KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA DAN UJI TOKSISITAS BUBUK Cu-TURUNAN KLOROFIL (Cu-Chlorophyllin) DAUN MURBEI (Morus alba L.) SEBAGAI PROTOTIPE BAHAN SUPLEMEN MAKANAN RISTI ROSMIATI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRACT RISTI ROSMIATI. Physico-Chemical Characteristics and Toxicity Test of CopperChlorophyll Derivative Powder (Cu-Chlorophyllin) from Mulberry Leaf (Morus Alba L.) as Prototype Material for Food Supplement. Supervised by CLARA M. KUSHARTO and NUNUK M. JANUWATI. Chlorophyll and its derivatives have some benefits for improving health. Recently they have been promoted as one of food supplement. Chlorophyll has an unstable nature and easily transformed into the derivated form when exposed by light, oxygen, heat, and chemical degradation. Therefore it is necessary to do the process of adding mineral such as Cu to form Cu-Chlorophyll derivatives to make it more stable. Source of chlorophyll that is used is mulberry leaves (Morus alba L.), Kanva varieties with chlorophyll content of 844 ppm. This study aims to analyze the physico-chemical characteristics and toxicity of Cu-Chlorophyllin powder, also to analyze the antioxidant activity and alcohol residue of the elected Cu-Chlorophyllin powders. This research was conducted in May to November 2010. The toxicity test used Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) method and Artemia salina Leach as bioindicator. Toxicity levels determined by the value of lethal concentration (LC50). If the LC50 value is more than 1000 ppm, the powder substance is not toxic to Artemia salina Leach. Antioxidant activity was determined by the ability of compound to scavenge the long-lived free radicals 1,1 diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Alcohol residue was analyzed by gas chromatography. The result of this research showed that the elected CuChlorophyllin powder obtained by adding of 0.002 mol copper, which yield CuChlorophyllin content was 31.14 mg/g and value of LC50 was 2347.93 ppm, therefore it was not toxic to Artemia salina Leach. It has an antioxidant activity at 47.07% (106.64 mg vitamin C/100 g) and no alcohol content which considered as halal products. Keywords: Chlorophyll, copper, Morus alba L., toxicity RINGKASAN RISTI ROSMIATI. Karakteristik Fisiko-Kimia dan Uji Toksisitas Bubuk CuTurunan Klorofil (Cu-Chlorophyllin) Daun Murbei (Morus Alba L.) Sebagai Prototipe Bahan Suplemen Makanan. Dibimbing oleh CLARA M. KUSHARTO dan NUNUK M. JANUWATI Klorofil dan beberapa turunannya memiliki manfaat untuk meningkatkan kesehatan, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai suplemen makanan (Hendler & Rorvik 2001; Prangdimurti 2007; Limantara 2009). Klorofil memiliki sifat labil dan mudah berubah menjadi bentuk turunannya jika terkena cahaya, panas, oksigen dan degradasi kimia (Gross 1991). Oleh sebab itu perlu dilakukan proses penambahan Cu sehingga membentuk Cu-turunan klorofil yang lebih stabil (Hendry & Houghton 1996). Sumber klorofil yang digunakan adalah daun murbei (Morus alba L.) varietas Kanva dengan kandungan klorofil sebanyak 844 ppm (Kusharto et al 2008). Budidaya tanaman murbei di Indonesia telah lama dilakukan, khususnya untuk pakan ulat sutera. Namun peternakan ulat sutera umumnya baru menghasilkan produk berupa kokon sebagai bahan baku produksi benang sutera yang harga jualnya relatif rendah. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis karakteristik fisiko-kimia dan uji toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) daun murbei (Morus alba L.) sebagai prototipe bahan suplemen makanan. Tahapan penelitian diantaranya pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil yang mengacu pada penelitian Nurdin et al (2009) dan Kandiana (2010) yang dimodifikasi; analisis karakteristik fisiko-kimia (rendemen, kelarutan, warna, kadar air, pH kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin), uji toksisitas metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), serta analisis aktivitas antioksidan metode DPPH dan residu alkohol menggunakan kromatografi gas. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu penambahan Cu-asetat. Peubah respon yang diamati adalah rendemen, kelarutan, kadar air, pH, kadar Cu total, kandungan Cu-Chlorophyllin; serta toksisitas yang dinyatakan dengan nilai LC50. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan Microsof Excell for Windows, kemudian dianalisis menggunakan program SPSS System for Windows v 17.0. Data hasil analisis diuji secara statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA), apabila terdapat pengaruh yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Nilai LC50 diperoleh dari hasil uji toksisitas metode BSLT yang diolah secara statistik menggunakan Probit Analysis. Bahan dasar pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil adalah daun murbei varietas Kanva. Hal ini karena daun murbei varietas Kanva kandungan klorofilnya lebih tinggi yaitu sebesar 844 ppm (Kusharto et al 2008) dibandingkan daun murbei varietas Multicaulis (682 ppm), Lembang (420 ppm) dan Cathayana (324 ppm) (Nurdin et al 2009). Daun murbei yang digunakan dalam penelitian ini adalah helai daun keenam ke bawah dihitung dari pucuk yang merupakan produk samping dari budi daya ulat sutera dan dipanen sebelum matahari terbit. Klorofil merupakan senyawa yang larut dalam pelarut organik (Gross 1991), maka dipilih alkohol karena relatif lebih aman dibanding pelarut lain dalam pembuatan produk pangan. Proses ekstraksi dilakukan di ruangan gelap atau redup karena klorofil sangat peka terhadap cahaya (Gross 1991). Daun murbei yang telah dicuci dan ditiriskan kemudian diblender dengan menambahkan pelarut etanol 96% selama 3 menit. Daun murbei yang telah dihaluskan disaring menggunakan kain saring 60 mesh. Proses ekstraksi diulangi sampai klorofil dari daun murbei terekstrak secara sempurna yang ditandai dengan warna etanol yang tetap bening ketika ditambahkan ke dalam ampas daun murbei. Proses ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak tiga kali. Pembentukan turunan klorofil yaitu pheophytin dilakukan dengan cara mengasamkan ekstrak klorofil dengan menambahkan asam mineral encer yaitu HCl 4 N ke dalam ekstrak klorofil daun murbei, sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi coklat zaitun (olive brown) (Marquez 2005). Penurunan pH dilakukan secara bertahap dan tetap diaduk sampai terbentuk warna kecoklatan sebagai indikator. Pheophytin dengan warna coklat zaitun yang stabil dalam penelitian ini diperoleh setelah mereaksikan larutan selama dua jam pada suhu ruang. Stabilitas klorofil dapat dicapai apabila Mg diganti dengan Cu. Pemilihan Cu sebagai logam pengompleks karena tingkat stabilitas kompleks Cu dengan cincin porfirin klorofil lebih tinggi dibandingkan Mg (Cheng et al 1992 diacu dalam Alsuhendra 2004) dan Cu merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan tubuh (Anderson 2004 & Almatsier 2009). Turunan klorofil yang disubstitusi dengan Cu, tidak peka terhadap cahaya dan tidak terjadi dekomposisi dengan adanya asam mineral. Menurut La Borde dan Von Elbe (1994) diacu dalam Alsuhendra (2004) ion logam hanya bereaksi dengan turunan klorofil, sehingga penambahan jumlah Cu disesuaikan dengan jumlah turunan klorofil. Konsentrasi Cu yang ditambahkan diantaranya 0; 0,001; 0,002; 0,004; 0,006; 0,008 mol. Penentuan konsentrasi ini berdasarkan perhitungan dari penelitian pendahuluan, dengan cara menghitung total padatan ekstrak klorofil yang diasumsikan sebagai jumlah klorofil yang terdapat dalam larutan ekstrak klorofil tersebut. Selanjutnya total padatan klorofil dikonversi ke dalam bentuk pheophytin maka dapat diperkirakan berat Cu yang dibutuhkan. Cu yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cu-asetat. Cu asetat pada berbagai perlakuan terlebih dahulu dilarutkan dalam 10 ml akuades agar Cu asetat mudah terlarut dan bereaksi dengan larutan pheophytin. Ekstrak turunan klorofil yang telah ditambahkan Cu dinaikkan pH-nya mencapai 8,5 dengan menambahkan NaOH 4 N. Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup selama 24 jam pada suhu ruang dan terlindung dari cahaya serta diaduk menggunakan magnetic stirrer. Produk akhir sebagai bahan baku suplemen makanan yang diinginkan adalah bentuk bubuk, maka ekstrak harus dikeringkan menggunakan spray dryer. Oleh karena itu perlu ditambah pengisi untuk mengikat ekstrak. Bahan pengisi yang digunakan adalah maltodekstrin 3%. Karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil yang dianalisis adalah rendemen, kelarutan, warna, kadar air, pH, kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin. Rendemen dan kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil secara berurutan berkisar antara 14,91%-16,14% (bb) dan 96%-98,12% (bk). Berdasarkan hasil analisis warna menggunakan Colour Chart RHS (The Royal Horticultural Society), warna bubuk klorofil alami (penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol) adalah yellow, sedangkan bubuk Cu-turunan klorofil pada perlakuan yang lainnya adalah yellow-green. Kadar air dan pH bubuk Cu-turunan klorofil secara berurutan berkisar antara 3,39%-5,98% (bb) dan 5,26–7,49. Kadar Cu total bubuk Cu turunan klorofil berkisar antara 0 -8,57 mg/g dan kandungan Cu-Chlorophyllin berkisar antara 0 - 91,97 mg/g (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen, pH, kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan dan kadar air. Kadar Cu Total dan Kandungan Cu-Chlorophyllin digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih. Penentuan kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil terpilih mengacu pada peraturan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 yang menyatakan bahwa batas maksimal jumlah Cu yang diizinkan terdapat dalam produk suplemen makanan adalah 3 mg/hari (BPOM RI 2005) yang diasumsikan sebagai kadar Cu total yang terdapat dalam setiap gram bubuk Cu-turunan klorofil (Kandiana 2010). Setelah itu bubuk Cuturunan klorofil tersebut dipilih berdasarkan kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi diantara semua perlakuan. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa dalam 1 gram bubuk Cuturunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001 mol dan 0,002 mol kandungan Cu totalnya adalah 0 mg; 1,13 mg dan 2,85 mg (bb), secara berurutan, telah memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 (BPOM RI 2005). Penambahan Cu-asetat yang menghasilkan kadar CuChlorophyllin tertinggi adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cuasetat 0,008 mol yaitu 91.97 mg (bb), namun kandungan Cu totalnya sebesar 8.57 mg (bb). Hasil ini tidak memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 (BPOM RI 2005). Kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi diantara bubuk Cu-turunan klorofil yang memenuhi persyaratan tersebut adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol yaitu 31.14 mg (bb). Berdasarkan parameter kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin tersebut, bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,002 mol. Berdasarkan hasil uji toksisitas diketahui bahwa bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu asetat sebesar 0; 0,001; 0,002; 0,004 mol tidak mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia Salina Leach. karena LC50>1000 ppm. Nilai LC50 pada bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu asetat sebesar 0,006 dan 0,008 mol mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia salina Leach (LC50<1000 ppm). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat pengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai LC50. Analisis aktivitas antioksidan dan residu alkohol dilakukan terhadap bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih. Penentuan ini berdasarkan hasil analisis kadar Cu total yang sesuai dengan persyaratan BPOM RI (2005), kandungan CuChlorophyllin tertinggi diantara bubuk yang memenuhi persyaratan BPOM RI (2005) dan uji toksisitas akut dengan metode BSLT (Meyer et al 1982). Berdasarkan ketiga parameter tersebut bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu asetat 0,002 mol. Bubuk terpilih tersebut memiliki aktivitas antioksidan sebesar 47,07 % yang berarti komponen antioksidan yang terkandung didalamnya mampu mereduksi 47,07% radikal bebas yang mengoksidasinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap gram bubuk Cu-turunan klorofil tersebut mampu mereduksi DPPH sebesar 18,51 mg. Besarnya aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih kemudian disetarakan dengan kemampuan vitamin C yang dinyatakan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity) yaitu sebesar 106,64 mg vitamin C/100 g. Bubuk Cu-turunan klorofil menggunakan alkohol (etanol 96%) sebagai pelarut, sehingga perlu dilakukan analisis residu alkohol. Kadar alkohol tersebut dianalisis menggunakan kromatografi gas. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih sebesar 0%. Hasil ini dapat dijadikan pertimbangan untuk menilai kehalalan bubuk Cu-turunan klorofil. Hal ini diduga karena spray dryer mampu mengubah larutan menjadi serbuk dengan baik. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA DAN UJI TOKSISITAS BUBUK Cu-TURUNAN KLOROFIL (Cu-Chlorophyllin) DAUN MURBEI (Morus alba L.) SEBAGAI PROTOTIPE BAHAN SUPLEMEN MAKANAN RISTI ROSMIATI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 Judul Skripsi : Karakteristik Fisiko-Kimia dan Uji Toksisitas Bubuk CuTurunan Klorofil (Cu-Chlorophyllin) Daun Murbei (Morus Alba L.) sebagai Prototipe Bahan Suplemen Makanan Nama Mahasiswa : Risti Rosmiati NIM : I14063190 Disetujui Dosen Pembimbing I Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M.Sc NIP. 19510719 198403 2 001 Dosen Pembimbing II Ir. Nunuk M. Januwati, MS APU NIP. 19480101 198406 2 001 Diketahui Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001 Tanggal Lulus : KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Atas berkat izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Fisiko-Kimia dan Uji Toksisitas Bubuk Cu-Turunan Klorofil (Cu-Chlorophyllin) Daun Murbei (Morus Alba L.) sebagai Prototipe Bahan Suplemen Makanan”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga hendak mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini yaitu: 1. Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M.Sc dan Ir. Nunuk M. Januwati, MS APU selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan pembelajaran, pengarahan, saran, kritik, dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir 2. Dr. Rimbawan selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji serta memberikan masukan bagi penulis 3. Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menimba ilmu di Departemen Gizi Masyarakat ini 4. Bapak Dedi Kusnadi dan Ibu Mimi selaku orang tua yang selalu memberikan doa, dukungan dan limpahan kasih sayang 5. Tantan Rustandi yang selalu menjadi kakak terbaik 6. Leli, Lela, Azril, teh Nur dan semua saudara yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis merasa beruntung memiliki kalian 7. Pak Mashudi atas saran, bantuan dan dukungan selama 7 bulan penulis melakukan penelitian di laboratorium 8. Teman-teman Koplag (Komunitas Peneliti Laboratorium Gizi), para pembahas seminar, Mbak Nunung, Mbak Dian serta para laboran yang telah banyak membantu dan memberikan masukan 9. Teman-teman kost ”Pondok Dewi” (Okta, Ida, Dianita, Siti, Tiwik, Rini, Wahyu, Mei, Ionk) atas kebersamanaan kita selama di IPB 10. Teman-teman seperjuangan GM 43 atas kekompakan, kerjasama, suka, duka selama menuntut ilmu gizi di IPB ini 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari masih ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Maret 2011 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi, 5 Mei 1988. Penulis merupakan putri kedua dari Bapak Dedi Kusnadi dan Ibu Mimi. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Purabaya II (tahun 2001), SMPN 1 Purabaya (tahun 2004), dan SMAN 3 Sukabumi (tahun 2006). Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah satu tahun mengikuti Program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima sebagai mahasiswi Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama masa kuliah penulis pernah menjadi staf Departemen Kominfo BEM FEMA IPB (2007-2008), FORSIA FEMA IPB (2007-2008), HIMAGIZI IPB (2008-2009); bendahara Departemen Kominfo HIMAGIZI IPB (2007-2008) dan BEM FEMA IPB (2008-2009); Sekretaris Kegiatan Pelatihan Jurnalistik (Bonjour) tahun 2008 dan 2009; serta menjadi panitia kegiatan diantaranya Lomba Seni ”Cookies” BEM KM IPB (2006), Masa Perkenalan Mahasiswa Baru ”Agraris 44” (2007), Masa Perkenalan Departemen GM (2008), Pelatihan Oraganoleptik HIMAGIZI IPB (2008), Funny Fair (2009), Seminar Kasih GM 43 IPB (2010), Program Lifeskills Perempuan dan Lansia di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor (2010-2011); Program Lifeskills untuk Warga Usia Lanjut (Wulan) dan Perempuan di Lingkungan Kampus IPB Darmaga Kabupaten Bogor (2010-2011). Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan tahun 2008 dan menjadi finalis lomba iklan layanan masyarakat (poster) PIMNAS tahun 2009. Selain itu penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) tahun 2009 di Desa Sukaresmi, Tamansari Bogor serta Internship bidang Dietetik di RS Karya Bhakti Bogor tahun 2010. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI................................................................................................ xi DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv PENDAHULUAN......................................................................................... 1 Latar Belakang....................................................................................... Tujuan.................................................................................................... Kegunaan............................................................................................... 1 2 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3 Murbei (Morus alba L.) ........................................................................... Daun Murbei ................................................................................... Klorofil dan Turunannya ......................................................................... Manfaat Klorofil bagi Kesehatan...................................................... Cu-Turunan Klorofil ................................................................................ Manfaat Cu (Tembaga) bagi Tubuh................................................. Cu-turunan Klorofil .......................................................................... Uji Toksisitas.......................................................................................... Metode Uji BSLT ............................................................................. Suplemen Makanan ............................................................................... 3 3 4 8 8 8 10 12 12 13 METODE PENELITIAN............................................................................... 15 Desain, Waktu dan Tempat .................................................................... Bahan dan Alat....................................................................................... Tahapan Penelitian ................................................................................ Pembuatan bubuk Cu turunan klorofil daun murbei ......................... Analisis karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu turunan Klorofil............. Uji toksisitas bubuk Cu turunan Klorofil ........................................... Analisis aktivitas antioksidan dan kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih .................................................................................. Rancangan Percobaan........................................................................... Pengolahan dan Analisis Data ............................................................... 15 15 15 16 19 20 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 25 Proses pembuatan bubuk Cu turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) ........... Karakteristik Fisiko-Kimia ....................................................................... Karakteristik Fisik ............................................................................ Karakteristik Kimia........................................................................... Hasil Analisis Toksisitas ........................................................................ Aktivitas Antioksidan dan Kadar Alkohol................................................. Aktivitas Antioksidan ....................................................................... Kadar Alkohol.................................................................................. 25 31 31 33 35 36 36 38 KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 40 Kesimpulan ............................................................................................ Saran ..................................................................................................... 40 41 21 23 24 Halaman DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 42 LAMPIRAN ................................................................................................. 47 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Kandungan klorofil berbagai daun tumbuhan ................................ 4 Tabel 2 Karakter fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil ............................. 10 Tabel 3 Nilai uji proksimat, serat makanan dan beta-karoten bubuk Cuturunan klorofil daun cincau hijau dan daun murbei....................... 11 Tabel 4 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil............. 31 Tabel 5 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil........... 33 Tabel 6 Hasil uji toksisitas (LC50) bubuk Cu-Turunan Klorofil...................... 35 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Struktur kimia klorofil beserta turunannya (Ferruzzi & Blasklee 2006) ........................................................................................ 7 Gambar 2 Diagram alir pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei ...................................................................................... 18 Gambar 3 Kurva Cu standar...................................................................... 20 Gambar 4 Kurva standar Vitamin C setelah direaksikan dengan DPPH .... 22 Gambar 5 Daun murbei varietas Kanva di Teaching Farm Sutera Alam, University Farm IPB.................................................................. 25 Gambar 4 Bubuk Cu-Turunan Klorofil pada beberapa konsentrasi Cu ...... 30 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Prosedur analisis karakteristik fisik......................................... 48 Lampiran 2 Prosedur analisis karakteristik kimia....................................... 56 Lampiran 3 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil ....... 57 Lampiran 4 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil..... 58 Lampiran 5 Nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil........................................ 61 Lampiran 6 Cara perhitungan aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih ......................................................................... 62 Lampiran 7 Kromatogram kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih 64 Lampiran 8 Dokumentasi proses pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil.... 65 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Klorofil merupakan zat warna hijau alami yang umumnya terdapat dalam daun sehingga sering disebut zat hijau daun (Gross 1991). Hasil penelitian Kumar et al. (2004) menunjukkan bahwa klorofil dan beberapa turunannya memiliki kemampuan antioksidatif baik secara in vitro maupun in vivo. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Marquez et al. (2005) dan Ferruzzi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa klorofil dan turunannya memiliki kemampuan antioksidan dan antimutagenik serta antikanker (Breinholt et al. 1995; Hasegawa et al. 1995; Keller et al. 1996; Tassetti et al. 1997; Barder et al. 2006). Klorofil dan turunannya dapat dimanfaatkan sebagai pewarna makanan dan suplemen makanan (Hendler & Rorvik 2001; Prangdimurti 2007; Limantara 2009). Karakteristik klorofil yang penting adalah ketidakstabilan secara kimia, seperti peka terhadap cahaya, panas, oksigen dan degradasi kimia (Gross 1991). Oleh karena itu, untuk memperoleh klorofil yang stabil perlu penanganan khusus, seperti membentuk kompleks turunan klorofil dengan Cu (Hendry & Houghton 1996). Ferruzi et al. (2002) menyatakan bahwa Cu-Chlorophyllin memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibanding turunan klorofil alami. Selain itu, Cu merupakan salah satu zat gizi mikro essensial yang berfungsi sebagai bagian dari enzim dalam tubuh (Almatsier 2009). Ketersediaan sumber-sumber klorofil di Indonesia sangat besar mengingat kondisi geografisnya. Negara tropis seperti Indonesia memiliki kekayaan flora yang melimpah termasuk flora yang mengandung bahan aktif tertentu yang dapat digunakan sebagai obat ataupun suplemen makanan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2001) menyatakan bahwa sembilan puluh persen dari spesies tumbuhan yang berada di Asia memiliki khasiat sebagai obat. Hampir 80% tumbuhan tersebut telah dimanfaatkan penduduk lokal sebagai obat-obatan tradisional secara empiris. Menurut Kusharto et al. (2008) daun murbei (Morus alba L.) varietas Kanva termasuk daun yang mengandung klorofil relatif tinggi yaitu sebesar 844 ppm. Berdasarkan penelitian Yadav et al. (2008) daun murbei dapat meredakan gejala gelisah (anxiety). Hahm et al. (2008) melakukan penelitian mengenai manfaat daun murbei yang dapat menurunkan tekanan darah sistol dan diastol. Penelitian dilakukan terhadap tikus dan hasilnya signifikan. Selain itu daun murbei juga 2 dapat mengurangi perkembangan lesi aterosklerosis pada tikus dengan cara meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi (Enkhma et al. 2008). Budidaya tanaman murbei di Indonesia telah lama dilakukan, khususnya untuk pakan ulat sutera. Namun peternakan ulat sutera pada umumnya baru menghasilkan produk berupa kokon sebagai bahan baku produksi benang sutera yang harga jualnya relatif rendah. Berdasarkan uraian tersebut, dirasa perlu membuat produk bubuk Cu-turunan klorofil dengan memanfaatkan bagian daun murbei yang tidak terpakai untuk pakan ulat sutera serta dilakukan uji toksisitas sebagai salah satu tahapan analisis keamanan pangan. Tujuan Tujuan Umum Menganalisis karakteristik fisiko-kimia dan toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) daun murbei sebagai prototipe bahan suplemen makanan. Tujuan Khusus 1. Mempelajari pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei; 2. Menganalisis karakteristik fisik (rendemen, kelarutan dan warna) serta karakteristik kimia (kadar air, pH, kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin) bubuk Cu-turunan klorofil; 3. Menganalisis toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin); 4. Menganalisis aktivitas antioksidan dan kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih. Kegunaan Produk yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi, medis, farmasi dan industri pangan sebagai alternatif bahan suplemen makanan. Selain itu produk diharapkan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat dan nilai ekonomis dari hasil pertanian terutama daun murbei 3 TINJAUAN PUSTAKA Murbei (Morus alba L.) Tanaman murbei berasal dari Cina, tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 m diatas permukaan laut (dpl) dan memerlukan cukup sinar matahari. Tanaman murbei berbentuk perdu, tingginya mencapai 5–6 m. Di Indonesia terdapat sekitar 100 varietas murbei. Beberapa varietas tanaman murbei yang tumbuh dan berkembang dengan baik di Jawa Barat diantaranya murbei varietas Kanva-2 (400-1200 dpl), Cathayana (200-500 dpl), Multicaulis (700-1200 dpl), Lembang (200-500 dpl) (Sunanto 1997). Berdasarkan Systema Nature 2000 (Brands 1989) tanaman murbei termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Urticalis, famili Moraceae, genus Morus dan species Morus alba L. Daun Murbei Tanaman murbei berdaun tunggal dan terletak pada cabang spiral. Tulang daun berada di bagian bawah dan terlihat jelas. Bentuk dan ukuran daun bermacam-macam, tergantung jenis dan varietasnya. Murbei varietas Kanva mempunyai daun berbentuk jantung, ujung runcing, pangkal daun rata dan tepi daun bergerigi runcing tumpul. Warna daun hijau tua, susunan tulang daun menyirip dengan tekstur permukaan atas daun kasap dan bawah daun halus. Tipe daun tunggal dengan indeks P/L daun 1,27 dan panjang tangkai daun ratarata 2,40 cm. Daun murbei rasanya pahit (Pudjiono & Septina 2008). Daun murbei yang selama ini digunakan sebagai pakan dalam budidaya ulat sutera memiliki khasiat sebagai obat. Daun murbei dapat menurunkan glukosa darah, bersifat diuretik dan menurunkan tekanan darah (Sianghal et al. 2001). Daun murbei juga dapat meredakan gejala gelisah (Yadav et al. 2008). Hahm et al. (2008) melakukan penelitian mengenai manfaat daun murbei yang dapat menurunkan tekanan darah sistol dan diastol. Penelitian dilakukan terhadap tikus dan hasilnya signifikan. Selain itu daun murbei juga dapat mengurangi perkembangan lesi aterosklerosis pada tikus dengan cara meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi (Enkhma et al. 2008). Kandungan klorofil daun murbei varietas Kanva adalah 844 ppm (Kusharto et al. 2008). Kandungan klorofil daun murbei varietas ini paling tinggi dibandingkan verietas Multicaulis (682 ppm), Lembang (420 ppm), dan Cathayana (324 ppm). Daun murbei mengandung air sebesar 74,43%, protein sebesar 7,63%, lemak sebesar 0,59%, abu sebesar 2,56% dan karbohidrat 4 sebesar 8,45%. Selain itu kandungan serat kasar daun murbei varietas ini sebesar 6,34% (Nurdin et al. 2009) Klorofil dan Turunannya Menurut Harbone (1987) klorofil merupakan katalisator dalam proses fotosintesis yang memiliki peranan penting dan berada di alam sebagai pigmen hijau dalam semua jaringan tumbuhan yang berfotosintesis. Gross (1991) menjelaskan bahwa klorofil berfungsi menangkap energi cahaya untuk mengubah karbondioksida menjadi karbohidrat. Karbohidrat dibentuk dalam tumbuhan yang berklorofil melalui reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari yang disebut sebagai proses fotosintesis (Winarno 2008). Klorofil a dan klorofil b terdapat pada semua tumbuhan hijau dengan perbandingan 3:1 pada tumbuhan tinggi. Kondisi pertumbuhan dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi perbandingan tersebut (Gross 1991). Menurut Sweetman (2005) berat molekul klorofil a adalah 893,5 dan klorofil b adalah 907,51. Klorofil a dan b terdapat dalam tumbuhan, ganggang dan bakteri, sedangkan klorofil c, d dan e terdapat dalam ganggang (Hendry & Houghton 1996). No 1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 Tabel 1 Kandungan klorofil berbagai daun tumbuhan Kadar Klorofil (ppm) daun Jenis Sayuran a b Total Rasio a:b Daun singkonga 2853,2 1114,3 3967,5 2,6:1 Daun katuka 1688,1 513,9 2202,0 3,3:1 Daun kangkunga 1493,5 519,9 2013,5 2,9:1 Daun bayama 1205,0 255,9 1460,9 4,7:1 Kacang panjanga 169,1 55,5 224,6 3,0:1 Buncisa 57,0 18,5 75,4 3,1:1 Seladaa 482,7 148,6 631,3 3,2:1 Daun kemangia 842,7 479,6 1322,7 1,8:1 Daun poh-pohana 1495,4 587,1 2082,5 2,5:1 Cincau hijaub 1300 408,7 1708,8 3,2:1 b Daun murbei var. Kanva 651,7 192,5 844,2 3,4:1 Daun pegaganb 612,5 219,0 831,5 2,8:1 Sumber: a Alsuhendra (2004), b Kusharto et al. (2008) Jenis dan kandungan klorofil dalam jaringan tanaman tergantung pada spesies, varietas dan tempat tumbuh. Klorofil dapat ditemukan pada daun dan permukaan batang yaitu di dalam spongi di bawah kutikula. Oleh sebab itu sayuran lebih banyak mengandung klorofil dibandingkan dengan buah-buahan yang telah matang (Alsuhendra 2004). 5 Klorofil secara struktural merupakan porfirin yang mengandung cincin dasar tetrapirol yang berikatan dengan ion Mg2+. Cincin dasar isosiklik yang kelima berada dekat dengan cincin pirol ketiga. Substituen asam propionat diesterifikasi pada cincin keempat oleh gugus fitol, suatu diterpen alkohol (C20H39OH) yang bersifat hidrofobik. Jika gugus ini dihilangkan dari struktur intinya maka klorofil berubah menjadi turunannya yang bersifat hidrofilik. Klorofil merupakan ester dan larut dalam pelarut organik (Gross 1991). Kelabilan yang ekstrim merupakan karakteristik penting dari klorofil. Klorofil sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen, degradasi kimia yang meliputi reaksi feofitinisasi, reaksi pembentukan chlorophyllide dan reaksi oksidasi. Klorofil dapat berubah menjadi turunannya baik secara in vivo maupun in vitro (Gross 1991). Reaksi feofitinisasi adalah reaksi pembentukan pheophytin yang berwarna hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena ion Mg di pusat molekul klorofil terlepas dan diganti oleh ion H. Denaturasi protein pelindung dalam kloroplas mengakibatkan ion magnesium mudah terlepas dan diganti oleh ion hidrogen membentuk pheophytin. Reaksi pembentukan chlorophyllide terjadi pada hampir semua tumbuhan hijau dimana terdapat enzim klorofilase yang dapat menghidrolisis gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk chlorophyllide (Gross 1991). Reaksi oksidasi dibagi menjadi reaksi oksidasi non enzimatik dan oksidasi enzimatik. Reaksi oksidasi non enzimatik terjadi karena pemanasan dan selama penyimpanan. Kecepatan degradasi oksidatif meningkat sejalan dengan lamanya pertambahan waktu blansir dan penyimpanan. Pengaruh blansir tampak dalam dua hal. Pertama, blansir menginaktivasi enzim-enzim yang membantu degradasi klorofil, sehingga klorofil lebih stabil. Kedua, blansir dalam waktu yang lebih lama, meskipun menginaktivasi enzim, tetapi merangsang reaksi oksidasi yang mengakibatkan kehilangan klorofil. Waktu blansir yang paling optimum adalah 45 detik sampai 1 menit, dimana aktivasi enzim dan peransang reaksi oksidasi dihambat. Reaksi oksidasi enzimatik terjadi dengan adanya enzim lipoksigenase (linoleat oksidoreduktase) yang terdapat disebagian besar sayuran dan buahbuahan. Enzim lipoksigenasi diidentifikasi sebagai enzim yang memberikan pengaruh pemucatan pada klorofil a dan klorofil b dengan kehadiran lemak dan oksigen (Eskin 1979 diacu dalam Prangdimurti 2007). 6 Turunan klorofil diantaranya: 1. Chlorophyllide, reaksi pembentukan chlorophyllide terjadi pada hampir semua tumbuhan hijau dimana terdapat enzim klorofilase yang dapat menghidrolisis gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk chlorophyllide. Chlorophyllide merupakan senyawa berwarna hijau mempunyai sifat spektral yang sama dengan klorofil tetapi lebih larut dalam air. Chlorophyllide juga dapat kehilangan ion magnesium yang diganti dengan ion hidrogen membentuk pheophorbide. Klorofil dapat dengan mudah dihirolisis menghasilkan chlorophyllide dan fitol pada kondisi asam maupun basa. 2. Pheophytin a dan b merupakan turunan klorofil bebas magnesium, dimana pheophytin a dan b secara mudah diperolah dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Reaksi terjadi 1 sampai 2 menit menggunakan HCl dengan konsentrasi 13%. Kecepatan terbentuknya pheophytin merupakan reaksi ordo pertama terhadap konsentrasi asam. Warna hijau dari sayuran dengan cepat berubah dari hijau terang menjadi hjau kecoklatan karena pemanasan dan penyimpanan. Asam-asam yang terbentuk adalah asam asetat dan asam pirolidon karboksilat (Gross 1991). 3. Pheophorbide a dan b adalah klorofil terhidrolisis tanpa fitol (chlorophyllide) yang juga bebas Mg. Pheophorbide dihasilkan dari klorofil dengan suasana asam (HCl 30%) atau chlorophyllide yang diasamkan (Gross 1991) 4. Pyrochlorophyll, turunan pyro dari klorofil atau turunannya adalah senyawa yang kehilangan gugus karboksimetoksi (-COOCH3) pada C-10 dari cincin isosiklik, suatu gugus yang diganti oleh hidrogen. Klorofil a, methyl chlorophyllide a, pheophytin a atau methyl pheophorbide a bila dipanaskan pada 1000C menghasilkan turunan pyro oleh dekarbometoksilasi (Gross 1991) Menurut Gross (1991) klorofil a berwarna hijau kebiruan (blue-yellow) dan klorofil b berwarna hijau kekuningan (yellow-green). Warna hijau yang tampak pada klorofil dikarenakan klorofil menyerap secara kuat pada area merah dan biru pada spektrum tampak. Klorofil a bersifat kurang polar serta larut dalam alkohol, eter dan aseton sedangkan klorofil b bersifat lebih polar serta dalam keadaan murni sedikit larut dalam petroleum eter namun tidak larut dalam air. Klorofil b dan pheophytin b larut dalam alkohol, eter, aseton dan benzene, serta dalam keadaan murni tidak larut dalam petroleum eter dan air. Chlorophyllide dan pheophorbide tidak larut dalam pelarut organik tetapi larut air. Klorofil a dan 7 klorofil b bersifat fluoresen dalam larutan (Kusumaningsih 2003; Clydesdale et al. 1969 diacu dalam Nurdin 2009). Gambar 1 Struktur kimia klorofil beserta turunannya (Ferruzzi & Blakeslee 2006) Muchtadi (1992) menjelaskan bahwa protein dari senyawa kompleks pada sayuran yang mengandung klorofil akan mengalami denaturasi selama perebusan sehingga klorofil akan dibebaskan. Klorofil yang bebas tersebut sangat tidak stabil dan Mg2+ yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah digantikan oleh H+. Hal ini menyebabkan warna sayuran yang semula hijau berubah menjadi kecoklatan karena terbentuknya pheophytin (Ferruzzi & Schwartz 2001). Warna hijau terang (bright green) dari sayuran segar menunjukkan kualitas daun yang dipengaruhi oleh umur (aging), pH, panas, kompleks metal, oksidasi, enzim dan fermentasi. Semua faktor tersebut dapat mempengaruhi warna alami klorofil yaitu menyebabkan degradasi klorofil (Hutchings 1994). Perubahan warna inilah yang harus diperhatikan dalam mengolah produk-produk yang mengandung klorofil. Warna merupakan salah satu karakteristik penilaian pertama konsumen dalam membeli produk makanan yaitu 45% dari keseluruhan mutu makanan (Eskin 1979 diacu dalam Kandiana 2010). 8 Manfaat Klorofil bagi Kesehatan Hasil penelitian Kumar et al. (2004) menunjukkan bahwa klorofil dan beberapa turunannya memiliki kemampuan antioksidatif baik secara in vitro maupun in vivo. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Marquez et al. (2005) dan Ferruzzi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa klorofil dan turunannya memiliki kemampuan antioksidan dan antimutagenik. Kemampuan klorofil dan turunannya dimanfaatkan juga sebagai pewarna makanan, penghilang bau badan (Limantara 2009) dan antikanker (Breinholt et al. 1995; Hasegawa et al. 1995; Keller et al. 1996 & Tassetti et al. 1997; Barder et al. 2006). Klorofil dan turunannya seperti pheophytin, pyropheophytin, pheophorbide dan chlorophyllide telah menunjukkan antimutagenik secara in vitro melawan mutagen seperti 3-methylcholanthrene, N-methyl-N’-nitri-N’-nitrosoguanidine (MNNG) dan aflatoksin B1 (Dashwood et al. 1991). Klorofil dan chlorophyllin juga telah menunjukkan efek antikarsinogenik pada hewan coba, dalam hal ini dalam melawan karsinogen seperti alfatoksin B1 (Breinholt et al. 1995), 1,2 dimethylhydrazine (Robins & Nelson 1989) dan dibenzopyrene (Reddy et al. 1999). Mekanisme kerja antimutagenik dan antikarsinogenik dari klorofil dan chlorophyllin tidak diketahui, diduga sifat antioksidan dari klorofil atau chlorophyllin yang berperan disini. Kemungkinan lain adalah pembentukan kompleks antara mutagen atau karsinogen dengan klorofil atau chlorophyllin yang akan menginaktivasi mutagen atau karsinogen. Berdasarkan Physicians Desk Reference (PDR) for Nutritional Supplement klorofil dan chlorophyllin dapat dijadikan sebagai suplemen makanan (Hendler & Rorvik 2001). Cu-Turunan Klorofil Manfaat Cu (Tembaga) bagi Tubuh Cu atau tembaga merupakan salah satu zat gizi mikro essensial yang berfungsi sebagai bagian dari enzim dalam tubuh. Tembaga terlibat dalam pembentukan energi di dalam mitokondria melalui transport elektron protein. Tembaga yang berada dalam sel darah merah sebagian besar berbentuk metaloenzim superoksida dismutase yang berfungsi sebagai antioksidan serta membantu sintesis melanin dan katekolamin. Tembaga dalam seruloplasmin berperan pada proses oksidasi besi sebelum ditransportasikan ke dalam plasma (Anderson 2004). 9 Tembaga dalam enzim metaloprotein berperan pada proses sintesis protein kompleks jaringan kolagen di dalam kerangka tubuh dan pembuluh darah serta pada proses sintesis pembawa rangsangan saraf (neurotransmitter) seperti noradrenalin dan neuropeptida seperti ensefalin (Almatsier 2009). Beberapa enzim yang mengandung tembaga lainnya adalah tirosinase untuk memproduksi pigmen dalam epidermis, urikase pada metabolisme asam urat di dalam hati dan ginjal, lisis oksidase dalam kondensasi asam amino, amino oksidase pada plasma dan jaringan ikat, serta tiol oksidase dalam pembentukan ikatan disulfida (Garrow & James 1993). Orang dewasa mengandung tembaga sekitar 100 mg yang umumnya terikat terhadap sekitar 30 jenis enzim dan protein (Buttriss & Hughes 2000). Menurut Anderson (2004) defisiensi tembaga dikategorikan sebagai anemia, neutropenia dan kelainan skeletal terutama demineralisasi. Selain itu defisiensi tembaga diduga menyebabkan subperiosteal hemorrhage, depigmentasi rambut dan kulit. Namun belum ada bukti spesifik tentang defisiensi tembaga yang terjadi pada manusia. Penyakit Menkes yang merupakan kelainan genetik dapat menyebabkan defisiensi tembaga. Angka Kecukupan Gizi untuk tembaga belum ditentukan di Indonesia karena kekurangan tembaga karena makanan jarang terjadi. Jumlah tembaga yang aman dikonsumsi yang ditentukan oleh Amerika Serikat adalah sebesar 1,5-3 mg sehari (Almatsier 2009). Keputusan Kepala Badan pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.23.3644 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan menyebutkan bahwa batas maksimum Cu yang diizinkan terdapat dalam suplemen makanan sebanyak 3 mg/hari (BPOM RI 2005). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan UL-nya yaitu sebesar 10 mg/hari (Young et al. 2001). Nekrosis hati atau sekrosis hati merupakan akibat dari kelebihan tembaga secara kronis yang menumpuk di dalam hati. Kelebihan tembaga dapat terjadi karena konsumsi suplemen tembaga atau penggunaan alat memasak dari tembaga terutama pada saat memasak cairan bersifat asam. Konsumsi sebanyak 10-15 mg perhari dapat menyebabkan muntah dan diare (Almatsier 2009). Penyakit Wilson merupakan penyakit yang ditandai dengan akumulasi tembaga yang berlebih di dalam jaringan tubuh seperti mata sebagai hasil dari defisiensi genetik pada sintesis seruplasmin hati. Penyakit ini biasanya terjadi 10 pada orang yang melakukan diet vegetarian ketat karena sayuran dan buah sedikit sekali mengandung tembaga (Anderson 2004). Cu-Turunan Klorofil Logam Zn, Cu, Fe, Ni dan Co adalah logam yang biasa digunakan untuk membentuk kompleks turunan klorofil atau molekul porfirin. Namun yang umum digunakan dalam hubungannya dengan kesehatan adalah logam Zn dan Cu. Zn dan Cu bersama dengan kompleks cincin porfirin membentuk suatu ikatan kuat yang lebih tahan panas dan asam dibandingkan dengan klorofil asal. Beberapa penelitian yang menggunakan sayuran telah membuktikan hal tersebut (Canjura et al. 1999). Laborde dan Von elbe (1994) menyatakan bahwa ion logam tidak bereaksi dengan klorofil alami, namun hanya bereaksi dengan turunan klorofil. Berbagai penelitian in vitro menunjukkan bahwa klorofil dan turunannya dapat digunakan sebagai antikanker, antiimflamasi dan antioksidan. Hasil penelitian membuktikan bahwa Cu-chlorophyllin mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan klorofil alami (Marquez et al. 2005) dan turunan klorofil alami (Ferruzi et al. 2002). Hal ini menandakan pentingnya logam terikat dalam porfirin. Prangdimurti (2007) juga menyatakan bahwa ekstrak daun suji dengan kadar klorofil 0,082 mg/ml, klorofil suji dan Cu-Chlorophyllin dengan kadar klorofil semuanya setara 0,041 mg/ml mampu menghambat oksidasi LDL secara in vitro sebesar 54%, 40% dan 100% secara berturut-turut. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa Cu-Chlorophyllin memiliki aktivitas menahan oksidasi LDL yang lebih besar dibandingkan dengan klorofil alami. Hasil penelitian Nurdin (2009) memperkuat pernyataan tersebut dimana bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil sebanyak 16,7 mg/kg BB/hari lebih berpotensi mencegah pembentukan lesi aterosklerosis dibanding dengan klorofil alami maupun klorofil komersil. Karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil dari daun murbei varietas Kanva (Nurdin et al. 2009) dan daun cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) (Nurdin 2009 dan Kandiana 2010) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Karakter fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil Karakteristik Bubuk Cu-turunan klorofil Bubuk Cu-turunan klorofil daun cincau hijaua,b daun cincau hijauc Rendemen (%) 14,20 5,325 pH 7,64 6,275 6,48 Kelarutan (%) 98,04 93,44 62,99 Sumber: a Nurdin (2009), b Kandiana (2010), c Nurdin et al. (2009) 11 Selain itu Nurdin (2009) dan Nurdin et al. (2009) juga melakukan uji warna, analisis proksimat, analisis serat kasar dan kandungan beta karoten bubuk Cuturunan klorofil daun cincau hijau dan daun murbei. Uji warna dilakukan pada bubuk Cu-turunan klorofil sebelum dan sesudah dipanaskan. Tingkat kecerahan dan kekuningan relatif stabil, penurunan hanya terjadi pada tingkat kehijauan namun relatif kecil. Tabel 3 Nilai uji proksimat, serat makanan dan beta-karoten bubuk Cu-turunan klorofil daun cincau hijau dan daun murbei Bubuk Cu-turunan Bubuk Cu-turunan Jenis Analisis klorofil daun cincau klorofil daun murbeib a hijau Air (%) 6,93 6,35 Protein (%) 0,89 2,79 Lemak (%) 7,11 5,85 Abu (%) 2,63 2,26 Karbohidrat (%) 82,44 78,87 Serat kasar (%) 3,31 3,88 Beta-karoten (mg/100 g) 3,38 Sumber: a Nurdin (2009), b Nurdin et al. (2009) Nurdin et al. (2009) melakukan uji fitokimia terhadap bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei. Tanin, steroid dan glikosida merupakan zat fitokimia yang paling dominan (positif sangat kuat). Selain itu kandungan alkaloid, saponin dan flavonoidnya tergolong positif kuat sekali. Bubuk Cu-turunan klorofil ini juga mengandung sedikit (positif lemah) fenolik dan triterpenoid. Zat fitokimia memiliki potensi sebagai obat alternatif untuk meningkatkan derajat kesehatan. Alkaloid memiliki manfaat bagi tubuh untuk menghilangkan rasa sakit (analgesik), menurunkan tekanan darah dan antimalaria. Glikosida dapat dijadikan sebagai obat jantung, melancarkan buang air kecil, mengencerkan dahak dan prekursor hormon steroid. Manfaat saponin adalah menstimulasi jaringan tertentu seperti epitel hidung, bronkus, dan ginjal. Stimulasi pada ginjal diduga menimbulkan efek diuretika (Sirait 2007). Tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, anti peradangan dan antikanker. Tanin pada umumnya dimanfaatkan sebagai pengencang kulit dalam kosmetik (Yuliarti 2008). Sifat tanin dapat menciutkan dan mengendapkan protein dari larutan dengan membentuk senyawa yang tidak larut (Sirait 2007). Kandungan tanin dalam bubuk Cu-turunan klorofil juga menjadi nilai tambah tersendiri. Tanin dapat 12 digunakan untuk membunuh bakteri Stroptococcus pyogenes dan Pasteurella multicida secara in vitro (Siswantoro 2008). Uji Toksisitas Toksikologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari sifat-sifat racun zat kimia terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun, namun keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosisnya yaitu dosis kecil yang tidak berefek sama sekali atau dosis besar yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian (Darmansjah 1995). Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dari toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan dipergunakan harus diuji toksisitas dan keamanannya. Sebelum percobaan toksikologi dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan. Tujuan utama percobaan toksisitas akut adalah mencari efek toksik, sedangkan tujuan utama percobaan toksisitas kronik ialah menguji keamanan obat atau zat kimia. Menafsirkan keamanan obat atau zat kimia untuk manusia dapat dilakukan melalui serangkaian percobaan toksisitas terhadap hewan. Istilah menafsirkan ini digunakan, karena ekstrapolasi dari data hewan ke manusia tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa mempertimbangkan segala faktor perbedaan antara hewan dan manusia. Pendekatan penilaian keamanan obat atau zat kimia dapat dilakukan dengan tahapan berikut: (1) menentukan LD50; (2) melakukan percobaan toksisitas subakut dan kronik untuk menentukan no effect level; dan (3) melakukan percobaan karsinogenisitas, teratogenitas dan mutagenisitas yang merupakan bagian dari screening rutin mengenai keamanan (Darmansjah 1995). Metoda uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) BSLT merupakan salah satu metoda screening bahan yang berpotensi sebagai tanaman berkhasiat serta merupakan metode screening farmakologi awal yang relatif murah dan telah teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan 95% (Meyer et al. 1982). Metode ini menggunakan larva udang laut (Artemia salina Leach.) sebagai bioindikator. Larva udang laut merupakan organisme sederhana dari biota laut yang sangat kecil dan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap toksik (Parwati & Simanjuntak 1998; Carballo et al. 2002). Telurnya memiliki daya tahan hidup selama beberapa tahun dalam keadaan 13 kering. Telur udang dalam air laut akan menetas menjadi larva dalam waktu 2428 jam (Pujiati 2002). Bila bahan yang diuji memberikan efek toksik terhadap larva udang laut, maka hal itu merupakan indikasi awal dari efek farmakologi yang terkandung dalam bahan tersebut. Metode ini juga banyak digunakan dalam berbagai analisis biosistem seperti analisis terhadap residu pestisida, mikotoksin, polusi, senyawa turunan morfin, dan karsinogenik dari phorbol ester (Meyer et al. 1982). Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dapat diketahui dari jumlah kematian larva udang akibat pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam tumbuhan tertentu dari dosis yang telah ditentukan dengan melihat nilai LC50 (lethal concentration). Apabila nilai LC50 kurang dari 1000 ppm, ekstrak tumbuhan tersebut dikatakan toksik. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antikanker. Metode BSLT ini mempunyai keunggulan yaitu waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, praktis, tidak memerlukan teknik aseptis, tidak memerlukan perawatan khusus, menggunakan sampel relatif sedikit, tidak memerlukan serum hewan. Prinsip uji BSLT adalah mencari hubungan antara konsentrasi larutan fraksi atau ekstrak terhadap respon kematian larva udang (Meyer et al. 1982). Suplemen Makanan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI) mendefinisikan suplemen makanan sebagai produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi (BPOM RI 2005). Suplemen makanan berfungsi sebagai zat tambahan yang berguna untuk memperbaiki dan mengingkatkan daya tahan tubuh. Zat aktif yang dikandungnya hanya mempengaruhi struktur atau fungsi tubuh, tidak dapat mengobati atau mencegah suatu penyakit. Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk mengklaim suplemen sebagai obat (Sudarisman 1997; Winarno & Kartawidjajaputra 2007), namun suplemen makanan dapat mencantumkan klaim kesehatan pada labelnya (Winarno & Kartawidjajaputra 2007). Penggunaan produk suplemen dalam kebutuhan sehari-hari masih diperbincangkan oleh para ahli. Anjuran penggunaan suplemen hanya diberikan bila asupan zat gizi seseorang tidak mencukupi kebutuhannya (Loni 2001). 14 Peraturan Perundang-undangan dibidang Suplemen Makanan menyatakan bahwa suplemen makanan harus memiliki kriteria sebagai berikut: (a) Menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan serta standar dan persyaratan yang ditetapkan; (b) Kemanfaatan yang dinilai dari komposisi dan atau didukung oleh data pembuktian; (c) Diproduksi dengan menerapkan Cara Pembuatan yang Baik; (d) Penandaan yang harus mencantumkan informasi yang lengkap, obyektif, benar dan tidak menyesatkan; (e) Dalam bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, serbuk, granul, setengah padat dan cairan yang tidak dimaksud untuk pangan. Selain itu, suplemen makanan harus diproduksi dengan menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu sesuai dengan Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia atau standar lain yang diakui (BPOM RI 2005). Komposisi suplemen makanan merupakan susunan kualitatif dan kuantitatif bahan utama dalam suplemen makanan. BPOM RI telah menetapkan daftar batas maksimum per hari untuk penggunaan vitamin, mineral, asam amino dan bahan lain yang diizinkan serta bahan (tumbuhan, hewan, mineral) yang dilarang dalam suplemen makanan. Vitamin, mineral dan asam amino yang diizinkan terdapat dalam suplemen makanan diantaranya vitamin A, B1, B2,B3, B6, B12, D, E, C, K, beta karoten, biotin asam folat, besi, boron, fosfor, kalium, kalsium, kromium, magnesium, mangan, molibdium, selenium, tembaga, vanadium, iodium, zink, inositol, glutamine, glutation, karnitin, ko enzim Q 10. Kolin, larginin, leusin, lisin, metal sistein, taurin dan tirosin. Bahan lain yang diizinkan diantaranya bioflavonoid, citosan, fluor, glukosamin, kafein, kondroitin sulfat, metilsulfonilmetan dan silika (BPOM RI 2005). 15 METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilaksanakan pada MeiNovember 2010. Tempat yang digunakan ialah Laboratorium Analisis Kimia dan Makanan, Departemen Gizi Masyarakat - FEMA IPB; Laboratorium Kimia, Departemen Kimia - FMIPA IPB; Laboratorium Balai Besar Industri Agro, Cikaret Bogor; Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM – IPB, Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Cimanggu Bogor; dan Laboratorium Keamanan Pangan PT. Saraswanti Indo Genetech di Gedung Alumni IPB. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya daun murbei segar, akuades, etanol 96%, HCl 4 N, Cu2+ dalam bentuk Cu-asetat, NaOH 4 N, maltodekstrin, asam nitrat pekat, asam nitrat 1 N, H2O2 pekat, H2SO4 pekat, larva udang laut, air laut, methanol pa, vitamin C, air bebas ion, larutan DPPH, standar etanol, standar internal n-propanol dan akuabides. Peralatan yang digunakan diantaranya timbangan, timbangan analitik, blender, gunting, wadah-wadah plastik, kain saring halus (60 mesh), corong Buchner, pompa vakum, kertas saring Whatman no. 40 dan no. 42, pH meter, gelas piala berbagai ukuran, gelas takar, magnetic stirrer, homogenizer, aluminium foil, freezer, refrigerator, spray dryer, kantong plastik bening, The Royal Horticultural Society’s Colour Chart, labu takar 100 ml, labu takar 50 ml, penangas air, sentrifuse, tabung sentrifuse, corong penyaring, pipet volumetrik, labu Erlenmeyer 100 ml, Erlenmeyer 250 ml, AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) Shimadzu AA-7000, lampu Hollow Cathode untuk Cu, vial, pipet mikro, aerator, vortex, pipet tetes, shaker, tabung reaksi, spektrofotometer UV-Vis, kuvet, tabung tertutup, labu lemak, rotaporator, oven, botol semprot, desikator, cawan aluminium, sudip, pipet mikro, dan kromatografi gas Clarus 500. Tahapan penelitian Adapun tahapan penelitian diantaranya pembuatan, analisis karakteristik fisiko-kimia dan uji toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil, serta analisis aktivitas antioksidan dan analisis kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih. 16 Pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil dari daun murbei Ekstraksi dan penyiapan Cu-turunan klorofil dilakukan mengacu pada penelitian Nurdin et al. (2009) yang menggunakan Metode Tanucci dan von Elbe (1992) yang dimodifikasi. Daun murbei yang digunakan adalah daun murbei varietas Kanva yang diambil dari Teaching Farm Sutera Alam (TFSA) IPB di Desa Sukamantri. Bagian daun murbei yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun yang matang fisiologis dan merupakan produk samping dari budidaya ulat sutera. Helai daun yang dipilih adalah helai daun keenam ke bawah dihitung dari puncak dan dipanen sebelum matahari terbit. Kemudian daun murbei dicuci di bawah air mengalir, lalu dilap dan dikering-anginkan. Ketika akan digunakan daun dipotong 1-2 cm dengan gunting untuk memudahkan proses penghancuran. Proses ekstraksi klorofil dilakukan di dalam ruangan gelap. Sebanyak ± 200 gram potongan daun dihancurkan dengan blender menggunakan 800 ml etanol 96% selama 3 menit, secara terputus setiap 1 menit. Hancuran daun kemudian disaring dengan kain saring halus (60 mesh). Ekstraksi dilakukan berulang sampai didapatkan warna ampas yang putih. Lalu filtrat yang diperoleh disaring lagi dengan corong Buchner yang dibantu pompa vakum menggunakan kertas saring Whatman no. 40. Residu dicuci dengan 200 ml etanol 96% kemudian disaring lagi dengan corong Buchner. Filtrat diambil sebagai ekstrak kasar klorofil. Pembentukan turunan klorofil (pheophytin) dilakukan dengan cara mengasamkan ekstrak klorofil dengan menambahkan HCl 4 N hingga mencapai ekstrak berwarna coklat zaitun yang merupakan indikator Mg lepas dari klorofil (Marquez 2005). Penurunan pH dilakukan secara bertahap, dan tetap diaduk selama pereaksian, selanjutnya ditambahkan Cu. Penentuan jumlah Cu yang ditambahkan mengacu pada penelitian Kandiana (2010) yang mengasumsikan bahwa mol Cu mol Cu-pheophytin mol pheophytin dan reaksi berlangsung sempurna dengan persamaan reaksi sebagai berikut. Klorofil + HCl pheophytin + Cu turunan klorofil (pheophytin) Cu- pheophytin Penentuan mol Cu dalam penelitian ini sebagai berikut. Berat klorofil/liter = % total padatan klorofil x 1000 = 0,75615/100 x 1000 = 7,5615 g 17 Berat pheophytin = BM pheophytin /BM klorofil x berat klorofil = 871,21/893,5 x7,5615 g = 7,3729 mol pheophytin = Berat pheophytin /BM pheophytin = 7,3729/871,21 = 0,008 mol Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh 0,008 mol sebagai batas atas taraf jumlah Cu yang ditambahkan, sehingga taraf penambahan Cu adalah 0 mol; 0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol; 0,006 mol dan 0,008 mol. Cu yang ditambahkan dalam bentuk Cu-asetat [(CH3COO)2Cu.H2O] sebesar 0 mg; 199,64 mg; 399,28 mg; 799,56 mg; 1197,84 mg dan 1596,8 mg setiap 1 liter larutan. Cu-asetat yang telah ditentukan jumlahnya sesuai perlakuan terlebih dahulu dilarutkan dalam 10 ml akuades. Ekstrak turunan klorofil yang telah ditambahkan Cu2+ dinaikkan pH-nya mencapai 8,5 dengan menambahkan NaOH 4 N. Reaksi dilakukan di dalam tempat tertutup selama 24 jam pada suhu ruang dan terlindung dari cahaya serta diaduk menggunakan magnetic stirrer. Setelah reaksi berlangsung sempurna, ditandai dengan terbentuknya warna hijau cerah. Campuran tersebut ditambahkan maltodekstrin 3% (Alsuhendra 2004). Reaksi dilakukan selama 30 menit menggunakan homogenizer. Kecepatan homogenizer diatur pada skala F. Setelah reaksi selesai, campuran dimasukkan ke dalam freezer (-200 C) dan didiamkan selama semalam sebelum dikeringkan dengan pengering semprot (spray dryer). Setelah campuran kering, maka diperoleh bubuk Cu-turunan klorofil. 18 Daun murbei segar (200 g) - Diekstrak (etanol 96%) - Disaring Filtrat Ampas - Diekstrak (etanol 96%) - Disaring Disaring (Buchner) Filtrat Ekstrak Klorofil Maltodextrin 3% HCl 4 N Ampas Bubuk Klorofil Spray dryer Ekstrak Turunan Klorofil Cu-asetat 0 mol 0,001 mol 0,002 mol 0,004 mol 0,006 mol 0,008 mol NaOH 4 N Cu-Turunan Klorofil - Ditambah maltodextrin 3% Pengadukan (magnetic stirrer) Homogenizer 0 Spray dryer (suhu inlet 78 C, outlet 0 120 C) Bubuk Cu-Turunan Klorofil Gambar 2. Diagram alir pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei 19 Analisis karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil Analisis karakteristik fisik yang dilakukan diantaranya rendemen (AOAC 1995 yang dimodifikasi), kelarutan (Fardiaz et al. 1992) dan warna (RHS 2001). Prosedur disajikan pada Lampiran 1. Analisis karakteristik kimia yang dilakukan diantaranya kadar air (Apriyantono et al. 1989) dan pH (Apriyantono et al. 1989), prosedur disajikan dalam Lampiran 2, serta kadar Cu total dan Cu-Chlorophyllin (USPC 2006 yang dimodifikasi). a. Analisa kadar Cu bebas Untuk membuat larutan uji, timbang 500 mg yang dimasukkan ke dalam gelas piala lalu ditambahkan akuades 75 ml. Aduk hingga seluruh bubuk terlarut dengan cara menggoyangkan gelas piala. Tambahkan asam nitrat 1 N sampai pH 3, suspensi dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah akuades sampai 100 ml lalu dikocok. Suspensi tersebut di sentrifuse dan disaring dengan kertas saring Whatman no. 42. Filtrat diambil sebanyak 5 ml menggunakan pipet volumetrik ke dalam labu Erlenmeyer 100 ml kemudian ditambahkan 2 ml asam nitrat pekat dan didiamkan semalam. Kemudian filtrat dipanaskan secara hati-hati sampai asam nitrat menguap seluruhnya yang ditandai dengan warna uap berwarna putih. Selanjutnya filtrat diencerkan dengan akuades sampai 50 ml di dalam labu takar. Larutan yang telah diencerkan kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman no.42 ke dalam tabung reaksi tertutup. Selanjutnya larutan ditentukan konsentrasinya dengan menggunakan alat AAS (Atomic Aborption Spectrophotometer) Shimadzu AA-7000 pada 327,4 nm dengan flame: udara-Acetilene, lampu ”Hollow cathode” nomor 1, arus 8 mA, slit 0,02 mm dan Mode: BGC-D2. b. Analisa kadar Cu total Untuk membuat larutan uji, timbang 100 mg sampel yang dimasukkan ke labu Erlenmeyer, ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat, 1 ml asam nitrat pekat, 1 ml hidrogen peroksida pekat dan didiamkan semalam. Sampel kemudian dipanaskan sampai berwarna hijau jernih. (Catatan: Jika larutan berwarna coklat ditambah asam nitrat 0,5 ml sampai warna hijau). Larutan didinginkan lalu dipindah ke labu takar 50 ml, encerkan dengan akuades sampai 50 ml, lalu dikocok. Larutan yang telah diencerkan kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman no.42 ke dalam tabung reaksi tertutup. Kemudian larutan diukur konsentrasingan dengan menggunakan alat AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) Shimadzu AA-7000 pada 327,4 nm 20 dengan flame: udara-Acetilene, lampu ”Hollow cathode” nomor 1, arus 8 mA, slit 0,02 mm dan Mode: BGC-D2. 1.4 A b s o r b a n s i 1.2 1 y = 0.0601x + 0.028 R² = 0.9991 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 5 10 15 20 25 Konsentrasi Cu standar (ppm) Gambar 3 Kurva Cu standar Cara perhitungan kadar Cu bebas (ppm) dan Cu total (ppm) = (Abs. Sampel-Abs Blanko) x aliquot b a Berat Sampel Keterangan: Nilai a dan b diperoleh dari persamaan garis y = 0,060x + 0,028 (kurva Cu standar) c. Analisa kadar Cu yang terikat Cu terikat (ppm) = Cu total (ppm) – Cu bebas (ppm) = A (ppm) Cu terikat (mol) = A x 10-6 g Berat Atom Cu d. Menghitung kadar Cu-Chlorophyllin mol Cu terikat mol Cu-Chlorophyllin Cu-Chlorophyllin (mg/g) = Cu terikat (mol) x Berat Molekul Cu-Chlorophyllin Keterangan: BA Cu = 63,55; BM Cu-Chlorophyllin = 724,15 21 Uji toksisitas metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) Uji toksisitas metode BSLT mengacu pada metode Meyer et al. (1982). Telur udang ditetaskan dalam gelas piala berukuran 2 liter yang sudah berisi air laut dan dilengkapi aerator. Telur udang akan menetas menjadi larva udang dalam waktu 2 x 24 jam. Selanjutnya membuat larutan sampel stok, misalkan 2000 ppm. Setiap vial diisi 1 ml air laut yang berisi 10 ekor larva udang. Vial tersebut ditambahkan larutan sampel stok dan air laut yang mencapai 2 ml larutan sehingga konsentrasi larutan menjadi 10 ppm, 100 ppm, 500 ppm, 1000 ppm kemudian dibiarkan selama 24 jam. Jumlah larva udang yang mati dicatat dan data yang diperoleh diolah menggunakan probit analysis untuk mengetahui Lethal Concentration (LC50) dengan tingkat kepercayaan 95%. LC50 adalah konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian larva udang kira-kira 50%. Meyer et al. (1982) menyebutkan bahwa tingkat toksisitas suatu ekstrak mengikuti pedoman sebagai berikut: LC50 ≤ 30 ppm = sangat toksik 30 < LC50 ≤ 1000 ppm = toksik LC50 > 1000 ppm = tidak toksik Analisis Aktivitas Antioksidan dan Kadar Alkohol Bubuk Cu-turunan klorofil terpilih a. Analisis aktivitas antioksidan metode DPPH (1,1-diphenyl-2- picrylhydrazyl) Analisis aktivitas antioksidan ini mengacu pada metode Blois (1958) yang dimodifikasi. Sampel diambil sebanyak 2,5 gram dilarutkan dalam 25 ml methanol pa (murni). Campuran kemudian diaduk dengan menggunakan shaker selama 2 jam. Selanjutnya dipisahkan filtrat dan residu sampel menggunakan alat sentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Lakukan pemisahan filtrat dengan residu secara berulang sampai warna filtrat bening. Filtrat kemudian dipekatkan dengan alat rotaporator. Hasil dari pemekatan filtrat selanjutnya ditambahkan methanol pa hingga mencapai volume 5 ml. Filtrat yang telah melalui prosedur di atas kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 20 μl lalu ditambahkan larutan DPPH (1 mM sebanyak 1 ml dan ditambahkan air bebas ion sampai volume mencapai 5 ml. Kemudian diinkubasi pada suhu 370C atau suhu ruang selama 30 menit. Reaksi dilakukan di ruangan redup (gelap), selanjutnya serapannya diukur pada panjang gelombang 516 nm. Sebagai kontrol positif dan untuk 22 pembanding digunakan vitamin C (konsentrasi 0, 25, 50, 100, 200, 300, 400, 500, 750, 1000 ppm). Satuan aktivitas antioksidan dinyatakan dalam AEAC (Ascorbatic acid Equivalent Antioxidant Capacity). 100.00 90.00 A b s o r b a n s i 80.00 70.00 60.00 y = 4.2245x + 1.8925 R² = 0.9977 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0 5 10 15 20 25 Konsentrasi Vitamin C standar (ppm) Gambar 4 Kurva standar Vitamin C setelah direaksikan dengan DPPH Cara perhitungan aktivitas antioksidan Aktivitas antioksidan atau AAO (%) = (Abs. blanko – Abs. sampel) x 100% Abs. blanko Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC) (% AAO - b) Volume akhir AEAC (mg/ 100 g) = [ x Vol.yang ]x Berat100 a ditambahkan sampel Keterangan: Nilai a dan b diperoleh dari persamaan garis y = 4,224x + 1,892 b. Analisis Kadar Alkohol menggunakan Kromatografi Gas Metode analisis kadar alkohol ini mengacu pada metode USPC 2006, yang dimodifikasi. Kondisi alat kromatografi gas yang digunakan diantaranya menggunakan detektor flame-ionization serta memiliki suhu injektor 2100C, suhu detektor 2100C, suhu kolom awal 1200C, suhu akhir 2350C dan dipertahankan selama 5-10 menit. Gas helium digunakan sebagai gas pembawa tekanan 0.5 kg/cm2. 23 Persiapan sampel dan larutan standar Timbang 1-2 g sampel dimasukkan ke dalam labu lemak kemudian ditambahkan 150 ml akuades. Lakukan destilasi hingga hasil destilasi mencapai volume 90-95 ml yang ditampung dengan labu ukur 100 ml. Larutan sampel yang telah didestilasi diambil 5 ml menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, kemudian ditambahkan 5 ml npropanol dan ditera dengan akuabides. Larutan standar dibuat dengan cara menambahkan 5 ml etanol dan 5 ml n-propanol ke dalam labu takar 50 ml dan ditera dengan akuabides Penentuan kadar etanol (%) sampel Larutan sampel diambil 5 µL dan disuntikan ke dalam kolom melalui tempat injeksi kromatografi gas sampai diperoleh hasil kromatogram. Lakukan hal yang sama pada larutan standar. Hitung luas area larutan standar dan sampel dengan cara: Luas area = respon atau tinggi peak (µV) x waktu (detik) Kadar alkohol (%) = konsentrasi etanol faktor pengenceran sampel x luas area sampel luas area standar Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu penambahan Cu-asetat. Peubah respon yang diamati adalah rendemen, kelarutan, kadar air, pH, kadar Cu total, kandungan Cu-chlorophyllin; serta toksisitas yang dinyatakan dengan nilai LC50. Secara sistematis, bentuk umum dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut: Yij = μ + Ai + εij Yij : peubah respon akibat perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j μ. : nilai rata-rata umum Ai : pengaruh penambahan Cu-asetat pada taraf ke-i εij : galat unit percobaan akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i : banyak taraf tingkat penambahan Cu-asetat (i=0; 0,001; 0,002; 0,004; 0,006; 0,008) mol j : banyak ulangan (j=1, 2) 24 Pengolahan dan Analisis Data Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan Microsof Excell for Windows, kemudian dianalisis menggunakan program SPSS System for Windows v 17.0. Data hasil analisis diuji secara statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA), apabila hasilnya menunjukkan adanya pengaruh yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Nilai LC50 diperoleh dari hasil uji toksisitas metode BSLT yang diolah secara statistik menggunakan Probit Analysis. 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) Bahan dasar pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil, adalah daun murbei varietas Kanva. Hal ini karena daun murbei varietas Kanva kandungan klorofilnya lebih tinggi yaitu sebesar 844 ppm (Kusharto et al. 2008) dibandingkan dengan daun murbei varietas Multicaulis (682 ppm), Lembang (420 ppm) dan Cathayana (324 ppm) (Nurdin et al. 2009). Selain itu daun murbei memiliki khasiat kesehatan seperti menurunkan glukosa darah, bersifat diuretik dan menurunkan tekanan darah (Sianghal et al. 2001); meredakan gejala gelisah (Yadav et al. (2008); mengurangi perkembangan lesi aterosklerosis pada tikus dengan cara meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi (Enkhma et al. 2008); dan menurunkan tekanan darah sistol dan diastol (Hahm et al. 2008). Budidaya tanaman murbei di Indonesia telah lama dilakukan, khususnya untuk pakan ulat sutera. Namun peternakan ulat sutera hanya menghasilkan produk berupa kokon sebagai bahan baku benang sutera yang harga jualnya relatif rendah. Gambar 5 Daun murbei varietas Kanva di Teaching Farm Sutera Alam, University Fam IPB Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan klorofil. Klorofil merupakan senyawa yang larut 26 dalam pelarut organik (Gross 1991). Klorofil a larut dalam alkohol, eter, dan aseton. Klorofil a dalam keadaan murni agak sukar larut dalam petroleum eter dan tidak larut dalam air. Klorofil b dan pheophytin b larut dalam alkohol, eter, aseton, dan benzen. Klorofil b dan pheophytin b dalam keadaan murni sangat sukar larut dalam petroleum eter dan tidak larut dalam air (Cydesdale et al. 1969 diacu dalam Nurdin 2009). Oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih alkohol sebagai pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi, karena alkohol relatif lebih aman dibanding pelarut lain (dietil eter, aseton, methanol, petroleum eter) dalam pembuatan produk pangan yang akan dikonsumsi manusia (Mahmud 1994; Alsuhendra 2004). Menurut Mahmud (1994) proses ektraksi menggunakan pelarut etanol mampu memberikan kemurnian klorofil yang lebih baik dibandingkan dengan aseton dan air. Hal ini berkaitan dengan kemiripan sifat struktural etanol dengan klorofil sehingga klorofil lebih mudah larut dalam etanol. Untuk menghalangi aktivitas klorofilase, maka digunakan pelarut murni yang tidak diencerkan (Gross 1991). Oleh karena itu digunakan alkohol atau etanol 96% sebagai pelarut dalam proses ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan di ruangan gelap atau redup karena klorofil sangat peka terhadap cahaya (Gross 1991). Daun murbei yang telah dicuci dan ditiriskan kemudian diblender dengan menambahkan pelarut etanol 96% selama 3 menit secara terputus setiap 1 menit. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kerusakan klorofil. Daun murbei yang telah dihaluskan disaring menggunakan kain saring 60 mesh. Proses ekstraksi diulangi sampai klorofil dari daun murbei terekstrak secara sempurna yang ditandai dengan warna etanol yang tetap bening ketika ditambahkan ke dalam ampas daun murbei. Proses ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak tiga kali. Pembentukan turunan klorofil yaitu pheophytin dilakukan dengan cara mengasamkan ekstrak klorofil dengan menambahkan HCl 13% (Gross 1991) yang setara dengan HCl 4 N ke dalam ekstrak klorofil daun murbei, sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi coklat zaitun yang merupakan indikator Mg terlepas dari klorofil (Marquez et al. 2005). Penurunan pH dilakukan secara bertahap dan tetap diaduk selama pereaksian. Selama proses reaksi terjadi penggantian atom Mg pada klorofil dengan 2 atom H. Pheophytin dengan warna coklat zaitun yang stabil dalam penelitian ini diperoleh setelah mereaksikan larutan selama dua jam pada suhu ruang. Turunan klorofil berbentuk pheophytin ini tidak larut dalam air (Gross 1991). 27 Menurut Hendry dan Houghton (1996) turunan klorofil bebas logam seperti pheophytin dan pheophorbide dengan cincin siklopentanon akan teroksidasi bila terpapar cahaya. Stabilitas klorofil dapat dicapai apabila Mg diganti dengan Cu. Pemilihan Cu sebagai logam pengompleks karena tingkat stabilitas kompleks Cu dengan cincin porfirin klorofil lebih tinggi dibandingkan Mg (Cheng et al. 1992 diacu dalam Alsuhendra 2004) dan Cu merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan tubuh sebagai bagian dari enzim (Anderson 2004; Almatsier 2009). Cu terlibat dalam pembentukan energi di dalam mitokondria melalui transport elektron protein. Cu yang berada dalam sel darah merah sebagian besar berbentuk metaloenzim superoksida dismutase yang berfungsi sebagai antioksidan serta membantu sintesis melanin dan katekolamin. Cu dalam seruloplasmin berperan pada proses oksidasi besi sebelum ditransportasikan ke dalam plasma (Anderson 2004). Cu dalam enzim metaloprotein berperan pada proses sintesis protein kompleks jaringan kolagen di dalam kerangka tubuh dan pembuluh darah serta pada proses sintesis pembawa rangsangan saraf (neurotransmitter) seperti noradrenalin dan neuropeptida seperti ensefalin (Almatsier 2009). Oleh sebab itu penambahan Cu ke dalam turunan klorofil diduga tidak membahayakan kesehatan. Turunan klorofil yang berikatan dengan Cu, tidak peka terhadap cahaya dan tidak terjadi dekomposisi dengan adanya asam mineral (Sweetman 2005). Demikian juga disebutkan oleh Canjura et al. (1999) bahwa kompleks cincin porfirin klorofil dengan Cu membentuk suatu ikatan kuat, yang lebih tahan terhadap asam dan panas dibandingkan dengan klorofil asal (porfirin berikatan dengan Mg). Sebanyak 4 atom Nitrogen (N) pada cincin porfirin mampu membentuk kompleks atau khelat dengan ion Cu2+ pada molekul klorofil dan turunannya. Dua atom N melakukan ikatan kovalen dengan atom Cu non-ionik, sedangkan 2 atom lainnya melakukan ikatan kovalen koordinat melalui pembagian bersama satu pasang elektronnya dengan atom Cu. Hal ini membuat kompleks Cu-porfirin atau Cu-turunan klorofil yang terbentuk menjadi stabil. Aktivitas antioksidan kompleks Cu-turunan klorofil lebih tinggi dibanding klorofil alami (Marquez et al. 2005) dan turunan klorofil alami (Ferruzi et al. 2002; Marquez et al. 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan khelat logam dengan klorofil pada cincin porfirin. Selain itu Nurdin (2009) menyatakan bahwa alasan penambahan Cu pada ekstrak turunan klorofil adalah untuk mempertahankan kestabilan warna hijau klorofil serta meningkatkan kelarutan dan pH produk 28 bubuk yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan Gross (1991) yang menyatakan bahwa ikatan khelat Cu dengan turunan klorofil berwarna hijau cerah. Menurut La Borde dan Von Elbe (1994) dalam Alsuhendra (2004) ion logam hanya bereaksi dengan turunan klorofil, sehingga penambahan jumlah Cu disesuaikan dengan jumlah turunan klorofil. Konsentrasi Cu yang ditambahkan diantaranya 0 mol; 0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol; 0,006 mol; 0,008 mol. Garam Cu yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cu-asetat. Hal ini dikarenakan asam asetat (CH3COOH) merupakan asam lemah yang tidak bersifat korosif dan dikenal tubuh karena merupakan bahan organik serta reaksinya bersifat hidro dengan produk akhir H2o dan CO2. Selain itu jika ditinjau dari segi teknis dalam sebuah aplikasi untuk industri makanan, penggunakan Cu2+ terlalu mahal. Hal ini dapat berpengaruh terhadap biaya produksi bubuk Cuturunan klorofil. Cu-asetat pada berbagai perlakuan terlebih dahulu dilarutkan dalam 10 ml akuades agar Cu-asetat mudah terlarut dan bereaksi dengan larutan pheophytin. Reaksi ini menghasilkan Cu-pheophytin atau lebih dikenal dengan nama CuChlorophyllin (Hendry & Houghton 1996). Ekstrak turunan klorofil yang telah ditambahkan Cu2+ dinaikkan pH-nya mencapai 8,5 (Von Elbe 1992 diacu dalam Alsuhendra 2004 & Nurdin 2009) dengan cara menambahkan NaOH 4 N. Hal ini bertujuan untuk membuat Cu-Chlorophyllin menjadi larut dalam air karena fitil alkohol dan metal alhokol yang bersifat hidrofobik akan terlepas (Sweetman 2005). Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup selama 24 jam pada suhu ruang dan terlindung dari cahaya serta diaduk menggunakan magnetic stirrer. Alasan penggunaan waktu pereaksian selama 24 jam mengacu pada penelitian Petrovic et al. (2005) yang menyatakan bahwa periode waktu pembentukan kompleks klorofil dengan Cu berkisar antara 2 jam sampai 3 minggu. Kandiana (2010) melakukan penelitian serupa dengan mereaksikan Cu dengan turunan klorofil daun cincau hijau selama 2 jam, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah Cu bebas lebih besar dibandingkan Cu terikat yang membentuk Cu-Chlorophyllin. Oleh sebab itu dalam penelitian ini dipilih waktu 24 jam dengan tujuan menghasilkan Cu-Chlorophyllin yang lebih besar dibandingkan Cu bebas. Selain itu aspek teknis pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil juga menjadi pertimbangan dimana 24 jam dirasa masih memungkinkan untuk dilakukan dalam skala industri dibandingkan dengan periode pereaksian selama 3 minggu. 29 Produk akhir sebagai bahan baku suplemen makanan yang diinginkan adalah bentuk bubuk, maka ekstrak harus dikeringkan. Alat pengering yang digunakan adalah spray dryer. Hal ini dikarenakan proses pengeringan menggunakan spray dryer lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan menggunakan freeze dryer. Spray dryer mampu mengeringkan satu liter larutan dalam jangka waktu 40-60 menit, sedangkan freeze dryer memerlukan waktu 12 jam (Nurdin 2009). Jika ditinjau dari aspek teknis dalam skala industri penggunakan spray dryer ini lebih efisien. Waktu pengeringan yang lebih singkat dan performa bubuk Cu-turunan klorofil yang relatif bagus dapat diperoleh dengan cara menambahkan bahan pengisi pada larutan sebelum dikeringkan. Selain itu bahan pengisi juga digunakan untuk mengikat ekstrak. Hasil penelitian Bianca (1993) dalam Alsuhendra (2004) menunjukkan bahwa bahan pengisi dekstrin lebih baik dibandingkan gum arab dan CMC dilihat dari kelarutan bubuk yang dihasilkan. Hasil penelitian Alsuhendra (2004) menunjukkan bahwa penambahan dekstrin sebesar lebih dari 3% menghasilkan produk yang lebih baik dengan kelarutan tinggi, namun menurunkan konsentrasi Zn-turunan klorofil yang terdapat dalam bubuk. Oleh sebab itu dalam penelitian ini penambahan bahan pengisi ke dalam larutan Cu-turunan klorofil sebesar 3% (Alsuhendra 2004; Nurdin 2009; Nurdin et al. 2009 dan Kandiana 2010). Bahan pengisi yang digunakan adalah maltodekstrin yang merupakan salah satu jenis dekstrin yang biasa digunakan dalam produk makanan. Hal ini dikarenakan maltodekstrin mempunyai tingkat kelarutan lebih baik dalam air, sehingga dalam aplikasinya akan lebih luas. Maltodekstrin memiliki sifat kelarutan yang kurang baik dalam etanol. Untuk mendapatkan kelarutan maltodekstrin yang lebih baik maka ditambahkan akuades dengan perbandingan akuades dan etanol sebesar 3:7. Perbandingan ini diperoleh melalui percobaan pendahuluan dengan cara menambahkan akuades sedikit demi sedikit secara kuantitatif sampai maltodekstrin terlarut dengan baik. Hal ini akan membuat mobilisasi partikel dalam serbuk klorofil menjadi lebih merata sehingga menghasilkan warna yang merata dan tersalut dengan baik. Bubuk Cu-turunan klorofil yang diperoleh dari berbagai konsentrasi Cu pada penelitian ini menghasilkan performa bubuk yang baik. Bubuk Cuturunan klorofil daun murbei dapat dilihat pada Gambar 6. 30 0 mol Cu 0,001 mol Cu 0,002 mol Cu 0,004 mol Cu 0,006 mol Cu 0,008 mol Cu Gambar 6 Bubuk Cu-Turunan Klorofil pada beberapa konsentrasi Cu 31 Karakteristik Fisiko-Kimia Karakteristik Fisik Karakertistik fisik yang dianalisis dalam penelitian ini adalah rendemen, kelarutan dan warna yang ditunjukkan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil Penambahan Kelarutan Rendemen (%) Warna Cu-asetat (mol) (%) Yellow 2 D 0 97.30a 14,91a a b Yellow-Green 144 A 0.001 97.37 15,65 a b Yellow-Green 146 C 0.002 97.31 15,93 a b Yellow-Green 146 C 0.004 98.12 15,57 a b Yellow-Green 146 A 0.006 97.71 15,78 a b Yellow-Green 146 A 0.008 96.00 16,14 Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p = 0.05 Rendemen dihitung berdasarkan jumlah massa (gram) bubuk Cu-turunan klorofil (mengandung maltodektrin) yang diperoleh dibandingkan dengan berat daun murbei yang digunakan untuk membuat ekstrak klorofil dan berat pengisi (maltodektrin) yang ditambahkan. Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa rendemen bubuk Cu-turunan klorofil berkisar antara 14,91% - 16,14% (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen bubuk Cu-turunan klorofil. Bubuk Cu turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol atau disebut bubuk klorofil alami memiliki rendemen paling rendah yaitu sebesar 14,91% (bb). Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa rendemen bubuk klorofil alami berbeda nyata (p<0,05) dengan bubuk Cu-turunan klorofil pada berbagai perlakuan penambahan Cu-asetat lainnya. Hal ini diduga karena adanya pengaruh berat molekul Cu-asetat yang ditambahkan. Bubuk Cu-turunan klorofil pada perlakuan penambahan Cu-asetat 0,001 mol – 0,008 mol memiliki rendemen yang berkisar antara 15,57 % - 16,14% (bb). Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa rendemen pada semua perlakuan tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena unsur yang terlibat dalam semua perlakuan penambahan Cu sama kecuali jumlah Cu-asetat yang ditambahkan, namun perbedaan jumlah Cu-asetat yang ditambahkan pada setiap perlakuan relatif kecil. 32 Kelarutan menunjukkan bahwa banyaknya bagian dari suatu produk yang dapat larut dalam suatu pelarut dengan volume tertentu. Berdasarkan data pada Tabel 4 kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil berkisar antara 96% - 98,12% (bk). Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini secara keseluruhan masuk dalam kategori tinggi kelarutannya dalam air. Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil. Hal ini diduga karena perbedaan jumlah Cu-asetat yang ditambahkan relatif kecil. Kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan bubuk Cu-turunan klorofil yang dihasilkan dalam penelitian Nurdin et al. (2009) dan Kandiana (2010). Penelitian Nurdin et al. (2009) menghasilkan bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei dengan kelarutan 60,56%-62,99% (bk). Kandiana (2010) melakukan penelitian pembentukkan bubuk Cu-turunan klorofil daun cincau hijau dengan kelarutan berkisar antara 91,96%-94,42% (bk). Hal ini diduga karena waktu pereaksian Cu terhadap turunan klorofil dengan penambahan senyawa alkali dalam penelitian ini lebih lama dibandingkan penelitian Nurdin et al. (2009) dan Kandiana (2010). Semakin lama waktu pereaksian maka semakin banyak gugus fitil alkohol dan metal alkohol yang terpisah sehingga kelarutan bubuk Cu-Chlorophyllin dalam air semakin tinggi. Warna ditentukan menggunakan Colour Chart RHS (The Royal Horticultural Society) dan dianalisis secara deskriptif. RHS merupakan referensi standar untuk menentukan warna tanaman. Warna tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu hue, brightness dan saturation. Hue berfungsi membedakan jenis warna utama seperti hijau, merah, biru dan lain-lain. Brightness (tingkat kecerahan) merupakan jumlah total cahaya yang dipantulkan oleh warna tersebut atau seberapa banyak cahaya yang diterima oleh mata secara normal pada skala terang sampai gelap. Nilai brightness dalam metode Colour Chart RHS ini dinyatakan dengan skala angka 1 yang mewakili warna kuning (Yellow) sampai dengan 202 yang mewakili warna hitam (Black). Saturation atau intensity merupakan atribut yang membedakan kejernihan ataupun greyness sebuah warna yang ditentukan dengan 4 skala dari skala A yang mewakili intensitas warna paling gelap sampai skala D yang mewakili intensitas warna paling pudar (RHS 2001). Keterangan lengkap mengenai hue, brightness dan saturation serta contoh warna yang terdapat dalam Colour Chart RHS disajikan dalam Lampiran 1. 33 Berdasarkan data pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa warna bubuk klorofil alami adalah yellow dan warna bubuk Cu-turunan klorofil pada berbagai perlakuan lainnya adalah yellow-green. Tingkat kecerahan (brightness) bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,001 mol – 0,008 mol berkisar antara 144-146. Intensitas warna (saturation) bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol sampai 0,008 mol cenderung semakin gelap. Hal ini diduga karena peran Cu-asetat yang dapat mengembalikan warna hijau klorofil setelah Mg terlepas serta mempertahankan kestabilan warna hijau klorofil (Nurdin 2009). Karakteristik Kimia Karakertistik kimia yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kadar air, pH, kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin yang ditunjukkan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil Penambahan Kadar Air Cu-Chlorophyllin Cu Total pH Cu-asetat (mol) (mg/g) (%) (mg/g) 0 3.39a 5.26a 0a 0a a b a 0.001 3.86 7.21 1.13 12.68a 0.002 3.71a 7.46b 2.85b 31.14b 0.004 4.84a 7.24b 4.71c 50.94c a b d 0.006 5.40 7.49 7.51 80.99d 0.008 5.98a 7.43b 8.57d 91.97d Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p = 0.05 Kadar air atau susut pengeringan menunjukkan mutu dari suatu produk. Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kadar air berkisar antara 3.39%-5.98% (bb). Angka ini memenuhi persyaratan Kepmenkes No. 661/MENKES/SK/VII/1994 tentang persyaratan obat tradisional dalam bentuk serbuk yang menyatakan bahwa kadar air tidak boleh melebihi 10% (Kepmenkes 1994). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat tidak berpengaruh terhadap kadar air bubuk Cu-turunan klorofil. pH menunjukkan tingkat keasaman suatu produk. La Borde dan Von Elbe (1994) diacu dalam Alsuhendra (2004) menyatakan bahwa penambahan beberapa bahan yang bersifat alkali pada sayuran dapat mempertahankan warna hijau klorofil karena terjadinya kenaikan pH. Semakin tinggi pH maka stabilitas klorofil semakin tinggi. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa penambahan Cu 34 dalam bentuk Cu-asetat dan NaOH 4 N yang bersifat alkali mampu meningkatkan pH bubuk Cu-turunan klorofil sehingga stabilitasnya meningkat. Menurut Alsuhendra (2004) nilai pH produk yang tinggi menyebabkan warna hijau produk lebih dapat dipertahankan dibandingkan pada kondisi pH rendah. Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap pH bubuk Cu-turunan klorofil. Bubuk klorofil alami memiliki pH sebesar 5,26. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa pH bubuk klorofil alami berbeda nyata (p<0.05) dengan pH bubuk Cu-turunan klorofil pada semua perlakuan penambahan Cu-asetat lainnya. pH bubuk Cu-turunan klorofil pada perlakuan penambahan Cu-asetat sebesar 0,001 mol-0,008 mol berkisar antara 7,21-7,49. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada semua perlakuan penambahan Cu-asetat tersebut. Kadar Cu Total dan Kandungan Cu-Chlorophyllin digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih. Penentuan kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil terpilih mengacu pada peraturan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 yang menyatakan bahwa batas maksimal jumlah Cu yang diizinkan terdapat dalam produk suplemen makanan adalah 3 mg/hari (BPOM RI 2005) yang diasumsikan sebagai kadar Cu total yang terdapat dalam setiap gram bubuk Cu-turunan klorofil (Kandiana 2010). Selanjutnya bubuk Cu-turunan klorofil tersebut dipilih berdasarkan kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi diantara semua perlakuan. Berdasarkan data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah Cu-asetat yang ditambahkan maka kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin semakin meningkat. Kadar Cu total bubuk Cu turunan klorofil berkisar antara 1,13-8,57 mg/g (bb) dan kandungan Cu-Chlorophyllin berkisar antara 12,68-91,97 mg/g (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa dalam 1 gram bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001 mol dan 0,002 mol kandungan Cu totalnya adalah 0 mg; 1,13 mg dan 2,85 mg, secara berurutan, telah memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 (BPOM RI 2005). Angka ini masih berada di bawah Tolerable Upper Level Intake Cu yang mencapai 10 mg/hari (Young et al. 2001). 35 Penambahan Cu-asetat yang menghasilkan kadar Cu-Chlorophyllin tertinggi adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,008 mol yaitu 91.97 mg/g (bb), namun kandungan Cu totalnya sebesar 8.57 mg/g (bb). Hasil ini tidak memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 (BPOM RI 2005). Kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi diantara bubuk Cuturunan klorofil yang memenuhi persyaratan tersebut adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol yaitu 31.14 mg/g (bb). Berdasarkan parameter kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin tersebut, bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,002 mol. Hasil Analisis Toksisitas Analisis toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil dari beberapa perlakuan penambahan Cu-asetat menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). BSLT merupakan suatu metode yang menghitung respon kematian 50% larva udang yang dinyatakan dalam nilai Lethal Concentration (LC50) pada beberapa konsentrasi uji dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila nilai LC50 kurang dari 1000 ppm, maka ektrak tumbuhan yang diuji dikatakan toksik. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai anti kanker (Meyer et al. 1982). BSLT menggunakan larva udang laut sebagai bioindikator. Larva udang laut memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya. Zat dan senyawa asing yang ada di lingkungannya akan terserap ke dalam tubuh dengan cara difusi dan langsung mempengaruhi kehidupan larva. Larva udang yang sensitif ini akan mati apabila zat atau senyawa asing dalam larutan bersifat toksik (Parwati & Simanjuntak 1998; Carballo et al. 2002). Tabel 6 Hasil uji toksisitas (LC50) bubuk Cu-Turunan Klorofil Penambahan Cu-asetat (mol) LC50 (ppm) 0 0.001 0.002 0.004 0.006 0.008 1602,84ab 1419,65a 2347,93b 1276,84a 891,20a 763,11a Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p = 0.05 36 Hasil uji toksisitas dijadikan sebagai parameter untuk menentukan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih. Berdasarkan data pada Tabel 6 diketahui bahwa bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol tidak mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia salina Leach. karena LC50>1000 ppm (Meyer et al. 1982). Nilai LC50 pada bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,006 mol dan 0,008 mol mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia salina Leach. karena LC50<1000 ppm (Meyer et al. 1982). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhdap nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil. Berdasarkan parameter ini bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0; 0,001; 0,002; dan 0,004 mol. Menurut Darmansjah (1995) tahap uji toksisitas selanjutnya setelah metode BSLT adalah uji pra klinis dengan hewan coba yaitu uji toksisitas sub kronik dan kronik. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui efek buruk yang berpengaruh terhadap hewan coba, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan penggunakan untuk manusia mengenai efek buruk tersebut. Aktivitas Antioksidan dan Kadar Alkohol Analisis aktivitas antioksidan dan kadar alkohol hanya dilakukan terhadap bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih. Penentuan ini berdasarkan hasil analisis kadar Cu total yang mengacu pada persyaratan BPOM RI (2005), kandungan Cu-Chlorophyllin dan uji toksisitas metode BSLT dengan penentuan tingkatan toksisitas yang mengacu pada metode Meyer et al. (1982). Berdasarkan ketiga parameter tersebut bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cuturunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,002 mol. Aktivitas Antioksidan Ferruzzi et al. (2002) menguji kapasitas menangkap radikal bebas berbagai turunan klorofil dalam sistem in vitro. Klorofil yang kehilangan logamnya (yaitu Mg) pada pusat cincin porfirin akan menurun kapasitas antioksidannya. Hal ini disebabkan karena logam yang terkelat akan mengakibatkan lebih terkonsentrasinya densitas elektron di pusat cincin dan menjauhi kerangka porfirinnya, sehingga meningkatkan kemampuan mendonorkan elektron dari sistem porfirin yang terkonyugasi. Klorofil yang kehilangan gugus fitilnya menunjukkan peningkatan antioksidasi. Berdasarkan pernyataan tersebut 37 tampak bahwa kerangka porfirin dan keberadaan logam terkelat adalah 2 hal yang penting untuk kapasitas antioksidan. Kemampuan klorofil dan pheophytin dalam mendegradasi hidroperoksida, yaitu dengan hidroperoksida. cara menginkubasikannya Hasilnya menunjukkan dalam bahwa substrat keduanya metil tidak linoleat memiliki kemampuan mendegradasi hidroperoksida. Terjadinya reaksi antara klorofil dengan radikal lipid dapat diketahui dengan bantuan spektrum electron spin resonance (ESR). Kesimpulannya adalah struktur penting untuk aktivitas antioksidan klorofil ditemukan pada porfirin bukan pada pirol, fitol, logam maupun cincin isosiklik. Radikal -kation dari komponen porfirin merupakan senyawa yang memegang peranan dalam mekanisme antioksidan klorofil. Antioksidan pada umumnya berperan sebagai donor atom hidrogen kepada radikal bebas, sehingga dapat memutuskan rantai oksidasi (Endo et al. 1985). Mekanisme antioksidan yang dikemukakan oleh Endo et al.., (1985) adalah: ROO. + CHL ROO: (-)CHL.(+) ROO:(-)CHL.(+) + ROO. produk inaktif Klorofil bereaksi dengan radikal peroksi ROO. Yang dihasilkan pada tahap awal oksidasi minyak dan berubah menjadi radikal -kation. Radikal -kation dari klorofil ini berikatan dengan radikal peroksi bermuatan negatif dengan ikatan yang lemah, dan membentuk kompleks yang bersifat antara (intermediat). Kompleks ini kemudian bereaksi dengan radikal peroksi yang lain dan akhirnya menjadi tidak aktif. Kesimpulan yang diperoleh diantaranya: (1) efek antioksidatif klorofil adalah berasal dari struktur porfirinnya, (2) Mg dapat memperkuat aktivitas antioksidan klorofil hanya jika dalam bentuk terkelat, (3) klorofil mereduksi radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) (4) radikal -kation dihasilkan oleh klorofil jika klorofil dioksidasi dalam sistem metil linoleat. Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan bubuk Cu turunan klorofil terpilih adalah metode DPPH (1,1-diphenyl-2-pycrilhydrazil). Menurut Koleva et al. (2001) metode DPPH merupakan suatu metode kolorimetri yang sederhana, cepat dan mudah serta sensitif untuk memperkirakan aktivitas antiradikal. Selain itu metode DPPH menggunakan jumlah sampel yang sedikit dengan waktu analisis yang singkat. Aktivitas antioksidan sampel diukur pada panjang gelombang 516 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum DPPH, dengan konsentrasi DPPH 1 mM. Perubahan warna pada larutan DPPH dalam methanol menunjukkan adanya aktivitas antioksidan sampel. Warna ungu 38 larutan DPPH dalam penelitian ini perlahan berubah menjadi warna kuning ketika ditambahkan sampel yang mengandung komponen antioksidan (Blois 1958). Perubahan warna larutan DPPH mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Semakin besar penurunan nilai absorbansi menunjukkan bahwa radikal bebas yang diserap antioksidan tersebut semakin banyak. Besarnya aktivitas antioksidan dinyatakan dalam persen (%) aktivitas antioksidan. Standar dalam pengukuran aktivitas antioksidan dalam penelitian ini adalah Vitamin C. Hal ini dikarenakan Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Selain itu Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang mudah diperoleh (Blois 1958). Berdasarkan hasil analisis tersebut, bubuk Cu-turunan klorofil terpilih memiliki aktivitas antioksidan sebesar 47,07% yang berarti komponen antioksidan yang terdapat dalam bubuk tersebut mampu mereduksi 47,07% radikal bebas yang mengoksidasinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap gram bubuk tersebut mampu mereduksi DPPH 1 mM sebesar 18,51 mg. Besarnya aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil kemudian disetarakan dengan kemampuan Vitamin C yang dinyatakan dalam Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity atau biasa disingkat AEAC (mg Vit C/100 g). Bubuk Cuturunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol memiliki aktivitas antioksidan sebesar 47,07 % yang setara dengan 106,64 mg Vitamin C/100 g. Aktivitas antioksidan klorofil yang diekstrak dari daun murbei segar sebesar 13,36% yang menunjukkan bahwa komponen antioksidan dalam daun murbei mampu meredam radikal bebas yang mengoksidasinya sebesar 13,36%. Berdasarkan kedua hasil analisis aktivitas antioksidan tersebut, dapat disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan bubuk Cu-Chlorophyllin daun murbei lebih tinggi dibandingkan ekstrak klorofil daun murbei. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Marquez et al. (2005) yang menyatakan bahwa CuChlorophyllin memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi yaitu sebesar 39% dibandingkan klorofil alami sebesar 12%. Kadar Alkohol Indonesia yang didominasi penduduk beragama Islam mengharuskan semua produk yang beredar memiliki sertifikasi halal. Salah satu hal yang menyebabkan suatu produk tidak halal adalah kandungan alkohol didalamnya. Bubuk Cu-turunan klorofil menggunakan alkohol (etanol 96%) sebagai pelarut, 39 sehingga perlu dilakukan analisis kadar alkohol. Analisis kadar alkohol dapat dijadikan sebagai pertimbangan kehalalan produk bubuk Cu turunan klorofil. Peraturan LPPOM-MUI (2008) menyebutkan bahwa penggunaan etanol (alkohol) yang berasal dari industri non khamr di dalam produksi pangan diperbolehkan, selama tidak terdeteksi pada produk akhir. Kadar alkohol bubuk Cu turunan klorofil terpilih dalam penelitian ini dianalisis menggunakan alat kromatografi gas (USPC 2006 yang dimodifikasi). Kromatografi gas adalah teknik kromatografi yang bisa digunakan untuk memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa-senyawa yang dapat ditetapkan dengan kromatografi gas sangat banyak, namun terdapat batasan-batasan. Senyawa-senyawa tersebut harus mudah menguap dan stabil pada temperatur pengujian yaitu pada suhu 50°C – 300°C. Jika senyawa tidak mudah menguap atau tidak stabil pada temperatur pengujian, maka senyawa tersebut bisa diderivatisasi agar dapat dianalisis dengan kromatografi gas (Day & Underwood 1991). Berdasarkan hasil uji menggunakan kromatografi gas diketahui bahwa kadar klorofil pada bubuk Cu-turunan klorofil terpilih sebesar 0%. Hasil ini dapat dijadikan pertimbangan untuk menilai kehalalan bubuk Cu-turunan klorofil. Hal ini diduga karena spray dryer mampu mengubah larutan menjadi serbuk dengan baik. Langkah pertama mekanisme kerja pada spray dryer yaitu mengubah seluruh cairan dari bahan yang ingin dikeringkan ke dalam bentuk butiran-butiran cairan dengan cara diuapkan menggunakan atomizer. Cairan dari bahan yang telah berbentuk tetesan-tetesan tersebut kemudian di kontakan dengan udara panas. Peristiwa pengontakkan ini menyebabkan cairan dalam bentuk tetesantetesan tersebut mengering dan berubah menjadi serbuk. Selanjutnya proses pemisahan antara uap panas dengan serbuk dilakukan dengan cyclone atau penyaring. Setelah di pisahkan, serbuk kemudian kembali diturunkan suhunya sesuai dengan kebutuhan produksi (Setijahartini 1980). 40 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada pembuatan bubuk Cu-Turunan Klorofil (Cu-Chlorophyllin), perubahan warna hijau klorofil menjadi coklat zaitun (phephytin) terjadi karena penambahan HCl 4 N, lalu berubah menjadi hijau lagi setelah penambahan Cuasetat dan dibasakan dengan NaOH 4 N. Untuk memperoleh produk akhir berupa serbuk maka larutan Cu-Chlorophyllin diberikan pengisi berupa maltodekstrin kemudian dikeringkan dengan spray dryer. Karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil yang dianalisis adalah rendemen, kelarutan, warna, kadar air, pH, kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin. Rendemen dan kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil secara berurutan berkisar antara 14,91%-16,14% (bb) dan 96%-98,12% (bk). Berdasarkan hasil analisis warna menggunakan Colour Chart RHS (The Royal Horticultural Society), warna bubuk klorofil alami (penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol) adalah yellow, sedangkan bubuk Cu-turunan klorofil pada perlakuan yang lainnya adalah yellow-green. Kadar air dan pH bubuk Cu-turunan klorofil secara berurutan berkisar antara 3,39%-5,98% (bb) dan 5,26–7,49. Kadar Cu total bubuk Cu turunan klorofil berkisar antara 0 -8,57 mg/g dan kandungan Cu-Chlorophyllin berkisar antara 0 - 91,97 mg/g (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen, pH, kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan dan kadar air. Hasil uji toksisitas (LC50) dengan metode BSLT menunjukkan bahwa bubuk Cu-turunan klorofil yang tidak mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia salina Leach. (LC50>1000 ppm) adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol. Nilai LC50 pada bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,006 mol dan 0,008 mol mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia salina Leach. karena LC50<1000 ppm (Meyer et al. 1982). Bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol. Penentuan ini berdasarkan hasil analisis kadar Cu total yang mengacu pada persyaratan BPOM RI (2005), kandungan Cu-Chlorophyllin dan uji toksisitas metode BSLT dengan penentuan 41 tingkatan toksisitas yang mengacu pada Meyer et al. (1982). Aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih adalah 47,07% yang setara dengan 106,64 mg vitamin C/100 g. Kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih sebesar 0%. Hasil ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menilai kehalalan bubuk Cu-turunan klorofil. Saran Untuk mendapatkan bubuk Cu turunan klorofil dengan kandungan CuChlorophyllin dan aktivitas antioksidan yang maksimal dapat diperoleh dengan cara melakukan penelitian lanjutan berupa analisis pengaruh lama waktu pereaksian Cu dan turunan klorofil terhadap kandungan Cu-Chlorophyllin dan aktivitas antioksidannya. Selain itu untuk mengetahui tingkat stabilitas bubuk Cu turunan klorofil perlu dilakukan peneliitian yang menganalisis stabilitas bubuk Cu turunan klorofil pada berbagai jenis larutan (polar dan nonpolar), suhu, dan pH. Bubuk Cu turunan klorofil agar dapat dikonsumsi secara luas oleh masyarakat harus melalui serangkaian analisis keamanan pangan terlebih dahulu, oleh sebab itu perlu dilakukan uji toksisitas lanjutan, seperti uji toksisitas sub kronik dan kronik serta karsinogenitas, teratogenitas dan mutagenitas. 42 DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Alsuhendra. 2004. Daya anti-aterosklerosis Zn-turunan klorofil dari daun singkong (Manihot esculenta Crantz) pada kelinci percobaan [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Anderson JJB. 2004. Minerals. Di dalam: Kathleen Mahan dan Sylvia EscottStump. Krause’s Food, Nutrition,& Diet Theraphy, 11th ed. Philadelphia: Saunders AOAC. 1995. Official Methods Gaithersburg: Maryland of Analysis, 16th. AOAC International. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: PAU Institut Pertanian Bogor [Badan POM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2001. Peraturan Perundang-undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka. Cetakan Pertama. Jakarta: BPOM RI [Badan POM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Peraturan Perundang-undangan dibidang Suplemen Makanan. Cetakan Pertama. Jakarta : BPOM RI Barder HF et al.. 2006. Heme and chlorophyll intake and risk of colorectal cancer and the Netherland cohort study. Cancer Epidemiol. Biomarkers Prev. 15(4):717-25 Bianca K. 1993. Pengaruh penambahan ZnCl2 di dalam pembuatan ekstrak warna dari campuran daun suji (Pleomele angustifolia) dan daun pandan (Pandanus amarylifollus Roxb.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Blois MS. 1958. Antioxidant determinations by the use of stable free radical. Nature 181(26): 1199-1200 Brands, S.J. 1989. Systema Naturae 2000. The Taxonomicon. Amsterdam: Universal Taxonomic Services. http://www.sn2000.taxonomy.nl/ [19 November 2010] Breinholt VJ, Pereira HC, Arbagost D, Bailey G. 1995. Dietary chlorophyllin is a potent inhibitor of alfatoxin B1 hepatocarcinogenesis in rainbow trout. Cancer-Res. 55(1):57-62 Buttriss J, Hughes J. 2000. An update on copper: contribution of MAFF-funded research. Nutrition Bulletin 25:271-280 Canjura FL, Watkins RH, Schwartz. 1999. Color improvement and metallochlorophyll complexes in continuous flow aseptically processed peas. Journal of Food Science 64(6):987-990 43 Carballo et al.. 2002. A comparison between two brine shrimp assay to detect in vitro cytotoxicity in marine natural product. BMC Biotechnology (2): 14726750 Cheng KL, Ueno K, dan Imamura T. 1982. Handbook of Organic Analytical Reagents. Florida: CRC Press Clydesdale FM, Francis FJ. 1976. Pigments. Di dalam: Fennema OR. Principles of Food Science. New York: Marcel Dekker, Inc Darmansjah I. 1995. Toksikologi, Farmakologi dan Terapi. Edisi 4 Dengan Perbaikan. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru. Dashwood RH, Breinholt V, Bailey GS. 1991. Chemopreventive properties of chlorophyllin: inhibition of alfatoxin B1 (AFB1)-DNA binding in vivo and antimutagenic activity against AFB1 and two heterocyclic amines ain the Salmonella mutagenicity assay. Carcinogenesis 12: 939-942 Day JR, Underwood AL. 1991. Quantitative Analysis. New Jersey: Englewood Cliffs Endo YR, Usuki, Kaneda T. 1985. Antioxidant effects of chlorophyll and pheophytin on the autooxidation of oils in the dark. II. The mechanism of antioxidative action of chlorophyll. JAOCS 62: 1387 – 1390 Enkhma et al.. 2005. Mulberry (Morus alba L.) leaves and their major flavonol quercetin 3-(6-Malonylglucoside) attenuate atherosclerotic lesion development in LDL receptor deficient mice. Journal of Nutrition 135:729734 Eskin NAM. 1979. Plant Pigment Flavors and Textures: The Chemistry and Biochemistry of Selected Compound. New York: Academic Press Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Ferruzzi MG, Schwartz SJ. 2001. Thermal degradation of commercial grade sodium copper chlorophyllin. J.Agric. Food Chem. 53(18):7098-7102 __________, Bohm V, Courtney PD, Schwartz SJ. 2002. Antioxidant and antimutagenic activity of dietary chlorophyll derivates determined by radical scavenging and bacterial reverse mutagenesis assays. Journal of Food Science 67:2589-2595 __________, Blakeslee J. 2006. Digestion, absorption, and cancer preventative activity of dietary chlorophyll deritavives. Nutrition Research 27: 1-2 Garrow JS, James WPT. 1993. Human Nutrition and Dietetics. Edinburgh: Churchill Livingstone Gross J.1991. Pigments In Vegetables Chlorophylls and Carotenoids. New York: Van Nostrand Reinhold. Hahm TS, Park SJ, Martin LO. 2008. Effects of medicinal plant extracts on blood pressure in spontaneously hypertensive rats. The FASEB Journal 918.2 44 Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. K. Pandawinata dan I Soediro, penerjemah. Bandung: ITB Press Hasegawa RB et al.. 1995. Inhibitory effect of chlorophyllin on PhIP-induced mammary carcinogenesis in female F344 rats. Carcinogenesis 16(9):22452246 Hendler SS, Rorvik D, editor. 2001. Pysicians Desk Reference (PDR) for Nutritional Supplement. Montvale: Thomson PDR Hendry GAF, Houghton JAD 1996. Natural Food Colorants, Second edition. London: Blackie Academic & Professional Hutching JB. 1994. Food Colour and Appearance. London: Blackie Academic & Professional Kandiana M. 2010. Uji toksisitas bubuk ekstrak kompleks Cu-turunan klorofil (NaCu-Klorofilin) daun cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) sebagai bahan baku suplemen makanan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Keller PM et al.. 1996. Photodynamic imaging of a rat pancreatic cancer with feoforbid a. Photochem-Photobio 63(6):860-867 Koleva et al. . 2002. Screening of plant extracts for antioxidant activity: a comparative study on three testing methods. Phytochemical Analysis 13: 817 Kumar SS, Shankar B, Sainis KB. 2004. Effect of chlorophyllin against oxidative stress in splenic lymphocytes in vitro and in vivo. Biochim. Biophys. Acta. 1672(2):100-111. Kusharto CM, Tanziha I, Januwati M, Nurdin. 2008. Produk bubuk cu-turunan klorofil dan aplikasinya dalam pencegahan penyakit aterosklerosis [Laporan Penelitian KKP3T Departemen Pertanian]. Bogor: Departemen Pertanian Kusumaningsih DR. 2003. Mempelajari pembuatan minuman instan dari ekstrak daun cincau hijau Cyclea barbata Miers. dan Premna oblongifolia Merr. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor LaBorde LF, von Elbe JH. 1994. Chlorophyll degradation and zinc complex formation with chlorophyll derivatives in heated green vegetables. J. Agric. Food Chem. 42 (5): 1100-1103 Limantara L. 2009. Daya Penyembuhan Klorofil. Malang: Ma Chung Press [LPPOM-MUI] Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika-Majelis Ulama Indonesia. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI. Jakarta: LPPOM-MUI Loni. 2001. Perhatikan informasi gizi di label kemasan. Media Indonesia, Juli, hal 13 45 Mahmud M. 1994. Pemurnian klorofil daun suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor Marquez UM, Barros RMC, Sinnecker P. 2005. Antioxidant activity of chlorophylls and their derivatives. Food Research International 38 : 885-891 Meyer BN et al.. 1982. Brine shrimps: a convenient general bioassay for active plant constituent. Planta Medica Vol. 45, 31-34 Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Nurdin. 2009. Pembuatan Bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil daun cincau (Premna oblongifolia Merr.) dan uji praklinis untuk pencegahan aterosklerosis [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ______, Khomsan A, Marliyati SA , Ijirana. 2009. Produk bubuk Cu-turunan klorofil dari daun murbei (Morus alba L.) dan aplikasinya dalam pencegahan penyakit aterosklerosis [laporan penelitian hibah bersaing]. Palu: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako Parwati T, Simanjuntak P. 1998. Daya toksik beberapa tumbuhan obat tradisional Indonesia asal Nusa Tenggara Barat. Journal Biologi Indonesia 11(3) : 118125 Petrovic J, Nikolic G, Markovic D. 2005. In vitro complexes of cooper and zinc with chlorophyll. J SerbChem Soc 71 (5) 501 – 502 (2006) JSCS – 3443. Pramungdimurti E. 2007. Kapasitas antioksidan dan daya hipokolestrolemik ekstrak daun suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Pudjiono S , Septina S. 2008. Morfologi tanaman hibrid murbei di purwobinangun yogyakarta. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 21 no. 1, Juli 2008. Pujiati 2002. Uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach. Dari fraksi nheksan, khloroform, etil asetat dan ekstrak etanol rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.). Prosiding Seminar Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Surabaya : Universitas Surabaya Reed CF. 1976. Information summaries on 1000 economic plants. New York: the USDA [RHS] The Royal Horticultural Society. 2001. Colour Chart, The Royal Horticultural Society. London: RHS Robins EW, Nelson RL. 1989. Inhibition of 1,2-dimethylhydrazine-induced nuclear damage in rat colonic epithelium by dhlorophyllin. Anticancer Res. 9: 981-985 Setijahartini S. 1980. Pengeringan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor 46 Sianghal BK et al.. 2001. Sericultural by Product for Various Valuable Commercial Product as Emerging Bio Science. Jammu: Regional Research Laboratory, Council of Science and Industrial Research Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB Press Siswantoro D. 2008. Kajian aktivitas tanin dengan penisilin terhadap bakteri Streptococcus pyogenes dan Pasteurella multocida secara in vitro. http://adln.lib.unair.ac.id [5 Mei 2010] Sudarisman. 1997. Dietary supplement. Warta Konsumen, Februari, hal 9-13 Sunanto H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Yogyakarta: Kanisius Sweetman SC. 2005. Martindale The Complete Drug Reference, 34th ed. London: Pharmaceutical Press Tassetti V et al.. 1997.In vivo laser-induced fluorescene imaging of rat pancreatic cancer with feoforbid a. Photochem-Photobio. 65(6):997-1006 Tonucci LH, von Elbe JH. 1992. Kinetic of the formation of Zinc complex of chlorophyll derivates. J.Agric. Food Chemistry 40 (12): 2341:2344 [USPC] the United States Pharmacopeial Convention. 2006. The United States Pharmacopeia, Twenty-Ninth Revision (USP 29) and The National Formulary, Twenty-Fourth Edition (NF 24), Asian Edition. Rockville: USPC Winarno FG, Kartawidjajaputra. 2007. Pangan Fungsional dan Minuman Energi. Bogor: M-BRIO PRESS Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press Yadav A, Kawale L, Nade V. 2008. Effect of Morus alba L. (mulberry) leaves on anxiety in mice. Indian Journal of Pharmacology 2:345-347 Young V et al.. 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanad ium , and Zinc: a Report of Panel on Micronutrients, Subcommittees on Upper Reference Levels of Nutrients and of Interpretation and Use of Dietary Reference Intakes, and the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes, Food and Nutrition Board Institute of Medicine. Washington D.C: National Academy Press Yuliarti N. 2008. Food Supplement, Panduan Mengonsumsi Makanan Tambahan untuk Kesehatan Anda. Yogyakarta: Banyu Media 47 LAMPIRAN 48 Lampiran 1 Prosedur analisis karakteristik fisik 1. Rendemen (AOAC 1995 yang dimodifikasi) Rendemen adalah persentase bahan baku utama yang menjadi produk akhir atau perbandingan produk akhir dengan bahan baku utama. % Rendemen (bb) = Berat produk akhir (Berat daun + berat pengisi) 2. x 100 % Kelarutan (Fardiaz et al. 1992) 0,5 gram bubuk dilarutkan dalam 100 ml air, kemusidan disaring dengan kertas saring Whatman 42 dengan penyaring vakum. Sebelumnya kertas saring dikeringkan pada suhu 1050C selama 30 menit (di dalam oven), dan ditimbang. Setelah penyaringan dengan vakum, kertas saring dan endapan dikeringkan pada suhu 1050C selama 3 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Kemudian ditimbang. 3. % Kelarutan = 100 − Warna (RHS 2001) ( % ) 100% Sebanyak 1 gram bubuk dimasukkan ke dalam kantong plastik bening, kemudian diratakan hingga setiap sampel memiliki luas permukaan yang sama. Setiap sampel kemudian dicocokkan dengan warna yang terdapat dalam Colour Chart RHS. Warna-warna yang terdapat dalam Colour Chart RHS dapat dilihat pada gambar berikut. 49 Fan 1 Fan 2 Fan 3 Fan 4 1A 1B 1C 1D 57A 57B 57C 57D 111A 111B 111C 111D 155A 155B 155C 155D 2A 2B 2C 2D 58A 58B 58C 58D 112A 112B 112C 112D 156A 156B 156C 156D 3A 3B 3C 3D 59A 59B 59C 59D 113A 113B 113C 113D 157A 157B 157C 157D 4A 4B 4C 4D 60A 60B 60C 60D 114A 114B 114C 114D 158A 158B 158C 158D 5A 5B 5C 5D 61A 61B 61C 61D 115A 115B 115C 115D 159A 159B 159C 159D 6A 6B 6C 6D 62A 62B 62C 62D 116A 116B 116C 116D 160A 160B 160C 160D 7A 7B 7C 7D 63A 63B 63C 63D 117A 117B 117C 117D 161A 161B 161C 161D 8A 8B 8C 8D 64A 64B 64C 64D 118A 118B 118C 118D 162A 162B 162C 162D 9A 9B 65A 65B 119A 119B 163A 163B 50 Fan 1 Fan 2 Fan 3 Fan 4 9C 9D 65C 65D 119C 119D 163C 163D 10A 10B 10C 10D 66A 66B 66C 66D 120A 120B 120C 120D 164A 164B 164C 164D 11A 11B 11C 11D 67A 67B 67C 67D 121A 121B 121C 121D 165A 165B 165C 165D 12A 12B 12C 12D 68A 68B 68C 68D 122A 122B 122C 122D 166A 166B 166C 166D 13A 13B 13C 13D 69A 69B 69C 69D 123A 123B 123C 123D 167A 167B 167C 167D 14A 14B 14C 14D 70A 70B 70C 70D 124A 124B 124C 124D 168A 168B 168C 168D 15A 15B 15C 15D 71A 71B 71C 71D 125A 125B 125C 125D 169A 169B 169C 169D 16A 16B 16C 16D 72A 72B 72C 72D 126A 126B 126C 126D 170A 170B 170C 170D 17A 17B 17C 17D 73A 73B 73C 73D 127A 127B 127C 127D 171A 171B 171C 171D 51 Fan 1 Fan 2 Fan 3 Fan 4 18A 18B 18C 18D 74A 74B 74C 74D 128A 128B 128C 128D 172A 172B 172C 172D 19A 19B 19C 19D 75A 75B 75C 75D 129A 129B 129C 129D 173A 173B 173C 173D 20A 20B 20C 20D 76A 76B 76C 76D 130A 130B 130C 130D 174A 174B 174C 174D 21A 21B 21C 21D 77A 77B 77C 77D 131A 131B 131C 131D 175A 175B 175C 175D 22A 22B 22C 22D 78A 78B 78C 78D 132A 132B 132C 132D 176A 176B 176C 176D 23A 23B 23C 23D 79A 79B 79C 79D 133A 133B 133C 133D 177A 177B 177C 177D 24A 24B 24C 24D 80A 80B 80C 80D 134A 134B 134C 134D 178A 178B 178C 178D 25A 25B 25C 25D 81A 81B 81C 81D 135A 135B 135C 135D 179A 179B 179C 179D 26A 82A 136A 180A 52 Fan 1 Fan 2 Fan 3 Fan 4 26B 26C 26D 82B 82C 82D 136B 136C 136D 180B 180C 180D 27A 27B 27C 27D 83A 83B 83C 83D 137A 137B 137C 137D 181A 181B 181C 181D 28A 28B 28C 28D 84A 84B 84C 84D 138A 138B 138C 138D 182A 182B 182C 182D 29A 29B 29C 29D 85A 85B 85C 85D 139A 139B 139C 139D 183A 183B 183C 183D 30A 30B 30C 30D 86A 86B 86C 86D 140A 140B 140C 140D 184A 184B 184C 184D 31A 31B 31C 31D 87A 87B 87C 87D 141A 141B 141C 141D 185A 185B 185C 185D 32A 32B 32C 32D 88A 88B 88C 88D 142A 142B 142C 142D 186A 186B 186C 186D 33A 33B 33C 33D 89A 89B 89C 89D 143A 143B 143C 143D 187A 187B 187C 187D 34A 34B 34C 90A 90B 90C 144A 144B 144C 188A 188B 188C 53 Fan 1 Fan 2 Fan 3 Fan 4 34D 90D 144D 188D 35A 35B 35C 35D 91A 91B 91C 91D 145A 145B 145C 145D 189A 189B 189C 189D 36A 36B 36C 36D 92A 92B 92C 92D 146A 146B 146C 146D 190A 190B 190C 190D 37A 37B 37C 37D 93A 93B 93C 93D 147A 147B 147C 147D 191A 191B 191C 191D 38A 38B 38C 38D 94A 94B 94C 94D 148A 148B 148C 148D 192A 192B 192C 192D 39A 39B 39C 39D 95A 95B 95C 95D 149A 149B 149C 149D 193A 193B 193C 193D 40A 40B 40C 40D 96A 96B 96C 96D 150A 150B 150C 150D 194A 194B 194C 194D 41A 41B 41C 41D 97A 97B 97C 97D 151A 151B 151C 151D 195A 195B 195C 195D 42A 42B 42C 42D 98A 98B 98C 98D 152A 152B 152C 152D 196A 196B 196C 196D 54 Fan 1 Fan 2 Fan 3 Fan 4 43A 43B 43C 43D 99A 99B 99C 99D 153A 153B 153C 153D 197A 197B 197C 197D 44A 44B 44C 44D 100A 100B 100C 100D 154A 154B 154C 154D 198A 198B 198C 198D 45A 45B 45C 45D 101A 101B 101C 101D 199A 199B 199C 199D 46A 46B 46C 46D 102A 102B 102C 102D 200A 200B 200C 200D 47A 47B 47C 47D 103A 103B 103C 103D 201A 201B 201C 201D 48A 48B 48C 48D 104A 104B 104C 104D 202A 202B 202C 202D 49A 49B 49C 49D 105A 105B 105C 105D 50A 50B 50C 50D 106A 106B 106C 106D 51A 51B 107A 107B 55 Fan 1 Fan 2 51C 51D 107C 107D 52A 52B 52C 52D 108A 108B 108C 108D 53A 53B 53C 53D 109A 109B 109C 109D 54A 54B 54C 54D 110A 110B 110C 110D Fan 3 Fan 4 55A 55B 55C 55D 56A 56B 56C 56D Keterangan: Fan 1 Green-Yellow (GY): 1, Yellow (Y): 2-13, Yellow-Orange (YO): 14-23, Orange (O):24-30, Orange-Red (OR): 31-35, Red (R): 36-56 Fan 2 Red-Purple (RP): 58-74, Purple (P): 75-79, Purple-Violet (PV): 80-82, Violet (V): 83-88, Violet-Blue (VB): 89-98, Blue (B): 99-110 Fan 3 Blue-Green (BG): 111-124, Green (G): 125-143, Yellow-Green (YG): 144154 Fan 4 Greyed Yellow-Orange-Red-Purple-Green (160-198), Brown (200), Grey (201), Black (202) 56 Lampiran 2 Prosedur analisis karakteristik kimia 1. Analisis kadar air (Apriyantono et al 1989) Cawan dikeringkan selama 30 menit, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Timbang 2-3 gram sampel dalam cawan. Cawan beserta sampel dipanaskaan dalam oven selama 6 jam pada suhu 1050C, angkat dan dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. % kadar air (basis basah) = kehilangan berat (g) x 100% Berat sampel (g) Kehilangan berat (g) = Berat sampel (g) – (berat cawan dan sampel akhir (g) –berat cawan (g)) 2. Analisis kadar pH (Apriyantono et al 1989) 1 gram sampel dilarutkan dalam 20 ml akuades, diaduk dengan magnetic stirrer sampai homogen, kemudian diukur pHnya menggunakan pH meter. 57 Lampiran 3 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil 1. Rendemen Hasil analisis rendemen bubuk Cu-turunan klorofil Rendemen (%) 0 mol 0,001 mol 0,002 mol 0,004 mol 0,006 mol 14,67 15,69 16,13 15,56 15,74 15,14 15,62 15,73 15,59 15,81 14,91 15,65 15,93 15,57 15,78 Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Hasil sidik ragam rendemen bubuk Cu-turunan klorofil Sumber Jumlah Kuadrat df F hitung Variasi Kuadrat Tengah Perlakuan 1.778 5 .356 Galat .370 6 .062 Total 2.148 11 5.769 0,008 mol 15,84 16,29 16,06 Sig. .027 Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Hasil uji lanjut Duncan rendemen bubuk Cu-turunan klorofil Subset for alpha = 0.05 Perlakuan n 1 2 .000 2 .004 2 15.58 .001 2 15.66 .006 2 15.78 .002 2 15.93 .008 2 16.14 Sig. 14.91 1.000 .077 Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata 2. Kelarutan Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Hasil analisis kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil Kelarutan (%) 0 mol 0,001 mol 0,002 mol 0,004 mol 0,006 mol 97,10 94,78 95,99 98,90 98,18 97,50 99,97 98,63 97,33 97,25 97,30 97,37 97,31 98,12 97,71 Hasil sidik ragam kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil Sumber Jumlah Kuadrat df F hitung Variasi Kuadrat Tengah Perlakuan 5.064 5 1.013 .278 Galat 21.873 6 Total 26.937 11 3.645 0,008 mol 94,74 97,26 96,00 Sig. .909 58 Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Hasil uji lanjut Duncan kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil Subset for alpha = 0.05 Perlakuan n .008 2 96.00 .000 2 97.30 .002 2 97.31 .001 2 97.38 .006 2 97.72 .004 2 98.12 1 Sig. .328 Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata Lampiran 4 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil 1. Kadar Air Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Hasil analisis kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil Kadar Air (%) 0 mol 0,001 mol 0,002 mol 0,004 mol 0,006 mol 3,16 3,64 3,45 4,77 5,36 3,63 4,07 3,96 4,91 5,43 3,39 3,86 3,71 4,84 5,40 Hasil sidik ragam kadar air bubuk Cu-turunan klorofil Sumber Jumlah Kuadrat df F hitung Variasi Kuadrat Tengah Perlakuan 10.769 5 2.154 36.748 .352 6 .059 Galat Total 11.120 11 Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Hasil uji lanjut Duncan kadar air bubuk Cu-turunan klorofil Subset for alpha = 0.05 Perlakuan n 1 2 3 .000 2 3.39 .002 2 3.70 .001 2 3.86 .004 2 4.84 .006 2 5.40 .008 2 Sig. 5.40 5.98 .114 .060 Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata .052 0,008 mol 5,97 6,00 5,98 Sig. .000 59 2. Kadar pH Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Hasil analisis kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil pH 0 mol 0,001 mol 0,002 mol 0,004 mol 0,006 mol 5,27 7,28 7,68 7,24 7,40 5,25 7,14 7,24 7,25 7,58 5,26 7,21 7,46 7,24 7,49 Sumber Variasi Perlakuan Galat Total Hasil sidik ragam pH bubuk Cu-turunan klorofil Jumlah Kuadrat df F hitung Kuadrat Tengah 7.534 5 1.507 66.547 .136 6 7.669 11 0,008 mol 7,35 7,51 7,43 Sig. .000 .023 Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Hasil uji lanjut Duncan pH bubuk Cu-turunan klorofil Subset for alpha = 0.05 Perlakuan n 1 2 .000 2 5.26 .001 2 7.21 .004 2 7.24 .008 2 7.43 .002 2 7.46 .006 2 7.49 Sig. 1.000 .128 Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata 3. Kadar Cu Total Hasil analisis kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil Cu Total (mg/g) Perlakuan 0 mol 0,001 mol 0,002 mol 0,004 mol 0,006 mol 0,008 mol Ulangan 1 0,00 1,26 2,96 4,77 7,07 8,98 Ulangan 2 0,00 1,01 2,73 4,65 7,96 8,16 Rata-rata 0,00 1,13 2,85 4,71 7,51 8,57 Hasil sidik ragam kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil Sumber Jumlah Kuadrat df F hitung Sig. Variasi Kuadrat Tengah 118.324 5 23.665 77.559 .000 Perlakuan Galat 1.831 6 Total 120.155 11 Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata .305 60 Hasil uji lanjut Duncan kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil Subset for alpha = 0.05 Perlakuan n .000 2 .00 .001 2 1.13 .002 2 .004 2 .006 2 7.51 .008 2 8.57 Sig. 1 2 3 4 2.85 4.71 .086 1.000 1.000 .105 Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata 4. Kadar Cu-Chlorophyllin Hasil analisis kadar Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil Cu-Chlorophyllin (mg/g) Perlakuan 0 mol 0,001 mol 0,002 mol 0,004 mol 0,006 mol 0,008 mol Ulangan 1 0,00 13,03 31,60 51,45 80,90 94,94 Ulangan 2 0,00 12,33 30,67 50,42 81,09 89,00 Rata-rata 0,00 12,68 31,14 50,94 80,99 91,97 Hasil sidik ragam kadar Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil Sumber Jumlah Kuadrat df F hitung Sig. Variasi Kuadrat Tengah Perlakuan 13595.730 5 2719.146 Galat 227.022 6 37.837 Total 13822.752 11 71.865 .000 Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Hasil uji lanjut Duncan Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil Subset for alpha = 0.05 Perlakuan n .000 2 .0000 .001 2 12.6799 .002 2 .004 2 .006 2 80.99 .008 2 91.97 Sig. 1 2 3 4 31.1371 50.9390 .085 1.000 Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata 1.000 .125 61 Lampiran 5 Nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil Hasil analisis nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil LC50 0 mol 0,001 mol 0,002 mol 0,004 mol 0,006 mol 1859,94 1655,23 2619,44 1583,61 987,16 1345,74 1184,07 1998,67 970,08 795,24 1602,84 1419,65 2309,05 1276,84 891,20 Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Sumber Variasi Hasil sidik ragam nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil Jumlah Kuadrat df F hitung Kuadrat Tengah Perlakuan 3088869.302 5 617773.860 Galat 644061.362 6 107343.560 Total 3732930.664 11 5.755 Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Hasil uji lanjut Duncan nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil Subset for alpha = 0.05 Perlakuan n .008 2 763.11 .006 2 891.20 .004 2 1276.84 .001 2 1419.65 .000 2 1602.84 .002 2 Sig. 1 2 1602.84 2309.05 .053 Nilai pada kolom yang berbeda, berbeda nyata .075 0,008 mol 735,22 791,01 763,11 Sig. .027 62 Lampiran 6 Cara perhitungan aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih Kurva standar Vitamin C setelah direaksikan dengan DPPH 100.00 A b s o r b a n s i 90.00 80.00 70.00 60.00 y = 4.2245x + 1.8925 R² = 0.9977 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0 5 10 15 20 Konsentrasi Vitamin C standar (ppm) 25 Tabel Aktivitas antioksidan vitamin C standar pada berbagai konsentrasi Konsentrasi Vit C standar (ppm) 0 25 50 100 200 300 400 500 750 1000 Cara perhitungan aktivitas antioksidan Absorban % Aktivitas AO 0,678 0,655 0,641 0,609 0,546 0,486 0,423 0,365 0,241 0,103 0,00 3,39 5,46 10,18 19,47 28,32 37,61 46,17 64,45 84,81 Aktivitas antioksidan (%) = (Abs. blanko – Abs. sampel) x 100% Abs. blanko Hasil analisis aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih Perlakuan Absorban Blanko 0,678 0,369 0,363 0,344 0,360 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata % Aktivitas Antioksidan (AAO) 45,61 46,43 49,26 46,96 47,07 63 Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC) (% AAO - b) AEAC (mg/ 100 g) = [ a Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 x Volume akhir Vol.yang ditambahkan ]x 100 Berat sampel Hasil analisis AEAC bubuk Cu-turunan klorofil terpilih Berat Volume Volume yang ditambahkan sampel akhir a b AAO(%) (ml) (g) (ml) 2,5064 2,5056 2,5088 2,5082 5 5 5 5 Rata-rata 0,02 0,02 0,02 0,02 4,224 1,892 45,61 46,43 49,26 46,96 47,07 AEAC (mg vitamin C/100g) 103,23 105,20 111,75 106,36 106,64 Cara perhitungan berat DPPH teredam per gram bubuk Cu-turunan klorofil 100 x Berat sampel (g) = (%AAO Volume ekstrak (ml) x Berat DPPH per penambahan (mg) x 100 Volume sampel (ml) 100 100 (47,07% 5 ml x x 0,3943 mg x 0,02 ml 2,5073 g 100 100 = 18,51 mg/g Cara perhitungan berat DPPH setiap penambahan = Vol.DPPH per penambahan 1000 = 1 ml 1000 x ([DPPH]x BM DPPH) x 1000 x (0,001 M x 394,3 g/mol) x 1000 = 0,3943 mg 64 Lampiran 7 Kromatogram kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih 65 Lampiran 8 Dokumentasi proses pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil Penimbangan daun murbei segar sebanyak 200 g Etanol 96% sebanyak 800 ml sebagai pelarut Proses ektraksi klorofil menggunakan blender Penimbangan Cu-asetat untuk setiap perlakuan Proses pembuatan larutan Cuturunan klorofil Proses homogenasi larutan Cuturunan klorofil dengan maltodekstrin Proses pengeringan larutan Cu-turunan klorofil menggunakan spray dryer