12 HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas Imago C. formicarius Jantan dan Betina C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana dan mati menunjukkan ciri-ciri kaku dan seluruh bagian tubuh ditumbuhi miselia berwarna putih (Gambar 6). Cendawan tersebut muncul pada hari 3-6 setelah inkubasi C. formicarius jantan maupun betina yang telah mati. Pada umumya kematian serangga terjadi pada hari ke-4 setelah perlakuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tanada & Kaya (1993) dan Inglis et al. (2001) bahwa perkecambahan konidia tergantung pada kelembaban, suhu, cahaya, dan nutrisi, sehingga memungkinkan miselia B. bassiana untuk dapat keluar dari tubuh C. formicarius. Gambar 6 C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana, A) tampak dari bagian ventral, B) tampak dari bagian dorsal (Gambar diperbesar dari ukuran aslinya). Kecepatan infeksi cendawan dalam mematikan C. formicarius dipengaruhi oleh tingkat kerapatan konidia, semakin rapat konidia yang diaplikasikan maka semakin cepat cendawan menginfeksi dan mematikan C. formicarius (Tabel 1 ,Gambar 7). 13 Persentase mortalitas C. formicarius pada hari ke-9 setelah perlakuan cendawan B. bassiana. Tabel 1 Rata-rata mortalitas ± SD (%)1 Jantan Betina 2.22 ± 3.85c 2.22 ± 3.85c Kerapatan konidia/ml 0 105 1 11.11 ± 10.18c 11.11 ± 13.87bc 10 6 19.99 ± 11.54bc 15.55 ± 10.18bc 107 37.78 ± 15.39ab 35.55 ± 13.87ab 108 44.44 ± 15.39a 44.44 ± 16.77a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan dengan taraf nyata 5%. Mortalitas tertinggi pada imago C. formicarius jantan didapat pada kerapatan konidia 108/ml sebesar 44.44%. Mortalitas tertinggi pada imago C. formicarius betina juga didapat pada kerapatan konidia 108/ml sebesar 44.44%. Hasil yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang cukup besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Bari (2006) yang memperoleh mortalitas hampir mencapai 100% dengan menggunakan kerapatan konidia yang sama; diduga telah terjadi penurunan virulensi cendawan selama kurun waktu lima tahun dalam penyimpanan. Penurunan ini diperkuat oleh penelitian Faishol (2011) yang menunjukkan mortalitas setara (hampir mencapai 50% pada kerapatan konidia 108/ml) dengan yang telah diperoleh. Menurut Capinera (1998) B. bassiana mampu menyebabkan kematian yang besar pada kondisi kelembaban yang tinggi dan kepadatan C. formicarius yang juga tinggi. mortalitas (%) 50 40 jantan 30 20 betina 10 0 0 5 6 7 log kerapatan (konidia/ml) 8 Gambar 7 Persentase mortalitas C. formicarius pada hari ke-9 setelah perlakuan dengan menggunakan cendawan B. bassiana. 14 Selama 10 hari pengamatan, mortalitas serangga terlihat meningkat. Peningkatan mortalitas yang ditunjukkan dengan kemiringan garis regresi berlangsung lambat pada kerapatan konidia 105-106/ml, tetapi berlangsung cepat pada kerapatan konidia 107-108/ml. Pola ini berlangsung sama baik pada serangga jantan (Gambar 8) maupun pada serangga betina (Gambar 9). Pada tiap kerapatan konidia, baik untuk serangga jantan maupun betina secara umum diperoleh garis regresi dengan nilai R ≥ 91%, kecuali untuk serangga betina pada kerapatan konidia 107/ml (R = 79.2%). Data ini menunjukkan bahwa dalam percobaan, infektifitas cendawan terhadap serangga bekerja sesuai dengan kerapatan konidia yang digunakan. Dari segi aplikasi praktis, tampak bahwa kerapatan konidia 108/ml yang paling layak digunakan untuk keperluan pengendalian, karena lebih cepat mematikan serangga sasaran. kerapatan konidia 107/ml kerapatan konidia 108 /ml 60 50 40 30 20 10 0 -10 1 2 3 4 5 6 kematian (%) kematian (%) y = 5,993x - 12,29 R= 94,9 % 7 8 9 10 60 50 40 30 20 10 0 -10 y = 5,212x - 10,66 R= 90,6 % 1 2 waktu(hari pengamatan) kerapatan konidia 106/ml kerapatan konidia 105/ml 60 kematian (%) kematian (%) 50 40 y = 2,154x - 0,294 R = 97,4 % 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 waktu (hari pengamatan) 8 9 10 3 4 5 6 7 8 9 10 waktu (hari pengamatan) 60 50 40 30 20 10 0 -10 y = 1,252x - 1,331 R = 91,9 % 1 2 3 4 5 6 7 8 waktu (hari pengamatan) Gambar 8 Mortalitas C. formicarius jantan yang terinfeksi cendawan B. bassiana selama 10 hari pengamatan. 9 10 15 kerapatan konidia 107/ml kerapatan konidia 108 /ml 60 50 50 40 kematian (%) kematian (%) 60 y = 5,831x - 8,296 R= 93,7 % 30 20 10 0 40 y = 4,31x - 10,81 R= 79,2% 30 20 10 0 -10 1 2 3 4 5 6 7 8 -10 9 10 1 2 waktu (hari pengamatan) 60 50 50 40 40 kematian (%) kematian (%) 5 6 7 8 9 10 kerapatan konidia 105/ml 60 y = 2,249x - 5,037 R= 91,7% 20 4 waktu (hari pengamatan) kerapatan konidia 106 /ml 30 3 10 0 y = 1,495x - 2,221 %R= 93,1 30 20 10 0 -10 1 2 3 4 5 6 7 8 waktu (hari pengamatan) 9 10 -10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 waktu(hari pengamatan) Gambar 9 Mortalitas C. formicarius betina yang terinfeksi cendawan B. bassiana selama 10 hari pengamatan. Pengaruh Infeksi Cendawan Terhadap Jumlah Keturunan Dalam penelitian ini keperidian yang meliputi jumlah telur yang dihasilkan tidak diamati, tetapi pengamatan hanya dilakukan terhadap telur yang menetas dan berhasil berkembang menjadi imago. C. formicarius betina yang terinfeksi oleh B. bassiana masih mampu untuk meletakkan telur pada permukaan 16 umbi dan menghasilkan keturunan (imago baru yang muncul dari dalam umbi) setelah 10 hari pengamatan mortalitas (Tabel 2). Tabel 2 Total serangga turunan yang muncul setelah dilakukan aplikasi terhadap imago betina. 45 Jumlah imago yang hidup hari ke-10 44 Jumlah turunan yang muncul (imago) 1 105 45 38 2 106 45 36 2 10 7 45 26 1 108 45 20 1 Kerapatan konidia/ml Jumlah imago awal 0 Total serangga turunan yang muncul tertinggi didapat pada kerapatan konidia 105 dan 106 /ml sebanyak 2 turunan dengan jumlah imago yang hidup pada hari ke-10 pengamatan berturut-turut sebanyak 38 dan 36 imago. Dari 44 serangga kontrol juga hanya didapatkan 1 imago baru. Kalshoven (1981) menjelaskan bahwa imago betina dewasa bisa bertelur ± 2 butir dan jumlahnya bisa mencapai 200 butir telur. Selain itu Capinera (1998) juga mengatakan bahwa di laboratorium, setiap ekor kumbang betina mampu meletakkan telur 122–250 butir. Diduga faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah turunan yang muncul adalah karena telur yang tidak dibuahi. Dalam penyiapan serangga percobaan, serangga imago yang muncul pada malam hari langsung dilakukan pemisahan antara jantan dan betina pada hari berikutnya. Waktu yang tersedia untuk melakukan kopulasi mungkin terlalu singkat, sehingga peluang terjadinya pembuahan juga rendah. Faktor lainnya adalah keadaan umbi yang digunakan sebagai tempat meletakkan telur mengering sehingga larva yang baru muncul tidak dapat mendapatkan makanan yang memadai sehingga mati. Kerentanan Imago C. formicarius Jantan dan Betina terhadap Cendawan Lethal concentration (LC) adalah nilai yang menunjukkan jumlah racun per satuan berat yang dapat mematikan populasi hewan yang digunakan dalam percobaan (Prijono 1985). Dalam pengujian menggunakan imago C. formicarius 17 jantan diperoleh hasil LC50 sebesar 1.1 x 109 konidia/ml dan LC95 sebesar 8.6 x 1014 konidia/ml sedangkan untuk imago betina diperoleh hasil LC50 sebesar 1.6 x 109 konidia/ml dan LC95 sebesar 1.2 x 1017 konidia/ml, pada 9 hari setelah perlakuan (Tabel 3). Tabel 3 Nilai LC dan LT imago jantan dan betina C.formicarius LC LT (kerapatan konidia/ml) (hari) Jenis Kelamin 50 95 50 95 Jantan 1.1 x 109 8.6 x 1014 9.9 28.7 Betina 1.6 x 109 1.2 x 1017 11.1 59.7 Keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen ditentukan oleh konsentrasi cendawan yang diaplikasikan (Hall 1980), yaitu kerapatan konidia dalam setiap volume air. Penentuan kerapatan konidia yang efektif berhubungan dengan kebutuhan cendawan sebagai bioinsektisida per unit area. Di samping itu virulensi cendawan yang digunakan juga menentukan kecepatan pengendalian hama; artinya semakin virulen cendawan yang digunakan akan semakin cepat mematikan hama (Gambar 10). Imago Betina 100 100 80 60 40 20 0 y = 11,8x-1,1 kematian (%) kematian (%) Imago Jantan 80 y = 12,0 x - 3,3 60 40 20 0 5 6 7 8 9 10 log kerapatan (konidia/ml) 5 6 7 8 9 10 log Kerapatan (konidia/ml) Gambar 10 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas C. formicarius jantan dan betina akibat perlakuan cendawan B. bassiana pada hari ke-9 setelah perlakuan. 18 Lethal Time (LT) adalah waktu yang diperlukan untuk mematikan populasi hewan uji pada dosis atau kosentrasi tertentu (Prijono 1985). Imago C. formicarius jantan memiliki nilai LT50 pada kerapatan konidia 108/ml sebesar 9.9 hari dan LT95 sebesar 28 hari. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan kematian atau mortalitas 50% dibutuhkan waktu selama 9.9 hari dan kematian 95% dibutuhkan waktu selama 28 hari (Tabel 3). Imago C. formicarius betina memiliki nilai LT50 sebesar 11.1 hari dan LT95 sebesar 59.7 hari. Dalam penelitian ini untuk dapat mematikan C. formicarius betina cendawan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingan untuk mematikan C. formicaius jantan. Waktu yang lama dalam mematikan imago C. formicarius baik jantan maupun betina dikarenakan penurunan virulensi cendawan akibat terlalu lama dibiakan dalam media. Soenartiningsih et al. (1999) mengungkapkan bahwa cendawan B. bassiana yang disimpan pada suhu kamar selama 3 bulan menyebabkan penurunan virulensi. A kematian (%) 90 70 50 log 8 30 probit 10 -10 kematian (%) B 90 70 50 30 10 -10 log 8 probit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 waktu (hari pengamatan) Gambar 11 Hubungan antara waktu dengan mortalitas C. formicarius Jantan (A), dan Betina (B) pada kerapatan konidia 108/ml. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kerentanan antara imago C. formicarius jantan dan betina, baik ditinjau dari persentase mortalitas maupun waktu sampai terjadinya mortalitas (Gambar 11 dan Tabel 3).