Karakteristik fisiko-kimia dan uji toksisitas bubuk Cu

advertisement
KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA DAN UJI TOKSISITAS
BUBUK Cu-TURUNAN KLOROFIL (Cu-Chlorophyllin)
DAUN MURBEI (Morus alba L.) SEBAGAI PROTOTIPE
BAHAN SUPLEMEN MAKANAN
RISTI ROSMIATI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRACT
RISTI ROSMIATI. Physico-Chemical Characteristics and Toxicity Test of CopperChlorophyll Derivative Powder (Cu-Chlorophyllin) from Mulberry Leaf (Morus Alba
L.) as Prototype Material for Food Supplement. Supervised by CLARA M.
KUSHARTO and NUNUK M. JANUWATI.
Chlorophyll and its derivatives have some benefits for improving health. Recently
they have been promoted as one of food supplement. Chlorophyll has an
unstable nature and easily transformed into the derivated form when exposed by
light, oxygen, heat, and chemical degradation. Therefore it is necessary to do the
process of adding mineral such as Cu to form Cu-Chlorophyll derivatives to make
it more stable. Source of chlorophyll that is used is mulberry leaves (Morus alba
L.), Kanva varieties with chlorophyll content of 844 ppm. This study aims to
analyze the physico-chemical characteristics and toxicity of Cu-Chlorophyllin
powder, also to analyze the antioxidant activity and alcohol residue of the elected
Cu-Chlorophyllin powders. This research was conducted in May to November
2010. The toxicity test used Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) method and
Artemia salina Leach as bioindicator. Toxicity levels determined by the value of
lethal concentration (LC50). If the LC50 value is more than 1000 ppm, the powder
substance is not toxic to Artemia salina Leach. Antioxidant activity was
determined by the ability of compound to scavenge the long-lived free radicals
1,1 diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Alcohol residue was analyzed by gas
chromatography. The result of this research showed that the elected CuChlorophyllin powder obtained by adding of 0.002 mol copper, which yield CuChlorophyllin content was 31.14 mg/g and value of LC50 was 2347.93 ppm,
therefore it was not toxic to Artemia salina Leach. It has an antioxidant activity at
47.07% (106.64 mg vitamin C/100 g) and no alcohol content
which considered as halal products.
Keywords: Chlorophyll, copper, Morus alba L., toxicity
RINGKASAN
RISTI ROSMIATI. Karakteristik Fisiko-Kimia dan Uji Toksisitas Bubuk CuTurunan Klorofil (Cu-Chlorophyllin) Daun Murbei (Morus Alba L.) Sebagai
Prototipe Bahan Suplemen Makanan. Dibimbing oleh CLARA M. KUSHARTO
dan NUNUK M. JANUWATI
Klorofil dan beberapa turunannya memiliki manfaat untuk meningkatkan
kesehatan, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai suplemen makanan (Hendler &
Rorvik 2001; Prangdimurti 2007; Limantara 2009). Klorofil memiliki sifat labil dan
mudah berubah menjadi bentuk turunannya jika terkena cahaya, panas, oksigen
dan degradasi kimia (Gross 1991). Oleh sebab itu perlu dilakukan proses
penambahan Cu sehingga membentuk Cu-turunan klorofil yang lebih stabil
(Hendry & Houghton 1996). Sumber klorofil yang digunakan adalah daun murbei
(Morus alba L.) varietas Kanva dengan kandungan klorofil sebanyak 844 ppm
(Kusharto et al 2008). Budidaya tanaman murbei di Indonesia telah lama
dilakukan, khususnya untuk pakan ulat sutera. Namun peternakan ulat sutera
umumnya baru menghasilkan produk berupa kokon sebagai bahan baku
produksi benang sutera yang harga jualnya relatif rendah. Penelitian ini secara
umum bertujuan untuk menganalisis karakteristik fisiko-kimia dan uji toksisitas
bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) daun murbei (Morus alba L.)
sebagai prototipe bahan suplemen makanan.
Tahapan penelitian diantaranya pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil yang
mengacu pada penelitian Nurdin et al (2009) dan Kandiana (2010) yang
dimodifikasi; analisis karakteristik fisiko-kimia (rendemen, kelarutan, warna, kadar
air, pH kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin), uji toksisitas metode
BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), serta analisis aktivitas antioksidan metode
DPPH dan residu alkohol menggunakan kromatografi gas.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu
penambahan Cu-asetat. Peubah respon yang diamati adalah rendemen,
kelarutan, kadar air, pH, kadar Cu total, kandungan Cu-Chlorophyllin; serta
toksisitas yang dinyatakan dengan nilai LC50. Data hasil penelitian diolah dengan
menggunakan Microsof Excell for Windows, kemudian dianalisis menggunakan
program SPSS System for Windows v 17.0. Data hasil analisis diuji secara
statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA), apabila terdapat pengaruh yang
nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Nilai LC50
diperoleh dari hasil uji toksisitas metode BSLT yang diolah secara statistik
menggunakan Probit Analysis.
Bahan dasar pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil adalah daun murbei
varietas Kanva. Hal ini karena daun murbei varietas Kanva kandungan klorofilnya
lebih tinggi yaitu sebesar 844 ppm (Kusharto et al 2008) dibandingkan daun
murbei varietas Multicaulis (682 ppm), Lembang (420 ppm) dan Cathayana (324
ppm) (Nurdin et al 2009). Daun murbei yang digunakan dalam penelitian ini
adalah helai daun keenam ke bawah dihitung dari pucuk yang merupakan produk
samping dari budi daya ulat sutera dan dipanen sebelum matahari terbit.
Klorofil merupakan senyawa yang larut dalam pelarut organik (Gross
1991), maka dipilih alkohol karena relatif lebih aman dibanding pelarut lain dalam
pembuatan produk pangan. Proses ekstraksi dilakukan di ruangan gelap atau
redup karena klorofil sangat peka terhadap cahaya (Gross 1991). Daun murbei
yang telah dicuci dan ditiriskan kemudian diblender dengan menambahkan
pelarut etanol 96% selama 3 menit. Daun murbei yang telah dihaluskan disaring
menggunakan kain saring 60 mesh. Proses ekstraksi diulangi sampai klorofil dari
daun murbei terekstrak secara sempurna yang ditandai dengan warna etanol
yang tetap bening ketika ditambahkan ke dalam ampas daun murbei. Proses
ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak tiga kali.
Pembentukan turunan klorofil yaitu pheophytin dilakukan dengan cara
mengasamkan ekstrak klorofil dengan menambahkan asam mineral encer yaitu
HCl 4 N ke dalam ekstrak klorofil daun murbei, sampai terjadi perubahan warna
dari hijau menjadi coklat zaitun (olive brown) (Marquez 2005). Penurunan pH
dilakukan secara bertahap dan tetap diaduk sampai terbentuk warna kecoklatan
sebagai indikator. Pheophytin dengan warna coklat zaitun yang stabil dalam
penelitian ini diperoleh setelah mereaksikan larutan selama dua jam pada suhu
ruang.
Stabilitas klorofil dapat dicapai apabila Mg diganti dengan Cu. Pemilihan
Cu sebagai logam pengompleks karena tingkat stabilitas kompleks Cu dengan
cincin porfirin klorofil lebih tinggi dibandingkan Mg (Cheng et al 1992 diacu dalam
Alsuhendra 2004) dan Cu merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan tubuh
(Anderson 2004 & Almatsier 2009). Turunan klorofil yang disubstitusi dengan Cu,
tidak peka terhadap cahaya dan tidak terjadi dekomposisi dengan adanya asam
mineral. Menurut La Borde dan Von Elbe (1994) diacu dalam Alsuhendra (2004)
ion logam hanya bereaksi dengan turunan klorofil, sehingga penambahan jumlah
Cu disesuaikan dengan jumlah turunan klorofil. Konsentrasi Cu yang
ditambahkan diantaranya 0; 0,001; 0,002; 0,004; 0,006; 0,008 mol.
Penentuan konsentrasi ini berdasarkan perhitungan dari penelitian
pendahuluan, dengan cara menghitung total padatan ekstrak klorofil yang
diasumsikan sebagai jumlah klorofil yang terdapat dalam larutan ekstrak klorofil
tersebut. Selanjutnya total padatan klorofil dikonversi ke dalam bentuk
pheophytin maka dapat diperkirakan berat Cu yang dibutuhkan. Cu yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Cu-asetat. Cu asetat pada berbagai
perlakuan terlebih dahulu dilarutkan dalam 10 ml akuades agar Cu asetat mudah
terlarut dan bereaksi dengan larutan pheophytin. Ekstrak turunan klorofil yang
telah ditambahkan Cu dinaikkan pH-nya mencapai 8,5 dengan menambahkan
NaOH 4 N. Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup selama 24 jam pada suhu
ruang dan terlindung dari cahaya serta diaduk menggunakan magnetic stirrer.
Produk akhir sebagai bahan baku suplemen makanan yang diinginkan adalah
bentuk bubuk, maka ekstrak harus dikeringkan menggunakan spray dryer. Oleh
karena itu perlu ditambah pengisi untuk mengikat ekstrak. Bahan pengisi yang
digunakan adalah maltodekstrin 3%.
Karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil yang dianalisis adalah
rendemen, kelarutan, warna, kadar air, pH, kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin. Rendemen dan kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil secara
berurutan berkisar antara 14,91%-16,14% (bb) dan 96%-98,12% (bk).
Berdasarkan hasil analisis warna menggunakan Colour Chart RHS (The Royal
Horticultural Society), warna bubuk klorofil alami (penambahan Cu-asetat
sebesar 0 mol) adalah yellow, sedangkan bubuk Cu-turunan klorofil pada
perlakuan yang lainnya adalah yellow-green. Kadar air dan pH bubuk Cu-turunan
klorofil secara berurutan berkisar antara 3,39%-5,98% (bb) dan 5,26–7,49. Kadar
Cu total bubuk Cu turunan klorofil berkisar antara 0 -8,57 mg/g dan kandungan
Cu-Chlorophyllin berkisar antara 0 - 91,97 mg/g (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA)
menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05)
terhadap rendemen, pH, kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin bubuk
Cu-turunan klorofil, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan dan
kadar air.
Kadar Cu Total dan Kandungan Cu-Chlorophyllin digunakan sebagai salah
satu parameter untuk menentukan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih. Penentuan
kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil terpilih mengacu pada peraturan BPOM
RI No. HK.00.05.23.3644 yang menyatakan bahwa batas maksimal jumlah Cu
yang diizinkan terdapat dalam produk suplemen makanan adalah 3 mg/hari
(BPOM RI 2005) yang diasumsikan sebagai kadar Cu total yang terdapat dalam
setiap gram bubuk Cu-turunan klorofil (Kandiana 2010). Setelah itu bubuk Cuturunan klorofil tersebut dipilih berdasarkan kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi
diantara semua perlakuan.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa dalam 1 gram bubuk Cuturunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001 mol dan
0,002 mol kandungan Cu totalnya adalah 0 mg; 1,13 mg dan 2,85 mg (bb),
secara berurutan, telah memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644
(BPOM RI 2005). Penambahan Cu-asetat yang menghasilkan kadar CuChlorophyllin tertinggi adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cuasetat 0,008 mol yaitu 91.97 mg (bb), namun kandungan Cu totalnya sebesar
8.57 mg (bb). Hasil ini tidak memenuhi persyaratan BPOM RI No.
HK.00.05.23.3644 (BPOM RI 2005). Kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi
diantara bubuk Cu-turunan klorofil yang memenuhi persyaratan tersebut adalah
bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol yaitu 31.14
mg (bb). Berdasarkan parameter kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin
tersebut, bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil
dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,002 mol.
Berdasarkan hasil uji toksisitas diketahui bahwa bubuk Cu-turunan klorofil
dengan penambahan Cu asetat sebesar 0; 0,001; 0,002; 0,004 mol tidak
mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia Salina Leach. karena
LC50>1000 ppm. Nilai LC50 pada bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan
Cu asetat sebesar 0,006 dan 0,008 mol mengindikasikan adanya toksisitas
terhadap Artemia salina Leach (LC50<1000 ppm). Hasil sidik ragam (ANOVA)
menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat pengaruh nyata (p<0,05) terhadap
nilai LC50.
Analisis aktivitas antioksidan dan residu alkohol dilakukan terhadap bubuk
Cu-turunan klorofil yang terpilih. Penentuan ini berdasarkan hasil analisis kadar
Cu total yang sesuai dengan persyaratan BPOM RI (2005), kandungan CuChlorophyllin tertinggi diantara bubuk yang memenuhi persyaratan BPOM RI
(2005) dan uji toksisitas akut dengan metode BSLT (Meyer et al 1982).
Berdasarkan ketiga parameter tersebut bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih
adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu asetat 0,002 mol.
Bubuk terpilih tersebut memiliki aktivitas antioksidan sebesar 47,07 % yang
berarti komponen antioksidan yang terkandung didalamnya mampu mereduksi
47,07% radikal bebas yang mengoksidasinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
gram bubuk Cu-turunan klorofil tersebut mampu mereduksi DPPH sebesar 18,51
mg. Besarnya aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih kemudian
disetarakan dengan kemampuan vitamin C yang dinyatakan dalam AEAC
(Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity) yaitu sebesar 106,64 mg vitamin
C/100 g.
Bubuk Cu-turunan klorofil menggunakan alkohol (etanol 96%) sebagai
pelarut, sehingga perlu dilakukan analisis residu alkohol. Kadar alkohol tersebut
dianalisis menggunakan kromatografi gas. Hasil analisis menunjukkan bahwa
kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih sebesar 0%. Hasil ini dapat
dijadikan pertimbangan untuk menilai kehalalan bubuk Cu-turunan klorofil. Hal ini
diduga karena spray dryer mampu mengubah larutan menjadi serbuk dengan
baik.
KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA DAN UJI TOKSISITAS
BUBUK Cu-TURUNAN KLOROFIL (Cu-Chlorophyllin)
DAUN MURBEI (Morus alba L.) SEBAGAI PROTOTIPE
BAHAN SUPLEMEN MAKANAN
RISTI ROSMIATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Karakteristik Fisiko-Kimia dan Uji Toksisitas Bubuk CuTurunan Klorofil (Cu-Chlorophyllin) Daun Murbei (Morus
Alba L.) sebagai Prototipe Bahan Suplemen Makanan
Nama Mahasiswa : Risti Rosmiati
NIM
: I14063190
Disetujui
Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M.Sc
NIP. 19510719 198403 2 001
Dosen Pembimbing II
Ir. Nunuk M. Januwati, MS APU
NIP. 19480101 198406 2 001
Diketahui
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat
dan
para
pengikutnya.
Atas
berkat
izin-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Fisiko-Kimia dan Uji Toksisitas
Bubuk Cu-Turunan Klorofil (Cu-Chlorophyllin) Daun Murbei (Morus Alba L.)
sebagai Prototipe Bahan Suplemen Makanan”. Skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga hendak mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
telah banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini yaitu:
1.
Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M.Sc dan Ir. Nunuk M. Januwati, MS APU
selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya,
memberikan pembelajaran, pengarahan, saran, kritik, dan semangat untuk
menyelesaikan tugas akhir
2.
Dr. Rimbawan selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji serta memberikan masukan
bagi penulis
3.
Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan selama penulis menimba ilmu di Departemen Gizi
Masyarakat ini
4.
Bapak Dedi Kusnadi dan Ibu Mimi selaku orang tua yang selalu memberikan
doa, dukungan dan limpahan kasih sayang
5.
Tantan Rustandi yang selalu menjadi kakak terbaik
6.
Leli, Lela, Azril, teh Nur dan semua saudara yang tidak dapat disebutkan
satu per satu. Penulis merasa beruntung memiliki kalian
7.
Pak Mashudi atas saran, bantuan dan dukungan selama 7 bulan penulis
melakukan penelitian di laboratorium
8.
Teman-teman
Koplag
(Komunitas
Peneliti
Laboratorium
Gizi),
para
pembahas seminar, Mbak Nunung, Mbak Dian serta para laboran yang telah
banyak membantu dan memberikan masukan
9.
Teman-teman kost ”Pondok Dewi” (Okta, Ida, Dianita, Siti, Tiwik, Rini,
Wahyu, Mei, Ionk) atas kebersamanaan kita selama di IPB
10. Teman-teman seperjuangan GM 43 atas kekompakan, kerjasama, suka,
duka selama menuntut ilmu gizi di IPB ini
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari masih ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat
bagi pembaca.
Bogor, Maret 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi, 5 Mei 1988. Penulis merupakan putri kedua
dari Bapak Dedi Kusnadi dan Ibu Mimi. Penulis menyelesaikan pendidikan di
SDN Purabaya II (tahun 2001), SMPN 1 Purabaya (tahun 2004), dan SMAN 3
Sukabumi (tahun 2006). Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Setelah satu tahun mengikuti Program Tingkat Persiapan Bersama (TPB),
penulis diterima sebagai mahasiswi Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).
Selama masa kuliah penulis pernah menjadi staf Departemen Kominfo
BEM FEMA IPB (2007-2008), FORSIA FEMA IPB (2007-2008), HIMAGIZI IPB
(2008-2009); bendahara Departemen Kominfo HIMAGIZI IPB (2007-2008) dan
BEM FEMA IPB (2008-2009); Sekretaris Kegiatan Pelatihan Jurnalistik (Bonjour)
tahun 2008 dan 2009; serta menjadi panitia kegiatan diantaranya Lomba Seni
”Cookies” BEM KM IPB (2006), Masa Perkenalan Mahasiswa Baru ”Agraris 44”
(2007), Masa Perkenalan Departemen GM (2008), Pelatihan Oraganoleptik
HIMAGIZI IPB (2008), Funny Fair (2009), Seminar Kasih GM 43 IPB (2010),
Program Lifeskills Perempuan dan Lansia di Desa Babakan Kecamatan
Dramaga Kabupaten Bogor (2010-2011); Program Lifeskills untuk Warga Usia
Lanjut (Wulan) dan Perempuan di Lingkungan Kampus IPB Darmaga Kabupaten
Bogor (2010-2011). Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) bidang kewirausahaan tahun 2008 dan menjadi finalis lomba iklan layanan
masyarakat (poster) PIMNAS tahun 2009. Selain itu penulis melaksanakan
Kuliah Kerja Profesi (KKP) tahun 2009 di Desa Sukaresmi, Tamansari Bogor
serta Internship bidang Dietetik di RS Karya Bhakti Bogor tahun 2010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xv
PENDAHULUAN.........................................................................................
1
Latar Belakang.......................................................................................
Tujuan....................................................................................................
Kegunaan...............................................................................................
1
2
2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
3
Murbei (Morus alba L.) ...........................................................................
Daun Murbei ...................................................................................
Klorofil dan Turunannya .........................................................................
Manfaat Klorofil bagi Kesehatan......................................................
Cu-Turunan Klorofil ................................................................................
Manfaat Cu (Tembaga) bagi Tubuh.................................................
Cu-turunan Klorofil ..........................................................................
Uji Toksisitas..........................................................................................
Metode Uji BSLT .............................................................................
Suplemen Makanan ...............................................................................
3
3
4
8
8
8
10
12
12
13
METODE PENELITIAN...............................................................................
15
Desain, Waktu dan Tempat ....................................................................
Bahan dan Alat.......................................................................................
Tahapan Penelitian ................................................................................
Pembuatan bubuk Cu turunan klorofil daun murbei .........................
Analisis karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu turunan Klorofil.............
Uji toksisitas bubuk Cu turunan Klorofil ...........................................
Analisis aktivitas antioksidan dan kadar alkohol bubuk Cu-turunan
klorofil terpilih ..................................................................................
Rancangan Percobaan...........................................................................
Pengolahan dan Analisis Data ...............................................................
15
15
15
16
19
20
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
25
Proses pembuatan bubuk Cu turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) ...........
Karakteristik Fisiko-Kimia .......................................................................
Karakteristik Fisik ............................................................................
Karakteristik Kimia...........................................................................
Hasil Analisis Toksisitas ........................................................................
Aktivitas Antioksidan dan Kadar Alkohol.................................................
Aktivitas Antioksidan .......................................................................
Kadar Alkohol..................................................................................
25
31
31
33
35
36
36
38
KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................
40
Kesimpulan ............................................................................................
Saran .....................................................................................................
40
41
21
23
24
Halaman
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
42
LAMPIRAN .................................................................................................
47
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Kandungan klorofil berbagai daun tumbuhan ................................
4
Tabel 2 Karakter fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil .............................
10
Tabel 3 Nilai uji proksimat, serat makanan dan beta-karoten bubuk Cuturunan klorofil daun cincau hijau dan daun murbei.......................
11
Tabel 4 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil.............
31
Tabel 5 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil...........
33
Tabel 6 Hasil uji toksisitas (LC50) bubuk Cu-Turunan Klorofil......................
35
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Struktur kimia klorofil beserta turunannya (Ferruzzi & Blasklee
2006) ........................................................................................
7
Gambar 2 Diagram alir pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil daun
murbei ......................................................................................
18
Gambar 3 Kurva Cu standar......................................................................
20
Gambar 4 Kurva standar Vitamin C setelah direaksikan dengan DPPH ....
22
Gambar 5 Daun murbei varietas Kanva di Teaching Farm Sutera Alam,
University Farm IPB..................................................................
25
Gambar 4 Bubuk Cu-Turunan Klorofil pada beberapa konsentrasi Cu ......
30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Prosedur analisis karakteristik fisik.........................................
48
Lampiran 2 Prosedur analisis karakteristik kimia.......................................
56
Lampiran 3 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil .......
57
Lampiran 4 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil.....
58
Lampiran 5 Nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil........................................
61
Lampiran 6 Cara perhitungan aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan
klorofil terpilih .........................................................................
62
Lampiran 7 Kromatogram kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih
64
Lampiran 8 Dokumentasi proses pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil....
65
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Klorofil merupakan zat warna hijau alami yang umumnya terdapat dalam
daun sehingga sering disebut zat hijau daun (Gross 1991). Hasil penelitian
Kumar et al. (2004) menunjukkan bahwa klorofil dan beberapa turunannya
memiliki kemampuan antioksidatif baik secara in vitro maupun in vivo.
Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Marquez et al. (2005)
dan Ferruzzi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa klorofil dan turunannya
memiliki kemampuan antioksidan dan antimutagenik serta antikanker (Breinholt
et al. 1995; Hasegawa et al. 1995; Keller et al. 1996; Tassetti et al. 1997; Barder
et al. 2006). Klorofil dan turunannya dapat dimanfaatkan sebagai pewarna
makanan dan suplemen makanan (Hendler & Rorvik 2001; Prangdimurti 2007;
Limantara 2009).
Karakteristik
klorofil yang penting adalah ketidakstabilan secara kimia,
seperti peka terhadap cahaya, panas, oksigen dan degradasi kimia (Gross 1991).
Oleh karena itu, untuk memperoleh klorofil yang stabil perlu penanganan khusus,
seperti membentuk kompleks turunan klorofil dengan Cu (Hendry & Houghton
1996). Ferruzi et al. (2002) menyatakan bahwa Cu-Chlorophyllin memiliki
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibanding turunan klorofil alami. Selain itu,
Cu merupakan salah satu zat gizi mikro essensial yang berfungsi sebagai bagian
dari enzim dalam tubuh (Almatsier 2009).
Ketersediaan sumber-sumber klorofil di Indonesia sangat besar mengingat
kondisi geografisnya. Negara tropis seperti Indonesia memiliki kekayaan flora
yang melimpah termasuk flora yang mengandung bahan aktif tertentu yang dapat
digunakan sebagai obat ataupun suplemen makanan. Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (2001) menyatakan bahwa sembilan puluh persen dari spesies
tumbuhan yang berada di Asia memiliki khasiat sebagai obat. Hampir 80%
tumbuhan tersebut telah dimanfaatkan penduduk lokal sebagai obat-obatan
tradisional secara empiris.
Menurut Kusharto et al. (2008) daun murbei (Morus alba L.) varietas Kanva
termasuk daun yang mengandung klorofil relatif tinggi yaitu sebesar 844 ppm.
Berdasarkan penelitian Yadav et al. (2008) daun murbei dapat meredakan gejala
gelisah (anxiety). Hahm et al. (2008) melakukan penelitian mengenai manfaat
daun murbei yang dapat menurunkan tekanan darah sistol dan diastol. Penelitian
dilakukan terhadap tikus dan hasilnya signifikan. Selain itu daun murbei juga
2
dapat mengurangi perkembangan lesi aterosklerosis pada tikus dengan cara
meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi (Enkhma et al. 2008). Budidaya
tanaman murbei di Indonesia telah lama dilakukan, khususnya untuk pakan ulat
sutera. Namun peternakan ulat sutera pada umumnya baru menghasilkan produk
berupa kokon sebagai bahan baku produksi benang sutera yang harga jualnya
relatif rendah. Berdasarkan uraian tersebut, dirasa perlu membuat produk bubuk
Cu-turunan klorofil dengan memanfaatkan bagian daun murbei yang tidak
terpakai untuk pakan ulat sutera serta dilakukan uji toksisitas sebagai salah satu
tahapan analisis keamanan pangan.
Tujuan
Tujuan Umum
Menganalisis karakteristik fisiko-kimia dan toksisitas bubuk Cu-turunan
klorofil (Cu-Chlorophyllin) daun murbei sebagai prototipe bahan suplemen
makanan.
Tujuan Khusus
1.
Mempelajari pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei;
2.
Menganalisis karakteristik fisik (rendemen, kelarutan dan warna) serta
karakteristik kimia (kadar air, pH, kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin) bubuk Cu-turunan klorofil;
3.
Menganalisis toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin);
4.
Menganalisis aktivitas antioksidan dan kadar alkohol bubuk Cu-turunan
klorofil yang terpilih.
Kegunaan
Produk yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan bagi kalangan akademisi, medis, farmasi dan industri pangan
sebagai alternatif bahan suplemen makanan. Selain itu produk diharapkan dapat
meningkatkan kesehatan masyarakat dan nilai ekonomis dari hasil pertanian
terutama daun murbei
3
TINJAUAN PUSTAKA
Murbei (Morus alba L.)
Tanaman murbei berasal dari Cina, tumbuh baik pada ketinggian lebih dari
100 m diatas permukaan laut (dpl) dan memerlukan cukup sinar matahari.
Tanaman murbei berbentuk perdu, tingginya mencapai 5–6 m. Di Indonesia
terdapat sekitar 100 varietas murbei. Beberapa varietas tanaman murbei yang
tumbuh dan berkembang dengan baik di Jawa Barat diantaranya murbei varietas
Kanva-2 (400-1200 dpl), Cathayana (200-500 dpl), Multicaulis (700-1200 dpl),
Lembang (200-500 dpl) (Sunanto 1997). Berdasarkan Systema Nature 2000
(Brands 1989) tanaman murbei termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Urticalis,
famili Moraceae, genus Morus dan species Morus alba L.
Daun Murbei
Tanaman murbei berdaun tunggal dan terletak pada cabang spiral. Tulang
daun berada di bagian bawah dan terlihat jelas. Bentuk dan ukuran daun
bermacam-macam, tergantung jenis dan varietasnya. Murbei varietas Kanva
mempunyai daun berbentuk jantung, ujung runcing, pangkal daun rata dan tepi
daun bergerigi runcing tumpul. Warna daun hijau tua, susunan tulang daun
menyirip dengan tekstur permukaan atas daun kasap dan bawah daun halus.
Tipe daun tunggal dengan indeks P/L daun 1,27 dan panjang tangkai daun ratarata 2,40 cm. Daun murbei rasanya pahit (Pudjiono & Septina 2008).
Daun murbei yang selama ini digunakan sebagai pakan dalam budidaya
ulat sutera memiliki khasiat sebagai obat. Daun murbei dapat menurunkan
glukosa darah, bersifat diuretik dan menurunkan tekanan darah (Sianghal et al.
2001). Daun murbei juga dapat meredakan gejala gelisah (Yadav et al. 2008).
Hahm et al. (2008) melakukan penelitian mengenai manfaat daun murbei yang
dapat menurunkan tekanan darah sistol dan diastol. Penelitian dilakukan
terhadap tikus dan hasilnya signifikan. Selain itu daun murbei juga dapat
mengurangi perkembangan lesi aterosklerosis pada tikus dengan cara
meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi (Enkhma et al. 2008).
Kandungan klorofil daun murbei varietas Kanva adalah 844 ppm (Kusharto
et al. 2008). Kandungan klorofil daun murbei varietas ini paling tinggi
dibandingkan verietas Multicaulis (682 ppm), Lembang (420 ppm), dan
Cathayana (324 ppm). Daun murbei mengandung air sebesar 74,43%, protein
sebesar 7,63%, lemak sebesar 0,59%, abu sebesar 2,56% dan karbohidrat
4
sebesar 8,45%. Selain itu kandungan serat kasar daun murbei varietas ini
sebesar 6,34% (Nurdin et al. 2009)
Klorofil dan Turunannya
Menurut Harbone (1987) klorofil merupakan katalisator dalam proses
fotosintesis yang memiliki peranan penting dan berada di alam sebagai pigmen
hijau dalam semua jaringan tumbuhan yang berfotosintesis. Gross (1991)
menjelaskan bahwa klorofil berfungsi menangkap energi cahaya untuk
mengubah karbondioksida menjadi karbohidrat. Karbohidrat dibentuk dalam
tumbuhan yang berklorofil melalui reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar
matahari yang disebut sebagai proses fotosintesis (Winarno 2008).
Klorofil a dan klorofil b terdapat pada semua tumbuhan hijau dengan
perbandingan 3:1 pada tumbuhan tinggi. Kondisi pertumbuhan dan faktor
lingkungan dapat mempengaruhi perbandingan tersebut (Gross 1991). Menurut
Sweetman (2005) berat molekul klorofil a adalah 893,5 dan klorofil b adalah
907,51. Klorofil a dan b terdapat dalam tumbuhan, ganggang dan bakteri,
sedangkan klorofil c, d dan e terdapat dalam ganggang (Hendry & Houghton
1996).
No
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
13
Tabel 1 Kandungan klorofil berbagai daun tumbuhan
Kadar Klorofil (ppm) daun
Jenis Sayuran
a
b
Total
Rasio a:b
Daun singkonga
2853,2 1114,3 3967,5
2,6:1
Daun katuka
1688,1 513,9 2202,0
3,3:1
Daun kangkunga
1493,5 519,9 2013,5
2,9:1
Daun bayama
1205,0 255,9 1460,9
4,7:1
Kacang panjanga
169,1
55,5
224,6
3,0:1
Buncisa
57,0
18,5
75,4
3,1:1
Seladaa
482,7
148,6
631,3
3,2:1
Daun kemangia
842,7
479,6 1322,7
1,8:1
Daun poh-pohana
1495,4 587,1 2082,5
2,5:1
Cincau hijaub
1300
408,7 1708,8
3,2:1
b
Daun murbei var. Kanva
651,7
192,5
844,2
3,4:1
Daun pegaganb
612,5
219,0
831,5
2,8:1
Sumber: a Alsuhendra (2004), b Kusharto et al. (2008)
Jenis dan kandungan klorofil dalam jaringan tanaman tergantung pada
spesies, varietas dan tempat tumbuh. Klorofil dapat ditemukan pada daun dan
permukaan batang yaitu di dalam spongi di bawah kutikula. Oleh sebab itu
sayuran lebih banyak mengandung klorofil dibandingkan dengan buah-buahan
yang telah matang (Alsuhendra 2004).
5
Klorofil secara struktural merupakan porfirin yang mengandung cincin
dasar tetrapirol yang berikatan dengan ion Mg2+. Cincin dasar isosiklik yang
kelima berada dekat dengan cincin pirol ketiga. Substituen asam propionat
diesterifikasi pada cincin keempat oleh gugus fitol, suatu diterpen alkohol
(C20H39OH) yang bersifat hidrofobik. Jika gugus ini dihilangkan dari struktur
intinya maka klorofil berubah menjadi turunannya yang bersifat hidrofilik. Klorofil
merupakan ester dan larut dalam pelarut organik (Gross 1991).
Kelabilan yang ekstrim merupakan karakteristik penting dari klorofil. Klorofil
sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen, degradasi kimia yang meliputi reaksi
feofitinisasi, reaksi pembentukan chlorophyllide dan reaksi oksidasi. Klorofil dapat
berubah menjadi turunannya baik secara in vivo maupun in vitro (Gross 1991).
Reaksi feofitinisasi adalah reaksi pembentukan pheophytin yang berwarna
hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena ion Mg di pusat molekul klorofil
terlepas dan diganti oleh ion H. Denaturasi protein pelindung dalam kloroplas
mengakibatkan ion magnesium mudah terlepas dan diganti oleh ion hidrogen
membentuk pheophytin. Reaksi pembentukan chlorophyllide terjadi pada hampir
semua tumbuhan hijau dimana terdapat enzim klorofilase yang dapat
menghidrolisis
gugus
fitol
dari
klorofil
sehingga
terlepas
membentuk
chlorophyllide (Gross 1991).
Reaksi oksidasi dibagi menjadi reaksi oksidasi non enzimatik dan oksidasi
enzimatik. Reaksi oksidasi non enzimatik terjadi karena pemanasan dan selama
penyimpanan. Kecepatan degradasi oksidatif meningkat sejalan dengan lamanya
pertambahan waktu blansir dan penyimpanan. Pengaruh blansir tampak dalam
dua hal. Pertama, blansir menginaktivasi enzim-enzim yang membantu degradasi
klorofil, sehingga klorofil lebih stabil. Kedua, blansir dalam waktu yang lebih lama,
meskipun menginaktivasi enzim, tetapi merangsang reaksi oksidasi yang
mengakibatkan kehilangan klorofil. Waktu blansir yang paling optimum adalah 45
detik sampai 1 menit, dimana aktivasi enzim dan peransang reaksi oksidasi
dihambat. Reaksi oksidasi enzimatik terjadi dengan adanya enzim lipoksigenase
(linoleat oksidoreduktase) yang terdapat disebagian besar sayuran dan buahbuahan. Enzim lipoksigenasi diidentifikasi sebagai enzim yang memberikan
pengaruh pemucatan pada klorofil a dan klorofil b dengan kehadiran lemak dan
oksigen (Eskin 1979 diacu dalam Prangdimurti 2007).
6
Turunan klorofil diantaranya:
1. Chlorophyllide, reaksi pembentukan chlorophyllide terjadi pada hampir semua
tumbuhan hijau dimana terdapat enzim klorofilase yang dapat menghidrolisis
gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk chlorophyllide.
Chlorophyllide merupakan senyawa berwarna hijau mempunyai sifat spektral
yang sama dengan klorofil tetapi lebih larut dalam air. Chlorophyllide juga
dapat kehilangan ion magnesium yang diganti dengan ion hidrogen
membentuk
pheophorbide.
Klorofil
dapat
dengan
mudah
dihirolisis
menghasilkan chlorophyllide dan fitol pada kondisi asam maupun basa.
2. Pheophytin a dan b merupakan turunan klorofil bebas magnesium, dimana
pheophytin a dan b secara mudah diperolah dari klorofil dengan perlakuan
asam, sehingga melepaskan magnesium. Reaksi terjadi 1 sampai 2 menit
menggunakan HCl dengan konsentrasi 13%. Kecepatan terbentuknya
pheophytin merupakan reaksi ordo pertama terhadap konsentrasi asam.
Warna hijau dari sayuran dengan cepat berubah dari hijau terang menjadi
hjau kecoklatan karena pemanasan dan penyimpanan. Asam-asam yang
terbentuk adalah asam asetat dan asam pirolidon karboksilat (Gross 1991).
3. Pheophorbide a dan b adalah klorofil terhidrolisis tanpa fitol (chlorophyllide)
yang juga bebas Mg. Pheophorbide dihasilkan dari klorofil dengan suasana
asam (HCl 30%) atau chlorophyllide yang diasamkan (Gross 1991)
4. Pyrochlorophyll, turunan pyro dari klorofil atau turunannya adalah senyawa
yang kehilangan gugus karboksimetoksi (-COOCH3) pada C-10 dari cincin
isosiklik, suatu gugus yang diganti oleh hidrogen. Klorofil a, methyl
chlorophyllide a, pheophytin a atau methyl pheophorbide a bila dipanaskan
pada 1000C menghasilkan turunan pyro oleh dekarbometoksilasi (Gross 1991)
Menurut Gross (1991) klorofil a berwarna hijau kebiruan (blue-yellow) dan
klorofil b berwarna hijau kekuningan (yellow-green). Warna hijau yang tampak
pada klorofil dikarenakan klorofil menyerap secara kuat pada area merah dan
biru pada spektrum tampak. Klorofil a bersifat kurang polar serta larut dalam
alkohol, eter dan aseton sedangkan klorofil b bersifat lebih polar serta dalam
keadaan murni sedikit larut dalam petroleum eter namun tidak larut dalam air.
Klorofil b dan pheophytin b larut dalam alkohol, eter, aseton dan benzene, serta
dalam keadaan murni tidak larut dalam petroleum eter dan air. Chlorophyllide
dan pheophorbide tidak larut dalam pelarut organik tetapi larut air. Klorofil a dan
7
klorofil b bersifat fluoresen dalam larutan (Kusumaningsih 2003; Clydesdale et al.
1969 diacu dalam Nurdin 2009).
Gambar 1 Struktur kimia klorofil beserta turunannya (Ferruzzi & Blakeslee 2006)
Muchtadi (1992) menjelaskan bahwa protein dari senyawa kompleks pada
sayuran yang mengandung klorofil akan mengalami denaturasi selama
perebusan sehingga klorofil akan dibebaskan. Klorofil yang bebas tersebut
sangat tidak stabil dan Mg2+ yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah
digantikan oleh H+. Hal ini menyebabkan warna sayuran yang semula hijau
berubah menjadi kecoklatan karena terbentuknya pheophytin (Ferruzzi &
Schwartz 2001). Warna hijau terang (bright green) dari sayuran segar
menunjukkan kualitas daun yang dipengaruhi oleh umur (aging), pH, panas,
kompleks metal, oksidasi, enzim dan fermentasi. Semua faktor tersebut dapat
mempengaruhi warna alami klorofil yaitu menyebabkan degradasi klorofil
(Hutchings 1994). Perubahan warna inilah yang harus diperhatikan dalam
mengolah produk-produk yang mengandung klorofil. Warna merupakan salah
satu karakteristik penilaian pertama konsumen dalam membeli produk makanan
yaitu 45% dari keseluruhan mutu makanan (Eskin 1979 diacu dalam Kandiana
2010).
8
Manfaat Klorofil bagi Kesehatan
Hasil penelitian Kumar et al. (2004) menunjukkan bahwa klorofil dan
beberapa turunannya memiliki kemampuan antioksidatif baik secara in vitro
maupun in vivo. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Marquez
et al. (2005) dan Ferruzzi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa klorofil dan
turunannya memiliki kemampuan antioksidan dan antimutagenik. Kemampuan
klorofil dan turunannya dimanfaatkan juga sebagai pewarna makanan,
penghilang bau badan (Limantara 2009) dan antikanker (Breinholt et al. 1995;
Hasegawa et al. 1995; Keller et al. 1996 & Tassetti et al. 1997; Barder et al.
2006).
Klorofil dan turunannya seperti pheophytin, pyropheophytin, pheophorbide
dan chlorophyllide telah menunjukkan antimutagenik secara in vitro melawan
mutagen
seperti
3-methylcholanthrene,
N-methyl-N’-nitri-N’-nitrosoguanidine
(MNNG) dan aflatoksin B1 (Dashwood et al. 1991). Klorofil dan chlorophyllin juga
telah menunjukkan efek antikarsinogenik pada hewan coba, dalam hal ini dalam
melawan karsinogen seperti alfatoksin B1 (Breinholt et al. 1995), 1,2
dimethylhydrazine (Robins & Nelson 1989) dan dibenzopyrene (Reddy et al.
1999). Mekanisme kerja antimutagenik dan antikarsinogenik dari klorofil dan
chlorophyllin tidak diketahui,
diduga sifat antioksidan dari klorofil atau
chlorophyllin yang berperan disini. Kemungkinan lain adalah pembentukan
kompleks antara mutagen atau karsinogen dengan klorofil atau chlorophyllin
yang akan menginaktivasi mutagen atau karsinogen. Berdasarkan Physicians
Desk Reference (PDR) for Nutritional Supplement klorofil dan chlorophyllin dapat
dijadikan sebagai suplemen makanan (Hendler & Rorvik 2001).
Cu-Turunan Klorofil
Manfaat Cu (Tembaga) bagi Tubuh
Cu atau tembaga merupakan salah satu zat gizi mikro essensial yang
berfungsi sebagai bagian dari enzim dalam tubuh. Tembaga terlibat dalam
pembentukan energi di dalam mitokondria melalui transport elektron protein.
Tembaga yang berada dalam sel darah merah sebagian besar berbentuk
metaloenzim superoksida dismutase yang berfungsi sebagai antioksidan serta
membantu sintesis melanin dan katekolamin. Tembaga dalam seruloplasmin
berperan pada proses oksidasi besi sebelum ditransportasikan ke dalam plasma
(Anderson 2004).
9
Tembaga dalam enzim metaloprotein berperan pada proses sintesis
protein kompleks jaringan kolagen di dalam kerangka tubuh dan pembuluh darah
serta pada proses sintesis pembawa rangsangan saraf (neurotransmitter) seperti
noradrenalin dan neuropeptida seperti ensefalin (Almatsier 2009). Beberapa
enzim yang mengandung tembaga lainnya adalah tirosinase untuk memproduksi
pigmen dalam epidermis, urikase pada metabolisme asam urat di dalam hati dan
ginjal, lisis oksidase dalam kondensasi asam amino, amino oksidase pada
plasma dan jaringan ikat, serta tiol oksidase dalam pembentukan ikatan disulfida
(Garrow & James 1993). Orang dewasa mengandung tembaga sekitar 100 mg
yang umumnya terikat terhadap sekitar 30 jenis enzim dan protein (Buttriss &
Hughes 2000).
Menurut Anderson (2004) defisiensi tembaga dikategorikan sebagai
anemia, neutropenia dan kelainan skeletal terutama demineralisasi. Selain itu
defisiensi
tembaga
diduga
menyebabkan
subperiosteal
hemorrhage,
depigmentasi rambut dan kulit. Namun belum ada bukti spesifik tentang
defisiensi tembaga yang terjadi pada manusia. Penyakit Menkes yang
merupakan kelainan genetik dapat menyebabkan defisiensi tembaga.
Angka Kecukupan Gizi untuk tembaga belum ditentukan di Indonesia
karena kekurangan tembaga karena makanan jarang terjadi. Jumlah tembaga
yang aman dikonsumsi yang ditentukan oleh Amerika Serikat adalah sebesar
1,5-3 mg sehari (Almatsier 2009). Keputusan Kepala Badan pengawas Obat dan
Makanan RI No. HK.00.05.23.3644 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan
Suplemen Makanan menyebutkan bahwa batas maksimum Cu yang diizinkan
terdapat dalam suplemen makanan sebanyak 3 mg/hari (BPOM RI 2005). Angka
ini lebih rendah dibandingkan dengan UL-nya yaitu sebesar 10 mg/hari (Young
et al. 2001).
Nekrosis hati atau sekrosis hati merupakan akibat dari kelebihan tembaga
secara kronis yang menumpuk di dalam hati. Kelebihan tembaga dapat terjadi
karena konsumsi suplemen tembaga atau penggunaan alat memasak dari
tembaga terutama pada saat memasak cairan bersifat asam. Konsumsi
sebanyak 10-15 mg perhari dapat menyebabkan muntah dan diare (Almatsier
2009). Penyakit Wilson merupakan penyakit yang ditandai dengan akumulasi
tembaga yang berlebih di dalam jaringan tubuh seperti mata sebagai hasil dari
defisiensi genetik pada sintesis seruplasmin hati. Penyakit ini biasanya terjadi
10
pada orang yang melakukan diet vegetarian ketat karena sayuran dan buah
sedikit sekali mengandung tembaga (Anderson 2004).
Cu-Turunan Klorofil
Logam Zn, Cu, Fe, Ni dan Co adalah logam yang biasa digunakan untuk
membentuk kompleks turunan klorofil atau molekul porfirin. Namun yang umum
digunakan dalam hubungannya dengan kesehatan adalah logam Zn dan Cu. Zn
dan Cu bersama dengan kompleks cincin porfirin membentuk suatu ikatan kuat
yang lebih tahan panas dan asam dibandingkan dengan klorofil asal. Beberapa
penelitian yang menggunakan sayuran telah membuktikan hal tersebut (Canjura
et al. 1999). Laborde dan Von elbe (1994) menyatakan bahwa ion logam tidak
bereaksi dengan klorofil alami, namun hanya bereaksi dengan turunan klorofil.
Berbagai penelitian in vitro menunjukkan bahwa klorofil dan turunannya
dapat digunakan sebagai antikanker, antiimflamasi dan antioksidan. Hasil
penelitian membuktikan bahwa Cu-chlorophyllin mempunyai aktivitas antioksidan
yang lebih tinggi dibandingkan klorofil alami (Marquez et al. 2005) dan turunan
klorofil alami (Ferruzi et al. 2002). Hal ini menandakan pentingnya logam terikat
dalam porfirin. Prangdimurti (2007) juga menyatakan bahwa ekstrak daun suji
dengan kadar klorofil 0,082 mg/ml, klorofil suji dan Cu-Chlorophyllin dengan
kadar klorofil semuanya setara 0,041 mg/ml mampu menghambat oksidasi LDL
secara in vitro sebesar 54%, 40% dan 100% secara berturut-turut. Berdasarkan
hasil tersebut dapat dikatakan bahwa Cu-Chlorophyllin memiliki aktivitas
menahan oksidasi LDL yang lebih besar dibandingkan dengan klorofil alami.
Hasil penelitian Nurdin (2009) memperkuat pernyataan tersebut dimana bubuk
ekstrak Cu-turunan klorofil sebanyak 16,7 mg/kg BB/hari lebih berpotensi
mencegah pembentukan lesi aterosklerosis dibanding dengan klorofil alami
maupun klorofil komersil.
Karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil dari daun murbei
varietas Kanva (Nurdin et al. 2009) dan daun cincau hijau (Premna oblongifolia
Merr.) (Nurdin 2009 dan Kandiana 2010) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakter fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil
Karakteristik
Bubuk Cu-turunan klorofil
Bubuk Cu-turunan klorofil
daun cincau hijaua,b
daun cincau hijauc
Rendemen (%)
14,20
5,325
pH
7,64
6,275
6,48
Kelarutan (%)
98,04
93,44
62,99
Sumber: a Nurdin (2009), b Kandiana (2010), c Nurdin et al. (2009)
11
Selain itu Nurdin (2009) dan Nurdin et al. (2009) juga melakukan uji warna,
analisis proksimat, analisis serat kasar dan kandungan beta karoten bubuk Cuturunan klorofil daun cincau hijau dan daun murbei. Uji warna dilakukan pada
bubuk Cu-turunan klorofil sebelum dan sesudah dipanaskan. Tingkat kecerahan
dan kekuningan relatif stabil, penurunan hanya terjadi pada tingkat kehijauan
namun relatif kecil.
Tabel 3 Nilai uji proksimat, serat makanan dan beta-karoten bubuk Cu-turunan
klorofil daun cincau hijau dan daun murbei
Bubuk Cu-turunan
Bubuk Cu-turunan
Jenis Analisis
klorofil daun cincau
klorofil daun murbeib
a
hijau
Air (%)
6,93
6,35
Protein (%)
0,89
2,79
Lemak (%)
7,11
5,85
Abu (%)
2,63
2,26
Karbohidrat (%)
82,44
78,87
Serat kasar (%)
3,31
3,88
Beta-karoten (mg/100 g)
3,38
Sumber: a Nurdin (2009), b Nurdin et al. (2009)
Nurdin et al. (2009) melakukan uji fitokimia terhadap bubuk Cu-turunan
klorofil daun murbei. Tanin, steroid dan glikosida merupakan zat fitokimia yang
paling dominan (positif sangat kuat). Selain itu kandungan alkaloid, saponin dan
flavonoidnya tergolong positif kuat sekali. Bubuk Cu-turunan klorofil ini juga
mengandung sedikit (positif lemah) fenolik dan triterpenoid.
Zat fitokimia memiliki potensi sebagai obat alternatif untuk meningkatkan
derajat kesehatan. Alkaloid memiliki manfaat bagi tubuh untuk menghilangkan
rasa sakit (analgesik), menurunkan tekanan darah dan antimalaria. Glikosida
dapat
dijadikan
sebagai
obat
jantung,
melancarkan
buang
air
kecil,
mengencerkan dahak dan prekursor hormon steroid. Manfaat saponin adalah
menstimulasi jaringan tertentu seperti epitel hidung, bronkus, dan ginjal.
Stimulasi pada ginjal diduga menimbulkan efek diuretika (Sirait 2007). Tanin
merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai
antioksidan kuat, anti peradangan dan antikanker. Tanin pada umumnya
dimanfaatkan sebagai pengencang kulit dalam kosmetik (Yuliarti 2008). Sifat
tanin dapat menciutkan dan mengendapkan protein dari larutan dengan
membentuk senyawa yang tidak larut (Sirait 2007). Kandungan tanin dalam
bubuk Cu-turunan klorofil juga menjadi nilai tambah tersendiri. Tanin dapat
12
digunakan untuk membunuh bakteri Stroptococcus pyogenes dan Pasteurella
multicida secara in vitro (Siswantoro 2008).
Uji Toksisitas
Toksikologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari sifat-sifat racun zat
kimia terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Setiap zat kimia pada dasarnya
bersifat racun, namun keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian.
Setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosisnya yaitu dosis kecil yang
tidak berefek sama sekali atau dosis besar yang dapat menimbulkan keracunan
dan kematian (Darmansjah 1995).
Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting
dari toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan
dipergunakan harus diuji toksisitas dan keamanannya. Sebelum percobaan
toksikologi dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat
dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk mengarahkan
percobaan toksisitas yang akan dilakukan. Tujuan utama percobaan toksisitas
akut adalah mencari efek toksik, sedangkan tujuan utama percobaan toksisitas
kronik ialah menguji keamanan obat atau zat kimia. Menafsirkan keamanan obat
atau zat kimia untuk manusia dapat dilakukan melalui serangkaian percobaan
toksisitas terhadap hewan. Istilah menafsirkan ini digunakan, karena ekstrapolasi
dari data hewan ke manusia tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa
mempertimbangkan segala faktor perbedaan antara hewan dan manusia.
Pendekatan penilaian keamanan obat atau zat kimia dapat dilakukan dengan
tahapan berikut: (1) menentukan LD50; (2) melakukan percobaan toksisitas
subakut dan kronik untuk menentukan no effect level; dan (3) melakukan
percobaan karsinogenisitas, teratogenitas dan mutagenisitas yang merupakan
bagian dari screening rutin mengenai keamanan (Darmansjah 1995).
Metoda uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
BSLT merupakan salah satu metoda screening bahan yang berpotensi
sebagai tanaman berkhasiat serta merupakan metode screening farmakologi
awal yang relatif murah dan telah teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan
95% (Meyer et al. 1982). Metode ini menggunakan larva udang laut (Artemia
salina Leach.) sebagai bioindikator. Larva udang laut merupakan organisme
sederhana dari biota laut yang sangat kecil dan mempunyai kepekaan yang
cukup tinggi terhadap toksik (Parwati & Simanjuntak 1998; Carballo et al. 2002).
Telurnya memiliki daya tahan hidup selama beberapa tahun dalam keadaan
13
kering. Telur udang dalam air laut akan menetas menjadi larva dalam waktu 2428 jam (Pujiati 2002). Bila bahan yang diuji memberikan efek toksik terhadap
larva udang laut, maka hal itu merupakan indikasi awal dari efek farmakologi
yang terkandung dalam bahan tersebut. Metode ini juga banyak digunakan
dalam berbagai analisis biosistem seperti analisis terhadap residu pestisida,
mikotoksin, polusi, senyawa turunan morfin, dan karsinogenik dari phorbol ester
(Meyer et al. 1982).
Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dapat diketahui dari jumlah
kematian larva udang akibat pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam
tumbuhan tertentu dari dosis yang telah ditentukan dengan melihat nilai LC50
(lethal concentration). Apabila nilai LC50 kurang dari 1000 ppm, ekstrak tumbuhan
tersebut dikatakan toksik. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna
terhadap potensi aktivitasnya sebagai antikanker. Metode BSLT ini mempunyai
keunggulan yaitu waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, praktis, tidak
memerlukan teknik aseptis, tidak memerlukan perawatan khusus, menggunakan
sampel relatif sedikit, tidak memerlukan serum hewan. Prinsip uji BSLT adalah
mencari hubungan antara konsentrasi larutan fraksi atau ekstrak terhadap respon
kematian larva udang (Meyer et al. 1982).
Suplemen Makanan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI) mendefinisikan
suplemen makanan sebagai produk yang dimaksudkan untuk melengkapi
kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin,
mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan
tumbuhan) yang
mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah
terkonsentrasi (BPOM RI 2005).
Suplemen makanan berfungsi sebagai zat tambahan yang berguna untuk
memperbaiki dan mengingkatkan daya tahan tubuh. Zat aktif yang dikandungnya
hanya mempengaruhi struktur atau fungsi tubuh, tidak dapat mengobati atau
mencegah suatu penyakit. Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk mengklaim
suplemen sebagai obat (Sudarisman 1997; Winarno & Kartawidjajaputra 2007),
namun suplemen makanan dapat mencantumkan klaim kesehatan pada labelnya
(Winarno & Kartawidjajaputra 2007). Penggunaan produk suplemen dalam
kebutuhan
sehari-hari
masih
diperbincangkan
oleh
para
ahli.
Anjuran
penggunaan suplemen hanya diberikan bila asupan zat gizi seseorang tidak
mencukupi kebutuhannya (Loni 2001).
14
Peraturan Perundang-undangan dibidang Suplemen Makanan menyatakan
bahwa suplemen makanan harus memiliki kriteria sebagai berikut: (a)
Menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan
serta standar dan persyaratan yang ditetapkan; (b) Kemanfaatan yang dinilai dari
komposisi dan atau didukung oleh data pembuktian; (c) Diproduksi dengan
menerapkan Cara Pembuatan yang Baik; (d) Penandaan yang harus
mencantumkan informasi yang lengkap, obyektif, benar dan tidak menyesatkan;
(e) Dalam bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, serbuk, granul, setengah padat dan
cairan yang tidak dimaksud untuk pangan. Selain itu, suplemen makanan harus
diproduksi dengan menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu sesuai
dengan Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia atau standar lain yang
diakui (BPOM RI 2005).
Komposisi suplemen makanan merupakan susunan kualitatif dan kuantitatif
bahan utama dalam suplemen makanan. BPOM RI telah menetapkan daftar
batas maksimum per hari untuk penggunaan vitamin, mineral, asam amino dan
bahan lain yang diizinkan serta bahan (tumbuhan, hewan, mineral) yang dilarang
dalam suplemen makanan. Vitamin, mineral dan asam amino yang diizinkan
terdapat dalam suplemen makanan diantaranya vitamin A, B1, B2,B3, B6, B12,
D, E, C, K, beta karoten, biotin asam folat, besi, boron, fosfor, kalium, kalsium,
kromium, magnesium, mangan, molibdium, selenium, tembaga, vanadium,
iodium, zink, inositol, glutamine, glutation, karnitin, ko enzim Q 10. Kolin, larginin, leusin, lisin, metal sistein, taurin dan tirosin. Bahan lain yang diizinkan
diantaranya bioflavonoid, citosan, fluor, glukosamin, kafein, kondroitin sulfat,
metilsulfonilmetan dan silika (BPOM RI 2005).
15
METODE
Desain, Waktu dan Tempat
Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilaksanakan pada MeiNovember 2010. Tempat yang digunakan ialah Laboratorium Analisis Kimia dan
Makanan, Departemen Gizi Masyarakat - FEMA IPB; Laboratorium Kimia,
Departemen Kimia - FMIPA IPB; Laboratorium Balai Besar Industri Agro, Cikaret
Bogor; Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM – IPB, Laboratorium Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Cimanggu Bogor; dan Laboratorium
Keamanan Pangan PT. Saraswanti Indo Genetech di Gedung Alumni IPB.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya daun
murbei segar, akuades, etanol 96%, HCl 4 N, Cu2+ dalam bentuk Cu-asetat,
NaOH 4 N, maltodekstrin, asam nitrat pekat, asam nitrat 1 N, H2O2 pekat, H2SO4
pekat, larva udang laut, air laut, methanol pa, vitamin C, air bebas ion, larutan
DPPH, standar etanol, standar internal n-propanol dan akuabides.
Peralatan yang digunakan diantaranya timbangan, timbangan analitik,
blender, gunting, wadah-wadah plastik, kain saring halus (60 mesh), corong
Buchner, pompa vakum, kertas saring Whatman no. 40 dan no. 42, pH meter,
gelas piala berbagai ukuran, gelas takar, magnetic stirrer, homogenizer,
aluminium foil, freezer, refrigerator, spray dryer, kantong plastik bening, The
Royal Horticultural Society’s Colour Chart, labu takar 100 ml, labu takar 50 ml,
penangas air, sentrifuse, tabung sentrifuse, corong penyaring, pipet volumetrik,
labu Erlenmeyer 100 ml, Erlenmeyer 250 ml, AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometer) Shimadzu AA-7000, lampu Hollow Cathode untuk Cu, vial,
pipet mikro, aerator, vortex, pipet tetes, shaker, tabung reaksi, spektrofotometer
UV-Vis, kuvet, tabung tertutup, labu lemak, rotaporator, oven, botol semprot,
desikator, cawan aluminium, sudip, pipet mikro, dan kromatografi gas Clarus 500.
Tahapan penelitian
Adapun tahapan penelitian diantaranya pembuatan, analisis karakteristik
fisiko-kimia dan uji toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil, serta analisis aktivitas
antioksidan dan analisis kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih.
16
Pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil dari daun murbei
Ekstraksi dan penyiapan Cu-turunan klorofil dilakukan mengacu pada
penelitian Nurdin et al. (2009) yang menggunakan Metode Tanucci dan von Elbe
(1992) yang dimodifikasi. Daun murbei yang digunakan adalah daun murbei
varietas Kanva yang diambil dari Teaching Farm Sutera Alam (TFSA) IPB di
Desa Sukamantri. Bagian daun murbei yang digunakan dalam penelitian ini
adalah daun yang matang fisiologis dan merupakan produk samping dari
budidaya ulat sutera. Helai daun yang dipilih adalah helai daun keenam ke
bawah dihitung dari puncak dan dipanen sebelum matahari terbit. Kemudian
daun murbei dicuci di bawah air mengalir, lalu dilap dan dikering-anginkan.
Ketika akan digunakan daun dipotong 1-2 cm dengan gunting untuk
memudahkan proses penghancuran.
Proses ekstraksi klorofil dilakukan di dalam ruangan gelap. Sebanyak ±
200 gram potongan daun dihancurkan dengan blender menggunakan 800 ml
etanol 96% selama 3 menit, secara terputus setiap 1 menit. Hancuran daun
kemudian disaring dengan kain saring halus (60 mesh). Ekstraksi dilakukan
berulang sampai didapatkan warna ampas yang putih. Lalu filtrat yang diperoleh
disaring lagi dengan corong Buchner yang dibantu pompa vakum menggunakan
kertas saring Whatman no. 40. Residu dicuci dengan 200 ml etanol 96%
kemudian disaring lagi dengan corong Buchner. Filtrat diambil sebagai ekstrak
kasar klorofil.
Pembentukan turunan klorofil (pheophytin) dilakukan dengan cara
mengasamkan ekstrak klorofil dengan menambahkan HCl 4 N hingga mencapai
ekstrak berwarna coklat zaitun yang merupakan indikator Mg lepas dari klorofil
(Marquez 2005). Penurunan pH dilakukan secara bertahap, dan tetap diaduk
selama pereaksian, selanjutnya ditambahkan Cu.
Penentuan jumlah Cu yang ditambahkan mengacu pada penelitian
Kandiana (2010) yang mengasumsikan bahwa mol Cu  mol Cu-pheophytin 
mol pheophytin dan reaksi berlangsung sempurna dengan persamaan reaksi
sebagai berikut.
Klorofil + HCl
pheophytin + Cu
turunan klorofil (pheophytin)
Cu- pheophytin
Penentuan mol Cu dalam penelitian ini sebagai berikut.
Berat klorofil/liter = % total padatan klorofil x 1000
= 0,75615/100 x 1000 =
7,5615 g
17
Berat pheophytin = BM pheophytin /BM klorofil x berat klorofil
= 871,21/893,5 x7,5615 g
= 7,3729
mol pheophytin
= Berat pheophytin /BM pheophytin
= 7,3729/871,21
= 0,008 mol
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh 0,008 mol sebagai batas atas
taraf jumlah Cu yang ditambahkan, sehingga taraf penambahan Cu adalah 0 mol;
0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol; 0,006 mol dan 0,008 mol. Cu yang
ditambahkan dalam bentuk Cu-asetat [(CH3COO)2Cu.H2O] sebesar 0 mg; 199,64
mg; 399,28 mg; 799,56 mg; 1197,84 mg dan 1596,8 mg setiap 1 liter larutan.
Cu-asetat yang telah ditentukan jumlahnya sesuai perlakuan terlebih
dahulu dilarutkan dalam 10 ml akuades. Ekstrak turunan klorofil yang telah
ditambahkan Cu2+ dinaikkan pH-nya mencapai 8,5 dengan menambahkan NaOH
4 N. Reaksi dilakukan di dalam tempat tertutup selama 24 jam pada suhu ruang
dan terlindung dari cahaya serta diaduk menggunakan magnetic stirrer. Setelah
reaksi berlangsung sempurna, ditandai dengan terbentuknya warna hijau cerah.
Campuran tersebut ditambahkan maltodekstrin 3% (Alsuhendra 2004). Reaksi
dilakukan selama 30 menit menggunakan homogenizer. Kecepatan homogenizer
diatur pada skala F. Setelah reaksi selesai, campuran dimasukkan ke dalam
freezer (-200 C) dan didiamkan selama semalam sebelum dikeringkan dengan
pengering semprot (spray dryer). Setelah campuran kering, maka diperoleh
bubuk Cu-turunan klorofil.
18
Daun murbei segar
(200 g)
- Diekstrak (etanol 96%)
- Disaring
Filtrat
Ampas
- Diekstrak
(etanol 96%)
- Disaring
Disaring
(Buchner)
Filtrat
Ekstrak
Klorofil
Maltodextrin 3%
HCl 4 N
Ampas
Bubuk
Klorofil
Spray dryer
Ekstrak Turunan Klorofil
Cu-asetat
0 mol
0,001 mol
0,002 mol
0,004 mol
0,006 mol
0,008 mol
NaOH 4 N
Cu-Turunan Klorofil
-
Ditambah maltodextrin 3%
Pengadukan (magnetic stirrer)
Homogenizer
0
Spray dryer (suhu inlet 78 C, outlet
0
120 C)
Bubuk Cu-Turunan Klorofil
Gambar 2. Diagram alir pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei
19
Analisis karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil
Analisis karakteristik fisik yang dilakukan diantaranya rendemen (AOAC
1995 yang dimodifikasi), kelarutan (Fardiaz et al. 1992) dan warna (RHS 2001).
Prosedur disajikan pada Lampiran 1. Analisis karakteristik kimia yang dilakukan
diantaranya kadar air (Apriyantono et al. 1989) dan pH (Apriyantono et al. 1989),
prosedur disajikan dalam Lampiran 2, serta kadar Cu total dan Cu-Chlorophyllin
(USPC 2006 yang dimodifikasi).
a. Analisa kadar Cu bebas
Untuk membuat larutan uji, timbang 500 mg yang dimasukkan ke dalam
gelas piala lalu ditambahkan akuades 75 ml. Aduk hingga seluruh bubuk
terlarut dengan cara menggoyangkan gelas piala. Tambahkan asam nitrat 1 N
sampai pH 3, suspensi dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah
akuades sampai 100 ml lalu dikocok. Suspensi tersebut di sentrifuse dan
disaring dengan kertas saring Whatman no. 42. Filtrat diambil sebanyak 5 ml
menggunakan pipet volumetrik ke dalam labu Erlenmeyer 100 ml kemudian
ditambahkan 2 ml asam nitrat pekat dan didiamkan semalam. Kemudian filtrat
dipanaskan secara hati-hati sampai asam nitrat menguap seluruhnya yang
ditandai dengan warna uap berwarna putih. Selanjutnya filtrat diencerkan
dengan akuades sampai 50 ml di dalam labu takar. Larutan yang
telah
diencerkan kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman no.42 ke
dalam tabung reaksi tertutup. Selanjutnya larutan ditentukan konsentrasinya
dengan menggunakan alat AAS (Atomic Aborption Spectrophotometer)
Shimadzu AA-7000 pada  327,4 nm dengan flame: udara-Acetilene, lampu
”Hollow cathode” nomor 1, arus 8 mA, slit 0,02 mm dan Mode: BGC-D2.
b. Analisa kadar Cu total
Untuk membuat larutan uji, timbang 100 mg sampel yang dimasukkan
ke labu Erlenmeyer, ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat, 1 ml asam nitrat
pekat, 1 ml hidrogen peroksida pekat dan didiamkan semalam. Sampel
kemudian dipanaskan sampai berwarna hijau jernih. (Catatan: Jika larutan
berwarna coklat ditambah asam nitrat 0,5 ml sampai warna hijau). Larutan
didinginkan lalu dipindah ke labu takar 50 ml, encerkan dengan akuades
sampai 50 ml, lalu dikocok. Larutan yang telah diencerkan kemudian disaring
menggunakan kertas saring Whatman no.42 ke dalam tabung reaksi tertutup.
Kemudian larutan diukur konsentrasingan dengan menggunakan alat AAS
(Atomic Absorption Spectrophotometer) Shimadzu AA-7000 pada  327,4 nm
20
dengan flame: udara-Acetilene, lampu ”Hollow cathode” nomor 1, arus 8 mA,
slit 0,02 mm dan Mode: BGC-D2.
1.4
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
1.2
1
y = 0.0601x + 0.028
R² = 0.9991
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0
5
10
15
20
25
Konsentrasi Cu standar (ppm)
Gambar 3 Kurva Cu standar
Cara perhitungan kadar Cu bebas (ppm) dan Cu total (ppm)
=
(Abs. Sampel-Abs Blanko)
x aliquot
b
a
Berat Sampel
Keterangan:
Nilai a dan b diperoleh dari persamaan garis y = 0,060x + 0,028 (kurva Cu
standar)
c. Analisa kadar Cu yang terikat
Cu terikat (ppm) = Cu total (ppm) – Cu bebas (ppm) = A (ppm)
Cu terikat (mol) = A x 10-6 g
Berat Atom Cu
d. Menghitung kadar Cu-Chlorophyllin
mol Cu terikat  mol Cu-Chlorophyllin
Cu-Chlorophyllin (mg/g) = Cu terikat (mol) x Berat Molekul Cu-Chlorophyllin
Keterangan:
BA Cu = 63,55; BM Cu-Chlorophyllin = 724,15
21
Uji toksisitas metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
Uji toksisitas metode BSLT mengacu pada metode Meyer et al. (1982).
Telur udang ditetaskan dalam gelas piala berukuran 2 liter yang sudah berisi air
laut dan dilengkapi aerator. Telur udang akan menetas menjadi larva udang
dalam waktu 2 x 24 jam. Selanjutnya membuat larutan sampel stok, misalkan
2000 ppm. Setiap vial diisi 1 ml air laut yang berisi 10 ekor larva udang. Vial
tersebut ditambahkan larutan sampel stok dan air laut yang mencapai 2 ml
larutan sehingga konsentrasi larutan menjadi 10 ppm, 100 ppm, 500 ppm, 1000
ppm kemudian dibiarkan selama 24 jam. Jumlah larva udang yang mati dicatat
dan data yang diperoleh diolah menggunakan probit analysis untuk mengetahui
Lethal Concentration (LC50) dengan tingkat kepercayaan 95%. LC50 adalah
konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian larva udang kira-kira 50%.
Meyer et al. (1982) menyebutkan bahwa tingkat toksisitas suatu ekstrak
mengikuti pedoman sebagai berikut:
LC50 ≤ 30 ppm
= sangat toksik
30 < LC50 ≤ 1000 ppm = toksik
LC50 > 1000 ppm
= tidak toksik
Analisis Aktivitas Antioksidan dan Kadar Alkohol Bubuk Cu-turunan klorofil
terpilih
a. Analisis
aktivitas
antioksidan
metode
DPPH
(1,1-diphenyl-2-
picrylhydrazyl)
Analisis aktivitas antioksidan ini mengacu pada metode Blois (1958)
yang dimodifikasi. Sampel diambil sebanyak 2,5 gram dilarutkan dalam 25 ml
methanol pa (murni). Campuran kemudian diaduk dengan menggunakan
shaker selama 2 jam. Selanjutnya dipisahkan filtrat dan residu sampel
menggunakan alat sentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit.
Lakukan pemisahan filtrat dengan residu secara berulang sampai warna filtrat
bening. Filtrat kemudian dipekatkan dengan alat rotaporator. Hasil dari
pemekatan filtrat selanjutnya ditambahkan methanol pa hingga mencapai
volume 5 ml. Filtrat yang telah melalui prosedur di atas kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi sebanyak 20 μl lalu ditambahkan larutan DPPH (1 mM
sebanyak 1 ml dan ditambahkan air bebas ion sampai volume mencapai 5 ml.
Kemudian diinkubasi pada suhu 370C atau suhu ruang selama 30 menit.
Reaksi dilakukan di ruangan redup (gelap), selanjutnya serapannya diukur
pada panjang gelombang 516 nm. Sebagai kontrol positif dan untuk
22
pembanding digunakan vitamin C (konsentrasi 0, 25, 50, 100, 200, 300, 400,
500, 750, 1000 ppm). Satuan aktivitas antioksidan dinyatakan dalam AEAC
(Ascorbatic acid Equivalent Antioxidant Capacity).
100.00
90.00
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
80.00
70.00
60.00
y = 4.2245x + 1.8925
R² = 0.9977
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0
5
10
15
20
25
Konsentrasi Vitamin C standar (ppm)
Gambar 4 Kurva standar Vitamin C setelah direaksikan dengan DPPH
Cara perhitungan aktivitas antioksidan
Aktivitas antioksidan atau AAO (%) = (Abs. blanko – Abs. sampel) x 100%
Abs. blanko
Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC)
(% AAO - b)
Volume akhir
AEAC (mg/ 100 g) = [
x Vol.yang
]x Berat100
a
ditambahkan
sampel
Keterangan:
Nilai a dan b diperoleh dari persamaan garis y = 4,224x + 1,892
b. Analisis Kadar Alkohol menggunakan Kromatografi Gas
Metode analisis kadar alkohol ini mengacu pada metode USPC 2006,
yang dimodifikasi. Kondisi alat kromatografi gas yang digunakan diantaranya
menggunakan detektor flame-ionization serta memiliki suhu injektor 2100C,
suhu detektor 2100C, suhu kolom awal 1200C, suhu akhir 2350C dan
dipertahankan selama 5-10 menit. Gas helium digunakan sebagai gas
pembawa tekanan 0.5 kg/cm2.
23
Persiapan sampel dan larutan standar
Timbang 1-2 g sampel dimasukkan ke dalam labu lemak kemudian
ditambahkan 150 ml akuades. Lakukan destilasi hingga hasil destilasi
mencapai volume 90-95 ml yang ditampung dengan labu ukur 100 ml. Larutan
sampel yang telah didestilasi diambil 5 ml menggunakan pipet mikro dan
dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, kemudian ditambahkan 5 ml npropanol dan ditera dengan akuabides. Larutan standar dibuat dengan cara
menambahkan 5 ml etanol dan 5 ml n-propanol ke dalam labu takar 50 ml dan
ditera dengan akuabides
Penentuan kadar etanol (%) sampel
Larutan sampel diambil 5 µL dan disuntikan ke dalam kolom melalui
tempat injeksi kromatografi gas sampai diperoleh hasil kromatogram. Lakukan
hal yang sama pada larutan standar. Hitung luas area larutan standar dan
sampel dengan cara:
Luas area = respon atau tinggi peak (µV) x waktu (detik)
Kadar alkohol (%) =
konsentrasi etanol
faktor pengenceran sampel
x
luas area sampel
luas area standar
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan satu
faktor
perlakuan yaitu
penambahan Cu-asetat. Peubah respon yang diamati adalah rendemen,
kelarutan, kadar air, pH, kadar Cu total, kandungan Cu-chlorophyllin; serta
toksisitas yang dinyatakan dengan nilai LC50. Secara sistematis, bentuk umum
dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut:
Yij = μ + Ai + εij
Yij
:
peubah respon akibat perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j
μ.
:
nilai rata-rata umum
Ai
:
pengaruh penambahan Cu-asetat pada taraf ke-i
εij
:
galat unit percobaan akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i
:
banyak taraf tingkat penambahan Cu-asetat (i=0; 0,001; 0,002; 0,004;
0,006; 0,008) mol
j
:
banyak ulangan (j=1, 2)
24
Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan Microsof Excell for
Windows, kemudian dianalisis menggunakan program SPSS System for
Windows v 17.0. Data hasil analisis diuji secara statistik dengan Analysis of
Variance (ANOVA), apabila hasilnya menunjukkan adanya pengaruh yang nyata
maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Nilai LC50
diperoleh dari hasil uji toksisitas metode BSLT yang diolah secara statistik
menggunakan Probit Analysis.
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin)
Bahan dasar pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil, adalah daun murbei
varietas Kanva. Hal ini karena daun murbei varietas Kanva kandungan klorofilnya
lebih tinggi yaitu sebesar 844 ppm (Kusharto et al. 2008) dibandingkan dengan
daun murbei varietas Multicaulis (682 ppm), Lembang (420 ppm) dan Cathayana
(324 ppm) (Nurdin et al. 2009). Selain itu daun murbei
memiliki khasiat
kesehatan seperti menurunkan glukosa darah, bersifat diuretik dan menurunkan
tekanan darah (Sianghal et al. 2001); meredakan gejala gelisah (Yadav et al.
(2008); mengurangi perkembangan lesi aterosklerosis pada tikus dengan cara
meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi (Enkhma et al. 2008);
dan
menurunkan tekanan darah sistol dan diastol (Hahm et al. 2008). Budidaya
tanaman murbei di Indonesia telah lama dilakukan, khususnya untuk pakan ulat
sutera. Namun peternakan ulat sutera hanya menghasilkan produk berupa kokon
sebagai bahan baku benang sutera yang harga jualnya relatif rendah.
Gambar 5 Daun murbei varietas Kanva di Teaching Farm Sutera Alam,
University Fam IPB
Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi merupakan salah satu faktor
penting untuk mendapatkan klorofil. Klorofil merupakan senyawa yang larut
26
dalam pelarut organik (Gross 1991). Klorofil a larut dalam alkohol, eter, dan
aseton. Klorofil a dalam keadaan murni agak sukar larut dalam petroleum eter
dan tidak larut dalam air. Klorofil b dan pheophytin b larut dalam alkohol, eter,
aseton, dan benzen. Klorofil b dan pheophytin b dalam keadaan murni sangat
sukar larut dalam petroleum eter dan tidak larut dalam air (Cydesdale et al. 1969
diacu dalam Nurdin 2009). Oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih alkohol
sebagai pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi, karena alkohol relatif
lebih aman dibanding pelarut lain (dietil eter, aseton, methanol, petroleum eter)
dalam pembuatan produk pangan yang akan dikonsumsi manusia (Mahmud
1994; Alsuhendra 2004). Menurut Mahmud (1994) proses ektraksi menggunakan
pelarut etanol mampu memberikan kemurnian klorofil yang lebih baik
dibandingkan dengan aseton dan air. Hal ini berkaitan dengan kemiripan sifat
struktural etanol dengan klorofil sehingga klorofil lebih mudah larut dalam etanol.
Untuk menghalangi aktivitas klorofilase, maka digunakan pelarut murni yang
tidak diencerkan (Gross 1991). Oleh karena itu digunakan alkohol atau etanol
96% sebagai pelarut dalam proses ekstraksi.
Proses ekstraksi dilakukan di ruangan gelap atau redup karena klorofil
sangat peka terhadap cahaya (Gross 1991). Daun murbei yang telah dicuci dan
ditiriskan kemudian diblender dengan menambahkan pelarut etanol 96% selama
3 menit secara terputus setiap 1 menit. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi
kerusakan klorofil. Daun murbei yang telah dihaluskan disaring menggunakan
kain saring 60 mesh. Proses ekstraksi diulangi sampai klorofil dari daun murbei
terekstrak secara sempurna yang ditandai dengan warna etanol yang tetap
bening ketika ditambahkan ke dalam ampas daun murbei. Proses ekstraksi yang
dilakukan dalam penelitian ini sebanyak tiga kali.
Pembentukan turunan klorofil yaitu pheophytin dilakukan dengan cara
mengasamkan ekstrak klorofil dengan menambahkan HCl 13% (Gross 1991)
yang setara dengan HCl 4 N ke dalam ekstrak klorofil daun murbei, sampai
terjadi perubahan warna dari hijau menjadi coklat zaitun yang merupakan
indikator Mg terlepas dari klorofil (Marquez et al. 2005). Penurunan pH dilakukan
secara bertahap dan tetap diaduk selama pereaksian. Selama proses reaksi
terjadi penggantian atom Mg pada klorofil dengan 2 atom H. Pheophytin dengan
warna coklat zaitun yang stabil dalam penelitian ini diperoleh setelah
mereaksikan larutan selama dua jam pada suhu ruang. Turunan klorofil
berbentuk pheophytin ini tidak larut dalam air (Gross 1991).
27
Menurut Hendry dan Houghton (1996) turunan klorofil bebas logam seperti
pheophytin dan pheophorbide dengan cincin siklopentanon akan teroksidasi bila
terpapar cahaya. Stabilitas klorofil dapat dicapai apabila Mg diganti dengan Cu.
Pemilihan Cu sebagai logam pengompleks karena tingkat stabilitas kompleks Cu
dengan cincin porfirin klorofil lebih tinggi dibandingkan Mg (Cheng et al. 1992
diacu dalam Alsuhendra 2004) dan Cu merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan
tubuh sebagai bagian dari enzim (Anderson 2004; Almatsier 2009). Cu terlibat
dalam pembentukan energi di dalam mitokondria melalui transport elektron
protein. Cu yang berada dalam sel darah merah sebagian besar berbentuk
metaloenzim superoksida dismutase yang berfungsi sebagai antioksidan serta
membantu sintesis melanin dan katekolamin. Cu dalam seruloplasmin berperan
pada proses oksidasi besi sebelum ditransportasikan ke dalam plasma
(Anderson 2004). Cu dalam enzim metaloprotein berperan pada proses sintesis
protein kompleks jaringan kolagen di dalam kerangka tubuh dan pembuluh darah
serta pada proses sintesis pembawa rangsangan saraf (neurotransmitter) seperti
noradrenalin dan neuropeptida seperti ensefalin (Almatsier 2009). Oleh sebab itu
penambahan Cu ke dalam turunan klorofil diduga tidak membahayakan
kesehatan.
Turunan klorofil yang berikatan dengan Cu, tidak peka terhadap cahaya
dan tidak terjadi dekomposisi dengan adanya asam mineral (Sweetman 2005).
Demikian juga disebutkan oleh Canjura et al. (1999) bahwa kompleks cincin
porfirin klorofil dengan Cu membentuk suatu ikatan kuat, yang lebih tahan
terhadap asam dan panas dibandingkan dengan klorofil asal (porfirin berikatan
dengan Mg). Sebanyak 4 atom Nitrogen (N) pada cincin porfirin mampu
membentuk kompleks atau khelat dengan ion Cu2+ pada molekul klorofil dan
turunannya. Dua atom N melakukan ikatan kovalen dengan atom Cu non-ionik,
sedangkan 2 atom lainnya melakukan ikatan kovalen koordinat melalui
pembagian bersama satu pasang elektronnya dengan atom Cu. Hal ini membuat
kompleks Cu-porfirin atau Cu-turunan klorofil yang terbentuk menjadi stabil.
Aktivitas antioksidan kompleks Cu-turunan klorofil lebih tinggi dibanding
klorofil alami (Marquez et al. 2005) dan turunan klorofil alami (Ferruzi et al. 2002;
Marquez et al. 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan khelat logam dengan
klorofil pada cincin porfirin. Selain itu Nurdin (2009) menyatakan bahwa alasan
penambahan Cu pada ekstrak turunan klorofil adalah untuk mempertahankan
kestabilan warna hijau klorofil serta meningkatkan kelarutan dan pH produk
28
bubuk yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan Gross (1991) yang menyatakan
bahwa ikatan khelat Cu dengan turunan klorofil berwarna hijau cerah.
Menurut La Borde dan Von Elbe (1994) dalam Alsuhendra (2004)
ion
logam hanya bereaksi dengan turunan klorofil, sehingga penambahan jumlah Cu
disesuaikan dengan jumlah turunan klorofil. Konsentrasi Cu yang ditambahkan
diantaranya 0 mol; 0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol; 0,006 mol; 0,008 mol.
Garam Cu yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cu-asetat. Hal ini
dikarenakan asam asetat (CH3COOH) merupakan asam lemah yang tidak
bersifat korosif dan dikenal tubuh karena merupakan bahan organik serta
reaksinya bersifat hidro dengan produk akhir H2o dan CO2. Selain itu jika ditinjau
dari segi teknis dalam sebuah aplikasi untuk industri makanan, penggunakan
Cu2+ terlalu mahal. Hal ini dapat berpengaruh terhadap biaya produksi bubuk Cuturunan klorofil.
Cu-asetat pada berbagai perlakuan terlebih dahulu dilarutkan dalam 10 ml
akuades agar Cu-asetat mudah terlarut dan bereaksi dengan larutan pheophytin.
Reaksi ini menghasilkan Cu-pheophytin atau lebih dikenal dengan nama CuChlorophyllin (Hendry & Houghton 1996). Ekstrak turunan klorofil yang telah
ditambahkan Cu2+ dinaikkan pH-nya mencapai 8,5 (Von Elbe 1992 diacu dalam
Alsuhendra 2004 & Nurdin 2009) dengan cara menambahkan NaOH 4 N. Hal ini
bertujuan untuk membuat Cu-Chlorophyllin menjadi larut dalam air karena fitil
alkohol dan metal alhokol yang bersifat hidrofobik akan terlepas (Sweetman
2005).
Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup selama 24 jam pada suhu ruang
dan terlindung dari cahaya serta diaduk menggunakan magnetic stirrer. Alasan
penggunaan waktu pereaksian selama 24 jam mengacu pada penelitian Petrovic
et al. (2005) yang menyatakan bahwa periode waktu pembentukan kompleks
klorofil dengan Cu berkisar antara 2 jam sampai 3 minggu. Kandiana (2010)
melakukan penelitian serupa dengan mereaksikan Cu dengan turunan klorofil
daun cincau hijau selama 2 jam, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah Cu bebas
lebih besar dibandingkan Cu terikat yang membentuk Cu-Chlorophyllin. Oleh
sebab itu dalam penelitian ini dipilih waktu 24 jam dengan tujuan menghasilkan
Cu-Chlorophyllin yang lebih besar dibandingkan Cu bebas. Selain itu aspek
teknis pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil juga menjadi pertimbangan dimana
24 jam dirasa masih memungkinkan untuk dilakukan dalam skala industri
dibandingkan dengan periode pereaksian selama 3 minggu.
29
Produk akhir sebagai bahan baku suplemen makanan yang diinginkan
adalah bentuk bubuk, maka ekstrak harus dikeringkan. Alat pengering yang
digunakan adalah spray dryer. Hal ini dikarenakan proses pengeringan
menggunakan spray dryer lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan
menggunakan freeze dryer. Spray dryer mampu mengeringkan satu liter larutan
dalam jangka waktu 40-60 menit, sedangkan freeze dryer memerlukan waktu 12
jam (Nurdin 2009). Jika ditinjau dari aspek teknis dalam skala industri
penggunakan spray dryer ini lebih efisien.
Waktu pengeringan yang lebih singkat dan performa bubuk Cu-turunan
klorofil yang relatif bagus dapat diperoleh dengan cara menambahkan bahan
pengisi pada larutan sebelum dikeringkan. Selain itu bahan pengisi juga
digunakan untuk mengikat ekstrak. Hasil penelitian Bianca (1993) dalam
Alsuhendra (2004) menunjukkan bahwa bahan pengisi dekstrin lebih baik
dibandingkan gum arab dan CMC dilihat dari kelarutan bubuk yang dihasilkan.
Hasil penelitian Alsuhendra (2004) menunjukkan bahwa penambahan dekstrin
sebesar lebih dari 3% menghasilkan produk yang lebih baik dengan kelarutan
tinggi, namun menurunkan konsentrasi Zn-turunan klorofil yang terdapat dalam
bubuk. Oleh sebab itu dalam penelitian ini penambahan bahan pengisi ke dalam
larutan Cu-turunan klorofil sebesar 3% (Alsuhendra 2004; Nurdin 2009; Nurdin et
al. 2009 dan Kandiana 2010). Bahan pengisi yang digunakan adalah
maltodekstrin yang merupakan salah satu jenis dekstrin yang biasa digunakan
dalam produk makanan. Hal ini dikarenakan maltodekstrin mempunyai tingkat
kelarutan lebih baik dalam air, sehingga dalam aplikasinya akan lebih luas.
Maltodekstrin memiliki sifat kelarutan yang kurang baik dalam etanol. Untuk
mendapatkan kelarutan maltodekstrin yang lebih baik maka ditambahkan
akuades dengan perbandingan akuades dan etanol sebesar 3:7. Perbandingan
ini diperoleh melalui percobaan pendahuluan dengan cara menambahkan
akuades sedikit demi sedikit secara kuantitatif sampai maltodekstrin terlarut
dengan baik. Hal ini akan membuat mobilisasi partikel dalam serbuk klorofil
menjadi lebih merata sehingga menghasilkan warna yang merata dan tersalut
dengan baik. Bubuk Cu-turunan klorofil yang diperoleh dari berbagai konsentrasi
Cu pada penelitian ini menghasilkan performa bubuk yang baik. Bubuk Cuturunan klorofil daun murbei dapat dilihat pada Gambar 6.
30
0 mol Cu
0,001 mol Cu
0,002 mol Cu
0,004 mol Cu
0,006 mol Cu
0,008 mol Cu
Gambar 6 Bubuk Cu-Turunan Klorofil pada beberapa konsentrasi Cu
31
Karakteristik Fisiko-Kimia
Karakteristik Fisik
Karakertistik fisik yang dianalisis dalam penelitian ini adalah rendemen,
kelarutan dan warna yang ditunjukkan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil
Penambahan
Kelarutan
Rendemen (%)
Warna
Cu-asetat (mol)
(%)
Yellow 2 D
0
97.30a
14,91a
a
b
Yellow-Green
144 A
0.001
97.37
15,65
a
b
Yellow-Green 146 C
0.002
97.31
15,93
a
b
Yellow-Green 146 C
0.004
98.12
15,57
a
b
Yellow-Green 146 A
0.006
97.71
15,78
a
b
Yellow-Green 146 A
0.008
96.00
16,14
Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata pada p = 0.05
Rendemen dihitung berdasarkan jumlah massa (gram) bubuk Cu-turunan
klorofil (mengandung maltodektrin) yang diperoleh dibandingkan dengan berat
daun murbei yang digunakan untuk membuat ekstrak klorofil dan berat pengisi
(maltodektrin) yang ditambahkan. Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa rendemen bubuk Cu-turunan klorofil berkisar antara 14,91% - 16,14%
(bb). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen bubuk Cu-turunan klorofil.
Bubuk Cu turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol
atau disebut bubuk klorofil alami memiliki rendemen paling rendah yaitu sebesar
14,91% (bb). Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa rendemen bubuk klorofil
alami berbeda nyata (p<0,05) dengan bubuk Cu-turunan klorofil pada berbagai
perlakuan penambahan Cu-asetat lainnya. Hal ini diduga karena adanya
pengaruh berat molekul Cu-asetat yang ditambahkan. Bubuk Cu-turunan klorofil
pada perlakuan penambahan Cu-asetat 0,001 mol – 0,008 mol memiliki
rendemen yang berkisar antara 15,57 % - 16,14% (bb). Berdasarkan hasil uji
lanjut DMRT menunjukkan bahwa rendemen pada semua perlakuan tersebut
tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena unsur yang terlibat dalam semua
perlakuan penambahan Cu sama kecuali jumlah Cu-asetat yang ditambahkan,
namun perbedaan jumlah Cu-asetat yang ditambahkan pada setiap perlakuan
relatif kecil.
32
Kelarutan menunjukkan bahwa banyaknya bagian dari suatu produk yang
dapat larut dalam suatu pelarut dengan volume tertentu. Berdasarkan data pada
Tabel 4 kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil berkisar antara 96% - 98,12% (bk).
Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini secara keseluruhan masuk dalam
kategori tinggi kelarutannya dalam air. Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan
bahwa penambahan Cu-asetat tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan
bubuk Cu-turunan klorofil. Hal ini diduga karena perbedaan jumlah Cu-asetat
yang ditambahkan relatif kecil.
Kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil dalam penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan bubuk Cu-turunan klorofil yang dihasilkan dalam penelitian Nurdin
et al. (2009) dan Kandiana (2010). Penelitian Nurdin et al. (2009) menghasilkan
bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei dengan kelarutan 60,56%-62,99% (bk).
Kandiana (2010) melakukan penelitian pembentukkan bubuk Cu-turunan klorofil
daun cincau hijau dengan kelarutan berkisar antara 91,96%-94,42% (bk). Hal ini
diduga karena waktu pereaksian Cu terhadap turunan klorofil dengan
penambahan senyawa alkali dalam penelitian ini lebih lama dibandingkan
penelitian Nurdin et al. (2009) dan Kandiana (2010). Semakin lama waktu
pereaksian maka semakin banyak gugus fitil alkohol dan metal alkohol yang
terpisah sehingga kelarutan bubuk Cu-Chlorophyllin dalam air semakin tinggi.
Warna
ditentukan
menggunakan
Colour
Chart
RHS
(The
Royal
Horticultural Society) dan dianalisis secara deskriptif. RHS merupakan referensi
standar untuk menentukan warna tanaman. Warna tersebut dibagi menjadi tiga
bagian yaitu hue, brightness dan saturation. Hue berfungsi membedakan jenis
warna utama seperti hijau, merah, biru dan lain-lain. Brightness (tingkat
kecerahan) merupakan jumlah total cahaya yang dipantulkan oleh warna tersebut
atau seberapa banyak cahaya yang diterima oleh mata secara normal pada skala
terang sampai gelap. Nilai brightness dalam metode Colour Chart RHS ini
dinyatakan dengan skala angka 1 yang mewakili warna kuning (Yellow) sampai
dengan 202 yang mewakili warna hitam (Black). Saturation atau intensity
merupakan atribut yang membedakan kejernihan ataupun greyness sebuah
warna yang ditentukan dengan 4 skala dari skala A yang mewakili intensitas
warna paling gelap sampai skala D yang mewakili intensitas warna paling pudar
(RHS 2001). Keterangan lengkap mengenai hue, brightness dan saturation serta
contoh warna yang terdapat dalam Colour Chart RHS disajikan dalam Lampiran
1.
33
Berdasarkan data pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa warna bubuk klorofil
alami adalah yellow dan warna bubuk Cu-turunan klorofil pada berbagai
perlakuan lainnya adalah yellow-green. Tingkat kecerahan (brightness) bubuk
Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,001 mol – 0,008 mol
berkisar antara 144-146. Intensitas warna (saturation) bubuk Cu-turunan klorofil
dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol sampai 0,008 mol cenderung semakin
gelap. Hal ini diduga karena peran Cu-asetat yang dapat mengembalikan warna
hijau klorofil setelah Mg terlepas serta mempertahankan kestabilan warna hijau
klorofil (Nurdin 2009).
Karakteristik Kimia
Karakertistik kimia yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kadar air, pH,
kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin yang ditunjukkan pada Tabel 5
berikut.
Tabel 5 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil
Penambahan
Kadar Air
Cu-Chlorophyllin
Cu Total
pH
Cu-asetat (mol)
(mg/g)
(%)
(mg/g)
0
3.39a
5.26a
0a
0a
a
b
a
0.001
3.86
7.21
1.13
12.68a
0.002
3.71a
7.46b
2.85b
31.14b
0.004
4.84a
7.24b
4.71c
50.94c
a
b
d
0.006
5.40
7.49
7.51
80.99d
0.008
5.98a
7.43b
8.57d
91.97d
Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata pada p = 0.05
Kadar air atau susut pengeringan menunjukkan mutu dari suatu produk.
Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kadar air berkisar antara
3.39%-5.98%
(bb).
Angka
ini
memenuhi
persyaratan
Kepmenkes
No.
661/MENKES/SK/VII/1994 tentang persyaratan obat tradisional dalam bentuk
serbuk yang menyatakan bahwa kadar air tidak boleh melebihi 10% (Kepmenkes
1994). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat
tidak berpengaruh terhadap kadar air bubuk Cu-turunan klorofil.
pH menunjukkan tingkat keasaman suatu produk. La Borde dan Von Elbe
(1994) diacu dalam Alsuhendra (2004) menyatakan bahwa penambahan
beberapa bahan yang bersifat alkali pada sayuran dapat mempertahankan warna
hijau klorofil karena terjadinya kenaikan pH. Semakin tinggi pH maka stabilitas
klorofil semakin tinggi. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa penambahan Cu
34
dalam bentuk Cu-asetat dan NaOH 4 N yang bersifat alkali mampu
meningkatkan pH bubuk Cu-turunan klorofil sehingga stabilitasnya meningkat.
Menurut Alsuhendra (2004) nilai pH produk yang tinggi menyebabkan warna
hijau produk lebih dapat dipertahankan dibandingkan pada kondisi pH rendah.
Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap pH bubuk Cu-turunan klorofil.
Bubuk klorofil alami memiliki pH sebesar 5,26. Hasil uji lanjut DMRT
menunjukkan bahwa pH bubuk klorofil alami berbeda nyata (p<0.05) dengan pH
bubuk Cu-turunan klorofil pada semua perlakuan penambahan Cu-asetat lainnya.
pH bubuk Cu-turunan klorofil pada perlakuan penambahan Cu-asetat sebesar
0,001 mol-0,008 mol berkisar antara 7,21-7,49. Hasil uji lanjut DMRT
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada semua
perlakuan penambahan Cu-asetat tersebut.
Kadar Cu Total dan Kandungan Cu-Chlorophyllin digunakan sebagai
salah satu parameter untuk menentukan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih.
Penentuan kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil terpilih mengacu pada
peraturan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 yang menyatakan bahwa batas
maksimal jumlah Cu yang diizinkan terdapat dalam produk suplemen makanan
adalah 3 mg/hari (BPOM RI 2005) yang diasumsikan sebagai kadar Cu total
yang terdapat dalam setiap gram bubuk Cu-turunan klorofil (Kandiana 2010).
Selanjutnya bubuk Cu-turunan klorofil tersebut dipilih berdasarkan kandungan
Cu-Chlorophyllin tertinggi diantara semua perlakuan.
Berdasarkan data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah
Cu-asetat yang ditambahkan maka kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin semakin meningkat. Kadar Cu total bubuk Cu turunan klorofil
berkisar antara 1,13-8,57 mg/g (bb) dan kandungan Cu-Chlorophyllin berkisar
antara 12,68-91,97 mg/g (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa
penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar Cu total dan
kandungan Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil.
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa dalam 1 gram bubuk Cu-turunan
klorofil (Cu-Chlorophyllin) dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001
mol dan 0,002 mol kandungan Cu totalnya adalah 0 mg; 1,13 mg dan 2,85 mg,
secara berurutan, telah memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644
(BPOM RI 2005). Angka ini masih berada di bawah Tolerable Upper Level Intake
Cu yang mencapai 10 mg/hari (Young et al. 2001).
35
Penambahan Cu-asetat yang menghasilkan kadar Cu-Chlorophyllin
tertinggi adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,008
mol yaitu 91.97 mg/g (bb), namun kandungan Cu totalnya sebesar 8.57 mg/g
(bb). Hasil ini tidak memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644
(BPOM RI 2005). Kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi diantara bubuk Cuturunan klorofil yang memenuhi persyaratan tersebut adalah bubuk Cu-turunan
klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol yaitu 31.14 mg/g (bb).
Berdasarkan parameter kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin tersebut,
bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan
penambahan Cu-asetat sebesar 0,002 mol.
Hasil Analisis Toksisitas
Analisis toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil dari beberapa perlakuan
penambahan Cu-asetat menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT). BSLT merupakan suatu metode yang menghitung respon kematian 50%
larva udang yang dinyatakan dalam nilai Lethal Concentration (LC50) pada
beberapa konsentrasi uji dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila nilai LC50
kurang dari 1000 ppm, maka ektrak tumbuhan yang diuji dikatakan toksik.
Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya
sebagai anti kanker (Meyer et al. 1982).
BSLT menggunakan larva udang laut sebagai bioindikator. Larva udang
laut memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya. Zat dan senyawa
asing yang ada di lingkungannya akan terserap ke dalam tubuh dengan cara
difusi dan langsung mempengaruhi kehidupan larva. Larva udang yang sensitif
ini akan mati apabila zat atau senyawa asing dalam larutan bersifat toksik
(Parwati & Simanjuntak 1998; Carballo et al. 2002).
Tabel 6 Hasil uji toksisitas (LC50) bubuk Cu-Turunan Klorofil
Penambahan Cu-asetat (mol)
LC50 (ppm)
0
0.001
0.002
0.004
0.006
0.008
1602,84ab
1419,65a
2347,93b
1276,84a
891,20a
763,11a
Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p = 0.05
36
Hasil uji toksisitas dijadikan sebagai parameter untuk menentukan bubuk
Cu-turunan klorofil terpilih. Berdasarkan data pada Tabel 6 diketahui bahwa
bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001
mol; 0,002 mol; 0,004 mol tidak mengindikasikan adanya toksisitas terhadap
Artemia salina Leach. karena LC50>1000 ppm (Meyer et al. 1982). Nilai LC50
pada bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,006
mol dan 0,008 mol mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia salina
Leach. karena LC50<1000 ppm (Meyer et al. 1982). Hasil sidik ragam (ANOVA)
menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05)
terhdap nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil. Berdasarkan parameter ini bubuk
Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan
penambahan Cu-asetat sebesar 0; 0,001; 0,002; dan 0,004 mol.
Menurut Darmansjah (1995) tahap uji toksisitas selanjutnya setelah metode
BSLT adalah uji pra klinis dengan hewan coba yaitu uji toksisitas sub kronik dan
kronik. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui efek buruk yang berpengaruh
terhadap hewan coba, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan penggunakan
untuk manusia mengenai efek buruk tersebut.
Aktivitas Antioksidan dan Kadar Alkohol
Analisis aktivitas antioksidan dan kadar alkohol hanya dilakukan terhadap
bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih. Penentuan ini berdasarkan hasil analisis
kadar Cu total yang mengacu pada persyaratan BPOM RI (2005), kandungan
Cu-Chlorophyllin dan uji toksisitas metode BSLT dengan penentuan tingkatan
toksisitas yang mengacu pada metode Meyer et al. (1982). Berdasarkan ketiga
parameter tersebut bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cuturunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,002 mol.
Aktivitas Antioksidan
Ferruzzi et al. (2002) menguji kapasitas menangkap radikal bebas berbagai
turunan klorofil dalam sistem in vitro. Klorofil yang kehilangan logamnya (yaitu
Mg) pada pusat cincin porfirin akan menurun kapasitas antioksidannya. Hal ini
disebabkan
karena
logam
yang
terkelat
akan
mengakibatkan
lebih
terkonsentrasinya densitas elektron di pusat cincin dan menjauhi kerangka
porfirinnya, sehingga meningkatkan kemampuan mendonorkan elektron dari
sistem porfirin yang terkonyugasi. Klorofil yang kehilangan gugus fitilnya
menunjukkan peningkatan antioksidasi. Berdasarkan pernyataan tersebut
37
tampak bahwa kerangka porfirin dan keberadaan logam terkelat adalah 2 hal
yang penting untuk kapasitas antioksidan.
Kemampuan klorofil dan pheophytin dalam mendegradasi hidroperoksida,
yaitu
dengan
hidroperoksida.
cara
menginkubasikannya
Hasilnya
menunjukkan
dalam
bahwa
substrat
keduanya
metil
tidak
linoleat
memiliki
kemampuan mendegradasi hidroperoksida. Terjadinya reaksi antara klorofil
dengan radikal lipid dapat diketahui dengan bantuan spektrum electron spin
resonance (ESR). Kesimpulannya adalah struktur penting untuk aktivitas
antioksidan klorofil ditemukan pada porfirin bukan pada pirol, fitol, logam maupun
cincin isosiklik. Radikal -kation dari komponen porfirin merupakan senyawa
yang memegang peranan dalam mekanisme antioksidan klorofil. Antioksidan
pada umumnya berperan sebagai donor atom hidrogen kepada radikal bebas,
sehingga dapat memutuskan rantai oksidasi (Endo et al. 1985).
Mekanisme antioksidan yang dikemukakan oleh Endo et al.., (1985) adalah:
ROO. + CHL  ROO: (-)CHL.(+)
ROO:(-)CHL.(+) + ROO.  produk inaktif
Klorofil bereaksi dengan radikal peroksi ROO. Yang dihasilkan pada tahap
awal oksidasi minyak dan berubah menjadi radikal -kation. Radikal -kation
dari klorofil ini berikatan dengan radikal peroksi bermuatan negatif dengan ikatan
yang lemah, dan membentuk kompleks yang bersifat antara (intermediat).
Kompleks ini kemudian bereaksi dengan radikal peroksi yang lain dan akhirnya
menjadi tidak aktif. Kesimpulan yang diperoleh diantaranya: (1) efek antioksidatif
klorofil adalah berasal dari struktur porfirinnya, (2) Mg dapat memperkuat
aktivitas antioksidan klorofil hanya jika dalam bentuk terkelat, (3) klorofil
mereduksi radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)
(4) radikal
-kation
dihasilkan oleh klorofil jika klorofil dioksidasi dalam sistem metil linoleat.
Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan bubuk Cu
turunan klorofil terpilih adalah metode DPPH (1,1-diphenyl-2-pycrilhydrazil).
Menurut Koleva et al. (2001) metode DPPH merupakan suatu metode kolorimetri
yang sederhana, cepat dan mudah serta sensitif untuk memperkirakan aktivitas
antiradikal. Selain itu metode DPPH menggunakan jumlah sampel yang sedikit
dengan waktu analisis yang singkat. Aktivitas antioksidan sampel diukur pada
panjang gelombang 516 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum
DPPH, dengan konsentrasi DPPH 1 mM. Perubahan warna pada larutan DPPH
dalam methanol menunjukkan adanya aktivitas antioksidan sampel. Warna ungu
38
larutan DPPH dalam penelitian ini perlahan berubah menjadi warna kuning ketika
ditambahkan sampel yang mengandung komponen antioksidan (Blois 1958).
Perubahan
warna
larutan
DPPH
mengakibatkan
penurunan
nilai
absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Semakin besar penurunan nilai
absorbansi menunjukkan bahwa radikal bebas yang diserap antioksidan tersebut
semakin banyak. Besarnya aktivitas antioksidan dinyatakan dalam persen (%)
aktivitas antioksidan. Standar dalam pengukuran aktivitas antioksidan dalam
penelitian ini adalah Vitamin C. Hal ini dikarenakan Vitamin C merupakan salah
satu antioksidan yang memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dan
mencegah terjadinya reaksi berantai. Selain itu Vitamin C merupakan salah satu
antioksidan yang mudah diperoleh (Blois 1958).
Berdasarkan hasil analisis tersebut, bubuk Cu-turunan klorofil terpilih
memiliki
aktivitas
antioksidan
sebesar
47,07%
yang
berarti
komponen
antioksidan yang terdapat dalam bubuk tersebut mampu mereduksi
47,07%
radikal bebas yang mengoksidasinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap gram
bubuk tersebut mampu mereduksi DPPH 1 mM sebesar 18,51 mg. Besarnya
aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil kemudian disetarakan dengan
kemampuan Vitamin C yang dinyatakan dalam Ascorbic acid Equivalent
Antioxidant Capacity atau biasa disingkat AEAC (mg Vit C/100 g). Bubuk Cuturunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol memiliki aktivitas
antioksidan sebesar 47,07 % yang setara dengan 106,64 mg Vitamin C/100 g.
Aktivitas antioksidan klorofil yang diekstrak dari daun murbei segar sebesar
13,36% yang menunjukkan bahwa komponen antioksidan dalam daun murbei
mampu meredam radikal bebas yang mengoksidasinya sebesar 13,36%.
Berdasarkan
kedua
hasil
analisis
aktivitas
antioksidan
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan bubuk Cu-Chlorophyllin daun murbei
lebih tinggi dibandingkan ekstrak klorofil daun murbei. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Marquez et al. (2005) yang menyatakan bahwa CuChlorophyllin memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi yaitu sebesar 39%
dibandingkan klorofil alami sebesar 12%.
Kadar Alkohol
Indonesia yang didominasi penduduk beragama Islam
mengharuskan
semua produk yang beredar memiliki sertifikasi halal. Salah satu hal yang
menyebabkan suatu produk tidak halal adalah kandungan alkohol didalamnya.
Bubuk Cu-turunan klorofil menggunakan alkohol (etanol 96%) sebagai pelarut,
39
sehingga perlu dilakukan analisis kadar alkohol. Analisis kadar alkohol dapat
dijadikan sebagai pertimbangan kehalalan produk bubuk Cu turunan klorofil.
Peraturan LPPOM-MUI (2008) menyebutkan bahwa penggunaan etanol (alkohol)
yang berasal dari industri non khamr di dalam produksi pangan diperbolehkan,
selama tidak terdeteksi pada produk akhir.
Kadar alkohol bubuk Cu turunan klorofil terpilih dalam penelitian ini
dianalisis menggunakan alat kromatografi gas (USPC 2006 yang dimodifikasi).
Kromatografi gas adalah teknik kromatografi yang bisa digunakan untuk
memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa-senyawa yang
dapat ditetapkan dengan kromatografi gas sangat banyak, namun terdapat
batasan-batasan. Senyawa-senyawa tersebut harus mudah menguap dan stabil
pada temperatur pengujian yaitu pada suhu 50°C – 300°C. Jika senyawa tidak
mudah menguap atau tidak stabil pada temperatur pengujian, maka senyawa
tersebut bisa diderivatisasi agar dapat dianalisis dengan kromatografi gas (Day &
Underwood 1991).
Berdasarkan hasil uji menggunakan kromatografi gas diketahui bahwa
kadar klorofil pada bubuk Cu-turunan klorofil terpilih sebesar 0%. Hasil ini dapat
dijadikan pertimbangan untuk menilai kehalalan bubuk Cu-turunan klorofil. Hal ini
diduga karena spray dryer mampu mengubah larutan menjadi serbuk dengan
baik. Langkah pertama mekanisme kerja pada spray dryer yaitu mengubah
seluruh cairan dari bahan yang ingin dikeringkan ke dalam bentuk butiran-butiran
cairan dengan cara diuapkan menggunakan atomizer. Cairan dari bahan yang
telah berbentuk tetesan-tetesan tersebut kemudian di kontakan dengan udara
panas. Peristiwa pengontakkan ini menyebabkan cairan dalam bentuk tetesantetesan tersebut mengering dan berubah menjadi serbuk. Selanjutnya proses
pemisahan antara uap panas dengan serbuk dilakukan dengan cyclone atau
penyaring. Setelah di pisahkan, serbuk kemudian kembali diturunkan suhunya
sesuai dengan kebutuhan produksi (Setijahartini 1980).
40
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada
pembuatan
bubuk
Cu-Turunan
Klorofil
(Cu-Chlorophyllin),
perubahan warna hijau klorofil menjadi coklat zaitun (phephytin) terjadi karena
penambahan HCl 4 N, lalu berubah menjadi hijau lagi setelah penambahan Cuasetat dan dibasakan dengan NaOH 4 N. Untuk memperoleh produk akhir
berupa serbuk maka larutan Cu-Chlorophyllin diberikan pengisi berupa
maltodekstrin kemudian dikeringkan dengan spray dryer.
Karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil yang dianalisis adalah
rendemen, kelarutan, warna, kadar air, pH, kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin. Rendemen dan kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil secara
berurutan
berkisar
antara
14,91%-16,14%
(bb)
dan
96%-98,12%
(bk).
Berdasarkan hasil analisis warna menggunakan Colour Chart RHS (The Royal
Horticultural Society), warna bubuk klorofil alami (penambahan Cu-asetat
sebesar 0 mol) adalah yellow, sedangkan bubuk Cu-turunan klorofil pada
perlakuan yang lainnya adalah yellow-green. Kadar air dan pH bubuk Cu-turunan
klorofil secara berurutan berkisar antara 3,39%-5,98% (bb) dan 5,26–7,49. Kadar
Cu total bubuk Cu turunan klorofil berkisar antara 0 -8,57 mg/g dan kandungan
Cu-Chlorophyllin berkisar antara 0 - 91,97 mg/g (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA)
menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05)
terhadap rendemen, pH, kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin bubuk
Cu-turunan klorofil, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan dan
kadar air.
Hasil uji toksisitas (LC50) dengan metode BSLT menunjukkan bahwa bubuk
Cu-turunan klorofil yang tidak mengindikasikan adanya toksisitas terhadap
Artemia salina Leach. (LC50>1000 ppm) adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan
penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol. Nilai
LC50 pada bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar
0,006 mol dan 0,008 mol mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia
salina Leach. karena LC50<1000 ppm (Meyer et al. 1982).
Bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil
dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol. Penentuan ini berdasarkan hasil
analisis kadar Cu total yang mengacu pada persyaratan BPOM RI (2005),
kandungan Cu-Chlorophyllin dan uji toksisitas metode BSLT dengan penentuan
41
tingkatan toksisitas yang mengacu pada Meyer et al. (1982). Aktivitas antioksidan
bubuk Cu-turunan klorofil terpilih adalah 47,07% yang setara dengan 106,64 mg
vitamin C/100 g. Kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih sebesar 0%.
Hasil ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menilai kehalalan
bubuk Cu-turunan klorofil.
Saran
Untuk mendapatkan bubuk Cu turunan klorofil dengan kandungan CuChlorophyllin dan aktivitas antioksidan yang maksimal dapat diperoleh dengan
cara melakukan penelitian lanjutan berupa analisis pengaruh lama waktu
pereaksian Cu dan turunan klorofil terhadap kandungan Cu-Chlorophyllin dan
aktivitas antioksidannya. Selain itu untuk mengetahui tingkat stabilitas bubuk Cu
turunan klorofil perlu dilakukan peneliitian yang menganalisis stabilitas bubuk Cu
turunan klorofil pada berbagai jenis larutan (polar dan nonpolar), suhu, dan pH.
Bubuk Cu turunan klorofil agar dapat dikonsumsi secara luas oleh
masyarakat harus melalui serangkaian analisis keamanan pangan terlebih
dahulu, oleh sebab itu perlu dilakukan uji toksisitas lanjutan, seperti uji toksisitas
sub kronik dan kronik serta karsinogenitas, teratogenitas dan mutagenitas.
42
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Alsuhendra. 2004. Daya anti-aterosklerosis Zn-turunan klorofil dari daun
singkong (Manihot esculenta Crantz) pada kelinci percobaan [disertasi].
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Anderson JJB. 2004. Minerals. Di dalam: Kathleen Mahan dan Sylvia EscottStump. Krause’s Food, Nutrition,& Diet Theraphy, 11th ed. Philadelphia:
Saunders
AOAC. 1995. Official Methods
Gaithersburg: Maryland
of
Analysis,
16th.
AOAC
International.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: PAU Institut Pertanian
Bogor
[Badan POM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia.
2001. Peraturan Perundang-undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka. Cetakan Pertama. Jakarta: BPOM RI
[Badan POM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia.
2005. Peraturan Perundang-undangan dibidang Suplemen Makanan.
Cetakan Pertama. Jakarta : BPOM RI
Barder HF et al.. 2006. Heme and chlorophyll intake and risk of colorectal cancer
and the Netherland cohort study. Cancer Epidemiol. Biomarkers Prev.
15(4):717-25
Bianca K. 1993. Pengaruh penambahan ZnCl2 di dalam pembuatan ekstrak
warna dari campuran daun suji (Pleomele angustifolia) dan daun pandan
(Pandanus amarylifollus Roxb.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Blois MS. 1958. Antioxidant determinations by the use of stable free radical.
Nature 181(26): 1199-1200
Brands, S.J. 1989. Systema Naturae 2000. The Taxonomicon. Amsterdam:
Universal Taxonomic Services. http://www.sn2000.taxonomy.nl/ [19
November 2010]
Breinholt VJ, Pereira HC, Arbagost D, Bailey G. 1995. Dietary chlorophyllin is a
potent inhibitor of alfatoxin B1 hepatocarcinogenesis in rainbow trout.
Cancer-Res. 55(1):57-62
Buttriss J, Hughes J. 2000. An update on copper: contribution of MAFF-funded
research. Nutrition Bulletin 25:271-280
Canjura FL, Watkins RH, Schwartz. 1999. Color improvement and metallochlorophyll complexes in continuous flow aseptically processed peas.
Journal of Food Science 64(6):987-990
43
Carballo et al.. 2002. A comparison between two brine shrimp assay to detect in
vitro cytotoxicity in marine natural product. BMC Biotechnology (2): 14726750
Cheng KL, Ueno K, dan Imamura T. 1982. Handbook of Organic Analytical
Reagents. Florida: CRC Press
Clydesdale FM, Francis FJ. 1976. Pigments. Di dalam: Fennema OR. Principles
of Food Science. New York: Marcel Dekker, Inc
Darmansjah I. 1995. Toksikologi, Farmakologi dan Terapi. Edisi 4 Dengan
Perbaikan. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Gaya Baru.
Dashwood RH, Breinholt V, Bailey GS. 1991. Chemopreventive properties of
chlorophyllin: inhibition of alfatoxin B1 (AFB1)-DNA binding in vivo and
antimutagenic activity against AFB1 and two heterocyclic amines ain the
Salmonella mutagenicity assay. Carcinogenesis 12: 939-942
Day JR, Underwood AL. 1991. Quantitative Analysis. New Jersey: Englewood
Cliffs
Endo YR, Usuki, Kaneda T. 1985. Antioxidant effects of chlorophyll and
pheophytin on the autooxidation of oils in the dark. II. The mechanism of
antioxidative action of chlorophyll. JAOCS 62: 1387 – 1390
Enkhma et al.. 2005. Mulberry (Morus alba L.) leaves and their major flavonol
quercetin 3-(6-Malonylglucoside) attenuate atherosclerotic lesion
development in LDL receptor deficient mice. Journal of Nutrition 135:729734
Eskin NAM. 1979. Plant Pigment Flavors and Textures: The Chemistry and
Biochemistry of Selected Compound. New York: Academic Press
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Ferruzzi MG, Schwartz SJ. 2001. Thermal degradation of commercial grade
sodium copper chlorophyllin. J.Agric. Food Chem. 53(18):7098-7102
__________, Bohm V, Courtney PD, Schwartz SJ. 2002. Antioxidant and
antimutagenic activity of dietary chlorophyll derivates determined by radical
scavenging and bacterial reverse mutagenesis assays. Journal of Food
Science 67:2589-2595
__________, Blakeslee J. 2006. Digestion, absorption, and cancer preventative
activity of dietary chlorophyll deritavives. Nutrition Research 27: 1-2
Garrow JS, James WPT. 1993. Human Nutrition and Dietetics. Edinburgh:
Churchill Livingstone
Gross J.1991. Pigments In Vegetables Chlorophylls and Carotenoids. New York:
Van Nostrand Reinhold.
Hahm TS, Park SJ, Martin LO. 2008. Effects of medicinal plant extracts on blood
pressure in spontaneously hypertensive rats. The FASEB Journal 918.2
44
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. K. Pandawinata dan I Soediro,
penerjemah. Bandung: ITB Press
Hasegawa RB et al.. 1995. Inhibitory effect of chlorophyllin on PhIP-induced
mammary carcinogenesis in female F344 rats. Carcinogenesis 16(9):22452246
Hendler SS, Rorvik D, editor. 2001. Pysicians Desk Reference (PDR) for
Nutritional Supplement. Montvale: Thomson PDR
Hendry GAF, Houghton JAD 1996. Natural Food Colorants, Second edition.
London: Blackie Academic & Professional
Hutching JB. 1994. Food Colour and Appearance. London: Blackie Academic &
Professional
Kandiana M. 2010. Uji toksisitas bubuk ekstrak kompleks Cu-turunan klorofil (NaCu-Klorofilin) daun cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) sebagai bahan
baku suplemen makanan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Keller PM et al.. 1996. Photodynamic imaging of a rat pancreatic cancer with
feoforbid a. Photochem-Photobio 63(6):860-867
Koleva et al. . 2002. Screening of plant extracts for antioxidant activity: a
comparative study on three testing methods. Phytochemical Analysis 13: 817
Kumar SS, Shankar B, Sainis KB. 2004. Effect of chlorophyllin against oxidative
stress in splenic lymphocytes in vitro and in vivo. Biochim. Biophys. Acta.
1672(2):100-111.
Kusharto CM, Tanziha I, Januwati M, Nurdin. 2008. Produk bubuk cu-turunan
klorofil dan aplikasinya dalam pencegahan penyakit aterosklerosis
[Laporan Penelitian KKP3T Departemen Pertanian]. Bogor: Departemen
Pertanian
Kusumaningsih DR. 2003. Mempelajari pembuatan minuman instan dari ekstrak
daun cincau hijau Cyclea barbata Miers. dan Premna oblongifolia Merr.
[skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
LaBorde LF, von Elbe JH. 1994. Chlorophyll degradation and zinc complex
formation with chlorophyll derivatives in heated green vegetables. J. Agric.
Food Chem. 42 (5): 1100-1103
Limantara L. 2009. Daya Penyembuhan Klorofil. Malang: Ma Chung Press
[LPPOM-MUI] Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika-Majelis
Ulama Indonesia. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM
MUI. Jakarta: LPPOM-MUI
Loni. 2001. Perhatikan informasi gizi di label kemasan. Media Indonesia, Juli, hal
13
45
Mahmud M. 1994. Pemurnian klorofil daun suji (Pleomele angustifolia N.E.
Brown.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor
Marquez UM, Barros RMC, Sinnecker P. 2005. Antioxidant activity of chlorophylls
and their derivatives. Food Research International 38 : 885-891
Meyer BN et al.. 1982. Brine shrimps: a convenient general bioassay for active
plant constituent. Planta Medica Vol. 45, 31-34
Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Bogor:
Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor
Nurdin. 2009. Pembuatan Bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil daun cincau
(Premna oblongifolia Merr.) dan uji praklinis untuk pencegahan
aterosklerosis [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor
______, Khomsan A, Marliyati SA , Ijirana. 2009. Produk bubuk Cu-turunan
klorofil dari daun murbei (Morus alba L.) dan aplikasinya dalam
pencegahan penyakit aterosklerosis [laporan penelitian hibah bersaing].
Palu: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako
Parwati T, Simanjuntak P. 1998. Daya toksik beberapa tumbuhan obat tradisional
Indonesia asal Nusa Tenggara Barat. Journal Biologi Indonesia 11(3) : 118125
Petrovic J, Nikolic G, Markovic D. 2005. In vitro complexes of cooper and zinc
with chlorophyll. J SerbChem Soc 71 (5) 501 – 502 (2006) JSCS – 3443.
Pramungdimurti E. 2007. Kapasitas antioksidan dan daya hipokolestrolemik
ekstrak daun suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Pudjiono S , Septina S. 2008. Morfologi tanaman hibrid murbei di purwobinangun
yogyakarta. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 21 no. 1, Juli 2008.
Pujiati 2002. Uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach. Dari fraksi nheksan, khloroform, etil asetat dan ekstrak etanol rimpang temu mangga
(Curcuma mangga Val.). Prosiding Seminar Tumbuhan Obat Indonesia
XXI. Surabaya : Universitas Surabaya
Reed CF. 1976. Information summaries on 1000 economic plants. New York: the
USDA
[RHS] The Royal Horticultural Society. 2001. Colour Chart, The Royal
Horticultural Society. London: RHS
Robins EW, Nelson RL. 1989. Inhibition of 1,2-dimethylhydrazine-induced
nuclear damage in rat colonic epithelium by dhlorophyllin. Anticancer Res. 9:
981-985
Setijahartini S. 1980. Pengeringan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor
46
Sianghal BK et al.. 2001. Sericultural by Product for Various Valuable
Commercial Product as Emerging Bio Science. Jammu: Regional Research
Laboratory, Council of Science and Industrial Research
Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB Press
Siswantoro D. 2008. Kajian aktivitas tanin dengan penisilin terhadap bakteri
Streptococcus pyogenes dan Pasteurella multocida secara in vitro.
http://adln.lib.unair.ac.id [5 Mei 2010]
Sudarisman. 1997. Dietary supplement. Warta Konsumen, Februari, hal 9-13
Sunanto H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Yogyakarta:
Kanisius
Sweetman SC. 2005. Martindale The Complete Drug Reference, 34th ed. London:
Pharmaceutical Press
Tassetti V et al.. 1997.In vivo laser-induced fluorescene imaging of rat pancreatic
cancer with feoforbid a. Photochem-Photobio. 65(6):997-1006
Tonucci LH, von Elbe JH. 1992. Kinetic of the formation of Zinc complex of
chlorophyll derivates. J.Agric. Food Chemistry 40 (12): 2341:2344
[USPC] the United States Pharmacopeial Convention. 2006. The United States
Pharmacopeia, Twenty-Ninth Revision (USP 29) and The National
Formulary, Twenty-Fourth Edition (NF 24), Asian Edition. Rockville: USPC
Winarno FG, Kartawidjajaputra. 2007. Pangan Fungsional dan Minuman Energi.
Bogor: M-BRIO PRESS
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press
Yadav A, Kawale L, Nade V. 2008. Effect of Morus alba L. (mulberry) leaves on
anxiety in mice. Indian Journal of Pharmacology 2:345-347
Young V et al.. 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K,
Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum,
Nickel, Silicon, Vanad ium , and Zinc: a Report of Panel on Micronutrients,
Subcommittees on Upper Reference Levels of Nutrients and of
Interpretation and Use of Dietary Reference Intakes, and the Standing
Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes, Food
and Nutrition Board Institute of Medicine. Washington D.C: National
Academy Press
Yuliarti N. 2008. Food Supplement, Panduan Mengonsumsi Makanan Tambahan
untuk Kesehatan Anda. Yogyakarta: Banyu Media
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Prosedur analisis karakteristik fisik
1.
Rendemen (AOAC 1995 yang dimodifikasi)
Rendemen adalah persentase bahan baku utama yang menjadi produk akhir
atau perbandingan produk akhir dengan bahan baku utama.
% Rendemen (bb) = Berat produk akhir
(Berat daun + berat pengisi)
2.
x 100 %
Kelarutan (Fardiaz et al. 1992)
0,5 gram bubuk dilarutkan dalam 100 ml air, kemusidan disaring dengan
kertas saring Whatman 42 dengan penyaring vakum. Sebelumnya kertas
saring dikeringkan pada suhu 1050C selama 30 menit (di dalam oven), dan
ditimbang. Setelah penyaringan dengan vakum, kertas saring dan endapan
dikeringkan pada suhu 1050C selama 3 jam, didinginkan dalam desikator
selama 15 menit. Kemudian ditimbang.
3.
% Kelarutan = 100 −
Warna (RHS 2001)
(
%
)
100%
Sebanyak 1 gram bubuk dimasukkan ke dalam kantong plastik bening,
kemudian diratakan hingga setiap sampel memiliki luas permukaan yang
sama. Setiap sampel kemudian dicocokkan dengan warna yang terdapat
dalam Colour Chart RHS. Warna-warna yang terdapat dalam Colour Chart
RHS dapat dilihat pada gambar berikut.
49
Fan 1
Fan 2
Fan 3
Fan 4
1A
1B
1C
1D
57A
57B
57C
57D
111A
111B
111C
111D
155A
155B
155C
155D
2A
2B
2C
2D
58A
58B
58C
58D
112A
112B
112C
112D
156A
156B
156C
156D
3A
3B
3C
3D
59A
59B
59C
59D
113A
113B
113C
113D
157A
157B
157C
157D
4A
4B
4C
4D
60A
60B
60C
60D
114A
114B
114C
114D
158A
158B
158C
158D
5A
5B
5C
5D
61A
61B
61C
61D
115A
115B
115C
115D
159A
159B
159C
159D
6A
6B
6C
6D
62A
62B
62C
62D
116A
116B
116C
116D
160A
160B
160C
160D
7A
7B
7C
7D
63A
63B
63C
63D
117A
117B
117C
117D
161A
161B
161C
161D
8A
8B
8C
8D
64A
64B
64C
64D
118A
118B
118C
118D
162A
162B
162C
162D
9A
9B
65A
65B
119A
119B
163A
163B
50
Fan 1
Fan 2
Fan 3
Fan 4
9C
9D
65C
65D
119C
119D
163C
163D
10A
10B
10C
10D
66A
66B
66C
66D
120A
120B
120C
120D
164A
164B
164C
164D
11A
11B
11C
11D
67A
67B
67C
67D
121A
121B
121C
121D
165A
165B
165C
165D
12A
12B
12C
12D
68A
68B
68C
68D
122A
122B
122C
122D
166A
166B
166C
166D
13A
13B
13C
13D
69A
69B
69C
69D
123A
123B
123C
123D
167A
167B
167C
167D
14A
14B
14C
14D
70A
70B
70C
70D
124A
124B
124C
124D
168A
168B
168C
168D
15A
15B
15C
15D
71A
71B
71C
71D
125A
125B
125C
125D
169A
169B
169C
169D
16A
16B
16C
16D
72A
72B
72C
72D
126A
126B
126C
126D
170A
170B
170C
170D
17A
17B
17C
17D
73A
73B
73C
73D
127A
127B
127C
127D
171A
171B
171C
171D
51
Fan 1
Fan 2
Fan 3
Fan 4
18A
18B
18C
18D
74A
74B
74C
74D
128A
128B
128C
128D
172A
172B
172C
172D
19A
19B
19C
19D
75A
75B
75C
75D
129A
129B
129C
129D
173A
173B
173C
173D
20A
20B
20C
20D
76A
76B
76C
76D
130A
130B
130C
130D
174A
174B
174C
174D
21A
21B
21C
21D
77A
77B
77C
77D
131A
131B
131C
131D
175A
175B
175C
175D
22A
22B
22C
22D
78A
78B
78C
78D
132A
132B
132C
132D
176A
176B
176C
176D
23A
23B
23C
23D
79A
79B
79C
79D
133A
133B
133C
133D
177A
177B
177C
177D
24A
24B
24C
24D
80A
80B
80C
80D
134A
134B
134C
134D
178A
178B
178C
178D
25A
25B
25C
25D
81A
81B
81C
81D
135A
135B
135C
135D
179A
179B
179C
179D
26A
82A
136A
180A
52
Fan 1
Fan 2
Fan 3
Fan 4
26B
26C
26D
82B
82C
82D
136B
136C
136D
180B
180C
180D
27A
27B
27C
27D
83A
83B
83C
83D
137A
137B
137C
137D
181A
181B
181C
181D
28A
28B
28C
28D
84A
84B
84C
84D
138A
138B
138C
138D
182A
182B
182C
182D
29A
29B
29C
29D
85A
85B
85C
85D
139A
139B
139C
139D
183A
183B
183C
183D
30A
30B
30C
30D
86A
86B
86C
86D
140A
140B
140C
140D
184A
184B
184C
184D
31A
31B
31C
31D
87A
87B
87C
87D
141A
141B
141C
141D
185A
185B
185C
185D
32A
32B
32C
32D
88A
88B
88C
88D
142A
142B
142C
142D
186A
186B
186C
186D
33A
33B
33C
33D
89A
89B
89C
89D
143A
143B
143C
143D
187A
187B
187C
187D
34A
34B
34C
90A
90B
90C
144A
144B
144C
188A
188B
188C
53
Fan 1
Fan 2
Fan 3
Fan 4
34D
90D
144D
188D
35A
35B
35C
35D
91A
91B
91C
91D
145A
145B
145C
145D
189A
189B
189C
189D
36A
36B
36C
36D
92A
92B
92C
92D
146A
146B
146C
146D
190A
190B
190C
190D
37A
37B
37C
37D
93A
93B
93C
93D
147A
147B
147C
147D
191A
191B
191C
191D
38A
38B
38C
38D
94A
94B
94C
94D
148A
148B
148C
148D
192A
192B
192C
192D
39A
39B
39C
39D
95A
95B
95C
95D
149A
149B
149C
149D
193A
193B
193C
193D
40A
40B
40C
40D
96A
96B
96C
96D
150A
150B
150C
150D
194A
194B
194C
194D
41A
41B
41C
41D
97A
97B
97C
97D
151A
151B
151C
151D
195A
195B
195C
195D
42A
42B
42C
42D
98A
98B
98C
98D
152A
152B
152C
152D
196A
196B
196C
196D
54
Fan 1
Fan 2
Fan 3
Fan 4
43A
43B
43C
43D
99A
99B
99C
99D
153A
153B
153C
153D
197A
197B
197C
197D
44A
44B
44C
44D
100A
100B
100C
100D
154A
154B
154C
154D
198A
198B
198C
198D
45A
45B
45C
45D
101A
101B
101C
101D
199A
199B
199C
199D
46A
46B
46C
46D
102A
102B
102C
102D
200A
200B
200C
200D
47A
47B
47C
47D
103A
103B
103C
103D
201A
201B
201C
201D
48A
48B
48C
48D
104A
104B
104C
104D
202A
202B
202C
202D
49A
49B
49C
49D
105A
105B
105C
105D
50A
50B
50C
50D
106A
106B
106C
106D
51A
51B
107A
107B
55
Fan 1
Fan 2
51C
51D
107C
107D
52A
52B
52C
52D
108A
108B
108C
108D
53A
53B
53C
53D
109A
109B
109C
109D
54A
54B
54C
54D
110A
110B
110C
110D
Fan 3
Fan 4
55A
55B
55C
55D
56A
56B
56C
56D
Keterangan:
Fan 1
Green-Yellow (GY): 1, Yellow (Y): 2-13, Yellow-Orange (YO): 14-23,
Orange (O):24-30, Orange-Red (OR): 31-35, Red (R): 36-56
Fan 2
Red-Purple (RP): 58-74, Purple (P): 75-79, Purple-Violet (PV): 80-82,
Violet (V): 83-88, Violet-Blue (VB): 89-98, Blue (B): 99-110
Fan 3 Blue-Green (BG): 111-124, Green (G): 125-143, Yellow-Green (YG): 144154
Fan 4 Greyed Yellow-Orange-Red-Purple-Green (160-198), Brown (200), Grey
(201), Black (202)
56
Lampiran 2 Prosedur analisis karakteristik kimia
1.
Analisis kadar air (Apriyantono et al 1989)
Cawan dikeringkan selama 30 menit, didinginkan dalam desikator, kemudian
ditimbang. Timbang 2-3 gram sampel dalam cawan. Cawan beserta sampel
dipanaskaan dalam oven selama 6 jam pada suhu 1050C, angkat dan
dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.
% kadar air (basis basah) = kehilangan berat (g) x 100%
Berat sampel (g)
Kehilangan berat (g)
= Berat sampel (g) – (berat cawan dan sampel akhir (g) –berat cawan (g))
2.
Analisis kadar pH (Apriyantono et al 1989)
1 gram sampel dilarutkan dalam 20 ml akuades, diaduk dengan magnetic
stirrer sampai homogen, kemudian diukur pHnya menggunakan pH meter.
57
Lampiran 3 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil
1. Rendemen
Hasil analisis rendemen bubuk Cu-turunan klorofil
Rendemen (%)
0 mol
0,001 mol
0,002 mol
0,004 mol
0,006 mol
14,67
15,69
16,13
15,56
15,74
15,14
15,62
15,73
15,59
15,81
14,91
15,65
15,93
15,57
15,78
Perlakuan
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Hasil sidik ragam rendemen bubuk Cu-turunan klorofil
Sumber
Jumlah
Kuadrat
df
F hitung
Variasi
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
1.778
5
.356
Galat
.370
6
.062
Total
2.148
11
5.769
0,008 mol
15,84
16,29
16,06
Sig.
.027
Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Hasil uji lanjut Duncan rendemen bubuk Cu-turunan klorofil
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan
n
1
2
.000
2
.004
2
15.58
.001
2
15.66
.006
2
15.78
.002
2
15.93
.008
2
16.14
Sig.
14.91
1.000
.077
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
2. Kelarutan
Perlakuan
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Hasil analisis kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil
Kelarutan (%)
0 mol 0,001 mol
0,002 mol
0,004 mol
0,006 mol
97,10
94,78
95,99
98,90
98,18
97,50
99,97
98,63
97,33
97,25
97,30
97,37
97,31
98,12
97,71
Hasil sidik ragam kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil
Sumber
Jumlah
Kuadrat
df
F hitung
Variasi
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
5.064
5
1.013
.278
Galat
21.873
6
Total
26.937
11
3.645
0,008 mol
94,74
97,26
96,00
Sig.
.909
58
Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Hasil uji lanjut Duncan kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan
n
.008
2
96.00
.000
2
97.30
.002
2
97.31
.001
2
97.38
.006
2
97.72
.004
2
98.12
1
Sig.
.328
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
Lampiran 4 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil
1. Kadar Air
Perlakuan
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Hasil analisis kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil
Kadar Air (%)
0 mol 0,001 mol
0,002 mol
0,004 mol
0,006 mol
3,16
3,64
3,45
4,77
5,36
3,63
4,07
3,96
4,91
5,43
3,39
3,86
3,71
4,84
5,40
Hasil sidik ragam kadar air bubuk Cu-turunan klorofil
Sumber
Jumlah
Kuadrat
df
F hitung
Variasi
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
10.769
5
2.154
36.748
.352
6
.059
Galat
Total
11.120
11
Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Hasil uji lanjut Duncan kadar air bubuk Cu-turunan klorofil
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan
n
1
2
3
.000
2
3.39
.002
2
3.70
.001
2
3.86
.004
2
4.84
.006
2
5.40
.008
2
Sig.
5.40
5.98
.114
.060
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
.052
0,008 mol
5,97
6,00
5,98
Sig.
.000
59
2. Kadar pH
Perlakuan
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Hasil analisis kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil
pH
0 mol 0,001 mol
0,002 mol
0,004 mol
0,006 mol
5,27
7,28
7,68
7,24
7,40
5,25
7,14
7,24
7,25
7,58
5,26
7,21
7,46
7,24
7,49
Sumber
Variasi
Perlakuan
Galat
Total
Hasil sidik ragam pH bubuk Cu-turunan klorofil
Jumlah
Kuadrat
df
F hitung
Kuadrat
Tengah
7.534
5
1.507
66.547
.136
6
7.669
11
0,008 mol
7,35
7,51
7,43
Sig.
.000
.023
Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Hasil uji lanjut Duncan pH bubuk Cu-turunan klorofil
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan
n
1
2
.000
2
5.26
.001
2
7.21
.004
2
7.24
.008
2
7.43
.002
2
7.46
.006
2
7.49
Sig.
1.000
.128
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
3. Kadar Cu Total
Hasil analisis kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil
Cu Total (mg/g)
Perlakuan
0 mol 0,001 mol
0,002 mol
0,004 mol
0,006 mol
0,008 mol
Ulangan 1
0,00
1,26
2,96
4,77
7,07
8,98
Ulangan 2
0,00
1,01
2,73
4,65
7,96
8,16
Rata-rata
0,00
1,13
2,85
4,71
7,51
8,57
Hasil sidik ragam kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil
Sumber
Jumlah
Kuadrat
df
F hitung
Sig.
Variasi
Kuadrat
Tengah
118.324
5
23.665
77.559
.000
Perlakuan
Galat
1.831
6
Total
120.155
11
Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
.305
60
Hasil uji lanjut Duncan kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan
n
.000
2
.00
.001
2
1.13
.002
2
.004
2
.006
2
7.51
.008
2
8.57
Sig.
1
2
3
4
2.85
4.71
.086
1.000
1.000
.105
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
4. Kadar Cu-Chlorophyllin
Hasil analisis kadar Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil
Cu-Chlorophyllin (mg/g)
Perlakuan 0 mol 0,001 mol
0,002 mol
0,004 mol
0,006 mol 0,008 mol
Ulangan 1
0,00
13,03
31,60
51,45
80,90
94,94
Ulangan 2
0,00
12,33
30,67
50,42
81,09
89,00
Rata-rata
0,00
12,68
31,14
50,94
80,99
91,97
Hasil sidik ragam kadar Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil
Sumber
Jumlah
Kuadrat
df
F hitung
Sig.
Variasi
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
13595.730
5
2719.146
Galat
227.022
6
37.837
Total
13822.752
11
71.865
.000
Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Hasil uji lanjut Duncan Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan
n
.000
2
.0000
.001
2
12.6799
.002
2
.004
2
.006
2
80.99
.008
2
91.97
Sig.
1
2
3
4
31.1371
50.9390
.085
1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
1.000
.125
61
Lampiran 5 Nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil
Hasil analisis nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil
LC50
0 mol
0,001 mol
0,002 mol
0,004 mol 0,006 mol
1859,94
1655,23
2619,44
1583,61
987,16
1345,74
1184,07
1998,67
970,08
795,24
1602,84
1419,65
2309,05
1276,84
891,20
Perlakuan
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Sumber
Variasi
Hasil sidik ragam nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil
Jumlah
Kuadrat
df
F hitung
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
3088869.302
5
617773.860
Galat
644061.362
6
107343.560
Total
3732930.664
11
5.755
Signifikansi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Hasil uji lanjut Duncan nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan
n
.008
2
763.11
.006
2
891.20
.004
2
1276.84
.001
2
1419.65
.000
2
1602.84
.002
2
Sig.
1
2
1602.84
2309.05
.053
Nilai pada kolom yang berbeda, berbeda nyata
.075
0,008 mol
735,22
791,01
763,11
Sig.
.027
62
Lampiran 6 Cara perhitungan aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil
terpilih
Kurva standar Vitamin C setelah direaksikan dengan DPPH
100.00
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
90.00
80.00
70.00
60.00
y = 4.2245x + 1.8925
R² = 0.9977
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0
5
10
15
20
Konsentrasi Vitamin C standar (ppm)
25
Tabel Aktivitas antioksidan vitamin C standar pada berbagai konsentrasi
Konsentrasi Vit C standar (ppm)
0
25
50
100
200
300
400
500
750
1000
Cara perhitungan aktivitas antioksidan
Absorban
% Aktivitas AO
0,678
0,655
0,641
0,609
0,546
0,486
0,423
0,365
0,241
0,103
0,00
3,39
5,46
10,18
19,47
28,32
37,61
46,17
64,45
84,81
Aktivitas antioksidan (%) = (Abs. blanko – Abs. sampel) x 100%
Abs. blanko
Hasil analisis aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih
Perlakuan
Absorban
Blanko
0,678
0,369
0,363
0,344
0,360
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
% Aktivitas Antioksidan (AAO)
45,61
46,43
49,26
46,96
47,07
63
Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC)
(% AAO - b)
AEAC (mg/ 100 g) = [
a
Perlakuan
Ulangan 1
Ulangan 2
x
Volume akhir
Vol.yang ditambahkan
]x
100
Berat sampel
Hasil analisis AEAC bubuk Cu-turunan klorofil terpilih
Berat
Volume Volume yang
ditambahkan
sampel
akhir
a
b
AAO(%)
(ml)
(g)
(ml)
2,5064
2,5056
2,5088
2,5082
5
5
5
5
Rata-rata
0,02
0,02
0,02
0,02
4,224
1,892
45,61
46,43
49,26
46,96
47,07
AEAC (mg
vitamin
C/100g)
103,23
105,20
111,75
106,36
106,64
Cara perhitungan berat DPPH teredam per gram bubuk Cu-turunan klorofil
100
x
Berat sampel (g)
=
(%AAO
Volume ekstrak (ml)
x Berat DPPH per penambahan (mg) x
100
Volume sampel (ml)
100
100
(47,07%
5 ml
x
x 0,3943 mg x 0,02 ml
2,5073 g
100
100
= 18,51 mg/g
Cara perhitungan berat DPPH setiap penambahan
=
Vol.DPPH per penambahan
1000
=
1 ml
1000
x ([DPPH]x BM DPPH) x 1000
x (0,001 M x 394,3 g/mol) x 1000
= 0,3943 mg
64
Lampiran 7 Kromatogram kadar alkohol bubuk Cu-turunan klorofil terpilih
65
Lampiran 8 Dokumentasi proses pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil
Penimbangan daun
murbei segar sebanyak
200 g
Etanol 96% sebanyak
800 ml sebagai pelarut
Proses ektraksi klorofil
menggunakan blender
Penimbangan Cu-asetat untuk setiap
perlakuan
Proses pembuatan larutan Cuturunan klorofil
Proses homogenasi larutan Cuturunan klorofil dengan maltodekstrin
Proses pengeringan larutan Cu-turunan
klorofil menggunakan spray dryer
Download