1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia yang semakin modern mengakibatkan perubahan
gaya hidup, mental, emosional dan lingkungan. Dimana perubahan tersebut dapat
meningkatkan pertumbuhan penyakit tidak menular (PTM), salah satunya adalah
penyakit diabetes melitus (DM) (Departemen Kesehatan RI, 2012). DM
merupakan penyakit menahun yang diderita pasien seumur hidup sehingga akan
dapat memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan terjadinya
peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar bagi masyarakat maupun
pemerintah (PERKENI, 2011).
Penderita DM di dunia diperkirakan meningkat pada tahun 2010 sekitar
239,3 juta orang penderita DM. Pada tahun 2020 diperkirakan menjadi 300 juta
orang yang menderita DM (Tjokroprawiro dkk., 2007). WHO memprediksi
kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 dan diperkirakan masih banyak
penderita DM belum terdiagnosis di Indonesia (PERKENI, 2011). Di Kabupaten
Sukoharjo prevalensi DM berdasarkan hasil survei yang dilakukan badan pusat
statistik (BPS) Kabupaten Sukoharjo tahun 2011 dilayanan kesehatan pemerintah
dan swasta sebanyak 17.172 penderita DM (Anonim, 2011).
Penyakit DM merupakan penyakit kronik yang dapat berakibat fatal
apabila penatalaksanaan terapi yang tidak tepat, maka diperlukan penanganan
1
terapi secara multidisiplin ilmu yang mencakup terapi non obat dan terapi obat,
sehingga pasien DM memperoleh outcome klinik yang diinginkan (Departemen
Kesehatan RI, 2005). Terapi obat yang diterapkan harus sesuai atau tepat dengan
tatalaksana terapi DM yang diterapkan oleh Perkumpulan Konsesus Pengendalian
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 (PERKENI, 2011). Kerasionalan,
keamananan dan ketepatan pada penatalaksanaan terapi obat harus ditunjang oleh
pengetahuan dan fungsinya dengan memperhatikan kondisi pasien, penyakit,
terapi obat dan pelayanan yang diberikan tenaga medis. Apabila hal tersebut
terlaksana maka dapat memastikan kerasionalan, kemanfaatan dan keamanan
terapi tersebut (Charles dan Amalia, 2004).
Penderita DM yang selalu meningkat dari tahun ke tahun dapat
berpengaruh terhadap keberhasilan terapi dan keberhasilan terapi tidak hanya
tergantung pada faktor non farmakologi (pola makan dan aktivitas olahraga),
tetapi faktor farmakologi juga mempengaruhi (Norkus et al., 2013). Evaluasi
faktor farmakologi yang berpengaruh terhadap ketepatan terapi pengobatan DM
dilakukan dengan mengevaluasi tepat penderita, indikasi, dosis dan obat.
Ketepatan terapi pada pasien DM rawat inap di dua rumah sakit hanya sebesar 45
% dan 72 % (Sari dan Perwitasari, 2013), sedangkan ketidaktepatan terapi pada
pasien DM dengan komorbid dislipidemia pada penggunaan Obat Hipoglikemik
Oral (OHO) paling banyak berupa tidak tepat dosis sebesar 24 % dan efektifitas
penggunan OHO yang tidak efektif sebesar 84 % (Udayani dkk., 2011).
Jenis terapi juga mempengaruhi biaya pengobatan pada pasien DM tipe
2. Pada penggunaan metformin mempunyai nilai kualitas hidup pasien paling
2
tinggi dibandingkan dengan kelompok antidibetik lainnya sebesar 72,53 % dan
biaya rata-rata per bulan Rp 76.084,38 (Dinaryanti, dkk., 2012). Biaya terapi juga
dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan pasien (Kanna et al., 2011).
Dengan berlakunya Undang-Undang RI No. 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), negara menjamin setiap orang berhak
atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan
meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur (Anonim, 2004). Pelayanan kesehatan pada era JKN
mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi termasuk
pelayanan obat sesuai kebutuhan medis. Untuk menjamin ketersediaan,
keterjangkauan dan aksesibilitas obat dengan menyusun Formularium Nasional
(Fornas) yang digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan (Anonimb,
2014).
Berdasarkan data diatas, perlu diilakukan monitoring dan evaluasi
penggunaan obat sehingga diperoleh penggunaan obat yang aman, berkhasiat,
bermutu, terjangkau dan berbasis bukti ilmiah untuk meningkatkan penggunaan
obat secara rasional. Montoring dan evaluasi berupa analisis keterkaitan atau
hubungan ketepatan terapi pada pasien DM tipe 2 yang terdaftar pada SJSN
berupa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan hasil terapi yang
diperoleh pada pasien DM tipe 2 serta biaya obat rata-rata penggunaan dalam 6
bulan (biaya obat DM, obat lainnya dan laboratorium).
3
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan perlu adanya sebuah
studi untuk menjawab permasalahan:
1.
Apakah terdapat hubungan ketepatan terapi obat pada pasien rawat jalan DM
tipe 2 dengan outcome klinis yang diperoleh oleh pasien peserta BPJS di
RSUD Sukoharjo?
2.
Apakah terdapat hubungan ketepatan terapi obat pasien rawat jalan DM tipe 2
peserta BPJS di RSUD Sukoharjo dengan biaya rata-rata pengobatan?
C. Manfaat Penelitian
Bagi rumah sakit dan tenaga kesehatan, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi dan masukan pemberian obat diabetes secara tepat dari
segi biaya pengobatan dan outcome terapi pada pasien DM . Bagi farmasi klinis,
diharapkan dapat meningkatkan peran aktifnya di rumah sakit khususnya dalam
pelayanan terapi penyakit DM yang tepat.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dapat dicapai dengan penelitian ini
antara lain:
1.
Untuk mengetahui hubungan ketepatan terapi dengan outcome terapi pada
pasien rawat jalan DM tipe 2 peserta BPJS di RSUD Sukoharjo.
4
2.
Untuk mengetahui hubungan ketepatan terapi dengan biaya rata-rata
pengobatan pada pasien rawat jalan DM tipe 2 peserta BPJS di RSUD
Sukoharjo.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul “ Study of Prescribing Pattern in Diabetes
Mellitus Patient in A Tertiary Care Teaching Hospital At Dehradun Uttarakhan “
yang dilakukan oleh Dutta et al., (2014) bertujuan
untuk menganalisis pola
peresepan obat yang digunakan dalam pengobatan pasien DM tipe 2 di Rumah
Sakit Pendidikan Dehradun Uttarakhan selama 6 bulan (Maret – Agustus 2013)
dengan menggunakan metode prospektif. Sebanyak 312 resep diacak dan
dievaluasi dengan mengunakan indikator obat WHO, dari hasil penelitian tersebut
diperoleh kesimpulan sebagian peresepan rasional tetapi diperlukan perbaikan
lebih lanjut yang difokuskan pada alasan pemilihan obat berdasarkan data
demografi, status ekonomi, komplikasi dan kondisi yang berhubungan dengan
pasien. Obat yang sering digunakan adalah metformin dan glimipiride (Dutta et
al., 2014).
Penelitian mengenai “Analisis Penggunaan Obat Hipoglikemik dan
Dislipidemia Oral Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Komplikasi
Dislipidemia Rawat Jalan Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta“ dengan
mendapatkan hasil efektifitas obat hipoglikemik oral (OHO) dengan tepat pasien
(88 %), tepat obat (80 %), tepat dosis (76 %) dengan efeketifitas obat
5
hipoglikemik sebesar 16 % dan obat dislipidemia sebesar 30 %. (Udayani dan
Ikawati, 2011).
Agarwal, dkk (2014) dengan penelitian berjudul “Prescribing pattern
and efficacy of antidiabetic drugs in maintaining optimal glycemic levels in
diabetic patients”. Penelitian ini dilakukan di rumah sakit mumbai tentang pola
peresepan pada pasien DM tipe 2 yang dibagi dua pengobatan dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) (56,40 %) dan insulin (43,60 %). Efektifitas dalam
mengkontrol kadar gula darah sebesar 41 % dalam penggunaan obat antidiabetik
dengan mengintesifkan modifikasi gaya hidup.
Penelitian yang dilakukan Huri, dkk (2015) dengan judul “Glycemic
Control and Antidiabetic Drugs in Type 2 Diabates Mellitus with Renal
Complications”,
dalam
penelitian
ini
mengatahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi hasil terapi pada pasien CKD yang mempunyai komplikasi dan
penggunaan obat DM yang diberikan.
Penelitian tentang efektifitas biaya pengobatan terapi DM yang dilakukan
dengan membandingkan penggunaan insulin dengan kombinasi insulin-metformin
di RSUD Soebandi Jember Periode 2012. Dilihat dari nilai ACER didapatkan
kelompok terapi kombinasi insulin-metformin lebih cost-effective daripada
kelompok terapi insulin tetapi dengan uji independent t test tidak berbeda
signifikan (Pramestiningtyas dkk., 2012). Untuk penggunaan terapi obat diabetes
kombinasi di RSUD Sukoharjo pada pasien rawat jalan yang paling cost-effective
yaitu glibenklamid-metformin dan yang paling mahal atau tinggi berupa
kombinasi insulin glarginakarbose-gliquidon (Artini dan Fudholi, 2011).
6
Penggunaan kombinasi Obat Hiperglimik Oral (OHO) dengan insulin glargine
lebih efektif dari biaya dan hasil terapi dibandingkan insulin premixed pada
pasien DM tipe 2 yang tidak responsife dengan OHO (Tunis et al., 2010).
Biaya medik langsung terkecil pasien DM tipe 2 rawat jalan berdasarkan
prespektif rumah sakit yaitu untuk penggunaan terapi glibenklamid sebesar Rp.
49.730,00/bulan
dan
yang
terbesar
penggunaan
insulin
sebesar
Rp
411.045,50/bulan. Sedangkan faktor komplikasi dan kepatuhan minum obat
berpengaruh signifikan terhadap kualitas hidup pasien (p<0,05). Kelompok
penggunaan metformin mempunyai tingkat kualitas yang tinggi (72,53)
dibandingkan dengan kelompok antidiabetik yang lain (Dinaryanti dkk., 2012).
Penelitian yang dilakukan Fitri dkk., (2015) tentang Analisis Biaya
Penyakit Diabetes Melitus yang dilakukan pada 1396 pasien dalam kurun waktu 6
bulan didapatkan faktor yang mempengaruhi biaya terapi berupa penyakit
komplikasi (rawat jalan) dan lamanya rawat inap. Perbedaan total biaya pasien
DM tipe 2 rawat jalan terdapat pada total biaya riil pasien DM tipe 2 lebih besar
dibandingkan total tarif paket INA-CBG’s 2014.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan ketepatan terapi
dengan biaya pengobatan dan outcome klinik yang diperoleh pada pasien rawat
jalan diabetes melitus (DM) tipe 2 peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Penelitian ini dilakukan berdasarkan pengembagan penelitian yang sudah ada.
7
Download