1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Polutan logam berat di lingkungan mendapat perhatian serius karena keberadaannya di lingkungan bersifat persisten dan tidak dapat didegradasi, sehingga mengancam kehidupan tumbuhan, hewan, mikroorganisme dan bahkan kesehatan manusia (Gheju et al., 2009). Salah satu polutan logam berat yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu adalah krom (Cr). Di alam, Cr sangat melimpah dan menduduki urutan nomor 7 (Katz & Salem, 1994), dan merupakan polutan yang perlu diperhatikan. Cr banyak dibebaskan ke alam dalam jumlah besar sebagai limbah industri penyamakan kulit, pelapisan logam (penyepuhan), tekstil, cat, tinta, pengawetan kayu, industri baja, pemakaian fungisida, dan instalasi pendinginan air (Kotas & Stasicka, 2000). Cr merupakan logam berat yang memiliki keunikan dibandingkan logam lain. Cr yang memiliki valensi berbeda, yaitu Cr trivalen (Cr3+) dan Cr heksavalen (Cr6+), keduanya berbeda dalam hal mobilitas, kelarutan, reaktivitas, ketersediaan, dan tingkat toksisitasnya. Ion Cr6+ lebih toksik dibandingkan Cr3+ (Yu & Gu, 2007). Bartlett (1991), menyatakan Cr6+ dalam bentuk kromat dan dikromat mudah larut dalam air, sedangkan Cr3+ tidak mudah larut dalam air. Selain menentukan tingkat toksisitas, tingkat oksidasi Cr juga menentukan penyerapan, translokasi, reaktivitas dan akumulasinya di dalam sel (Samantaray et al., 1998; Arun et al., 2005; Choudhury & Panda, 2005). Mekanisme penyerapan dan distribusi Cr pada tumbuhan belum sepenuhnya dipahami dan masih banyak didiskusikan. Cr adalah unsur non 1 esensial bagi tumbuhan, dalam bentuk ion Cr6+ umumnya diserap secara aktif, sedangkan Cr3+ secara pasif. Ion Cr6+ lebih mudah melewati membran plasma, transpornya dilaporkan melalui lintasan sulfat, sedangkan ion Cr3+ diserap melalui pertukaran kation (Chandra & Kulshreshtha, 2004; Dubey, et al., 2010). Peran transporter atau carrier dalam mekanisme penyerapan ion Cr 6+ telah dilaporkan, sedangkan peran transporter pada Cr3+ masih didiskusikan. Schiavon et al. (2008), melaporkan penyerapan kromat pada tanaman Brassica juncea melibatkan transporter sulfat. Liu et al. (2011), melaporkan ion Cr3+ dan Fe3+ berkompetisi dalam lintasan penyerapan yang sama pada sel akar tumbuhan monokotil Leersia hexandra. Penyerapan Cr3+ diduga diperantarai oleh aktivitas transporter kompleks Fe3+-fitosiderofor, dan peran transporter kompleks Fe3+-fitosidefor tersebut masih perlu dibuktikan secara molekularnya. Mekanisme toleransi tumbuhan terhadap toksisitas Cr seperti halnya logam berat lain, melibatkan interaksi kompleks antara proses fisiologis, anatomis biokimia, dan molekular. Selain melalui strategi resistensi yang dikembangkan oleh tumbuhan dalam rangka mengatasi toksisitas Cr dan logam berat lain adalah melalui strategi menghindar (avoidance) (Samantaray et al., 1998; Hossain et al., 2012). Mekanisme toleransi yang dikembangkan oleh tumbuhan dalam menghadapi cekaman toksisitas Cr antara lain melalui distribusi dan akumulasi Cr pada bagian tertentu tumbuhan, kompartementasi/sekuestrasi Cr dalam dinding dan vakuola sel, pembentukan ligand (fitokhelatin, glutation, metallothionin), modifikasi bentuk kimia logam secara enzimatis dan non enzimatis, pengguguran 2 daun, serta induksi sistem antioksidan (Hossain et al., 2012; Sharma & Dietz, 2008; Zhu et al., 2011; Liu et al., 2009). Mekanisme toleransi tumbuhan terhadap toksisitas Cr dapat juga melalui proses detoksifikasi dengan khelasi oleh ligand dan diikuti sekuestrasi kompleks logam-ligand di dalam vakuola, serta modifikasi bentuk kimia Cr secara enzimatis maupun non enzimatis untuk menurunkan toksisitasnya (Grill et al., 1989; Hall, 2002). Peranan senyawa thiol, gluthation, fitokhelatin, dan metallothionin sebagai ligand dalam proses detoksifikasi Cr pada tumbuhan telah dilaporkan pada beberapa jenis tumbuhan, namun hasilnya berbeda untuk masing-masing spesies. Hal ini menunjukkan bahwa tiap spesies tumbuhan memiliki aktivitas dan jenis ligand yang berbeda dalam mendetoksifikasi jenis logam yang sama. Keefektifan dari tiap ligand selain ditentukan jenis dan sifat tumbuhan (sensitif atau toleran) juga jenis logamnya (Maiti et al., 2004; Seth, 2011). Toleransi tumbuhan terhadap cekaman Cr dapat juga melalui mekanisme modifikasi bentuk kimia Cr secara enzimatis maupun non enzimatis. Aktivitas enzim dan berbagai senyawa di dalam sel (seperti sitokrom P450, flavoprotein, asam organik, asam amino, GSH) dalam proses reduksi Cr 6+ menjadi Cr3+ pada tumbuhan masih belum banyak diteliti dan dilaporkan. Oleh karena itu, aktivitas berbagai enzim dan komponen sel tumbuhan yang diduga berperan dalam reduksi Cr6+ menjadi Cr3+ perlu dikaji dan diteliti. Perbedaan mekanisme dan kemampuan toleransi tumbuhan terhadap toksisitas logam Cr tidak hanya ditunjukkan pada tingkatan takson tinggi, namun juga dijumpai antar kultivar tanaman. Hossner et al. (1998), melaporkan 3 tumbuhan anggota dikotil memiliki kemampuan toleransi terhadap CrO 42- lebih tinggi dibandingkan monokotil. Arora et al. (2006), melaporkan dari 3 spesies Azolla yaitu A. pinnata, A. microphylla dan A. filiculoides, yang paling tinggi tingkat toleransinya terhadap cekaman Cr adalah A. microphylla. Samantaray (2002), melaporkan perbedaan respon biokimia antara kultivar tanaman Vigna radiata yang toleran dan sensitif terhadap Cr. Penelitian tentang kemampuan toleransi tanaman terutama tanaman pangan terhadap cekaman logam berat termasuk Cr masih belum banyak dilakukan. Seleksi toleransi tanaman yang umum adalah terhadap cekaman air, salinitas, dan naungan. Pada saat ini, polutan logam berat di lingkungan tanah pertanian semakin meningkat, tidak menutup kemungkinan menimbulkan dampak terhadap penurunan pertumbuhan dan produktivitas pada tanaman yang tidak toleran. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mekanisme toleransi pada berbagai jenis tanaman terhadap logam berat dan bagaimana penyerapan dan distribusi logam berat tersebut pada organ-organ tanaman yang digunakan sebagai sumber bahan pangan. Salah satu jenis tumbuhan yang perlu dikaji mekanisme toleransinya terhadap cekaman logam Cr adalah Sorghum bicolor L. Tanaman Sorghum bicolor (sorgum) merupakan anggota famili Poaceae. Menurut Revathi et al. (2011), sorgum merupakan salah satu jenis tanaman akumulator logam berat. Tanaman sorgum dapat terpapar oleh logam berat Cr melalui penggunaan pupuk yang mengandung logam berat ataupun penggunaan limbah padat atau cair industri mengandung logam Cr sebagai pupuk atau air irigasi (Anonim 1999; Yadav 2010). Sorgum merupakan tanaman yang banyak 4 dibudidayakan di Indonesia, mudah diperoleh, toleran pada kondisi tanah yang basah maupun kering, tahan terhadap serangan hama dan penyakit (Samanhudi, 2009; Sirappa 2003), dan mampu tumbuh pada kondisi tanah terkontaminasi kadmium dan krom (Revathi et al., 2011). Penelitian yang dilakukan Revathi et al. (2011) menunjukkan bahwa S. bicolor masih mampu tumbuh pada tanah yang terkontaminasi Cr hingga mencapai konsentrasi 150 mg kg -1 tanah. Oleh karena itu penelitian yang dapat memberikan landasan pemahaman mengenai mekanisme dasar penyerapan, distribusi, akumulasi, toleransi dan detoksifikasi Cr pada tanaman sorgum perlu dilakukan. Berdasarkan berbagai permasalahan tentang toleransi Cr pada tumbuhan, penelitian ini mengkaji tentang mekanisme toleransi dari beberapa kultivar sorgum terhadap cekaman Cr, dengan penekanan pada respon fisiologis, anatomis, biokimia dan molekular. Konsentrasi Cr yang digunakan dalam penelitian ini, berbeda antara bentuk Cr3+ dan Cr6+. Konsentrasi Cr3+ yang digunakan lebih besar dibandingkan Cr6+, karena menurut Kim et al. (2002) tingkat toksisitas Cr 3+ 10100 kali lebih rendah dibandingkan Cr6+. Konsentrasi Cr3+ yang digunakan sebagai perlakuan dalam penelitian ini adalah 500 mg Cr/l, sedangkan Cr 6+ sebesar 5 mg Cr/l. Parameter yang dikaji dalam penelitian ini meliputi aspek fisiologis (pertumbuhan benih, vegetatif, generatif, pigmen fotosintetik, dan biomassa tanaman); anatomis (akar, batang, dan daun); biokimia (aktivitas enzim antioksidatif katalase (CAT), askorbat peroksidase (APX), superoksida dismutase (SOD), dan glutathion reduktase (GR)) dan non enzimatis (prolin, asam askorbat, 5 glutathione (GSH) dan non protein thiol (NPT)); serta kandungan dan profil protein pada akar dan daun. B. Permasalahan Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kemampuan toleransi beberapa kultivar sorgum terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ pada fase perkecambahan dan pertumbuhan awal kecambah ? 2. Bagaimana respon fisiologis, anatomis dan biokimia kultivar sorgum yang toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ ? 3. Bagaimana akumulasi dan distribusi Cr6+ serta Cr total dalam akar, batang, daun dan biji kultivar sorgum yang toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ 4. Bagaimana aktivitas transformasi Cr (oksidasi/reduksi) pada kultivar sorgum toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ 5. Bagaimana profil protein pada akar, daun dan biji kultivar sorgum yang toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji tentang: 1. Kemampuan toleransi beberapa kultivar sorgum terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ pada fase perkecambahan dan pertumbuhan awal kecambah 6 2. Respon fisiologis, anatomis dan biokimia kultivar sorgum yang toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ 3. Akumulasi dan distribusi Cr6+ dan Cr total dalam akar, batang, daun serta biji kultivar sorgum toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ 4. Transformasi Cr (oksidasi/reduksi) pada kultivar sorgum yang toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ 5. Profil protein pada akar, daun dan biji kultivar sorgum yang toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr6+ dan Cr3+ D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang toleransi tumbuhan terhadap cekaman Cr telah banyak dilakukan, dengan penekanan aspek kajian yang berbeda-beda. Strategi toleransi dalam bentuk respon penyerapan, akumulasi, distribusi dan lokalisasi Cr pada berbagai jenis tumbuhan telah diteliti dan dilaporkan. Gardea-Torresdey et al., (2005), melaporkan penyerapan dan akumulasi Cr pada tanaman Salsola kali dipengaruhi oleh konsentrasi dan tingkat valensi Cr. Tanaman S. kali mengakumulasi Cr 6+ dalam akar, batang dan daun lebih tinggi (10-20 kali) dibandingkan Cr3+. Yu et al. (2008) melaporkan perbedaan penyerapan dan translokasi Cr6+ dan Cr3+ pada tanaman Salix babylonica dan Salix matsudana. Distribusi dan lokalisasi Cr di dalam dinding sel dan vakuola telah dilaporkan pada tanaman Allium cepa (Liu & Kottke, 2003), Leersia hexandra (Liu et al., 2009), dan alga uniseluler Micrasterias (Voland et al., 2012). Mongkhonsin et al. (2011), melaporkan perbedaan distribusi Cr 3+ dan Cr6+ pada 7 berbagai jaringan umbi, batang, dan daun pada tanaman Gynura pseudochina. Distribusi Cr pada berkas pengangkut dan periderm umbi, xilem batang, epidermis dan trikoma daun dijumpai pada tanaman G. pseudochina yang diberi perlakuan Cr6+, sedangkan distribusi Cr pada periderm umbi, kortek batang, serta epidermis dan parenkim daun, dijumpai pada tanaman G. pseudochina yang diberi perlakuan Cr3+. Gheju et al. (2009), melaporkan distribusi dan akumulasi Cr di dalam akar > batang > daun pada tanaman Zea mays yang diberi perlakuan Cr 6+. Peran ligand dalam proses detoksifikasi Cr telah dilaporkan antara lain fitokhelatin pada Brassica juncea dan Vigna radiata (Diwan et al., 2010), metallothionin pada Sorghum bicolor (Shanker et al., 2005), serta senyawa thiol dan glutathion pada Oryza sativa (Dubey et al., 2010). Perbedaan respon sistem antioksidan pada kultivar yang toleran dan sensitif terhadap cekaman Cr juga telah dilaporkan (Yildiz et al., 2012; Samantaray, 2002). Yildiz et al. (2012), melaporkan kandungan prolin dan aktivitas enzim antioksidatif (SOD, POD, APX dan CAT) pada daun kultivar Hordeum vulgare yang toleran terhadap cekaman Cr, meningkat lebih besar dibandingkan kultivar yang sensitif. Samantary (2002), melaporkan aktivitas enzim antioksidatif (CAT, SOD dan peroksidase) pada kultivar Vigna radiata yang sensitif terhadap cekaman Cr, meningkat lebih besar dibandingkan kultivar yang toleran. Shanker & Pathmanabhan (2004) dan Malmir (2011), melaporkan peningkatan kandungan antioksidan (asam askorbat dan glutathion/GSH) dan aktivitas enzim antioksidatif (SOD, DHAR, GR, CAT, APX dan MDHAR) pada daun dan akar tanaman Sorghum bicolor yang mendapat cekaman Cr6+ dan Cr3+. Pada penelitian ini dievaluasi dan diseleksi kemampuan 8 toleransi 12 varietas sorgum yang ada di Indonesia, terhadap 4 bentuk senyawa Cr (CrCl3, KCr(SO4)2, K2CrO4 dan K2 Cr2O7). Dalam penelitian ini juga dikaji reaksi transformasi secara oksidasi Cr 3+ menjadi Cr6+ atau reduksi Cr6+ menjadi Cr3+ di dalam organ tanaman. Kajian peran glutathion reduktase dan senyawa antioksidan dalam proses reduksi Cr6+ menjadi Cr3+ di dalam akar dan daun tanaman S. bicolor yang toleran dan sensitif juga menjadi penekanan dalam penelitian ini yang membedakan dengan penelitian yang telah ada. Selain itu, seleksi 12 kultivar sorgum menggunakan dasar nilai Stress Tolerance Index (STI), konsentrasi Cr dan kemampuan mentransformasi Cr belum pernah dilakukan dan dilaporkan. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah tentang aspek fisiologis, anatomis, dan biokimia dari mekanisme toleransi tanaman khususnya sorgum terhadap cekaman Cr, serta dapat memberikan informasi ilmiah tentang komponen di dalam sel (enzim maupun non enzim) yang dapat mendetoksifikasi Cr6+ menjadi Cr 3+, melalui proses reduksi. Dengan diketahuinya respon toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman logam berat Cr diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah untuk pengembangan sifat ketahanan terhadap cekaman toksisitas Cr pada berbagai jenis tanaman lain. Selain itu, dengan diketahuinya sifat toleransi dan kemampuan akumulasi Cr dari kultivar sorgum toleran, diharapkan kultivar tersebut dapat dikembangkan sebagai agen fitoremediasi lingkungan yang tercemar logam berat khususnya Cr. 9 10