Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Fenomena Pelapukan Granit “Corestones” Di Daerah Bagian Timur dan Utara Pulau Bintan* (Untuk Menunjang Pengembangan Kawasan Taman Bumi di Kepulauan Riau) Johanes Hutabarat1), Ildrem Syafri2), Nana Sulaksana3), Emi Sukiyah4), Lili Fauzielly5), Adjat Sudradjat6) 1) Departemen Geologi Sains, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ([email protected]) 2) Departemen Geologi Sains, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ([email protected]) 3) Departemen Geologi Terapan, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ([email protected]) 4) Departemen Geologi Terapan, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ([email protected]) 5) Departemen Geologi Sains, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ([email protected]) 6) Guru Besar (Em) Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ([email protected]) *) Bagian dari Riset ALG UNPAD 2015 Prof (Em) Dr. Adjat Sudradjat, Ir., M.Sc. Abstrak Granit di bagian timur dan utara Pulau Bintan merupakan plutonik dengan ukuran kristal/mineral menengah hingga sangat kasar dan heterogen. Dalam contoh setangan granit yang segar mempunyai karakter leucocratic, dicirikan dengan kehadiran kumpulan mineral felsik, seperti kwarsa, K-feldspar dan plagioklas dengan sejumlah kecil mineral mafik berupa biotit dan amfibol. Singkapan granit yang melapuk secara membulat membentuk bongkah-bongkah granit terdiri dari corestones membundar secara utuh, dengan diameter rata-rata 6 m, dikelilingi oleh lembaran konsentris tipis atau lapisan batuan. Kenampakan di lapangan bongkah-bongkah tersebut dengan mudah bisa salah menilai menjadi asal sedimen, karena kenampaknnya yang bulat dan membundar. Corestones terbentuk tempatan (in situ) dalam puluhan hingga ratusan meter terkubur di dalam tanah. Telah umum diterima, bahwa bongkah corestones merupakan hasil dari proses dua tahap. Tahap awal berupa periode pelapukan meluas batuan bawah permukaan yang polanya dikendalikan oleh retakan renjang (orthogonal), dan tahap kedua berupa periode penggalian (exhumation) oleh penghapusan produk peluruhan batuan berukuran butir halus. Kehadiran bongkah-bongkah corestones granit dapat memberikan kontribusi pada penetapan beberapa situs geologi untuk pengembangan wisata geologi yang menggambarkan keindahan alam di Pulau Bintan bagian timur dan utara yang spektakuler dan fotogenik. Kata kunci: granit, corestone, pelapukan bawah permukaan, denudasi material lapuk. “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Pendahuluan Granitoid (batuan berkomposisi berkisar dari granit sampai diorit) adalah batuan beku intrusi (plutonik), paling melimpah di kerak benua bagian atas, berstekstur faneritik, granular, umumnya terdiri dari tiga kompartemen mineral utama yaitu felspar, kwarsa dan mika (Myers, 1997). Adanya retakan dan kekar merupakan gejala paling umum dalam batuan ini (Twidale & Romani, 2005). Singkapan granit memperlihatkan banyak bentangan (landforms), baik besar maupun kecil yang terkenal dan khas, dalam arti bahwa singkapan granit umumnya berhubungan, baik dalam bentang alam/lansekap (landscape), maupun dalam pikiran kita (Campbell, 1997; Twidale, 1982). Bentang alam granit sering bimodal, yaitu dengan tanah yang belum sempurna dan berdampingan dengan batuan gersang mulai dari ukuran bongkah berskala meter hingga kubah berskala gunung (Migoń, 2006; 2010; Twidale, 1982; Twidale & Romani, 2005). Bentangan corak minor biasanya berkembang di batuan granit, pada bornhardts, perbukitan sisa lainnya dan bongkah-bongkah, struktur lembar serta anjungan (Campbell, 1997; Twidale, 1982). Penelitian pada pelapukan singkapan granit meliputi penyelidikan regional pada beberapa singkapan batolit dan penyelidikan rinci pada singkapan yang terpilih. Data lapangan di kumpulkan dengan menggunakan kendaraan roda empat dan berjalan kaki di sepanjang lintasan jalan beraspal atau bekas potongan-jalan yang terdapat di derah penelitian. Pada setiap singkapan atau lokasi pengamatan secara visual diamati dan di rekam jenis batuan, tekstur, warna, penampilan dan homogenitas batuan. Semua singkapan di plotkan pada peta topografi menggunakan koordinat GPS. Banyak bentangan granit, baik besar maupun kecil, terbentuk dan terukir di bawah permukaan tanah, yang dapat teramati dan di kenali serta berkembang sepenuhnya pada muka pelapukan (Mabbuti, 1961a), yaitu, pada alas penutup tanah atau regolith, dalam penggalian karena baik proses alami maupun, kegiatan manusia dalam pertambangan, dan bermacam-macam pekerjaan rekayasa lainnya. Bentuk yang di mulai di bawah permukaan tanah, pada alas regolith dan di muka pelapukan disebut bentuk-bentuk etsa/punaran (etch) (Campbell, 1997; Twidale & Romani, 2005). Tujuan makalah ini adalah untuk merekam pengamatan corak bentangan yang ada terkait dengan batuan granitik di Pulau Bintan bagian Timur dan Utara. Daerah Penelitian Dn Metodologi Daerah penelitian terletak di bagian Timur dan Utara P. Bintan dan terdiri dari batolit granit (Gambar 1). 1. Batuan malihan, yang termasuk dalam Formasi Berakit (PCmb) yang terdiri dari batuan malihan derajat rendah yang tercangga kuat; ditemukan hanya di daerah Tanjung Berakit (Ujung Utara P. Bintan). Satuan ini terdiri dari filit, kelabu kehitaman dengan karakteristik “asal batuan sedimen”; batusabak warna kelabu kemerahan memperlihatkan struktur “menyerpih” dengan urat kwarsa yang searah dan memotong foliasi; dan sekis, kelabu gelap tefoliasi kuat sehingga sulit ditentukan mineral asalnya. Perlipatan “kink” dan “chevron” dijumpai. Diduga setara dengan Sekis Mersing di Malaysia yang berumur Permo-Karbon. Tataan Geologi Regional Daerah penelitian secara geologi regional telah dipetakan oleh Badan Geologi yang mencakup seluruh Pulau Bintan, Kepulauan Riau dan telah diterbitkan sebagai Peta Geologi Lembar Tanjungpinang, Sumatera, skala 1:250.000 oleh Kusnama, dkk., (1994). Geologi regional Pulau Bintan, Kepulauan Riau berdasarkan litologinya tersusun oleh formasi batuan berumur PraTersier dan Tersier, terdiri dari tiga jenis batuan utama (Kusnama, dkk., 1994), yaitu (Gambar 2): 2. Batuan beku yang terdiri dari granit (Tg) dan andesit (Tma). Batuan beku granit (Tg) cukup luas penyebarannya menempati pesisir bagian utara, selatan, barat dan timur daerah P. Bintan dan beberapa tempat lainnya yang tersebar tak teratur di bagian tengah, membentuk daerah perbukitan P. Bintan seperti Gn. Lengkuas dan Bukit Bintan Besar. Granit (Tg) nampak berwarna kelabu “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran kemerahan-kehijauan, berbutir kasar, berkomposisi felspar, kwarsa, hornblenda dan biotit; mineral umumnya bertekstrur primer dan membentuk suatu pluton batolit yang dikenal sebagai Pluton Granit Kawal. Hasil pelapukan dan proses peneplenisasi menghasilkan mineral ekonomis seperti cebakan bauksit. Umur batuan beku granit ini di perkirakan Trias Akhir. Batuan beku andesit (Tma), hanya menempati sebagian kecil dari daerah P. Bintan, yakni daerah pesisir tenggara bagian selatan dan beberapa tempat di bagian tengah. Andesit (Tma) nampak berwarna kelabu, berkomposisi plagioklas, hornblenda dan biotit, bertekstur porfiritik dengan massadasar mikrokristal felspar; agak terkekarkan dan umumnya segar. Umur batuannya diperkirakan Yura. 3. Batuan sedimen, yang termasuk Formasi Goungon (QTg), menempati hampir seluruh daratan bagian tengah Pulau Bintan, formasi tersebut merupakan yang terluas penyebarannya. Litologinya terdiri dari batupasir tufan keputih-putihan, berbutir halus-menengah, laminasi sejajar, batulanau umum di jumpai, tuf dasitan dan tuf litik felspatik berwarna putih, halus, setempat berselingan dengan batupasir tuf, memperlihatkan struktur laminasi sejajar dengan silang-siur, tuf putih kemerahan dan batulanau kelabu agak karbonan mengandung sisa tanaman. Umurnya di perkirakan PlioPlistosen. Struktur geologi yang dapat dijumpai di Pulau Bintan berupa sesar (geser-jurus) dan kelurusan-kelurusan yang dominan berarah barat laut-tenggara dan barat daya-timur laut, serta beberapa ada yang berarah utara-selatan atau barat-timur (Kusnama, dkk., 1994). Secara tektonika daerah Lembar Tanjungpinang termasuk kedalam Pulau Timah, Provinsi Granit dalam Jalur Timah Asia Tenggara (Tin Island; Granite provinces within Southeast Asian Tin Belt) (Pitfield, et al., 1990). Proses Dan Profil Pelapukan Yang Dalam di Granit Salah satu proses geomorfologi, yang sangat signifikan dalam kaitan dengan interpretasi lanskap purba adalah pelapukan yang dalam batuan granitoid. Batuan granit sangat sensitif terhadap pelapukan yang dalam di bawah kondisi stabilitas tektonik dan iklim hangat/basah. Karena sifat granit secara relatif homogen dan isotropik, maka menjadikannya peningkatan perkembangan proses ini. Secara umum, selubung dekat permukaan batuan lapuk adalah transisi dari batuan padat dan segar di kedalaman hingga tanah permukaan tempatan, di bagi dalam kolom vertikal menjadi beberapa zona yang menunjukkan perbedaan mineralogi, sifat fisik, tekstur, dan keteknikan. Kehadirannya mencerminkan perubahan bertahap dari permukaan ke bawah yang dihasilkan dari pengaruh penurunan agen pelapukan dengan kedalaman dan dari perbedaan rentang waktu pelapukan yang terlibat. Karena berzonasi, istilah 'profil pelapukan' sering digunakan dengan cara analog dengan profil tanah. Karena susunan dan sifatnya merupakan zona bervariasi dari satu jenis batuan dengan yang lain, dan dari satu daerah ke daerah lain; maka tidak ada 'standar' profil pelapukan yang akan berlaku untuk semua jenis batuan dan tataan. Namun demikian, telah lama diamati bahwa zonasi selubung pelapukan yang berkembang terutama di batuan granitoid telah tertata dengan baik, setidaknya dibandingkan dengan batuan lainnya. Salah satu klasifikasi pertama 'profil pelapukan' di batuan granit diusulkan oleh Ruxton & Berry (1957), yang bekerja pada geomorfologi terin granit lapuk di Hong Kong. Skema termasuk subdivisinya ditunjukkan pada (Gambar 3). Namun, Ollier (1965) dalam penelitiannya di Australia tidak dapat secara konsisten mengidentifikasi zonasi vertikal beraturan yang telah dilaporkan oleh Ruxton & Berry (1957), dan merekam adanya transisi cepat dan penyimpangan cukup besar, terutama corestones (blok-blok kekar batuan relatif tak lapuk, umumnya membundar tanggung hingga membundar). Profil granit lapuk umumnya mengandung corestones berdiameter hingga beberapa meter. Alas zona lapuk biasanya dicirikan dengan permukaan relatif terdefinisi baik, di bawah kekar-kekar yang lapuk dapat diperpanjang beberapa puluh meter. Permukaan pembatas ini disebut platform alas (Linton 1955) atau permukaan alas (Ruxton & Berry 1961). Mabbutt (1961a) kemudian menamakan istilah muka pelapukan untuk “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran menggambarkan antar muka yang lebih tak teratur dan berkembang. Karakter profil pelapukan di atasnya sangat dikendalikan oleh pola kekar, jarak kekar dan tataan topografi yang mempengaruhi rezim air tanah. Ollier (1984, 1990) membahas profil pelapukan khas di batuan granit (Gambar 4). Saprolit, atau "batuan busuk", adalah batuan lapuk yang dalam tempatan, biasanya ditunjukkan dengan urat kwarsa nonmobilized, keberadaan kwarsa hampir secara keseluruhan kebal terhadap pelapukan, kecuali hadir dalam kondisi ekstrem. Alterasi menyebabkan pelapukan menjadi isovolumetrik, yaitu, tidak ada perubahan dalam volume mineral asli setelah menjadi lapuk. Regolith adalah istilah mencakup semua material yang tidak terkonsolidasi pada atau dekat permukaan bumi, dan termasuk saprolit (Fairbridge 1968). Dalam iklim tropis, hangat, air-kaya asam (HCO3) menembus singkapan granit mengikuti kekar dan retakan lainnya. Air tersebut bereaksi secara kimia dengan mineral-mineral dalam granit yang kurang resistan, seperti amfibol, mika, felspar dan komponen minor lainnya. Kwarsa tidak terpengaruh, kecuali mungkin sebagai pengetsaan permukaan, dan menjadi material sisaan utama dalam gruss, bersama-sama dengan lempung, biasanya kaolin. Pelapukan lanjut dari permukaan ke bawah dan dari retakan atau bidang pengelupasan hingga bagian dalam blok-blok yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan pembentukan inti-inti tidak lapuk dalam blok-blok yang dikelilingi oleh material saprolitik. Sisa inti tak lapuk disebut "corestones" (Linton, 1955) (Gambar 5), menjadi membundar secara kasar tempatan sebagai hasil pelapukan sferoid. Proses berlanjut secara tidak tentu ketika kondisi yang berlaku dipertahankan. Tetapi, ketika perubahan iklim bergerak menuju kondisi lebih kering, denudasi dimulai dan corestones secara progresif di rombak. Seiring waktu, semua material sisaan tersingkirkan dan corestones menumpuk di permukaan; dan ketika iklim berubah, corestones tidak dapat lapuk lebih lanjut. Akumulasi corestone di batuan dasar tak lapuk disebut "tor", yang di definisikan sebagai "massa batuan gersang berada di atas dan dikelilingi oleh blok-blok dan bongkah-bongkah" (Linton 1955). Observasi Lapangan Dan Litologi Daerah bagian Timur dan Utara Pulau Bintan hampir seluruhnya disusun oleh batuan granitoid dan hanya sebagian kecil batuan malihan. Batuan granitoid (Gambar 6) singkapannya kebanyakan ditemukan di sepanjang potongan jalan dan pesisir pantai. Sedangkan batuan malihannya terdiri dari filit, batusabak dengan urat kwarsa dan sekis (Gambar 7). Kontak antara batuan granit dan batuan malihan di daerah ini tidak teramati karena tertutup lapukan sangat kuat dan tebal. Litologi, batuan granit daerah penelitian dapat di bagi dalam dua subkelompok, yaitu : 1) Granit berukuran sedang-kasar, berwarna berwarna putih hingga abu-abu pucatabu-abu terang, berteksur faneritik, berkomposisi felspar, kwarsa dengan sebaran beberapa mineral mineral mafik dan dengan urat-urat kwarsa sangat kecil. Permukaan lapuknya berwarna coklat kekuningan. 2) Batuan granitik berukuran kasar-sangat kasar, berwarna kelabu kemerahankehijauan, berteksur faneritik, dengan komposisi felspar, kwarsa, hornblenda dan biotit. Pelapukan permukaannya juga berwarna coklat kekuningan. Granit yang mendasari daerah penelitian merupakan bagian dari pluton batolit, dikenal sebagai Pluton Granit Kawal, granitoid subcircular berumur Trias Akhir berpusat di daerah Kijang (Gunung Kijang) hingga Berakit (Kusnama, dkk., 1994). Massa granit tersebut relatif tahan terhadap dekomposisi, sehingga umumnya terdapat sebagai pegunungan sisa-sisa erosional dan bongkah-bongkah corestones. Bongkah-Bongkah Corestones Corestones adalah sisa-sisa batuan asli dalam saprolit lapuk. Dalam kebanyakan kasus, bagian dalam corestones itu sendiri relatif tidak terpengaruh oleh proses pelapukan, meskipun bagian luarnya dapat mempunyai tepian material lapuk (Nesbitt, 1979). Tepian ini cenderung terkelupas dari permukaan secara kulit bawang, yang merupakan corak umum pelapukan sferoid dari granitoid; dalam keadaan ekstrem, corestones dapat lapuk menjadi saprolit “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran pasiran kohesif, dan akhirnya menjadi saprolit pasiran terpisah, serta jika terus tersingkap maka akan menjadi melapuk yang lebih sangat kuat. Dalam horizon saprolitik granit pluton Kawal, corestones berkembang bervariasi, berukuran mulai dari diameter beberapa meter sampai beberapa sentimeter dan berbentuk sferoid hingga lonjong (Gambar 8 dan 9), meskipun pelapukan kurang lanjut menghasilkan corestones lebih menyudut. Sepanjang jalan Tanjungpinang - Lagoy dan Pantai Berakit adalah daerah dimana corestones telah diamati setempat. Sepanjang jalan Tanjungpinang Lagoy bongkah-bongkah corestones granit di jumpai tersebar tak teratur di tengah-tengah lapangan di sebelah kiri dan kanan potongan jalan, dengan bentuk membundar dan lonjong (Gambar 10). Lingkarannya adalah sekitar 8 meter, panjang 10 meter, lebar 2 meter dan tinggi kurang lebih 3 meter. Akumulasi bongkah-bongkah corestones granit juga dapat ditemukan di sepanjang Pantai Berakit, bagian timur Pulau Bintan. Bongkah-bongkah corestones batuan granitik tersebut berukuran 10 x 9 x 4 meter, dengan lingkaran sekitar 5 meter dan hampir sebagian besar berbentuk membundar, serta beberapa timbul keluar dari air pantai yang dangkal (Gambar 11). Bongkah-bongkah corestones batuan granitik tersebut boleh jadi sisaan dari selubung pelapukan kaya corestone yang telah semakin tereosi oleh aksi gelombang. Penjelasan alternatif menyatakan bahwa fragmen batuan dikirim ke pantai awalnya berbentuk menyudut dan berasal dari tebing tinggi potongan batuan dan kemudian menjadi membumbdar, karena aksi gelombang. Diskusi Bongkah-bongkah Corestone merupakan salah satu yang paling umum dan khas bentangan granit sebagai hasil perkembangan multitahap. Meskipun beberapa bongkah berasal dari disintegrasi struktur lembar dan pembulatan berikutnya dari blok-blok yang dihasilkan, namun sebagian besar bongkah terbentuk hasil dari proses dua tahap. Tahap awal berupa periode pembusukan (rotting) meluas batuan bawah permukaan yang polanya dikendalikan oleh struktur geologi (retakan renjang/orthogonal), dan kemudian periode penggalian (exhumation) oleh penghapusan produk peluruhan (decay) batuan berukuran butir halus (Gambar 12). Hal ini yang menghasilkan corestones batuan segar berbentuk bola (sferis) tertanam dalam matriks batuan dasar lapuk. Penyingkiran detritus lapuk akan menyingkapkan corestones ini sebagai bongkah-bongkah. Corestones adalah sisa-sisa blok-blok tentuan retakan yang terletak di dalam regolith dan terpisah dari muka pelapukan, namun dapat dianggap sebagai bagian berbeda (diskret). Operasi mekanisme tersebut dibuktikan tidak hanya di terin granitik tetapi juga di berbagai batuan plutonik dan beku lainnya termasuk basalt, dan juga dalam sedimen seperti batupasir dan batugamping. Paling umum alih ragam (trasformasi) blok-blok kekar menyudut menjadi corestones membundar adalah karena pelapukan pojok dan tepi lebih cepat daripada muka bidang (Macculloch, 1814). Oleh karena itu, jarak retakan sebagian menentukan ukuran maksimum corestones dan selanjutnya bongkah, meskipun durasi pelapukan bawah permukaan dan pelapukan setelah tersingkap juga memainkan peran penting. Mengacu pada model klasik profil pelapukan yang dalam oleh Ruxton & Berry (1957), dapat di asumsikan bahwa bentuk dan ukuran bongkah-bongkah akan menunjukkan posisi aslinya dalam profil pelapukan. Pengupasan lebih sedikit akan menyingkapkan bagian atas zona corestones, karena itu bongkah-bongkah akan membundar dan berukuran yang lebih kecil, sedangkan erosi lebih dalam akan mengakibatkan penggalian lebih besar, sehingga kompartemen lebih berbentuk kubus menjadikannya lebih dekat ke permukaan batuan padat. Implikasi Terhadap Pengembangan Kawasan Taman Bumi Pulau Bintan bagian timur dan utara mempunyai fenomena alam sangat estetis karena keunikan geologi dan/atau jarang terdapat. Di beberapa tempat diberkahi dengan sejumlah situs geologi sebagai tempat tujuan sangat menarik untuk dijadikan wisata geologi. “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Pulau Bintan bagian timur dan utara di dasari oleh pluton granit besar, terbentuk jauh di bawah permukaan bumi lebih dari 145 juta tahun yang lalu. Permukaan atas bentuknya tidak teratur dan di beberapa bagian lebih dekat ke permukaan. Dimana bagian ini tersingkap oleh erosi batuan dan tanah di atasnya, menjadikan batuan induknya tersingkap. Ada beberapa singkapan tersebut tersingkap di sepanjang jalan TanjungpinangLagoy. Di lokasi ini singkapan granit oleh pelapukan dan erosi jutaan tahun telah dimodifikasi menjadi bentuk yang aneh dan menarik. Kontraksi yang dihasilkan dari pendinginan granit karena sedimen di atasnya telah dibersihkan oleh erosi, menyebabkan terbentuknya himpunan kekar persegi panjang dengan banyak spasi. Ketika granit itu tersingkap di permukaan, pelapukan mengeksploitasi himpunan kekar dan menghasilkan bongkah-bongah besar membundar, dan persegi panjang yang telah lapuk lanjut dan tererosi hingga membentuk bentuk yang terlihat sekarang (Gambar 13). Singkapan spektakuler granit tererosi (Gambar 5), di pantai timur Pulau Bintan, adalah contoh lain dari tujuan wisata populer yang telah dibentuk oleh pelapukan granit selama jutaan tahun. Batuan granitik Bertengger di atas kubah granit, membentuk apa yang tampaknya menjadi gugusan bongkah-bongkah seimbang tidak stabil. Nilai hakiki fitur geologi sering terlihat oleh mata tak terlatih dan hanya dapat sepenuhnya terungkap dan dihargai jika penelitian dan pengembangan sistematis dilakukan oleh para ahli geologi. Kesimpulan Corestones merupakan inti sisa blokblok tentuan retakan dan bila tersingkap setelah pengupasan regolith, menjadi bongkah-bongkah. Corestones dan bongkahbongkah tersebut terdapat secara tunggal, atau dalam kelompok, dalam blok-blok yang terisolasi secara lateral dan vertikal dari blokblok yang berdekatan. Kehadiran bongkah-bongkah corestones granit dapat memberikan kontribusi pada penetapan beberapa situs geologi untuk pengembangan taman bumi. Bongkah-bongkah corestones boleh jadi merupakan wisata geologi yang menggambarkan keindahan alam di Pulau Bintan bagian timur dan utara yang spektakuler dan fotogenik. Pustaka Campbell, E.M. (1997) Granite landforms. Journal of the Royal Society of Western Australia 80:101-112. Fairbridge, R.W. (1968) Terraces, fluvial– environmental controls, in R.W. Fairbridge (ed.) Encyclopedia of Geomorphology, 1,124–1,138, New York: Reinhold. Kusnama, K. Sutisna, T.C Amin, S Koesoemadinata, Sukardi, dan B Hermanto, (1994) Peta Geologi Lembar Tanjungpinang, Sumatera. Linton, D.L. (1955) The problem of tors. Geographical Journal 121: 470–487. Mabbutt J.A. (1961a). “Basal surface” or “weathering front”. Proceedings of the Geologists’ Association of London 72: 357–358. MacCulloch, J. (1814) On the granite tors of Cornwall. Transactions of the Geological Society 2: 66–78. Myers J S (1997) Geology of granite. Journal of the Royal Society of Western Australia 80:87-100. Migoń, P. (2006) Granite Landscapes of the World. Oxford University Press, Oxford. Migoń, P. (ed.) (2010) Geomorphological Landscapes of the World. Springer Dordrecht Heidelberg London New York. Nesbitt, H.W., (1979) Mobility and fractionation of rare earth elements during weathering of a granodiorite. Nature 279 (5710): 206-210. Ollier, C.D., (1965) Some features of granite weathering in Australia. Z. Geomorph. 9: 285-304. Ollier, C.D. (1984) Weathering, 2nd edition, London: Longman. Ollier, C.D. (1990) 'Morphotectonics of the Lake Albert Rift Valley and its “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran significance for continental margins', Journal of Geodynamics 11:343–55. Pitfield, P. E., L. H. Teoh, and E. J. Cobbing. (1990) Textural variation and tin mineratization in granites from the Main Range Province of the Southeast Asian Tin Belt. Geological Journal, Vol.25, 419429. Ruxton, B.P. and Berry, L.R. (1957) Weathering of granite and associated erosional features in Hong Kong. Geological Society of America Bulletin 68: 1263–1292. Twidale C.R. (1982) Granite Landforms. Elsevier, Amsterdam. Twidale C.R, and Vidal Romani JR (2005) Landforms and Geology of Granite Terrains. Balkema, Leiden. “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Gambar 1. Lokasi Daerah Penelitian dan Tatanan Geologi Umum P. Bintan menurut Kusnama, dkk., (1994). Gambar 2. Geologi Regional Pulau Bintan dan Sekitarnya Provinsi Kepulauan Riau (Kusnama dkk, 1994). Gambar 3. Skema profil pelapukan granit ber-corestone , berzona dan teratur menurut Ruxton dan Berry (1957). “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Gambar 4. Pelapukan Granite. Penampang khas pelapukan kimia dalam di granit. Blok-blok granit dibatasi oleh kekar. Saprolit adalah batuan lapuk tempatan, seperti ditunjukkan oleh urat kwarsa tak pindah. Alterasi adalah isovolumetrik. Regolith adalah istilah mencakup semua mnaterial tidak terkonsolidasi dekat permukaan bumi, termasuk saprolit (Ollier 1990). Gambar 5. Perkembangan Corestone dan tor karena pelapukan yang dalam dan disusul denunasi, dengan penyingkiran material lapuk lebih halus (Linton 1955). “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Gambar 6. Gambar 8. Granit berukuran sedang-kasar, berwarna abu-abu terang dengan sebaran beberapa mineral mineral mafik. Permukaan lapuknya berwarna coklat kekuningan. Tersingkap di sepanjang jalan Tanjungpinang Lagoy. Bongkah-bongkah Corestones berbenuk membundar. Tersingkap di pesisir timur (Pantai Berakit). Gambar 7. Singkapan batuan metamorf jenis filit sebagai batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian. Gambar 9. Bongkah Corestones berbentuk persegi empat. Tersingkap di sepanjang jalan Tanjungpinang - Lagoy. Gambar 10. Bongkah Corestones berbentuk persegi empat dan membundar tertanam dalam "Grus" (berwarna coklat), atau granit saprolit. Grus dapat terfragmentasi oleh tangan, tetapi masih mempertahankan kemas batuan beku asli material induk granit. “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Gambar 11. a. Akumulasi bongkah-bongkah corestones batuan granitik di sepanjang Pantai Berakit, bagian timur Pulau Bintan, hampir sebagian besar berbentuk membundar, dan beberapa timbul keluar dari air pantai yang dangkal. Gambar 12. Tahapan evolusi corestones oleh pelapukan bawah permukaan. Pembentukan corestones di bawah permukaan. Mewakili penampang vertikal batuan massif granitoid terkekarkan. Nomor lapisan dari permukaan tanah ke bawah dari 1 sampai 6 dipisahkan oleh bidang perlapisan-semu (pseudo-bedding) yang berspasi merata. Kolom berhuruf A sampai H dipisahkan oleh kekar hampir vertikal berspasi merata. Batuan dengan demikian terbagi, atau berpotensi terbagi, menjadi beberapa blok-blok jajaran-genjang yang ukurannya sangat bervariasi. Beberapa blok ini yang akan menempati ruang (tak bernomor) seperti A2, B2, F3, F5 relatif kecil, sementara yang lainnya seperti C5 dan D 6 besar. Pelapukan kimia diasumsikan hasil dari penetrasi antar-butiran batuan dengan air tanah yang bergerak turun dari permukaan, masuk dari bidang kekar, dan turun ke bawah, dan untuk tingkat kecil ke atas, dari bidang perlapisan semu. Setelah selang waktu yang cukup, dekomposisi akan mempengaruhi semua bagian berbayang. Beberapa blok-blok di batasi kekar dekat permukaan, atau antara kekar berspasi rapat, akan membusuk menyeluruh; sedangkan blok-blok lainnya yang lebih jauh dari permukaan atau di batasi oleh kekar yang terpisah secara luas hanya akan terpengaruh oleh pembulatan pada tepi dan pojok serta beberapa pengurangan ukuran. “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Gambar 12. Tahapan evolusi corestones oleh pelapukan bawah permukaan. b. Perombakan oleh denudasi material lapuk. Perubahan radikal dianggap telah terjadi. Produk pembusukan batuan berukuran halus telah dihapus oleh fase penyusutan (wasting) permukaan aktif berikut peremajaan lokal sungai atau oleh beberapa agen lainnya. Permukaan tanah secara efektif telah di bawa turun ke dasar pada gambar. Jika penghapusan secara bertahap, corestones seperti D2, dan D3 akan menetap pada dudukan gabungan penunjang D4, D5, D6. Beberapa batu seperti C1 dan C2 dapat sampai menjadi sangat nyaman di posisi sangat seimbang atau tidak stabil; yang lainnya, seperti G3, akan rebah dan menjadi batu berjejalan; atau seperti H4 akan jatuh ke tanah. Keseluruhannya akan memiliki aspek arsitektur berasal dari pola kekar asli dari batuan. Bagian atas dan bagian luar akan membundar dan terpisahkan; bagian bawah sekitar blok-blok dibatasi kekar akan tertanam/berakar kuat dalam batuan dasar. Gambar 13. Singkapan spektakuler bongkah corestones granit bertengger kokoh di atas bongkah corestones batuan granitik lainnya, membentuk apa yang tampaknya menjadi gugusan bongkah-bongkah seimbang yang stabil. “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”