BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara berkesinambungan serta memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut, pemerintah perlu memperhatikan sumber penerimaan yang dapat digunakan dalam membiayai pembangunan. Adapun sumber penerimaan yang dimiliki oleh pemerintah yaitu penerimaan migas, penerimaan pajak, dan hutang luar negeri. Namun, ketika sumber minyak dan gas bumi telah semakin menipis sedangkan penambahan neto hutang baru sudah tidak memungkinkan karena akan mendorong negara ke dalam jurang kebangkrutan, maka satu-satunya jenis penerimaan yang paling sehat adalah penerimaan pajak. Di samping tidak menimbulkan konsekuensi pengeluaran anggaran dimasa yang akan datang dengan distribusi pemungutan yang adil penerimaan pajak akan mampu menyehatkan iklim usaha, karena penanggung pajak akan membiayai fasilitas publik relatif sebesar manfaat yang mereka terima. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak selalu berusaha semaksimal mungkin merealisasikan rencana penerimaan pajak yang telah diagendakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun. Rencana penerimaan pajak secara nasional disebar ke setiap Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan perkiraan potensi pajak di setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas masingmasing KPP. Dalam fungsi penerimaan pajak, pajak merupakan suatu alat atau sumber dana yang digunakan untuk membiayai belanja rutin dan melaksanakan pembangunan pada berbagai bidang. Saat ini pajak merupakan salah satu sumber dana yang paling penting dalam mengisi kas negara. Sekitar 78% dari total penerimaan dalam negeri pada APBN berasal dari penerimaan perpajakan (Darmin Nasution 2005:3). Hal ini mengakibatkan sebagian besar pengeluaran-pengeluaran pemerintah dibiayai oleh pajak. Penerimaan Pajak berasal dari hasil pemungutan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak. Sejalan dengan reformasi perpajakan (tax reform) pada tahun 1983 yang menghasilkan perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pemungutan pajak (dari official assessment system menjadi self assessment system), dimana pihak Wajib Pajak yang harus aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya mulai dari pendaftaran diri sebagai Wajib Pajak, menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan pajaknya sendiri. Salah satu fungsi instansi pajak dalam memberikan pengawasan kepada kepatuhan Wajib Pajak yakni fungsi pemungutan/penagihan. Fungsi pemungutan atau penagihan merupakan fungsi yang berkaitan erat dengan tindakan penagihan pajak, penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal Pajak, berhubung Wajib Pajak tidak melunasi baik sebagian maupun seluruh kewajiban perpajakan yang terutang menurut Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Tindakan Penagihan Pajak diharapkan dapat mencairkan tunggakan pjak yang ada. Karena besarnya tunggakan pajak setiap tahunnya meningkat sehingga dibutuhkan proses penagihan pajak yang efektif agar realisasi tunggakan pajak tersebut dapat tercapai. Adapun yang dimaksud dengan realisasi pencairan tunggakan pajak adalah pencairan atau penyelesaian yang terjadi atas tunggakan pajak. Dari segi administrasi, realisasi pencairan tunggakan pajak adalah mengeluarkan atau menghapus suatu jumlah tertentu atas tunggakan pajak Wajib Pajak dari daftar tagihan negara. Peran serta Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan Perpajakan yang berlaku sangat diharapkan. Namun, dalam kenyataannya masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat utang pajak yang tidak dilunasi sebagaimana mestinya. Leon Yudikin (2001:137) menjelaskan : a). Bahwa Wajib Pajak selalu berusaha membayar pajak yang terutang sekecil mungkin, sepanjang hal itu dimungkinkan oleh Ketentuan Perundang-Undangan Perpajakan. b). Bahwa para Wajib Pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (Tax Evasion) yaitu usaha penghindaran pajak terhutang secara ilegal, sepanjang Wajib Pajak tersebut mempunyai alasan yang meyakinkan bahwa akibat dari perbuatannya tersebut kemungkinan besar mereka tidak akan dihukum serta yakin pula bahwa rekan-rekannya melakukan hal yang sama. Pentingnya kegiatan penagihan pajak ditegaskan pula dalam penjelasan UndangUndang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 tahun 2000 yang menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak. Dan pentingnya perealisasian tunggakan pajak adalah agar pengurangan atas tunggakan pajak dapat terealisasi, karena besarnya tunggakan pajak yang setiap tahunnya selalu meningkat, tunggakan ini berpotensi untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Dengan demikian, pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak sangat perlu mendapatkan perhatian. Hal ini bertujuan agar pengurangan terhadap tunggakan pajak yang ada dapat terealisasi, baik itu berupa pembayaran, kompensasi, penghapusan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, dan Wajib Pajak atau penanggung pajak pindah permanen. Sehingga diharapkan Penagihan Pajak (Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak) memberikan kontribusi yang maksimum terhadap Penerimaan Pajak, khususnya penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas, penulis dalam penulisan skripsi ini mengambil judul : “Peranan Realisasi Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak”. 1.2. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah yang akan dibahas oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Berapakah besarnya Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega. 2. Berapakah besarnya penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega. 3. Bagaimanakah Peranan Penagihan Pajak (Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak) Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan maksud penelitian diatas, maka penulis menetapkan tujuan dari penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui besarnya Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega. 2. Untuk mengetahui besarnya Realisasi Penerimaan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega. 3. Untuk mengetahui dan memahami seberapa besar Peranan Penagihan Pajak (Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak) Terhadap Realisasi Penerimaan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Direktorat Jenderal Pajak (KPP Pratama Bandung Tegallega) Hasil penelitian Peranan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak dapat digunakan sebagai suatu masukan dan selanjutnya merupakan sumbangan bagi KPP. 2. Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan wawasan dalam bidang perpajakan khususnya tentang Penagihan Pajak serta peranannya terhadap Realisasi Penerimaan Pajak. 3. Bagi Pihak lain Hasil penelitian yang penulis lakukan, diharapkan dapat menjadi sumber informasi atau sumbangan pemikiran bagi pihak lain yang berkepentingan, baik bagi Wajib Pajak maupun bagi para konsultan pajak dan bidang akademis dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan hasil tindakan penagihan pajak yakni Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak. 1.5. Kerangka Penelitian Secara garis besar, pajak mempunyai 2 (dua) fungsi utama yaitu fungsi penerimaan (budgetair) dan fungsi mengatur (regulair). Dalam fungsi penerimaan, pajak merupakan suatu alat atau sumber dana yang digunakan untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara hingga pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran pemerintah. Sedangkan dalam fungsi mengatur, pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan, seperti dibidang sosial dan ekonomi (Santoso,1998 : 205). Kepentingan peneliti dalam hal ini adalah berkenaan sebagai fungsi penerimaan. Saat ini pajak merupakan salah satu sumber dana yang paling penting dalam mengisi penerimaan negara. Sekitar 78% dari total penerimaan dalam negeri pada APBN berasal dari penerimaan pajak (Darmin Nasution 2005:3). Hal ini berarti sebagian besar pengeluaran-pengeluaran pemerintah dibiayai oleh Pajak. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang paling ideal jika dibandingkan dengan penerimaan negara dari sektor lainnya. Hal ini disebabkan penerimaan negara dari sektor perpajakan bersifat ajeg (regular, continous) dan juga selalu mengalami kenaikan. Ajeg dalam arti selalu dapat diharapkan masuk ke kas negara. Dan selalu mengalami kenaikan dalam arti berhubungan dengan kenaikan jumlah dan kebutuhan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, pajak merupakan sumber penerimaan yang paling ideal dan paling rasional untuk menopang anggaran pemerintah (Soetrisno,1984:105). Akan tetapi, uang yang berasal dari pajak tersebut tidak dapat masuk ke kas negara secara efektif dan efisien tanpa didukung dengan infrastruktur yang memadai, diantaranya adalah Sistem Pemungutan Pajak. Sistem pemungutan pajak yang dianut di Indonesia adalah self assessment. Dari segi administrasi perpajakan, sistem ini mempunyai keunggulan karena dapat mengeliminasi biaya, tenaga dan waktu yang dibutuhkan oleh Instansi Perpajakan dalam menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang kepada setiap Wajib Pajak. Akan tetapi dari segi resiko pemungutan sistem ini relatif sangat beresiko. Agar sistem ini dapat terlaksana dengan baik, diperlukan tingkat kejujuran dan tingkat pendidikan yang tinggi dari Wajib Pajak itu sendiri. Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk melaksanakan sebagian besar aktivitas perpajakan yang merupakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Konsekuensinya, penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pembangunan akan sangat bergantung pada situasi dan kondisi Wajib Pajak yang dinamis. Oleh karena itu, dengan memperhatikan kondisi keadaan demografi masyarakat Indonesia saat ini, yang menurut peneliti masih terdapat sejumlah besar penduduk Indonesia belum memahami dan menyadari bahwa pada dasarnya tidak seorangpun yang senang membayar pajak dan potensi untuk bertahan terhadap pembayaran pajak yang agaknya sudah melekat pada diri Wajib Pajak, maka diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengamankan penerimaan negara atau dengan kata lain untuk merealisasikan target penerimaan yang telah dianggarkan sehingga tujuan-tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai secara efektif. Selain itu, campur tangan pemerintah diperlukan juga untuk menghilangkan kesan bahwa pajak merupakan sumbangan sukarela dari Wajib Pajak kepada negara. Wujud konkrit dari tindakan campur tangan pemerintah tersebut yang dapat secara langsung mempengaruhi penerimaan negara, khususnya penerimaan perpajakan adalah tindakan penagihan pajak, dapat kita ketahui bahwa penagihan pajak merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap dengan tujuan untuk mencairkan utang pajak dari Wajib Pajak. Tahap yang dimaksud dapat dikelompokan kedalam dua kelompok bentuk penagihan, yaitu penagihan pajak pasif dan penagihan pajak aktif. Tahapan dalam penagihan tersebut dapat mencapai tujuannya yaitu pencairan utang pajak, yang berupa pembayaran dan kompensasi. Karena tunggakan pajak seharusnya merupakan penerimaan pajak yang dapat direalisasikan dengan jalan Penagihan.Tolak ukur dari sistem pemungutan pajak apapun adalah nilai dari besar kecilnya pemasukan uang pajak ke kas negara, baik yang dibayar secara sukarela oleh Wajib Pajak (Voluntary Compliance) maupun yang dipungut petugas pajak melalui tindakan penagihan pajak aktif. Idealnya tindakan penagihan pajak khususnya penagihan pajak aktif tidak perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Akan tetapi, mengingat semakin besarnya jumlah tunggakan pajak kumulatif, sedangkan penggalian potensi pajak yang baru melalui program ekstensifikasi pajak sedikit terhambat karena krisis yang menghambat dunia usaha, maka salah satu tugas penting Direktorat Jenderal Pajak didalam kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini sedang berusaha keluar dari krisis ekonomi adalah melaksanakan program peningkatan pencairan tunggakan pajak (Increasing Recovery of Tax Arrcars) atau seperti kita ketahui bersama bahwa di tahun 2003, Direktorat Jenderal Pajak sedang melaksanakan program yang disebut sebagai law enforcement untuk mencairkan tunggakan-tunggakan pajak yang tergolong besar melalui tindakan penyanderaan. Diharapkan dari penagihan pajak tersebut, realisasi atas pencairan tunggakan pajak dapat diperoleh dan dapat meningkatkan penerimaan pajak khususnya penerimaan Kantor Pelayanan Pajak. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka peneliti dapat menyusun hipotesis sebagai berikut: ” Realisasi Penagihan Pajak (Realisasi Pencairan tunggakan Pajak) memiliki peranan yang signifikan terhadap Realisasi Penerimaan Pajak.” 1.6. Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang berusaha untuk memberikan penafsiran atau gambaran secara sistematik dan akurat mengenai fakta, sifat, dan hubungan kegiatankegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena, yang diiringi dengan interpretasi rasional. Gambaran yang sistematis dan akurat diperoleh dengan mengumpulkan, mengklasifikasikan, menilai, menganalisis, dan membuat penegasan atas hipotesis-hipotesis atau menarik beberapa kesimpulan secara objektif dari masalah yang diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Penelitian lapangan (Field Research), yaitu mengumpulkan dan meneliti data-data primer yang diperoleh langsung dari lapangan untuk menunjang data sekunder melalui : a. Observasi atas objek dan peristiwa yang terjadi b. Wawancara, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan jalan Tanya jawab yang dilakukan secara sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian. 2. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti untuk mendapatkan data-data sekunder yang dapat digunakan sebagai landasan teori dalam menunjang proses penelitian dan pembahasan terhadap data aktual.