seperti asefat, tembaga sulfat
d. Pestisida mikroba seperti bakteri Bacillus thuringiensis Berliner
3. Penggolongan berdasarkan bentuk formulasi pestisida ;
a. Granule atau butiran.
b. Tepung, seperti tepung yang dapat dilarutkan dalam air (soluble
powder) dan tepung yang dapat disuspensikan dalam air
(wettable powdefl.
c. Debu atau dust.
d. Cairan, meliputi cairan yang dapat diemulsikan dalam air
(emulsifiable concentrate) dan cairan pekat yang dapat
dilarutkan dalam air (water soluble concentrate).
4. Penggolongan berdasarkan cara kerja pestisida
Menurut Ekha (1991) berdasarkan
cara kerjanya pestisida dapat
dibedakan menjadi empat golongan yaitu :
a. Pestisida racun kontak
Pestisida jenis ini membunuh jasad sasaran dengan masuk ke
dalam tubuh melalui kulit, menembus saluran darah, atau dengan
melalui sasaran pernafasan.
b. Pestisida racun perut
Pestisida jenis ini mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran
memakan bagian tanaman yang terkena pestisida tersebut
c. Pestisida sistemik
Zat tersebut dapat ditranslokasikan ke berbagai bagian tanaman
melalui jaringan. Hama akan mati kalau menghisap cairan
tanaman.
d. Pestisida Fumigan
Zat tersebut mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran
terkena uap atau gas.
Berdasarkan kandungan bahan aktifnya insektisida dapat digolongkan
menjadi:
1. Hidrokarbon berklor
Hidrokarbon berklor dicirikan dengan:
a. keberadaan atom hidrogen, karbon, klorin, dan kadang-kadang
oksigen, termasuk beberapa ikatan C-CL.
b. Keberadaan rantai karbon siklik (termasuk cincin benzena)
c. Sedikitnya bagian yang aktif.
d. Sifat apolaritas dan lipofilik.
e. Sifat ketidakreaktifan dari senyawa tersebut.
lnsektisida yang termasuk dalam senyawa ini adalah DDT, BHC, klordane,
dan dieldrin.
2. lnsektisida organofosfat.
Lebih dari 30% dari insektisida yang terdaftar adalah organofosfat.
Ribuan senyawa organofosfat telah diuji untuk digunakan sebagai insektisida,
dan telah banyak ditemukan tentang pengaruh biokimia terhadap syaraf, baik
untuk invertebrata maupun vertebrata.
organofosfat,
mempunyai
Baik fosfat, maupun senyawa
karakteristik
sebagai
penghambat
asetilkolinesterase. lnsektisida organofosfat digunakan sebagai racun perut
dan racun kontak, sebagai fumigan, dan sebagai insektisida sistemik.
Bahan aktif profenofos adalah turunan dari fenil organofosfat. Nama
kimia profenofos adalah 0-(4-bromo-2-klorofeni1)-0-etil -S-propil fosforotioat
vorthing 1979). Cara kerja profenofos yaitu sebagai racun kontak dan
racun perut, bersifat non-sistemik dan mempunyai spektrum yang luas.
Profenofos berupa cairan berwarna kuning pucat dengan titik didih
1 1 0 ' ~(0,001 mm Hg) dan tekanan uap 1,3 mPA pada 2 0 ' ~ . Massa jenis
profenofos 1,455 g/cm3 pada 2 0 ' ~dan dapat larut dalam air pada 2 0 ' ~
dengan konsentrasi 20 mgll, tetapi profenofos akan lebih cepat larut dalam
pelarut organik. Profenofos terhidrolisa pada 2 0 ' ~dan sifat racunnya akan
hilang sebesar 50% (tin) dalam waktu 93 hari pada pH 5, dalam waktu 14,6
hari pada pH 7 dan dalam waktu 5,7 hari pada pH 9 worthing 1979).
lnsektisida ini stabil dalam kondisi netral dan agak asam, tetapi tidak stabil
pada kondisi basa (Fam Chemical Handbook7989 dalam Handajani 1996).
Rumus bangun profenofos seperti pada Gambar 1
0
Gambar 1. Rumus bangun profenofos
Tabel 1. Nilai LD50dan LC50 akut profenofos terhadap beberapa biotik
Biotik
I Eksposur /
Pengujian
~ntra-oral
lnhalasi
Dermal
Media Air
Media Air
Media Air
LD5o
LC50
LD5o
LC50
LC50
LC50
Tikus
Kelinci
Rainbow Trout
Bluegill Sunfish
Daphnia magna
(Zooplankton)
Mallard (aves)
Bobwhite
1
714 mglkg berat badan
> 2,7 mgll udara (4 jam)
>2,020 mglkg berat badan
0,025 mgll (96 jam)
0,5 ppm (96 jam)
0,0014mgll (48 jam,)
1
Dietary
LC50
1,646 ppm (8hari,dietary)
Dietary
LC50
56,97 ppm (8 hari,dietary)
Sumber : http://www.horizononline.com/MSDS Sheetsl83. txt
Menurut Matsumura (1985), senyawa organofosfat bekerja dengan
cara mempengaruhi sistem syaraf.
Mekanisme kerjanya terhadap
metabolisme serangga yaitu menghambat kerja enzim kolinesterase. Gejala
yang ditimbulkan oleh senyawa organofosfat adalah terlalu aktif, gerakan
tidak terkoordinasi, kejang-kejang dan akhirnya menyebabkan kematian.
Profenofos digunakan untuk mengendalikan serangga dan tungau (Worthing,
1979).
3. lnsektisida Piretroid (Piretrin sintetik)
lnsektisida deltametrin termasuk dalam golongan piretroid sintetik yang
mempunyai
toksisitas
tinggi
terhadap
serangga
ordo
Lepidoptera,
Homoptera, Diptera dan Coleoptera. Piretroid alami berasal dari bunga
Chrysanthemum cinerariaefolium (Asteraceae). Karena kebutuhan akan
senyawa yang lebih stabil di lapangan maka dilakukan modifikasi dari turunan
piretrin alami.
lnsektisida golongan piretroid,
khususnya deltametrin
mempunyai efek mematikan yang sangat cepat pada serangga, mempunyai
toksisitas rendah terhadap mamalia ( Cremlyn, 1980; Squiban et a/., 1989).
lnsektisida ini sangat tidak larut dalam air, tetapi mempunyai kelarutan yang
baik dalam beberapa pelarut organik ( Hassall, 1990). Rumus molekul
deltametrin adalah CnHI9Br2NO3 .
Mekanisme kerja deltametrin terutama mempengaruhi sistem syaraf
pusat dan tepi serta merangsang sel-sel untuk menghasilkan impuls syaraf
yang berulang-ulang dan akhirnya menyebabkan kelumpuhan (Ware, 1986).
Gejala keracunan pada serangga yang diberi pertakuan dengan senyawa
piretroid berupa timbulnya aktifitas yang berlebihan (hiperaktif), diikuti dengan
gerakan kejang-kejang, kemudian kelumpuhan dan pada akhirnya serangga
tersebut mati (Matsumura, 1985).
4. lnsektisida Karbamat
lnsektisida karbamat adalah insektisida anti asetilkholinesterase yang
ditemukan setelah fosfat organik. lnsektisida karbamat adalah derivate dari
fisostigimin (physostigimine, juga disebut inserin), yang merupakan alkoloida
utama dari tanaman Physostigma venenosum (kacang kalabar). Fisostigmin
merupakan perintang (inhibitor) kolinesterase Walaupun senyawa tersebut
efektif sebagai penghambat kholinesterase serangga, tetapi bahan aktif
karbamat tidak sesuai sebagai insektisida, karena reaktivitasnya terhadap
garam dan pelarut hidroklorid bahkan senyawa tersebut terlalu polar untuk
penetrasi kutikula serangga. lnsektisida karbamat modern sudah dimodifikasi
dengan mengeliminasi bagian yang polar (polar moiety) dari fisostigmin agar
supaya
karbamat
dapat
menembus
kutikel
dan
selubung
saraf
(Tarimungkeng, 1992).
Gugus aktif karbamat memiliki keistimewaan yaitu, grup metil bersifat
sebagai insektisida, grup aromatik sebagai herbisida dan benzimidazol
sebagai fungisida.
5. lnsektisida Biologi Bacillus thuringiensis (Bt)
B. thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada serangga.
Bakteri ini tergolong ke dalam Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacteriles,
Famili Bacillacrea (Bteinhaus, 1949 dalam Trizelia, 1994).
Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain
bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang
mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang salah satu strain
mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang
dihasilkan oleh serangga, ukuran molekul protein yang menyusun kristal
(Burgerjon & Martouret, 1971 dalam Trizelia, 1994) dan susunan molekul
asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal (Tyrell et a/., 1981
dalam Trizelia, 1994).
Faktor yang ada pada serangga yang mempengaruhi toksisitas B.
thuringiensis adalah perbedaan keadaan pada saluran pencernaan larva,
seperti apabila pH dalam mesenteron di atas 8,9 kristal akan larut dan
mengeluarkan toksin (Deacon, 1983 dalam Trizelia, 1994)
2.3. Residu Pestisida dalam Tanaman
Yang dimaksud dengan residu adalah bahan kimia pestisida yang
terdapat di atas atau di dalam benda dengan implikasi waktu atau penuaan
(aging), perubahan kimia (alteration) atau kedua-duanya (Tarumingkeng,
1992). Menurut Mc Ewen dan Stephenson (1979), residu pestisida dalam
bahan makanan khususnya sayuran, selain dari pestisida yang langsung
diaplikasikan pada tanaman dapat juga karena terkontaminasi atau karena
tanaman ditanam pada tanah yang mengandung residu pestisida yang
persisten.
Menurut Sutamihardja et al., (1982), tidak hanya
gulma yang
dipengaruhi oleh pestisida, tetapi juga beberapa jenis tumbuhan seperti
tanaman sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman makanan lainnya. Hal ini
disebabkan pada waktu aplikasi pestisida terhadap hama dan penyakit
tanaman, terjadi deposit pestisida dan akhirnya menjadi residu pada tanaman
tersebut.
Pada lingkungan alami pestisida dipindahkan ke berbagai bagian
lingkungan pada permukaan tanah (akibat erosi), aliran air, sungai dan laut,
angin dan berbagai jasad hidup yang berpindah tempat. Komponenkomponen lingkungan seperti unsur-unsur hayati, suhu, air dan udara
merubah pestisida melalui mekanisme biologi, fisik , kimia atau biokomia
menjadi bahan-bahan lain yang masih beracun atau bahan yang
toksisitasnya telah hilang sama sekali (Le Grand, 1970; USDA, 1990;
Tarumingkeng, 1992)
Jumlah residu yang tertinggal pada tanaman tergantung antara lain :
cara, waktu, banyak aplikasi dan dosis tiap aplikasi. Hasil penelitian
Dibyantoro (1979) ; Ahmed & lsmail (1995) menyatakan bahwa semakin
dekat rentang waktu aplikasi terakhir dengan panen residu yang tertinggal
pada tanaman semakin banyak seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2 dan
Tabel 2. Residu insektisida diazinon pada selada pada interval waktu
yang berbeda sebelum panen
1
Konsentrasi Aplikasi
cclliter air
I
Hari
(sebelum panen)
0
1
2
2,50
3
4
7
Sumber : Dibyantoro, 1979
Jumlah Residu
(ppm)
6,70
5,lO
3,40
1,90
1,50
0,80
Tabel 3. Residu metomil yang dideteksi pada strawberri, tomat
dan ketimun setelah beberapa hari aplikasi
Waktu
1
RESIDUa(ppm)
Strawberri
Ketimun
0,80
0,20
0,07
1,08
0,61
0.19
I ,YU
3
1,20
7
nrc
14
Tomat
U,I/
21
0,03
a Rata rata dari tiaa analisis
ND. Tidak ~erdeteksi
Sumber : Ahmed & lsmail(1995)
1
,
Menurut Susilo (1986) dan Satroutomo (1992), sebagaian besar (90%)
dari pestisida khususnya organokhlorin yang diserap 'oleh manusia adalah
melalui rantai makanan. Senyawa ini dapat bertahan lama di alam dan akan
tertimbun di dalam badan hewan dan manusia melalui sistem makanan.
Kebanyakan tertimbun dalam jaringan lemak baik pada hewan maupun
manusia. Untuk menelaah tersebut dikemukakan suatu model kualitatif
perjalanan pestisida formulasi ECNVP seperti terlihat pada Gambar 2 (Oka
dan Sukardi, 1982).
Pestisida
Formulasi ECMlP
1
i
"
"dara
i Pencemaran
an ah lair
I
Fotodekomposisi
Perkolasi
!
......
Transportasi i
Akumulasi i.b
Hama
Musuh
alami
Manusia
;
lkan besar
i
Organisme
bukan sasaran
lkanfecil
i
Pembe-
i saran
i biologis
zooplankton
-+ Pengairan
>
Danadlaut
j
Milcroplankton......1
Air tanahlsungai
Gambar 2. Model kualitatif perjalanan pestisida formulasi ECNVP
setelah diaplikasikan
Penelitian Rengam (1992) dan Sumatra (1991) menginformasikan
bahwa penderita kelompok semarlakut memperoleh residu pestisida baik dari
lingkungan maupun dari dalam makanan seperti air susu ibu, sayuran dan air
minum. Soemarwoto et a/., (1978), membuktikan bahwa dari empat jenis
sayuran yang dijual di pasar Kosambi Bandung ditemukan 2 - 4 mglkg residu
pestisida jenis diazinon pada wortel.
Residu pestisida pada produk pertanian sangat berbahaya karena efek
toksiknya yang akumulatif dan kronis antara lain sebagai zat karsinogenik,
menyebabkan cacat lahir atau keguguran, perubahan materi genetik dan
sebagainya (Mott &Snyder, 1987). Badan perlindungan lingkungan AS, EPA
memperkirakan bahwa residu telah menyebabkan penyakit kanker bagi
sekitar 6000 orang per tahun (secara kasar dalam 417.000 jiwa untuk
populasi 2,5 milyar) (Buzby et a/., 1997).
Keracunan akut pestisida di Indonesia tahun 1979 - 1986 terjadi pada
2.671 orang dengan jumlah yang meninggal 2.092 orang. Kasus tersebut
terjadi di 24 propinsi yang tersebar di 98 wilayah kabupaten (Kusnoputranto,
1995). Keracunan kronis akibat pestisida berupa gangguan kesehatan karena
seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung residu pestisida.
Untuk melindungi konsumen atau masyarakat dari bahaya keracunan
pestisida, WHOIFAO telah menetapkan batas maksimum atau toleran
berdasarkan Maximum Residue Limits (MRL) yang boleh terkandung dalam
makanan atau komoditas pertanian. MRL dinyatakan sebagai banyaknya
residu pestisida untuk setiap berat bahan makanan. Penentuan batas
maksimum didasarkan dan dihitung dari nilai Acceptable Daily lntake (ADI).
AD1 didefinisikan sebagai jumlah residu pestisida yang boleh dicerna selama
satu hari, yang tidak memberikan pengaruh jelek terhadap kesehatan
manusia. Menurut FAONVHO (1966); Uclaf (1982), MRL dapat dihitung
dengan menggunakan rumus :
AD1 x
MRL =
BW
....................
x 1 000 mglkg
M
Dimana : MRL = Maximum Residue Limits
AD1 = Acceptable Daily lntake (mglkg berat badan)
BW = Berat badan rata-rata (kg)
M
= Jumlah makanan yang dikonsumsi (food intake)(gr)
Banyak negara industri membuat peraturan yang cukup ketat untuk
menekan penggunaan pestisida, dan mulai mengembangkan strategi
pengelolaan hama alternatif. Sebagai konsekuensi dari kebijaksanaan ini,
kontaminasi dalam makanan menunjukkan penurunan. Pemerintah melalui
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No.881 dan
771 tanggal 22 Agustus 1996 menerbitkan penetapan Batas Maksimal
Residu pada 218 jenis pestisida yang beredar di Indonesia. Dalam
pelaksanaan di lapangan cukup banyak kasus yang sama sekali tidak
tersentuh keputusan bersama yang telah dibuat. Pestisida merupakan
masukan teknologi yang dianggap tidak dapat digantikan pada situasi
mempertahankan swasembada pangan meskipun peraturan yang dibuat
sudah cukup baik, termasuk pelarangan penggunaan 57 jenis pestisida pada
tahun 1986 untuk tanaman padi (Sutanto, 2002)
Usaha pemerintah untuk menerbitkan Keputusan Bersama tentang
BMR relatif terlambat karena negara lain mulai melaksanakan pemantauan
dan pengawasan BMR secara terprogram sejak tahun tujuh puluhan.
Sebagai contoh Negara Swedia, melalui Badan Pangan Nasional (NFA) telah
melaksanakan pemantauan residu pestisida pada sayuran dan buah sejak
tahun 1972 (Anderson dan Hellquist, 1996 dalam Sutanto, 2002).
2.4. Degradasi Residu Pestisida
Residu pestisida dapat hilang atau terurai, proses ini kadang-kadang
berlangsung dengan konstan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
ini adalah penguapan, pencucian, pelapukan, degradasi enzimatik dan
translokasi. Dalam jumlah yang sedikit, pestisida dalam tanaman dapat hilang
sama sekali karena proses metabolisme yang berkaitan dengan proses
pertumbuhan tanaman itu sendiri. Degradasi residu pestisida mengikuti
Hukum
Kinetika Ordo Utama yaitu berhubungan dengan banyaknya
pestisida yang diberikan (deposit) dan faktor waktu akan diperoleh garis lurus
seperti Gambar 3 (Tarumingkeng, 1992).
Log
Deposit
waktu
Gambar 3. Degradasi Pestisida dalam Lingkungan
Keterangan ; a.
b.
- Menurut Hukum Kinetika Ordo Utama
- Keadan yang berlangsung di alam
Menurut Tarumingkeng (1992) dan Matsumura (1985) residu
permukaan dapat hilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan dan
hidrolisis. Pembilasan bukan hanya untuk pestisida yang larut dalam air,
tetapi juga terhadap pestisida lipofilik. Dalam waktu 1-2 jam setelah tanaman
diperlakukan dengan pestisida, kemungkinan besar 90 deposit telah hilang
karena tercuci jika terjadi hujan, sisanya terurai oleh sinar ultraviolet. Menurut
Matsunaka (1972) beberapa pestisida hilang setelah digunakan karena
tercuci oleh air hujan, penguapan spontanitas atau tejadi degradasi oleh
sinar matahari pada permukaan daun. Beberapa pestisida yang bersifat
sistemik dapat masuk ke dalam jaringan tanaman sehingga hasil
metabolisme dapat membentuk senyawa lain atau tertinggal dalam tanaman.
Ahmed & lsmail (1995) menyatakan pembilasan air dapat mereduksi
pestisida sangat tinggi pada interval awal atau permulaan seperti yang
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Efek pembilasan air terhadap residu metomil yang
diperlakukan pada strawberri, tomat dan ketimun
Sumber : Ahmed & lsmail(1995)
Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap insektisida pada kubis
telah dipelajari oleh Santoso dan Wirawan yang dikutip oleh Tjahyadi dan
Gayatri (1994). Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa pencucian
dan pemasakan dapat menurunkan kandungan residu beberapa jenis
insektisida pada kubis seperti yang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap kadar residu
insektisida pada kubis
Kadar Residu (ppm)
lnsektisida
Tidak dicuci
I
Dicuci
Diazinon
1,88
Monokrotofos
1,93
Profenofos
137
Sumber : Tjahyadi & Gayatri (1994)
I
I
I
Dimasak
1
0,14
0.23
0,29
I
I
0,32
1,01
1,21
1
Dalam aplikasinya sebagian besar pestisida akan jatuh ke tanah dan
membentuk deposit. Deposit pestisida dalam tanah dipengaruhi oleh : (1)
kemampuan absorbsi pestisida oleh partikel-partikel tanah dan bahan
organik; (2) pencucian (washing-off) oleh air hujan; (3) penguapan, terutama
penguapan air; (4) degradasi atau aktivasi oleh jasad renik dalam tanah ; (5)
dekomposisi fisikokimia maupun aktivasi yang terjadi karena kondisi dan
komponen-komponen tanah yang bersifat katalisator; (6) dekomposisi oleh
cahaya matahari (photodecomposition); (7) translokasi melalui sistem hayati
(biological system) baik tanaman maupun binatang ke lingkungan yang lain.
Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah menghambat penguapan
pestisida. Kelembaban tanah, kelembanan udara, suhu tanah dan porositas
tanah merupakan faktor-faktor lain yang juga menentukan penguapan
pestisida. Penguapan pestisida biasanya terjadi bersama-sama dengan
penguapan
air
yang
sering
disebut
ko-destilasi
(co-destilation)
(Tarumingkeng, 1992).
2.5. Tanaman Bayam
Tanaman bayam bukan merupakan tanaman asli Indonesia melainkan
berasal dari Amerika tropika. Dalam perkembangannya, dari Amerika Latin
bayam dipromosikan sebagai tanaman sumber protein, terutama bagi negara
berkembang (Rukmana, 1994)
Keluarga bayam-bayaman (Amaranthaceae) terdiri dari banyak spesies.
Klasifikasi secara umum menurut Benson (1957) adalah sebagai berikut :
Divisi
Spermatophyta
Klas
Angiospermae
Subklas
Dicotyledone
Ordo
Caryophylales
Family
Amaranthaceae
Genus
Amaranthus
Spesies
Amaranthus tricolor
Bayam mengandung gizi yang tinggi dengan komposisi zat gizi yang
lengkap. Komposisi zat gizi yang terdapat dalam tiap100 gram bayam adalah
: kalori 20 kal; protein 2,40 gr; lemak 0,30 gr; karbohidrat 3,20 gr; kalsium 81
mg; fosfor 55 mg; zat besi 3,O mg; vitamin A 9.420 SI; vitamin B1 0,10 mg;
vitamin B2 0,20 mg; vitamin C 59,O mg; niacin 0,60 mg; dan serat 0,60 mg.
Selain itu bagian akar bayam dapat menyembuhkan berbagai penyakit
seperti menurunkan panas, kencing manis, diare, membersihkan darah dan
sebagainya. Tanaman bayam juga dapat dimanfaatkan untuk perawatan
kesehatan dan merawat rambut agar tumbuh sehat (Bandini & Aziz, 1999).
Bayam mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan
tumbuh, sehingga dapat ditanam di dataran rendah sampai pegunungan
(dataran tinggi ) lebih kurang 2000 meter dari atas permukaan laut. Tanaman
bayam dapat tumbuh kapan saja baik pada waktu musim hujan maupun
musim kemarau. Tanaman ini membutuhkan air cukup banyak sehingga
paling tepat ditanam pada awal musim hujan yaitu sekitar bulan Oktober November. Namum demikian tanaman ini dapat juga ditanam pada awal
musim kemarau yaitu sekitar bulan Maret - April. Bayam sebaiknya ditanam
pada tanah yang gembur dan cukup subur, karena tekstur tanah yang berat
akan menyulitkan produksi dan panennya. Tanah netral ber-pH 6 - 7 paling
baik untuk bayam agar dapat tumbuh dengan optimal (Nazaruddin, 1995).
Menurut Edmon et a., (1951), pertumbuhan bayam dipengaruhi oleh suhu
dan panjang hari. Bayam termasuk tanaman hari panjang. Pada periode hari
pendek tanaman ini biasanya membentuk daun dan batang, sedangkan
pada periode hari panjang membentuk bunga dan buah (biji). Bayam
termasuk tanaman pencinta cahaya, untuk pertumbuhannya bayam
memerlukan cahaya matahari penuh (Harjadi, 1989).
Dalam kenyataan di lapangan, penggolongan jenis bayam dibedakan
atas dua macam, yaitu bayam liar dan bayam budidaya. Bayam liar itu sendiri
dikenal dua jenis yaitu bayam tanah (A. blitum L.) dan bayam berduri (A.
spinosus L.). Kedua jenis bayam ini umumnya tumbuh liar, artinya jarang
atau tidak diusahakan orang. Ciri utama bayam liar adalah batangnya merah
dan daunnya kaku (kasap). Jenis bayam budidaya dibedakan atas dua
macam yaitu bayam cabut atau bayam sekul alias bayam putih (A. tricolor
L.) dan bayam tahunan atau bayam skop. Bayam cabut memiliki ciri-ciri yaitu
batang kemerah-merahan atau hijau keputih-putihan dan mempunyai bunga
yang keluar dari ketiak cabang. Bayam cabut yang batang merah disebut
bayam merah sedangkan batangnya putih disebut bayam putih. Bayam
tahunan, bayam skop atau bayam kakap (A. hybridus L.) dengan ciri-cirinya
memiliki daun lebar-lebar yang dibedakan atas dua spesies yaitu A.
hybdridus caudatus L., memiliki daun agak panjang dan runcing, bewarna
hijau kemerah-merahan atau merah tua dan bunganya tersusun dalam
rangkaian panjang terkumpul pada ujung batang sedangkan A. hybridus
paniculatus L. mempunyai dasar daun yang lebar sekali, bewarna hijau,
rangkaian bunga panjang tersusun secara teratur dan besar-besar pada
ketiak daun (Rukmana, 1995).
Hingga saat ini terdapat sekurang-kurangnya tujuh varietas bayam
yang dinyatakan unggul, dan masih mungkin terus bertambah dari waktu ke
waktu. Pada skala budidaya intensif dan komersil bayam tahunan diusahakan
sebagai bayam cabut. Tujuh varietas bayam unggul pilihan yang dievaluasi
selama 4 tahun percobaan di Balai Penelitian Hortikultura Lembang yang
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Sifat Agronomi tujuh varietas bayam
Produksi
Varietas
(tonlha)
I
Giti Hijau
8.40
Giti Merah
7,90
Maksi
13,20
Raja
15,80
Betawi
7,10
Skop
11,30
Hijau
g,qo
Ciri Tanaman
1I Sedikit bercabang, batang dan daun bewarna hijau muda
Sedikit bercabang, batang bewarna kemrah-merahan dan
daunnya belang merah
Hampir tidak bercabang, batang dan daun bewama
kekuning-kuningan, bunga bergerombol pada ujung batang
Bercabang banyak, batang dan daun bewarna hijau
kekuning-kuningan
Bercabang sedikit, batang dan daun bewarna hijau tua
Bercabang cukup banyak, batang bewama kemerahmerahan, daun hijau keputih-putihan sampai hijau muda
Bercabang sedikit, batang dan daun bewarna hijau keputihputihan
Sumber : Sunarjo (1986) dalam Rukmana (1995)
Beberapa varietas bayam cabut unggul lainnya adalah cempaka 10 dan
Cempaka 20 dari PT. Est-West Seed Indonesia (Rukmana, 1995)
Dalam budidaya bayam sering dijumpai berbagai kendala, khusus
gangguan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) antara alin :
1. Hama yang sering menyerang daun bayam adalah Spodoptera litura,
Lamprosema indica, Chrysodeixis chalcites, Crocidolomia binotalis,
Plutella xylostella, Plusia signata, Aphis sp., Locusta sp. dan Bemisia
tabaci. Gejala yang ditimbulkannya pada daun sayuran dapat berupa
gejala berlubang, menguning, menggulung, memutih dan mengeriting
(Tim Penulis PS, 1992).
2. Saat bayam masih muda sering diserang oleh penyakit rebah kecambah
(damping off) akibat keadaan tanah terlalu lembab atau becek. Penyakit
ini dapat ditanggulangi dengan memperbaiki drainase dan mencabut
tanaman yang terserang parah. Gejala yang ditunjukkan adalah
pertumbuhan kecambah yang tidak normal, berbatang lemah, dan rebah.
Penyakit rebah kecambah ini disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia
solani dan Phytium sp. yang umum menyerang berbagai jenis sayuran
terutama di persemaian.
3. Penyakit karat putih yang disebabkan oleh cendawan Albugo candida.
Gejala serangan yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah terbentuknya
bercak-bercak putih yang agak melepuh pada daun terutama pada sisi
bawah . Dilaporkan juga adanya penyakit busuk batang dan cabang oleh
cendawan Rhizopus sp., juga busuk daun tua oleh cendawan hitam
mengkilat Choanephora cucurbitacum.
4. Penyakit virus keriting mulai ditemukan di Balithor Lembang dengan
gejalanya terdapatnya bercak-bercak pada daun, permukaan daun
mengkerut, warna daun keseluruhan agak menguning dan belang-belang
(mosaik). Jenis virus yang telah diketahui adalah Cucumber Mosaic Virus
(CMV). Usaha pengendalian penyakit virus ini adalah dengan mencabut
tanaman yang sakit dan melakukan pergiliran tanaman (rotasi) dengan
tanaman yang tidak sefamili dengan Amaranthaceae
5. Gulma tanaman gelang (Portulaca oleracea) dan rumput liar lainnya.
Kehadiran gulma gelang dapat menurunkan produksi bayam antara 30,56
- 63,10%. Usaha pengendaliannya adalah dengan sejak awal melakukan
penyiangan sekaligus menggemburkan tanah.
Download