BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS A

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1.
Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) memiliki fungsifungsi yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengendalian, pengadaan, pengembangan kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian(Hasibuan, 2009). Berikut
adalah penjelasan masing-masing fungsi:
a. Perencanaan adalah merencanakan tenaga kerja secara efektif dan
efisien untuk membantu organisasi mencapai tujuannya.
b. Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasi semua
karyawan dengan penetapan adanya pembagian kerja, hubungan
kerja, wewenang, integrasi serta koordinasi dalam bentuk bagan
organisasi.
c. Pengendalian adalah kegiatan mengendalikan semua karyawan agar
mereka menaati peraturan-peraturan perusahaan dan bekerja sesuai
dengan rencana. Apabila terdapat penyimpangan atau kesalahan,
maka diadakan tindakan perbaikan.
d. Pengadaan adalah proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi
dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan
kebutuhan karyawan
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
e. Pengembangan adalah proses peningkatan ketrampilan teknis,
teoritis, konseptual dan moral karyawan melalui pendidikan dan
pelatihan.
f. Kompensasi adalah pemberian balas jasa langsung dan tidak
langsung, dalam bentuk uang atau barang kepada karyawan sebagai
imbalan jasa dari organisasi.
g. Pengintegrasian adalah kegiatan untuk mempersatukan kepentingan
perusahaan dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerjasama yang
serasi dan saling menguntungkan.
h. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kondisi fisik, mental dan loyalitas karyawan agar mereka mau
bekerja sama sampai pensiun.
i. Kedisiplinan adalah fungsi MSDM yang terpenting dan kunci
terwujudnya tujuan karena tanpa disiplin yang baik sulit terwujud
suatu tujuan.
j. Pemberhentian adalah putusnya hubungan kerja seseorang dari
suatu organisasi. Pemberhentian dapat disebabkan oleh keinginan
sendiri karyawan, kontrak kerja berakhir, keinginan karyawan,
pensiun dan sebab-sebab lain.
Dari uraian dapat dipahami bahwa strategi dalam setiap fungsi
Manajemen
Sumber
Daya
Manusia
perlu
dimiliki
sebuah
organisasiuntukmenimbulkanketekunan, semangat, kepuasan kerja dan
loyalitas
untuk
meningkatkan
kinerja
http://digilib.mercubuana.ac.id/
para
karyawan,
sebab
15
keberlangsungan hidup organisasi didukungoleh faktor sumber daya
manusianya.
2.
Kinerja
1) Definisi dan Indikator Kinerja
Arti kinerja berasal dari bahasa Inggris job performance dan
disebut juga actual performance atau prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang telah dicapai oleh seorang karyawan (Moeheriono,
2009). Kinerja karyawan adalah penentu kinerja organisasi dalam upaya
mencapai tujuannya secara optimal (Nawawi, 2006). Sementara menurut
Hasibuan (2009) kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai seseorang
dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya didasarkan
atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan dan waktu. Kinerja atau dapat
disebut juga produktifitas kerja termasuk di dalam fungsi pengembangan
manajemen sumber daya manusia, sebab tujuan pengembangan pada
hakikatnya dengan pengembangan maka produktifitas kerja karyawan
akan meningkat (Hasibuan, 2009).
Menurut Mangkunegara (2005) kinerja karyawan adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Aspek kuantitas mengacu pada beban kerja atau
target kerja, aspek kualitas menyangkut kesempurnaan dan kerapian
pekerjaan yang sudah dilaksanakan dan selanjutnya dikatakan memiliki
kinerja tinggi apabila suatu target pekerjaan dapat diselesaikan lebih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
cepat dari waktu yang disediakan (Nawawi, 2006). Kualitas sangat
dipengaruhi atau ditentukan oleh pekerjaan atau jabatan yang menuntut
kemampuan manajerial dan atau profesional yang memerlukan keahlian
tertentu (Nawawi, 2006).
Kinerja dalam melaksanakan fungsinya tidak berdiri sendiri,
melainkan selalu berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan dan
tingkat besaran imbalan yang diberikan, serta dipengaruhi oleh
ketrampilan, kemampuan, dan sifat-sifat individu (Moeheriono, 2009).
Menurut Nawawi (2006) indikator kinerja dalam melaksanakan
pekerjaan adalah:
1) Kuantitas hasil kerja yang dicapai
2) Kualitas hasil kerja yang dicapai
3) Jangka waktu mencapai hasil kerja tersebut
4) Kehadiran dan kegiatan selama hadir di tempat kerja
5) Kemampuan bekerja sama
Sementara menurut Henry Simamora dalam Nawawi (2006),
kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor individual, psikologis
dan organisasi, dengan masing-masing aspek didalamnya sebagai
berikut:
1) Faktor individual yang terdiri dari:
a. Kemampuan dan keahlian
b. Latar belakang
c. Demografi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
2) Faktor psikologis yang terdiri dari:
a. Persepsi
b. Sikap (Attitude)
c. Kepribadian (Personality)
d. Pembelajaran
e. Motivasi
3) Faktor organisasi yang terdiri dari:
a. Sumber daya
b. Kepemimpinan
c. Penghargaan
d. Struktur
e. Desain pekerjaan (Job Design)
Secara
umum
dan
garis besar, menurut
Umar dalam
Mangkunegara (2010) indikator kinerja dapat dibagi atas:
1) Mutu pekerjaan atau kualitas dari pekerjaan yang dihasilkan
2) Kejujuran karyawan dalam
bekerja dan berinteraksi dalam
lingkungan pekerjaan termasuk sesama rekan dan atasan
3) Inisiatif dalam bekerja, misalnya kreatifitas dan penyelesaian
masalah pekerjaan
4) Kehadiran, jumlah kehadiran dalam kantor
5) Sikap, atau perilaku yang ditunjukkan dalam lingkungan pekerjaan
6) Kerjasama, sikap mau bekerja sama dengan rekan dan atasan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
7) Keandalan, atau dapat diandalkan dalam mengerjakan tugas dan
tanggung jawabnya
8) Pengetahuan tentang pekerjaan, atau memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai pekerjaan yang dilakukan saat ini
9) Tanggung jawab, atau dapat mengemban tanggung jawab sesuai
dengan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
10) Pemanfaatan waktu kerja, atau dapat bekerja dengan efektif sesuai
dengan aturan jam kerja
Dari semua definisi mengenai kinerja dan semua aspek diatas
dapat
disimpulkan
produktivitas
bahwa
organisasi.
bagi
kinerja
Produktivitas
karyawan
organisasi
menentukan
yang
tinggi
memberikan keuntungan bagi organisasi serta karyawan yang bekerja di
dalamnya.
2) Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja memiliki pengertian suatu proses penilaian
tentang kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran dalam
pengelolaan sumber daya manusia untuk menghasilkan barang dan jasa,
termasuk informasi atas efisiensi serta efektifitas tindakan dalam
mencapai tujuan organisasi (Moeheriono, 2009). Sedangkan menurut
tujuannya, penilaian kinerja untuk memperbaiki atau meningkatkan
organisasi
melalui
peningkatan
kinerja
dari
SDM
organisasi
(Mangkunegara, 2010).Sehingga dapat dikatakan seorang karyawan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
memiliki kinerja yang baik setelah melalui serangkaian penilaian
terhadap pekerjaannya.
Tujuan
dari
penilaian
kinerja
menurut
Suryo
dalam
Mangkunegara (2010), adalah:
1. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan
kinerja.
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja karyawan sehingga termotivasi
untuk berbuat yang lebih baik
3. Memberikan
peluang kepada
karyawan
untuk
mendiskusikan
keinginan dan aspirasinya
4. Mendefinisikan dan merumuskan kembali sasaran masa depan
5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai
dengan kebutuhan pelatihan
Sementara menurut Moeheriono (2010), terdapat beberapa
manfaat dan kegunaan dari penilaian kinerja karyawan yang dilakukan
oleh organisasi, yaitu:
1. Dasar dari pengambilan keputusan
2. Untuk mengukur sampai dimana karyawan dapat menyelesaikan
pekerjaan
3. Sebagai dasar untuk evaluasi efektifitas kegiatan yang dilakukan
organisasi
4. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan latihan karyawan
5. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
6. Sebagai alat untuk melihat kekurangan atau kelebihan
dan
meningkatkan kemampuan karyawan
7. Sebagai kriteria untuk menentukan, seleksi dan penempatan karyawan
8. Sebagai alat untuk memperbaiki dan mengembangkan kecakapan
karyawan
9. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian
pekerjaan.
Kemudianagar terstruktur, sistematis dan tercapai tujuan penilaian
kinerja tentunya organisasi harus memiliki ketetapan-ketetapan mengenai
dasar dari penilaian itu sendiri, dan indikator apa yang dinilai dari suatu
pekerjaan.
Menurut Moeheriono (2009), terdapat beberapa aspek yang
mendasar dan pokok dari pengukuran kinerja, yaitu:
1. Menetapkan tujuan, sarana dan strategi organisasi sesuai dengan
tujuan visi dan misi organisasi.
2. Merumuskan indikator kinerja dan ukuran kinerja, yang mengacu
pada penilaian kerja secara tidak langsung, sedangkan indikator
kinerja mengacu pada pengukuran kinerja secara langsung yang
berbentuk keberhasilan utama (critical success factor) dan indikator
kinerja kunci (key performance indicator)
3. Mengukur tingkat capaian tujuan dan sasaran organisasi, menganalisis
hasil pengukuran kinerja yang dapat diimplementasikan dengan
membandingkan tingkat capaian tujuan dan sasaran organisasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
4. Mengevaluasi kinerja dengan menilai kemajuan organisasi dan
pengambilan keputusan yang berkualitas, memberikan gambaran atau
hasil kepada organisasi seberapa besar tingkat keberhasilan tersebut
dan mengevaluasi langkah apa yang diambil organisasi selanjutnya.
Dari keterangan diatas, indikator merupakan suatu alat yang
sangat krusial untuk menentukan hasil suatu pekerjaan sudah baik dan
memenuhi harapan atau belum. Terdapat sembilan persyaratan untuk
indikator yang baik dan ideal menurut Moeheriono (2009), yaitu:
1. Consistency (Konsisten), definisi yang digunakan untuk merumuskan
indikator kinerja harus konsisten, tidak berubah-ubah, baik antara
periode waktu maupun antar unit organisasi.
2. Comparibility (Daya Banding), indikator harus memiliki daya banding
yang layak dan tepat.
3. Clarity (jelas), indikator kinerja harus sederhana, jelas dan mudah
dimengerti serta dipahami.
4. Controllability (dapat dikendalikan), pengukuran indikator kinerja
harus pada wilayah atau departemen yang dapat dikendalikannya.
5. Contingency (ketidakpastian), perumusan indikator kinerja juga harus
dipertimbangkan
dari
struktur
organisasi,
gaya
manajemen,
ketidakpastian serta kompleksitas lingkungan eksternal.
6. Comprehensiveness (Kedalaman dan Lengkap), indikator harus dapat
merefleksikan semua aspek perilaku yang cukup penting untuk
pembuatan keputusan manajerial.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
7. Boundedness (Terfokus), indikator harus difokuskan pada faktor
utama yang merupakan perwujudan keberhasilan organisasi.
8. Relevance (Relevan), indikator harus spesifik sehingga relevan untuk
kondisi dan kebutuhan tertentu.
9. Feasibility (Capaian Realistis), target sebagai dasar perumusan
indikator harus merupakan harapan yang realistis dan dapat dicapai.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi perlu memiliki
indikator kinerja yang jelas, terukur serta dapat diimplementasikan
kepada seluruh unit-unit kerja untuk mendukung tercapainya
tujuan
organisasi.
3.
Kepuasan Kerja
1) Teori Kepuasan Kerja
Menurut Hasibuan (2009) kepuasan kerja adalah salah satu
sikap
dalam
pekerjaan
yang
menyenangkan
dan
mencintai
pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan,
dan prestasi kerja. Definisi dari sikap (attitude) itu sendirimerupakan
pernyataan-pernyataan evaluatif baik menyenangkan atau tidak
menyenangkan mengenai objek, orang atau peristiwa. Menurut Moh.
As’ad dalam Sunyoto (2015), terdapat 3 macam teori kepuasan kerja,
yaitu:
a.
Discrepancy Theory(Teori Selisih)
Teori ini dipelopori oleh Porter pada tahun 1961 dimana
kepuasan kerja seseorang diukur dengan menghitung selisih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan.
Kemudian Locke pada tahun 1969,
mengemukakan bahwa
kepuasan kerja seseorang tergantung pada discrepancy atau
selisih atau jarakantara apa yang seharusnya (harapan atau nilai)
dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah
diperoleh melalui pekerjaan.
b.
Equity Theory(Teori Keadilan)
Teori ini dikembangkan oleh Adams tahun 1963 dimana orang
akan merasa puas dan tidak puas tergantung dari perasaan
keadilan yang diterimanya. Perasaan equity (adil) dan inequity
(tidak
adil)
atas
suatu
situasi
diperoleh
dengan
cara
membandingkan dirinya dengan orang lain.
c.
Two Factor TheoryTeori Dua Faktor)
Teori ini ditemukan oleh Frederick Hertzberg pada tahun 1959,
dimana sikap seseorang terhadap pekerjaan dibagi menjadi dua,
yaitu:
1)
Satisfiers adalah situasi yang membuktikannya sebagai
sumber kepuasan kerja, terdiri dari achievement (capaian),
recognition (pengakuan), work itself (pekerjaan itu sendiri),
responsibility
(tanggung
jawab)
dan
advancement
(kemajuan).
2)
Dissatisfier (Hygiene Factors)adalah faktor yang terbukti
menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
(kebijakan),
policy
administration(administrasi),
supervision (supervise), technical (teknikal), salary (gaji),
interpersonal, relation (relasi), working condition (kondisi
pekerjaan), job security (keamanan bekerja) dan status.
Sikap memiliki tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan
perilaku
(Robbins
dan
Judge,
2014).
Sikap
kerjaseringkali
berhubungan dengan perilaku, menurut Festinger dalam Robbins dan
Judge (2014) sikap mengikuti perilaku dan variabel moderasi dapat
memperkuat hubungan antara sikap dan perilaku itu.
Kepuasan kerja merupakan salah satu ukuran dari kualitas
kehidupan dalam organisasi (Dhamayanti, 2006). Kepuasan kerja
dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan dan kombinasi dalam dan
luar pekerjaan, dan karyawan dengan kepuasan kerja kombinasi dalam
dan luar pekerjaan akan menghasilkan sikap emosional yang
seimbang, dimana karyawan akan merasa puas bila hasil kerja dan
balas jasa dirasa adil dan layak (Hasibuan, 2009).
Menurut Moh As’ad dalam Sunyoto (2015), penelitian di
bidang kepuasan kerja ada tiga macam arah yang dapat dilihat:
a.
Adalah usaha untuk menemukan faktor-faktor yang menjadi
sumber
kepuasan
kerja
serta
kondisi-kondisi
yang
mempengaruhinya. Dalam kata lain orang dapat menciptakan
kondisi yang menyebabkan bersemangat dalam bekerja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
b.
Adalah usaha untuk bagaimana efek dari kepuasan kerja
terhadap sikap dan tingkah laku orang terutama tingkah laku
kerja seperti produktifitas, absenteisme, kecelakaan akibat kerja,
labour turn over dan sebagainya. Dengan mengetahui hal ini
dapat dilakukan upaya untuk langkah yang tepat untuk
memotivasi karyawan.
c.
Adalah usaha untuk mendapatkan rumusan atau definisi yang
lebih tepat itu sendiri.
Sehingga dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa seorang
individu dengan kepuasan kerja akan memberikan sikap dan perasaan
yang positif terhadap pekerjaannya, kehidupan pribadi serta keluarga
(Schultz dan Schultz dalam Soeharto, 2010).
2) Faktor-faktor Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja dapat dilihat dari dua sisi, sisi karyawan
adalah kepuasan kerja akan memunculkan perasaan menyenangkan
dalam bekerja, dan dari sisi organisasi adalah peningkatan
produktivitas, perbaikan sikap dan tingkah laku karyawan (Suwatno
dan Priansa dalam Petrik dan Andriani, 2015). Terdapat beberapa
faktor atau pendapat yang dikemukakan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja, menurut Hasibuan (2009) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu:
a.
Balas jasa yang adil dan layak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
b.
Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
c.
Berat-ringannya pekerjaan
d.
Suasana dan lingkungan pekerjaan
e.
Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
f.
Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya
g.
Sifat pekerjaan monoton atau tidak
Sedangkanmenurut Luthans dalam Sidharta dan Margaretha
(2011) terdapat lima dimensi yang telah diidentifikasi untuk
merepresentasikan karakteristik pekerjaan yang paling penting dimana
karyawan memiliki respon afeksi dan positif yaitu :
a.
Pekerjaan itu sendiri, dimana pekerjaan
merupakan sumber
utama dari kepuasan
b.
Gaji
atau
Upah, apabila
pembayaran
adil
berdasarkan
permintaan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu dan standar
pembayaran masyarakat pada umumnya maka kepuasan kerja
yang dihasilkan juga akan tinggi.
c.
Kesempatan promosi, dimana promosi merupakan perpindahan
dari suatu jabatan yang lebih tinggi yang membutuhkan
tanggung jawab yang lebih tinggi.
d.
Pengawasan atau mutu supervisi, pengawasan merupakan hal
penting karena karyawan akan merasa puas dengan atasan yang
bijaksana dan memperhatikan perkembangan bawahannya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
e.
Rekan Kerja, pada dasarnya karyawan membutuhkan perhatian
dari rekan kerja untuk memberikan mereka semangat dan
kebutuhan interaksi social.
Menurut Harold E. Burt dalam Sunyoto (2015), faktor yang
menimbulkan kepuasan kerja adalah:
a.
Faktor hubungan antar karyawan, antara lain hubungan antara
manajer dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja,
hubungan sosial diantara karyawan, sugesti dari teman sekerja.
b.
Faktor individual, hubungan dengan sikap orang terhadap
pekerjaan, usia orang dengan pekerjaan, dan jenis kelamin.
c.
Faktor keadaan keluarga karyawan
d.
Rekreasi, meliputi pendidikan
Menurut Robbins dan Judge (2014), dalam keterkaitannya
antara kepuasan kerja dengan perilaku karyawan, terdapat empat
respons kerangka kerja yang membedakan dimensi konstruktif atau
destruktif:
1.
Keluar, yaitu perilaku yang mengarahkan individu untuk
meninggalkan organisasi termasuk mencari sebuah posisi yang
baru serta pengunduran diri.
2.
Suara, yaitu respons suara yang secara aktif dan konstruktif
mencoba untuk memperbaiki kondisi termasuk menyarankan
perbaikan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
3.
Kesetiaan, respon yang secara pasif namun optimis menunggu
kondisi membaik termasuk berbicara dengan organisasi saat
menghadapi kritikan eksternal.
4.
Pengabaian, respon pengabaian secara pasif membiarkan
kondisi-kondisi memburuk termasuk absen, keterlambatan
kronis dan berkurangnya usaha dan tingkat kesalahan yang
bertambah.
Frone et al dalam Dhamayanti (2015) mengemukakan faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah
konflik
keluarga-pekerjaan,
keterlibatan
pekerjaan
dan
tekanan
pekerjaan. Dalam sebuah tinjauan menurut Robbins dan Judge (2014),
terdapat sekitar tiga ratus studi yang menemukan bahwa korelasi antara
kepuasan kerja dan kinerja adalah cukup kuat, saat data kepuasan dan
produktivitas dikumpulkan, maka ditemukan bahwa organisasi dengan
lebih banyak pekerja yang merasa puas cenderung lebih efektif
dibandingkan organisasi dengan pekerja yang sedikit merasa puas dalam
pekerjaan mereka. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja
adalah salah satu sikap kerja yang penting yang harus dipertimbangkan
saat ingin meningkatkan kinerja pekerjaan karyawan (Kreitner & Kinicki,
2014).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
4.
Konflik PekerjaanKeluarga
1) Definisi Konflik
Menurut Kamus Merriam Webster, konflik adalah perjuangan
mental yang muncul dari kebutuhan-kebutuhan yang berlawanan,
keinginan-keinginan atau tuntutan-tuntutan yang datang dari luar
maupun dalam. Menurut Suprihanti dalam Sunyoto (2015), konflik
adalah ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau
kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka
harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama
atau menjalankan kegiatan bersama-sama karena mereka mempunyai
status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda.
Konflik Fungsional adalah konflik yang keberadaannya dapat
menguntungkan organisasi, konflik ini dapat membantu organisasi
mencapai tujuan dengan lebih baik (Suprihanto dalam Sunyoto, 2015).
Beberapa manfaat konflik fungsional:
a.
Meningkatnya kreatifitas dan inovasi
b.
Meningkatnya kemauan karyawan untuk bekerja lebih baik
c.
Meningkatnya kepaduan
d.
Menurunnya perbedaan individual
Selama adanya konflik dengan kelompok lain maka perbedaan
individu yang berpotensi konflik dalam kelompok akan terabaikan,
karena adanya kepentingan kelompok yang lebih penting dibanding
kepentingan individual.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
Konflik Disfungsional adalah konflik yang merugikan
organisasi, dimana keberadaan konflik jenis ini akan merintangi usaha
pencapaian
tujuan
organisasi
(Suprihanto
dalam
Sunyoto,
2015).Menurut Suprihanto dalam Sunyoto (2015), jenis-jenis situasi
konflik adalah sebagai berikut:
a.
Konflik Peranan
Peranan merupakan konsep yang amat penting dalam organisasi
karena akan membantu memahami perilaku yang diharapkan dari
pihak yang menduduki posisi tertentu dalam organisasi.
Keberhasilan pihak-pihak memerankan perilaku yang diharapkan
akan membantu organisasi dalam mencapai tujuannya dengan
efektif dan efisien. Yang dimaksud dengan peranan disini adalah
seperangkat perilaku yang terorganisasi dimana peranan yang
diharapkan hanya salah satu jenis peranan. Jenis peranan tersebut
adalah peranan yang dipersepsikan dan peranan yang dimainkan.
Peranan yang dipersepsikan adalah seperangkat perilaku dalam
posisi tertentu dimana ia berpendapat harus memainkan perilaku
yang bersangkutan. Sementara peranan yang dimainkan adalah
perilaku yang benar-benar dilakukan. Terdapat beberapa jenis
peranan dalam satu posisi menyebabkan terjadinya konflik peran,
karena seseorang yang menerima pesan peranan yang tidak
sesuai.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
b.
Konflik Peran Individu
Konflik di dalam peranan terjadi jika pihak-pihak yang
mempunyai hubungan dengan suatu posisi merumuskan peranan
yang berbeda-beda. Seseorang yang menjabat suatu posisi selalu
berhubungan dengan pihak lain untuk suatu kepentingan, pihakpihak tersebut memiliki harapan peranan yang berbeda terhadap
satu posisi yang sama sehingga individu yang menduduki posisi
yang bersangkutan menghadapi kerumitan peranan karena
peranan tertentu tersebut tidak bisa memuaskan semua pihak
sekaligus.
c.
Konflik Antar-Peranan
Konflik dalam peranan terjadi karena satu posisi memiliki
perangkat peranan dengan kumpulan harapan peranan yang
berbeda dari berbagai pihak. Konflik ini terjadi karena seseorang
menduduki berbagai posisi yang berbeda yang menuntut peranan
yang berbeda. Peran yang berbeda inilah yang disebut peranan
ganda dimana seseorang harus memainkan berbagai macam
peranan pada kelompok yang berbeda.
d.
Konflik Antar Individu
Konflik antar individu terjadi antara satu individu dengan
individu lain karena adanya ketidaksesuaian.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
e.
Konflik Antar Kelompok
Konflik antar kelompok terjadi jika antara kelompok satu dengan
yang lain mengalami ketidaksesuaian dalam organisasi yang
sama.
Muchlas (2008) mengidentifikasikan tipe konflik antar peran
yang terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Interrole Conflict(Pertentangan Peran Interpersonal)
Konflik yang terjadi sebagai akibat adanya persyaratan yang
berbeda antara dua atau lebih peran-peran yang harus dijalankan
pada saat yang sama.
2.
Intrarole Conflict(Pertentangan Peran Intrapersonal)
Konflik yang muncul karena adanya ekspektasi yang saling
bertentangan, bagaimana peran yang diberikan itu sebaiknya
dimainkan atau dijalankan.
3.
Person Role Conflict(Pertentangan Peran Individu)
Konflik yang terjadi ketika kewajiban-kewajiban dan nilai-nilai
organisasi tidak sesuai dengan nilai-nilai pribadi.
Konflik Pekerjaan Keluarga termasuk dalam jenis konflik
antar-peranan Interrole Conflict (pertentangan peran interpersonal),
yang memiliki 2 bentuk konflik, yaitu konflik pekerjaan-keluarga dan
konflik keluarga-pekerjaan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
2) Konflik pekerjaan-keluarga
Konflik yang muncul akibat dari tuntutan waktu yang
diberikan dan tekanan yang disebabkan pekerjaan yang mengganggu
tanggung
jawab
dalam
keluarga
disebut
konflik
pekerjaan-
keluarga(Netemeyer et al. dalam Hennessy, 2005).Konflik yang
muncul karena adanya ekspektasi yang saling bertentangan, serta
bagaimana peran yang diberikan itu sebaiknya dimainkan atau
dijalankan tersebut didefinisikan dalam penelitianGreenhaus dan
Beutell dalam Roboth (2015).
Terdapat tiga jenis konflik dalam area pekerjaan yang
bertentangan dengan keluarga dan sebaliknya, yaitu:
1) Time-based conflict, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
menjalankan tuntutan pekerjaandapat mengurangi atau menganggu
waktu untuk menjalankan tuntutan keluarga.
2) Strain-based conflict, yaitu tekanan yang dihasilkan pekerjaan
yang mengganggu atau
mempengaruhi
pelaksanaan
peran
keluarga.
3) Behaviour-based conflict,yaitu
ketidaksesuaian antara pola
perilaku yang diharapkan dalam pekerjaan denganyang diharapkan
dalam keluarga.
Pada
time-based
conflict,
konflik
pekerjaan-keluarga
berhubungan dengan banyaknya jam kerja dalam tiap minggu maupun
banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk pulang-pergi kerja setiap
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
minggunya (Amelia, 2010). Kemudian selanjutnya Amelia (2010),
mengemukakan
mengalami
bahwa
konflik
seseorang
yang telah
pekerjaan-keluarga
karena
menikah
lebih
usaha
untuk
menyeimbangkan peran-perannya demi keutuhan rumah tangga. Sama
halnya dengan orang tua yang memiliki anak kecil akan lebih sering
mengalami konflik dibandingkan orang tua yang masih memiliki anak
yang sudah dewasa (Greenhaus dan Beutell dalam Christine, 2010).
Pada strain-based conflict, seseorang akan mengalami
tekanan apabila tidak dapat mengintegrasikan beberapa peran
sehingga menghasilkan tegang, gelisah, kelesuan, mudah marah,
depresi (Amelia, 2010). Dilanjutkan oleh Amelia (2010), hal ini
terjadi misalnya karena rendahnya tingkat dukungan atasan dan
interaksi antara pimpinan dan karyawan. Sementara behaviour-based
conflict, adalah konflik perilaku karena yang diharapkan antara
perilaku di dalam pekerjaan berbeda dengan yang diharapkan bagi
keluarga. Perbedaan perilaku contohnya adalah seorang pria
diharapkan tegas dalam pekerjaannya, namun diharapkan menjadi
seorang yang penyayang dan hangat bagi keluarganya.
Menurut
Hennessy
(2005),
indikator-indikator
pekerjaan-keluarga adalah:
1)
Tekanan pekerjaan
2)
Banyaknya tuntutan tugas dalam pekerjaan
3)
Keluarga merasakan kurangnya kebersamaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
konflik
35
4)
Sibuk dengan pekerjaan
5)
Konflik komitmen dan tanggung jawab terhadap keluarga.
Terdapat teori yang dikemukakan oleh Staines yang dikutip
dari Amelia (2010) yaitu spillover theoryatau suatu pengaruh yang
timbul dari peran seseorang dalam keluarga akan menimbulkan
pengaruh yang sama pada perannya dalam pekerjaan dan sebaliknya.
Sebagai contoh, seseorang yang sedang mengalami tekanan masalah
keluarga akan membawa masalah tersebut saat berada di kantor dan
oleh karena itu merasa stress atau sedih. Spillover ini dapat memiliki
pengaruh positif maupun negatif. Spillover positif dilihat sebagai
suatu dorongan positif dari keluarga untuk bekerja dengan baik dan
bersemangat demi keluarganya. Namun spillover negatif dilihat
sebagai pemicu Konflik Pekerjaan Keluarga.
Bagi
wanita
bekerja,
kondisispillover
negatif
dapat
menimbulkan konflik karena permintaan dari peran-peran yang
dimainkannya saling berbenturan satu sama lain, dimana satu sisi
dituntut untuk bertanggung jawab mengurus dan membina keluarga
sementara pada sisi lain, dituntut untuk bekerja sesuai dengan standar
organisasi dan kinerja yang prima (Tewal dan Tewal, 2014).
3)
Konflik keluarga-pekerjaan
Konflik keluarga-pekerjaan merupakan konflik sebagai akibat
dari tuntutan waktu diberikan dan tekanan yang disebabkan keluarga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
atau rumah tangga yang mengganggu tanggung jawab dalam
pekerjaan (Netemeyer et al. dalam Hennessy, 2005). Definisi
mengenai konflik keluarga-pekerjaan yang ditemukan dalam studi
pustaka mengenai pekerjaan dan keluarga jumlahnya terbatas,
disebabkan karena banyak penelitian berfokus pada pengaruh
pekerjaan terhadap keluarga saja (Eby et al. dalam Narayanan dan
Savarimuthu, 2015).Selanjutnya Hennessy (2005) mengemukakan
pentingnya perbedaan definisi konflik pekerjaan keluarga karena
konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan adalah
berbeda namun merupakan bentuk konflik yang berkaitan dalam
konflik peran.
Menurut
Hennessy
(2005),
indikator-indikator
konflik
keluarga-pekerjaan adalah:
1) Tuntutan keluarga mencampuri pekerjaan
2) Terbatasnya waktu untuk keluarga
3) Tuntutan keluarga atau perkawinan
4) Terganggunya pekerjaan karena urusan keluarga
5) Tekanan keluarga dalam tugas pekerjaan
Berkaitan dengan konflik keluarga-pekerjaan, Frone, Russell dan Cooper
dalam Roboth (2015) mengemukakan faktor-faktor dalam keluarga yang
dapat mempengaruhi pekerjaan adalah:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
1) Tekanan sebagai orang tua. Tekanan sebagai orang tua merupakan
beban kerja sebagai orang tua didalam keluarga. Beban yang
ditanggung merupakan beban pekerjaan rumah tangga karena
problema pelajaran anak di sekolah.
2) Tekanan perkawinan. Tekanan perkawinan merupakan beban
sebagai istri didalam keluarga. Beban ini dapat berupa dukungan
yang tidak didapatkan dari suami.
3) Kurangnya keterlibatan sebagai istri. Kurangnya keterlibatan sebagai
istri mengukur tingkat seseorang dalam memihak secara psikologis
pada perannya sebagai pasangan (istri). Keterlibatan sebagai istri
dapat berupa waktu yang diberikan untuk menemani suami dan
sewaktu dibutuhkan suami.
4) Kurangnya keterlibatan sebagai orang tua. Kurangnya keterlibatan
sebagai orang tua mengukur tingkat seseorang dalam memihak
perannya sebagai orang tua. Keterlibatan sebagai orang tua dapat
berupa waktu yang diberikan untuk menemani anak dan sewaktu
dibutuhkan anak.
5) Campur tangan pekerjaan. Campur tangan pekerjaan menilai derajat
dimana pekerjaan seseorang mencampuri kehidupan keluarganya.
Campur
tangan
pekerjaan
dapat
berupa
persoalan-persoalan
pekerjaan yang mengganggu hubungan dalam keluarga.
Secara umum, penelitian konflik keluarga-pekerjaan sering dikaitkan
dengan stress yang merupakan dampak dari faktor-faktor dalam konflik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
keluarga-pekerjaan. Menurut Roboth (2015) dari Greenhaus dan Beutell,
terdapat tiga jenis konflik keluarga-pekerjaan, yaitu:
1) Time-based
conflict,
yaitu
waktu
yang
dibutuhkan
untuk
menjalankan keluarga yang dapat mengurangi waktu untuk
menjalankan tuntutan pekerjaan.
2) Strain-based conflict, yaitu tekanan yang dihasilkan keluarga
mempengaruhi kinerja dalam pekerjaan.
3) Behaviour-based conflict,yaitu ketidaksesuaian antara pola perilaku
dengan yang diinginkan dalam keluarga dengan pekerjaan.
Sementara menurut Stoner dan Charles dalam Roboth (2015) faktorfaktor dalamkonflik keluarga-pekerjaan adalah:
1) Time Pressure (tekanan waktu) adalah semakin banyak waktu yang
digunakan untuk bekerja maka semakin sedikit waktu yang
digunakan untuk keluarga.
2) Family size and support (jumlah keluarga dan tanggungan) adalah
semakin banyak anggota keluarga, maka semakin banyak konflik dan
semakin banyak dukungan keluarga maka semakin sedikit konflik.
3) Job Satisfaction (kepuasan kerja) adalah semakin tinggi kepuasan
kerja, maka konflik yang dirasakan semakin sedikit.
4) Marital and life satisfaction (adalah asumsi bahwa wanita bekerja
memiliki konsekuensi yang negatif terhadap pernikahannya.
5) Size in firm adalah banyaknya pekerja dalam organisasi mungkin saja
mempengaruhi konflik peran ganda seseorang.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
Dapat disimpulkan bahwa waktu yang terbatas, jumlah anggota keluarga,
kepuasan kerja, kehidupan pernikahan dan jumlah karyawan dalam suatu
organisasi merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
konflik keluarga-pekerjaan. Snow et al. dalam Susanto (2010)
mengemukakan bahwa konflik keluarga-pekerjaan bisa semakin tinggi
karena miskinnya work-related social support (dukungan dari lingkungan
social atau sekitar pekerjaan).
Seperti yang dikutip dari Netemeyer et al. dalam Hennessy
(2005) serta Esson (2004), Konflik Pekerjaan Keluarga secara umum
lebih disebabkan oleh tuntutan waktu (time-based) dan tekanan yang
dihasilkan (strain-based), oleh karena itu penelitian akan membatasi
variabel konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan pada
dua dimensi tersebut.
5.
Pengaruh antara konflik pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja
Konflik yang muncul akibat dari tuntutan waktu yang diberikan
dan tekanan yang disebabkan pekerjaan yang mengganggu tanggung
jawab dalam keluarga disebut konflik pekerjaan-keluarga (Netemeyer et
al. dalam Hennessy, 2005). Kepuasan kerja adalah salah satu anteseden
penelitian yang dilakukan secara luas dalam penelitian bidang konflik
pekerjaan keluarga (Allen et al. dalam Ahmad et al., 2015). Berdasarkan
uraian diatas, maka dibangun hipotesis hubungan antara konflik
pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
H1: Diduga konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja
6.
Pengaruh antara konflik keluarga-pekerjaan dengan kepuasan kerja
Konflik keluarga terhadap pekerjaan terjadi saat pengalaman
dalam keluarga mempengaruhi kehidupan pekerjaan, dapat terjadi bila
terdapat konflik interpersonal dan kurangnya dukungan dari keluarga
serta meningkatnya konflik keluarga-pekerjaan akan menurunkan
kepuasan kerja (Greenhaus dalam Christine et al., 2010). Karyawan
dengan kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan akan
menghasilkan sikap emosional yang seimbang, dimana karyawan akan
merasa puas bila hasil kerja dan balas jasa dirasa adil dan layak
(Hasibuan, 2009)
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dibangun hipotesis hubungan
antara konflik keluarga-pekerjaan dan kepuasan kerja.
H2: Didugakonflik keluarga-pekerjaan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja
7.
Pengaruh antara konflik pekerjaan-keluarga dengan kinerja
Mangkunegara (2005) kinerja karyawan adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Adanya tekanan untuk dapat berperan dengan baik dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
keluarga serta komitmen dan tanggung jawab dalam pekerjaan membuat
wanita harus berupaya lebih keras menyeimbangkan peran baik sebagai
ibu rumah tangga maupun sebagai pekerja yang memiliki kinerja yang
baik bahkan berprestasi (Jimad dalam Riza dan Nurmijati, 2014).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dibangun hipotesa hubungan
antara kepuasan kerja dengan kinerja.
H3: Didugakonflik pekerjaan-keluarga berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kinerja
8.
Pengaruh antara konflik keluarga-pekerjaan dengan kinerja
Konflik keluarga-pekerjaan merupakan konflik sebagai akibat
dari tuntutan waktu diberikan dan tekanan yang disebabkan keluarga atau
rumah tangga yang mengganggu tanggung jawab dalam pekerjaan
(Netemeyer et al. dalam Hennessy, 2005). Kinerja merupakan hasil kerja
yang dicapai
dibebankan
seseorang dalam
kepadanya
didasarkan
melaksanakan
atas
tugas-tugas
kecakapan,
yang
pengalaman,
kesungguhan dan waktu (Hasibuan, 2009). Keluarga atau rumah tangga
dan pekerjaan yang tumpang tindih dapat menurunkan kinerja (Schieman
dalam Christine et al., 2010). Berdasarkan uraian diatas maka dibangun
hipotesis hubungan antar kepuasan kerja dan kinerja.
H4:Diduga konflik keluarga-pekerjaan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kinerja
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
9.
Pengaruh antara kepuasan kerja dengan kinerja
Robbins dalam Dhamayanti (2006) mengemukakan kepuasan kerja
adalah suatu sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya,
selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dengan
banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Kepuasan
kerja sangat diperlukan karena dengan adanya kepuasan kerja mampu
meningkatkan produktifitas (Syaiin dalam Riza dan Nurmijati, 2014).
Kinerja dalam melaksanakan fungsinya tidak berdiri sendiri, melainkan
selalu berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan dan tingkat besaran
imbalan yang diberikan, serta dipengaruhi oleh ketrampilan, kemampuan,
dan sifat-sifat individu (Moeheriono, 2009).Berdasarkan uraian tersebut
maka dibangun hipotesis hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja.
H5: Diduga kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja
10.
Penelitian Terdahulu
TABEL 2.1
TABEL PENELITIAN TERDAHULU
No
Judul
1
Pengaruh Konflik Pekerjaan
dan
Konflik
Keluarga
terhadap kinerja dengan
konflik pekerjaan- keluarga
sebagai intervening variable
2
Pengaruh
Familyand
Penulis
Christine,
Oktorina
dan Mula,
2010
Work-To- Anisah
Family-To-Work Amelia,
Metode
Penelitian
SEM
SEM
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Rangkuman
Konflik
pekerjaankeluarga
berpengaruh
positif
terhadap
kinerja.
Family to
work conflict
43
Conflict Terhadap Kepuasan 2010
Dalam Bekerja, Keinginan
Pindah Tempat Kerja dan
Kinerja Karyawan
3
Pengaruh Konflik Keluarga- Ratna
Pekerjaan, dan Tekanan Dhamayanti
Pekerjaan
Terhadap (2006)
Kepuasan Kerja Karyawan
Wanita (Studi pada Nusantara
Tour & Travel Kantor
Cabang dan Kantor Pusat
Semarang)
4
Pengaruh Konflik Peran
Terhadap Kinerja Wanita
Karir pada Universitas Sam
Ratulangi Manado
5
The Relationship between Nilgun
Work-Family Conflict and Anafarta
Job
Satifsfaction:
A (2011)
Structureal
Equation
Modeling (SEM)
6
Analisa
Pengaruh
Kepemimpinan
berpengaruh
negatif pada
kepuasan
dalam
bekerja dan
kinerja.
SPSS
Bernhard
SPSS
Tewal,
Florensia B.
Tewal
(2014)
Gaya Petrik,
Andreani
SEM
PLS
(Partial
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Work to
family
conflict tidak
berpengaruh
pada kinerja
dan pada
kepuasan
dalam kerja.
Konflik
keluargapekerjaan
berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap
kepuasan
kerja
Konflik peran
berpengaruh
negatif yang
signifikan
terhadap
kinerja
wanita karir
Work-Family
Conflict
berpengaruh
negatif
terhadap Job
Satisfaction
Family-Work
Conflict tidak
berpengaruh
terhadap Job
Satisfaction
Kepuasan
kerja
44
Transformasional Terhadap (2015)
Kinerja Karyawan dengan
Kepuasan Kerja sebagai
Variabel Perantara di PT
Anugrah Baru Denpasar
Least
Square)
7
Analisis Pengaruh Konflik Susanto
Kerja-Keluarga
terhadap (2010)
Kepuasan Kerja Pengusaha
Wanita di Kota Semarang
SPSS
8
Pengaruh Konflik Peran,
Konflik Pekerjaan-Keluarga
dan
Pekerjaan
Berlebih
terhadap Kinerja Karyawan di
PT Air Mancur Wonogiri
Kusuma
SPSS
-dani,
Suprayitno,
Sri Utami
(2014)
memiliki
pengaruh
positif dan
tidak
signifikan
terhadap
kinerja
karyawan
Konflik
kerjakeluarga
berpengaruh
terhadap
kepuasan
kerja
Konflik
PekerjaanKeluarga
berpengaruh
signifikan
terhadap
kinerja
B. Rerangka Pemikiran
Berdasarkan pada kajian pustaka dan hasil riset terdahulu, maka
didapatkan rerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini.
GAMBAR 2.1
RERANGKA PEMIKIRAN
H3
Konflik PekerjaanKeluarga (X1)
H1
H2
Konflik KeluargaPekerjaan (X2)
Kepuasan Kerja
(X3)
H4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
H5
Kinerja
Karyawan (Y)
45
C. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :
H1 : Diduga konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kepuasan kerja.
H2: Diduga konflik keluarga-pekerjaan berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kepuasankerja.
H3: Diduga konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kinerja.
H4: Diduga konflik keluarga-pekerjaan berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kinerja.
H5: Diduga kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download