II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi Degradasi lahan adalah proses menurunnya kapasitas dan kualitas lahan untuk mendukung suatu kehidupan (FAO 1993). Degradasi lahan mengakibatkan hilang atau berkurangnya kegunaan dan potensi lahan (Sitorus 2003). Pada lahan terdegradasi, komponen yang tergabung dalam suatu unit biotik maupun abiotik sangat tidak stabil sehingga mengakibatkan terjadinya erosi. Erosi sangat dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan. Oleh karena itu, lahan yang terdegradasi harus dikonversi kembali sesuai dengan kemampuan dan karakteristik lahan tersebut. Konservasi lahan dengan memilih jenis-jenis tanaman yang sesuai dapat mengendalikan laju erosi secara efektif dan sekaligus memelihara keanekaragaman hayati. Konservasi lahan yang optimal umumnya melalui beberapa tahapan, yaitu pengidentifikasian lahan kritis, pemilihan berbagai jenis tanaman dan lokasi tumbuh tanaman yang sesuai, penyusunan alternatif rencana penggunaan lahan, serta pemilihan rencana penggunaan lahan yang sesuai berdasarkan laju erosi terkecil dan tidak melebihi batas erosi yang diperbolehkan (Sitorus 2003). Kawasan DAS Cisadane merupakan bagian hutan hujan tropik dan merupakan salah satu ekosistem kompleks yang disusun oleh berbagai komponen yang saling terkait. Salah satu unsur penting penyusun ekosistem hutan adalah tegakan yang berkembang secara dinamis melalui penambahan dimensi, pengurangan dan penambahan spesies penyusun dari waktu ke waktu (Davis & Johnson 1987). Dinamika struktur tegakan hutan dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk faktor eksternal seperti iklim, kesuburan tanah, hama penyakit dan faktor internal seperti genetik pohon. Dalam pertumbuhannya, pohon-pohon penyusun tegakan mengalami persaingan untuk memperoleh unsur-unsur penting seperti cahaya dan hara. Akibatnya pohon-pohon yang tidak mampu bersaing akan mengalami hambatan pertumbuhan atau bahkan kemudian mati (Schulte 1996). 2.2. Ekologi Rasamala (Altingia excelsa) Rasamala (Altingia excelsa) merupakan salah satu jenis tumbuhan hutan famili Hamamelidaceae. Tinggi pohon Rasamala dapat mencapai 50 meter dengan tinggi batang bebas cabang 15-30 m, diameter sampai 150 cm, namun pada umumnya tingginya berkisar antara 40 – 50 meter dengan diameter 80 – 110 cm. Kulit luar berwarna coklat muda atau kelabu merah, dan sedikit mengelupas. Pada umur yang agak tua, batang berbanir. Kulit batang memiliki tebal ± 1 cm, agak rapuh dan keras, agak licin, berwarna abu-abu sampai abu-abu kuning atau abu-abu coklat. Kulit batangnya ada yang mengelupas dalam bentuk potonganpotongan panjang dan tipis, retak-retak melintang, berwarna merah coklat atau coklat kuning. Kayu segar berbau asam dan mengandung sedikit damar yang apabila dibakar mengeluarkan bau harum (Sunarno & Rugayah 1992). Tajuk rasamala pada saat muda berbentuk kerucut, runcing, dan rapat, sedangkan pada umur yang lebih tua menjadi gepeng dan jarang, serta beberapa hari sebelum berbunga akan gundul. Daunnya tunggal, tersebar dan berbentuk bulat telur dengan pinggir bergerigi (Prosea 1995). Woodland (1997), menguraikan sistematika Altingia excelsa sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Hamamelidales Famili : Hamamelidaceae Genus : Altingia Spesies : Altingia excelsa Noronha Rasamala mempunyai nama daerah rasamala (Jawa Barat), gadog (Jawa), tulason (Tapanuli), lamin, mandung, mandung jati atau sigadundeung (Minangkabau), dan cemara hitam (Palembang). Penyebaran rasamala secara alami di Indonesia meliputi Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, dan Jawa Barat. Di Jawa Barat rasamala tumbuh pada ketinggian 500 - 1500 m dpl pada daerah-daerah dengan musim kering basah atau sedang. Rasamala tumbuh tersebar di Jawa barat pada ketinggian 600-1600 m dpl pada tanah yang subur dan selalu lembab. Spesies ini merupakan pohon besar dengan akar menjulur keluar, mempunyai bentuk kanopi menyerupai kembang kol. Bau daun cukup menyengat. Daun muda rasamala biasanya dikonsumsi atau digoreng, damar (getah) pohon ini dapat digunakan sebagai bahan pewangi (Sunarno & Rugayah 1992). 2.3. Ekologi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth) Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth) termasuk dalam familli Theaceae. Pohon puspa dapat mencapai tinggi 40 m dengan tinggi batang bebas sampai 25 m, diameter sampai 250 cm, tidak berbanir, dan batangnya tegak dan lurus. Kulit luarnya berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas. Kulit hidup tebalnya sampai 15 mm berwarna merah. Tajuknya bulat sampai lonjong, lebat, berwarna hijau tua dan daunnya tunggal, tebal. Permukaan daun atas hijau kebiru-biruan berbentuk jorong (Martawijaya et al. 1989). Sistematika Schima wallichii (DC.) Korth menurut Woodland (1997), sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Theales Famili : Theaceae Genus : Schima Spesies : Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa memiliki nama daerah seru (Jawa) dan merang sulau (Kalimantan). Puspa tumbuh di lingkungan tanah kering, tidak memilih keadaan tekstur dan kesuburan tanah, sehingga baik untuk reboisasi pada lahan alang-alang, belukar dan tanah kritis. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah sampai daerah pegunungan dengan ketinggian 100 - 1000 m dpl. Pada daerah-daerah yang terbuka atau lahan bekas terbakar di Sumatera Selatan sering ditumbuhi puspa (Sunarno & Rugayah 1992). Penyebaran puspa secara alami di Indonesia meliputi Aceh, Sumatra Utara, seluruh Jawa, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tumbuhan ini berkelompok membentuk tumbuhan primer atau sekunder, kadang tersebar didaerah yang yang selalu lembab. Di Jawa Barat puspa merupakan vegetasi asli. Kayunya mudah dikerjakan dan mempunyai permukaan yang halus. Kayu puspa banyak digunakan untuk bahan bangunan perumahan atau jembatan, kertas, kayu lapis dan venir, tetapi kurang baik untuk dibuat papan karena mudah berubah bentuk / melengkung (LBN 1980). 2.4. Ekologi Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) pernah memiliki nama Podocarpus imbricatus, Podocarpus cupressina, dan Podocarpus javanicus. Jenis ini termasuk dalam famili Podocarpaceae yang merupakan kelompok tanaman berdaun jarum/konifer (Prosea 1995). Woodland (1997) menguraikan sistematika D. imbricatus sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Pinotsida Ordo : Pinales Famili : Podocarpaceae Genus : Dacrycarpus Spesies : Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub D. imbricatus mempunyai tinggi mencapai 50 meter dengan diameter batang 100 – 200 cm, pepagan keras, permukaan kasar, jumlah lentisel banyak, pada pohon tua mengelupas dalam bentuk lempengan tebal kecil memanjang (Harahap & Izudin 2002). Kelimpahan tinggi, D. imbricatus sering hadir pada kelembaban (85-99)%, sedangkan suhu antara (19-22)°C. Penampakan pohon sangat indah dan berciri khas karena mempunyai kanopi yang lebat berpentuk piramid hingga oval dengan warna daun yang hijau mengilat dan pucuk daun berwarna hijau terang kadang kemerahan. Pohon ini bersifat hijau lestari atau evergreen, yakni tidak menggugurkan daun pada musim kemarau. Daunnya majemuk berbentuk lancip membentuk apiculus yang halus. Umumnya tumbuh di daerah pegunungan Sumatera, Jawa dan Kalimantan pada ketinggian 900 m sampai 1.800 m dpl. Tegakan hutan alam D. imbricatus yang relatif murni sering terdapat pada ketinggian 2.000 sampai 2.500 m dpl. D. imbricatus dapat tumbuh di berbagai daerah pada ketinggian 700 m sampai 3.000 m dpl (Syamsuwida et al. 2007). Jamuju mempunyai nama lokal antara lain medang cemara (Melayu), ambun (Minangkabau), kicemara (Sunda), cemara waris (Jawa), dan camba-camba (Banten). D. imbricatus tersebar di selatan Cina, Indochina, Malaysia hingga Vanuatu dan Fiji. Di Indonesia spesies ini tersebar di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Aceh dan Jawa Barat, dan hidup di hutan basah atau hutan Cemara (Sunarno & Rugayah 1992).