BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi TB Paru adalah penyakit

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), yakni bakteri aerob yang dapat hidup
terutama di paru karena mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.18 Sekitar
80% Mycobacterium tuberculosis menginfeksi paru, tetapi dapat juga menginfeksi
organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, tulang belakang, kulit, saluran
kemih, otak, usus, mata dan organ lain karena penyakit tuberkulosis merupakan
penyakit sistemik yaitu penyakit yang dapat menyerang seluruh bagian tubuh dan
dapat menimbulkan kerusakan yang progresif.19
2.2 Etiologi
Bakteri penyebab TB Paru ini memiliki ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron
dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak mempunyai selubung
tetapi memiliki lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid.8
Gambar 2.1 Mycobacterium tuberkulosis
Universitas Sumatera Utara
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap pencucian
warna dengan asam (HCL) dan alkohol sehingga disebut basil tahan asam (BTA).20
Bakteri ini juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob.
Bakteri ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada pemanasan
60°C selama 30 menit. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat
yang lembab dan gelap, namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara.8
2.3 Patogenesis
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang
akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TB Paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita TB Paru.2
Penularan penyakit TB Paru tergantung pada beberapa faktor, seperti jumlah
kuman, tingkat keganasan kuman, dan daya tahan tubuh orang yang tertular.3 Daya
penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka akan
semakin menular.20
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif.21 Pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Setiap kali penderita TB Paru batuk maka akan dikeluarkan 3000 droplet
yang efektif (memiliki kemampuan menginfeksi). Droplet yang mengandung kuman
Universitas Sumatera Utara
TB akan bertahan di udara pada suhu kamar selama 1-2 jam tergantung pada ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi dan kelembapan. Dalam suasana lembab dan
gelap bakteri dapat bertahan berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Orang dapat
terinfeksi apabila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan dan
menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trachea-bronkhial bersama gerakan
silia dengan sekretnya. Namun bila tidak semuanya keluar, bakteri yang tinggal justru
menempel dan berkembang biak pada makrofag dan akan menginfeksi paru.1
Tidak semua kuman TB Paru yang masuk ke dalam tubuh akan berkembang
menjadi penyakit. Mekanisme pertahanan tubuh akan bekerja dan kuman yang masuk
akan dilumpuhkan, namun apabila keadaan kesehatan sedang buruk maka
kemungkinan untuk terjadinya penyakit akan lebih besar.22
2.4 Gejala Klinis23
Gambaran klinik TB Paru dapat dibagi atas dua golongan yaitu gejala sistemik
dan gejala respiratorik.
2.4.1 Gejala Sistemik
a. Demam
Demam merupakan gejala pertama dari TB Paru, biasanya timbul pada sore
dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam influenza yang hilang timbul
dan makin lama makin panjang masa serangannya, demam dapat mencapai suhu
tinggi yaitu 40°-41°C.
Universitas Sumatera Utara
b. Malaise
TB Paru bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa tidak enak
badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, sakit kepala,
mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.
2.4.2 Gejala Respiratorik
a. Batuk
Batuk akan timbul ketika penyakit telah mengenai bronkus, dan batuk mulamula disebabkan karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat terjadi peradangan pada
bronkus sehingga terjadi batuk yang produktif, batuk ini dapat terjadi 2-3 minggu.
b. Batuk Darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah, berat ringannya batuk
darah yang timbul tergantung pada besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk
darah dapat juga terjadi pada tuberkulosis yang sudah sembuh, hal ini disebabkan
oleh robekan jaringan paru. Pada keadaan ini dahak sering tidak mengandung basil
tahan asam (negatif).
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang
cukup luas, pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapat.
d. Nyeri dada
Gejala ini biasanya ditemukan pada penderita yang mempunyai keluhan batuk
kering (non produktif) dan nyeri ini akan bertambah bila penderita batuk, gejala ini
timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Epidemiologi
Penyakit TB paru tersebar di seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri
penyakit TB paru menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas
maupun morbiditasnya selama beberapa tahun, namun di akhir tahun 1980an jumlah
kasus yang dilaporkan mencapai grafik mendatar dan kemudian meningkat di daerah
dengan populasi yang prevalensi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tinggi dan di
daerah yang penduduknya merupakan pendatang dari daerah dengan prevalensi TB
paru yang tinggi.24
2.5.1 Distribusi Penderita TB Paru
a. Menurut Orang
Penyakit ini sebenarnya menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin
serta menginfeksi tidak hanya pada golongan ekonomi rendah saja.8 Sekitar 75%
pasien TB Paru adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun).21 Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan, proporsi penderita TB Paru tertinggi terjadi pada laki-laki.25 Penelitian
yang dilakukan oleh Gea dengan desain case series (2005) pada Puskesmas
Gunungsitoli tahun 2000-2004 menemukan bahwa penderita TB Paru yang paling
banyak adalah laki-laki yaitu 334 orang (63,6%).26
Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilaksanakan oleh departemen
kesehatan (2004), proporsi tertinggi drop out pengobatan TB Paru terjadi pada umur
35-55 tahun yaitu sebesar 52%. Berdasarkan tingkat ekonomi, proporsi tertinggi drop
out terjadi pada status ekonomi rendah yaitu 63%.25
Universitas Sumatera Utara
b. Menurut Tempat
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis, dan 95% kasus TB serta 98% kematian akibat TB di
dunia, terjadi pada negara-negara berkembang.18 WHO (2005) menyatakan 22 negara
dengan beban TB Paru tertinggi di dunia dan 50%nya berasal dari negara-negara
Afrika dan Asia serta Amerika (Brasil). Hampir semua negara ASEAN masuk dalam
kategori 22 negara tersebut kecuali Singapura dan Malaysia.8
Berdasarkan laporan WHO (2011), insiden TB Paru di India 2.300.000 kasus
atau 185 per 100.000 penduduk, China 1.000.000 kasus atau 78 per 100.000
penduduk, Afrika Selatan 490.000 kasus atau 981 per 100.000 penduduk, Nigeria
adalah 210.000 kasus atau 133 per 100.000 penduduk, Thailand 94.000 kasus atau
137 per 100.000 penduduk, Malaysia 23.000 kasus atau 82 per 100.000 penduduk,
Singapura 1.800 kasus atau 36 per 100.000 penduduk.5
Insiden BTA Positif Sumatera adalah 164 per 100.000 penduduk, Jawa: 107
per 100.000 penduduk, DIY-Bali: 64 per 100.000 penduduk, Kawasan Timur
Indonesia (KTI): 210 per 100.000 penduduk.6 Berdasarkan hasil survei prevalensi TB
Paru yang dilaksanakan departemen kesehatan, proporsi tertinggi kejadian drop out
pada pengobatan TB Paru adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan proporsi
60%.25
c. Menurut Waktu
Banyaknya penderita TB Paru tidak dipengaruhi oleh waktu karena penderita
baru akan tetap ada selama penderita lama mempunyai kemampuan untuk
menularkan melalui droplet yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.20
Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Faktor Determinan TB Paru
a. Host
a.1 Umur
TB Paru dapat menyerang semua golongan umur. Beberapa penelitian
menunjukkan kecenderungan pada kelompok usia produktif. Hal ini disebabkan
karena pada usia produktif mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga kemungkinan
untuk terpapar kuman TB Paru lebih besar.9,21
Bayi dan anak-anak mempunyai daya tahan tubuh yang lemah sampai berusia
2 tahun, anak dapat terserang meningitis tuberkulosis, namun jika status gizinya baik,
penyebarannya dapat dicegah. Sebagian besar basil TB yang masuk ke dalam tubuh
anak tidak menimbulkan penyakit tetapi akan tetap tinggal dalam paru sampai anak
dewasa.1 TB Paru pada orang dewasa dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yang
pertama dengan terhirup basil tuberkulosis kemudian berkembang biak dalam paru
dan merusaknya, dan yang kedua timbul akibat aktifnya kembali basil tuberkulosis
yang dorman dalam tubuh ketika masih anak-anak.25
Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk di BP4 Pati (2006) dengan desain
case control ditemukan bahwa umur >45 tahun mempunyai risiko 3,816 kali (OR
3,816 ; CI 1,701-8,558) untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan umur
≤45
tahun.27
a.2 Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang laki-laki dan perempuan. Menurut data WHO
(2004), kematian wanita akibat TB di dunia lebih banyak dari pada kematian karena
proses kehamilan, persalinan dan nifas.21
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering terserang TB
Paru dari pada perempuan. Hal ini disebabkan mobilitas pria yang lebih tinggi dan
kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol yang dapat menurunkan daya tahan tubuh
sehingga lebih mudah terserang TB Paru.28
Berdasarkan penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Paiti (2008), dengan
desain case control ditemukan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian
TB Paru dimana perempuan berisiko 0,425 kali lebih kecil untuk terinfeksi TB Paru
dibandingkan dengan laki-laki (OR=0,425; 95% CI 0,201-0,901).29
a.3 Pendidikan
Pendidikan seorang penderita TB paru berpengaruh terhadap cara bertindak
baik tindakan untuk melakukan pencegahan maupun pemilihan alternatif pengobatan.
Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilaksanakan Departemen Kesehatan (2004)
dengan desain cross sectional, ditemukan bahwa pendidikan merupakan salah satu
faktor risiko terjadinya drop out (RP = 1,3 95% CI 1,1-1,7), pendidikan juga
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya drop out pada pengobatan TB Paru
(RP=2 ; 95% CI 1,3-3,1).25
a.4 Status Gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, akan
memengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap berbagai macam
penyakit termasuk TB Paru. Dan faktor ini merupakan salah satu faktor penting
penyebaran TB Paru khususnya di negara miskin.20
Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk di BP4 Pati (2006) dengan desain
case control ditemukan bahwa status gizi yang buruk berisiko 5,113 kali (OR 5,113 ;
Universitas Sumatera Utara
95% CI 1,364-19,165) untuk terinfeksi TB Paru dibanding orang dengan status gizi
baik.27
b. Agent
TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis dan untuk menjadi
sakit, dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang mempunyai kemampuan mengadakan
terjadinya infeksi, serta virulensi dari bakteri itu sendiri.20,30
c. Environment
Lingkungan yang buruk, misalnya pemukiman yang padat dan kumuh, rumah
yang lembab dan gelap, kamar tanpa ventilasi serta lingkungan tempat kerja yang
buruk dapat mempermudah penularan TB Paru.9,30
Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk (2006) dengan desain case control
ditemukan bahwa seseorang yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi kamar tidur
yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko 29,994 kali (OR 29,994 95%
CI 3,388-265,505) untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal
dalam rumah dengan ventilasi kamar tidur memenuhi syarat kesehatan demikian juga
dengan kelembapan rumah, dimana orang yang tinggal dalam rumah yang lembab
berisiko 9,229 kali (OR 9,229 ; 95% CI 2,286-37,835) untuk terinfeksi TB Paru
dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam rumah yang tidak lembab.27
Berdasarkan penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Paiti (2008) dengan
desain case control menemukan bahwa ada pengaruh faktor lingkungan seperti suhu
kamar dengan kejadian TB Paru (OR=0,026 ; 95% CI 0,003-0,268), ada pengaruh
pencahayaan kamar dengan kejadian TB Paru (OR=0,025 ; 95% CI 0,004-0,151), dan
seseorang yang menghuni rumah dengan pencahayaan dan suhu kamar yang tidak
Universitas Sumatera Utara
memenuhi syarat kesehatan serta memiliki kebiasaan merokok mempunyai risiko
terjadinya TB Paru sebesar 96%.29
Berdasarkan hasil penelitian Ernita Azis, dkk (2008) dalam berita kedokteran
masyarakat menemukan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan keadaan ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan risiko terkena TB meningkat 1,354 kali lebih
besar dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan keadaan ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan.31
2.6 Tipe Penderita
2.6.1 Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak2
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak yang dilakukan kepada pasien, tipe
penderita TB Paru terbagi atas:
a. TB Paru BTA Positif.
Seorang penderita TB Paru dinyatakan BTA positif apabila sekurangkurangnya dua dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau satu spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif.
b. TB Paru BTA Negatif
Seorang penderita TB Paru dengan BTA negatif bila pemeriksaan 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif.
Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Berdasarkan Riwayat Pengobatan21
Berdasarkan riwayat pengobatan penderita, dapat digolongkan atas tipe:
a. Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/ pindah (Form TB. 09).
d. Lalai (Pengobatan setelah default/drop-out) adalah penderita yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
e. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih atau
penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada
akhir bulan ke 2 pengobatan.
f. Kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2.
2.7 Program Penanggulangan TB Paru3
Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah
direkomendasikan oleh WHO, yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1995/1996.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum pelaksanaan strategi DOTS angka kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai
hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan yang
dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA Positif yang ditemukan.
Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita
agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan
pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan ketetapan yang
telah ditentukan.
Terdapat 5 (lima) komponen utama strategi DOTS yaitu:8
2.7.1 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana
2.7.2 Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA dalam dahak
2.7.3 Terjaminnya persediaan obat anti Tuberkulosis (OAT)
2.7.4 Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung
oleh pengawas minum obat (PMO)
2.7.5 Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memantau dan mengevaluasi
program penanggulangan TB
Adapun tujuan dari strategi DOTS adalah:
a. Tujuan Umum:
Memutuskan rantai penularan sehingga penyakit Tuberkulosis diharapkan
bukan lagi menjadi masalah kesehatan
b. Tujuan khusus:
b.1. Cakupan penemuan kasus BTA (+) dengan proporsi 70%
b.2. Kesembuhan minimal 85%
b.3. Mencegah multidrug resistance (MDR)
Universitas Sumatera Utara
2.8 Pencegahan
2.8.1 Pencegahan Primordial
Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap penyakit TB
Paru dalam suatu wilayah dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko
penyakit TB Paru. Sasaran dari pencegahan ini adalah masyarakat yang sehat secara
umum. Upaya pencegahan primordial dapat berupa anjuran kesehatan, peraturanperaturan atau penyuluhan kesehatan dalam upaya menjaga kondisi dan daya tahan
tubuh.30
2.8.2 Pencegahan Primer32
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan penyakit TB Paru sebelum
seseorang menderita TB Paru. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok yang
mempunyai faktor risiko tinggi. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan kelompok
yang berisiko ini dapat mencegah berkembangnya TB Paru secara dini. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara:
a.1. Mengonsumsi makanan yang bergizi
a.2. Usahakan setiap hari untuk tidur cukup dan teratur
a.3. Melakukan olah raga di tempat-tempat yang berudara segar
a.4. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan imunisasi BCG
b. Meningkatkan kesehatan lingkungan
b.1. Melengkapi rumah dengan ventilasi yang cukup
b.2. Menghindari over crowded dalam kamar
Universitas Sumatera Utara
2.8.3 Pencegahan Sekunder20
Yaitu upaya mencegah keadaan penyakit TB Paru yang sudah terjadi untuk
tidak menjadi lebih berat. Diperlukan kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah
menderita penyakit TB Paru. Pencegahan ini ditujukan untuk menurunkan mortalitas.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara:
a. Diagnosis TB Paru23
Penetapan diagnosis TB Paru dilakukan dengan berpegangan pada tiga
patokan utama. Pertama adalah berdasarkan hasil wawancara dengan pasien tentang
keluhan dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap pasien tersebut. Kedua,
hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan/atau
basil tuberkulosis secara pembiakan/kultur. Ketiga, hasil pemeriksaan rontgen dada
yang akan memperlihatkan gambaran paru pada orang yang diperiksa. Selain ketiga
patokan utama ini, kadang-kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari
hasil pemeriksaan darah dan/atau pemeriksaan tambahan lainnya.
a.1. Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak dilakukan terhadap suspek yang mengalami batuk
dengan dahak produktif lebih dari tiga minggu, hal ini bertujuan untuk menegakkan
diagnosis dan klasifikasi atau tipe penderita serta tingkat penularannya. Pemeriksaan
dahak juga dilakukan untuk menilai kemajuan pengobatan.
Dahak yang baik untuk diperiksa adalah dahak yang kental dan purulen
berwarna hijau kekuning-kuningan dengan volume 3-5 ml tiap pengambilan. Untuk
menegakkan diagnosis TB Paru dibutuhkan 3 spesimen dahak yaitu dahak SPS dan
sebaiknya dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan untuk dapat
Universitas Sumatera Utara
melihat BTA dalam dahak penderita, maka dibuat sediaan hapusan lalu difiksasi
selama 3-5 detik.
a.2 Pewarnaan Sediaan Dengan Metode Ziehl Neelsen
Ada dua metode pewarnaan sediaan yaitu metode Kinyoun Gabbett dan
metode Ziehl Neelsen. Sesuai dengan kebutuhan dan peningkatan kualitas hasil
pemeriksaan, metode Kinyoun Gabbett secara program penanggulangan TB Paru
sudah ditinggalkan karena metode Ziehl Neelsen mempunyai hasil yang lebih baik
dari metode Kinyoun Gabbett. Hapusan dahak yang telah difiksasi tersebut kemudian
dilanjutkan dengan pewarnaan metode Ziehl Neelsen. Bahan yang diperlukan adalah
Carbol Fuchsin 0,3%, HCL-Alkohol 3%, dan Methylene Blue 0,3%.
Sediaan yang telah melalui proses pewarnaan kemudian dibaca hasilnya di
bawah mikroskop, akan terlihat berupa batang merah terang dengan latar belakang
biru. Sesudah pencucian dengan HCL-Alkohol, bakteri BTA mempertahankan warna
merahnya dan yang bukan BTA melepas zat warna merah.
a.3. Pemeriksaan Radiologis (Foto Thorax)
Dalam program penanggulangan TB Paru pemeriksaan foto rontgen baru
dapat dilaksanakan bila dari tiga kali pemeriksaan dahak dengan hasil BTA negatif
dan secara klinis mendukung sebagai TB Paru.
Universitas Sumatera Utara
Alur diagnosis TB Paru pada orang dewasa:18
Suspek TB Paru
Pemeriksaan dahak mikroskopis- Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)
Hasil BTA
+++
++-
Hasil BTA
+ - -
Hasil BTA
- - -
Antibiotik Non-OAT
Tidak ada
perbaikan
Foto toraks dan
pertimbangan
Ada
perbaikan
Pemeriksaan dahak
mikroskopis
Hasil BTA
+++
+++--
Hasil
BTA
- - -
Foto toraks dan
pertimbangan
TB
Bukan TB
Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB Paru Pada Orang Dewasa
Universitas Sumatera Utara
b. Case finding (penemuan kasus)
yaitu menemukan kasus atau penderita TB paru secara aktif yaitu dengan
mencari penderita TB paru di masyarakat maupun secara pasif yaitu dengan
menunggu pasien TB paru yang datang ke fasilitas kesehatan
c. Pengobatan yang Adekuat Terhadap Penderita
c.1. Prinsip Pengobatan
Adapun tujuan dari pengobatan TB Paru adalah menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan.10
Obat yang diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman
persisten) dapat dibunuh. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis,
dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan kebal terhadap obat.
Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan
dengan pengawasan langsung (DOTS=Directly Observed Treatment Shortcourse)
oleh seorang PMO.2
Untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai
adalah:18
c.1.1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
Universitas Sumatera Utara
c.1.2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
c.1.3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
c.2. Tahap Intensif
c.2.1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat
c.2.2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c.2.3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
c.3. Tahap Lanjutan
c.3.1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
c.3.2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
c.4. Panduan Pengobatan21
Panduan OAT di Indonesia berdasarkan rekomendasi WHO dan IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease).
c.4.1. Kategori-1 (2HRZE / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).
Universitas Sumatera Utara
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan
Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4 H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru TBC Paru BTA Positif
b. Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat
c. Penderita TBC Ekstra Paru berat.
c.4.2. Kategori–2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah
itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga
kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan
setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita kambuh ( relaps )
b. Penderita Gagal ( failure )
c. Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default )
c.4.3. Kategori-3 (2HRZ / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ)
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru BTA negatif rontgen positif sakit ringan
Universitas Sumatera Utara
b. Penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis
eksudativa unilateral TB kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan
kelenjar adrenal.
c.4.4. OAT Sisipan (HRZE)
OAT Sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita
baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang
dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan setiap hari
selama 1 bulan
2.8.4 Pencegahan Tersier
a. Mencegah supaya jangan sampai terjadi kelalaian, dan resistensi OAT dengan
memberikan penatalaksanaan kasus dan manajemen yang baik melalui konsep
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
b. Melakukan upaya rehabilitasi mental dan psikologis terhadap penderita untuk
mengembalikan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri
2.9 Multidrug Resistant (MDR)4
Kasus MDR TB Paru merupakan bentuk spesifik dari TB paru resisten obat
yang terjadi jika kuman resisten terhadap setidaknya isoniazid dan rifampisin, dua
jenis OAT yang utama. Resistensi OAT terjadi akibat penggunaan OAT yang tidak
tepat dosis pada pasien yang masih sensitif terhadap rejimen OAT. Ketidaksesuaian
ini bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab seperti karena pemberian rejimen yang tidak
tepat oleh tenaga kesehatan atau karena kegagalan dalam memastikan pasien
menyelesaikan seluruh tahapan pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
Resistensi OAT dapat memberikan dampak negatif yang bertingkat dalam
upaya penanggulangan penyakit TB Paru. Baik pada tingkat individu, maupun di
tingkat sarana pelayanan kesehatan dan masyarakat. Tingkat individu, resistensi OAT
dapat memperpanjang masa infeksi, memperburuk kondisi klinis, serta penggunaan
OAT tingkat lanjut yang lebih mahal dengan efek samping dan toksisitas yang lebih
besar. Sedangkan di tingkat sarana pelayanan kesehatan dan masyarakat, resistensi
OAT menyebabkan potensi peningkatan jumlah pasien TB Paru dan risiko terjadinya
pandemi resistensi OAT.33
Berdasarkan laporan WHO (2010), pada tahun 2008 dilaporkan sebanyak
29.423 kasus MDR TB Paru dari 127 negara. Angka ini hanya mewakili 7% dari
estimasi MDR WHO pada tahun 2008, di 27 negara dengan beban MDR yang tinggi,
hanya 1% dari kasus TB baru dan 3% dari TB kambuh yang menjadi resisten diobati
secara adekuat. Hampir 50% kasus MDR dunia merupakan kasus MDR yang terjadi
di China dan India.34
Tahun 2008, MDR TB menyebabkan 150.000 kematian. Perkiraan WHO,
pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat ke-delapan dari 27 negara dengan
beban MDR tinggi. Diperkirakan terdapat 12.209 pasien MDR-TB di seluruh
Indonesia pada tahun 2007 dan akan ada sekitar 6.395 pasien MDR-TB baru setiap
tahunnya.33 Kejadian TB-MDR pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia
(man-made phenomenon), sebagai akibat pengobatan TB yang tidak adekuat.
2.9.1 Penyebab Pengobatan yang Tidak Adekuat
a. Dari penyedia pelayanan kesehatan
a.1. Buku panduan pengobatan yang tidak sesuai
Universitas Sumatera Utara
a.2. Petugas yang tidak mengikuti panduan yang tersedia
a.3. Tidak tersedianya panduan pengobatan TB Paru di fasilitas kesehatan
a.4. Pelatihan yang buruk
a.5. Tidak dilaksanakannya pemantauan terhadap program pengobatan
a.6. Pendanaan program penanggulangan TB yang lemah
b. Dari penyediaan atau kualitas OAT yang tidak adekuat
b.1. Kualitas OAT yang buruk
b.2. Persediaan OATyang terputus
b.3. Kondisi tempat penyimpanan yang tidak terjamin
b.4. Kombinasi OAT yang salah atau dosis yang kurang
c. Dari pasien
c.1. Kepatuhan pasien yang kurang
c.2. Kurangnya informasi
c.3. Masalah transportasi
c.4. Masalah efek samping, malabsorpsi, dan ketergantungan terhadap substansi
tertentu
2.9.2 Jenis Resistensi OAT
Terdapat dua jenis resistensi OAT, yaitu resistensi primer dan sekunder.
Resistensi di antara pasien TB Paru baru yang belum mendapat pengobatan atau telah
mendapat OAT kurang dari 1 bulan disebut resistensi primer. Resistensi sekunder
terjadi pada pasien yang mempunyai riwayat pengobatan OAT sebelumnya minimal 1
bulan pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
2.10 Efek Samping OAT18
Sebagian besar penderita TB Paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Semua pasien yang
berobat TB sebaiknya diberitahukan tentang efek samping obat anti Tuberkulosis
yang diminum. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi salah paham yang
menimbulkan putus berobat (drop out).
Efek samping yang dirasakan penderita dapat berupa efek ringan dan efek
berat. Efek ringan dari obat anti tuberkulosis ini seperti tidak ada nafsu makan, mual,
sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki, dan warna
kemerahan pada air seni. Efek samping berat dari OAT seperti gatal dan kemerahan
kulit, tuli, gangguan keseimbangan, ikterus tanpa penyebab lain, gangguan
penglihatan, purpura dan syok.
2.11 Pengawasan Menelan Obat
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan
seorang PMO.2
2.11.1 Persyaratan PMO10
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
Universitas Sumatera Utara
2.11.2 Siapa yang Dapat Menjadi PMO18
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
2.11.3 Tugas PMO21
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan
Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien
mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.
2.11.4 Informasi Penting yang Perlu Dipahami PMO Untuk Disampaikan
Kepada Pasien dan Keluarganya:
a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK.
Universitas Sumatera Utara
2.12 Hasil Pengobatan18
2.12.1 Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan (AP) dan pada satu
pemeriksaan follow-up sebelumnya.
2.12.2 Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
2.12.3 Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
2.12.4 Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
2.12.5 Default atau Drop out
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
2.12.6 Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
2.13. Kepatuhan Berobat
Ada banyak hal yang berperan dalam pembentukan perilaku patuh berobat
pada penderita TB Paru diantaranya adalah faktor sosiodemografi yang terdiri dari
umur, jenis kelamin, suku, pendidikan dan status pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
2.13.1 Umur
Di Amerika Serikat, orang tua lebih cenderung mematuhi anjuran dokter dan
orang muda cenderung lebih tidak patuh dalam mengikuti pengobatan.35 Di Indonesia
75% penderita TB Paru berada pada usia 15-50 tahun (produktif).21 Dalam usia ini,
aktivitas dan mobilitas lebih tinggi dibandingkan usia <15 atau >50 tahun (tidak
produktif) sehingga pada usia produktif cenderung lebih tidak patuh dalam mengikuti
pengobatan.
2.13.2 Jenis Kelamin
Kepatuhan berobat pada perempuan dikaitkan dengan sifat perempuan yang
lebih sabar dan telaten dibandingkan dengan laki-laki.35 Selain itu, tingkat kesadaran
berobat pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.36 Hal ini juga
berhubungan dengan faktor pekerjaan, dimana laki-laki sebagai kepala rumah tangga
bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan keluarga sehingga kesibukannya
menyebabkan kelalaian dalam mengikuti pengobatan.
2.13.3 Suku
Nilai-nilai budaya yang dominan pada diri individu sangat memengaruhi
pembentukan kepribadian seseorang. Selanjutnya kepribadian tersebut akan
menentukan pola dasar perilaku manusia, termasuk perilaku dalam hal memilih
pengobatan.37 Dalam hal ini budaya dipengaruhi oleh suku bangsa yang dianut
pasien, jika aspek suku bangsa sangat mendominasi maka pertimbangan untuk
menerima atau menolak didasari pada kecocokan suku bangsa yang dianut. Di
Amerika serikat, kaum kulit putih lebih cenderung mengikuti anjuran dokter
dibandingkan kaum kulit hitam.35
Universitas Sumatera Utara
Dalam beberapa kebudayaan, orientasinya adalah pada masa kini bukan pada
masa depan, sehingga pasien mungkin tidak menyelesaikan pengobatan jangka
panjang ketika gejala-gejala yang dirasakan sudah hilang.
Konsep sehat dan sakit menurut perspektif kebudayaan juga memengaruhi
kepatuhan berobat pasien. Pada orang papua konsep sehat-sakit dikategorikan
menjadi dua. Kategori pertama memandang konsep sehat-sakit bersifat supranatural
artinya melihat sehat-sakit karena adanya gangguan dari suatu kekuatan yang bersifat
gaib atau makhluk halus yang berasal dari manusia. Sedangkan kategori kedua adalah
rasionalistik yang memandang sehat-sakit sebagai intervensi dari alam, iklim, air,
tanah, serta perilaku manusia yang kurang baik, serta kondisi kejiwaan manusia itu
sendiri. 35
Pandangan tentang konsep sehat-sakit ini dapat memengaruhi kepatuhan
berobat TB Paru, terutama bila gejala awal dipandang dengan konsep rasionalistik
berubah menjadi konsep supranatural karena penyakit yang belum menunjukkan
adanya perubahan dalam waktu yang singkat sehingga masyarakat menganggap
penyakit tersebut tidak dapat diobati secara medis dan menghentikan pengobatannya
kemudian berobat ke tempat yang dianggap dapat menyembuhkan penyakit secara
supranatural.
2.13.4 Pendidikan
Tingkat pendidikan yang berbeda mempunyai kecenderungan yang tidak
sama dalam mengerti dan bereaksi terhadap kesehatan mereka, hal ini juga dapat
berperan dalam hal pemilihan pengobatan dan kepatuhan dalam mengikuti
pengobatan.37 Tingkat pendidikan yang masih rendah serta kurangnya informasi
Universitas Sumatera Utara
kesehatan yang diterima menyebabkan sebagian besar masyarakat kurang menyadari
akan pentingnya kesehatan. Keadaan seperti ini membuat masyarakat berpedoman
bahwa sehat adalah jika kondisi fisik/biologisnya masih mampu melakukan aktivitas
dan gerakan normal seperti biasanya dan dikatakan sakit bila sudah tidak lagi mampu
melakukan aktivitas sehari-hari.35
Berdasarkan hasil survei prevalensi Tuberkulosis oleh Departemen
Kesehatan dengan desain cross sectional ditemukan bahwa pendidikan merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya drop out pada pengobatan TB Paru (RP=2 ; 95% CI
1,3-3,1).25
2.13.5 Status Pekerjaan9
Penyakit TB Paru sebagian besar (75%) menyerang usia produktif secara
ekonomi, dan 70 % diantaranya adalah pekerja. Penyakit TB Paru yang terjadi pada
pekerja dapat merugikan secara ekonomi rumah tangga. Selain itu, pengetahuan
tentang TB Paru yang buruk dapat menimbulkan asumsi-asumsi seperti penyakit TB
Paru merupakan penyakit yang menakutkan dan cara terbaik penanggulangannya
adalah dengan memecat pekerja yang diketahui menderita TB Paru dapat
memengaruhi kepatuhan berobat penderita. Ketika seorang pekerja didiagnosa
menderita TB Paru, sehingga ada ketakutan akan dipecat jika ada yang mengetahui
tentang penyakitnya di lingkungan kerja, maka ia memutuskan untuk tidak
melanjutkan pengobatannya karena takut kehilangan pekerjaan. Aktifitas dan
mobilitas pekerja yang tinggi juga dapat memengaruhi kepatuhan berobat, dimana
dengan jadwal kerja yang sibuk dan menyita waktu menyebabkan penderita lupa
untuk mengambil obat atau memeriksakan dahaknya kembali.
Universitas Sumatera Utara
Download