DINAMIKA INFLASI INDONESIA PADA TATARAN PROVINSI ADJI SUBEKTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Penulis, Adji Subekti H151090114 ABSTRACT ADJI SUBEKTI. Indonesian Inflation Dynamics at Provincial Level. Under supervision of HERMANTO SIREGAR and NOER AZAM ACHSANI. Indonesia never experience any annual deflation for more than forty years. After being strucked by the 1998 economic crisis, Indonesia introduced two fundamentals policies, those are the exchange rate rearrangement in 1999 and the decentralization policy in 2001. Following the implementation of those policies, there are some changes of policy or non-policy variables that would be responded by various level of inflation among regions in Indonesia. This research aim to examine the policy and non-policy variables affecting Indonesian inflation dynamics at provincial level. After utilizing the method of dynamic panel data with spatial and non-spatial approaches, this research found that during the period of 2000-2009, inflation dynamics are likely affected by non-policy variables, such as inflation inertia, exchange rate volatility, and the simultaneous changes of infrastructure conditions and trade openness. Some policy variables such as salary adjustment of government employee, adjustment of domestic oil price and interest rate adjustment are also affecting the inflation dynamics. It is suggest that central bank together with government develop system to support inflation-forecast targeting. In order to decrease exchange rate pass through, government can propose import substitution, nationality suasion to use domestic product and the obligation for proposing a new establishment’s permission to use a local base or domestic material in the most. It is also suggest that central government sets the domestic oil prices adjustment periodically to minimize bad impact of unanticipated expectation of the policy, beside that, salary adjustment of government employee must be set carefully to avoid higher inflation expectation. Further more, in the way of interest rate adjustment and targeting inflation, central bank should construct an accurately forecast to raise their credibility. Last, central and local government must concern about the improvement of the infrastructure condition and simplification of regulation which related to business environment. Keywords : inflation volatility, dynamic panel data, policy and non policy variables JEL Classification : E31, F41, O23, O57 RINGKASAN ADJI SUBEKTI. Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NOER AZAM ACHSANI. Sejarah mencatat, selama lebih dari 40 tahun Indonesia belum pernah mengalami deflasi untuk periode tahunan. Pasca krisis 1998, terdapat perubahan haluan politik yang menyebabkan perubahan kondisi ekonomi secara struktural. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji variabel kebijakan dan non kebijakan yang memengaruhi dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi. Metode yang digunakan dalam metode ini adalah data panel dinamis untuk model spasial dan non spasial. Temuan dari penelitian ini adalah, selama tahun 2000 – 2009, dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate, gejolak nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI, sementara kesenjangan output, pertumbuhan M1, penetapan UMP dan belanja pemerintah daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi. Berdasarkan pendekatan model data panel spasial dinamis, inersia inflasi dapat didekomposisi menjadi dua sumber penyebab inflasi, yaitu persistensi dari inflasi masing-masing provinsi dan inflasi yang berasal dari provinsi lainnya. Selain itu, pendekatan model data panel non spasial dinamis menunjukkan bahwa interaksi antara perbaikan kondisi infrastruktur dengan peningkatan derajat keterbukaan perdagangan secara simultan dapat menurunkan volatilitas inflasi. Hal ini terkait dengan hasil estimasi dari model ini yang lebih sensitif terhadap shock yang berasal dari perekonomian global dibanding model spasial. Penelitian ini menyimpulkan selama tahun 2000 – 2009, inflasi lebih disebabkan oleh sisi penawaran, selain itu, diperoleh bukti bahwa inflasi di Indonesia tidak semata-mata fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena fiskal. Terkait dengan kesimpulan penelitian ini, dalam penetapan target inflasi, Bank Indonesia bersama-sama dengan pemerintah disarankan untuk merancang sistem peramalan target inflasi. Upaya penurunan derajat pass through dapat dilakukan dengan strategi substitusi bahan baku impor, himbauan penggunaan barang domestik dan kewajiban penggunaan bahan baku yang sebagian besar berasal dari produk lokal untuk perizinan usaha baru. Pemerintah pusat disarankan untuk melakukan penyesuaian harga BBM secara berkala untuk mengindari dampak buruk dari ekspektasi yang tidak diantisipasi atas kebijakan tersebut dan seyogyanya mempertimbangkan besaran penyesuaian gaji pengawai pemerintah karena dapat menyebabkan ekspektasi yang tinggi terhadap inflasi. Lebih lanjut, terkait dengan penyesuaian BI rate dan penentuan target inflasi, Bank Indonesia hendaknya membuat peramalan yang cukup akurat guna meningkatkan kredibilitasnya. Terakhir, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan perbaikan kondisi infrastruktur dan penyederhanaan peraturanperaturan terkait dengan dunia usaha. Kata kunci: volatilitas inflasi, data panel dinamis, variabel kebijakan dan non kebijakan Klasifikasi JEL : E31, F41, O23, O57 © Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB DINAMIKA INFLASI INDONESIA PADA TATARAN PROVINSI ADJI SUBEKTI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis Nama NRP Program Studi : : : : Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi Adji Subekti H151090114 Ilmu Ekonomi Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 25 Juni 2011 Tanggal Lulus : Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. H. R. Dedi Walujadi, MA. Untuk : Ibu dan Bapak Istriku Ros Anak-anakku : Damar, Radit dan Akhtar PRAKATA Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Topik yang dipilih untuk penelitian ini adalah “Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan banyak masukan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Lukytawati Anggraeni, M.Si selaku ketua dan sekretaris program studi yang telah banyak memberi dukungan dan arahan sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Secara khusus, penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Banten dan Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Provinsi Banten yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Demikian juga, terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas dan menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada yang tersayang Rosnawiyah, ST (istri penulis), Damar Fatih Mahardhika (anak pertama penulis), Radityo Hadi Nugraha (anak kedua penulis), Akhtar Rafif Waskita (anak ketiga penulis) dan seluruh keluarga besar kami yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis sejak seleksi awal tugas belajar hingga penyelesaian tesis ini. Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dan proses pembangunan di Indonesia khususnya dalam upaya mengendalikan inflasi. Selain itu, tesis ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Juni 2011 Penulis, Adji Subekti RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Adji Subekti, lahir pada tanggal 14 Juli 1973 di Jakarta. Penulis anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Soetadi Prawirowiyono dan Ariati Nurprestya Ningsih. Penulis diterima menjadi mahasiswa Akademi Ilmu Statistik Jakarta (AIS) pada tahun 1994 dan menyelesaikan pendidikan DIII pada tahun 1997. Setelah selesai pendidikan DIII, penulis sempat bekerja di BPS Provinsi Jawa Barat, namun tidak lama kemudian berpindah tugas di BPS Kabupaten Serang Provinsi Jawa Barat. Setelah bekerja kurang lebih 2 tahun, pada tahun 1999, penulis memperoleh kesempatan untuk tugas belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dalam rangka menyelesaikan pendidikan DIV. Selesai pendidikan DIV, pada tahun 2000 penulis kembali bertugas di BPS Kabupaten Serang tetapi kemudian bukan lagi bagian dari Provinsi Jawa Barat melainkan Provinsi Banten, karena pemekaran wilayah. Terhitung sejak tahun 2008, penulis beralih tugas dari sebelumnya di BPS Kabupaten Serang ke BPS Provinsi Banten. Pada tahun 2009, setelah menyelesaikan program alih jenjang S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM, penulis melanjutkan kuliah S2 Magister Ilmu Ekonomi IPB melalui program beasiswa yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................... ivxiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iiixiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... iiiixv DAFTAR ISTILAH ................................................................................... iiixvi DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ iixvii PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4 Ruang Lingkup................................................................................. 001 001 011 014 014 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2.1 Definisi Inflasi ................................................................................. 2.2 Inflasi Regional ............................................................................... 2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian .............................................. 2.3.1 Output Potensial dan Output Gap .......................................... 2.3.2 Ekspektasi Inflasi ................................................................... 2.4 Pendekatan Kurva AD – AS ........................................................... 2.4.1 Permintaan Agregat ............................................................... 2.4.2 Penawaran Agregat ................................................................ 2.4.3 Upah Minimum dan Inflasi.................................................... 2.4.4 Administred Prices dan Inflasi............................................... 2.5 Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi .. 2.6 Infrastruktur dan Inflasi ................................................................... 2.7 Metode Univariate Detrending ....................................................... 2.8 Metode Regresi Data Panel ............................................................. 2.8.1 Data Panel Statis ................................................................... 2.8.1.1 Fixed Effect Model (FEM) ...................................... 2.8.1.2 Random Effect Model (REM) .................................. 2.8.2 Data Panel Dinamis ............................................................... 2.8.2.1 Data Panel Dinamis Non Spasial ............................. First-Difference GMM (FD-GMM) ........................ System GMM (SYS-GMM) .................................... 2.8.2.2 Data Panel Spasial Dinamis ..................................... Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB) ........... Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) ........... 2.9 Penelitian Sebelumnya..................................................................... 2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian........................................................ 017 017 019 021 025 027 030 030 033 034 037 040 043 045 047 048 048 049 049 050 050 052 053 054 056 058 062 I. xi III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 3.1 Metode Analisis.................................................................................. 3.1.1 Analisis Deskriptif.................................................................... 3.1.2 Estimasi Output Potensial dengan Metode Univariate Detrending ............................................................ 3.1.3 Aplikasi Regresi Data Panel .................................................... 3.1.3.1 Model Data Panel Statis ............................................. 3.1.3.2 Model Data Panel Dinamis Non Spasial..................... 3.1.3.3 Model Data Panel Spasial Dinamis............................. 3.2 Spesifikasi Model Penelitian ............................................................. 3.3 Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 3.4 Hipotesis Penelitian ............................................................................ 065 065 065 IV. GAMBARAN UMUM.............................................................................. 4.1 Dinamika Inflasi Regional.................................................................. 4.2 Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar ............................................. 4.3 Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan BI ............................................. 4.4 Penyesuaian Harga BBM dan Gaji PNS ............................................ 4.5 Struktur Ekonomi Provinsi ................................................................. 083 083 089 094 096 098 V. PEMBAHASAN HASIL........................................................................... 5.1 Penaksiran Output Potensial dan Output Gap .................................... 5.2 Pengujian Stasioneritas Data .............................................................. 5.3 Pengujian Kausalitas Granger ............................................................ 5.4 Hasil Estimasi..................................................................................... 5.4.1 Model Dasar ............................................................................. 5.4.2 Model Penargetan Inflasi.......................................................... 5.4.3 Model Perbedaan Kondisi Infrastruktur antar Wilayah ........... 5.5 Respon Inflasi terhadap Variabel-variabel Non Kebijakan ............... 5.5.1 Peran Inersia Inflasi dan Keterkaitan Secara Spasial dalam Pembentukan Inflasi...................................................... 5.5.2 Pengaruh Output Gap terhadap Inflasi..................................... 5.5.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi ..................... 5.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur ....... 5.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur ....... 5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan Otoritas Moneter .............................................................................................. 5.6.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat ............. 5.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah........... 5.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter ............................ 5.6.4 Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi ......................... 5.7 Rangkuman Hasil Pembahasan .......................................................... 103 103 106 108 113 113 120 122 125 134 134 136 138 142 145 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 6.1 Kesimpulan .................................................................................... 6.2 Implikasi Kebijakan............................................................................ 6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut ............................................................ 149 149 150 154 065 067 068 069 070 072 078 081 125 127 128 130 133 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 155 DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 161 xii DAFTAR TABEL Halaman 01. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi tahun 1959-1966................................................................................... 02. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi tahun 1990-1998 .................................................................................. 03. Perbandingan inflasi antar pulau tahun 2008 – 2009 .......................... 04. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya ............................................... 05. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis ............... 06. Inflasi menurut pulau dan kelompok pulau tahun 2000 - 2009 ........... 07. Korelasi inflasi antar provinsi tahun 2000 – 2009 ............................... 08. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untuk Jawa dan Luar Jawa ................................................................... 09. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) .................................................................................. 10. Rangkuman hasil pengujian panel unit root ........................................ 11. Ringkasan hasil pengujian kausalitas granger antara inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti................................................. 12. Hasil estimasi model data panel non spasial ........................................ 13. Hasil estimasi model data panel spasial ............................................... 14. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk penargetan inflasi...... 15. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk perbedaan inflasi antar wilayah .................................................................................... 16. Korelasi antara pengeluaran pemerintah daerah dengan penerimaan daerah tahun 2000 – 2009................................................. 17. Korelasi antara Upah Minimum Provinsi (UMP) riil dengan tingkat pengangguran tahun 2000 – 2009 ............................................ 18. Target dan realisasi inflasi Indonesia tahun 2000 – 2009 .................... 19. Implikasi kebijakan berdasarkan rumusan hasil penelitian.................. 002 004 009 058 081 086 087 101 102 107 109 115 119 121 124 137 138 143 150 xiii DAFTAR GAMBAR Halaman 01.0 02.0 03.0 04.0 05.0 06.0 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. xiv Inflasi Indonesia tahun 1958 – 2009 ................................................ Nilai tukar nominal (rupiah/US $) dan inflasi year on year (%) ..... Upah minimum provinsi riil 5 provinsi di Indonesia....................... Hipotesis tradeoff antara inflasi dan output gap dalam kurva Phillips versi NKPC............................................................... Mekanisme transmisi kebijakan fiskal ekpansioner dan kebijakan moneter ekpansioner terhadap inflasi.............................. Ilustrasi dampak kenaikan upah minimum dan kenaikan harga BBM .................................................................................... Kerangka pemikiran penelitian ........................................................ Inflasi Indonesia menurut provinsi tahun 2000 – 2009.................... Perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar (M1) tahun 2003 – 2009............................................................................ Perkembangan jumlah simpanan dan kredit menurut provinsi tahun 2003 – 2009 (dalam triliun rupiah) ........................................ Perkembangan suku bunga acuan BI dan nilai tukar tahun 2000 – 2009............................................................................ Perkembangan harga BBM dan gaji PNS tahun 2000 – 2009 ......... Persentase sektor dominan terhadap PDRB menurut provinsi tahun 2000 – 2009............................................................................ Output aktual dan output potensial menurut provinsi tahun 1999 – 2009 (dalam triliun rupiah) ....................................... Perkembangan impor menurut penggunaan barang tahun 2000 – 2010 (dalam CIF miliar US$) .................................... Jalur mekanisme transmisi kebijakan penetapan BI rate ................. 001 005 006 024 032 039 063 084 089 092 094 096 099 104 129 140 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Program Eviews v6 ..... Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Inflasi dengan Beberapa Variabel yang Diteliti Program Eviews v6 ................... Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) dan Spasial Dinamis (SAB) ................. Scripts Input dan Hasil Output untuk Metode Data Panel Statis dan Dinamis untuk Model Non Spasial dan Spasial dengan Program STATA v.10 ................................................................... 161 172 173 175 xv DAFTAR ISTILAH administred prices backward looking BI rate continuum detrending driving force variable fiat money first differencing downward biased forward looking money growth money supply output gap pass through persistence predetermine variable price rigidity price setter robustness shock spatial error spatial lag spillover spurious regression trade openness volatile wage setter xvi : barang-barang yang harganya ditentukan oleh peraturan pemerintah : perilaku ekspektasi yang cenderung memperhatikan kondisi sebelumnya : suku bunga acuan dari Bank Indonesia : rangkaian urutan nilai parameter : penghalusan tren dari data runtun waktu : variabel utama yang memengaruhi variabel tidak bebas : uang unjuk nilai, yaitu nilai nominal uang yang tertera pada mata uang yang digunakan pada suatu negara : pembedaan pertama : bias ke bawah, artinya nilai estimasi yang dihasilkan cenderung lebih rendah dibanding nilai parameter sebenarnya : perilaku ekspektasi yang cenderung meramalkan bagaimana kondisi ke depan : pertumbuhan uang : penawaran uang : kesenjangan output, yaitu deviasi dari output aktual terhadap kondisi potensialnya : atau exchange rate pass through (ERPT) adalah dampak pergerakan nilai tukar terhadap volatilitas inflasi : persistensi, yaitu ada dan berlangsung terus-menerus karena tidak mudah untuk dikendalikan : variabel yang nilai ditentukan terlebih dahulu dalam model namun tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya : kekakuan harga : pihak-pihak yang menentukan besarnya harga : kekuatan/keteguhan/ketegaran yang sulit dibantahkan : guncangan yang terjadi akibat adanya suatu perubahan : model spasial yang difokuskan pada keterkaitan dari galat secara spasial : model spasial yang difokuskan pada keterkaitan dari variabel tidak bebas secara spasial : dampak limpahan atau imbas : regresi yang dibangun atas hubungan semu atau hubungan yang sebenarnya terjadi sehingga hasilnya bisa menimbulkan kesalahan interpretasi : derajat keterbukaan perdagangan : terus-menerus bergejolak : pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam menetapkan besarnya upah DAFTAR SINGKATAN AD – AS ADF – Fisher test BBM ERPT FD-GMM FEM GLS GMM HP-filter IHK IPS test IRIO IHK ITF KBI KTI LLC test NAIRU NKPC OLS PDRB PLS PNS PP – Fisher test REM SAB SBB SYS-GMM UMP : aggregate demand – aggregate supply : augmented Dickey–Fuller – Fisher test : bahan bakar minyak : exchange rate pass through : first-difference GMM : fixed effect model : generalize least squared : generalized method of moments : Hodrick-Prescott (HP) filter : indeks harga konsumen : Im, Pesaran and Shin test : inter-regional input-output : indeks harga konsumen : inflation targeting framework : Kawasan Barat Indonesia : Kawasan Timur Indonesia : Levin, Lin and Chu test : non-accelerating inflation rate of unemployment : New Keynesian Phillips Curve : ordinary least squared : Produk Domestik Regional Bruto : pooled least squared : pegawai negeri sipil : Phillips–Perron – Fisher test : random effect model : spatially Arellano-Bond : spatially Blundell-Bond : system GMM : upah minimum provinsi xvii Halaman ini sengaja dikosongkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah mencatat, lebih dari empat dasawarsa Indonesia belum pernah mengalami deflasi untuk periode tahunan, artinya sepanjang kurun waktu tersebut, setiap tahun terjadi inflasi secara terus-menerus. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi, masing-masing pada tahun 1966 dan tahun 1998 (BPS). Inflasi pada tahun 1966 merupakan inflasi dengan tiga digit tertinggi pada era tahun 1960-an, sementara di era tahun 1990-an inflasi tahun 1998 adalah inflasi dengan dua digit tertinggi. Sumber : Badan Pusat Statistik Gambar 1. Inflasi Indonesia Tahun 1958 – 2009. Saat Orde Lama jatuh, yaitu pada tahun 1966, inflasi tercatat mencapai 636% dan secara bersamaan jumlah uang beredar (M1) menunjukkan peningkatan lebih dari 90% dalam lima tahun terakhir sebelum kejatuhan rezim tersebut (Tabel 1). Peningkatan M1 tersebut merupakan konsekuensi dari instabilitas politik dalam negeri Indonesia yang diwarnai oleh banyaknya pemberontakan, serta kebijakan politik luar negeri Indonesia yang cenderung berkiblat pada blok 2 timur sehingga Indonesia kesulitan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri (Tambunan, 2009). Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya konfrontasi dengan Malaysia dan operasi Trikora dalam rangka membebaskan Irian Barat serta pembangunan proyek-proyek “mercu suar”. Akibatnya, pemerintah kemudian melakukan kebijakan untuk mencetak uang untuk membiayai semuanya termasuk juga membiayai pembangunan dalam negeri. Secara umum, penyebab utama dari hiperinflasi yang terjadi pada masa Orde Lama adalah anggaran belanja pemerintah yang tidak berimbang yang dipicu oleh neraca perdagangan yang negatif, hutang luar negeri yang cukup besar, tertutupnya akses untuk memperoleh pinjaman luar negeri sehingga segala kegiatan yang melibatkan peran pemerintah sebagian besar terpaksa harus dibiayai dengan pencetakan uang. Tabel 1. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi tahun 19591966 Tahun M1 Pertumbuhan M1 (%) Inflasi (%) 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966 29 35 48 68 136 263 675 2.713.688 5.164.552 18,78 37,13 41,40 100,89 93,79 156,34 301.965,18 90,31 46 22 38 27 174 119 135 594 636 Sumber : Bank Indonesia – Sejarah Moneter Periode 1959-1966 Akibat lebih lanjut dari jatuhnya rezim Orde Lama adalah perekonomian Indonesia di bawah rezim baru cenderung lebih liberal dan lebih terbuka terhadap perekonomian luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk peraturan perundang-undangan yang berusaha menstimulasi sektor swasta untuk masuk ke sektor-sektor strategis, termasuk juga berusaha untuk menarik penanaman modal asing (Tambunan, 2009). Melalui perubahan sistim politik tersebut maka dimulailah pinjaman luar baik yang bersifat bilateral maupun melalui pinjaman multilateral untuk membiayai proyek-proyek strategis, mengingat pada rezim sebelumnya banyak infrastruktur ekonomi yang terbengkelai pada awal rezim ini. Guna mengejar banyak ketertinggalan di bidang ekonomi, paradigma pembangunan Orde Baru, selain diarahkan untuk mendorong pertumbuhan 3 ekonomi yang tinggi dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya juga berusaha untuk menjaga stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam bidang politik dan ekonomi sebagaimana yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan. Dalam praktiknya, upaya menjaga stabilitas nasional tersebut termasuk juga melakukan stabilisasi harga guna menurunkan inflasi. Nampaknya, kesadaran dari rezim ini akan bahaya akan inflasi yang merupakan “hantu perekonomian” yang menakutkan disebutkan secara implisit sebagai salah satu tujuan dari langkah strategis dalam pembangunan. Tak dapat dipungkiri, Orde Baru memberikan perubahan yang signifikan dalam proses pembangunan Indonesia yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita yang cukup tinggi. Ibarat pepatah, “tak ada gading yang tak retak”, karena dengan membuat perekonomian Indonesia lebih terbuka membuat guncangan yang berasal dari luar negeri akan berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomian di dalam negeri. Tingkat ketergantungan impor yang tinggi dan ketergantungan atas pinjaman luar negeri termasuk penanaman modal asing membuat perekonomian Indonesia semakin rapuh terhadap guncangan dari luar negeri. Terbukti ketika terjadi krisis mata uang Asia, dalam hitungan bulan perekonomian Indonesia memasuki fase krisis yang cukup parah. Akibat inflasi yang demikian tinggi ditambah rupiah yang terdepresiasi demikian hebat, penanggulangan krisis tersebut diperkirakan mencapai 50% dari besarnya GDP (Mishkin, 2004). Selanjutnya, kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 diawali oleh krisis mata uang Asia yang sesungguhnya merupakan shock yang berasal dari luar negeri. Krisis tersebut kemudian dengan cepat menjalar ke sektor riil sehingga membuat perekonomian Indonesia memasuki fase krisis ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang negatif yaitu 13,13% (BPS). Selama fase krisis ekonomi tersebut tercatat inflasi mencapai 77,63% dan di saat yang sama terjadi penambahan jumlah uang beredar (dalam arti luas/M2) sebesar 62,28% (Tabel 2). Meski inflasi pada tahun 1998 tidak sebesar tahun 1966, namun tingkat inflasi tersebut merupakan inflasi tertinggi sejak rezim Orde Baru mulai melakukan upaya stabilisasi inflasi pada tahun 1970-an. Adanya penambahan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) nampaknya merupakan konsekuensi 4 logis karena Bank Indonesia berusaha melakukan stabilisasi nilai tukar terhadap dolar AS yang terdepresiasi demikian hebat, mengingat pada periode tersebut Indonesia masih menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Akibat menipisnya cadangan luar negeri karena harus terus-menerus melakukan intervensi dalam stabilisasi rupiah terhadap dolar AS, diduga pihak otoritas moneter meningkatkan base money (McLeod, 2003 dalam Ito dan Sato, 2006). Melihat dua kondisi Indonesia tersebut, agaknya pendapat Prof. Friedman (Mankiw, 2007) mengenai inflasi merupakan sebuah fenomena moneter kapan saja dan dimana saja sepertinya benar. Tabel 2. Jumlah uang beredar (dalam miliar rupiah) dan inflasi tahun 19901998 Tahun M1 Pertumbuhan M1 (%) M2 Pertumbuhan M2 (%) Inflasi (%) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 23,82 26,34 28,78 36,81 45,37 53,22 64,09 78,34 101,20 10,58 9,26 27,90 23,25 17,30 20,42 22,24 29,17 84,63 99,06 119,05 145,20 174,51 222,64 288,63 355,64 577,15 17,05 20,18 21,97 20,19 27,58 29,64 23,22 62,28 9,94 9,93 5,04 10,18 9,64 8,97 6,65 11,05 77,63 Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik Pasca krisis ekonomi tahun 1998, terjadi perubahan sistem nilai tukar dari sebelumnya menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) menjadi nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) pada tahun 1999, melalui pemberlakukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pengertian nilai tukar fleksibel bagi Indonesia ini bukan berarti nilai tukar sepenuhnya diserahkan ke pasar, tetapi otoritas moneter juga ikut campur tangan dalam rangka stabilisasi nilai tukar terhadap valuta asing dan pada gilirannya akan membantu stabilitas inflasi. Upaya stabilisasi nilai tukar tersebut terkesan lambat karena membutuhkan sekitar empat tahun setelah dilakukan perubahan sistem tersebut, nilai tukar riil Indonesia hampir sama dengan nilai tukar riil negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, masing-masing terhadap dolar AS, sementara tiga negara lainnya telah mencapai nilai tukar riil yang cukup stabil sejak tahun 2000 (Ito dan Sato, 2006). Hal lain yang bisa dilihat adalah meski telah dilakukan upaya 5 stabilisasi nilai tukar sejak tahun 1999, namun nilai tukar nominal tidak pernah kembali ke level semula, yaitu kondisi sebelum krisis. Bahkan, adanya perubahan sistem ini menyebabkan nilai tukar rupiah dan inflasi menjadi lebih volatile (Prasertnukul et al., 2010). Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik Gambar 2. nilai tukar nominal (rupiah/US$) dan inflasi year on year (%). Perubahan lainnya yang cukup mendasar pasca krisis ekonomi tahun 1998 adalah dimulainya era otonomi daerah sejak tahun 2001 yang membawa konsekuensi tidak saja pada desentralisasi politik dan administrasi, tetapi termasuk desentralisasi fiskal. Implikasi dari kebijakan desentralisasi fiskal ini adalah pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan, termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan belanja rutin dan belanja investasi. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya daerah sehingga idealnya akan mendorong daya saing daerah yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan daerah. Keleluasaan pemerintah daerah dalam mengatur keuangannya di sisi lain, menimbulkan kekhawatiran akan munculnya egoisme lokal yang akan berpengaruh buruk pada stabilitas makro ekonomi pada tingkat nasional. 6 Salah satu implikasi dari pemberlakukan otonomi daerah adalah mekanisme penetapan besarnya upah minimum regional (UMR) pada tingkat provinsi atau dikenal dengan istilah upah minimum provinsi (UMP) yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi, sejak tahun 2001 menggunakan sistem desentralisasi. Sebelum terjadinya perubahan mekanisme tersebut, sampai dengan tahun 2000, ketika Indonesia terserang krisis ekonomi pada tahun 1998, upah minimum riil mengalami penurunan dibanding sebelum krisis. Periode setelahnya, yaitu ketika mekanisme penentuan upah minimun dilakukan dengan sistem desentralisasi, upah minimum provinsi menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, bahkan besarannya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, kecuali untuk Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur (Gambar 3). 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 Sumatera Utara Jawa Timur DKI Jakarta Sulawesi Selatan Jawa Barat 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 0 Sumber : Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (data diolah) Gambar 3. Upah Minimum Provinsi riil 5 provinsi di Indonesia. Bersamaan dengan kenaikan upah minimum riil pada tingkat provinsi tersebut, pemerintah juga melakukan penyesuaian besarnya gaji untuk PNS termasuk TNI dan Polri secara bertahap dalam kurun waktu 10 terakhir. Salah satu alasan pemerintah menaikkan gaji pegawainya adalah untuk menjaga daya beli dari aparat pemerintah tersebut agar gaji yang diterima setiap bulan tidak tergerus oleh inflasi, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi 1998. Kebijakan ini tidak hanya menaikkan pengeluaran belanja pemerintah secara nominal, lebih jauh lagi, 7 kabar yang tentang kenaikan gaji pegawai pemerintah diterima oleh kalangan dunia bisnis dari pengumuman presiden melalui berbagai media massa memicu terjadinya kenaikan harga pada beberapa bulan mendatang, bahkan sebelum kebijakan tersebut dilaksanakan beberapa harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Pengumuman mengenai kenaikan gaji pegawai pemerintah tersebut diyakini akan memunculkan sentimen pasar melalui ekspektasi mengenai inflasi di tahun mendatang. Sejalan dengan perubahan mendasar pasca krisis, perekonomian Indonesia kian terintegrasi dengan perekonomian global. Setidaknya beberapa perjanjian mengenai pasar bebas dalam skala regional seperti AFTA dan perjanjian pasar bebas antara ASEAN dengan China, Australia-Selandian Baru, Jepang, India, Korea Selatan dan Amerika Serikat kurun waktu tahun 2002 – 2006, kian memperjelas kondisi tersebut. Dalam perjanjian pasar bebas tersebut, wacana penting yang dimunculkan adalah pengurangan atau bahkan penghapusan tarif masuk yang menjadi salah satu penghalang terselenggaranya pasar bebas. Berkurangnya atau dengan dihapuskannya penghalang tersebut, di satu sisi, diharapkan konsumen domestik akan menikmati berbagai macam komoditas untuk memenuhi kebutuhannya, yang tidak hanya berasal dari produk domestik tetapi juga produk impor dengan harga bersaing. Di sisi lain, dengan pasar bebas akan menyebabkan pendapatan pemerintah dari pajak impor akan berkurang dan di saat yang sama perekonomian domestik akan semakin terbuka dan terintegrasi dengan perekonomian global. Jika fondasi perekonomian Indonesia tidak cukup kuat, hal ini tentu akan memberi pengaruh buruk pada perekonomian domestik karena akan membuat tingkat ketergantungan yang tinggi atas perekonomian global. Perkembangan selanjutnya adalah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas sebagaimana paradigma pembangunan dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodoyono (SBY), dalam lima tahun terakhir, tercatat peningkatan belanja APBN yang cukup tinggi, yaitu sebesar Rp. 509,63 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 1.005,67 triliun pada tahun 2009. Peningkatan belanja APBN yang demikian tinggi ini ternyata tidak lepas dari masalah, karena setidaknya ketika terjadi guncangan harga minyak dunia (oil price shock), 8 pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM dan menyusul menaikkan tarif dasar listrik (TDL) yang notebenenya merupakan administred prices guna mengurangi subsidi energi yang menjadi beban berat APBN, mengingat dalam beberapa tahun terakhir menganut sistem anggaran belanja tidak berimbang (imbalanced budgeting) dan selisih antara anggaran pendapatan dan belanja tersebut cenderung meningkat. Demi menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam bentuk obligasi pemerintah untuk hutang negara yang berasal dari dalam negeri dan mengupayakan pinjaman luar negeri baik yang berasal dari pinjaman bilateral maupun pinjaman multilateral, karena pemerintah memiliki kendala anggaran, baik untuk penyelenggaran negara maupun untuk keperluan pembangunan. Bersamaan dengan perubahan sistem APBN, pihak otoritas moneter secara efektif mulai memberlakukan secara penuh kerangka kerja penargetan inflasi (inflation targeting framework/ITF) pada tahun 2005 berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. ITF merupakan suatu kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode (tahun) ke depan. Terkait dengan pengumuman mengenai target inflasi yang akan dicapai tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa tingkat inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Meski demikian tidak berarti dengan single objective tersebut, ITF tidak mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan, tetapi sebaliknya inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, diyakini akan mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable growth). Sejalan dengan tanggung jawab BI dalam melakukan stabilisasi inflasi sesuai dengan amanat UU tersebut, dilakukan pula stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Terkait dengan upaya stabilisasi inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing dan mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, selambat-lambatnya setiap tiga bulan sekali, melalui Rapat Dewan Gubernur, Bank Indonesia menetapkan besarnya suku bunga acuan (BI rate). Tujuan penetapan BI rate ini tidak hanya memberi sinyal kepada pasar tentang 9 kondisi perekonomian secara umum, namun juga untuk memengaruhi ekspektasi masyarakat mengenai tingkat inflasi pada periode mendatang, termasuk memengaruhi variabel makro ekonomi lainnya, yang pada akhirnya akan memengaruhi besarnya inflasi melalui beberapa jalur mekanisme transmisi. Berbagai kebijakan maupun variabel non kebijakan tersebut direspon dengan tingkat inflasi yang berbeda-beda pada tiap daerah di Indonesia, artinya kebijakan yang sama di tingkat nasional seperti penyesuaian gaji pegawai pemerintah, penyesuaian harga BBM maupun berbagai kebijakan moneter yang bersifat sentralistik, memiliki dampak inflasi yang berbeda-beda pada tiap daerah atau provinsi. Ketika terjadi krisis finansial global pada tahun 2008 misalnya, inflasi di Indonesia cukup bervariasi dengan rata-rata inflasi 12,11%; sementara inflasi tertinggi dan terendah sebesar masing-masing 20,51% dan 6,96%. Sebaliknya ketika terjadi penurunan harga BBM pada awal tahun 2009, tercatat inflasi rata-rata 3,33%, dengan inflasi tertinggi dan terendah masing-masing sebesar 7,52% dan 0,80% pada tahun 2009. Tabel 3. Perbandingan inflasi antar pulau tahun 2008 – 2009 Tahun 2008 2009 Pulau / Kelompok Pulau Rata-rata Maksimum Minimum Standar Deviasi Jawa • dengan DKI • tanpa DKI Luar Jawa • Sumatra • Kalimantan • Sulawesi • Lainnya INDONESIA 11,05 11,04 12,08 12,20 12,48 12,58 13,69 12,11 14,20 14,20 20,51 18,40 19,85 17,58 20,51 20,51 6,96 6,96 6,96 8,39 8,89 9,20 9,25 6,96 1,84 1,88 2,87 2,46 3,20 2,77 3,97 2,76 Jawa • dengan DKI • tanpa DKI Luar Jawa • Sumatra • Kalimantan • Sulawesi • Lainnya INDONESIA 3,17 3,21 3,64 2,38 3,63 3,83 4,57 3,33 5,83 5,83 7,52 4,18 7,21 6,84 7,52 7,52 1,30 1,30 1,15 0,80 1,15 1,40 1,92 0,80 0,97 0,98 1,55 0,92 1,94 1,82 1,83 1,52 Sumber : BPS (diolah) Bervariasinya inflasi di Indonesia juga dapat dilihat menurut perbandingan antar pulau, yaitu dengan rata-rata dan variasi inflasi di Jawa cenderung lebih rendah dibanding luar Jawa, kecuali dibanding Sumatra untuk tahun 2009. Selain 10 perbandingan tersebut, dapat dilihat pula pada Tabel 3, ketika inflasi cukup tinggi, yaitu tahun 2008, maka variasi inflasi dalam setiap pulau atau kelompok pulau juga cukup tinggi, sebaliknya ketika inflasi cukup rendah pada tahun 2009, variasi inflasi dalam setiap pulau ikut menjadi rendah. Salah satu langkah proaktif dari Bank Indonesia terkait dengan ITF adalah pembentukan tim pengendali inflasi daerah dengan alasan bahwa inflasi daerah memengaruhi 78% inflasi nasional. Tim ini dibentuk untuk mengendalikan inflasi yang berasal dari gangguan penawaran barang yang juga disebut dengan inflasi non inti, sementara BI sebagai otoritas moneter hanya dapat memengaruhi inflasi inti saja1. Pembentukan tim ini sepertinya adalah salah satu bentuk kesadaran akan bervariasinya tekanan inflasi antar daerah mengingat inflasi nasional merupakan indeks gabungan yang disusun berdasarkan inflasi daerah. Disamping itu, pembentukan tim pengendali inflasi daerah oleh BI ini agaknya sejalan dengan hasil kajian yang dilakukan Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi di Indonesia yang menyatakan bahwa gangguan dari sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi perkembangan inflasi dibanding gangguan dari sisi permintaan. Bervariasinya tekanan inflasi antar daerah yang didominasi berasal dari sisi penawaran ini tentu terkait dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan perbedaan karakteristik antar wilayah atau antar provinsi, seperti struktur ekonomi. Perbedaan struktur ini tidak serta-merta terjadi karena tentunya dipengaruhi oleh faktor endogen yang mencerminkan adanya kekuatan dari faktor endowment dari wilayah tersebut dan faktor eksogen yang cenderung berasal dari luar wilayah. Kepemilikan faktor endogen dan eksogen tersebut merupakan determinan dalam menciptakan output yang potensial. Akibat adanya keterbatasan atau kelimpahan sumber daya, suatu wilayah belum bisa mencapai kondisi potensialnya atau bisa melampauinya. Adanya perbedaan karakteristik antar provinsi dalam lingkup satu negara yang kemudian menyebabkan perbedaan tingkat harga dan bervariasinya tingkat inflasi tidak berarti masing-masing provinsi ini saling bebas terpengaruh satu dengan lainnya. Adanya kedekatan secara geografis atau secara spasial dan 1 Koran Tempo, 12 April 2010, halaman 1. 11 kedekatan secara ekonomi (spatial and economic proximity) antar provinsi memungkinkan terjadinya spillover antar provinsi, yaitu melalui transfer pengetahuan dan penyebaran inovasi dan informasi atau melalui kebijakan yang diterapkan di satu provinsi yang dampaknya terasa sampai dengan wilayah lain sekitarnya. Secara empiris, penelitian Wimanda (2006) mengenai inflasi regional menyatakan bukti terjadinya keterkaitan inflasi antar provinsi. 1.2 Perumusan Masalah Mengingat banyaknya faktor yang mungkin akan memengaruhi inflasi di Indonesia, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, seperti pengaruh dari faktor moneter atau non monenter, tentu tidak mudah untuk menjelaskan perilaku inflasi berdasarkan salah satu pendekatan saja. Hal inilah yang kemudian mendasari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perilaku inflasi di Indonesia dengan berbagai pendekatan, baik merujuk pada landasan teoritis yang sudah baku maupun mengacu pada beberapa kajian empiris yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dari berbagai pendekatan tersebut, diharapkan gambaran menyeluruh tentang perilaku inflasi akan terlihat dengan lebih jelas. Berbagai studi mengenai perilaku inflasi telah banyak dilakukan di banyak negara dimana umumnya menggunakan pendekatan ekonometrik untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan seberapa besar dari pengaruhnya terhadap inflasi. Terkait dengan penelitian di Indonesia, setidaknya terdapat penelitian mengenai inflasi yang telah dilakukan oleh Solikin (2004, 2007) yang mengangkat masalah keberadaan kurva Phillips dan karakteristik tekanan inflasi di Indonesia. Beberapa penelitian tersebut dibatasi hanya melihat inflasi Indonesia pada level nasional saja dan tidak banyak yang melihat dinamika inflasi dalam perspektif regional, yaitu antar provinsi. Penelitian mengenai inflasi dalam perspektif regional dan terkait dengan Indonesia dilakukan oleh Habermeier et al. (2009) yang meneliti tentang tekanan inflasi dan opsi kebijakan moneter dalam perspektif antar regional dengan studi kasus emerging and developing countries. Penelitian lainnya mengenai bagaimana pergerakan nilai tukar memengaruhi tingkat inflasi di beberapa negara Asia yang terkena dampak krisis mata uang Asia demikian parah yaitu Indonesia, Filipina, Korea Selatan dan Thailand. Sayangnya, penelitian mengenai inflasi ini juga 12 masih pada level agregat dan tidak menjelaskan dinamika inflasi antar provinsi di Indonesia, hanya menjelaskan keterbandingan antar negara atau kelompok negara (Prasertnukul et al., 2010). Penelitian khusus mengenai dinamika inflasi antar provinsi salah satunya dilaksanakan di China untuk melihat bagaimana proses terjadinya perbedaan dalam pembentukan inflasi antar provinsi di negara yang mengalami perubahan sistem ekonomi tersebut (Mehrotra et al., 2007). Kajian lainnya mengenai inflasi regional dilakukan oleh Wimanda (2006) dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional, yaitu pada tataran provinsi. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dinamika inflasi coba dijelaskan dengan hubungan kurva Phillips, namun model yang digunakan bukan model tradisional yang menyatakan adanya trade off antara inflasi dan tingkat pengangguran melainkan menggunakan model New Keynesian Phillips Curve (NKPC) yang menunjukkan terjadinya tarik ulur antara inflasi dan kesenjangan output. Kesenjangan output tersebut didefinisikan sebagai perbedaan antara output aktual dan output potensial. Sebelumnya, penganut paham Real Business Cycle (RBC) juga menggunakan pendekatan kesenjangan output namun dengan asumsi flexible price. Sementara model hubungan kurva Phillips NKPC diperkenalkan oleh penganut New Keynesian untuk menjawab adanya rigiditas harga dan upah yang terjadi di dunia nyata, mengingat adanya guncangan pada sisi permintaan atau penawaran tidak serta merta direspon secara langsung oleh price setter atau wage setter (Romer, 2006). Kondisi ini setidaknya mirip dengan keadaan di Indonesia dimana terdapat beberapa komoditi yang penentuan harganya diatur oleh pemerintah (administred prices). Selain administred prices, kontrak upah juga sering mengacu pada regulasi tingkat upah minimum regional yang disahkan oleh pemerintah daerah sehingga besarnya upah cenderung tidak berubah dalam kurun waktu setahun misalnya. Implikasinya baik harga maupun tingkat upah cenderung mengikuti teori dari Calvo mengenai stagerring prices and wages, yaitu dalam jangka pendek uang tidak bersifat netral, karena terjadi rigiditas baik harga maupun upah (Solikin dan Sugema, 2004). Penelitian mengenai keberadaan kurva Phillips di Indonesia dilakukan oleh Solikin (2004) menyatakan bahwa untuk level nasional, kurva 13 tersebut memang eksis dan berubah sering dengan perubahan struktur perekonomian di Indonesia. Selain dijelaskan dengan kurva Phillips, penelitian mengenai perilaku inflasi berdasarkan karakteristik sumber tekanan terhadap inflasi juga sering dilakukan dengan pendekatan strukural VAR (SVAR). Melalui pendekatan ini, sumber-sumber tekanan terhadap inflasi didekomposisi menjadi beberapa jalur transmisi berdasarkan landasan teori mengenai faktor-faktor yang memengaruhi harga secara agregat. Jalur transmisi utama yang memengaruhi perubahan harga secara agregat atau menyebabkan inflasi dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu berasal dari guncangan dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Pendekatan SVAR yang digunakan ini pertama kali dikenalkan oleh Bayoumi dan Eichengreen (1992) dengan pendekatan bivariate SVAR. Melalui pendekatan sederhana ini, kedua peneliti tersebut dapat menjelaskan bagaimana pengaruh guncangan menurut sumbernya terhadap harga dan output. Setelah era Bayoumi dan Eichengreen (1992), penggunaan SVAR untuk meneliti pengaruh guncangan dari sisi permintaan dan sisi penawaran terhadap harga dan output terus berkembang dengan tidak hanya terbatas menggunakan dua variabel saja. Adapun sumber guncangan yaitu dari sisi permintaan dan sisi penawaran kemudian didekomposisi menjadi beberapa variabel untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari setiap variabel masing-masing terhadap harga dan output. Penelitian Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi di Indonesia dengan pendekatan SVAR dengan menggunakan lima variabel berdasarkan dekomposisi Cholesky menyatakan bahwa pengaruh guncangan dari sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibanding guncangan dari sisi permintaan. Penjelasan mengenai pengaruh suatu variabel tertentu terhadap inflasi lebih lanjut seperti exchange rate pass-through (ERPT), dilakukan dengan melakukan perluasan dari model kurva Phillips seperti dilakukan oleh Campa dan Goldberg (2002); Edwards (2006); Prasertnukul et al. (2010) dan Beirne (2009). Penelitian lainnya dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh suatu variabel atau beberapa variabel terhadap inflasi tanpa menggunakan kurva Phillips setidaknya dilakukan Al-Nasser et al. (2009) dan Kwon et al. (2009). 14 Merunut dari penjelasan sebelumnya, meski terlihat adanya keterkaitan yang kuat dengan jumlah uang beredar terutama pada saat inflasi cukup tinggi, namun hal tersebut bukan berarti inflasi adalah murni sebagai sebagai fenomena moneter. Pendapat ini tentunya dilandasi atas kenyataan dari paparan sebelumnya bahwa sektor riil diduga juga ikut berperan dalam memicu terjadinya inflasi, sebagai konsekuensi terjadinya perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Oleh karenanya, akan menjadi kajian yang menarik untuk melihat penyebab inflasi, tidak hanya dari sisi moneter saja tetapi juga dari sudut pandang sektor riil. khususnya pada level provinsi. Selanjutnya, kedua sisi tersebut pada prinsipnya dapat dipilah menjadi variabel-variabel kebijakan dan non kebijakan yang berpengaruh terhadap pembentukan inflasi. Kajian ini akan lebih menarik jika dilakukan pada level provinsi, mengingat masih sedikit sekali penelitian tentang inflasi pada tataran provinsi di Indonesia, terlebih dilakukan dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan variabel kebijakan dan non kebijakan. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output gap, pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia ? 2. Bagaimana pengaruh variabel-variabel kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas moneter terhadap inflasi di Indonesia ? 1.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output gap, pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia. 2. Mengkaji pengaruh kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas moneter terhadap inflasi di Indonesia. 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian meliputi empat hal. Pertama, memberikan gambaran mengenai dinamika inflasi di Indonesia dengan analisis deskriptif. 15 Kedua, mengkaji pengaruh dari faktor-faktor non kebijakan terhadap inflasi. Ketiga, mengkaji pengaruh kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan otoritas moneter terhadap inflasi. Keempat, memberikan rumusan kebijakan terkait dengan implikasi dari hasil penelitian. Dalam penelitian ini cakupan yang dianalisis adalah seluruh provinsi di Indonesia kecuali beberapa provinsi baru seperti Banten, Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. Hal ini dikarenakan keenam provinsi tersebut baru terbentuk setelah tahun 2000, sementara periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 1999 – 2009. Mengingat adanya keterbatasan data, maka untuk provinsi-provinsi yang mengalami pemekaran tersebut, maka dilakukan agregasi ke provinsi induknya. Provinsi Banten diagregasi dengan Provinsi Jawa Barat, Bangka-Belitung dengan Sumatra Selatan, Kepulauan Riau dengan Riau, Gorontalo dengan Sulawesi Utara, Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan, Maluku Utara dengan Maluku dan Papua Barat dengan Provinsi Irian Jaya (Papua). Adapun jumlah provinsi yang menjadi cakupan analisis dalam penelitian ini adalah 26 provinsi. Halaman ini sengaja dikosongkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inflasi Inflasi adalah gejala peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam perekonomian secara terus-menerus. Secara ringkas, inflasi dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi pada tingkat harga (Blanchard, 2004). Pengertian umum mengenai inflasi yang telah banyak diterima ini sesungguhnya mengacu pada definisi yang diberikan oleh Milton Friedman (1963, dalam Roger, 1998), yang menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan pada tingkat harga umum yang steady dan terus-menerus (sustained). Friedman menekankan perbedaan antara steady inflation, yaitu inflasi yang didorongan kenaikan harga yang relatif konstan dan intermitten inflation atau transient inflation. Perbedaan penting dari definisi Friedman adalah unsur yang persisten atau steady dari inflasi terkait dengan masalah ekspektasi dari inflasi itu sendiri, sementara transient inflation disebabkan oleh kondisi yang tidak diantisipasi. Berdasarkan definisi umum tersebut terdapat tiga aspek penting, yaitu : 1. Ada kecenderungan harga-harga yang meningkat, artinya dalam kurun waktu tertentu, harga-harga menunjukkan tren atau tendensi yang meningkat. 2. Peningkatan harga berlangsung secara terus-menerus (sustained), artinya dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. 3. Pengertian harga adalah tingkat harga umum (general level of price), artinya harga tersebut mencakup keseluruhan komoditas dan bukan hanya pada satu atau beberapa komoditas saja. Secara empiris, banyak ditemukan bahwa pergerakan inflasi seiring dengan peningkatan jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2), sehingga seringkali peningkatan jumlah uang beredar dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Anggapan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah karena Friedman menyatakan inflasi merupakan sebuah fenomena moneter. Inflasi sebagai fenomena moneter merupakan salah satu indikator yang dapat mencerminkan kondisi riil nilai uang. Bila terjadi inflasi maka nilai uang secara riil mengalami penurunan dan hal ini akan menyebabkan kemampuan daya beli dari uang itu sendiri menurun. Akibat dari penurunan ini adalah daya beli masyarakan akan menurun atau bahkan tergerus. Bila inflasi 18 tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil, maka sudah dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakan secara umum mengalami penurunan. Selanjutnya, melalui pendekatan pasar riil atau pasar barang, penyebab inflasi dibagi menjadi dua, yaitu berasal dari kelebihan permintaan atau karena adanya kenaikan biaya produksi. Penyebab pertama pada pasar riil adalah karena ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang tidak dapat mencukupi kelebihan permintaan masyarakat secara umum sehingga menyebabkan kenaikan harga secara agregat. Secara implisit, ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang menyiratkan kapasitas produksi optimum dari suatu perekonomian sehingga hal tersebut sesungguhnya mencerminkan kondisi output potensial. Dalam beberapa literatur, inflasi dengan tipe seperti ini seringkali diistilahkan sebagai inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation). Tipe kedua berdasarkan sumber penyebab inflasi seringkali disebut sebagai inflasi karena dorongan biaya (cost push inflation), dengan kenaikan harga yang terjadi merupakan kondisi yang tidak diantisipasi dan hal tersebut disebabkan oleh kenaikan biaya produksi. Kondisi yang tidak diantisipasi ini salah satunya disebabkan oleh adanya shock dari sisi penawaran. Pada praktiknya, inflasi seringkali dihitung berdasarkan pendekatan indeks harga. Beberapa alternatif dalam menghitung indeks harga adalah indek harga konsumen (IHK), indeks harga produsen (IHP) dan indeks harga implisit yang diturunkan dari penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), atau sering disebut sebagai GDP deflator. Berdasarkan beberapa alternatif dalam penghitungan inflasi, umumnya digunakan indek harga konsumen (IHK), karena nilai uang secara umum terkait dengan kekuatan daya beli dari uang pada tingkat konsumen. Hanya saja perlu disadari bahwa IHK tidak didesain untuk mengukur tren dari harga, sehingga seringkali IHK tidak dapat memberikan gambaran mendasar mengenai inflasi, mengingat ada ketidaksesuaian antara konsep dengan pendekatan penghitungan inflasi tersebut (Hanh, 2002). Adanya ketidaksesuaian tersebut, dari sudut pandang teoritis dapat disanggah karena tujuan utama dari kebijakan moneter adalah memaksimumkan kesejahteraan masyarakat. Secara logika, wajar jika kemudian pihak otoritas 19 moneter memfokuskan pada indeks harga yang dapat lebih mendekati indeks biaya hidup dari konsumen dan pada praktiknya, banyak negara yang menggunakan IHK sebagai dasar dari penargetan inflasi. Hal tersebut karena indeks biaya hidup dari konsumen lebih bisa didekati oleh IHK dibanding dengan IHP dan indeks implisit. Pertimbangan lain dari penggunaan IHK terkait dengan kualitas dari IHK yang jauh lebih baik dibanding indeks harga lainnya, karena pada kenyataannya kebanyakan badan/biro statistik di seluruh negara berusaha mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk membangun IHK dibanding indeks harga lainnya. Oleh sebab itu, cukup adil jika mengatakan bahwa kebanyakan bank sentral yang menerapkan penargetan inflasi telah menemukan alasan secara praktis dalam menggunakan IHK bersamaan dengan alasan kredibilitas dalam menggunakan IHK dibanding pertimbangan untuk menolaknya (Roger, 1998). 2.2 Inflasi Regional Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi perusahaan ditentukan oleh masalah minimisasi biaya transportasi atas beberapa alternatif lokasi dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi atau teori minimisasi biaya (cost minimization theories). Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan untuk terkonsentrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi, baik karena economies of scale, localization economies atau urbanization economies. Pendekatan lain dalam teori lokasi adalah teori maksimisasi keuntungan (profit maximization theories) yang berusaha menjawab masalah tentang bagaimana memaksimumkan keuntungan dengan permintaan atas produk yang dihasilkan perusahaan tersebar di mana-mana sementara penawaran atas bahan baku dalam proses produksi terkonsentrasi di suatu wilayah atau titik pasar tertentu saja (Cappelo, 2007). Ulasan singkat mengenai teori lokasi berdasarkan pendekatan produksi dan pendekatan pangsa pasar tersebut, sesungguhnya secara implisit bercerita mengenai bagaimana kemudian harga produk-produk di suatu daerah menjadi lebih murah dibanding daerah lainnya atau sebaliknya cenderung lebih mahal di suatu wilayah dibanding wilayah lainnya. Lebih jauh, teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar 20 perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan memperoleh pangsa pasar yang lebih luas demi mengejar keuntungan maksimum. Teori lokasi tersebut secara tidak langsung juga menceritakan tentang bagaimana mekanisme pembentukan harga di suatu wilayah atau antar wilayah yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur ekonomi dari masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah, yaitu antar negara atau pada tataran regional dalam satu negara. Studi empiris dari Marques et al. (2009) menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan determinan penting yang memicu terjadinya divergensi inflasi di Chile, sementara besaran-besaran makroekonomi pada level nasional seperti suku bunga jangka pendek, tingkat pengangguran, perubahan harga minyak, jumlah uang beredar, nilai tukar efektif, upah tenaga kerja dan pergerakan sektor industri pengolahan kurang berperan dalam mendorong proses divergensi tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi dari bentuk negara Chili yang memiliki lebar wilayah sekitar 175 km sementara panjangnya mencapai 4.300 km, sehingga jarak geografis lebih menjadi masalah dibanding faktor-faktor lainnya. Karenanya, khusus untuk studi kasus Chili, inflasi lebih disebabkan oleh faktor spesifik dari negara tersebut yang bisa dikatakan unik ditinjau dari bentuk wilayahnya. Selanjutnya, Andrés et al. (2007) melakukan penelitian mengenai inflasi untuk kasus negara-negara Uni Eropa dalam perspektif regional atau antar negara. Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa terjadinya perbedaan tingkat inflasi di negara-negara Uni Eropa meskipun telah menganut sistem moneter bersama disebabkan oleh perbedaan elastisitas permintaan di pasar barang sehingga pihak produsen bisa melakukan diskriminasi harga. Selain itu, divergensi inflasi tersebut juga disebabkan oleh derajat keterbukaan perdagangan dan preferensi barangbarang impor untuk keperluan konsumsi, tergantung dari elastisitas substitusi dari antara barang impor dan barang domestik. Kedua penyebab di atas yang bersumber dari perbedaan tingkat kompetitif dari perusahaan dan perbedaan derajat keterbukaan sepertinya menjadi lengkap dengan adanya perbedaan struktural seperti perbedaan tingkat upah dan besarnya potongan pajak. Lebih 21 lanjut, derajat inersia harga juga merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya perbedaan tingkat inflasi tersebut dan diduga terkait erat dengan masalah mekanisme penyesuaian internal seperti pertimbangan dalam melakukan investasi dan eksistensi dari friksi pada sektor riil. Salah satu penelitian mengenai inflasi regional dalam tataran provinsi untuk studi kasus Indonesia dilakukan oleh Wimanda (2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik, konvergensi dan determinan dari inflasi regional. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan berbagai metode analisis menyatakan bahwa inflasi regional cenderung divergen karena dari 26 provinsi yang dianalisis hanya 8 diantaranya yang memperlihatkan gejala untuk konvergen sedangkan sisanya tidak. Temuan lainnya adalah inflasi yang terjadi pada kelompok transportasi dan kelompok perumahan pada kebanyakan provinsi menunjukkan level inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional. Selain itu diperoleh bukti bahwa kenaikan harga BBM tidak saja memengaruhi kelompok transportasi tetapi juga kelompok lainnya pada sebagian besar provinsi. Bukti lainnya adalah terdapat keterkaitan inflasi yang cukup tinggi pada sebagian besar provinsi di Indonesia. Terakhir, determinan penting dari inflasi regional adalah ekspektasi inflasi (backward looking) dan nilai tukar, sementara pengeluaran pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi regional. 2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian Dalam papernya yang terkenal, Phillips (1958, dalam Romer, 2006) mengungkapkan adanya bukti yang cukup kuat dan hubungan negatif yang relatif stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi upah di Inggris sepanjang satu abad sebelumnya. Tak lama berselang, beberapa peneliti selanjutnya menemukan hubungan yang sama antara tingkat penganguran dan inflasi harga dan hubungan tersebut kemudian dikenal sebagai kurva Phillips. Berdasarkan bukti empiris tersebut, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi, baik dari tinjauan teoritis maupun berdasarkan dukungan bukti empiris (Romer, 2006). Sampai dengan tahun 1960-an, kurva Phillips seakan menjadi rule of thumb dan banyak diterima oleh berbagai kalangan, namun ketika terjadi kenaikan harga 22 minyak dunia dan perubahan cara wage setters dalam membangun ekspektasi terkait dengan perubahan perilaku inflasi sehingga inflasi menjadi lebih persisten, hubungan tersebut tidak terlihat lagi. Berdasarkan temuan tersebut, hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips kemudian dipertanyakan. Serangan terhadap hubungan yang permanen antara pengangguran dan inflasi atau output dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips dilakukan oleh Friedman (1968, dalam Blanchard, 2004) dan Phelp (1968, dalam Blanchard, 2004) yang menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah tidak dapat diterima karena variabel nominal seperti inflasi dan money supply tidak dapat memengaruhi variabel riil. Hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukan Friedman (1968, dalam Romer, 2006), the natural rate hypotesis of Phillips Curve, memberikan penjelasan yang lebih memuaskan terhadap fenomena stagflasi yang dialami negara-negara industri pada tahun 1970-an. Secara umum, kurva Phillips versi tradisional, bahkan dalam bentuk augmented version sekalipun masih tetap menjadi obyek kajian yang intensif dari beberapa sudut pandang. Hal ini terutama menyangkut kurangnya landasan analisis ekonomi mikro yang dalam, yang menjadikannya sebagai subyek dari kritik Lucas (Lucas critique). Lebih dari itu, validitasnya sebagai suatu building block dari model untuk evaluasi atas berbagai alternatif kebijakan masih dipertanyakan. Perkembangan terkini dari teori inflasi melahirkan analisis Kurva Phillips versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve/NKPC). NKPC didasarkan pada landasan mikro ekonomi yang cukup kuat sebagai jawaban atas kritik Lucas dari versi kurva Phillips sebelumnya. Perbedaan yang mendasar dari versi ini dengan sebelumnya adalah perubahan harga merupakan hasil dari keputusan optimal dari para pelaku bisnis dalam memaksimumkan keuntungannya pada pasar persaingan monopolistik, dengan kendala berupa frekuensi penyesuaian harga dan dalam analisis pembentukan harga nominal yang bersifat tidak kontinyu (staggered), yang diilhami oleh John B. Taylor (1980, dalam Gali, 2002). Spesifikasi umum dari pendekatan ini didasarkan pada model staggered price setting yang dikembangkan oleh Calvo (1983, dalam Solikin, 2004). Persamaan 23 utama mengkaitkan tingkat inflasi saat ini dengan inflasi masa depan yang diharapkan dan biaya marginal (Gali and Gertler (2000); Gali et al. (2001, 2005)): t = Et{t+1} + mct’ .............................................. (2.1) dengan mct’ adalah persentase deviasi biaya marginal riil dari level steady state, adalah discount factor, dan adalah koefisien yang merupakan dekomposisi dari beberapa parameter dalam sistem permodelan, sekaligus mencerminkan derajad kekakuan harga (price rigidity). Mengingat biaya marginal riil merupakan fungsi dari output riil, termasuk level steady state dari biaya marginal riil adalah fungsi dari output potensial, maka dengan beberapa asumsi yang dipakai dalam model standar optimisasi dengan perilaku harga nominal yang kaku, pola hubungan yang sederhana antara kedua variabel tersebut dapat diturunkan sebagai berikut. mct = ( yt – y*t ) .............................................. (2.2) dengan yt dan y*t masing-masing adalah logaritma dari tingkat output riil dan tingkat output potensial. Kombinasi dari persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan rumusan NKPC dengan dasar kesenjangan output/output gap (Gali, 2002) : t = Et{t+1} + ( yt – y*t ) dengan .............................................. (2.3) . Persamaan (2.3) memperlihatkan adanya tradeoff antara inflasi dengan kesenjangan output, yaitu besarnya deviasi output aktual terhadap output potensial atau output naturalnya. Gambar 4 mengilustrasikan bagaimana terjadinya tradeoff tersebut, yaitu ketika output aktual berada di atas kondisi potensialnya maka tingkat inflasi akan lebih tinggi dari ekspektasi inflasi atau inflasi yang diharapkan (e). Kondisi sebaliknya, jika output aktual lebih rendah dari output potensial, maka tingkat inflasi aktual akan lebih rendah dari ekspektasi inflasi. Berdasarkan ilustrasi tersebut, sesungguhnya persamaan tersebut secara tidak langsung sudah mengakomodir hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukakan Friedman (1968, dalam Roger, 1998), karena saat terjadinya tingkat pengangguran alami maka output yang tercipta adalah output natural yang merupakan pendekatan untuk kondisi output potensial, bahkan dengan landasan teori mikro ekonomi yang lebih kuat. Merujuk pada penjelasan sebelumnya, perlu difahami bahwa tradeoff yang diilustrasikan oleh Gambar 4 tersebut tidak bersifat permanen karena slop dari kurva Phillips versi NKPC bisa berubah-ubah seiring dengan terjadinya perubahan 24 fundamental dari suatu perekonomian (regime dependent). Beberapa penelitian dengan menggunakan kurva Phillips menyatakan bentuk kurva tersebut bisa menjadi lebih tegak atau lebih datar sehingga hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya tradeoff sama sekali. Pertanyaan yang muncul dari beberapa fakta empiris adalah menyangkut bagaimana fenomena inflasi yang sebenarnya. Beberapa kritik ditujukan pada validitas formulasi NKPC yang menyatakan bahwa inflasi hanya merupakan fenomena forward-looking. Mengingat adanya persistensi dari tekanan inflasi, alternatif dari rumusan tersebut adalah inflasi pada dasarnya merupakan fenomena backward-looking. Hal ini tercermin dari keterkaitan yang erat antara inflasi saat ini dengan inflasi periode sebelumnya sebagaimana dipaparkan oleh analisis Kurva Phillips versi tradisional. Berkaitan dengan kedua fenomena tersebut, Gali and Gertler (2000) dan Gali et al. (2001) mengajukan model gabungan/hibrid (hybrid model) dari NKPC, yaitu model yang juga memperhitungkan kemungkinan adanya fraksi tertentu dari perusahaan yang menggunakan pola penyesuaian backwardlooking sebagai rule of thumb. Sumber : Romer (2006) Gambar 4. Hipotesis tradeoff antara inflasi dan output gap dalam kurva Phillips versi NKPC. 25 Berdasarkan hipotesis tersebut, NKPC dengan basis model hibrid dapat dituliskan sebagai: t = b t-1 + f t { t+1} + mct’ .............................................. (2.4) atau dengan menggunakan variabel output gap sebagai driving force variabel (Solikin (2004); Mehrotra et al. (2007)) : = b t-1 dengan b dan t + f f t { t+1} + (yt – y*t ) .............................................. (2.5) masing-masing merupakan koefisien dekomposisi dari beberapa parameter dalam permodelan, sekaligus mencerminkan perilaku backward-looking dan forward-looking dari inflasi. 2.3.1 Output Potensial dan Output Gap Output potensial sering diartikan sebagai level dari kegiatan ekonomi ketika permintaan agregat dan penawaran agregat berada pada kondisi yang konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil, sementara kesenjangan output (output gap) adalah deviasi dari output aktual terhadap tingkat output potensial. Kedua indikator tersebut kian menjadi fokus perhatian, karena kemudian sering digunakan untuk menilai sampai sejauh mana efektivitas dari kebijakan makro ekonomi. Konsep di atas sepertinya dekat dengan definisi yang diberikan oleh Friedman (1968, dalam Gibbs, 1995), yaitu tingkat output maksimum yang bisa dihasilkan tanpa menimbulkan kenaikan inflasi. Definisi yang sedikit berbeda dengan Friedman diberikan oleh Okun (1962, dalam Gibbs, 1995), yang mengatakan bahwa output potensial yang diproksi dengan GNP potensial, bukanlah suatu level yang dapat dihasilkan oleh sejumlah permintaan agregat yang tidak terbatas. Suatu negara bisa saja lebih produktif dalam jangka pendek di bawah tekanan inflasi, namun target untuk memaksimumkan produksi dan tingkat penyerapan tenaga kerja dibatasi oleh keinginan untuk melakukan stabilisasi harga dan mendorong terjadinya pasar bebas atau lebih tepatnya pasar persaingan sempurna. Berdasarkan tujuan tersebut, maka penggunakan tenaga kerja secara penuh (full employment) harus dipahami sebagai tuntutan untuk memaksimumkan produksi tanpa adanya tekanan inflasi (Gibbs, 1995). Lebih lanjut, Justiniano and Primiceri (2008) memberikan definisi tentang output potensial yang berbeda dengan output natural. Output potensial merupakan tingkatan output yang dihasilkan dalam kondisi pasar barang dan pasar tenaga 26 kerja pada pasar persaingan sempurna, sementara output natural adalah output yang dihasilkan ketika pasar tidak dalam keadaan persaingan sempurna namun harga dan upah cukup fleksibel. Berdasarkan perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa definisi Justiniano and Primiceri mengenai output potensial cenderung merujuk pada definisi dari Okun tentang output potensial, sementara definisi tentang output natural tidak berbeda dengan definisi dari Friedman, meski keduanya mensyaratkan adanya kondisi NAIRU (non-accelerating inflation rate of unemployment). Meskipun konsep di atas sudah cukup jelas, namun dalam praktiknya, baik output potensial, output natural dan output gap adalah unobservable component. Banyak kalangan telah memahami bahwa estimasi yang dihasilkan seringkali dapat dikatakan tidak pasti mengingat perbedaan pendekatan yang digunakan. Perbedaan ini menjadi hal yang problematik karena akan menyebabkan cara diagnosa yang berbeda terhadap kondisi makro ekonomi termasuk rekomendasi kebijakan yang akan dibuat. Cerra and Saxena (2000) menyatakan, setidaknya ada enam pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung output potensial, yaitu metode Hodrick-Prescott (HP) filter, metode unobserved components dengan beberapa model turunannya, metode struktural VAR dari pendekatan BlanchardQuah, pendekatan fungsi produksi, demand-side model dan sistem estimasi dari output potensial dan NAIRU dengan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode. Penelitian yang sepertinya bisa menjawab bagaimana dinamika output potensial diperoleh dari Justiniano and Primiceri (2008) dengan menggunakan pendekatan dynamic stochastic general equilibrium (DSGE) untuk mengetahui level output potensial dan output natural pada negara Amerika Serikat berdasarkan data PDB triwulanan. Secara umum, hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa output potensial terlihat lebih halus sehingga output gap yang dihasilkan cenderung lebih dekat dengan hasil estimasi dengan pendekatan detrending tradisional. Kondisi sebaliknya, output natural cenderung lebih volatile, sebagai akibat tingginya variasi guncangan dari segi markup. Fluktuasi dari guncangan ini terjadi karena pada pasar persaingan yang tidak sempurna, perusahaan memiliki insentif untuk menaikkan atau menurunkan markup agar dapat memaksimumkan keuntungannya. 27 2.3.2 Ekspektasi Inflasi Ekspektasi inflasi adalah salah satu unsur memegang peran penting dalam formulasi kurva Phillips. Pada horizon waktu yang cukup panjang, secara tidak langsung, hal ini bisa mencerminkan kredibilitas dari pihak otoritas moneter terkait dengan komitmennya dalam stabilisasi harga. Munculnya unsur ekspektasi inflasi sebagai fenomena forward looking dalam kurva Phillips merupakan jawaban atas kritik yang dilakukan oleh Lucas. Ide dasar dari ekspektasi inflasi tersebut adalah hipotesis ekspektasi rasional, dengan setiap pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi secara optimal tergantung dari tingkat pemahamannya mengenai kondisi ekonomi dan sejumlah informasi yang tersedia untuknya (Lucas, 1972 dalam Kiley, 2009). Hipotesis ekspektasi rasional tersebut memberikan kerangka kerja yang cukup kuat dan elegan sehingga mendominasi cara pemikiran tentang dinamika struktur ekonomi dan evaluasi kebijakan berdasarkan pendekatan ekonometrik, lebih dari 30 tahun terakhir. Kesuksesan ini mendorong pengujian lebih lanjut mengenai adanya asumsi informasi yang kuat, yang digunakan secara implisit dalam aplikasinya. Oleh karenanya, Sargent (1993, dalam Orphanides and Williams, 2003) menyimpulkan bahwa dalam model ekspektasi rasional diasumsikan setiap pelaku ekonomi diposisikan sebagai pihak yang harus memiliki banyak pengetahuan. Konsekuensinya, untuk membentuk ekspektasi yang rasional, setiap pelaku ekonomi harus memahami sekali mengenai struktur ekonomi. Menyikapi hal tersebut, beberapa peneliti mengajukan penyesuaian mengenai model ekspektasi rasional yang mewakili prinsip bahwa setiap pelaku ekonomi menggunakan informasi secara efisien dalam membentuk ekspektasinya terkait dengan adanya keterbatasan dalam biaya yang ditimbulkan dalam proses mendapatkan informasi dan juga keterbatasan dari daya nalar dari setiap pelaku ekonomi, yang kemudian akan memengaruhi proses pembentukan ekspektasi (Sims, 2003, dalam Orphanides and Williams, 2003). Terkait dengan keterbatasan tersebut atau meminjam istilah dari Orphanides dan Williams (2003) karena pengetahuan yang tidak sempurna (imperfect knowledge), maka pemahaman setiap pelaku ekonomi terhadap kondisi ekonomi menjadi berbeda-beda. Hal ini membuat ekspektasi inflasi sangat 28 dipengaruhi oleh kondisi dan latar belakang sosial-demografi dari setiap pelaku ekonomi. Hasil penelitian Blanchflower and MacCoille (2009) di Inggris secara signifikan menunjukkan bahwa perbedaan kondisi sosial-demografi dari pelaku ekonomi memengaruhi pembentukkan ekspektasi inflasi. Akibat adanya imperfect knowledge, akan membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif dalam mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas makro ekonomi. Ekspektasi menjadi demikian penting dalam menentukan inflasi karena secara langsung terlibat dengan proses penentuan harga dan upah. Ekspektasi ini dapat memengaruhi inflasi melalui 3 jalur, yaitu melalui upah, karena penyesuaian upah tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu maka para penentu upah (wage setters) harus mempunyai pandangan mengenai besarnya inflasi di masa mendatang. Jika inflasi diperkirakan persisten dan lebih tinggi di masa mendatang, maka para pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi demi menjaga daya belinya. Hal ini akan memicu terjadinya tekanan kenaikan harga atas output yang dihasilkan oleh perusahaan, dan pada akhirnya akan membuat harga di tingkat konsumen menjadi lebih tinggi. Kedua, bila perusahaan memperkirakan bahwa secara umum tingkat inflasi di masa mendatang akan lebih tinggi, maka mereka cenderung akan menaikkan harga outputnya karena yakin bahwa hal tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya penurunan permintaan atas outputnya. Jalur terakhir adalah ekspektasi inflasi dapat secara langsung memengaruhi inflasi melalui pengaruhnya atas konsumsi dan investasi. Pada tingkat suku bunga nominal tertentu misalnya, jika perusahaan dan rumah tangga memperkirakan tingkat inflasi yang lebih tinggi, maka akan menyebabkan tingkat suku bunga riil yang diharapkan menjadi lebih rendah sehingga secara relatif membuat motif untuk berbelanja menjadi lebih tinggi dibanding motif menabung. Hal tersebut tentunya bisa terjadi jika pihak otoritas moneter tidak meresponnya dengan menaikkan suku bunga nominal acuan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mengukur ekspektasi inflasi, mengingat perannya yang sangat penting dalam memengaruhi inflasi pada kerangka analisis kurva Phillips. Blanchflower and MacCoille (2009) mengidentifikasi adanya tiga kelompok besar untuk mengukur ekspektasi inflasi, yaitu pendekatan berbasis survei (survey-based measures), pendekatan berbasis 29 pasar (market-based measures) dan pendekatan indikator ekonomi. Pendekatan survei terhadap ekspektasi inflasi dapat dilakukan pada masyarakat umum, para akademisi, para ekonom dan perusahaan. Pendekatan lainnya, yaitu pendekatan berbasis pasar menghitung ekspektasi inflasi dengan melakukan estimasi atas bentuk kurva suku bunga nominal dan riil ke depan agar bentuk kurva inflasi ke depan dan tingkat pertukaran inflasi ditentukan. Berdasarkan kedua kasus tersebut, indikator-indikator yang dihasilkan tidak hanya mewakili ekspektasi inflasi dari pasar, tetapi juga inflasi dari premi resiko dan inflasi yang terjadi pada sejumlah pasar faktor lainnya. Selain dua pendekatan yang telah disebutkan, pergerakan dari ekspektasi inflasi dapat jelas terlihat dari indikator ekonomi seperti penentuan upah, dengan pihak yang meminta besaran tingkat upah harus membuat penilaian terkait dengan bagaimana tingkat inflasi sepanjang periode setelah upah ditetapkan. Tentu saja data mengenai besaran upah yang ditetapkan tidak secara sederhana mencerminkan ekspektasi inflasi tetapi juga mewakili kondisi faktor-faktor lainnya seperti kemampuan membayar dari perusahaan, termasuk juga produktivitas dari pekerja. Di Indonesia, survei mengenai ekspektasi inflasi telah dilakukan setiap bulan oleh Bank Indonesia melalui survei konsumen dan survei penjualan eceran. Tujuan dari kedua survei tersebut adalah menanyakan perkiraan atau ekspektasi harga dalam beberapa bulan ke depan untuk masing-masing responden rumah tangga yang mewakili konsumen dan responden pedagang eceran yang dianggap mewakili pihak perusahaan. Survei konsumen juga dilakukan oleh BPS setiap 3 bulan untuk mengetahui ekspektasi inflasi secara tidak langsung dari responden rumah tangga, yaitu melalui perkiraan pendapatan rumah tangga ke depan dan rencana pembelian barang-barang tahan lama (durable goods). Pendekatan survei lainnya adalah hasil penelitian dari Solikin dan Sugema (2004) tentang rigiditas harga-upah dan implikasinya bagi kebijakan moneter di Indonesia. Dalam penelitian tersebut, selain mengkaji dinamika pembentukan dan rigiditas harga dan penyesuaian upah, didapati pula kajian mengenai ekspektasi inflasi dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari perusahaan dan dari pedagang yang dirinci menjadi pedagang grosir dan pedagang eceran/ritel. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ekspektasi inflasi utamanya dipengaruhi oleh 30 administered prices, harga sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga, harga periode sebelumnya, dan gaji PNS. Terkait dengan hasil penelitian untuk kasus Indonesia tersebut, hasil pendekatan survei menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh indikator ekonomi. Satu hal yang perlu menjadi catatan penting yaitu hasil pendekatan survei tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa ekspektasi inflasi tersebut berasal dari common knowledge, sehingga hipotesis ekspektasi rasional sepertinya tetap berlaku untuk setidaknya untuk kasus negara Indonesia. 2.4 Pendekatan Kurva AD – AS Pendekatan AD – AS dibangun berdasarkan pendekatan dua buah kurva, yaitu kurva permintaan agregat (aggregate demand/AD) dan kurva penawaran agregat (aggregate supply/AS) yang mewakili terjadinya kondisi keseimbangan/ ekuilibrium serentak yang terjadi pada pada sisi permintaan dan sisi penawaran. Kurva permintaan agregat adalah kurva yang mewakili sisi permintaan dan menggambarkan bagaimana pengaruh dari harga terhadap output, sedangkan kurva penawaran agregat adalah kurva yang menggambarkan pengaruh dari output terhadap tingkat harga (Blanchard, 2006). 2.4.1 Permintaan Agregat Kurva permintaan agregat dapat diturunkan dari kurva IS – LM yang berdasarkan model Keynesian, yaitu kondisi yang mewakili terjadinya keseimbangan/ekuilibrium serentak yang terjadi pada pasar barang dan pasar uang. Kurva IS adalah kurva yang mewakili kondisi keseimbangan pada pasar barang/jasa yang dinyatakan dalam kombinasi hubungan antara output dan tingkat suku bunga dengan total jumlah barang yang diproduksi sama dengan total jumlah barang/jasa yang diminta. Secara ringkas persamaan untuk kurva IS dalam kondisi perekonomian terbuka dari model Keynesian adalah : Y = f (G, r, ) dengan : Y G r = = = = .............................................. (2.6) output belanja pemerintah suku bunga riil nilai tukar efektif Kurva LM adalah kondisi yang mencerminkan keseimbangan di pasar uang berdasarkan kombinasi hubungan antara tingkat suku bunga dan output 31 dengan permintaan uang (money demand) sama besar dengan penawaran uang (money supply). Pendekatan Keynesian untuk kondisi real money balanced tersebut dapat diringkas menjadi persamaan berikut (Romer, 2006) : M L r e ,Y P dengan : M = P = Y = r = e = .............................................. (2.7) stok uang tingkat harga output suku bunga riil ekspektasi inflasi Merujuk pada pendekatan Keynesian, stok uang (M) pada persamaan (7) diasumsikan sebagai variabel eksogen, dan sebagai asumsi tambahan, tingkat harga (P) dianggap tetap sehingga ekspektasi inflasi (e) sama dengan nol, sehingga persamaan (7) menjadi M L r , Y P .............................................. (2.8) atau dapat dituliskan pula dalam bentuk M Y f ,r P .............................................. (2.9) Jika kemudian persamaan (2.6) dan persamaan (2.9) digabungkan, akan diperoleh persamaan untuk permintaan agregat : M Y f , G, r, P .............................................. (2.10) Persamaan (10) secara implisit memperlihatkan bagaimana stok uang riil M P , belanja pemerintah (G), suku bunga riil (r) dan nilai tukar efektif () dapat memengaruhi permintaan agregat. Empat variabel tersebut, yaitu belanja pemerintah (G) adalah instrumen kebijakan fiskal sementara suku bunga riil (r), nilai tukar efektif () dan stok uang riil M P bukan merupakan instrumen atau sasaran dari kebijakan moneter secara langsung karena sesungguhnya nilai nominal dari ketiga variabel terakhirlah yang merupakan instrumen dan sasaran kebijakan moneter. Terkait dengan analisis AD – AS, bila pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan belanja pemerintah, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan harga, artinya akan menyebabkan 32 terjadinya inflasi. Ilustrasi dari dampak kebijakan fiskal ekspansioner dan kebijakan moneter ekspansioner dalam kerangka analisis IS – LM dan analisis permintaan dan penawaran agregat (kurva AD – AS) tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Sumber : Blanchard (2004) Gambar 5. Mekanisme transmisi kebijakan fiskal ekpansioner dan kebijakan moneter ekpansioner terhadap inflasi. Saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner seperti peningkatan belanja pegawai atau peningkatan gaji pegawai pemerintah, output akan meningkat dan menyebabkan permintaan akan uang juga meningkat sehingga menyebabkan suku bunga naik dan kurva IS bergeser ke kanan (Gambar 5 panel (a) atas). Akibat peningkatan output tersebut, permintaan agregat mengalami peningkatan sehingga kurva AD akan bergeser ke kanan dan menyebabkan terjadinya kenaikan harga secara agregat (Gambar 5 panel (a) bawah). Merujuk pada pendekatan analisis AD – AS seperti telah disampaikan sebelumnya, kenaikan harga secara agregat ini didefinisikan sebagai inflasi. Sedikit berbeda dengan ilustrasi kebijakan fiskal ekspansioner, inflasi yang berasal dari sektor moneter berawal dari kenaikan stok uang sebagai hasil 33 dari kebijakan moneter ekspansioner yang menyebabkan kurva LM bergeser ke kanan sehingga menyebabkan suku bunga mengalami penurunan. Akibat penurunan suku bunga tersebut, investasi meningkat dan output juga mengalami peningkatan (Gambar 5 panel (b) atas). Mekanisme selanjutnya sama seperti pada saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner, kurva AD bergeser ke kanan dan menyebabkan kenaikan harga secara agregat (Gambar 5 panel (b) bawah). 2.4.2 Penawaran Agregat Kurva penawaran agregat diturunkan dari price setting relation (PS) dan wage setting relation (WS), dengan harga ditentukan oleh besarnya upah sebagai input dalam kegiatan produksi dan markup, sementara upah dipengaruhi oleh ekspektasi harga ke depan dan tingkat pengangguran (Blanchard, 2004). PS : P =(1+)W .............................................. (2.11) WS : W = Pe F(u, z) dengan : P = Pe = W= = u = z = .............................................. (2.12) tingkat harga ekspektasi harga upah nominal markup tingkat pengangguran variabel lainnya Melalui proses eleminasi terhadap variabel upah nominal (W), persamaan (2.11) kemudian dapat dimasukkan ke persamaan (2.12), sehingga akan diperoleh persamaan untuk penawaran agregat. P = Pe ( 1 + ) F(u, z) .............................................. (2.13) Jika tingkat pengangguran (u) kemudian digantikan dengan dengan output (Y ) per angkatan kerja (L), sehingga ; u 1 Y L maka persamaan (2.13) dapat dituliskan dalam bentuk : Y P P e 1 u F 1 , z L .............................................. (2.14) Berdasarkan persamaan (2.14), secara eksplisit dapat dilihat, beberapa variabel yang dapat memengaruhi tingkat harga adalah ekspektasi harga, markup dan output. Perubahan ekspektasi harga dan pertumbuhan output akan memengaruhi harga melalui peningkatan upah nominal sehingga tentu saja adanya kenaikan upah nominal akan mendorong terjadinya kenaikan harga. Selain upah nominal, markup juga merupakan variabel yang memengaruhi harga secara 34 langsung, artinya, jika perusahaan menaikkan markup, maka harga akan ikut naik. Dalam kerangka analisis permintaan dan penawaran agregat (kurva AD – AS), dampak dari kenaikan upah diperlihatkan oleh Gambar 5 panel (b). 2.4.3 Upah Minimum dan Inflasi Penentuan upah minimum adalah salah satu bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar tenaga kerja mengingat pasar tersebut cenderung mengarah dari pasar oligopsonis ke pasar monopsonis. Tujuan kebijakan ini adalah sebagai jejaring pengaman (safety net) agar tingkat upah tidak merosot akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Menilik dari sisi perusahaan, upah minimum diharapkan akan meningkatkan produktivitas pekerja, sedangkan dari sisi pekerja sendiri, kebijakan tersebut idealnya dapat meningkatkan daya beli pekerja sehingga dapat meningkatkan taraf hidup pekerja dan keluarganya, sementara dari sisi pemerintah, instrumen tersebut merupakan salah satu program tidak langsung dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan melalui redistribusi pendapatan. Bila terjadi kenaikan upah minimum, perusahaan sesungguhnya memiliki tiga alternatif untuk meresponnya, yaitu mengurangi jumlah pekerja, mengurangi keuntungan perusahaan atau menaikkan harga produk. Umumnya, pendekatan teori ekonomi meramalkan bahwa jika upah minimum mengalami peningkatan, perusahaan tidak akan mengurangi keuntungan. Hal ini karena perusahaan yang memberikan standar gaji yang rendah biasanya adalah perusahaan yang terlalu kecil untuk dapat menyerap biaya ekstra yang ditimbulkan oleh kenaikan upah minimum. Pada pasar persaingan sempurna dengan setiap pelaku ekonomi diasumsikan sebagai price taker, teori ekonomi memprediksi bahwa perusahaan akan mengurangi pekerjanya dalam merespon kenaikan upah minimum. Selain itu, diprediksi pula oleh teori ekonomi jika terjadi lonjakan biaya pada tingkat industri yang cukup luas, maka kenaikan upah minimum tersebut akan direspon dengan menaikkan harga (Lemos, 2004b). Terkait dengan bagaimana upah minimum dapat memengaruhi harga dan inflasi, Sellekaerts (1981, dalam Lemos, 2004b) menjelaskan bagaimana mekanisme transmisi tersebut. Pertama, adanya dampak langsung dari perubahan upah minimum. Kedua, ada dampak spillover tak langsung dari penetapan upah 35 minimum yang baru. Ketiga, perusahaan menaikkan harga sebagai responnya atas biaya pekerja yang lebih tinggi. Keempat, perusahaan melakukan penyesuaian level kegiatan produksi dan melakukan penilaian atas besarnya input dan output terkait dengan minimisasi biaya dengan kendala ekspektasi permintaan. Kelima, menghasilkan kombinasi jumlah tenaga kerja dan tingkat upah yang baru untuk memproduksi keseimbangan baru pada tingkat pendapatan, permintaan agregat dan setelah beberapa waktu keseimbangan baru pada tingkat produksi. Keenam, inflasi dan tingkat pengangguran menjadi konsisten dengan keseimbangan baru yang mungkin pada waktunya kembali akan memengaruhi upah dan harga. Merujuk pada transmisi dari Sellekaerts (1981, dalam Lemos, 2004b), respon dari perusahaan ditekankan pada bagaimana kemudian upah minimum memengaruhi pasar tenaga kerja sehingga menghasilkan tingkat upah dan tingkat penyerapan tenaga kerja pada level keseimbangan yang baru. Hasil keseimbangan baru tersebut kemudian akan memengaruhi penawaran dan permintaan agregat, yang selanjutnya akan memengaruhi tingkat output dan harga. Berdasarkan penekanan pada keseimbangan di pasar tenaga kerja tersebut, Lemos (2004a) memberikan beberapa alternatif jalur yang memungkinkan penetapan upah minimum dapat memengaruhi harga dari pendekatan teori ekonomi, yaitu (1) melalui permintaan atas tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan harga lebih tinggi, (2) melalui penawaran tenaga kerja, dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja sehingga mendorong harga menjadi lebih rendah; atau dengan meningkatkan partisipasi angkatan kerja yang kemudian akan mendorong upah atau harga menjadi lebih rendah, (3) melalui penawaran agregat, sehingga terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dan output, kemudian mendorong upah dan harga menjadi lebih tinggi, (4) melalui permintaan agregat, dengan peningkatan pengeluaran agregat sehingga mendorong harga menjadi lebih tinggi; atau dengan penurunan permintaan untuk produk-produk pada perusahaan dengan tipe labour-intensive yang menerapkan upah minimum, sehingga mendorong harga menjadi turun. Pada kasus negara Indonesia, adanya sektor pekerjaan formal dan informal menjadikan dampak upah minimum terhadap pasar tenaga kerja menarik untuk diteliti. Di samping itu, pada sektor formal upah minimum tersebut bisa dilihat 36 pada sektor swasta dan sektor pemerintah. Besarnya upah minimum pada sektor swasta terbagi menjadi upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK), sementara pada sektor formal, besarnya upah minimum adalah besarnya gaji pegawai pemerintah (PNS/TNI/POLRI) dengan golongan terendah. Dalam 15 tahun terakhir, penetapan upah minimum pada sektor swasta dilakukan secara kontinu, setiap setahun sekali melalui proses negosiasi antara serikat pekerja dan asosiasi perusahan yang difasilitasi oleh pemerintah. Berbeda dengan sektor swasta, pada sektor pemerintah, penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI secara kontinu baru dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan untuk menjaga agar daya beli dari pegawai pemerintah tersebut tidak tergerus oleh inflasi dan yang terpenting adalah untuk meningkatkan produktivitas dari pegawai. Terkait dengan fenomena upah minimum tersebut, khususnya pada sektor swasta, penelitian Camola dan de Melo (2010) mengenai dampak desentralisasi penetapan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja menyatakan (1) pada sektor formal, upah minimum memberi pengaruh negatif atas penyerapan tenaga kerja di sektor formal, khususnya pada perusahaan domestik, tetapi tidak memengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja pada perusahaan multi nasional yang beroperasi di Indonesia, (2) pada sektor informal, upah minimum memberi efek positif karena pengurangan tenaga kerja di sektor formal menambah tenaga kerja di sektor informal. Berdasarkan hasil penelitian Camola dan de Melo (2010) dan beberapa jalur yang memungkinkan penetapan upah minimum dapat memengaruhi harga dari Lemos (2004a), maka untuk kasus Indonesia, diduga upah minimum pada sektor swasta akan memengaruhi harga melalui permintaan tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan harga lebih tinggi. Ilustrasi dari kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 6 untuk panel (a), yaitu ketika terjadi kenaikan upah minimum di sektor swasta, maka akan mendorong kenaikan upah secara keseluruhan sehingga upah nominal menjadi naik, demikian pula dengan upah riil. Kenaikan upah nominal tersebut kemudian akan menyebabkan kenaikan harga, dan selanjutnya karena upah riil juga ikut naik, maka perusahaan meresponnya dengan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerjanya sehingga secara agregat terjadi pengurangan tenaga kerja. Akibat dari pengurangan tenaga kerja tersebut akan terjadi penurunan output yang dibarengi oleh kenaikan harga. 37 Berbeda dengan sektor swasta, mekanisme transmisi penyesuaian upah minimum terhadap harga pada sektor pemerintah tidak melalui analisis pasar tenaga kerja seperti diilustrasikan oleh Gambar 6. Kenaikan upah minimum yang berupa kenaikan gaji PNS/TNI/POLRI pada golongan terendah dengan masa kerja nol tahun selalu diikuti kenaikan gaji pegawai pemerintah pada golongan berikutnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan belanja pemerintah secara keseluruhan. Akibat kenaikan total belanja pemerintah tersebut, output akan ikut meningkat, namun kenaikan output tersebut akan diikuti dengan kenaikan harga alias akan menyebabkan inflasi (Gambar 5. panel (a)). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka mekanisme transmisi kenaikan upah minimum terhadap harga dan inflasi pada sektor pemerintah cenderung mengikuti jalur permintaan agregat sebagaimana dinyatakan oleh Lemos (2004a). 2.4.4 Administred Prices dan Inflasi Administred prices atau harga komoditas-komoditas yang diatur oleh pemerintah merupakan salah satu sumber penting yang menyebabkan terjadinya volatilitas pada harga relatif komoditas lainnya secara menyeluruh. Oleh sebab itu, penyesuaian pada harga komoditas-komoditas yang diatur oleh pemerintah akan memberikan dampak pada inflasi. Mohanty dan Klau (2001) menyatakan bahwa administred prices bisa menjadi sumber utama dalam memengaruhi inflasi, namun hal tersebut tergantung bagaimana perilaku dari penyesuaiannya dan bagaimana respon kebijakan moneter jika terjadi penyesuaian administred prices. Jika revisinya dilakukan secara periodik untuk mengembalikannnya pada level relatif, maka tidak akan menyebabkan terjadinya inflasi (Phillips, 1994 dalam Mohanty dan Klau, 2001). Selain hal tersebut, maka penyesuaian pada harga yang diatur pemerintah akan menyebabkan inflasi. Pertama, penyesuaian pada harga yang diatur pemerintah mungkin akan diakomodasi oleh kebijakan moneter. Kedua, pengalaman di negara-negara dengan perekonomian dalam masa transisi menunjukkan bahwa, kenaikan yang terjadi pada harga yang diatur pemerintah tidak sepenuhnya dikompensasi oleh penurunan harga pada non administred prices, sehingga harga rata-rata meningkat pada perekonomian ini (IMF, 1996 dalam Mohanty dan Klau, 2001). 38 Khusus untuk Indonesia, harga yang diatur pemerintah diberlakukan pada beberapa komoditas, seperti harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), tarif air minum (PAM/PDAM), dan tarif angkutan umum. Berdasarkan semua komoditas tersebut, karakteristik komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah cenderung merupakan komoditas strategis atau bahkan menjadi komoditas politik yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sebagian besar diproduksi oleh pemerintah sendiri (melalui badan usaha milik negara/pemerintah daerah). Lebih jauh, komoditas seperti BBM dan listrik merupakan salah satu komoditas utama yang banyak digunakan dalam proses produksi sehingga penyesuaian harga pada kedua komoditas tersebut akan memberi pengaruh yang signifikan pada harga komoditas lainnya, baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Walhasil, kenaikan utamanya pada kedua jenis komoditas yang diatur pemerintah tersebut akan memicu terjadinya inflasi. Terkait dengan penyesuaian harga BBM di Indonesia, adanya shock dari luar negeri berupa kenaikan harga minyak dunia di pasar internasional tidak langsung ditransfer secara sebagian ataupun secara penuh ke harga domestik, karena pada praktiknya membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memutuskan kenaikan harga BBM di dalam negeri. Tarik ulur antara tetap memberlakukan harga lama dengan resiko subsidi akan meningkat sehingga akan membebani keuangan negara atau langkah sebaliknya, namun akan berakibat pada stagflasi, yaitu terjadinya penurunan tingkat kegiatan ekonomi bersamaan dengan inflasi yang cukup tinggi, bukanlah persoalan yang mudah. Oleh karenanya penyesuaian harga BBM misalnya, merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah yang tidak populis dan menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Mekanisme transmisi dampak penyesuaian pada administred prices terhadap harga dan inflasi sesungguhnya mirip dengan terjadinya oil price shock sebagaimana disebutkan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan pada harga BBM yang notebenenya diatur oleh pemerintah misalnya, maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup, sehingga harga akan naik, karena hubungan antara keduanya berbanding lurus (persamaan (2.13) dan (2.14)). Akibat kenaikan harga tersebut, upah riil akan mengalami penurunan sehingga penawaran atas tenaga kerja menjadi menurun. Dampak lebih lanjut adalah 39 terjadinya pengurangan jumlah tenaga kerja dan hal tersebut menyebabkan jumlah pengangguran akan meningkat dan kemudian akan diikuti oleh output yang akan mengalami penurunan. Ilustrasi dari mekanisme transmisi ini diperlihatkan oleh Gambar 6 panel (b), yang secara tidak langsung menceritakan proses terjadinya inflasi karena dorongan biaya. Sumber : Blanchard (2004) Gambar 6. Ilustrasi dampak kenaikan upah minimum dan kenaikan harga BBM. Mekanisme transmisi dampak penyesuaian pada administred price khusus untuk kasus kenaikan harga BBM terhadap harga dan inflasi seperti diilustrasikan pada Gambar 6 panel (b) sesungguhnya berdasarkan kajian teoritis. Tidak banyak memang penelitian yang bertujuan untuk melihat dampak penyesuaian harga yang diatur (oleh pemerintah) terhadap tingkat harga dan inflasi. Salah satu penelitian mengenai hal tersebut dilakukan oleh Lünnemann and Mathä (2005) untuk studi kasus negara-negara pada Uni Eropa dengan tujuan untuk melihat dampak dari harga yang diatur dan tarif jasa terhadap persistensi inflasi. Berdasarkan disagregasi indeks (Harmonic Index of Consumer Price/HICP) menurut sub kelompok, ditunjukkan bahwa perubahan indeks yang terjadi pada sub kelompok harga yang diatur termasuk perubahan tarif jasa berkorelasi positif dengan 40 perubahan indeks yang terjadi pada komoditi lainnya. Selain itu, ditemukan pula bahwa pada harga yang diatur dan tarif jasa lebih rigid ke bawah, yang artinya cenderung lebih mudah naik dibanding turun. Selain itu didapati pula indeks untuk harga yang diatur dan tarif jasa menunjukkan perubahan tingkat inflasi yang lebih besar dibanding indeks lainnya. Dan terakhir jika kemudian harga yang diatur dan tarif jasa dikeluarkan dari paket penghitungan indeks harga, akan mengurangi terjadinya persistensi dari inflasi secara agregat. Berdasarkan kajian empiris dan landasan teoritis, maka tidak diragukan lagi bila administred prices memang merupakan salah satu determinan penting dalam memengaruhi terjadinya inflasi. 2.5 Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif akan melakukan spesialisasi guna memroduksi komoditi yang harganya relatif murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional. Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya, melalui perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor. Oleh karenanya, kegiatan ekspor-impor dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1996). Berdasarkan teori standar tersebut, seharusnya dengan semakin besar kapasitas perdagangan internasional, diduga akan menurunkan harga barang/jasa kebutuhan konsumen sehingga secara tidak langsung hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan (trade openness) dengan inflasi diprediksi akan berbanding terbalik atau memiliki hubungan negatif. Terkait dengan prediksi dari teori perdagangan standar tersebut, Romer (1993, dalam Al-Nasser et al., 2010) memberikan bukti empiris yang menyatakan terdapat hubungan negatif antara tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Keterkaitan antara keterbukaan perdagangan dan inflasi dari Romer tersebut dibangun berdasarkan model dari 41 Barro-Gordon untuk menguji hipotesis bahwa pada perekonomian yang lebih besar dan kurang terbuka akan memicu terjadinya tingkat inflasi yang lebih tinggi. Berdasarkan analisis data cross section, Romer menemukan bahwa rata-rata tingkat inflasi yang lebih rendah terjadi pada negara dengan perekonomian lebih kecil dan lebih terbuka. Argumen Romer mengenai hal ini adalah masalah independensi dari bank sentral terkait dengan hubungan antara keterbukaan dan inflasi. Kondisi di negara-negara dengan bank sentral yang lebih independen, adalah bank sentral akan melaksanakan tugasnya dengan kredibilitas sehingga seharusnya tidak akan ada hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Sebaliknya, pada negara-negara dengan kondisi otoritas moneter yang tidak independen, keterbukaan akan berperan untuk mengurangi insentif pemerintah dalam memicu terjadinya inflasi. Menurut Al-Nasser et al. (2010), meskipun beberapa penelitian sebelum dan sesudahnya mendukung pendapat Romer, namun tidak hal tersebut karena setidaknya beberapa peneliti setelahnya seperti Terra (1998), Bleaney (1999) dan Temple (2002) kemudian menentangnya. Melihat prediksi dari teori perdagangan internasional dan hasil empiris yang ambivalen maka perlu ditelusuri bagaimana sebenarnya mekanisme transmisi dari tingkat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi. Bowdler and Malik (2006) dalam papernya menyatakan ada 2 jalur mengenai bagaimana keterbukaan dalam perdagangan internasional dapat berpengaruh terhadap volatilitas inflasi. Jalur pertama, keterbukaan memengaruhi biaya terkait dengan volatilitas inflasi, yaitu dengan menciptakan insentif bagi pemerintah dan bank sentral untuk mengimplementasikan kebijakan yang akan memberikan implikasi yang berbeda-beda terhadap tingkat volatilitas. Menurut Cavelaars (2006, dalam Bowdler and Malik, 2006), mekanisme pada jalur ini cukup rumit karena harus melihat faktor apa yang mendorong terjadinya peningkatan keterbukaan perdagangan, apakah didorong oleh kemajuan teknologi sehingga menyebabkan penurunan harga atau berasal dari penurunan tarif impor yang akan menimbulkan terjadinya diskresi dalam kebijakan moneter dan akan membuat inflasi menjadi lebih volatile. Berdasarkan beberapa penelitian berikutnya, Bowdler and Malik (2006) kemudian menyimpulkan bahwa stabilitas 42 kebijakan moneter memegang peranan penting dalam menentukan tingkat volatilitas inflasi. Jalur kedua, keterbukaan perdagangan akan memengaruhi struktur konsumsi dan produksi, dan melalui diversifikasi konsumsi akan menyebabkan terjadinya cancel out dalam agregasi indeks harga. Sesungguhnya jalur ini mengacu pada teori perdagangan standar seperti telah dijelaskan sebelumnya, yaitu akibat spesialisasi produksi dan diversifikasi konsumsi akan menurunkan volatilitas inflasi. Meskipun demikian, terdapat jalur lainnya yang mungkin dapat menyebabkan keterbukaan perdagangan akan meningkatkan terjadinya volatilitas inflasi. Adanya spesialisasi pada kegiatan produksi misalnya, akan meningkatkan terjadinya kerapuhan dari sektor-sektor tertentu yang bergantung pada kegiatan ekspor. Ketergantungan ekspor tersebut akan membuat permintaan untuk produk domestik menjadi volatile dan melalui jalur tersebut akan memicu meningkatnya fluktuasi inflasi yang tinggi. Dampak terhadap tingginya volatilitas inflasi juga akan terjadi jika meningkatnya keterbukaan dalam perdagangan diikuti dengan keterbukaan dalam konteks finansial. Dalam perspektif perekonomian global, Benigno and Faia (2010) mencoba menjelaskan bagaimana globalisasi dapat memengaruhi dinamika inflasi di dalam negeri. Dalam papernya, mereka berfokus pada bagaimana mekanisme transmisi dari globalisasi terhadap inflasi. Jalur pertama adalah melalui pass-through dari kombinasi antara nilai tukar nominal dan biaya marginal dari luar negeri melalui barang-barang impor, baik barang-barang untuk kebutuhan konsumsi akhir atau yang tergolong sebagai input antara, sehingga akan memberikan pengaruh terhadap tingkat kompetisi produk dalam dan luar negeri. Jalur kedua adalah melalui pengaruh secara tidak langsung yang akan menimbulkan dampak pada strategi harga dari perusahaan domestik dalam menjual produknya untuk pasar internal. Akibatnya, perusahaan domestik dan luar negeri akan berkompetisi untuk meningkatkan market share dari produk mereka melalui strategi penentuan harga. Hasil penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa derajat pass-through akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik. Lebih lanjut, tingkat ketergantungan dari perusahaan domestik yang menggunakan 43 komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga meningkat bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan perusahaan asing. Berdasarkan beberapa kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah disampaikan, cukup rumit juga untuk meramalkan pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi karena terkait erat dengan perilaku dari pembuat kebijakan dan struktur perekonomian dari suatu wilayah, terlepas berbagai kemungkinan mekanisme transmisi yang akan terjadi. Oleh karenanya, untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi atau tingkat volatilitas inflasi akan lebih bijaksana bila melibatkan beberapa faktor lainnya seperti kondisi spesifik dari suatu negara dan kondisi global sebagaimana dilakukan oleh Beirne (2009), meskipun tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengetahui tingkat vulnerabilitas dari inflasi. 2.6 Infrastruktur dan Inflasi Beberapa teori pertumbuhan ekonomi sepakat mengenai arti penting dari infrastruktur terhadap pembangunan regional, karena akan menjadi determinan dalam membangun sistem pertumbuhan di tingkat lokal dan bagaimana kemudian jalur pembangunan akan terbentuk. Menurut teori pertumbuhan export base dan growth-poles; kapasitas ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan wilayah dalam menarik suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment berupa infrastruktur yang sudah terbangun. Dampak dari endowment kondisi infrastruktur yang lebih baik akan dapat menarik kehadiran perusahaan baru pada suatu wilayah dan akan menjadi sumber pemicu terjadinya persaingan dengan perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu sudah beroperasi di wilayah tersebut. Hal tersebut kemudian akan meningkatkan produktivitas dari faktor produksi dan dengan peningkatan akses akan menurunkan biaya-biaya yang terkait dengan pengeluaran perusahaan, sehingga akan membangkitkan eksternalitas positif pada pembangunan di tingkat lokal. Tentu saja infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan udara, rel kereta dan pembangkit tenaga listrik, karena secara langsung akan berfungsi dalam meningkatkan produktivitas perusahaan (Cappelo, 2007). Penelitian tentang dampak infrastruktur telah banyak dilakukan baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Umumnya penelitian 44 tersebut ingin mengetahui dampaknya terhadap output, total factor productivity, tenaga kerja, perdagangan dan distribusi pendapatan, namun sayangnya studi yang secara eksplisit bertujuan untuk mengetahui dampaknya terhadap tingkat harga dan inflasi bisa dikatakan tidak mudah untuk ditemukan. Hasil dari sejumlah penelitian tersebut biasa berakhir dengan kesimpulan bahwa infrastruktur memberikan dampak positif bagi objek yang diteliti, sebagaimana diprediksi oleh beberapa teori pertumbuhan regional. Terkait dengan penelitian mengenai dampak infrastruktur terhadap tingkat harga dan inflasi, Beirne (2009) melakukan studi dengan tujuan untuk mengetahui indikator-indikator yang mungkin menjadi determinan terhadap inflasi. Dalam studi tersebut Beirne memasukkan faktor spesifik dari 10 negara anggota baru dari Uni Eropa terkait dengan reformasi struktural dengan salah satunya adalah indeks reformasi infrastruktur. Menariknya, hasil studi empiris tersebut menyimpulkan bahwa semakin tinggi indeks yang artinya semakin baik kondisi infrastruktur akan mendorong terjadinya kenaikan tingkat harga atau dengan kata lain akan memberi pengaruh positif terhadap inflasi. Hasil ini tentu saja bertolak belakang dengan prediksi dari teori sebelumnya dengan seharusnya semakin baik kondisi infrastruktur akan menurunkan tingkat harga. Penjelasan dari penulis mengenai hasil empiris tersebut adalah dengan semakin baiknya kondisi infrastruktur akan mendukung masuknya investasi dan kegiatan ekonomi dari luar. Anomali hasil empiris tersebut tentu saja menjadi pertanyaan besar karena pastinya ada penjelasan mengenai bagaimana mekanisme transmisi sesungguhnya. Studi dari Oosterhaven and Elhorst (2003) tentang manfaat ekonomi secara tidak langsung dari investasi pada infrastruktur transportasi sepertinya merupakan alternatif jawaban atas teka-teki tersebut. Berdasarkan pendekatan model ekonomi regional dan makro ekonomi yang digunakan dalam studi tersebut, mereka menyatakan bahwa peningkatan kualitas infrastruktur transportasi akan menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan memengaruhi permintaan terhadap produk lokal berupa input antara, tingkat konsumsi dan permintaan atas investasi. Secara sektoral atau menurut produk, penghematan tersebut bisa memberi dampak positif atau negatif dan dampak tersebut bisa meningkat karena 45 economies of scale pada perusahaan lokal. Secara agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur otomatis bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif atau menyebabkan penurunan harga alias akan berpengaruh negatif terhadap inflasi, namun jika terjadi hal yang sebaliknya maka dampaknya terhadap inflasi menjadi positif. Mekanisme transmisi dari kondisi infrastruktur terhadap harga tentunya tidak sesederhana itu karena secara tidak langsung hal tersebut juga akan memengaruhi kondisi pasar tenaga kerja di suatu negara atau wilayah, seperti tingkat pengangguran, adanya lowongan pekerjaan dan terutama tingkat upah. Oleh karenanya tidak mudah untuk melihat dampak agregat dari peningkatan kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan infrastruktur secara umum terhadap harga. Mengingat terdapat beberapa jalur yang kemungkinan dapat memengaruhi harga dan dimungkinkan pula terjadi dampak bauran dari beberapa alternatif jalur tersebut, maka dampak total terhadap harga menjadi tidak mudah untuk diprediksi. 2.7 Metode Univariate Detrending Beberapa variabel ekonomi yang terkait dengan runtun waktu umumnya memiliki tren stokastik dan komponen stasioner, seperti hipotesis permanent income yang disintesakan oleh Milton Friedman atau output potensial dan inflasi inti (core inflation) seperti telah dibahas sebelumnya. Khusus untuk estimasi output potensial dengan metode univariate non-structural, Ladiray et al. (2003) menjelaskan beberapa teknik detrending yang memisahkan antara komponen tren yang bersifat permanen dan transitory component, yaitu deviasi dari komponen tren yang cenderung bersifat sementara. Transitory component sendiri kemudian didekomposisi menjadi komponen siklus dan gangguan (irregular) yang diasumsikan mengikuti pola acak (white noise). 46 Salah satu metode detrending yang sering digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah metode Hodrick–Prescott (HP) filter, meskipun metode ini banyak dikritik karena tidak berdasarkan pendekatan struktural. Walapun banyak mendapat kritik, namun jika dibandingkan metode univariate detrending lainnya seperti BeveridgeNelson decomposition, metode ini menghasilkan dugaan yang unique, sementara metode kedua tidak (Enders, 2004). Hal ini disebabkan oleh ketergantungan dari model ARIMA (p,1,q) yang sesuai dengan kondisi data, sementara masalah kesesuaian pada model ARIMA sendiri cenderung bersifat subjektif. Pendekatan detrending dengan menggunakan HP filter berusaha untuk mendekomposisi series data menjadi tren (t) dan komponen stasioner yt – t. Jika didefinisikan jumlah kuadrat sebagai berikut : SS 1 T T (y t 1 t t )2 T T 1 [( t 2 t 1 t ) ( t t 1 ) ] 2 .................... (2.15) dengan adalah sebuah konstanta dan T adalah jumlah observasi yang digunakan. Permasalahan dalam penggunaan metode Hodrick–Prescott Filter adalah bagaimana menentukan suatu deret dari t sehingga meminimumkan jumlah kuadrat (SS). Terkait dengan permasalahan minimisasi, adalah suatu sembarang konstanta yang mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi menjadi tren. Tarik ulur dalam menentukan besar akan berimplikasi pada hasil dekomposisi, akan menjadi tren yang halus atau bahkan akan menjadi konstanta (Enders, 2004). Selain dua metode detrending series yang telah disebutkan sebelumnya, metode band pass filter merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung output potensial. Pendekatan ini berusaha untuk mengestimasi komponen siklus secara langsung agar mendekati band pass filter yang ideal, sehingga berada di antara selang low band (1*) dan high band (2*). Terdapat dua pendekatan dalam metode ini, yaitu metode band pass BaxterKing dan metode band pass ChristianoFitzgerald. Keduanya berusaha untuk meminimumkan deviasi antara respon frekuensi dari filter yang ideal dengan estimasi dari respon frekuensi dari estimasinya, hanya saja untuk band pass 47 ChristianoFitzgerald menggunakan penimbang berupa densitas spektral dari data runtun waktu yang akan dilakukan detrended. Fungsi yang diminimumkan pada band pass filter versii BaxterKing dan ChristianoFitzgerald adalah sebagai berikut (Ladiray et al., 2003) : BaxterKing Q ChristianoFitzgerald Q e iw e iw dw ........ (2.16) e iw e iw ........ (2.17) 2 2 f y w dw dengan, (eiw) menyatakan respon frekuensi dari filter yang ideal, (eiw) dan (eiw) adalah respon frekuensi yang diestimasi dan fy(w) merupakan densitas spektral dari data yang di-detrended. Menurut Ladiray et al. (2003), perbedaan dari kedua fungsi kerugian tersebut adalah persamaan (2.16) mengharuskan kondisi yang simetris sementara pada persamaan (2.17) dimungkinkan terjadinya kondisi yang tidak simetris pada penimbang band pass filter. Perbedaan lainnya pada kedua metode tersebut adalah BaxterKing menggunakan asumsi bahwa variabel mengikuti distribusi yang identik dan independen, sementara pada band pass filter ChristianoFitzgerald, variabel diasumsikan sebagai random walk. Implikasi adanya perbedaan kedua asumsi tersebut adalah perbedaan tingkat akurasi dari estimasi yang dihasilkan oleh keduanya. Perbedaan yang menjadi implikasi lainnya adalah jumlah hasil estimasi yang diperoleh dari metode BaxterKing menjadi berkurang beberapa observasi di awal dan di akhir pada serangkaian data yang dianalisis, sedang pada metode ChristianoFitzgerald diperoleh observasi yang lengkap. Terakhir, berdasarkan metode BaxterKing akan didapatkan estimasi yang cukup baik saat high band sehingga cenderung lebih baik digunakan untuk rentang waktu yang relatif pendek, sebaliknya metode ChristianoFitzgerald cenderung baik untuk digunakan pada rentang waktu yang relatif panjang atau bahkan tidak terbatas mengingat estimasi yang dihasilkan cukup baik saat low band. 2.8 Metode Regresi Data Panel Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel 48 digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat diberikan oleh model cross section dan time series murni. Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan makroekonometrik. 2.8.1 Regresi Data Panel Statis Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel statis, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM), yang dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Secara umum, persamaan regresi panel data statis dituliskan sebagai berikut : yit = i + Xit + it .......................................... (2.18) dengan yit : nilai variabel dependen untuk setiap unit individu i pada periode t dengan i = 1, …, n dan t = 1, …, T i : unobserved heterogenity Xit : nilai variabel independen yang terdiri dari sejumlah K variabel. : parameter yang diestimasi dengan pada one way error, bentuk it didekomposisi menjadi it = i + uit .......................................... (2.19) dengan i adalah efek individu dan uit adalah gangguan yang bersifat acak dengan asumsi uit iid (0,u2). Bentuk error it dapat didekomposisi menjadi two way atau three way error, tergantung dari asumsi yang digunakan, namun pada penelitian ini dibatasi hanya menggunakan bentuk one way error saja, baik untuk data panel statis maupun dinamis. 2.8.1.1 Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Berdasarkan asumsi ini, maka komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep, sehingga untuk bentuk one way error, persamaan (2.19) dapat dituliskan menjadi yit = ( i + i ) + Xit + uit .......................................... (2.20) 49 Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Khusus untuk one way error, penduga FEM dapat dihitung dengan teknik Pooled Least Square (PLS), Least Square Dummy Variable (LSDV) dan Within Group (WG). 2.8.1.2 Random Effect Model (REM) REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan atau memiliki pola yang sifatnya acak. Dengan kondisi ini, maka komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error, sehingga pada bentuk one way error, persamaan (2.18) dapat ditulis ulang menjadi yit = i + Xit + uit + i ......................................... (2.21) Asumsi yang digunakan dalam model efek acak (REM) adalah E uit | i 0 E uit2 | i u2 E i | xit 0 ; i, t E u 0 ; i, t, j E u u 0 untuk i j dan t s E i2 | xit 2 ; i, t it j it js Dalam bentuk one way error, penduga REM dapat dihitung dengan teknik Between Estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS). 2.8.2 Regresi Data Panel Dinamis Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag dari variabel dependen di antara regresor. Perkembangan teknik ekonometrika pada tahap selanjutnya seiring dengan tuntutan dalam ekonomi regional menyebabkan regresi panel data dinamis bisa menangkap adanya keterkaitan secara spasial. 50 2.8.2.1 Data Panel Dinamis Non Spasial Model regresi data panel statis dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM) merupakan penduga yang konsisten dan efisien, namun pada kondisi ini berbeda jika diterapkan pada model data panel dinamis, yaitu dengan hadirnya lag dari variabel dependen pada ruas kanan persamaan. Pembuktian secara matematis mengenai inkonsistensi dan inefisiensi dari penduga FEM dan REM untuk model data panel dinamis tidak disampaikan di sini, namun secara lengkap dapat dilihat lebih lanjut dalam Verbeek (2008). First-Difference GMM (FD-GMM) Arrelano dan Bond (1991, dalam Baltagi, 2005) menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM) untuk mengatasi masalah ini. Secara umum, bentuk data panel autoregresif dengan lag 1 atau AR(1) tanpa variabel eksogen adalah sebagai berikut (Baltagi, 2005) : yit = yi,t-1 + uit ; < 1 ; t = 1, 2, … , T .......................................... (2.22) dengan uit = i + vit, dengan i iid (0,2) dan vit iid (0,v2). Untuk memperoleh penduga yang konsisten, dengan N dengan T tertentu, maka dilakukan first-difference pada persamaan (2.22) untuk menghilangkan efek individu. yit – yi,t-1 = (yi,t-1 – yi,t-2) + (vit – vi,t-1) ; t = 2, 3, … , T .................. (2.23) dengan (vit – vi,t-1) mengikuti proses MA (1) dengan unit root. Secara umum, pada persamaan (2.23) dapat dilihat bahwa yi,t-2 adalah variabel instrumen yang valid karena berkorelasi dengan (yi,t-1 – yi,t-2), akan tetapi tidak berkorelasi dengan (vit – vi,t-1). Prosedur instrumental variable masih belum ada untuk differenced error term pada persamaan (2.23), dengan E(vivi) = v2 (IN G) .......................................... (2.24) dengan : vi = (vi3 – vi2, … , viT – vi,T-1) dan 2 1 0 1 2 1 G 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 1 0 1 2 0 0 .......................................... (2.25) adalah (T-2) x (T-2), karena vi adalah MA(1) dengan unit root. Didefinisikan sebagai 51 yi Wi 0 yi 1 , yi 2 yi 1 ,, yi ,T 2 0 ......................................... (2.26) sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Wi berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai E(Wivi) = 0 ......................................... (2.27) Dengan mengalikan ulang persamaan difference (2.22) dalam bentuk vektor dengan Wi, akan diperoleh Wy = W (y-1) + Wv ......................................... (2.28) Dengan prosedur GLS untuk mengestimasi persamaan (2.28), maka akan diperoleh Arrelano dan Bond (1991) preliminary one-step consistent estimator : 1 1 1 ˆ1 y 1 W W I N G W W y 1 y 1 W W I N G W W y 1 ... (2.29) Optimal GMM estimator dari ala Hansen (1982, dalam Baltagi, 2005) untuk N yang tak hingga dan T relatif tetap dengan hanya menggunakan moment restriction di atas menghasilkan notasi yang sama seperti (2.29) kecuali bahwa N W I N G W Wi G Wi ......................................... (2.30) i 1 digantikan oleh N V N Wi vi vi Wi ......................................... (2.31) i 1 GMM estimator memerlukan no knowledge concerning kondisi awal atau distribusi dari vi dan ui. Prosedur estimasi pada metode ini adalah vi digantikan oleh difference residual yang diperoleh dari preliminary consistent estimator. Hasil metode estimasi ini adalah two-step Arrelano-Bond (1991) GMM estimator (Baltagi, 2005) : 1 1 1 ˆ2 y 1 W VˆN W y 1 y 1 W VˆN W y 1 .......................... (2.32) Sebuah estimasi yang konsisten dari asymptotic var ( ˆ2 ) diberikan oleh bentuk pertama dalam persamaan (2.33) 1 Var ˆ2 y 1 W VˆN W y 1 1 ........................... (2.33) 52 Kondisi ˆ1 dan ˆ2 adalah asymptotically equivalent jika adalah vit iid (0,v2). Berdasarkan cara yang sama, dapat diturunkan pula jika pada persamaan (2.22) dimasukkan variabel eksogen, sehingga akan diperoleh persamaan berikut : yit = x'it + yi,t-1 + uit ................................ (2.34) Parameter persamaan (2.35) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Berbagai asumsi dapat digunakan untuk xit , dengan demikian sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun berdasarkan asumsi tersebut. System GMM (SYS-GMM) Menurut Blundell dan Bond (1998, dalam Baltagi, 2005), penduga FD-GMM dapat mengandung bias pada sampel berukuran kecil, hal ini terjadi ketika lagged level dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah. Dalam model AR(1) pada persamaan (2.22), fenomena ini terjadi karena parameter autoregresif () mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu (i) meningkat relatif terhadap varian transient error (vit). Mereka menunjukkan bahwa penduga FD-GMM pada persamaan (2.23) dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang tersedia relatif kecil. Oleh karenanya, merupakan hal penting untuk memanfaatkan kondisi awal (initial condition) dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis sebagai berikut : yit = yi,t-1 + i + vit ................................ (2.35) dengan E(i) = 0; E(vi) = 0; E(ivi) = 0; untuk i = 1, 2, . . . , N ; t = 1, 2, . . . , T. Dalam hal ini, Blundel dan Bond (1998) memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh E(yi1vi3) = 0; sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just identified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan yi2 pada yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari persamaan (2.35) yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua ruas pada persamaan tersebut, yakni 53 yi2 = ( 1) yi,1 + i + vi2 ................................ (2.36) karenakan ekspektasi E(yi1i) > 0; maka (1 – ) akan bias ke atas (upward biased) dengan p lim ˆ 1 1 c c( 2 / 2 u .................... (2.37) ) dengan c = (1 – )/(1 + ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrumen zi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke 12 dengan parameter non-centrality ( u c ) 2 0 2 2 u c 2 ; saat 1 .................... (2.38) Ketika 0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi (). Selanjutnya mereka memperluas penduga sistem GMM dengan menggunakan lagged differences dari yit sebagai instrumen untuk persaman pada level, sementara lagged level dari yit sebagai instrumen untuk persamaan dalam first differences (lihat Arellano dan Bover, 1995). 2.8.2.2 Data Panel Spasial Dinamis Model data panel spasial dinamis adalah pengembangan lebih lanjut ketika variabel dependen atau bentuk error-nya memiliki keterkaitan spasial. Bentuk umum dari model spasial dengan i = 1, 2, … , N unit spasial dan t = 1, 2, … , T periode waktu, dengan jumlah amatan unit spasial relatif lebih besar dari panjang periode waktu. Jika diasumsikan data pada waktu ke-t dibangkitkan mengikuti model berikut : yt = yt-1 + WN yt + xt + ut ................................ (2.39) dengan WN adalah matriks penimbang spasial berukuran N N dengan seluruh elemen pada diagonal utama berisi nol dan elemen pada setiap baris dinormalkan; adalah koefisien dari variabel dependen, adalah koefisien autoregresif spasial yang mengukur efek dari terjadinya interaksi antar variabel endogen, sementara xt dan ut masing-masing adalah variabel penjelas yang diasumsikan strictly exogenous dan error term (Jacobs et al., 2009). 54 Selanjutnya, pada kasus terjadinya keterkaitan struktur error secara spasial, maka komponen error uit mengikuti proses autoregresif spasial sebagai berikut : ut = MN ut + t ................................ (2.40) dengan MN adalah matriks penimbang spasial berukuran N N, sehingga MN uit merupakan bentuk error spasial. Selanjutnya it = IN + vit ; vit iid (0,v2IN), dengan vektor (unobservable) unit-specific fixed effects. Persamaan (2.39) dan (2.40) kemudian dapat direduksi sehingga akan diperoleh persamaan berikut : yt = (IN WN )1 [ yt-1 + xt + ut ] ..................................... (2.41) atau yt = zt + ut ..................................... (2.42) ut = (IN MN )1 [ IN + vt ] ..................................... (2.43) dengan zit = [ yi,t-1 ; WN yit ; xit ], sementara = [ ; ; ' ] Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB) Metode ini merupakan perluasan dari metode data panel dinamis dari Arellano dan Bond (1991) yang menghadirkan adanya keterkaitan secara spasial pada variabel lag dan galatnya. Menurut Jacobs et al. (2009), penduga dari koreksi spasial Arellano-Bond akan diturunkan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, digunakan GMM untuk mengestimasi yang digunakan menghitung uˆ it yit z itˆ , kemudian untuk menghilangkan digunakan pembedaan pertama (first-difference) dari persamaan (2.42) dan (2.43). yt = zt + ut ................................ (2.44) ut = (IN MN )1 vt ; t = 3, … , T ................................ (2.45) Baik lag dari waktu dan lag secara spasial dari variabel dependen adalah variabel endogen yang saling berhubungan. Tantangan dari kondisi tersebut adalah menemukan instrumen spasial yang memiliki korelasi yang lebih kuat dengan lag spasial dibanding lag dari waktu pada variabel dependen, sebaliknya instrumen dinamis memerlukan kondisi yang sebaliknya. Konsistensi dari prosedur GMM data panel terletak pada eksistensi matriks instrumen HSAB dengan dimensi N (T 2) F dengan memenuhi kondisi F momen berikut : E [H'SAB uit] = 0. 55 Berdasarkan penjelasan tersebut, penduga untuk koreksi spasial Arellano-Bond tahap pertama adalah sebagai berikut : z 1 z H SAB ASAB H SAB y ˆSAB z H SAB ASAB H SAB ...................... (2.46) dengan ASAB = [H'SAB G HSAB]1 adalah matriks instrumen berdimensi F F, sementara G adalah matrik penimbang dengan ukuran N (T 2) N (T 2), dengan elemen dari G seperti pada persamaan (2.25). Berdasarkan variabel instrumen yang digunakan pada persamaan (2.46), implikasi dari prosedur Arellano-Bond adalah harus terpenuhi kondisi momen berikut : E(y'i,ts vit) = 0 ; t = 3, … , T dan s = 2, … , T 1 ......................... (2.47) Meski demikian, karena adanya keterkaitan spasial maka dengan modifikasi dari pendekatan Kelejian dan Robinson (1993, dalam Jacobs et al. 2009) harus terpenuhi juga kondisi momen : E[(WN xi,t2 )' vit ] = 0 ; E[ x'i,t2 vit ] = 0 ; t = 3, … , T ............. (2.48) Pada tahap kedua, masih menurut Jacobs et al. (2009), penduga GMM yang konsisten dari dan v2 diperoleh dari û it dan memenuhi modifikasi dari kondisi momen berdasarkan Kapoor et al. (2007) berikut : 2 1 v N (T 2 ) Q 1 2 1 Q v tr ( M N M N ) N (T 2 ) N 1 Q 0 N (T 2 ) ...................... (2.49) dengan : Q = (IT1 JT1/(T 1)) IN adalah matriks transformasi “within”, IT1 merupakan matriks identitas berdimensi T 1 dan JT1 = eT 1 e' T 1, dengan elemen sebanyak (T 1) (T 1). Vektor dan adalah vektor dengan ukuran N (T 1) 1, didefinisikan sebagai berikut ...................... (2.50) it u it u dan u u dengan : uit yit zit SAB ; u ( I T 1 M N ) u dan u ( I T 1 M N ) u Kemudian, dengan memasukkan persamaan (2.49) ke (2.50) akan diperoleh 1 (T 2 ) uˆ Q uˆ 2 1 1 uˆ Q uˆ N N (T 2 ) 1 uˆ Quˆ v 2 (T 2 ) ...................... (2.51) 56 dengan 1 (T 2 ) uˆ Q uˆ 1 uˆ Q uˆ (T 2 ) 1 uˆ Quˆ (T 2 ) 2 uˆ Q uˆ ( T 2) 2 u Q uˆ (T 2 ) 2 uˆ Q u uˆ Q uˆ (T 2 ) 1 uˆ Q uˆ (T 2 ) 1 u Q u (T 2 ) 1 uˆ Q u (T 2 ) tr ( M N M N ) 0 1 Selanjutnya, pada tahap terakhir, penduga dari digunakan untuk melakukan mentransformasi spasial, variabel pada persamaan (2.44) sehingga akan diperoleh hasil ~ y ~ z SCAB ....................... (2.52) dengan untuk p = {y, z}, ~p I N ̂ M N p Model transformasi kemudian digunakan untuk menurunkan penduga SAB pada tahap ketiga ~ ~ ~ ~ ˆSCAB ~z H SAB ASAB H SAB z ~ G H SAB dengan ASAB H~ SAB ~ 1 1 ~ ~ ~ ~ ~ z H SAB ASAB H SAB y ....................... (2.53) dan H~ SAB I N ̂ M N H SAB Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) Sistem GMM yang disarankan oleh Blundell-Bond (1998) sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya merupakan cara untuk menanggulangi adanya kelemahan dari instrumen yang digunakan dalam metode FD-GMM. Menurut Jacobs et al. (2009), penduga dari koreksi spasial metode Blundell-Bond (SCBB) dapat diturunkan melalui model berikut : yit z it u it y z u it it it ....................... (2.54) atau secara ringkas dapat ditulis menjadi yBB(t) = zBB(t) + uBB(t) ......................... (2.55) dengan yBB(t) adalah vektor 2N 1. Pada model Blundell-Bond, jumlah amatan menjadi dua kali lipat, yaitu dari sebelumnya N ( T 2 ) menjadi 2N (T 2 ), sehingga akan meningkatkan efisiensi dari pendugaan. Prosedur pendugaan SCBB dapat menggunakan tiga tahap dengan mengikuti langkah-langkah yang digunakan pada pendugaan SCAB sebelumnya. Tahap pertama dari penduga spasial Blundell-Bond yang disarankan oleh Jacobs et al. (2009) adalah 57 z 1 z H SBB ASBB H SBB y ˆSBB z H SBB ASBB H SBB ...................... (2.56) dengan ASBB = [H'SBB HSBB]1 dan HSBB didefinisikan seperti berikut H H SBB D 0 0 H L ...................... (2.57) Pada matriks HSBB, HD berisi instrumen untuk model dengan pembeda pertama, sedangkan HL terdiri dari instrumen untuk model dalam bentuk level. Struktur dari matriks HSBB sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (2.57) secara tidak langsung memastikan tidak adanya interaksi antar variabel instrumen, sehingga antara variabel instrumen tidak dapat memengaruhi satu dengan lainnya. Matriks instrumen HD berdasarkan kondisi momen berikut E[ y'(ts) v(t)] = 0 ; E[(WN x)' v(t)] = 0 ; E[x'(t) v(t)] = 0 ........ (2.58) sementara matriks instrumen HL berdasarkan E[ y'(t) v(ts)] = 0 ; E[(WN x)' v(ts)] = 0 ; E[x'(t) v(ts) ] = 0 . (2.59) untuk t = 3, … , T dan s = 2, … , T 1. Dengan mengambil analogi dari metode SCAB, tahap kedua dan ketiga dapat dilakukan dengan prosedur pendugaan menggunakan uˆ y z SBB dengan SBB diperoleh dari pendugaan tahap pertama dan z hanya berisi variabel pada level. 58 2.9 Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian empiris yang menjelaskan tentang keterkaitan inflasi dengan beberapa variabel lain yang memengaruhinya disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya No. Peneliti 1. Beirne (2009) 2. Benigno (2010) and Objek / Tujuan Metode dan Data Hasil Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan atau memicu terjadinya inflasi secara komprehensif pada 10 negara anggota baru dari Uni Eropa. Metode panel data dinamis dengan menggunakan data kuartalan tahun 1998 – 2007, Variabel-variabel yang diteliti adalah yang mewakili kondisi spesifik dari setiap negara dan merepresentasikan faktor global. Inflasi inersia, nilai tukar nominal efektif (NEER), defisit fiskal, belanja pemerintah, investasi (PMTB), kondisi infrastruktur dan variabel-variabel yang menggambarkan tekanan inflasi yang berasal faktor global berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di negara-negara yang diteliti. Faia Meneliti tentang bagaimana mekanisme transmisi dari globalisasi dan besarnya dampak pass-through terhadap inflasi. Metode yang digunakan adalah Seemingly Unrelated Regressions (SUR) dengan data yang digunakan adalah kuartalan tahun 1983 – 2008 untuk 5 industri manufaktur di Amerika Serikat. Derajat pass-through akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik. Lebih lanjut, tingkat ketergantungan dari perusahaan domestik yang menggunakan komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga meningkat bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan perusahaan asing. 3. Bowdler and Malik Meneliti tentang dampak Metode panel dinamis dengan unbalanced panel. keterbukaan perdagangan model (2006) Penelitian dilakukan pada 96 terhadap volatilitas inflasi. negara dengan data kuartalan tahun 1961 – 2000. Keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh negatif terhadap volatilitas inflasi. Hubungan tersebut terlihat sangat kuat pada negara-negara berkembang (developing and emerging market economies). 4. Gali and (2000) Gertler Membangun model struktural inflasi dengan mengakomodir aturan backward-looking berdasarkan kurva Phillips versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve/ NKPC). Metode GMM nonlinear dengan variabel instrumen dan marginal cost sebagai driving force variable dalam model NKPC hibrid. Model hibrid cukup robust dlm menjelaskan aturan backward-looking, sementara aturan forward-looking lebih dominan dalam menjelaskan inflasi. 5. Lemos (2004b) Meneliti tentang pengaruh dari penetepan upah minimum terhadap tingkat harga. Studi kasus yang digunakan adalah negara Amerika Serikat namum menggunakan berbagai teknik estimasi termasuk data dengan tahun yang berbedabeda. Penyesuaian upah minimum akan memberi dampak positif terhadap tingkat upah dan harga namun tidak berdampak negatif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja, namun pengaruhnya terhadap inflasi relatif kecil, berdasarkan berbagai teknik estimasi yang digunakan. 6. Wimanda (2006) Melakukan studi tentang karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional di Indonesia Metode yang digunakan adalah Granger causality; koefisien korelasi; koefisien konvergensi dan ; dan OLS Inflasi regional cenderung divergen, sementara determinan penting dalam inflasi regional adalah ekspektasi inflasi (backward looking) dan nilai tukar. 59 60 7. Lünnemann Mathä (2005) 8. Solikin (2007) 9. Solikin (2004) and Meneliti tentang derajat Disagregasi indeks (HICP). kekakuan harga dan persistensi inflasi, khususnya terkait dengan harga yang diatur dan tarif jasa untuk 15 negara Uni Eropa. Administred prices cenderung rigid ke bawah dan cukup besar dalam memengaruhi inflasi. Jika dikeluarkan dari paket penghitungan indeks harga, maka akan mengurangi terjadinya persistensi dari inflasi secara agregat. Melakukan penelitian untuk Menggunakan metode SVAR mengetahui karakteristik model dekomposisi Cholesky, dengan analisi data kuartalan tekanan inflasi di Indonesia tahun 1974 – 2002. FEVD menunjukkan bahwa guncangan pada sisi penawaran, yang merupakan agregasi dari shock dari luar negeri dan kondisi penawaran agregat, relatif lebih dominan dalam memengaruhi harga dibanding sisi permintaan. Implikasi hasil adalah kebijakan moneter masih dapat digunakan secara berhati-hati untuk memengaruhi inflasi. Meneliti tentang keberadaan Model yang digunakan adalah dari kurva Phillip dalam hybrid NKPC yg diestimasi dengan GMM, sementara perekonomian Indonesia driving force variable adalah output gap, dengan estimasi output gap berbagai metode Kurva Phillips versi NKPC memang benar eksis, dengan tradeoff antara output gap dan tingkat inflasi berubah seiring dengan terjadinya perubahan struktural di Indonesia (time dependent). Selain itu diketahui pula bahwa perilaku forward-looking berperan lebih penting dalam membentuk inflasi dibanding dengan unsur backward-looking. 10. Mehrotra et al. (2007) 11. Al-Nasser (2009) 12. Prasertnukul (2010) et et Membangun sebuah model inflasi untuk negara China dalam perspektif provinsi untuk melihat sampai sejauh mana NKPC dapat menangkap proses terjadinya inflasi pada tingkat provinsi. Baseline model adalah hybrid NKPC dengan driving force variable adalah output gap, yg diestimasi metode GMM. Kemudian untuk menjelaskan perbedaan pembentukan inflasi digunakan regresi probit. Inflasi dengan output gap sebagai driving force variable dan aturan forward-looking cukup baik dalam menjelaskan perilaku inflasi hanya provinsi-provinsi di wilayah pesisir timur saja akan tetapi tidak dapat menjelaskan perilaku inflasi di wilayah lainnya. al. Berusaha untuk membuktikan validitas dari hubungan negatif antar keterbukaan perdagangan dengan tingkat inflasi yang sebelumnya telah diteliti oleh Romer (1993). Metode yang digunakan adalah metode data panel, dengan jumlah negara yang diteliti sebanyak 152 negera untuk tahun 1950 – 1992. Pada prinsipnya hasil penelitian dari Romer masih berlaku sampai dengan tahun 1990-an dan mementahkan kritik yang menyatakan hubungan yang sebaliknya. Hasil penelitian cukup robust karena berdasarkan pembagian kelompok negara-negara menunjukkan hasil yang sama. al. Meneliti tentang dampak dari diadopsinya kerangka kerja penargetan inflasi (inflationtargeting framework/ITF) terhadap pass-through dan volatilitas nilai tukar di Indonesia, Filipina, Thailand dan Korea. Metode yang digunakan adalah OLS, SURE dan VAR untuk melihat dampak pass-through, dan untuk melihat volatilitas digunakan metode GARCH, dengan data bulanan dari Januari 1990 - Juni 2007. Secara umum, dengan diadopsinya ITF, akan menurunkan derajat exchange rate pass-through dan volatilitas inflasi. Khusus untuk Indonesia, pengaruhnya tidak terlihat signifikan. 61 62 62 2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian Berdasarkan penjelasan sebelumnya, permasalahan utama yang dalam penelitian ini yang diduga akan membentuk inflasi nasional adalah tekanan inflasi daerah dan struktur ekonomi daerah. Dalam menjelaskan kedua permasalahan utama tersebut, maka dilakukan pendekatan melalui analisis AD – AS dan pendekatan kurva Phillips versi New Keynesian (NKPC), khususnya terkait dengan pembentukan inflasi daerah. Selain itu dilakukan pula pendekatan lain melalui kondisi infrastruktur dan keterbukaan dalam perdagangan yang mewakili struktur ekonomi daerah. Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, kemudian dirinci beberapa variabel yang terkait dengan pembentukan inflasi sesuai dengan tujuan penelitian, termasuk bagaimana mekanisme transmisi dari setiap variabel yang dianalisis dalam model akan memengaruhi inflasi. Mekanisme transmisi sebagaimana diilustrasikan oleh Gambar 7 memperlihatkan bahwa hubungan langsung dari variabel-variabel yang dianalisis terhadap inflasi nasional ditunjukkan oleh panah dengan garis tidak terputus-putus ( ), sementara hubungan langsung dalam memengaruhi inflasi nasional diperlihatkan oleh panah dengan garis terputus-putus ( ). Dalam mekanisme transmisi tersebut juga dapat dilihat beberapa variabel yang sesungguhnya tidak dianalisis dalam model karena memang tidak dimasukkan sebagai tujuan pada penelitian ini. Secara eksplisit, variabelvariabel yang masuk dalam model penelitian dinyatakan dengan kotak tanpa garis terputus-putus ( ), sedangkan variabel-variabel di luar model penelitian namum terkait dengan mekanisme transmisi disimbolkan dengan kotak dengan garis terputusputus ( ). Lebih lanjut, variabel-variabel yang masuk dalam model penelitian akan dianalisis dengan regresi panel data dinamis. Gambar 7. Kerangka pemikiran penelitian. 63 Halaman ini sengaja dikosongkan III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Analisis Bab ini akan membahas metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yang terdiri dari analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis dengan metode ekonometrika menggunakan metode univariate detrending dan metode regresi data panel seperti telah disampaikan pada tinjauan teoritis dalam bab sebelumnya. Guna mendukung analisis ini, akan digunakan paket program software STATA 10.0. dan EViews 6.0. 3.1.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai dinamika inflasi regional dan beberapa variabel yang diduga terkait erat dengan inflasi, termasuk struktur ekonomi menurut provinsi. Melalui metode analisis yang pertama ini akan disajikan tabel dan gambar/grafik untuk memperlihatkan kondisi perekonomian secara umum menurut provinsi. Selain itu, digunakan pula beberapa statistik sederhana seperti rata-rata sederhana, rata-rata tertimbang, koefisien korelasi Pearson dan pengujian kausalitas granger untuk melihat keterkaitan inflasi antar provinsi di Indonesia dan keterkaitan inflasi dengan variabel lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. Melalui gambaran umum ini, diharapkan dapat menguatkan analisis ekonometrika yang akan dibahas selanjutnya, terkait dengan hipotesis yang telah disusun untuk menjawab tujuan penelitian ini. 3.1.2 Estimasi Output Potensial dengan Metode Univariate Detrending Penghitungan output potensial pada hakikatnya tidak mudah dilakukan karena output potensial sendiri merupakan unobserved component. Metode yang umum digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah pendekatan univariate. Pendekatan ini relatif lebih mudah dibanding pendekatan multivariate, karena bisa dilakukan melalui dekomposisi atau detrended dari series data tertentu. Adapun penggunaan metode univariate dalam penelitian ini mengacu pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008) yang menyatakan bahwa output potensial lebih halus dan lebih baik jika diestimasi dengan menggunakan metode detrended tradisional. 66 Metode univariate detrending yang digunakan digunakan dalam penelitian ini adalah metode Hodrick–Prescot (HP) filter dan band pass filter ala ChristianoFitzgerald. Penggunaan kedua metode ini didasari atas kesadaran bahwa output potensial sendiri merupakan unobserved component, sehingga pada praktiknya diperlukan metode penghitungan alternatif untuk melihat keterbandingan hasil estimasi output potensial. Berdasarkan hasil estimasi output potensial dengan kedua metode ini, kemudian akan diturunkan output gap yang menjadi salah satu variabel yang memengaruhi inflasi, dengan demikian akan dilihat bagaimana keterkaitan antara output gap yang dihasilkan dengan inflasi yang merupakan objek utama dalam penelitian ini. Langkah awal dalam melakukan estimasi output potensial adalah menyiapkan data dengan series yang cukup panjang, setidaknya 20 tahun, sehingga secara tidak langsung dapat mencerminkan adanya kondisi NAIRU (non-accelerating inflation rate of unemployment) atau menggambarkan tren pertumbuhan output dalam jangka panjang. Pada praktiknya, penelitian ini akan menggunakan PDB atas dasar harga konstan yang merupakan proksi dari output riil, untuk periode tahun 1983 – 2009. Pada metode HP filter, permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana memilih 1, yaitu sembarang konstanta yang mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi menjadi tren. Dalam beberapa penelitian termasuk Hodrick–Prescot (1984, dalam Enders, 2004) dan Farmer (1993, dalam Enders, 2004), ditetapkan sebesar 1.600. Menurut mereka, besarnya tersebut merupakan nilai yang cukup ideal karena umumnya akan diperoleh hasil dekomposisi yang cukup masuk akal. Sayangnya, dalam Ender (2004) tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai periode data yang digunakan, apakah data tahunan, triwulanan atau bulanan yang cukup baik untuk menggunakan nilai yang disarankan. Merujuk pada Hodrick–Prescot (1980, dalam Ladiray et al., 2003), nilai dibedakan menurut periode data, yaitu untuk data tahunan menggunakan = 100, sedangkan pada data triwulanan ditetapkan sebesar 1.600, sementara untuk data bulanan besarnya adalah 144.000. Merujuk pada penjelasan Ladiray et al. (2003) tersebut, maka nilai untuk metode HP filter dalam penelitian ini adalah 100, karena periode data yang digunakan adalah data tahunan. 67 Permasalahan selanjutnya yang dihadapi dalam metode band pass filter dari ChristianoFitzgerald adalah memilih pendekatan simetris atau pendekatan asimetris. Pendekatan simetris menetapkan peningkatan dan penurunan output potensial berada pada band tertentu, dengan besarnya lower band dan upper band dibuat sama. Sebaliknya, pada pendekatan asimetris yang dimungkinkan terjadinya peningkatan atau penurunan output tidak selalu dalam range yang sama. Sayangnya, pendekatan simetris akan menyebabkan hilangnya beberapa observasi di awal dan di akhir dari suatu set series data, sementara pada pendekatan asimetris hal tersebut tidak terjadi. Berdasarkan penjelasan tersebut, metode band pass filter yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan asimetris dari ChristianoFitzgerald agar diperoleh observasi yang utuh dari series data yang diestimasi. Adapun nilai lower band dan upper band yang ditetapkan dalam model ini masing-masing sebesar 0,8 dan 0,2. 3.1.3 Aplikasi Regresi Data Panel Pembahasan mengenai aplikasi regresi data panel dalam sub bab ini terdiri dari tiga bagian, yaitu data panel statis, data panel dinamis non spasial dan data panel spasial dinamis, dengan landasan teoritis mengenai ketiganya telah disampaikan pada bab sebelumnya. Setiap bagian akan membahas beberapa kendala yang dihadapi oleh masing-masing model dan bagaimana perlakuan yang diterapkan untuk mengatasinya. Analisis data panel umumnya menggunakan data dalam bentuk level dengan tujuan untuk memudahkan interpretasi model, namun jika kemudian penelitian menggunakan data dengan series yang yang mengandung tren, maka perlu dilakukan pengujian unit root, untuk memastikan bahwa hubungan antara variabel dependen dan variabel independen tidak menunjukkan spurious regression. Bila hasil pengujian unit root menunjukkan adanya tren pada data level, maka seperti biasanya, harus dilakukan pembedaan pertama (first differencing) untuk menghindari terjadinya hasil yang misleading. Perlu diingat bahwa karena data yang digunakan dalam penelitian adalah data panel, maka pengujian unit root yang digunakan bukan menggunakan metode yang biasa, tetapi menggunakan panel unit root. Pengujian ini disarankan oleh Baltagi (2005) untuk data panel dengan N dan T yang relatif tidak besar. 68 Hipotesis nol yang digunakan dalam pengujian panel unit root sama seperti pada pengujian unit root untuk data time series murni, hanya saja statistik uji yang digunakan merupakan pengembangan lebih lanjut dari statistik uji Augmented Dickey–Fuller (ADF) dan Phillips–Perron (PP). Statistik uji yang digunakan dalam menguji panel unit root terdiri dari dua jenis, yaitu common unit root yang terdiri dari statistik uji Levin, Lin and Chu (LLC) dan Breitung’s test; serta individual unit root yang terdiri statistik uji Im, Pesaran and Shin (IPS), ADF – Fisher test dan PP – Fisher test. Setelah diperoleh hasil pengujian yang menyatakan bahwa series dari data panel tidak mengandung unit root maka estimasi bisa dilaksanakan. 3.1.3.1 Model Data Panel Statis Estimasi dengan model regresi data panel statis dapat menggunakan data level sepanjang tidak mengandung unit root. Secara umum model estimasi dari data panel statis untuk data pada bentuk level dapat dituliskan sebagai berikut : F pit a0 a1 pi ,t 1 a j x jit it ....................... (3.1) j 1 dengan pit dan pi,t–1 menyatakan tingkat harga pada data cross section ke-i periode t, dan sebelumnya, sementara xjit adalah variabel eksogen ke-j, pada data cross section ke-i periode t, dan F + 1 menyatakan seluruh jumlah variabel penjelas termasuk variabel pi,t–1. Jika kemudian terdapat unit root pada data level, maka persamaan (3.1) harus dilakukan first differencing, sehingga akan diperoleh persamaan berikut : F pit 1 pi ,t 1 j x jit it ....................... (3.2) j 1 Metode data panel statis yang digunakan untuk mengestimasi salah satu dari persamaan (3.1) atau (3.2) adalah Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Model FEM dibatasi hanya akan menggunakan within estimator dan Pooled Least Squared (PLS), sementara pada model REM akan menggunakan GLS estimator saja. Statistik uji Hausman akan digunakan untuk membandingkan model FEM dengan model REM, sementara uji Chow digunakan untuk membandingkan FEM dengan PLS. Tujuan penggunaan kedua statistik uji ini adalah untuk mendapatkan model terbaik pada metode data panel statis. 69 3.1.3.2 Model Data Panel Dinamis Non Spasial Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa model data panel dinamis diperoleh dari data level sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (2.22) untuk tinjauan teoritis dan persamaan (3.1) atau persamaan (3.2) untuk aplikasinya. Secara umum, permasalahan utama dalam aplikasi regresi data panel dinamis adalah penentuan variabel instrumen yang akan digunakan untuk estimasi model empiris. Tahap awal dalam menentukan instrumen variabel adalah seluruh variabel penjelas (explanatory variable) selain lag dari variabel dependen diasumsikan strictly exogenous. Berdasarkan asumsi tersebut, maka matriks instrumen (Wi) pada persamaan (2.26) hanya terdiri dari sekumpulan data level untuk variabel dependen atau dalam persamaan (3.1) secara eksplisit dinyatakan oleh variabel “p”. Instrumen ini tentu saja hanya tepat digunakan untuk model FD-GMM, karena secara teoritis tidak mensyaratkan adanya intial condition sebagaimana dibutuhkan pada model SYS-GMM (Baltagi, 2005). Sedikit berbeda dengan instrumen yang digunakan pada model FD-GMM, maka untuk model SYS-GMM dibutuhkan intial condition dalam suatu sistem persamaan. Bentuk sistem persamaan dari metode ini adalah dengan menggabungkan persamaan (3.1) dan (3.2) dengan mengeliminasi intersep (a0) dari persamaan (3.1). Jika variabel penjelas lainnya masih diasumsikan strictly exogenous, maka variabel instrumennya adalah data first differencing untuk persamaan pada level dan data level untuk persamaan first difference. Di bawah sistem persamaan dari SYS-GMM, secara eksplisit, variabel instrumen untuk persamaan (3.1) adalah “pit”, sedangkan “pit” merupakan variabel instrumen untuk persamaan (3.2), dengan t = 1, 2, … , T – 2. Khusus pada model SYS-GMM, variabel instrumen dapat ditambah dengan memasukkan lag dari variabel instrumen awal, yaitu “pit-1” dan “pit-1”. Dasar penambahan variabel instrumen ini adalah adanya keterkaitan antara variabel dependen dan lag dari variabel dependen yang berada pada sisi kanan sistem persamaan. Meski dapat ditambahkan variabel instrumen, termasuk pada model FD-GMM, namun perlu dipastikan terlebih dahulu apakah variabel instrumen yang digunakan adalah valid. Pengujian validitas variabel instrumen yang digunakan adalah menggunakan statistik uji Sargan, dengan hipotesis nol 70 yang menyatakan bahwa variabel instrumen yang digunakan adalah valid. Hasil pengujian yang diharapkan adalah hipotesis nol diterima, artinya tidak ada cukup bukti untuk menolak bahwa variabel instrumen yang digunakan adalah valid. Sebaliknya, jika kemudian hipotesis nol ditolak, maka perlu ditambahkan beberapa variabel instrumen lainnya, salah satunya dengan membuat kombinasi pasangan dengan variabel penjelas lainnya yang sebelumnya diasumsikan strictly exogenous. Selanjutnya, pengujian tambahan perlu dilakukan untuk model FD-GMM, selain menggunakan uji Sargan. Pengujian tambahan dimaksud adalah dengan menggunakan statistik uji Arelano-Bond “m1” dan “m2”. Hipotesis nol dari uji Arelano-Bond adalah terjadi autokorelasi pada error, dengan hipotesis untuk “m1” menyatakan bahwa rata-rata autocovariance dari error pada ordo 1 adalah nol sedangkan hipotesis untuk “m2” adalah rata-rata autocovariance dari error pada ordo 2 adalah nol. Hasil pengujian yang diharapkan adalah hipotesis untuk “m1” ditolak, sebaliknya hipotesis untuk “m2” harus diterima. 3.1.3.3 Model Data Panel Spasial Dinamis Ide dasar dari dari model data panel spasial adalah keterkaitan antar wilayah yang kemungkinan akan berpengaruh pada hasil estimasi. Hal ini setidaknya mengikuti First Law of Geography dari Tobler yang menyatakan bahwa “everything is related to everything else, but near things are more related than distant things” (World Development Report 2009). Baik secara teoritis maupun secara empiris, keterkaitan tersebut memang tidak dapat disangkal, namun ukuran keterkaitan itu sendiri yang mungkin menjadi sumber perdebatan mengingat keterkaitan dimaksud bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang. Terkait dengan model data panel spasial dinamis, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana menentukan matriks penimbang spasial W untuk model spatial lag dan M untuk model spatial error atau untuk model gabungan dari keduanya (lihat persamaan (2.45) dan (2.46)). Kukenova dan Monteiro (2009) menggunakan dua pendekatan untuk menentukan matriks penimbang spasial W, yaitu pertama, bersandarkan pada kondisi ideal keterkaitan antar wilayah di seluruh dunia akibat perbedaan derajat penyebarannya (degree of sparseness), sebagaimana penelitian Kelejian dan Prucha (1999) dan Kapoor et al. (2007), dan 71 kedua, berdasarkan kondisi riil yang terjadi yang dinyatakan sebagai jarak riil (jarak Euclidean) antar ibukota negara/negara bagian. Penelitian Baltagi et al. (2010) tentang kurva upah di Jerman dengan model spatial error menggunakan 5 pendekatan untuk matriks penimbang spasial M, yaitu berdasarkan letak yang berdampingan antar dua wilayah (contiguity), arus ulang-alik commuter, jarak, waktu tempuh perjalanan dan berdasarkan penimbang tingkat penyerapan tenaga kerja dari dua wilayah yang berdampingan (employment weighted contiguity). Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada intinya pendekatan untuk matrik penimbang spasial W dan M menggunakan variabel-variabel yang mewakili jarak riil dan variabel-variabel yang menyiratkan adanya spillover antar wilayah. Beberapa variabel yang digunakan untuk menangkap adanya spillover seperti dinyatakan dalam penelitian Baltagi et al. (2010) sepertinya cukup masuk akal, namun penggunaan jarak Euclidean perlu dipertanyakan, khususnya untuk kasus Indonesia yang notebenenya merupakan negara kepulauan yang masih terkendala dengan masalah infrastruktur yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya divergensi harga dan inflasi. Terkait dengan masalah tersebut, sepertinya untuk variabel jarak harus dilakukan redifinisi sehingga matrik penimbang spasial W yang nantinya terbentuk akan menggambarkan keterkaitan secara spasial yang kuat selainjuga karena akan digunakan sebagai salah satu variabel instrumen dalam estimasi model. Definisi jarak menurut World Development Report 2009 adalah sesuatu yang dapat menunjukkan mudah atau sulitnya barang, jasa, tenaga kerja, modal, informasi dan ide-ide untuk melintasi ruang, sehingga mencerminkan bagaimana kemudahan perpindahan arus modal, mobilitas tenaga kerja dan bagaimana aliran barang dan jasa bisa sampai dari satu tempat ke tempat lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, istilah jarak lebih merujuk pada konsep ekonomi dan bukan sekedar jarak secara fisik. Terkait definisi tersebut, maka untuk menangkap keterkaitan spasial yang kuat yang mewakili konsep ekonomi, pada penelitian ini digunakan matrik penimbang yang berasal dari koefisien matriks penggunaan barang domestik Inter-Regional Input Output (IRIO) Indonesia tahun 2005. 72 Koefisien matriks tersebut kemudian dilakukan ditranspose sehingga secara baris menyatakan pengaruh penggunaan input. Permasalahan lain dalam model data panel spasial dinamis adalah bagaimana membuat sistem persamaan simultan dengan beberapa instrumen tambahan agar terpenuhi kondisi momen pada persamaan (2.49) di bawah prosedur Arellano-Bond atau Blundell-Bond, sebagaimana syarat yang disarankan oleh Kukenova dan Monteiro (2009). Hal ini tentu berbeda dengan prosedur untuk metode data panel dinamis non spasial yang tidak mensyaratkan sistem persamaan simultan dan sebagainya dalam penggunaannya. Terkait dengan penggunaan metode data panel dinamis, akan digunakan prosedur Arellano-Bond terlebih dahulu. Jika hasilnya menunjukkan statistik uji m1 dan m2 dari Arellano-Bond serta uji Sargan sesuai dengan harapan dan cukup konsisten dengan teori ekonomi maka tidak perlu menggunakan prosedur Blundell-Bond. Selanjutnya, guna menanggulangi terjadinya downward biased dari estimator GMM murni, estimasi dari standar error akan mengikuti prosedur dari Windmeijer (2005) untuk menjaga robustness hasil penelitian. 3.2 Spesifikasi Model Penelitian Model empiris dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada penelitian Beirne (2009), dengan baseline model yang digunakan adalah F pit 1 pi ,t 1 j x jit it ....................... (3.3) j 1 dengan pit dan pi,t–1 adalah level harga pada provinsi ke-i periode t, dan sebelumnya, sementara xjit adalah variabel penjelas ke-j, pada provinsi ke-i periode t, dan F menyatakan jumlah variabel penjelas lainnya selain dari lag variabel dependen. Modifikasi baseline model dari penelitian Beirne (2009) diperlukan mengingat dari 18 variabel yang digunakan tersebut, 4 variabel diantaranya, yaitu harga relatif, kapitalisasi pasar modal, indeks kebebasan ekonomi dan indeks liberalisasi harga tidak tersedia pada tingkat provinsi di Indonesia. Kemudian, beberapa faktor global seperti shock harga minyak dunia dan shock harga pangan dunia dianggap sudah diwakili melalui transmisi ke variabel nilai tukar. Khusus untuk shock harga minyak dunia juga dianggap kurang relevan dengan kondisi 73 Indonesia yang menetapkan harga minyak sebagai administred prices sehingga variabel ini digantikan dengan indeks harga BBM. Kemudian untuk variabel shock yang dari suku bunga dunia juga tidak digunakan karena mekanisme transmisinya sudah terwakili oleh penyesuaian suku bunga acuan domestik yang dilakukan oleh Bank Indonesia sehingga variabel tersebut digantikan dengan suku bunga acuan domestik, sebagaimana penelitian dari Habermeier et al. (2009) yang memasukkan variabel ini sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi inflasi dan merupakan salah satu opsi kebijakan dalam mengendalikan inflasi. Selanjutnya, variabel dummy tentang kondisi suatu negara sebelum dan sesudah masuk sebagai anggota Uni Eropa; variabel dummy tentang pergantian sistem nilai tukar; dan variabel kondisi nilai tukar sebelum dan setelah pergantian sistem nilai tukar juga tidak relevan dengan kondisi Indonesia yang merupakan satu kesatuan moneter sejak pertama merdeka, sedangkan pergantian nilai tukar telah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1999, sementara cakupan analisis adalah tahun 2000 – 2009. Variabel pergantian sisitem nilai tukar kemudian, digantikan dengan variabel kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation targeting framework/ITF) dalam penelitian ini. Variabel-variabel lainnya yang juga tidak digunakan adalah PDB riil per kapita, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi riil dan persentase kredit domestik untuk sektor swasta (kredit modal usaha) terhadap PDB karena tidak sesuai dengan tujuan penelitian. Pertimbangan lainnya dengan tidak memasukkan PMTB dan kredit modal usaha adalah secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut merupakan outcome dari penyesuaian suku bunga acuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Baseline model dari penelitian Beirne (2009) memperlihatkan variabel pengangguran yang secara tidak langsung menandakan bahwa model yang dibangun sesungguhnya menggunakan pendekatan kurva Phillips dengan perluasan dan berdasarkan relasinya terhadap tingkat pengangguran. Pendekatan kurva Phillips klasik ini digantikan dengan pendekatan NKPC sesuai landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini, dengan demikian, variabel tingkat pengangguran digantikan dengan output gap sebagai driving force variable. Alasan penggantian pendekatan kurva Phillips tersebut adalah building block dari mikro ekonomi untuk pendekatan klasik masih perlu dipertanyakan. Sebaliknya, 74 pendekatan New Keynesian diturunkan dari landasan mikro ekonomi yang kuat, yaitu konsumen memaksimumkan utilitasnya dan perusahaan memaksimumkan keuntungannya terkait dengan kendal masing-masing dalam kerangka ekulibrium harga yang fleksibel atau staggered price setting (Gali, 2002). Konsekuensi dari penggunaan pendekatan NKPC adalah memasukkan variabel ekspektasi inflasi yang cenderung merupakan unobservable component. Guna menanggulangi masalah tersebut, Solikin (2004); Mehrotra et al. (2007); Gali dan Gertler (2000); dan Gali et al. ((2001);(2005)) melakukan estimasi dengan beberapa variabel instrumen diantaranya nilai tukar, suku bunga dan output gap. Konsekuensi dengan membuat variabel ekspektasi inflasi sebagai variabel endogen di bawah model regresi panel dinamis, akan menyebabkan proses estimasi menjadi tidak efisien, karena harus ada variabel instrumen tambahan lainnya. Merujuk pada penelitian Solikin dan Sugema (2004) yang menyatakan bahwa ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh administered prices, harga sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga, harga periode sebelumnya, dan gaji PNS, maka variabel ekspektasi inflasi digantikan dengan faktor-faktor yang memengaruhinya kecuali harga sembako dan variabel-variabel tersebut dimasukkan ke dalam model. Pembahasan mengenai inflasi sendiri tentu menjadi kurang lengkap tanpa memasukkan variabel moneter jumlah uang beredar (M1), karena setidaknya Friedman menyatakan bahwa inflasi merupakan suatu fenomena moneter. Secara empiris, M1 dianggap sebagai determinan inflasi merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Kwon et al. (2009). Selain perbedaan yang telah disampaikan sebelumnya, dibanding penelitian Wimanda (2006), pendekatan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data panel dengan memasukkan beberapa variabel yang mewakili kebijakan moneter, kebijakan pemerintah pusat dan daerah, sementara penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan parsial, dengan analisis difokuskan pada variabel-variabel yang terkait dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Berdasarkan uraian tersebut, maka model umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 75 Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + j j xj.it dengan : P ........ (3.4) : perubahan harga (inflasi) OG : output gap IR : perubahan suku bunga riil M1 : perubahan jumlah uang beredar riil XR : perubahan nilai tukar nominal efektif BM : perubahan indeks harga BBM W2 : kenaikan gaji PNS golongan terendah G : perubahan belanja pemerintah daerah xj.it : perubahan dari variabel penjelas lainnya subskrip (it) atau (i,t1) menandakan kondisi pada provinsi ke-i dan tahun ke-t atau tahun sebelumnya. Variabel harga (P), output gap (OG), nilai tukar nominal efektif (XR), jumlah uang beredar riil (M1), belanja pemerintah (G), indeks harga BBM (BM ), dan gaji PNS (W2) dinyatakan dalam bentuk logaritma natural, sementara untuk variabel suku bunga riil (IR) dinyatakan dalam bentuk persentase. Perlu dicatat di sini, model umum pada persamaan (3.4) adalah dalam bentuk first differencing, dengan demikian jika menggunakan data level, tanda delta () harus dihilangkan. Selanjutnya, model umum seperti dapat dilihat pada persamaan (3.4) memunculkan lag inflasi sebagai variabel penjelas sehingga model yang dikonstruksi merupakan model dinamis. Filosofi dari model dinamis ini merujuk pada kurva Phillips versi New Keynesian (NKPC) dengan memasukkan unsur ekspektasi inflasi dalam konstruksi model inflasi tersebut. Perdebatan muncul berkenaan dengan ekspektasi inflasi apakah merupakan perilaku forward looking atau cenderung bersifat backward looking. Terkait dengan perdebatan tersebut, penelitian Wimanda et al. (2011) menunjukkan bahwa perilaku backward looking lebih penting dibanding fenomena forward looking untuk kasus Indonesia. Berdasarkan kajian empiris ini, dikonstruksi model dinamis dengan memasukkan lag inflasi sebagai variabel penjelas seperti dapat dilihat pada persamaan (3.4). Berdasarkan model umum pada persamaan (3.4) tersebut, kemudian dikembangkan dua persamaan, yaitu model data panel dinamis non spasial dan 76 data panel spasial dinamis untuk menangkap dampak spasial dari keterkaitan antar provinsi terhadap inflasi. Pada metode non spasial, upaya untuk menangkap respon inflasi terhadap perubahan infrastruktur dilihat melalui interaksinya dengan penyesuaian UMP yang mencerminkan mekanisme perubahan harga yang terjadi melalui pasar tenaga kerja dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan yang mewakili mekanisme harga melalui jalur perdagangan. Interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP yang dimasukkan dalam formulasi ini juga merupakan upaya untuk menangkap dampak spillover dari perubahan kondisi infrastruktur terhadap pasar tenaga kerja secara spasial yang kemudian berujung pada perubahan harga. Sedikit berbeda dengan model non spasial, pada metode spasial yang menggunakan matrik penimbang spasial ditambah beberapa instrumen untuk menangkap dampak spillover antar provinsi. Konsekuensi dari formulasi tersebut adalah perubahan infrastruktur hanya dikaitkan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan saja dan untuk penyesuaian UMP tidak diinteraksikan dengan perubahan kondisi infrastruktur karena telah ditangkap sebelumnya oleh matrik penimbang spasial dan beberapa variabel instrumen yang digunakan untuk lebih menangkap dampak spasial tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka spesifikasi model empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) ... (3.5) merupakan model dasar yang digunakan untuk regresi data panel dinamis non spasial, sementara untuk model data panel spasial dinamis diturunkan spesifikasi model spatial lag berikut : Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit + 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) . (3.6) dengan : W : matrik penimbang spasial WP : pengaruh inflasi dari wilayah lainnya secara spasial W1 : penyesuaian Upah Minimun Provinsi (UMP) W1 IS : interaksi antara penyesuaian UMP dengan perubahan kondisi infrastruktur 77 OP IS : interaksi antara perubahan derajat keterbukaan perdagangan dengan perubahan kondisi infrastruktur dengan variabel Upah Minimun Provinsi (W1) dan kondisi infrastruktur (IS) dinyatakan dalam bentuk logaritma natural, sementara untuk derajat keterbukaan perdagangan (OP) dinyatakan dalam bentuk persentase. Sesuai dengan landasan teoritis dan beberapa tinjauan empiris, koefisien 1 , 2 , 4 , 5 ,6 , 7 , 8 dan 9 diharapkan bernilai positif (+), demikian pula dengan 1 , 2 , 3 , 5 , 6 , 7 , 8 , 9 dan 10 , sedangkan untuk 3 , 10 , 4 dan 11 diharapkan bernilai negatif (). Selanjutnya, merujuk pada penelitian Prasertnukul et al. (2010), dengan salah satu tujuannya untuk melihat dampak dari diterapkannya ITF, meskipun pendekatan yang digunakan bukan dengan data panel, maka variabel yang akan diteliti adalah bagaimana perilaku persistensi inflasi dan exchange rate pass through (ERPT) sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan secara penuh pada tahun 2005. Selain itu, akan dilihat juga bagaimana level inflasi sebelum dan sesudah diterapkan ITF untuk melihat apakah kebijakan tersebut berhasil secara signifikan dalam menurunkan tingkat inflasi. Guna menangkap perilaku dari ketiganya, maka digunakan variabel dummy (DIT), yang kemudian digunakan sebagai intersep dan juga dummy slope, yaitu dengan mengalikan dengan variabel inflasi inersia (Pi,t1), yang merupakan pendekatan dari persistensi inflasi; dan variabel nilai tukar atau exchange rate (XRit), sebagai proksi dari ERPT. Konsekuensi dari masuknya beberap variabel dummy ini, maka dari baseline model empiris untuk model dinamis non spasial pada persamaan (3.4) dapat diturunkan model berikut : Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) + 1 DIT + 2 Pi,t1 DIT + 3 XRit DIT ...... (3.7) sementara untuk model spasial dinamis adalah Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit + 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) + 1 DIT + 2 Pi,t1 DIT + 3 XRit DIT ...... (3.8) 78 dengan : nilai DIT = 0 untuk kondisi sebelum tahun 2005 dan nilai DIT = 1 untuk periode tahun setelahnya. Nilai koefisien yang mencerminkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan ITF diterapkan, yaitu 1 , 2 dan 3 diharapkan negatif (). Hal ini sesuai dengan tujuan dari ITF, yaitu menurunkan persistensi inflasi dan menurunkan ERPT, di samping juga untuk melihat dampak kebijakan terhadap penurunan tingkat inflasi. Berkenaan dengan hipotesis tentang perbedaan kondisi infrastruktur secara simultan dengan trade openness akan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi antara Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI, maka pada penelitian ini akan difokuskan untuk melihat apakah perbedaan tersebut signifikan. Guna menangkap perbedaan tersebut, seperti pada persamaan (3.7) dan (3.8), akan digunakan variabel dummy slope yang menyatakan perbedaan kawasan. Spesifikasi model empiris yang digunakan untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur antara Jawa dengan luar Jawa adalah sebagai berikut : Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) + 1 (OPit ISit ) DJW ...... (3.9) Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit + 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) + 1 (OPit ISit ) DJW ...... (3.10) dengan : nilai DJW = 0 untuk luar Jawa dan nilai DJW = 1 untuk Jawa sementara spesifikasi model empiris untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur antara KBI dengan KTI adalah sebagai berikut : Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) + 2 (OPit ISit ) DKTI ...... (3.11) Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit + 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) + 2 (OPit ISit ) DKTI ...... (3.12) 79 dengan : nilai DKTI = 0 untuk KBI dan nilai DKBI = 1 untuk KTI nilai dari 1 diharapkan positif (+) untuk dummy Pulau Jawa, sebaliknya 2 diharapkan bernilai negatif () untuk dummy KTI. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan adalah data panel tahunan dari seluruh provinsi di Indonesia, kecuali provinsi pemekaran sehingga jumlah provinsi yang dianalisis adalah 26 provinsi, masing-masing dengan rentang waktu tahun 1999 – 2009. Adapun deskripsi dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini seperti dapat dilihat pada persamaan (3.5) dan (3.6) adalah sebagai berikut : 1. Harga (P) diwakili dengan IHK ibukota provinsi sebagai proksi dari tingkat harga pada level provinsi dan dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Dasar penggunaan proksi ini adalah ibukota provinsi sebagai pusat pertumbuhan yang akan memengaruhi daerah lainnya di luar ibukota provinsi. 2. Output aktual (Y) diproksi dengan PDRB atas dasar harga konstan (adhk). Output potensial (YPOT) merupakan estimasi dari PDRB adhk dengan metode detrending. Output gap (OG) selanjutnya diturunkan dengan menghitung deviasi antara output aktual terhadap output potensialnya. (OG = ln Y – ln YPOT). Terkait dengan proses estimasi output potensial, data PDRB adhk yang digunakan adalah periode tahun 1983 – 2009, sementara untuk analisis hanya menggunakan tahun 2000 – 2009. 3. Proksi dari nilai tukar (KURS) yang digunakan adalah kurs rupiah per dolar AS, sementara dari nilai tukar nominal efektif (XR) dihitung dengan membagi kurs dengan tingkat harga atau dalam bentuk logaritma natural XR = ln KURS – P. 4. Proksi dari suku bunga nominal adalah suku bunga acuan dari BI (BI rate), sementara suku bunga riil (IR) dihitung dengan persamaan Fisher, yaitu suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi yang diharapkan (Mankiw, 2007). Tingkat inflasi (e) yang diharapkan diproksi inflasi IHK periode sebelumnya. 80 5. Jumlah uang beredar (JUB) yang digunakan adalah jumlah uang beredar dalam arti sempit. Jumlah uang beredar riil (M1) diproksi dengan membagi besarnya jumlah uang beredar dalam arti sempit dengan tingkat harga. Dalam bentuk logaritma natural M1 = ln JUB – P. 6. Pengeluaran belanja pemerintah daerah secara nominal (GEXP) dihitung dengan menjumlahkan seluruh belanja pemerintah daerah untuk barang dan jasa pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam satu provinsi, sementara belanja riil (G) diperoleh dengan membagi belanja nominal dengan tingkat harga. Dalam bentuk logaritma natural G = ln GEXP – P. 7. Indeks Harga BBM (BM) merupakan proksi dari administred prices yang dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Indeks harga ini dikonstruksi dari perkembangan harga bensin premium, harga solar dan harga minyak tanah berdasarkan nilai konsumsi masing-masing dan tidak diterbitkan secara resmi oleh BPS. 8. Upah minimum nominal diproksi dengan dua variabel, yaitu besarnya gaji PNS terendah (GPNS) dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Upah minimum riil untuk sektor swasta (W1) dan pemerintah (W2) masing-masing dihitung dengan membagi upah minimum nominal dengan tingkat harga, atau dalam bentuk logaritma natural W1 = ln UMP – P dan W2 = ln GPNS – P. 9. Kondisi infrastruktur (IS) diwakili oleh infrastruktur jalan raya, dengan diproksi dengan panjang jalan raya dengan kondisi baik (km) dibagi dengan luas wilayah (km2) dan kemudian dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Proksi ini mengacu pada pendekatan yang telah banyak diterapkan dalam beberapa penelitian, termasuk oleh Asian Development Bank (ADB). 10. Derajat keterbukaan perdagangan (trade openness) diproksi dengan membagi nilai total trade (nilai ekspor ditambah impor) dengan total output. Nilai ekspor dan impor dimaksud diambil dari data PDRB menurut penggunaan, sementara total output menggunakan PDRB total, keduanya pada tingkat provinsi dan dinyatakan merupakan PDRB nominal atau PDRB atas dasar harga berlaku (adhb). Secara umum, sumber data dan data dasar yang akan digunakan dalam analisis dirangkum dalam tabel berikut : 81 Tabel 5. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis No. Variabel Keterangan Sumber 1. IHK rebasing : tahun dasar 2000 BPS : diolah 2. PDRB adhk rebasing : tahun dasar 2000 (jutaan rupiah) BPS : diolah 3. KURS Rupiah per dolar AS BI 4. Suku bunga BI rate (%) BI 5. Jumlah uang beredar Jumlah uang beredar dalam arti sempit/M1 *) BI 6. Indeks Harga BBM rebasing : tahun dasar 2000 BPS : diolah 7. Upah Minimum Provinsi (UMP) Dalam rupiah Kemenakertrans 8. Gaji PNS terendah Dalam rupiah Kemenkeu Panjang jalan raya dengan kondisi baik (km) BPS 9. Panjang jalan 2 10. Luas wilayah Dalam km BPS 11. Ekspor Nilai ekspor dari PDRB menurut penggunaan atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah) BPS 12. Impor Nilai impor dari PDRB menurut penggunaan atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah) BPS 13. PDRB adhb PDRB atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah) BPS 14. IRIO 2005 Digunakan sebagai matriks penimbang spasial model spatial lag (W) Bappenas & BPS : diolah Keterangan : *) jumlah uang beredar pada level nasional Selanjutnya, mengingat keterbatasan data untuk jumlah uang beredar pada tingkat provinsi, maka dilakukan estimasi dengan metode proporsi jumlah uang beredar dalam arti sempit pada level nasional dengan alokator yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga berlaku (adhb) menurut provinsi. Estimasi ini merujuk pada teori kuantitas uang, yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar berbanding lurus dengan aktivitas perekonomian yang diproksi dengan PDRB atas dasar harga berlaku. Alasan lain dalam penggunaan indikator PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi sebagai pendekatan dari jumlah uang beredar menurut provinsi adalah korelasinya yang tinggi dengan jumlah uang beredar pada level nasional. 3.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut di atas, maka hipotesis yang diajukan untuk kondisi Indonesia adalah: 1. Inflasi inersia memberikan peran yang positif dan signifikan dalam pembentukan inflasi. 82 2. Kesenjangan output (output gap) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan inflasi. 3. Perbaikan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan peningkatan derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 4. Perbedaan laju peningkatan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi yang signifikan antara Jawa dengan luar Jawa dan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). 5. Pergerakan nilai tukar dolar AS memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi . 6. Pengaruh penetapan upah minimum provinsi (UMP) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas inflasi. 7. Peningkatan belanja pemerintah daerah memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 8. Penyesuaian harga BBM yang memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi . 9. Penyesuaian gaji PNS yang dilakukan memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi . 10. Penyesuaian suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 11. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 12. Penargetan inflasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi dan exchange rate pass through (ERPT). IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Dinamika Inflasi Regional Sepanjang tahun 2000 – 2009, terlihat tingkat inflasi Indonesia pada tingkat nasional selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78% terjadi pada tahun 2009 saat harga BBM diturunkan oleh pemerintah dan tertinggi, yaitu mencapai 17,11% ketika dilakukan penyesuaian harga BBM tahun 2005 (Gambar 1.1). Tidak berbeda dengan kondisi inflasi tingkat nasional, pada tataran provinsi juga terjadi inflasi yang selalu bernilai positif dalam kurun waktu yang sama di seluruh provinsi Indonesia. Selama periode tahun 2000 – 2009, tercatat inflasi tertinggi terjadi di NAD, yaitu sebesar 41,12% pada tahun 2005 dan terendah terjadi di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2003 dengan inflasi sebesar 0,69% (Gambar 8). Khusus untuk NAD, demikian tingginya inflasi di provinsi ini dibanding provinsi lainnya pada tahun 2005 terkait erat dengan kondisi pasca bencana tsunami yang menyebabkan rusaknya sebagian infrastruktur di provinsi tersebut, ditambah dengan adanya penyesuaian harga BBM bersubsidi yang naik melebihi 80%. Secara umum, jika dibandingkan dengan rata-rata inflasi untuk setiap provinsi sebagaimana ditunjukkan oleh garis berwarna merah pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa inflasi pada tahun 2005 dan 2008 untuk semua provinsi di Indonesia melebihi rata-rata inflasi tahun 2000–2009. Selain kedua tahun tersebut, inflasi pada tahun 2001 juga hampir menyebabkan tingkat inflasi di hampir semua provinsi lebih tinggi dibanding rata-rata inflasi dalam sepuluh tahun terakhir, kecuali untuk provinsi Kalimantan Selatan. Kondisi yang hampir menyerupai tahun 2001 adalah inflasi tahun 2002, dapat dilihat, kecuali lima provinsi, yaitu NAD, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTB, tingkat inflasi pada setiap provinsi melebihi rata-rata inflasi tahun 2000 – 2009. Lebih lanjut, tingkat inflasi yang lebih tinggi dari tingkat rata-ratanya juga terjadi setidaknya di lebih dari separuh provinsi di Indonesia pada tahun 2000. Visualisasi dari kondisi inflasi di setiap provinsi untuk tahun 2000 – 2009 secara rinci dapat dilihat pada Gambar 8. 84 SUMBAR 30 15 10 5 0 5 0 5 25 20 25 20 15 15 15 10 5 0 10 5 10 5 0 15 10 Inflasi (%) 2008 2004 2006 2008 2006 2004 2002 2008 2008 2008 2006 2004 2008 2006 2004 2002 2000 2008 2006 2002 2000 2008 2006 2004 2002 2002 2004 2006 2008 2006 2008 2004 2002 2000 2008 2006 2004 2002 MALUKU PAPUA 30 25 20 15 10 2004 2008 2006 2004 2002 5 0 2002 2008 2000 2006 2006 2002 2004 2004 2002 2000 2000 2000 2000 2006 2008 2008 2006 5 0 30 25 20 15 10 2006 2004 2002 SULTRA 30 25 20 15 10 5 0 2000 2008 2004 2002 NTT 30 25 20 15 10 5 0 2006 2002 2000 2004 NTB 30 25 20 15 10 5 0 2000 2008 2006 2004 2002 2000 5 0 KALTIM 30 25 20 15 10 5 0 SULSEL 30 25 20 15 10 5 0 BALI 30 25 20 15 10 5 0 KALSEL 30 25 20 15 10 5 0 SULTENG 30 25 20 15 10 2000 2008 2008 2008 2006 2002 2004 2004 2002 2000 2008 2006 2004 2002 2000 KALTENG 30 25 20 15 10 5 0 SULUT 30 25 20 15 10 5 0 2000 2008 2006 2004 2002 2000 KALBAR 30 25 20 15 10 5 0 JATIM 30 25 20 15 10 5 0 10 5 0 5 0 JABAR 2000 20 15 10 2006 DIY 30 25 20 15 5 0 30 25 20 15 10 5 0 2006 2002 2000 JATENG 2004 DKI 30 25 20 15 10 5 0 30 25 2004 2002 2000 2008 2006 2004 2002 2000 0 LAMPUNG 30 25 20 2002 2000 2008 2006 2004 2002 BENGKULU 30 25 20 2000 SUMSEL 0 2000 2000 2008 15 10 2006 15 10 2004 25 20 2002 25 20 30 RIAU 30 25 20 2008 JAMBI 30 SUMUT 30 2006 2002 2000 2004 NAD 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Rata-rata Inflasi (%) Sumber : BPS (diolah) Gambar 8. Inflasi Indonesia menurut provinsi tahun 2000 – 2009. 85 Terkait dengan kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation targeting framework/ITF) yang diterapkan oleh BI secara penuh sejak tahun 2005, maka dari masing-masing provinsi dapat dilihat bagaimana perilaku inflasi sebelum dan sesudah kebijakan yang mengacu pada Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tersebut dilaksanakan, dibandingkan dengan rata-rata inflasi selama tahun 2000 – 2009. Tujuan dari ulasan ini adalah untuk melihat secara sekilas, sampai sejauh mana hasil penerapan kebijakan ITF di Indonesia, yaitu dengan melihat membandingkan jumlah tahun dengan tingkat inflasi di atas rata-rata inflasi tahun 2000 – 2009 untuk masing-masing periode tahun 2000 – 2004 dan periode tahun 2005 - 2009, di setiap provinsi sebagaimana diperlihatkan disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa jumlah tahun dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi, lebih sedikit untuk periode setelah pelaksanaan kebijakan ITF dibanding sebelumnya terjadi di 11 provinsi, yaitu Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua. Sementara untuk jumlah tahun dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi sama untuk periode tahun 2005 – 2009 dibanding periode tahun 2000 – 2004, juga tercatat sebanyak 11 provinsi, terdiri dari Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTT. Lebih lanjut, untuk jumlah tahun dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi, tercatat lebih banyak dibandingkan periode sebelum diterapkannya kebijakan penargetan inflasi dialami oleh 4 provinsi, diantaranya NAD, DIY, Kalimantan Selatan dan NTB. Merujuk dari hasil pengamatan, kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan tingkat inflasi tersebut terlihat cukup efektif pada 11 provinsi, namun tidak memberikan manfaat di 4 provinsi karena tingkat inflasi setelah kebijakan ITF diterapkan tidak lebih baik dibanding kondisi sebelumnya, sedang pada 11 provinsi lainnya tidak berbeda. Berdasarkan ulasan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa dampak setelah diterapkannya kebijakan ITF di Indonesia belum cukup berhasil dibanding periode sebelumnya. 86 Tabel 6. Inflasi menurut pulau dan kelompok pulau tahun 2000 - 2009 Pulau / Kelompok Pulau 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1. Jawa 9.27 12.69 10.78 5.58 6.45 16.23 6.72 6.35 11.09 2.36 2. Luar Jawa 3.19 II. Kelompok Pulau 9.23 12.80 10.62 4.78 6.65 18.28 7.44 7.88 12.61 a. Sumatra 9.13 13.32 10.78 4.85 6.86 23.33 7.64 7.53 12.82 2.85 b. Kalimantan 9.06 10.63 9.28 6.44 6.58 14.06 7.78 8.39 12.48 3.20 c. Sulawesi 10.11 14.14 11.87 3.03 6.46 17.93 7.94 7.92 12.58 3.57 d. Lainnya 8.85 12.69 10.45 4.84 6.54 14.63 6.49 8.00 12.42 3.39 II. Wilayah Pembangunan 1. KBI 9.20 12.43 10.55 5.40 6.62 18.40 7.20 7.26 12.13 2.83 2. KTI 9.48 13.99 11.22 3.77 6.65 16.97 7.63 8.16 12.73 3.33 Sumber : BPS (diolah) Selanjutnya, dari Tabel 6 dapat dilihat tingkat inflasi antar pulau atau kelompok pulau yang diperoleh dari metode rata-rata tertimbang untuk inflasi dari setiap tahunnya untuk melihat dinamika inflasi di Indonesia menurut pembagian wilayah. Hasil rata-rata tertimbang pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2000 – 2009, inflasi di Jawa cenderung lebih rendah dibanding inflasi di luar Jawa. Sementara jika dirinci menurut pembagian wilayah pembangunan, yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dapat dilihat pula bahwa inflasi untuk wilayah KBI cenderung lebih rendah dari KTI, kecuali untuk tahun 2003 dan 2005. Lebih tingginya inflasi KBI dibanding KTI pada tahun 2005 erat kaitannya dengan kondisi pasca bencana tsunami di NAD yang menyebabkan inflasi mencapai 41,12% pada tahun 2005, sementara pada tahun 2003 terkait erat dengan inflasi di Sulawesi Utara yang demikian rendah, yaitu hanya 0,69%, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya. Masih dari Tabel 6, jika dirinci menurut lima pulau/kelompok pulau besar, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan kelompok pulau lainnya, dapat dilihat bahwa dalam kurun 10 tahun penelitian ini, Pulau Jawa sempat mengalami tingkat inflasi terendah dibanding pulau-pulau lainnya, yaitu pada tahun 2004 dan tahun 2007 – 2009. Demikian pula untuk Kalimantan, Sulawesi dan kelompok pulau lainnya sempat mengalami tingkat inflasi terendah dibanding pulau-pulau lainnya pada 1 atau 2 tahun untuk tahun 2000 – 2003 dan tahun 2005 – 2006, sementara untuk Pulau Sumatera tidak pernah mengalami inflasi terendah dibanding pulau-pulau lainnya. Jabar Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Papua 0,89 0,83 0,87 0,77 0,78 0,74 0,80 0,62 0,71 0,73 0,77 0,71 0,81 0,83 0,55 0,84 0,86 0,84 0,53 0,91 0,91 0,88 0,93 0,90 0,88 0,85 0,81 0,77 0,70 0,72 0,81 0,87 0,86 0,81 0,70 0,92 0,89 0,91 0,68 0,90 0,89 1,00 0,86 0,91 0,93 0,98 0,96 0,94 0,93 0,87 0,86 0,83 0,91 0,79 0,88 0,89 0,80 0,73 0,93 0,94 0,73 0,85 0,91 0,86 0,78 0,77 0,88 0,86 1,00 0,83 0,92 0,80 0,86 0,96 0,96 0,93 0,85 0,96 0,89 0,89 0,70 0,85 0,88 0,90 0,90 0,82 0,88 0,85 0,91 0,91 0,84 0,80 0,81 0,91 0,83 1,00 0,91 0,86 0,84 0,87 0,88 0,87 0,94 0,82 0,83 0,80 0,91 0,78 0,87 0,79 0,89 0,91 0,77 0,78 0,93 0,84 0,81 0,86 0,95 0,93 0,92 0,91 1,00 0,91 0,93 0,94 0,93 0,95 0,95 0,91 0,89 0,91 0,83 0,80 0,86 0,90 0,95 0,89 0,82 0,94 0,94 0,93 0,87 0,92 0,91 0,98 0,80 0,86 0,91 1,00 0,98 0,91 0,91 0,86 0,82 0,80 0,88 0,72 0,80 0,84 0,77 0,73 0,90 0,92 0,71 0,86 0,87 0,87 0,69 0,89 0,91 0,96 0,86 0,84 0,93 0,98 1,00 0,95 0,92 0,91 0,82 0,88 0,93 0,80 0,76 0,88 0,81 0,81 0,94 0,93 0,80 0,91 0,89 0,94 0,75 DKI Jabar Jateng DIY Jatim 0,83 0,88 0,94 0,96 0,87 0,94 0,91 0,95 1,00 0,95 0,93 0,86 0,95 0,96 0,89 0,80 0,93 0,85 0,85 0,95 0,91 0,85 0,87 0,93 0,93 0,85 0,87 0,93 0,93 0,96 0,88 0,93 0,91 0,92 0,95 1,00 0,94 0,86 0,89 0,87 0,79 0,74 0,85 0,87 0,84 0,89 0,85 0,84 0,84 0,90 0,90 0,77 0,77 0,90 0,87 0,93 0,87 0,95 0,86 0,91 0,93 0,94 1,00 0,92 0,91 0,86 0,86 0,71 0,81 0,90 0,93 0,88 0,81 0,92 0,87 0,87 0,94 0,85 0,78 0,88 0,86 0,85 0,94 0,95 0,82 0,82 0,86 0,86 0,92 1,00 0,85 0,78 0,88 0,87 0,71 0,84 0,89 0,87 0,82 0,77 0,83 0,90 0,86 0,86 0,74 0,85 0,83 0,96 0,82 0,91 0,80 0,88 0,95 0,89 0,91 0,85 1,00 0,92 0,92 0,70 0,85 0,86 0,94 0,94 0,87 0,88 0,87 0,94 0,96 0,83 Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim 0,80 0,81 0,91 0,89 0,83 0,89 0,88 0,93 0,96 0,87 0,86 0,78 0,92 1,00 0,86 0,76 0,96 0,86 0,78 0,94 0,93 0,83 0,88 0,91 0,92 0,82 0,62 0,77 0,79 0,89 0,80 0,91 0,72 0,80 0,89 0,79 0,86 0,88 0,92 0,86 1,00 0,79 0,78 0,76 0,86 0,91 0,81 0,82 0,86 0,87 0,84 0,96 0,71 0,70 0,88 0,70 0,91 0,83 0,80 0,76 0,80 0,74 0,71 0,87 0,70 0,76 0,79 1,00 0,73 0,63 0,60 0,83 0,85 0,56 0,67 0,82 0,67 0,81 0,73 0,72 0,89 0,85 0,78 0,80 0,84 0,88 0,93 0,85 0,81 0,71 0,85 0,96 0,78 0,73 1,00 0,81 0,68 0,85 0,85 0,79 0,74 0,82 0,84 0,78 Sulut Sulteng Sulsel Sultra 0,77 0,81 0,80 0,88 0,87 0,86 0,77 0,81 0,85 0,87 0,90 0,84 0,86 0,86 0,76 0,63 0,81 1,00 0,86 0,82 0,80 0,87 0,81 0,88 0,91 0,74 0,71 0,87 0,73 0,90 0,79 0,90 0,73 0,81 0,85 0,84 0,93 0,89 0,94 0,78 0,86 0,60 0,68 0,86 1,00 0,85 0,75 0,86 0,85 0,88 0,94 0,76 0,81 0,86 0,93 0,90 0,89 0,95 0,90 0,94 0,95 0,89 0,88 0,87 0,94 0,94 0,91 0,83 0,85 0,82 0,85 1,00 0,97 0,82 0,91 0,96 0,93 0,84 0,83 0,81 0,94 0,82 0,91 0,89 0,92 0,93 0,91 0,85 0,81 0,82 0,87 0,93 0,81 0,85 0,85 0,80 0,75 0,97 1,00 0,75 0,85 0,95 0,88 0,75 Bali NTB NTT Maluku Papua 0,55 0,70 0,73 0,88 0,77 0,82 0,71 0,80 0,85 0,84 0,92 0,77 0,88 0,83 0,82 0,56 0,79 0,87 0,86 0,82 0,75 1,00 0,76 0,77 0,87 0,84 0,84 0,92 0,85 0,85 0,78 0,94 0,86 0,91 0,87 0,84 0,87 0,83 0,87 0,88 0,86 0,67 0,74 0,81 0,85 0,91 0,85 0,76 1,00 0,88 0,91 0,77 0,86 0,89 0,91 0,91 0,93 0,94 0,87 0,89 0,93 0,90 0,87 0,90 0,94 0,91 0,87 0,82 0,82 0,88 0,88 0,96 0,95 0,77 0,88 1,00 0,93 0,77 0,84 0,91 0,86 0,91 0,84 0,93 0,87 0,94 0,93 0,90 0,94 0,86 0,96 0,92 0,84 0,67 0,84 0,91 0,94 0,93 0,88 0,87 0,91 0,93 1,00 0,75 0,53 0,68 0,78 0,84 0,81 0,87 0,69 0,75 0,85 0,77 0,85 0,86 0,83 0,82 0,96 0,81 0,78 0,74 0,76 0,84 0,75 0,84 0,77 0,77 0,75 1,00 Sulteng DKI 0,92 0,95 Sulut Lampung 0,86 0,81 Kaltim Bengkulu 0,80 0,88 Kalsel Sumsel 0,77 0,89 Kalteng Jambi 0,90 1,00 Kalbar Riau 0,94 0,94 Jatim Sumbar 1,00 DIY Sumut NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Provinsi Jateng NAD Tabel 7. Korelasi inflasi antar provinsi tahun 2000 – 2009 Sumber : BPS (diolah) 87 88 Sangat disadari bahwa dalam tataran provinsi, pergerakan barang dapat dengan leluasa melewati batas administrasi tanpa harus melewati proses kepabeanan yang cukup rumit layaknya kegiatan ekspor – impor antar negara. Oleh karena itu sangat dimungkinkan terjadinya proses saling memengaruhi harga antar provinsi, dimana suatu provinsi dapat berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dalam proses tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada tingkat inflasi pada setiap provinsi sehingga inflasi yang terjadi di suatu provinsi sangat mungkin dipengaruhi oleh inflasi dari provinsi lain dan sebaliknya, bisa juga memengaruhi inflasi di provinsi lainnya. Perlu difahami bahwa pengaruh inflasi suatu provinsi ke provinsi lain dan sebaliknya belum tentu simentris mengingat adanya perbedaan struktur ekonomi antar provinsi. Tabel 7 memperlihatkan bagaimana keterkaitan antar inflasi dari seluruh provinsi di Indonesia untuk tahun 2000 – 2009, yang dihitung dengan koefisien korelasi Pearson. Berdasarkan tabel tersebut provinsi-provinsi dalam Pulau Jawa menunjukkan keterkaitan inflasi antar provinsi yang sangat kuat, karena setidaknya koefisien korelasi mencapai 0,85; sementara pulau atau kelompok pulau lainnya dapat dilihat pula keterkaitan inflasi yang cukup kuat hingga sangat kuat untuk pulau atau kelompok pulau lainnya, dengan koefisien korelasi minimal sebesar 0,73. Kemudian, tanpa melihat kelompok pulau, dapat dilihat bahwa inflasi dari DKI Jakarta dan Sumatera Selatan memiliki keterkaitan yang kuat dengan inflasi provinsi lainnya, terbukti dari koefisien korelasi minimal dari kedua provinsi tersebut yang mencapai 0,80. Secara umum, keterkaitan inflasi antar provinsi pada hampir seluruh provinsi lainnya selain DKI Jakarta dan Sumatera Selatan cukup kuat atau bahkan sangat kuat, dengan ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tidak kurang dari 0,60; kecuali antara NAD dengan Bali dan Papua serta antara Bali dengan Kalimantan Selatan yang menunjukkan keterkaitan yang kurang kuat karena koefisien korelasinya kurang dari 0,60. Berdasarkan ulasan ini, secara implisit keterkaitan inflasi antar provinsi menyatakan bahwa inflasi yang terjadi di suatu provinsi tidak hanya disebabkan oleh perubahan harga di provinsi bersangkutan tetapi juga terkait dengan perubahan harga dari provinsi lainnya dan demikian pula berlaku kondisi sebaliknya. 89 4.2 Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar Pihak otoritas moneter bisa menggunakan beberapa instrumen kebijakan moneter demi mencapai tujuan yang diinginkan seperti memacu pertumbuhan ekonomi, mengendalikan harga atau tingkat inflasi maupun melakukan stabilisasi nilai tukar. Beberapa instrumen yang bisa digunakan diantaranya adalah penetapan suku bunga acuan, pengendalian jumlah uang beredar, baik secara langsung melalui penambahan atau pengurangan monetary base atau secara tidak langsung dengan menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM). Disamping itu, beberapa kebijakan moneter lainnya yang bersifat persuasif juga dibuat sebagai alternatif dari beberapa instrumen yang telah umum dilaksanakan. 600 17 500 14 400 11 300 8 200 5 100 Jan-03 Apr-03 Jul-03 Oct-03 Jan-04 Apr-04 Jul-04 Oct-04 Jan-05 Apr-05 Jul-05 Oct-05 Jan-06 Apr-06 Jul-06 Oct-06 Jan-07 Apr-07 Jul-07 Oct-07 Jan-08 Apr-08 Jul-08 Oct-08 Jan-09 Apr-09 Jul-09 Oct-09 (%) 20 ORI Deposito Investasi BI Rate M1 (triliun rupiah) : sumbu kanan Sumber : Bank Indonesia Gambar 9. Perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar (M1) tahun 2003 – 2009. Terkait dengan kebijakan moneter di Indonesia yang notebenenya merupakan satu kesatuan sistem moneter, sub bab ini dibatasi hanya membahas mengenai suku bunga acuan (BI rate) dan jumlah uang beredar dalam arti sempit 90 (M1) dan bagaimana beberapa suku bunga lainnya di Indonesia. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk melihat sampai dimana instrumen kebijakan moneter yang dirancang oleh Bank Indonesia dapat memengaruhi perilaku dari beberapa variabel moneter lainnya, seperti suku bunga simpanan (suku bunga deposito), suku bunga pinjaman (suku bunga investasi), jumlah simpanan (tabungan) dan jumlah kredit (pinjaman) di Indonesia. Merujuk pada Gambar 9 dapat dilihat, sejak Agustus 2006 sampai Desember 2009, suku bunga acuan (BI rate) harus bersaing dengan hadirnya obligasi pemerintah yang diwakili oleh Obligasi Ritel Indonesia (ORI). Secara umum, imbal hasil yang diberikan oleh ORI dalam kurun waktu tersebut lebih besar dibanding suku bunga acuan yang ditetapkan oleh otoritas moneter kecuali pada November 2008. Tingginya imbal hasil yang diberikan oleh ORI, relatif terhadap besarnya BI rate dapat menyebabkan instrumen kebijakan moneter tidak dapat bekerja sesuai yang diharapkan sehingga dikhawatirkan target makro ekonomi yang merupakan tujuan akhir dari kebijakan moneter tidak akan tercapai. Kekhawatiran ini tentu saja cukup beralasan mengingat suku bunga deposito yang dirancang untuk menghimpun dana masyarakat dan kemudian digulirkan kembali dalam bentuk pinjaman atau kredit, selalu lebih rendah dibandingkan imbal hasil yang diberikan oleh ORI. Akibat kondisi ini, sangat dimungkinkan bila sebagian dana masyarakat tersebut kemudian dapat beralih ke obligasi pemerintah yang menawarkan keuntungan yang lebih tinggi. Adanya peralihan dana masyarakat dari deposito ke ORI dalam jangka panjang bisa menyebabkan terjadinya kekeringan likuiditas moneter dan sektor perbankan tentunya akan mengalami kesulitan dalam menarik dana masyarakat sehingga pihak perbankan akan berfikir ulang untuk bisa menyalurkan kredit, baik untuk investasi maupun untuk modal usaha. Akibatnya kekeringan likuiditas ini, sektor perbankan akan menetapkan tingkat suku bunga yang cukup tinggi untuk suku bunga pinjaman. Sangat disadari bahwa, dengan tingginya suku bunga pinjaman ini, di satu sisi dapat meredam tingkat inflasi yang tinggi, namum demikian, di sisi lain tentu saja akan membuat sektor riil akan mengalami kesulitan untuk melakukan ekspansi dan hal ini akan membuat roda perekonomian akan mengalami perlambatan. 91 Mekanisme transmisi yang secara implisit telah disampaikan sebelumnya sesungguhnya dapat dilihat dari perilaku suku bunga simpanan yang diwakili oleh suku bunga deposito dari bank umum sangat mirip dengan perilaku dari suku bunga acuan (BI rate), artinya fluktuasi dari suku bunga deposito mengikuti pergerakan dari BI rate. Secara implisit, pergerakan ini mengisyaratkan bahwa instrumen kebijakan moneter dalam bentuk penetapan BI rate cukup efektif dalam memengaruhi suku bunga deposito. Sayangnya, instrumen kebijakan moneter tersebut tidak cukup efektif dalam memengaruhi suku bunga investasi. Hal ini bisa dilihat dari besarnya margin antara suku bunga investasi dengan BI rate yang secara rata-rata mencapai 5,46% sepanjang tahun 2000 – 2009, sementara margin antara suku bunga deposito dengan suku bunga acuan BI hanya sebesar 0,58% untuk periode yang sama. Sebaliknya, margin antara suku bunga investasi dengan imbal hasil yang diberikan oleh ORI lebih rendah dibanding margin antara suku bunga investasi dengan BI rate, yaitu rata-rata sebesar 3,25%. Masih dari Gambar 9, dapat dilihat tren pertumbuhan M1 (jumlah uang beredar dalam arti sempit) yang terus meningkat sejak Januari 2003 sampai Desember 2009. Seiring dengan M1 penambahan M1, suku bunga investasi menunjukan tren penurunan yang cukup signifikan, dari sebelumnya sekitar 17% pada Januari 2003 hingga mencapai sebesar 13%-an pada akhir tahun 2009. Berbeda dengan suku bunga investasi, pengaruh dari penambahan M1 pada suku bunga deposito tidak terlalu terlihat karena pergerakan suku bunga deposito sepanjang tahun 2003 – 2009 tidak menunjukkan tren yang meningkat atau menurun. Kondisi ini tentu saja terkait erat dengan pengaruh dari suku bunga acuan dari BI yang sangat kuat terhadap suku bunga deposito sebagaimana telah disampaikan sebelumnya. Berdasarkan penjelasan ini maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa baik suku bunga acuan BI maupun M1 hanya memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap salah satu dari dua variabel moneter yang diteliti saja namun tidak pada keduanya. Konsekuensinya, baik pengaruh BI rate maupun M1 relatif kecil, khususnya terhadap seluruh variabel moneter dan bukan tidak mungkin jika pengaruh keduanya terhadap variabel makro ekonomi lainnya juga relatif kecil. 0 Simpanan 0 40 NTT 8 0 Kalsel 50 5 0 Sulsel 5 30 4 20 5 2 10 1 0 0 0 0 Maluku 6 Sultra 3 2 25 20 4 10 2 2 5 0 0 Papua 15 0 2009 2009 10 2009 20 50 2009 100 5 2008 10 2008 60 2008 30 2008 40 2007 150 2007 15 2007 90 2006 2009 2008 2007 2006 0 2006 0 2005 5 0 2005 2 2004 10 2004 25 2005 Jatim 2003 4 2003 2009 2009 2007 2008 Jabar 2008 2007 30 2004 2009 2008 2007 2006 Bengkulu 2003 2009 2008 2007 2006 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2009 2008 2007 2006 2005 0 2007 0 2004 0 2006 3 2005 15 0 2006 4 2003 30 5 2005 5 60 2005 10 2004 2009 2008 2007 2006 2005 10 20 2004 6 15 45 2004 Sulteng 2003 2009 2008 2007 6 2003 8 Sumbar 2003 6 2009 9 10 2008 15 15 2007 20 2006 200 2006 0 2005 0 2006 50 0 2005 100 200 2005 250 2005 150 400 2004 600 2004 200 2004 Kalteng 2003 800 2004 DIY 2003 2009 2008 2007 DKI 2003 2009 2008 2007 20 2003 2009 2008 2007 8 2009 4 2 Sumsel 2008 4 2006 40 2007 6 2006 40 2006 10 20 2005 8 6 Sumut 2004 8 2004 2003 80 2003 NTB 2009 10 2009 15 2008 10 2008 Sulut 2007 12 2007 Kalbar 2006 30 2006 20 2006 1000 2006 Jateng 2005 0 2005 5 2005 10 2005 50 2005 Jambi 2004 2003 0 2004 2003 2009 2008 2007 2006 5 2004 2009 2008 2007 2005 100 2005 0 2003 2009 2008 2007 2006 10 2004 2003 2009 2008 2007 2006 2004 2003 NAD 2004 2003 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 15 2004 2003 2009 2008 2007 10 2006 20 2006 20 2005 2004 2003 120 2005 2004 2003 15 2005 2004 2003 20 2005 2004 2003 92 Riau 60 20 Lampung 15 10 Bali 0 40 Kaltim 30 20 10 0 Kredit Sumber : Bank Indonesia Gambar 10. Perkembangan jumlah simpanan dan kredit menurut provinsi tahun 2003 – 2009 (dalam triliun rupiah). 93 Selanjutnya, dari Gambar 10 dapat dilihat bagaimana pengaruh tidak langsung dari instrumen moneter seperti penetapan BI rate dan penambahan M1 terhadap jumlah simpanan (tabungan) dan jumlah kredit (pinjaman) pada seluruh provinsi di Indonesia dalam kurun tahun 2003 – 2009. Secara umum, baik jumlah simpanan maupun jumlah kredit pada setiap provinsi terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali untuk jumlah simpanan pada NAD yang sempat mengalami penurunan pada tahun 2007 dan tahun 2009 serta pada Provinsi Bengkulu pada tahun 2009, masing-masing dibanding periode sebelumnya. Secara rata-rata, pertumbuhan jumlah simpanan dari setiap provinsi berkisar antara 13% 25%, sementara pertumbuhan jumlah kredit mencapai sekitar 19% – 35%, untuk periode tahun 2003 – 2009. Tingkat pertumbuhan terendah untuk jumlah simpanan terjadi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, yaitu 13% – 15% untuk pertumbuhan simpanan, sementara untuk pertumbuhan jumlah kredit terendah, yaitu sekitar 19% – 23% terjadi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Sumatera Barat, Riau dan Bali. Diduga, pertumbuhan kredit yang cukup tinggi terkait erat dengan penurunan tingkat suku bunga investasi sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, sementara rendahnya pertumbuhan simpanan secara relatif dibanding pertumbuhan kredit berhubungan dengan tingkat suku bunga deposito yang tidak menunjukkan adanya tren meningkat. Meski pertumbuhan jumlah kredit secara relatif terhadap jumlah simpanan lebih tinggi di setiap provinsi di Indonesia dalam kurun tahun 2003 – 2009, namun secara absolut, jumlah kredit yang lebih tinggi dibanding jumlah simpanan hanya terjadi di 14 provinsi dan umumnya terjadi pada tahun 2008 atau 2009 saja. Untuk 11 provinsi lainnya, yaitu NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, DIY, Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua, secara absolut, jumlah kredit yang dicairkan tidak pernah lebih tinggi dibanding jumlah simpanan. Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa dengan penambahan jumlah uang beredar (M1), tidak serta merta diikuti nilai absolut kredit yang lebih tinggi dibanding nilai absolut simpanan untuk semua provinsi di Indonesia. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pengaruh M1 terhadap perilaku masyarakat Indonesia dalam menabung maupun meminjam uang di sektor perbankan tidak terlihat signifikan. 94 4.3 Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan BI Tujuan kerangka kerja penargetan inflasi adalah disamping melakukan stabilisasi harga guna menurunkan tingkat inflasi juga melakukan stabilisasi nilai tukar, dalam hal ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (US$). Upaya tersebut dilakukan melalui penetapan suku bunga acuan (BI rate) sebagai respon dari kondisi perekonomian secara umum dengan harapan target inflasi yang telah diumumkan sebelumnya dapat tercapai. Pada sub bab berikut, akan dilihat bagaimana perilaku nilai tukar dan BI rate serta kemungkinan interaksi antara keduanya dalam kurun tahun 2000 – 2009. Hal ini untuk menilai secara sekilas 18 13000 16 12000 14 11000 12 10000 10 9000 8 8000 6 7000 Jan-00 Apr-00 Jul-00 Oct-00 Jan-01 Apr-01 Jul-01 Oct-01 Jan-02 Apr-02 Jul-02 Oct-02 Jan-03 Apr-03 Jul-03 Oct-03 Jan-04 Apr-04 Jul-04 Oct-04 Jan-05 Apr-05 Jul-05 Oct-05 Jan-06 Apr-06 Jul-06 Oct-06 Jan-07 Apr-07 Jul-07 Oct-07 Jan-08 Apr-08 Jul-08 Oct-08 Jan-09 Apr-09 Jul-09 Oct-09 (%) seberapa efektif kerangka kerja penargetan inflasi terhadap stabilisasi nilai tukar. BI Rate : sumbu kiri Nilai Tukar (rupiah/US$) : sumbu kanan Sumber : Bank Indonesia Gambar 11. Perkembangan suku bunga acuan BI dan nilai tukar tahun 2000 – 2009. Secara umum, Gambar 11 memperlihatkan bahwa salah satu tujuan penetapan suku bunga acuan BI adalah melakukan stabilisasi nilai tukar, baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya kerangka kerja penargetan inflasi 95 secara penuh pada tahun 2005. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa episode sepanjang tahun 2000 – 2009, yaitu tahun 2001 –2002, tahun 2005 – 2006 dan Juli 2008 – Desember 2009. Dalam ketiga episode tersebut, pihak otoritas moneter secara bertahap menaikkan suku bunga acuan guna meredam kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dampak dari strategi tersebut adalah nilai tukar berangsur-angsur turun dan bahkan kembali pada level sebelumnya. Seiring dengan penurunan nilai tukar atau penguatan rupiah terhadap dolar AS, suku bunga acuan kemudian diturunkan kembali oleh Bank Indonesia untuk memberi stimulan pada sektor riil. Sepintas dari Gambar 11, nampak sekali bahwa penetapan suku bunga acuan BI cukup efektif dalam meredam gejolak nilai tukar. Bila kemudian dirinci menurut episode, untuk tahun 2001 –2002, ketika posisi nilai tukar pada Desember 2002 berada pada kondisi lebih rendah dibanding kondisi Januari 2001, suku bunga acuan juga berada pada level yang lebih rendah dibanding sebelumnya. Sementara pada episode tahun 2005 – 2006, saat kondisi nilai tukar Desember 2006 kembali ke level yang kurang lebih sama seperti Januari 2006, suku bunga acuan tidak kembali pada posisi yang sama. Sebaliknya di episode akhir, meski BI rate telah lebih rendah dibanding posisi sebelumnya, nilai tukar nominal masih lebih tinggi dibanding kondisi Juli 2008. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat secara sepintas dilihat bahwa suku bunga acuan merupakan instrumen kebijakan moneter yang cukup baik dalam melakukan stabilisasi nilai tukar sepanjang tahun 2000 – 2009, namun bila jika dirinci menurut episode, efektivitas dari penetapan tersebut lebih kuat pada paruh waktu tahun 2000 – 2005, sementara pada paruh waktu setelahnya efektivitas tersebut nampaknya berkurang. Diduga, berkurangnya efektivitas dari penetapan BI rate pada tahun 2005 – 2009 yang notebenenya merupakan periode setelah diberlakukannya kerangka kerja penargetan inflasi secara penuh oleh pihak otoritas moneter terkait dengan masalah kredibilitas dari lembaga tersebut. Salah satunya ketika terjadi krisis finansial global yang dampaknya mulai terasa di Indonesia pada Juli 2008, di saat hampir semua bank sentral di seluruh dunia menurunkan suku bunganya, sebaliknya Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan dengan tujuan mencegah terjadinya capital outflow, meski banyak dikritik. 96 4.4 Penyesuaian Harga BBM dan Gaji PNS Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seperti bensin premium, solar dan minyak tanah merupakan barang-barang yang harganya ditetapkan berdasarkan kebijakan pemerintah (administered prices), mengingat ketiga barang tersebut menguasai hajat hidup orang banyak. Beberapa kali pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM sebagai konsekuensi atas beratnya subsidi yang harus ditanggung pemerintah akibat lonjakan kenaikan harga minyak di pasar internasional. Kritik maupun penolakan yang berasal dari beberapa kalangan berulang kali terjadi ketika pemerintah menerapkan kebijakan penyesuaian harga BBM tersebut, karena hal tersebut dianggap akan membuat kondisi masyarakat lebih sengsara, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. 6000 1200 5000 1000 4000 800 3000 600 2000 400 1000 200 0 Minyak Tanah (Rp.) Solar (Rp.) Sep-09 Mar-09 Sep-08 Mar-08 Sep-07 Mar-07 Sep-06 Mar-06 Sep-05 Mar-05 Sep-04 Mar-04 Sep-03 Mar-03 Sep-02 Mar-02 Sep-01 Mar-01 Sep-00 Mar-00 0 Premium (Rp.) Gaji PNS (Rp. 000) : sumbu kanan Sumber : Kemenkeu dan Kementerian ESDM Gambar 12. Perkembangan harga BBM dan gaji PNS tahun 2000 – 2009. Sejak Januari 2000, pemerintah berulang kali melakukan penyesuaian harga BBM. Penyesuaian harga bensin premium tercatat sebanyak 11 kali, harga minyak solar sempat disesuaikan 10 kali, sementara harga minyak tanah hanya 5 kali. Khusus bensin premium, pemerintah sempat menurunkan harganya pada 1 Oktober 2000, 1 Desember 2008 serta pada tanggal 1 dan 15 bulan Januari 2009. Penurunan maksimal dari keempat kebijakan tersebut hanya mencapai 10%, 97 sebaliknya kenaikan harga maksimal mencapai 87,50%, yaitu pada 1 Oktober 2005. Lebih lanjut, pada minyak solar, pemerintah juga pernah menurunkan harganya pada tanggal 1 Desember 2008 serta pada tanggal 1 dan 15 bulan Januari 2009, dengan penurunan maksimal sebesar 9,09%, sedangkan peningkatan harga tertinggi terjadi pada 1 Oktober 2005, yaitu sebesar 104,76%. Sementara untuk minyak tanah yang notebenenya belum pernah mengalami penurunan harga, kenaikan harga pada komoditi ini sempat merupakan yang tertinggi dibanding dua jenis BBM bersubsidi lainnya karena pada 1 Oktober 2005 tercatat kenaikan sebesar 185,71%. Akibat kenaikan harga BBM yang demikian tinggi pada 1 Oktober 2005, dapat dilihat pada Gambar 8, tingkat inflasi pada hampir seluruh provinsi merupakan yang tertinggi sepanjang tahun 2000 – 2009. Inflasi yang cukup tinggi, setidaknya dibanding rata-rata tingkat inflasi selama kurun tahun 2000 – 2009 juga terjadi pada tahun 2008, ketika dilakukan kebijakan kenaikan harga BBM pada 16 Juni 2001, 17 Januari 2002 dan 24 Mei 2008. Kondisi yang sedikit berbeda adalah kenaikan BBM pada 2 Januari 2003 yang tidak menimbulkan inflasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat inflasi tahun 2000 – 2009. Sebaliknya inflasi yang cukup tinggi terjadi pada lebih dari separuh provinsi di Indonesia pada tahun 2000 sedangkan pada saat itu harga bensin premium sempat diturunkan. Penyesuaian BBM pada tahun 2001, 2002, 2005 dan 2008 sepertinya terkait dengan kondisi yang tidak diantisipasi sehingga menyebabkan tingkat inflasi yang cukup tinggi pada tahun-tahun tersebut. Sementara penyesuaian BBM pada tahun 2003 agaknya sudah diramalkan oleh akan terjadi oleh berbagai kalangan mengingat dua tahun sebelumnya terus terjadi kenaikan harga BBM, artinya kondisi kenaikan tersebut sudah diantisipasi oleh pelaku ekonomi sehingga dampaknya terhadap inflasi tidak terlampau tinggi. Lain halnya dengan kondisi tahun 2000, karena sebelumnya tingkat inflasi cukup rendah, bahkan terjadi deflasi di beberapa provinsi, diduga akan terjadi lonjakan harga sebagai konsekuensi dari rencana akan dilepasnya monopoli Pertamina atas penjualan BBM, meski kemudian harga BBM tidak jadi dinaikkan, bahkan untuk bensin premium ternyata diturunkan. 98 Selain perkembangan harga BBM, Gambar 12 juga memperlihatkan bagaimana perkembangan Gaji PNS untuk golongan terendah. Dalam kurun waktu 10 tahun, pemerintah sempat 6 kali menaikkan gaji PNS, yaitu tahun 2001, 2003 dan tahun 2006 – 2009. Terkait kenaikan kenaikan gaji PNS yang cukup tinggi tersebut pada tahun 2001, agaknya selain kenaikan BBM, kebijakan penyesuaian gaji PNS juga turut berperan dalam memicu tingkat inflasi yang cukup tinggi pada tahun 2001. Kondisi yang kurang lebih sama juga terjadi pada tahun 2008 ketika terjadi inflasi yang cukup tinggi, mengingat disamping dilakukan penyesuaian harga BBM juga terjadi kenaikan gaji PNS. Nampaknya, kebijakan pemerintah pusat dalam menetapkan administered prices dan melakukan penyesuaian upah minimun untuk pegawai pemerintah (PNS) ini merupakan penyebab terjadinya inflasi yang terus-menerus di Indonesia selama tahun 2000 – 2009. Meski kedua kebijakan pemerintah tersebut bekerja melalui mekanisme transmisi yang berbeda, dimana administered prices melalui sisi penawaran sementara gaji PNS melalui sisi permintaan, namun hasil akhirnya sama, akan memicu terjadinya inflasi. Akibat penyesuaian gaji PNS secara terusmenerus selama tahun 2006 – 2009, diduga akan membuat inflasi kian persisten mengingat inflasi akan lebih disebabkan oleh tarikan permintaan dibanding akibat dorongan biaya produksi. 4.5 Struktur Ekonomi Provinsi Pembahasan mengenai struktur ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan ketika mengulas masalah inflasi karena kondisi ekonomi turut berperan dalam pembentukan harga pada suatu wilayah. Adanya perbedaan struktur ekonomi antar wilayah menyebabkan terjadinya kondisi saling ketergantungan antar pelaku ekonomi antar wilayah, baik yang bertindak sebagai produsen maupun sebagai konsumen dalam arti yang lebih luas. Sebagaimana telah diulas sebelumnya, keterkaitan antar provinsi tersebut diperlihatkan oleh keterkaitan inflasi dengan hubungan yang kuat pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Ulasan berikut merupakan uraian sepintas mengenai kondisi ekonomi pada setiap provinsi yang secara umum akan menyiratkan kondisi keterkaitan antar provinsi. 99 SULSEL 100 40 40 20 20 20 20 0 0 0 0 MALUKU 100 Pertambangan Angkutan Industri Bank 2008 2006 0 2004 0 2002 0 2000 20 0 2008 20 2006 20 2004 40 20 2002 60 40 2000 60 40 2008 60 40 2006 60 2004 80 2002 80 2000 80 Pertanian Perdagangan 2008 2006 2006 2008 2006 2008 2004 2004 2008 2004 2008 2006 PAPUA 100 80 2008 2008 2006 2004 2002 2000 2008 2006 2004 2002 NTT 100 2000 60 60 2006 NTB 80 80 2000 2008 2006 40 2004 40 2002 60 2000 60 100 SULTRA 100 80 2002 2000 2008 2008 SULTENG 100 80 2004 SULUT 2006 0 2004 0 2002 0 2000 20 0 2006 20 2004 20 2002 40 20 2000 60 40 2008 60 40 2006 60 40 2004 60 2002 80 2000 80 100 KALTIM 100 80 2002 2000 2009 2007 2005 2009 2003 KALSEL 100 80 2002 KALTENG 100 2001 0 1999 0 2009 0 2007 20 0 2005 20 2003 20 2001 40 20 1999 40 2007 40 2005 60 40 2003 60 2001 80 60 1999 80 60 KALBAR BALI 100 80 2006 JATIM 100 80 100 2002 2000 2008 2008 2008 DIY 100 2006 0 2004 20 0 2000 40 20 2006 60 40 2004 60 2002 80 2000 JATENG 100 JABAR 100 2002 2000 DKI 80 2004 0 2006 0 2002 0 2000 20 0 2008 20 2006 20 2004 40 20 2002 60 40 2008 60 40 2006 60 40 2004 60 2002 80 2000 80 100 LAMPUNG 100 80 2002 2000 2008 BENGKULU 100 80 2004 SUMSEL 100 2006 2000 JAMBI 2004 0 2002 0 2000 0 2008 20 0 2006 20 2004 20 2002 40 20 2008 60 40 2006 60 40 2004 60 40 2002 60 2000 80 100 RIAU 100 80 2004 SUMBAR 100 80 2002 SUMUT 100 80 2000 NAD 100 Bangunan Jasa Sumber : BPS (diolah) Gambar 13. Persentase sektor dominan terhadap PDRB menurut provinsi tahun 2000 – 2009 100 Sebagaimana disajikan dalam Gambar 13, dapat dilihat sektor-sektor dominan pada setiap provinsi, yaitu sektor dengan andil tidak kurang dari 10% terhadap total PDRB masing-masing provinsi. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa sektor pertanian (arsiran berwarna hijau) masih merupakan sektor dominan pada hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali untuk DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Sektor lainnya yang juga termasuk sektor dominan pada hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali untuk provinsi Riau, Kalimantan Timur dan Papua adalah sektor perdagangan, jasa restoran dan jasa akomodasi (arsiran berwarna biru). Selain dua sektor yang telah disebutkan, sektor industri pengolahan (arsiran berwarna kuning) juga termasuk sektor dominan pada lebih dari separuh provinsi di Indonesia. Dirinci menurut pulau, untuk pulau-pulau di luar Jawa, utamanya masih mengandalkan sektor ekonomi primer, yaitu pertanian dan pertambangan, kecuali Provinsi Bali dan Sulawesi Utara telah bertumpu pada sektor tersier, yaitu sektor jasa-jasa. Meski demikian, pada beberapa provinsi sektor sekunder seperti industri pengolahan sudah mulai berkembang. Kondisi yang berbeda terjadi pada Pulau Jawa karena telah mengandalkan sektor tersier dengan dukungan sektor sekunder seperti sektor industri pengolahan. Akibat perbedaan jenis sektor unggulan ini secara tidak langsung menyebabkan perbedaan struktur ekonomi antara Jawa dan luar Jawa, terlebih lagi jika kemudian dilihat skala ekonomi dari setiap sektor unggulan akan memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Masih dirinci menurut pulau, bila kemudian dibagi menjadi wilayah, yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dapat dilihat bahwa untuk KBI umumnya sektor industri pengolahan merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, sementara pada KTI sektor tersebut tidak menjadi sektor dominan pada seluruh provinsi, karena masih cenderung mengandalkan sektor primer seperti telah disampaikan sebelumnya. Perbedaan yang cukup nyata ini tidak hanya menyiratkan adanya perbedaan struktur ekonomi namun juga perbedaan tahapan pembangunan ekonomi antara kedua kawasan tersebut. Setidaknya untuk KBI, hampir seluruh provinsi sudah mulai memasuki tahapan industrialisasi, sementara pada KTI umumnya masih cenderung berada pada kondisi perekonomian tradisional. 101 Tabel 8. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untuk Jawa dan luar Jawa Jawa Wilayah Jawa Luar Jawa Sektor Luar Jawa Input Antara Konsumsi Akhir Total Input Antara Konsumsi Akhir Primer 78,38 80,18 78,99 1,80 7,20 2,91 Sekunder 93,43 93,44 93,44 27,92 27,74 27,82 Tersier 98,22 98,06 98,14 6,85 7,70 7,35 Total 92,91 94,28 93,58 13,63 17,79 15,61 Primer 21,62 19,82 21,01 98,20 92,80 97,09 Sekunder 6,57 6,56 6,56 72,08 72,26 72,18 Tersier 1,78 1,94 1,86 93,15 92,30 92,65 Total 7,09 5,72 6,42 86,37 82,21 84,39 Total Sumber : IRIO 2005 – BAPPENAS dan BPS (diolah) Keterkaitan perekonomian antara Jawa dan luar Jawa dapat dilihat pada Tabel 8 yang menunjukkan bagaimanan penggunaan komoditi domestik yang digunakan sebagai input antara atau bahan baku dan bahan penolong atau digunakan untuk konsumsi akhir menurut asal wilayah dalam satuan moneter. Untuk Pulau Jawa, total nilai komoditi domestik yang berasal dari daerah sendiri mencapai 93,58%, sedang sisanya dari luar Jawa sebesar 6,42%. Sebaliknya, total nilai komoditi yang berasal dari Jawa yang digunakan di luar Jawa mencapai 15,61%, sementara penggunaan komoditi yang berasal dari wilayah sendiri sebesar 84,39%. Berdasarkan proporsi penggunaan komoditi domestik menurut asal wilayah tersebut dapat dilihat keterkaitan atau bahkan ketergantungan antara Jawa dengan luar Jawa. Dirinci lebih lanjut, ketergantungan perekonomian Jawa terhadap luar Jawa terlihat cukup tinggi untuk komoditi sektor primer, yaitu pertanian dan pertambangan yang total nilainya mencapai 21,01%, baik digunakan sebagai input antara maupun untuk konsumsi akhir. Berdasarkan Tabel 8 juga dapat dilihat tingkat ketergantungan perekonomian luar Jawa terhadap Jawa untuk komoditi sektor sekunder yang terdiri dari industri pengolahan; sektor konstruksi; dan sektor listrik, air dan gas yang mencapai 27,82%. Kondisi ini tentunya sesuai dengan perbedaan struktur ekonomi seperti telah disinggung sebelumnya. 102 Tabel 9 Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) KBI Wilayah KBI KTI Sektor KTI Input Antara Konsumsi Akhir Total Input Antara Konsumsi Akhir Primer 95,35 56,27 85,30 1,32 1,18 1,28 Sekunder 99,33 74,65 86,95 53,73 26,43 37,44 Tersier 99,65 71,05 84,09 7,14 6,01 6,42 Total 98,59 71,80 85,72 24,30 15,36 19,35 Primer 4,65 43,73 14,70 98,68 98,82 98,72 Sekunder 0,67 25,35 13,05 46,27 73,57 62,56 Tersier 0,35 28,95 15,91 92,86 93,99 93,58 Total 1,41 28,20 14,28 75,70 84,64 80,65 Total Sumber : IRIO 2005 – BAPPENAS dan BPS (diolah) Berdasarkan pengelompokan kawasan, ketergantungan perekonomian KBI terhadap KTI mencapai 14,28%, yaitu besarnya total nilai komoditi dari KTI yang digunakan oleh KBI. Sebaliknya kebutuhan akan komoditi yang berasal dari KBI untuk digunakan oleh KTI total nilainya mencapai 19,35%. Dirinci menurut sektor dan tujuan penggunaan, nilai komoditi sektor primer untuk konsumsi akhir yang digunakan oleh KBI dan berasal dari KTI mencapai 43,73%, sementara untuk kebutuhan produksi di KTI, 46,27% dari nilai input antaranya berasal dari KBI. Pola keterkaitan yang mencerminkan ketergantungan antar kawasan ini merupakan konsekuensi dari perbedaan struktur ekonomi dari masing-masing kawasan. Seperti telah diulas sebelumnya, KBI cenderung berada pada tahapan industrialiasi sementara KTI menunjukkan kondisi yang mewakili perekonomian tradional karena masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor dominan yang menggerakan pertumbuhan. Secara signifikan, perbedaan tersebut diperlihatkan oleh pola penggunaan komoditi dari masing-masing kawasan. V. PEMBAHASAN HASIL 5.1 Penaksiran Output Potensial dan Output Gap Berdasarkan dua pendekatan penaksiran output potensial, yaitu metode Hodrick–Prescot (HP) filter dan band pass (BP) filter ala ChristianoFitzgerald diperoleh hasil seperti dapat dilihat pada Gambar 14. Mengingat periode analisis dibatasi untuk tahun 2000 – 2009, maka hasil penaksiran dari kedua metode yang disandingkan dengan output aktual untuk masing-masing provinsi hanya disajikan sesuai dengan periode analisis saja. Secara umum, hasil penaksiran output potensial dari setiap provinsi dengan metode HP filter (garis berwarna merah) terlihat lebih halus dibanding metode BP filter (garis berwarna biru) yang menunjukkan estimasi yang berfluktuatif, meski keduanya menggunakan metode univariate detrending. Merujuk pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008), seharusnya output potensial terlihat cukup halus karena tidak menunjukkan adanya guncangan yang bersifat sesaat dari tren output dalam jangka panjang. Berdasarkan penelitian tersebut, maka disimpulkan bahwa hasil penaksiran output potensial dengan metode HP filter cukup mewakili kondisi yang diperkirakan dan selanjutnya perkiraan output gap yang diperoleh dari metode ini akan digunakan dalam analisis model inflasi pada penelitian ini. Hasil penaksiran output potensial yang menyatakan metode HP filter lebih superior dibanding metode detrending lainnya untuk studi kasus Indonesia juga sejalan dengan hasil penelitian Solikin (2004) tentang keberadaan kurva Phillips di Indonesia. Selanjutnya, dengan membandingkan hasil perkiraan output potensial dengan metode HP filter dengan output aktual dari masing-masing provinsi dapat dilihat pada hampir seluruh provinsi, kemiripan pola dari output potensial yang nilainya lebih rendah dibanding output aktual pada tahun 2007 – 2009, sementara pada tahun-tahun sebelumnya cenderung lebih tinggi, kecuali untuk provinsi NAD, NTB dan Papua tidak memperlihatkan kondisi yang demikian. Berdasarkan hasil tersebut, maka secara umum kondisi Indonesia pada tahun 2000 – 2009 terbagi menjadi dua episode, yaitu periode tahun 2007 – 2009, ketika terjadi output gap positif dan periode sebelumnya saat output gap bernilai negatif. 104 Sumut Sumsel DKI Jakarta DIY Output Potensial-HP 2008 2006 2004 2002 2000 2008 2006 4 2004 2006 2008 2008 2004 2006 2008 5 2002 2004 2008 Papua 30 28 26 24 22 20 18 6 2000 2008 2006 2004 2002 2000 2004 2008 2006 2006 Maluku 8 Output Aktual 2008 7 2008 9 2006 9 2004 2008 2006 2004 11 10 9 8 7 6 5 7 10 2006 13 11 2006 17 15 11 2004 2002 2000 2008 2006 2004 2002 2002 2000 2008 2006 12 Sultra Sulsel NTT NTB 2002 70 52 49 46 43 40 37 34 31 28 8 19 2008 80 15 2002 10 2006 90 18 12 10 2004 100 2000 14 14 12 2004 27 Sulteng 18 16 Kaltim 110 21 2000 2008 2006 2004 2002 2000 2002 Kalsel 30 24 Sulut 2002 2000 2008 2006 Kalteng 18 16 14 12 10 8 2000 26 24 22 20 18 16 2004 Kalbar 2004 190 2002 230 12 2000 14 100 2008 120 2006 270 2004 18 16 2002 20 140 2000 160 310 16 2004 Bali Jatim 22 20 2002 2008 2006 2004 2002 2000 2008 220 2006 260 200 2004 300 240 2002 340 280 2000 320 Jateng 30 28 26 24 22 20 18 2008 2008 Jabar 380 360 180 2006 2004 2000 2008 2006 2004 2002 2000 2008 2006 4 2004 40 2002 5 8 2000 50 2002 6 10 2006 60 12 2004 36 34 32 30 28 26 24 22 7 14 2000 2006 2004 2008 Lampung Bengkulu 8 70 2002 Jambi 16 2002 2000 2008 2006 2004 2002 20 2000 2008 2006 2004 2002 2000 25 2002 60 2000 30 30 2000 80 2002 35 35 2000 100 Riau 130 120 110 100 90 80 2002 40 Sumbar 40 2000 120 2000 NA D 45 Output Potensial-BP Gambar 14. Output aktual dan output potensial menurut provinsi tahun 2000 – 2009 (dalam triliun rupiah) 105 Merujuk pada kerangka analisis AD-AS berkenaan dengan kondisi tersebut, maka saat output gap positif dalam perekonomian telah terjadi kelebihan permintaan (excess demand), sebaliknya ketika terjadi output negatif, dalam perekonomian dianggap terjadi kelebihan penawaran (excess supply). Dalam pendekatan kurva Phillips ala New Keynesian (NKPC), ketika output gap positif akan menyebabkan inflasi karena tarikan permintaan. Bahkan jika kemudian output gap sangat berperan dalam pembentukan inflasi maka sedikit saja terjadi output aktual melebihi kondisi potensialnya maka akan mendorong terjadinya inflasi dan hal ini akan membuat inflasi menjadi demikian persisten. Berbeda jika pada suatu kurun waktu tertentu output aktual selalu berada di bawah titik potensialnya maka output gap tidak akan menyebabkan inflasi atau dengan kata lain tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Lebih lanjut, berkenaan dengan kondisi kelebihan permintaan yang terjadi pada periode tahun 2007 – 2009, diduga hal tersebut terkait erat dengan kebijakan penyesuaian gaji PNS yang dilakukan oleh pemerintah pusat secara berturut-turut selama tahun 2006 – 2009, dengan besar kenaikan tidak kurang dari 15%. Menurut Lemos (2004a), mekanisme penyesuaian gaji PNS cenderung mengikuti jalur permintaan agregat, yaitu melalui peningkatan pengeluaran konsumsi pemerintah dan kemudian akan meningkatkan pengeluaran konsumsi masyarakat. Mekanisme ini dapat dilihat dari kenaikan belanja pemerintah riil berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut penggunaan pada hampir seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2007 – 2009. Pada saat yang bersamaan, seiring dengan peningkatan belanja pemerintah riil, konsumsi riil masyarakat juga terus meningkat, termasuk juga konsumsi per kapita riil ikut mengalami peningkatan. Berdasarkan uraian mengenai mekanisme transmisi tersebut, faktor utama yang diduga menjadi penyebab terjadinya kondisi kelebihan permintaan pada tahun 2007 – 2009 secara singkat dapat dijelaskan. Hasil ini sesungguhnya mencerminkan dampak dari arah kebijakan pemerintah pusat yang berusaha memacu pertumbuhan ekonomi (pro growth), yaitu dengan menggunakan instrumen kebijakan fiskal. Secara tidak langsung, hal ini memperlihatkan adanya dominasi peran dari kebijakan fiskal atas kebijakan moneter (fiscal dominance) dalam perekonomian Indonesia. 106 5.2 Pengujian Stasioneritas Data Pengujian kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data panel untuk melihat ada tidaknya panel unit root yang terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Pengujian panel unit root yang digunakan penelitian ini didasarkan pada beberapa statistik uji untuk tingkat level dan first differencing seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Hasil pengujian panel unit root secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 1, sementara rangkumannya disajikan pada Tabel 10. Seperti dapat dilihat pada Tabel 10, pengujian panel unit root dilakukan pada variabel IHK (P), jumlah uang beredar (M1), nilai tukar (XR), pengeluaran konsumsi pemerintah daerah (G), upah minimun provinsi (W1), gaji PNS (W2), dan indeks harga BBM (BM) yang masing-masing dinyatakan dalam logaritma natural dari nilai riilnya, kecuali untuk indeks, serta variabel suku bunga (IR) dan trade openness (OP) yang dinyatakan dalam persentase. Khusus untuk variabel infrastruktur (IS) dinyatakan dalam logaritma natural dari panjang jalan per km2 luas wilayah. Untuk variabel output gap tidak dilakukan pengujian ini mengingat variabel ini bukan merupakan variabel level, karena dihasilkan dari deviasi dari output aktual terhadap nilai output potensialnya. Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan plotting data untuk melihat metode pengujian, apakah panel unit root akan digunakan untuk data dengan intersep tanpa tren (kode 2) atau dengan intersep dan tren (kode 3). Berdasarkan plotting data tersebut, untuk data level diketahui, kecuali untuk variabel nilai tukar yang menggunakan metode intersep tanpa tren, seluruhnya menggunakan metode dengan intersep dan tren. Berdasarkan berbagai statistik uji yang digunakan, data level menunjukkan adanya common unit root (uji Breitung), bahkan beberapa variabel menunjukkan adanya individual unit root, kecuali pada variabel IHK (P). Hasil ini tentu agak aneh mengingat dari plotting data variabel ini secara implisit menunjukkan terjadinya gejala unit root, sementara hasil P-value dari IPS W-statistic dan ADF – Fisher Chi-square masih signifikan pada tingkat kesalahan 5%, tetapi tidak pada level 1%. Oleh karena itu, pada variabel ini tetap dilakukan first differencing sebagaimana variabel lainnya demi menjaga robustness hasil penelitian. 107 Tabel 10. Rangkuman hasil pengujian panel unit root Variabel Diff 1) P-Value Statistik Uji 3) Metode 2) LLC Breitung IPS ADF-Fisher PP-Fisher P 0 3 0.0000 0.0079 0.0364 0.0244 0.0001 P 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 IR 0 3 0.0000 0.8268 0.0004 0.0000 0.0000 IR 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 M1 0 3 0.0000 0.2520 0.0178 0.0007 0.1737 M1 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 XR 0 2 0.0006 - 0.9940 1.0000 1.0000 XR 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 G 0 3 0.0000 0.4746 0.0298 0.0430 0.6481 G 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 W1 0 3 0.0000 0.5937 0.0000 0.0000 0.0000 W1 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 W2 0 3 0.0000 0.0000 0.4903 0.8598 0.8897 W2 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 BM 0 3 0.0000 0.0010 0.2785 0.6189 0.7017 BM 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 IS 0 3 0.0000 0.3233 0.0407 0.0092 0.0014 IS 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000 OP 0 3 0.0000 0.0022 0.0000 1 2 0.0000 0.8604 - 0.0206 OP 0.0000 0.0000 0.0000 W1 IS 1 2 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 OP IS 1 2 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Keterangan : Differencing : 1) 0 1 = data level = data first differencing 2) Metode : 1 2 3 = tanpa intersep tanpa tren = dengan intersep tanpa tren = dengan intersep dengan tren 3) Statistik Uji : LLC Breitung IPS ADF Fisher PP Fisher = = = = = Levin, Lin & Chu t* Breitung t-stat Im, Pesaran and Shin W-stat ADF Fisher Chi-square PP Fisher Chi-square Setelah dilakukan first differencing pada semua variabel, hasil pengujian dengan menggunakan metode dengan intersep tanpa tren menunjukkan, baik dengan statistik uji common unit root maupun individual unit root seluruhnya signifikan pada level kesalahan 1% dan bahkan 0,1%. Selain data differencing asli, ditampilkan pula interaksi antara differencing dari infrastruktur (IS) dengan UMP (W1) dan infrastruktur (IS) dengan trade openness (OP), dengan pengujian menggunakan intersep namun tanpa tren. Hasil pengujian kemudian 108 menyatakan tidak ditemukannya panel unit root pada variabel interaksi tersebut. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan first differencing, seluruh variabel sudah tidak mengandung unit root lagi. 5.3 Pengujian Kausalitas Granger Tujuan dari pengujian kausalitas granger antara inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti adalah untuk mengetahui variabel-variabel mana yang lebih dahulu memengaruhi inflasi atau sebaliknya inflasi yang lebih dahulu memengaruhi variabel-variabel lainnya. Hasil pengujian kausalitas granger juga dapat menyatakan bahwa variabel-variabel yang diteliti saling memengaruhi dengan inflasi atau sebaliknya tidak saling memengaruhi. Satu hal yang perlu difahami, meski dalam pengujian kausalitas granger dinyatakan bahwa suatu variabel signifikan memengaruhi inflasi, bukan berarti secara otomatis variabel tersebut akan memberi pengaruh signifikan dalam model data panel. Merujuk pada hasil pengujian kausalitas granger sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11, didapati empat pola arah hubungan antara inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti dan secara tidak langsung merepresntasikan perilaku hubungan tersebut dari sudut pandang teoritis dan praktis. Pertama, arah hubungan dua arah atau saling memengaruhi, dalam hal ini antara inflasi dengan penyesuaian suku bunga acuan (IR), perubahan jumlah uang beredar riil (M1), perubahan nilai tukar riil (XR), penyesuaian gaji PNS (W2), dengan penyesuaian harga BBM (BM) dan variabel interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan (OP IS). Kedua, arah hubungan searah dari variabel yang diteliti memengaruhi inflasi, yaitu output gap (OG), kenaikan pengeluaran konsumsi pemerintah (G) dan perubahan kondisi infrastruktur (IS), namun tidak berlaku hubungan yang memengaruhi dari inflasi terhadap ketiga variabel tersebut. Ketiga, arah hubungan searah dari inflasi memengaruhi penyesuaian UMP (W1) dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan (OP), tetapi tidak sebaliknya. Terakhir adalah tidak ada hubungan antara inflasi dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP (W1 IS). 109 Tabel 11. Ringkasan hasil pengujian kausalitas granger antara inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti No. Hipotesis Nol F-Statistic 1. OG does not granger cause P P does not granger cause OG 5.6529 *** 0.4419 2. IR does not granger cause P P does not granger cause IR 7.0209 *** 47.9498 *** 3. M1 does not granger cause P P does not granger cause M1 14.6428 *** 23.5896 *** 4. XR does not granger cause P P does not granger cause XR 3.4712 ** 16.8271 *** 5. G does not granger cause P P does not granger cause G 9.2563 *** 1.5591 6. W1 does not granger cause P P does not granger cause W1 1.9668 26.3641 *** 7. W2 does not granger cause P P does not granger cause W2 6.2858 *** 34.4923 *** 8. BM does not granger cause P P does not granger cause BM 5.4710 *** 33.1914 *** 9. IS does not granger cause P P does not granger cause IS 3.4801 ** 1.5523 10. OP does not granger cause P P does not granger cause OP 0.0971 3.7852 ** 11. (W1 IS) does not granger cause P P does not granger cause (W1 IS) 0.7191 1.0030 12. (OP IS) does not granger cause dp P does not granger cause (OP IS) 5.1231 *** 3.6457 ** Keterangan : *** = signifikan pada = 01% Keterangan : *** = signifikan pada = 05% Keterangan : *** = signifikan pada = 10% Hubungan saling memengaruhi antara inflasi dengan suku bunga acuan memang tidak dapat dipungkiri karena penetapan suku bunga acuan pada praktiknya bertujuan untuk mencapai tingkat inflasi yang ditargetkan, sedang di sisi lain, dalam proses penentuan besarnya suku bunga, pihak otoritas moneter memperhatikan kondisi makro ekonomi terkini, salah satunya dengan mengamati inflasi yang terjadi. Berdasarkan tinjauan teoritis, hubungan saling memengaruhi antara inflasi dengan suku bunga acuan juga dinyatakan dalam aturan suku bunga (interest rate rule) atau lebih dikenal dengan Taylor rule (Romer, 2006). 110 Keterkaitan antara inflasi dengan perubahan nilai tukar riil pada praktiknya bekerja dari jalur imported inflation, yaitu ketika nilai tukar memengaruhi inflasi sementara inflasi akan memengaruhi nilai tukar riil melalui perbedaan tingkat harga di dalam dan di luar negeri atau karena perbedaan tingkat inflasi. Secara teoritis, inflasi juga dapat memengaruhi nilai tukar riil melalui paritas suku bunga. Berbeda dengan mekanisme hubungan antara inflasi dan nilai tukar riil, hubungan saling memengaruhi antara inflasi dengan perubahan jumlah uang beredar (M1) riil sedikit rumit jika dirunut jalur transmisinya. Merujuk pada kerangka analisis AD – AS untuk jangka pendek, inflasi akan membuat jumlah stok uang riil berubah dan hal ini akan menyebabkan perubahan tingkat output (Blanchard, 2004). Adanya perubahan output ini akan kemudian akan direspon oleh pasar tenaga kerja dengan melakukan penyesuaian tingkat penyerapan tenaga kerja atau dengan kata lain akan memengaruhi tingkat pengangguran dalam pendekatan hukum Okun (Okun’s law). Dalam analisis kurva Phillips, perbedaan tingkat pengangguran tersebut kemudian akan memicu terjadinya inflasi. Demikian seterusnya, mekanisme tersebut terus terjadi sehingga baik inflasi maupun perubahan jumlah uang riil saling memengaruhi satu dengan lainnya. Hasil pengujian kausalitas granger juga menyatakan bahwa terjadi proses saling memengaruhi antara inflasi dengan penyesuaian gaji pegawai pemerintah. Layaknya penentuan upah minimum, penyesuaian gaji PNS/TNI/Polri, utamanya untuk golongan terendah, merupakan salah satu cara untuk menjaga daya beli dari pegawai pemerintah tersebut agar tidak tergerus oleh inflasi, meski di sisi lain diharapkan juga akan meningkatkan kinerja mereka. Penyesuaian tingkat gaji tersebut, pada praktiknya tentu saja harus mempertimbangkan besarnya inflasi untuk menghindari terjadinya money illusion. Sebaliknya, kenaikan gaji pemerintah merupakan salah satu faktor yang membentuk ekspektasi masyarakat atas inflasi (Solikin dan Sugema, 2004). Seperti telah dibahas sebelumnya, mekanisme kenaikan gaji PNS/TNI/POLRI ini memengaruhi inflasi melalui permintaan agregat. Variabel selanjutnya pada pola hubungan pertama adalah penyesuaian harga BBM, dalam hal ini harga BBM bersubsidi yang terdiri dari bensin premiun, 111 solar dan minyak tanah. Baik secara teoritis maupun secara empiris, sudah tidak dapat disangsikan bila terjadi penyesuaian pada harga BBM akan memicu terjadi inflasi, namun kondisi sebaliknya tidak mudah dijelaskan. Dalamm praktiknya, inflasi akan menambah berat beban subsidi yang kelak harus ditutup dengan penerimaan negara yang bersumber dari pendapatan sektor pajak dan non pajak jika subsidi terus diterapkan. Apabila penerimaan negara pada tahun berjalan tidak dapat mencukupi beban subsidi tersebut, maka akan terjadi defisit fiskal yang pada saat itu juga harus ditutup. Beberapa pilihan dalam menutup defisit fiskal tersebut adalah melakukan pinjaman, yaitu dengan meluncurkan surat utang negara untuk hutang yang berasal dari dalam negeri atau melalui pinjaman luar negeri, menerapkan kebijakan pengurangan subsidi atau bahkan pemerintah meminta otoritas moneter untuk melakukan pencetakan uang. Semua pilihan tersebut pada akhirnya akan berujung pada terjadinya inflasi, termasuk pilihan penyesuaian harga BBM untuk mengurangi subsidi. Variabel terakhir pada hubungan pertama adalah interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan (OP IS). Pada pembahasan selanjutnya, akan dijelaskan hubungan searah dari perubahan kondisi infrastruktur dalam memengaruhi inflasi dan inflasi dalam memengaruhi derajat keterbukaan berdasarkan kausalitas granger. Berdasarkan dua arah hubungan tersebut, maka interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan dengan inflasi akan menjadi hubungan dua arah yang saling memengaruhi satu dengan lainnya. Selanjutnya, untuk pola hubungan yang kedua, yaitu output gap, perubahan pengeluaran pemerintah dan perubahan kondisi infrastruktur memengaruhi inflasi, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Secara umum, pada bab sebelumnya telah sesungguhnya telah membahas bagaimana ketiga variabel tersebut memengaruhi inflasi, namun tidak dijelaskan apakah inflasi dapat memengaruhi keduanya. Terkait dengan output gap yang merupakan deviasi dari output aktual terhadap output potensialnya yang menggambarkan tren output riil dalam jangka panjang sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh variabel nominal. Hal ini tentu sejalan dengan landasan teoritis yang telah disampaikan pada bab sebelumnya. Sementara untuk pengeluaran pemerintah daerah, tidak dipengaruhi 112 oleh inflasi karena dalam melakukan belanja pengeluaran pemerintah sudah diatur dalam APBD yang notebenenya disyahkan oleh DPRD terlebih dahulu sesuai dengan tujuan, sasaran, target dan program pembangunan yang sudah digariskan dan wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, pengeluaran belanja pemerintah tidak terlalu terpengaruh oleh tingkat inflasi. Kemudian, untuk perubahan kondisi infrastruktur, dalam teori pertumbuhan regional sebagaimana telah disampaikan pada sebelumnya dinyatakan secara implisit bahwa kondisi infrastruktur merupakan variabel eksogen yang tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya, termasuk oleh inflasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, wajar jika analisis kausalitas granger menyatakan hubungan yang searah dari perubahan kondisi infrastruktur memengaruhi inflasi namun tidak terjadi hubungan yang sebaliknya. Pola hubungan ketiga menyatakan bahwa inflasi memengaruhi upah minimum provinsi (UMP) dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan (trade openness) tetapi tidak berlaku sebaliknya. Alasan UMP tidak memengaruhi inflasi akan dijelaskan kemudian pada saat pembahasan model, sementara pada bagian ini hanya akan dibahas mengenai bagaimana inflasi memengaruhi UMP. Penyesuaian UMP dilakukan setiap tahun melalui proses negosiasi antara perwakilan pihak perusahaan dan serikat pekerja dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi. Salah satu indikator ekonomi yang umumnya digunakan dalam proses tersebut adalah tingkat inflasi. Terkait dengan kausalitas Granger yang digunakan, maka lag dari inflasi yang memengaruhi perubahan UMP tahun berjalan. Sepertinya, hal ini terkait dengan perilaku backward looking dari wage setter dalam menentukan besarnya UMP. Sedangkan pengaruh dari inflasi terhadap perubahan derajat keterbukaan bekerja melalui transmisi jalur nilai tukar riil yang tentu saja dipengaruhi oleh inflasi seperti telah dijelaskan sebelumnya. Satu hal yang sedikit mengherankan adalah bagaimana perubahan derajat keterbukaan perdagangan tidak memengaruhi inflasi sebagaimana ramalan dari teori standar perdagangan internasional. Hal ini bisa terjadi ketika dampak bauran dari keterbukaan perdagangan menyebabkan terjadinya peningkatan ekspor dan impor secara bersamaan sehingga tidak berpengaruh terhadap harga. Hasil pengujian kausalitas yang terakhir menyatakan bahwa tidak hubungan saling memengaruhi antara inflasi dengan interaksi antara perubahan 113 kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP (W1 IS). Tidak adanya keterkaitan ini terkait erat dengan pola hubungan kedua yaitu inflasi tidak dapat memengaruhi perubahan kondisi infrastruktur namun yang terjadi adalah hubungan sebaliknya dan pola hubungan ketiga yang menyatakan penyesuaian UMP tidak memengaruhi inflasi, tetapi inflasilah yang memengaruhi penyesuaian UMP. Akibat dari kedua pola hubungan tersebut secara serentak, maka interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP tidak memengaruhi inflasi. 5.4 Hasil Estimasi 5.4.1 Model Dasar Menindaklanjuti hasil pengujian panel unit root yang menyatakan semua variabel yang akan diteliti harus distasionerkan terlebih dahulu untuk menghindari terjadinya spurious regression, maka model dasar yang diestimasi adalah model first differencing sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (3.5.) untuk regresi panel data non spasial, sementara untuk bentuk spasialnya mengacu pada persamaan (3.6). Setiap persamaan akan diestimasi dengan panel data statis dan dinamis untuk melihat continuum dari parameter model. Hasil estimasi untuk masing-masing persamaan kemudian akan dirangkum dalam bentuk tabel yang dirinci menurut metode yang digunakan dan disajikan beberapa statistik uji yang diperlukan dalam memperoleh penduga terbaik. Hasil estimasi dari persamaan (3.5) seperti dapat dilihat pada Tabel 12, menampilkan tiga metode estimasi untuk data panel statis, yaitu FEM, REM dan pooled LS (OLS) dan satu metode data panel dinamis dengan menggunakan metode FD-GMM. Berdasarkan ketiga metode data panel statis, estimasi terbaik diberikan oleh REM dibanding dua metode lainnya. Hal ini bisa dilihat dari uji Hausman yang mengindikasikan metode REM lebih baik dari FEM (P – value = 0,9975); dan uji Breusch-Pagan LM juga menyatakan REM jauh lebih baik dari pooled LS (P – value = 0,0024). Selain kedua uji tersebut, hasil uji kebaikan suai (goodness of fit) juga menunjukkan hasil estimasi dari model REM cukup baik, mengingat Wald chi-test signifikan pada taraf 1%. 114 Perlu diutarakan sebelumnya, hasil estimasi metode FD-GMM diperoleh dengan menggunakan predetermine variable yaitu variabel laju perubahan M1 sehingga secara tidak langsung menjadi sistem persamaan variabel instrumen. Alasan ditetapkannya laju perubahan M1 sebagai predetermine variable adalah Indonesia merupakan satu kesatuan moneter sehingga jumlah uang beredar (M1) pada level provinsi tidak ditentukan oleh pemerintah daerah sehingga sepenuhnya merupakan variabel eksogen. Proses penentuan predetermine variable sendiri melalui penelusuran yang cukup panjang, namun tetap merujuk pada pendekatan IS – LM. Proses selengkapnya untuk mendapatkan hasil estimasi ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 dalam Lampiran 2. Estimasi yang diberikan oleh metode FD-GMM menunjukkan hasil yang cukup baik karena telah melampaui syarat perlu yang harus dipenuhi untuk metode data panel dinamis. Syarat perlu tersebut adalah konsistensi hasil uji Arellano-Bond untuk m1 dan m2 serta validitas dari instrumen yang digunakan untuk estimasi model dari uji Sargan. Sesuai dengan yang diharapkan, hasil estimasi model data panel dinamis non spasial pada Tabel 12 menyatakan bahwa uji Arellano-Bond untuk m1 signifikan pada sebesar 1% dan m2 tidak signifikan pada taraf uji 10%, sedangkan hasil uji Sargan tidak signifikan pada tingkat kesalahan 10%. Setelah syarat perlu telah terpenuhi, maka perlu diperiksa kembali continuum dari hasil estimasi dan perbandingan nilai dari koefisien regresi dengan nilai parameter yang diharapkan. Mengingat penduga terbaik yang diperoleh dari metode data panel statis adalah model REM, maka untuk melihat continuum hasil estimasi, perlu dibandingkan koefisien dari FD-GMM dengan REM. Berdasarkan rangkuman hasil estimasi sebagaimana disajikan pada Tabel 12, dapat dilihat nilai koefisien parameter yang diperoleh dari kedua model tidak berbeda secara signifikan, namun hasil yang diperoleh dari FD-GMM pada penelitian ini lebih robust karena estimasi standard error yang digunakan telah dikoreksi dengan metode dari Windmeijer (2005) dari downward biased yang dihasilkan dari metode GMM standar. Merujuk pada pernyataan sebelumnya, seharusnya nilai dari standard error dari koefisien regresi yang dihasilkan oleh metode FD-GMM seharusnya sama atau lebih besar dibanding standard error dari metode REM. Tabel 12. Hasil estimasi model data panel non spasial Variabel lag P OG IR M1 XR G W2 BM W1 IS OP IS konstanta F-Test Wald-Test Chow F-Test Breusch-Pagan LM Test Hausman Test Arelano-Bond - m1 Arelano-Bond - m2 Sargan Test OLS 1,0017 (0,0377) 0,0498 (0,0202) -0,0088 (0,0002) -0,0252 (0,0081) 0,1058 (0,0109) -0,0165 (0,0048) 0,0293 (0,0031) 0,0862 (0,0035) 0,0197 (0,0161) -0,0884 (0,0329) -0,0123 (0,0032) *** ** *** *** *** *** *** *** *** *** 395,72 [0.0000] FEM 0,7112 (0,0372) 0,0373 (0,0262) -0,0077 (0,0003) -0,0309 (0,0107) -0,0220 (0,0150) -0,0168 (0,0061) 0,0352 (0,0038) 0,0857 (0,0047) 0,0149 (0,0215) -0,0778 (0,0423) 0,0043 (0,0038) *** *** *** *** *** *** * 245,98 [0.0000] 27,78 [0.3694] 0,38 [0.9970] REM 1,0017 (0,0377) 0,0498 (0,0202) -0,0088 (0,0002) -0,0252 (0,0081) 0,1058 (0,0109) -0,0165 (0,0048) 0,0293 (0,0031) 0,0862 (0,0035) 0,0197 (0,0161) -0,0884 (0,0329) -0,0123 (0,0032) *** ** *** *** *** *** *** *** *** *** 3957,25 [0.0000] FD-GMM 0.9685 (0.1631) 0.0456 (0.0822) -0.0086 (0.0008) -0.0247 (0.0217) 0.1017 (0.0347) -0.0201 (0.0192) 0.0310 (0.0103) 0.0872 (0.0035) 0.0282 (0.0369) -0.1075 (0.0625) - *** *** *** *** *** * 5063,73 [0.0000] 9,25 [0.0024] 1,83 [0.9975] -3,6541 [0.0003] 0,6787 [0.4974] 25,4306 [0.8824] Keterangan : *** : signifikan pada 01% *** : signifikan pada 05% *** : signifikan pada 10% ( ) : standart error [ ] : P-value 115 116 Berdasarkan kriteria tersebut, didapati standard error dari seluruh variabel pada model data panel dinamis lebih besar dibanding metode REM, kecuali variabel penyesuaian BBM, namun tidak merubah signifikansi dari pengaruh variabel tersebut. Secara tidak langsung hal ini menyiratkan kondisi yang cukup konsisten dari penduga FD-GMM. Tahap selanjutnya, perlu diperiksa kembali tanda dari koefisien regresi, apakah sudah sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan dan secara eksplisit telah dinyatakan pada bab sebelumnya. Berdasarkan sepuluh penduga koefisien yang diperoleh melalui metode FD-GMM, dua diantaranya yaitu pertumbuhan jumlah uang beredar dan peningkatan belanja pemerintah daerah tidak sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Dalam beberapa penelitian, anomali dari dampak peningkatan belanja pemerintah daerah terhadap inflasi sudah pernah ditemui dan kemungkinan untuk studi kasus Indonesia juga demikian kondisinya. Anomali lainnya dari hasil estimasi model data panel dinamis non spasial adalah tanda dari koefisien pertumbuhan M1 berpengaruh negatif, namun karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap inflasi maka fakta ini dapat diterima karena dalam beberapa penelitian, pada kondisi inflasi moderat money growth memang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Hasil FD-GMM ini mengisyaratkan estimasi yang lebih baik dibanding REM yang menyatakan bahwa pertumbuhan M1 berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Berdasarkan hasil tersebut, estimasi FD-GMM dianggap cukup konsisten dan diharapkan dapat digunakan untuk melihat dinamika inflasi di Indonesia. Beralih ke estimasi dengan pendekatan spasial, pada pendekatan ini digunakan juga metode statis dan dinamis. Rangkuman hasil estimasi dari model spasial pada persamaan (3.5) dengan menggunakan beberapa metode disajikan pada Tabel 13 Sebelum pembahasan lebih lanjut, perlu diketahui bahwa, untuk mendapatkan model data panel spasial dinamis sebagaimana disajikan pada Tabel 13, melalui proses cukup panjang, namun tetap mengacu pada tinjauan empiris yang disarankan Kukenova dan Monteiro (2009) dan menggunakan landasan teoritis pendekatan IS – LM. Berdasarkan tinjauan empiris dan landasan teoritis tersebut, estimasi dari metode SAB diperoleh melalui suatu sistem persamaan simultan, yaitu dengan mendefinisikan pertumbuhan uang beredar dan perubahan 117 belanja pemerintah daerah sebagai predetermine variable serta variabel keterkaitan inflasi antar provinsi (WP) dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan sebagai variabel endogen. Sama seperti pada estimasi sebelumnya, alasan pertumbuhan uang beredar ditetapkan sebagai predetermine variable mengacu pada pendekatan IS – LM dan kondisi spesifik di Indonesia. Penentuan perubahan belanja pemerintah daerah sebagai predetermine variable sesungguhnya mengakomodir kondisi spesifik di Indonesia, namun dikuatkan pula oleh hasil kausalitas granger yang menyatakan hubungan searah dari variabel ini dalam memengaruhi inflasi tetapi tidak berlaku sebaliknya. Sesuai dengan persyaratan Kukenova dan Monteiro (2009), maka variabel keterkaitan inflasi antar provinsi (WP) wajib ditetapkan sebagai variabel endogen, namun ditambah beberapa variabel lainnya. Mengingat matrik penimbang yang digunakan dalam model spasial dinamis berasal dari koefisien IRIO untuk transaksi domestik, sesungguhnya tidak diperlukan lagi variabel endogen tambahan karena IRIO sudah menangkap seluruh transaksi domestik pada pasar barang. Meski demikian, berdasarkan pengujian kausalitas granger didapati bahwa terjadi hubungan saling memengaruhi antara interaksi perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan dengan inflasi, maka variabel ini juga ditetapkan sebagai variabel endogen, namun variabel lainnya, kecuali pertumbuhan uang beredar tidak ditetapkan sebagai variabel endogen murni (fully endogenous) atau eksogen murni (fully exogenous). Merujuk pada persyaratan tambahan dari Kukenova dan Monteiro (2009) dan Jacobs et. Al. (2009), upaya untuk menangkap terjadinya spillover antar wilayah secara spasial dilakukan dengan menambahkan beberapa variabel instrumen seperti laju perubahan tertimbang spasial dari kedua predetermine variabel tersebut ditambah dengan perubahan UMP, derajat keterbukaan perdagangan dan kondisi infrastruktur. Filosofi yang mendasari penggunaan beberapa variabel instrumen ini adalah adanya keterkaitan secara spasial baik secara langsung maupun tidak langsung yang akan memengaruhi variabel tersebut atau variabel-variabel lainnya. Secara teoritis, adanya perubahan kondisi dari kelima variabel instrumen tersebut secara spasial dapat mendorong terjadinya inflasi melalui dua jalur utama, yaitu permintaan agregat dan penawaran agregat. 118 Perbandingan beberapa hasil estimasi dengan metode SAB dapat dilihat pada Tabel 3 dalam Lampiran 2. Setelah diperoleh hasil pendugaan terbaik, dalam hal ini model 6, tahap selanjutnya adalah membandingkannya dengan hasil estimasi metode data panel statis untuk melihat continuum hasil estimasi dari metode SAB. Tahapan ini bertujuan untuk memeriksa konsistensi dan robustness hasil estimasi sehingga hasil estimasi metode data panel dinamis yang selalu diklaim lebih baik dibanding hasil estimasi metode data panel statis dapat dibuktikan secara empiris, khususnya terkait dengan estimasi model dinamika inflasi di Indonesia ini. Berdasarkan tiga metode data panel statis yang digunakan, terlihat superioritas REM dibanding dua metode lainnya, dilihat dari hasil Wald chi-test, uji Hausman dan uji Breusch-Pagan LM, sementara hasil estimasi dari metode SAB juga menunjukkan kondisi terpenuhinya syarat perlu dari model dinamis, yaitu uji Arellano-Bond untuk m1 signifikan pada tingkat kesalahan 1% dan m2 tidak signifikan pada taraf uji 10%, sedangkan hasil uji Sargan tidak signifikan pada sebesar 10%. Setelah terpenuhi syarat perlu dari metode SAB, langkah berikutnya adalah memeriksa continuum hasil estimasi dan kemudian membandingkan nilai dari koefisien regresi yang diperoleh dengan nilai parameter yang diharapkan. Rangkuman hasil estimasi pada Tabel 13, juga memperlihatkan nilai koefisien regresi SAB tidak berbeda secara signifikan dengan hasil yang diperoleh REM, sementara standard error dari penduga parameter pada SAB seluruhnya menunjukkan nilai yang lebih besar dibanding standard error dari metode REM. Konsistensi dari metode SAB dibandingkan REM terletak pada perbedaan hasil estimasi koefisien penyesuaian UMP (W1) yang tidak signifikan dan sesuai dengan hasil pengujian kaualitas granger. Bardasarkan hasil tersebut, dari sisi continuum, estimasi yang dihasilkan dari metode SAB cukup baik. Tabel 13. Hasil estimasi model data panel spasial Variabel lag P WP OG IR M1 XR G W1 W2 BM OP IS konstanta F-Test Wald-Test Chow F-Test Breusch-Pagan LM Test Hausman Test Arelano-Bond - m1 Arelano-Bond - m2 Sargan Test OLS 0,8733 (0,0409) 0,2696 (0,0452) 0,2696 (0,0452) -0,0077 (0,0003) -0,0094 (0,0080) 0,0788 (0,0111) -0,0150 (0,0045) -0,0245 (0,0082) 0,0272 (0,0030) 0,0562 (0,0059) -0,0920 (0,0299) -0,0191 (0,0033) 420 FEM *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** [0,0000] 0,8205 (0,0471) 0,3036 (0,0490) 0,3036 (0,0490) -0,0074 (0,0003) -0,0058 (0,0085) 0,0704 (0,0119) -0,0171 (0,0048) -0,0254 (0,0089) 0,0279 (0,0031) 0,0529 (0,0063) -0,0869 (0,0319) -0,0170 (0,0036) 375,9 51,65 0,41 REM *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** [0,0000] [0,0020] [0,9951] SAB 0,8733 (0,0409) 0,2696 (0,0452) 0,2696 (0,0452) -0,0077 (0,0003) -0,0094 (0,0080) 0,0788 (0,0111) -0,0150 (0,0045) -0,0245 (0,0082) 0,0272 (0,0030) 0,0562 (0,0059) -0,0920 (0,0299) -0,0191 (0,0033) *** 4620,00 [0,0000] 5,77 6,16 [0,0163] [0,8626] *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** 0,7469 (0,1424) 0,3555 (0,1678) 0,0509 (0,0768) -0,0070 (0,0012) 0,0022 (0,0366) 0,0568 (0,0209) -0,0220 (0,0363) -0,0302 (0,0254) 0,0311 (0,0148) 0,0469 (0,0182) -0,1609 (0,4100) - *** ** *** *** ** ** Keterangan : 5969,83 [0,0000] -2,5258 -0,8634 23,4472 [0,0115] [0,3879] [1,0000] *** : signifikan pada 01% *** : signifikan pada 05% *** : signifikan pada 10% ( ) : standart error [ ] : P-value 119 120 Pemeriksaan selanjutnya adalah apakah arah dari koefisien regresi sudah sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Tabel 13 memperlihatkan, dari sebelas penduga koefisien yang dihasilkan oleh metode SAB, dua diantaranya yaitu peningkatan belanja pemerintah daerah dan penyesuaian UMP tidak sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Pada pembahasan sebelumnya, anomali tentang pangaruh peningkatan belanja pemerintah daerah terhadap inflasi telah disinggung dan dapat diterima karena merujuk dari beberapa penelitian empiris kondisi tersebut pernah ditemui, sementara untuk penyesuaian UMP yang berpengaruh negatif terhadap inflasi, namum karena pengaruhnya tidak siginifkan maka dapat diterima, mengingat pada pengujian kausalitas granger memang demikian kondisinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa metode SAB relatif konsisten dan robust untuk mengestimasi persamaan (3.6) dibanding metode REM dan model yang diharapkan dapat memberi gambaran mengenai dinamika inflasi di Indonesia pada tataran provinsi, sesuai dengan tujuan penelitian. 5.4.2 Model Penargetan Inflasi Pembahasan mengenai model penargetan inflasi dimaksud mengacu pada persamaan (3.7) dan persamaan (3.8) yang masing-masing diestimasi dengan menggunakan metode panel data dinamis non spasial dan metode panel data spasial dinamis. Berbeda penyajian pada tabel sebelumnya, pada model penargetan inflasi yang disajikan pada Tabel 14 tidak ditampilkan estimasi untuk metode panel data statis namun langsung menggunakan metode panel data dinamis, sehingga tidak dilakukan lagi pemeriksaan dari continuum hasil estimasi sebagaimana sebelumnya. Perlu diutarakan pula bahwa pada estimasi metode panel data dinamis non spasial menggunakan perlakuan yang sama dengan model dasar, yaitu menggunakan persamaan variabel instrumen dengan pertumbuhan M1 ditetapkan sebagai predetermine variabel, sementara pada metode spasial dinamis digunakan sistem persamaan simultan dengan variabel endogen dan predetermine variabel yang sama seperti sebelumnya, namun hanya menggunakan tiga variabel instrumen yaitu laju perubahan tertimbang spasial dari UMP, derajat keterbukaan 121 perdagangan dan kondisi infrastruktur agar bisa menangkap terjadinya spillover antar provinsi. Tabel 14. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk penargetan inflasi Variabel FD-GMM lag P 0,7070 (0,1825) - WP -0,0299 (0,0702) -0,0093 (0,0010) -0,0470 (0,0225) 0,0536 (0,0513) -0,0099 (0,0188) - OG IR M1 XR G W1 W2 0,0350 (0,0124) 0,0765 (0,0072) 0,0016 (0,0262) -0,0442 (0,0483) -0,0138 (0,0108) 0,3390 (0,1751) 0,0090 (0,0623) BM W1 IS OP IS DIT lag P DIT XR DIT SAB *** 0,5852 (0,2437) 0,5257 (0,2318) -0,0055 (0,1835) -0,0076 (0,0018) -0,0303 (0,0252) 0,0818 (0,0570) -0,0028 (0,0137) -0,0114 (0,0165) 0,0201 (0,0089) 0,0134 (0,0343) - *** ** *** *** ** ** *** ** -0,0841 (0,2242) -0,0083 (0,0110) 0,1617 (0,1823) -0,1142 (0,0941) * Wald-Test 4741,49 [0.0000] 40091,01 [0,0000] Arelano-Bond - m1 Arelano-Bond - m2 -3,7782 0,7203 [0.0002] [0.4714] -1,8505 -1,0238 [0,0642] [0,3059] Sargan Test 23,6955 [1.0000] 13,9952 [1,0000] Keterangan : dit = dummy Inflation Targeting *** : signifikan pada 01% ( ) : standart error *** : signifikan pada 05% [ ] : P-value *** : signifikan pada 10% Hasil estimasi baik dengan menggunakan metode dinamis spasial dan metode spasial dinamis memperlihatkan terpenuhinya syarat perlu yaitu hasil uji Sargan tidak signifikan pada sebesar 10% sementara uji Arellano-Bond untuk m1 signifikan pada tingkat kesalahan 10% dan m2 tidak signifikan pada taraf uji 122 10%, sedangkan Wald chi-test menunjukkan P – value yang kurang dari 1%. Sayangnya, pada metode panel dinamis non spasial didapati kondisi yang tidak konsisten dengan teori ekonomi yang berlaku umum seperti money growth memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap inflasi dan hal ini sulit dijelaskan baik secara teoritis maupun empiris. Disamping itu, ditemui pula besarnya derajat pass through dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan tidak signifikan pengaruhnya terhadap inflasi ( = 10%), sementara model dasar menyatakan hal sebaliknya. Berdasarkan pemeriksaan validitas hasil estimasi yang telah disampaikan maka dapat disimpulkan bahwa metode data panel dinamis non spasial kurang konsisten dengan teori ekonomi yang berlaku secara umum dan model sebelumnya. Tidak jauh berbeda dengan metode data panel dinamis non spasial, hasil estimasi dari metode SAB juga menyatakan pengaruh dari money growth yang negatif terhadap inflasi, namun tidak signifikan, sementara didapati besarnya exchange rate pass through yang juga tidak signifikan. Selain itu, pengaruh penyesuaian BBM yang pada model dasar berpengaruh positif dan signifikan, pada estimasi persamaan (3.8) tidak terlihat signifikan pada taraf 10%, meskipun pengaruhnya tetap positif terhadap inflasi. Berdasarkan perbandingan hasil estimasi dengan menggunakan kedua metode data panel dinamis, secara relatif metode data panel spasial dinamis lebih baik dibanding metode non spasial, namun estimasi yang diberikan kurang robust jika dibandingkan dengan estimasi model dasar. Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa estimasi tersebut merupakan hasil terbaik yang diperoleh dalam penelitian ini, sehingga estimasi tersebut tetap akan digunakan dalam interpretasi model terkait dengan penerapan kebijakan kerangka penargetan inflasi di Indonesia. 5.4.3 Model Perbedaan Kondisi Infrastruktur antar Wilayah Sebelum menjelaskan hasil estimasi dari model ini, perlu diketahui bahwa untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur terhadap volatilitas inflasi, maka hanya akan difokuskan bagaimana peran dari interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi dirinci menurut kelompok wilayah Jawa dengan luar Jawa berdasarkan persamaan 123 (3.9) dan (3.10) dan kelompok wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dari persamaan (3.11) dan (3.12). Seperti metode estimasi sebelumnya, pada FD-GMM dibuat sistem persamaan variabel instrumen dengan predetermined variable yang sama, kecuali pada kelompok wilayah KBI dengan KTI ditambah interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan, sementara untuk metode SAB menggunakan persamaan simultan dengan satu variabel endogen, yaitu keterkaitan inflasi secara spasial (WP) dan predetermined variable sebagaimana digunakan pada model dasar, namun tambahan variabel instrumen untuk model pada masing-masing kelompok wilayah berbeda. Untuk melihat inflasi kelompok wilayah Jawa dengan luar Jawa digunakan variabel instrumen berupa laju perubahan tertimbang spasial dari UMP, derajat keterbukaan perdagangan, kondisi infrastruktur dan suku bunga riil, sementara pada kelompok wilayah KBI dengan KTI tambahan instrumen yang digunakan sama dengan instrumen yang digunakan pada model dasar, guna menangkap terjadinya spillover secara spasial. Hasil estimasi dari perbedaan kondisi kelompok wilayah sebagaimana disajikan pada Tabel 15 menyatakan terpenuhinya syarat perlu dengan menggunakan uji Sargan dan uji Arellano-Bond (statistik m1 dan m2), baik diestimasi dengan FD-GMM maupun dengan metode SAB. Meski demikian, terdapat beberapa catatan terkait dengan estimasi yang dihasilkan oleh metode FD-GMM dan SAB, terkait dengan konsistensi dengan hasil estimasi model dasar. Pada model perbedaan inflasi Jawa dengan luar Jawa, pertumbuhan M1 yang diestimasi dengan FD-GMM menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap inflasi pada taraf 10%, sementara pada model dasar dampaknya tidak signifikan. Sementara untuk estimasi dengan metode SAB menunjukkan hasil yang sama dengan model dasar, baik arah maupun signifikansi dari seluruh variabel yang memengaruhi inflasi. Sedangkan untuk model perbedaan inflasi antara KBI dengan KTI, hasil estimasi metode FD-GMM memperlihatkan arah dan signifikansi yang sama pada hampir semua variabel, kecuali pengaruh dari interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat 124 keterbukaan perdagangan yang pengaruhnya signifikan pada sebesar 10% di model dasar, pada model ini tidak memberikan pengaruh signifikan. Pada pendugaan dengan metode SAB, perbedaan dengan model dasar hanya terjadi pada signifikansi dari hasil estimasinya saja. Tabel 15. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk perbedaan volatilitas inflasi antar wilayah Variabel lag P Wilayah Jawa dan Luar Jawa FD-GMM 0,9655 (0,1632) - WP *** 0,0529 (0,0741) -0,0086 (0,0008) -0,0248 (0,0150) 0,1015 (0,0344) -0,0216 (0,0186) - OG IR M1 XR G W1 W2 BM W1 IS OP IS OP IS DJW *** * *** 0,0317 (0,0091) 0,0873 (0,0037) 0,0332 (0,0470) -0,1245 (0,0545) 0,1406 (0,1408) OP IS DKTI *** *** ** - Wilayah KBI dan KTI SAB 0.7562 (0.1281) 0.3468 (0.1338) 0.0585 (0.1147) -0.0070 (0.0010) 0.0009 (0.0323) 0.0597 (0.0179) -0.0205 (0.0304) -0.0288 (0.0606) 0.0299 (0.0142) 0.0482 (0.0186) - FD-GMM *** 0.9746 *** (0.0606) - ** 0.0499 (0.0979) -0.0086 *** (0.0006) -0.0264 (0.0200) 0.1035 *** (0.0218) -0.0227 (0.0234) - *** *** ** 0.0322 *** (0.0114) 0.0867 *** (0.0044) 0.0270 (0.0600) -0.1199 (0.2023) - ** -0.1065 (0.2232) 0.0729 (0.8023) - SAB 0.7116 (0.1577) 0.3769 (0.1851) 0.0434 (0.0769) -0.0068 (0.0013) 0.0005 (0.0302) 0.0512 (0.0245) -0.0211 (0.0347) -0.0337 (0.0502) 0.0309 (0.0161) 0.0443 (0.0233) - *** ** *** ** * * -0.1998 (0.2998) - -0.0190 (0.3389) -0.0222 (0.4244) Wald-Test 7204,13 [0.0000] 7148.29 [0.0000] 4439.41 [0.0000] 5181.61 [0.0000] Arelano-Bond - m1 Arelano-Bond - m2 -3,3110 0,4095 [0.0009] [0.6822] -2.2204 [0.0264] -0.6614 [0.5084] -3.1054 [0.0019] 0.2837 [0.7766] -2.1411 [0.0323] -0.8335 [0.4046] Sargan Test 25,0530 [1.0000] 24.4450 [1.0000] 25.0623 [0.8861] 22.5063 [1.0000] 2 Keterangan : djw = dummy Pulau Jawa *** : signifikan pada 01% dkti = dummy KTI *** : signifikan pada 05% *** : signifikan pada 10% ( ) : standart error [ ] : P-value Secara umum, estimasi dari kedua metode memperlihatkan hasil yang cukup baik karena tanda koefisien cukup konsisten dengan hasil estimasi yang 125 diperoleh dari model dasar, permasalahannya hanya pada masalah tingkat signifikansi dari koefisien hasil estimasi saja. Oleh karenanya, pendugaan dengan kedua metode data panel dinamis tersebut tetap akan digunakan, mengingat interpretasi model hanya akan difokuskan pada interaksi antara perbedaan kondisi infrastruktur dan trade openness terhadap inflasi saja sedangkan variabel lainnya digunakan untuk melihat robustness hasil estimasi. 5.5 Respon Inflasi terhadap Variabel-variabel Non Kebijakan 5.5.1 Peran Inersia Inflasi Pembentukan Inflasi dan Keterkaitan Secara Spasial dalam Besarnya pengaruh inersia inflasi terhadap pembentukan inflasi tahun berjalan adalah 0,7469 dengan metode Spatial Arellano Bond (SAB), sedangkan dengan metode non spasial besarnya pengaruh inersia inflasi adalah 0,9685. Secara tidak langsung, inersia inflasi ini merepresentasikan bagaimana ekspektasi masyarakat terhadap inflasi pada tahun berjalan sangat dipengaruhi oleh besarnya inflasi tahun sebelumnya, disamping juga dapat diartikan sebagai derajat persistensi inflasi, tentunya dengan merujuk pada formulasi dari spesifikasi model yang digunakan. Tingginya inersia inflasi tersebut secara tidak langsung menyiratkan perilaku backward looking dalam pembentukan ekspektasi terhadap inflasi merupakan hal yang penting mengingat tingginya derajat persistensi inflasi. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prasertnukul et al. (2010) yang menyatakan besarnya inersia inflasi adalah 0,550; maka metode SAB menunjukkan hasil estimasi yang tidak berbeda secara signifikan. Hasil penelitian lainnya yang hampir sama diperoleh dari penelitian Solikin (2004) mengenai uji keberadaan kurva Phillips versi tradisional, untuk sampel tahun 1974 – 2002 tercatat inersia inflasi sebesar 0,602; sementara untuk periode tahun 1997 – 2002 besarnya 0,603. Perlu dicatat, meski dalam penelitian Prasertnukul et al. (2010) kesimpulan diperoleh dari eksplorasi data time series, demikian pula dengan Solikin (2004), sementara pada penelitian ini menggunakan data panel, namun hasil estimasi dari koefisien inersia inflasi menunjukkan hasil yang tidak berbeda secara signifikan. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, hasil estimasi dari metode FD-GMM juga memperlihatkan hasil yang tidak berbeda secara signifikan dengan temuan dari Wimanda (2006), karena 126 secara rata-rata besarnya persistensi inflasi pada tingkat provinsi sebesar 0,914 dan secara nasional besarnya adalah 0,964. Estimasi dari persamaan (3.6) dengan metode SAB yang merupakan novelti dari penelitian ini adalah keterkaitan inflasi antar provinsi yang memberi peran terhadap pembentukan inflasi sebesar 0,3555; artinya jika secara rata-rata terjadi peningkatan inflasi di provinsi lain sebesar 1%, maka akan mendorong terjadinya peningkatan inflasi sebesar 0,36% di suatu provinsi, dengan catatan pada kondisi ceteris paribus. Keterkaitan inflasi secara spasial ini tentu tidak dapat dinafikan mengingat pada pembahasan sebelumnya sebagaimana disajikan pada Tabel 7 (bab II), ditemukan fakta mengenai adanya korelasi inflasi antar provinsi yang cukup kuat pada hampir seluruh provinsi dan fakta empiris tersebut hampir sama dengan hasil penelitian dari Wimanda (2006) untuk rentang waktu setelah krisis ekonomi. Temuan dari model spatial lag ini bisa jadi merupakan jawaban atas penyebab inflasi di Indonesia yang tidak hanya dipengaruhi oleh persistensi inflasi dari masing-masing provinsi sebagai faktor utama yang menentukan besarnya inflasi tetapi juga pergerakan harga yang berasal dari provinsi lainnya. Pada model spatial lag ini, pengaruh dari inersia inflasi didekomposisi menjadi persistensi inflasi masing-masing provinsi dan pengaruh inflasi dari provinsi lain. Jika kemudian diagregasi, pengaruh inersia inflasi dari persamaan (3.6) menjadi sebesar 1,1024 dan tidak berbeda secara signifikan dengan hasil estimasi untuk persamaan (3.5) yang menggunakan FD-GMM. Berdasarkan ketebandingan dengan beberapa penelitian terdahulu dan hasil estimasi dari metode non spasial yang dinyatakan dalam persamaan (3.5), maka dapat disimpulkan bahwa hasil estimasi dari persamaan (3.6) dengan menggunakan metode SAB cukup valid. Bahkan terdapat satu keuntungan tambahan terkait dengan model yang digunakan yaitu diketahuinya sumber utama penyebab inflasi di Indonesia, mengingat persistensi inflasi dapat didekomposisi. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, keuntungan tambahan yang diperoleh dari model spatial lag di atas merupakan salah satu kontribusi dari penelitian ini. 127 5.5.2 Pengaruh Output Gap terhadap Inflasi Estimasi koefisien regresi data panel dinamis menyatakan bahwa output gap tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap inflasi, baik diestimasi dengan metode non spasial maupun dengan metode spasial (Tabel 12 dan Tabel 13). Hasil estimasi ini sepertinya terkait erat dengan kondisi umum Indonesia karena pada hampir seluruh provinsi, output aktual berada di bawah output potensial untuk periode tahun 2000 – 2006 dan baru pada tiga tahun setelahnya output aktual berada di atas kondisi potensialnya atau dengan kata lain, lebih dari separuh rentang waktu penelitian, output gap berada pada kondisi negatif (Gambar 14). Secara teoritis, pada kondisi demikian, inflasi lebih disebabkan oleh sisi penawaran dibanding sisi permintaan, mengingat output gap tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Meski tidak signifikan, namun dapat dilihat nilai dari koefisien tersebut positif dan sesuai dengan landasan teoritis. Merujuk pada hasil penelitian Solikin (2004) tentang keberadaan kurva Phillips di Indonesia dan Wimanda et al. (2011) mengenai determinan inflasi di Indonesia, didapati peran output gap dalam pembentukan inflasi cukup signifikan. Hasil ini tentu tidak sejalan dengan temuan yang telah dijelaskan sebelumnya, karena dengan pendekatan inflasi regional pada tataran provinsi output gap tidak berperan signifikan terhadap pembentukan inflasi. Perbedaan hasil temuan ini sepertinya terkait erat dengan formulasi dari spesifikasi model pada penelitian Solikin (2004) yang murni menggunakan model hybrid NKPC dan lag output gap sebagai proksi dari driving force variable. Berbeda dengan Solikin (2004), Wimanda et al. (2011) menggunakan spesifikasi model perluasan dari hybrid NKPC, sehingga hasil model tersebut lebih bisa dibandingkan dengan model penelitian ini. Perbedaan hasil penelitian ini dengan kajian Wimanda et al. (2011) merupakan temuan menarik terkait dengan pendekatan yang berbeda, yaitu penelitian ini menggunakan pendekatan pada tataran provinsi, sementara kajian sebelumnya menggunakan pendekatan pada level nasional. Mencermati hasil penaksiran output potensial dan output gap pada pembahasan sebelumnya, yaitu selama periode tahun 2006 – 2009 terjadi kondisi output aktual melebihi kondisi potensialnya, maka untuk periode selanjutnya bila 128 hal tersebut terus terjadi, dimungkinkan pengaruh dari output gap terhadap inflasi menjadi signifikan mengingat pada kondisi tersebut akan terjadi kelebihan permintaan. Guna menjawab pertanyaan tersebut, dibutuhkan tambahan data beberapa periode ke depan dan disarankan agar melakukan penelitian lebih lanjut. 5.5.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi Depresiasi nilai tukar dapat menyebabkan terjadinya imported inflation karena nilai barang-barang impor menjadi lebih mahal dan mendorong terjadinya inflasi, baik secara langsung melalui konsumsi akhir maupun berasal dari barang domestik yang sebagian besar berbahan baku impor. Dalam beberapa kajian, dampak perubahan nilai tukar terhadap inflasi sering diistilahkan sebagai exchange rate pass through (ERPT). Perhatian terhadap besarnya ERPT memicu banyak kajian untuk mengetahui seberapa jauh dampak fluktuasi nilai tukar terhadap volatilitas inflasi. Besarnya derajat ERPT bisa mengindikasikan seberapa besar tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian global. Semakin besar derajat pass through berarti semakin tinggi tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian luar negeri. Hasil estimasi pada Tabel 12 dan Tabel 13 menyatakan dampak perubahan nilai tukar terhadap inflasi adalah signifikan pada taraf nyata 1%, dengan besarnya pengaruh 0,0568 berdasarkan estimasi metode SAB dan 0,1017 dari metode FD-GMM. Dibanding Tabel 13 penelitian sebelumnya dari Prasertnukul et al. (2010), dengan menggunakan data Januari 1990 – Juni 2007 dan Wimanda (2006) yang menggunakan data periode tahun 1999 – 2006, besarnya ERPT ini meningkat, namun masih lebih rendah dibanding penelitian dari Achsani dan Nababan (2008). Peningkatan pass through dibanding hasil penelitian Prasertnukul et al. (2010) dan Wimanda (2006), tentunya erat kaitannya dengan krisis finansial global yang dampaknya sempat dirasakan di Indonesia. Hal lain yang juga berkaitan erat dengan peningkatan ERPT adalah tekanan harga minyak dunia yang meningkat di tahun 2008 dan mencapai level tertinggi pada Juli 2008. Akibat kedua shock yang berasal dari perekonomian global tersebut, nilai tukar nominal terdepresiasi hingga sempat menyentuh level Rp. 12.000,-/dolar AS dan merupakan level terendah pasca krisis ekonomi 1998. Sementara lebih rendahnya ERPT dari kedua metode yang digunakan pada 129 penelitian ini dibanding hasil dari Achsani dan Nababan (2008) karena pada penelitian tersebut memasukkan guncangan harga minyak dunia ke dalam estimasi, sedangkan pada penelitian ini, guncangan tersebut tidak langsung berpengaruh mengingat harga BBM merupakan administered prices yang merupakan kebijakan dari pemerintah pusat. Perbedaan proksi variabel dalam spesifikasi model yang digunakan dalam kajian Achsani dan Nababan (2008) dengan penelitian ini membuat keduanya cenderung tidak dapat dibandingkan, namun bukti mengenai tingginya derajat pass through dari kajian sebelumnya tersebut tentu tidak dapat dinafikan. Barang Konsumsi Bahan Baku/Penolong Barang Modal 100 80 60 40 20 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : BPS Gambar 15. Perkembangan impor menurut penggunaan barang tahun 2000 – 2010 (dalam CIF miliar US$) Fakta mengenai tingginya derajat pass through di Indonesia secara implisit menyiratkan bahwa perekonomian domestik kian terintegrasi dengan perekonomian global. Konsekuensinya adalah perekonomian domestik menjadi kian terbuka dan hal ini akan menyebabkan semakin rentannya perekonomian domestik terhadap shock yang berasal dari perubahan kondisi global apabila fondasi ekonomi domestik tidak dibangun secara baik. Di bawah area perjanjian pasar bebas yang ditandatangani Indonesia dengan beberapa negara mitra wicara dalam beberapa tahun terakhir, meningkatnya ketergantungan perekonomian 130 domestik terhadap perekonomian global seakan tidak dapat dielakkan lagi, karena wacana penghapusan hambatan biaya masuk yang menjadi benteng terakhir dalam memroteksi masuknya barang impor perlahan-lahan harus dilaksanakan. Tingginya derajat pass through ini tentunya erat kaitannya dengan besarnya penggunaan barang-barang impor, terutama kategori bahan baku atau bahan penolong untuk kegiatan produksi domestik, mengingat lebih dari 70% pangsa impor Indonesia merupakan kategori barang tersebut (Gambar 15). Disamping itu, dapat dilihat pula tingkat ketergantungan impor untuk kategori barang modal terlihat cukup tinggi, yaitu tidak kurang dari 13% dalam kurun tahun 2000 – 2009. Tingginya prosentase impor untuk kategori bahan baku atau bahan penolong dan impor kategori barang modal menyebabkan perubahan harga barang impor akan ditransmisi semakin jauh ke dalam perekonomian domestik sehingga dampaknya akan semakin besar terhadap inflasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, permasalahan tingginya ERPT kembali pada struktur perekonomian domestik yang kemudian berujung dengan masalah daya saing dari produk domestik terhadap produk impor, baik dari sisi harga maupun kualitas dari produknya. Selain itu, perlu juga melakukan strategi pengurangan impor seperti melalui substitusi bahan baku, himbauan penggunaan produk domestik dan kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar berasal dari produksi dalam negeri untuk lebih menguatkan fondasi ekonomi domestik. 5.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur Seperti pada pembahasan sebelumnya, untuk melihat respon inflasi terhadap perubahan kondisi infrastruktur digunakan dua metode, yaitu data panel dinamis non spasial dan data panel spasial dinamis dengan formulasi yang sedikit berbeda, yaitu dimasukkannya interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP pada metode FD-GMM, sementara pada metode SAB, dampak penyesuaian UMP dilihat secara langsung dan hal tersebut sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Merujuk pada Tabel 12, pengaruh dari perubahan kondisi infrastruktur yang diinteraksikan dengan penyesuaian UMP memberi pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap volatilitas inflasi. Pengaruh yang tidak signifikan ini dari 131 penyesuaian upah minimum ini terhadap inflasi ini konsisten dengan pembahasan sebelumnya yang melihat dampaknya secara langsung terhadap inflasi dan hasil pengujian kausalitas granger. Meski hasil keduanya tidak signifikan, namun menariknya, pada kondisi ceteris paribus, dampak dari laju penyesuaian UMP secara simultan dengan laju perubahan kondisi infrastruktur adalah positif terhadap inflasi, berbeda dengan pembahasan sebelumnya yang menyatakan, tanpa adanya perubahan kondisi infrastruktur, pengaruh penyesuaian UMP adalah negatif terhadap inflasi. Temuan menarik ini secara tidak langsung menguatkan Oosterhaven and Elhorst (2003) yang menyatakan bahwa untuk melihat dampak infrastruktur terhadap variabel makro ekonomi harus ditelusuri lebih lanjut bagaimana respon dari pasar tenaga kerja atas perubahannya, misalnya dari sisi penyerapan tenaga kerja atau tingkat pengangguran atau dari sisi penyesuaian upah, sehingga dampak bauran dari keduanya tidak mudah untuk diprediksi. Selain dilihat respon dari sisi pasar tenaga kerja, perubahan kondisi infrastruktur juga perlu dilihat responnya dari sisi jalur perdagangan. Hasil estimasi antara interaksi dari perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi memperlihatkan pengaruh yang negatif terhadap inflasi terhadap volatilitas inflasi, baik berdasarkan estimasi dengan metode FD-GMM maupun dengan metode SAB. Pengaruh yang negatif ini sesuai dengan teori pertumbuhan regional yang menyatakan perbaikan infrastruktur akan berpengaruh pada penurunan biaya transpor dan teori standar perdagangan internasional yang menyatakan makin tinggi derajat keterbukaan berarti semakin tinggi pula volume dari ekspor dan impor dari suatu daerah dan untuk itu barang-barang ekspor maupun impor harus dapat bersaing, salah satunya dari sisi harga sehingga akan memicu penurunan harga. Perbedaan yang ditemui adalah signifikannya pengaruh dari interaksi tersebut taraf 10% berdasarkan hasil estimasi metode FD-GMM, sebaliknya dengan metode SAB menyatakan hal sebaliknya. Secara pemodelan, dapat dilihat jika hasil estimasi dari FD-GMM relatif lebih sensitif terhadap shock dari luar negeri dibanding hasil yang diperoleh metode SAB. Hal ini bisa dilihat dari koefisien dari derajat pass through dan penyesuaian harga BBM dari FD-GMM yang besarnya hampir dua kali lipat dari hasil estimasi SAB atau tingkat 132 signifikansi dari variabel-variabel yang terkait dengan shock dari luar seperti nilai tukar, harga BBM dan trade openness. Kurang sensitifnya hasil pendugaan dari metode SAB disebabkan oleh besarnya porsi penimbang dan instrumen yang merepresentasikan transaksi pada pasar domestik guna menangkap spillover secara spasial. Berdasarkan hasil tersebut, estimasi dari setiap metode memiliki kelebihan maupun kekurangan masing-masing untuk menjelaskan dinamika inflasi di Indonesia. Berdasarkan hasil estimasi dari FD-GMM, maka kata kunci untuk meredam atau menurunkan volatilitas inflasi di Indonesia adalah peningkatan kondisi infrastruktur yang harus dibarengi dengan peningkatan daya saing lokal. Melalui peningkatan daya saing misalnya, maka ekspor neto akan terus meningkat dan akan memicu terjadinya apresiasi nilai tukar, sehingga secara tidak langsung akan menurunkan exchange rate pass through (ERPT). Sementara dengan peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transportasi terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu wilayah disamping juga akan berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor dan impor suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi yang lebih cepat antar wilayah. Dilihat dari koefisien interaksi antara keduanya terhadap inflasi, jika secara simultan laju dari perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat perdagangan terjadi sebesar 1%, maka dapat menurunkan volatilitas inflasi sebesar 0,11%. Secara pemodelan, interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan terbilang baru baik dalam kajian pada level nasional maupun pada tataran regional ASEAN. Hasil ini merupakan temuan signifikan dalam penelitian ini, meskipun banyak kalangan telah menyatakan hal yang sama namun tidak disertai oleh bukti empiris sebagaimana penelitian ini. Temuan ini tentunya menjadi salah satu novelti dari penelitian ini dan diharapkan dapat melengkapi kekurangan atau kesenjangan pembahasan yang terjadi pada kajian-kajian sebelumnya khususnya terkait dengan bahasan mengenai dinamika inflasi Indonesia. 133 5.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur Pembahasan mengenai perbedaan inflasi antar wilayah sesungguhnya telah disampaikan pada bab sebelumnya, dilihat dari tinggi-rendahnya inflasi secara secara relatif antara wilayah Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI. Hanya saja, pada pembahasan tersebut belum ditelusuri lebih lanjut penyebab dari perbedaan inflasi antar wilayah. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab perbedaan tersebut adalah kondisi infrastruktur yang berbeda antara Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI. Oleh karenanya, pada pembahasan ini akan dilihat apakah interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan derajat keterbukaan perdagangan yang kemudian menjadi penyebab terjadinya perbedaan inflasi antar wilayah. Hasil estimasi data panel dinamis sebagaimana disajikan pada Tabel 15 menyimpulkan bahwa perbedaan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan derajat keterbukaan perdagangan untuk wilayah Jawa dan luar Jawa tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf 10% terhadap volatilitas inflasi, baik diestimasi dengan FD-GMM maupun dengan metode SAB. Hal yang sama juga ditunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada =10%, pengaruh interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan derajat keterbukaan perdagangan pada KBI dan KTI terhadap gejolak inflasi yang terjadi pada kedua wilayah tersebut. Meski pengaruhnya tidak signifikan, namun dapat dilihat koefisien hasil estimasi dari kedua metode menunjukkan nilai yang positif untuk perbedaan kondisi inflasi antara Jawa dengan luar Jawa. Interpretasi dari nilai positif tersebut adalah, sebagai akibat perbedaan laju perubahan kondisi infrastruktur dengan laju perubahan derajat keterbukaan perdagangan secara bersama-sama menyebabkan volatilitas inflasi di Jawa lebih rendah dibanding luar Jawa. Sebaliknya, hasil estimasi dengan kedua metode panel data dinamis memperlihatkan koefisien negatif untuk dummy slope yang membedakan volatilitas inflasi KTI terhadap KBI, yang berarti perbedaan interaksi antara laju perubahan kondisi infrastruktur dengan laju perubahan derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan volatilitas inflasi di KTI lebih tinggi dibanding KBI. 134 Hasil tersebut sepertinya tidak sejalan dengan pendapat beberapa kalangan yang menyatakan bahwa perbedaan kondisi infrastruktur merupakan faktor utama yang menyebabkan perbedaan volatilitas atau perbedaan tingkat inflasi antar wilayah, utamanya untuk Jawa dengan luar Jawa. Menyikapi hal tersebut, disarankan untuk memperluas proksi dari data infrastruktur yang tidak hanya diwakili panjang jalan raya kualitas baik saja, tetapi memasukkan beberapa infrastruktur lainnya seperti panjang jalan tol, panjang rel kereta api serta beberapa infrastruktur ekonomi lainnya. Lebih lanjut, terkait dengan penjelasan pada bab sebelumnya, mengenai struktur ekonomi menurut wilayah, dimungkinkan hal tersebut bisa menjelaskan lebih jauh mengenai adanya perbedaan tingkat inflasi maupun perbedaan volatilitas inflasi antara wilayah. Hal tersebut merupakan usulan untuk penelitian lebih lanjut, tentunya dengan data yang lebih mutahir serta metode estimasi yang lebih baik lagi. Usulan ini tentu saja didasari oleh salah satu hasil penelitian ini, yaitu volatilitas inflasi secara signifikan dipengaruhi pula oleh perubahan kondisi infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan. 5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan Otoritas Moneter 5.6.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat Kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyesuaian harga BBM yang merupakan administered prices dan penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI yang tidak lain mewakili upah minimum sektor pemerintah. Merujuk pada Tabel 13 dapat dilihat, laju penyesuaian harga BBM akan berpengaruh positif pada peningkatan inflasi, dengan besarnya pengaruh 0,0483 untuk metode SAB dan 0,0872 dari metode FD-GMM. Artinya, laju penyesuaian harga BBM sebesar 10% akan meningkatkan inflasi yang tidak lebih dari 0,87%, dengan catatan, kondisi variabel-variabel lainnya tidak berubah. Tabel 13 memperlihatkan pula laju penyesuaian gaji pegawai pemerintah berpengaruh positif dan signifikan (= 5%) terhadap peningkatan inflasi, dengan besarnya koefisien regresi panel sekitar 0,0311. Interpretasi dari hasil ini adalah, jika terjadi laju penyesuaian gaji pegawai pemerintah sebesar 10%, maka akan memberi sumbangan peningkatan inflasi sebesar 0,31% pada kondisi ceteris paribus. 135 Kedua hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat dalam menyesuaikan besarnya harga BBM dan gaji pegawainya secara signifikan akan memicu terjadinya volatilitas inflasi. Mengingat dampaknya terhadap inflasi, seyogianya kebijakan ini harus dilakukan secara berhati-hati. Lebih lanjut, merujuk pada Mohanty dan Klau (2001), administered prices yang dalam hal ini diwakili oleh harga BBM dapat berpengaruh besar terhadap inflasi, namun tergantung bagaimana perilaku dan respon kebijakan moneter dari penyesuaian tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 12 bagaimana perilaku penyesuaian harga BBM dan respon kebijakan moneter seperti jumlah uang beredar (M1) dan BI rate. Gambar 12 memperlihatkan, penyesuaian harga BBM tidak dilakukan secara periodik, sementara pada saat terjadi penyesuaian harga BBM, Bank Indonesia berusaha menaikkan suku bunga acuan akan tetapi secara bersamaan M1 terus meningkat seperti diperlihatkan dalam Gambar 9. Menurut Phillips (1994 dalam Mohanty dan Klau, 2001), jika penyesuaian tidak dilakukan secara periodik seperti pada harga BBM, maka penyesuaiannya akan menyebabkan inflasi. Fakta lain yang tidak dapat diingkari adalah keterkaitan harga BBM dengan komoditi lainnya sehingga jika terjadi kenaikan harga BBM maka akan diikuti oleh kenaikan harga-harga komoditi lainnya sehingga akan memicu terjadinya inflasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Lünnemann and Mathä (2005), dan hal ini didukung oleh Mohanty dan Klau (2001) yang menyatakan kenaikan pada administered prices tidak dikompensasi oleh penurunan harga pada komoditi lainnya. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa pihak otoritas moneter baik secara langsung maupun tidak langsung juga ikut mengakomodasi melalui penambahan M1 dan kondisi ini menurut Mohanty dan Klau (2001) juga akan menyebabkan inflasi. Selanjutnya, sepanjang tahun 2000 – 2009, penyesuaian gaji untuk pegawai pemerintah dilakukan secara periodik sejak tahun 2006, sementara periode sebelumnya tidak dilakukan penyesuaian setiap tahun. Selama beberapa kali terjadi penyesuaian, didapati secara nominal, besarannya selalu saja lebih tinggi dibanding besarnya inflasi tahun berjalan. Fakta ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa ketika terjadi penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI, besaran 136 penyesuaian secara nominal ikut membangun ekspektasi masyarakat akan tingkat inflasi yang akan terjadi pada tahun berjalan dan hal ini sejalan dengan hasil penelitian Solikin dan Sugema (2004) yang telah disampaikan sebelumnya. Meski hasil penelitian ini tidak berbeda dengan dua penelitian sebelumnya, namun perlu dicatat bahwa hal tersebut tidak menunjukkan pengaruh langsung terhadap inflasi. Studi empiris yang secara eksplisit menyatakan bahwa administered prices berpengaruh signifikan terhadap inflasi pernah dilakukan oleh Indrawati (1996, dalam Atmadja, 1999), namun untuk pengaruh signifikan dari penyesuaian gaji pegawai pemerintah terhadap inflasi belum pernah diteliti sebelumnya dan hal ini merupakan temuan yang signifikan dari penelitian ini. 5.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada penelitian ini kebijakan pemerintah daerah hanya difokuskan pada pengeluaran belanja pemerintah daerah terkait dengan masalah desentralisasi fiskal dan penyesuaian upah minimum provinsi (UMP) sebagai salah satu jejaring pengaman sosial. Pengaruh dari penyesuaian UMP secara langsung terhadap inflasi ini diestimasi dengan model spasial dengan pertimbangan metode SAB sudah memasukkan dampak spillover dari beberapa variabel yang secara spasial akan berpengaruh terhadap inflasi. Pada model non spasial penyesuaian UMP diinteraksikan dengan perubahan kondisi infrastruktur sehingga akan dibahas pada bagian pengaruh perubahan infrastruktur terhadap inflasi di sub bab selanjutnya. Pengaruh kedua kebijakan tersebut terhadap inflasi, seperti dapat dilihat pada Tabel 13 menunjukkan dampak yang negatif namun tidak signifikan pada taraf 10%. Temuan mengenai pengaruh negatif dari kedua kebijakan tersebut terhadap inflasi tentu saja tidak sesuai dengan landasan teoritis yang berlaku secara umum, karena seharusnya berpengaruh positif terhadap inflasi. Anomali tersebut tidak terlalu merisaukan karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap inflasi, namun tetap menarik untuk ditelusuri lebih lanjut apakah hanya terjadi di Indonesia atau pernah terjadi pada negara lainnya. Terkait dengan dampak pengeluaran belanja pemerintah daerah terhadap inflasi dalam kerangka desentralisasi fiskal, terdapat dua penelitian yang menyimpulkan hal yang sama dengan hasil penelitian ini, yaitu Oommen (2008) 137 yang melaporkan penelitian di India dan Bodman et al. (2009) untuk negara Australia. Lebih lanjut, hasil penelitian di Australia menyimpulkan bahwa penerimaan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Rekam jejak hasil penelitian tersebut tentu menarik untuk dibandingkan dengan kondisi di Indonesia. Penelusuran lebih lanjut memperlihatkan adanya korelasi yang cukup kuat antara pengeluaran belanja pemerintah daerah dengan penerimaan daerah yang terdiri dari pajak daerah dan retribusi, sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Artinya, semakin besar pengeluaran belanja daerah, maka pemerintah daerah akan berusaha meningkatkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi demi menutup pengeluarannya tersebut. Hal ini tentu saja sejalan dengan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah termasuk mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang sah. Berdasarkan arah hubungan yang diperlihatkan pada Tabel 16 maka penjelasan mengenai dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap inflasi terjawab. Tabel 16. Korelasi antara pengeluaran pemerintah daerah dengan penerimaan daerah tahun 2000 – 2009 Wilayah Penerimaan Daerah Pajak Daerah (P) Retribusi (R) P+R Jawa Luar Jawa 0.6559 0.7413 0.9397 0.7771 0.7444 0.7604 KBI KTI 0.7834 0.7168 0.9110 0.6491 0.8285 0.7251 Total 0.7663 0.8907 0.8091 Sumber : Kemenkeu (diolah) Selanjutnya, untuk menjelaskan pengaruh negatif dan tidak signifikan dari penyesuaian UMP terhadap inflasi sepertinya harus memperhatikan dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Sugiyarto dan Endriga (2008) mencatat adanya dampak negatif dari kenaikan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja untuk golongan tidak terdidik, namun memberi dampak positif bagi kalangan tenaga kerja terdidik di Indonesia. Studi sebelumnya dari Maning (2003, dalam Sugiyarto dan Endriga, 2008) menyatakan dampak negatif dari kenaikan upah minimum terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja secara 138 total, artinya kenaikan upah minimum berdampak positif pada tingkat pengangguran. Studi dari Maning ini secara tidak langsung menyimpulkan hasil penelitian Sugiyarto dan Endriga mengingat jumlah tenaga kerja tidak terdidik lebih besar dibanding kalangan pekerja terdidik. Fakta terkini dari kedua penelitian tersebut bisa dibandingkan dengan respon pasar tenaga kerja di Indonesia yang menyatakan adanya korelasi positif antara besarnya UMP dengan tingkat pengangguran seperti dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan hubungan yang tidak semestinya seperti diperlihatkan pada Tabel 17 menyebabkan kebalikan dari mekanisme transmisi dari UMP terhadap inflasi, sehingga pengaruhnya menjadi negatif. Tabel 17. Korelasi antara upah minimum provinsi (UMP) riil dengan tingkat pengangguran tahun 2000 – 2009 Wilayah Periode 2000 - 2004 2005 - 2009 2000 - 2009 Jawa Luar Jawa 0.6714 0.5383 0.4668 0.0161 0.5761 0.3120 KBI KTI 0.5936 0.4561 0.1298 0.0873 0.3852 0.2721 Total 0.5456 0.1032 0.3440 Sumber : Kemenakertrans dan BPS (diolah) Berkenaan dengan dampak UMP yang tidak signifikan terhadap inflasi, pada pembahasan tentang kausalitas granger telah disinggung bahwa arah hubungan antara keduanya adalah inflasi memengaruhi UMP tetapi tidak sebaliknya. Hal ini terkait dengan perilaku wage setter dalam menetapkan upah yang cerderung backward looking dibanding forward looking, sehingga inflasi secara signifikan memengaruhi penyesuaian upah minimum. Kondisi yang hampir sama, yaitu penyesuaian upah tidak secara signifikan memengaruhi inflasi juga dikemukakan oleh Hess and Schweitzer (2000) pada studi di Amerika Serikat. Penelitian Lemos (2004b) untuk kasus negara yang sama menyatakan bahwa pengaruh penyesuaian upah minimum relatif kecil terhadap inflasi. 5.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter Sangat disadari bahwa pihak otoritas moneter memiliki beberapa pilihan kebijakan moneter melalui banyak mekanisme transmisi untuk memengaruhi 139 output dan tingkat inflasi. Berkenaan dengan banyaknya pilihan atas kebijakan moneter, penelitian ini dibatasi hanya untuk melihat kebijakan moneter yang terkait dengan penyesuaian suku bunga acuan (BI rate) dan penambahan jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1). Lebih lanjut mengenai pembahasan mengenai dua jalur mekanisme transmisi yang akan diteliti adalah sebagai berikut. Estimasi dengan metode FD-GMM dan SAB pada Tabel 13 menunjukkan bahwa pengaruh laju penyesuaian BI rate terhadap volatilitas inflasi adalah negatif dan signifikan pada taraf 1%. Besarnya pengaruh laju penyesuaian BI rate terhadap volatilitas inflasi dengan metode FD-GMM adalah -0,0086; sementara dengan metode SAB sebesar -0,0070; artinya jika laju penyesuaian BI rate sebesar 1% akan menurunkan volatilitas inflasi tidak lebih dari 0,0086%. Menurut Bank Indonesia, kecilnya pengaruh dari penyesuaian BI rate terhadap inflasi karena suku bunga acuan hanya bisa memengaruhi inflasi inti saja dan tidak dapat memengaruhi inflasi umum (Gambar 16). Meski dalam penjelasannya, memungkinkan BI rate dapat memengaruhi inflasi melalui beberapa jalur mekanisme transmisi, namun dari beberapa jalur transmisi kebijakan moneter sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 16, tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan. Pada jalur suku bunga misalnya, seharusnya BI rate bisa memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit, namun ternyata hanya dapat memengaruhi suku bunga deposito saja sementara suku bunga kredit seakan tidak terpengaruh dan tetap berada pada level yang tinggi sebagaimana telah dibahas sebelumnya (Gambar 9). Pengaruh BI rate juga kian berkurang setelah diterbitkannya obligasi pemerintah sejak April 2006 yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi dari suku bunga deposito sehingga dimungkinkan terjadi kekeringan likuiditas. Hal yang sama juga terjadi, ketika BI rate diharapkan bisa memengaruhi kredit, karena didapati nilai kredit yang disalurkan lebih besar dari nilai simpanan hanya terjadi di 14 dari 26 provinsi yang diteliti dan umumnya untuk tahun 2008 atau 2009 saja (Gambar 10). 140 Sumber : www.bi.go.id Gambar 16. Jalur mekanisme transmisi kebijakan penetapan BI rate. Sedikit berbeda dengan dua jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter yang telah dijelaskan sebelumnya, penyesuaian BI rate terlihat cukup efektif dalam memengaruhi nilai tukar, namun tidak secara keseluruhan melainkan hanya pada beberapa episode saja (Gambar 11). Adapun dampak tidak langsung dari efektivitas penyesuaian BI rate ini lebih lanjut adalah akan terjadi penurunan exchange rate pass-through (ERPT) dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Contoh nyata dari penyesuaian BI rate seperti dicatat dalam penelitian Habermeier et al. (2009) adalah ketika terjadi krisis finansial global tahun 2008, BI mulai menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin sejak Mei 2008 guna menstabilkan nilai tukar disamping berusaha untuk meredam tekanan inflasi yang dikhawatirkan akan mencapai dua digit dan tekanan kenaikan harga minyak di pasar internasional. Kebijakan ini dinilai cukup berhasil karena setidaknya inflasi pada tahun 2008 lebih rendah dibanding inflasi pada tahun 2005, meski tetap saja tingkat inflasi berada pada kisaran dua digit dan lebih tinggi dari yang ditargetkan. Jalur mekanisme transmisi lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 16 adalah jalur harga asset dan jalur ekspektasi inflasi. Untuk jalur harga 141 asset tidak akan dibahas lebih lanjut, sementara untuk jalur ekspektasi inflasi nampaknya juga tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Alasannya adalah pada pembahasan sebelumnya mengenai peran inersia inflasi dalam pembentukan inflasi, diperoleh hasil estimasi yang cukup tinggi. Secara tidak langsung, hasil ini menyatakan masih tingginya derajat persistensi inflasi di Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi cenderung bersifat backward looking dibanding melihat tingkat inflasi yang ditargetkan Bank Indonesia atau bersifat forward looking dan kondisi ini akan membuat mekanisme transmisi menjadi bias terhadap sasaran yang ditargetkan. Terlepas besar-kecilnya pengaruh dari penyesuaian BI rate terhadap inflasi, namun pengaruhnya yang signifikan secara tidak langsung menyatakan bahwa BI rate dapat dijadikan opsi dalam mengendalikan inflasi. Hasil ini sesuai dengan kajian dari Wimanda et al. (2011) yang menyatakan bahwa suku bunga merupakan determinan inflasi di Indonesia. Kebijakan moneter lainnya yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah dampak laju pertumbuhan M1 terhadap inflasi. Pada Tabel 13 dapat dilihat pengaruhnya terhadap inflasi adalah positif pada estimasi dengan SAB dan negatif berdasarkan estimasi metode FD-GMM, namun keduanya tidak signifikan pada taraf nyata 10%. Mengingat pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap inflasi, maka tanda koefisien dari estimasi dari metode FD-GMM dapat dikesampingkan. Temuan ini berbeda dengan penelitian Wimanda et al. (2011) dengan berdasarkan pendekatan level nasional dan rentang data tahun 1980 – 2008, sebaliknya menyatakan bahwa jumlah uang beredar merupakan determinan inflasi. Perbedaan hasil kajian ini dengan Wimanda et al. (2011) dimungkinkan terjadi sebagai akibat perbedaan rentang data dan pendekatan yang digunakan, namun demikian, perbedaan ini merupakan temuan penting dan signifikan dari penelitian ini. Terkait dengan perbedaan temuan ini dengan hasil Wimanda et al. (2011), perlu dicatat bahwa selama rentang waktu penelitian, secara rata-rata, inflasi yang terjadi pada sebagian besar provinsi di Indonesia adalah inflasi moderat. Menurut Anglingkusumo (2005) yang meneliti tentang hubungan antara penawaran uang dan inflasi di Indonesia, pada krisis 1998, hiper inflasi yang terjadi di Indonesia didorong oleh kelebihan penawaran stok uang sehingga hubungan antara inflasi 142 dan pertumbuhan M1 terlihat demikian kuat, sementara pada masa non krisis, ketika inflasi pada level yang cukup moderat, hubungan tersebut tidak terlalu kuat. Penelitian dari Anglingkusumo (2005) tersebut sepertinya memberi jawaban mengapa pertumbuhan M1 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Selain hasil penelitian tersebut, pada pembahasan bab sebelumnya telah diperlihatkan dampak tidak langsung dari pertumbuhan M1 terhadap jumlah kredit dan simpanan pada level provinsi (Gambar 10). Secara umum, dari gambar tersebut dapat dilihat jumlah simpanan cenderung lebih besar dibanding jumlah pinjaman pada hampir seluruh provinsi, sementara kondisi sebaliknya hanya terjadi pada tahun 2008 atau 2009 dan sebagian provinsi saja. Berdasarkan penjelasan tambahan yang merujuk pada data faktual dan hasil penelitian sebelumnya tersebut, maka kesimpulan yang menyatakan bahwa penambahan M1 tidak secara signifikan menyebabkan terjadi inflasi telah terjawab. 5.6.4 Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi Fokus utama dalam menelaah dampak kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation targeting framework/ITF) adalah melakukan stabilitas harga atau menurunkan volatilitas inflasi, penurunan persistensi inflasi dan penurunan exchange rate pass through (ERPT). Oleh karenanya dalam model penargetan inflasi dari persamaan (3.7) dibuat variabel dummy intersep (dit) untuk melihat apakah dampak kebijakan ITF dapat menurunkan volatilitas inflasi dan dua variabel dummy slope guna menangkap perubahan perilaku dari persistensi inflasi (lag P DIT) dan perilaku dari ERPT (XR DIT) setelah diberlakukan kebijakan ITF secara penuh sejak tahun 2005. Hasil estimasi dengan metode FD-GMM dan SAB sebagaimana disajikan pada Tabel 14 menyatakan bahwa kebijakan ITF tidak berdampak signifikan terhadap penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi atau bahkan penurunan pass through. Sebaliknya jika diperiksa lebih lanjut, nilai koefisien dari persistensi inflasi yang positif secara implisit menyatakan bahwa terjadi peningkatan persistensi inflasi setelah diterapkannya ITF dibanding periode sebelumnya, bahkan estimasi dengan metode non spasial memperlihatkan pengaruhnya signifikan terhadap peningkatan persistensi inflasi. Bukti mengenai dampak ITF 143 yang tidak signifkan terhadap penurunan persistensi inflasi dan penurunan ERPT sejalan dengan penelitian dari Prasertnukul et al. (2010) yang menyatakan hal yang sama, namun tanda koefisien dari dummy slope untuk persistensi inflasi setelah diterapkannya ITF dari kajian terdahulu tersebut berlawanan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Terkait dengan hasil tersebut, pada pembahasan mengenai penyesuaian harga BBM dan gaji PNS di bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemerintah secara periodik melakukan penyesuaian gaji pegawainya sejak tahun 2006 sementara tekanan harga minyak mentah di pasar internasional terus meningkat dan sempat beberapa kali melewati level 100 dolar AS/barel mulai tahun 2005. Disamping itu, pada paruh akhir 2007 terjadi krisis finansial global yang dampaknya mulai terasa di Indonesia pada Juli 2008 dan membuat inflasi mencapai level dua digit, demikian pula di tahun 2005. Akibat berbagai penyebab ini, maka persisten inflasi akan meningkat dan hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang disimpulkan berdasarkan model penargetan inflasi. Hasil ini tentu saja menguatkan bahwa pengaruh penyesuaian BI rate relatif kecil dalam meredam laju inflasi karena ekspektasi inflasi cenderung backward looking dan membuat inflasi menjadi kian persisten. Tabel 18. Target dan realisasi inflasi Indonesia tahun 2000 – 2009 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 *) 2009 Target Inflasi 3,0 4,0 9,0 8,0 4,5 5,0 8,0 5,0 6,5 3,0 - 5,0 6,0 10,0 10,0 6,5 7,0 9,0 7,0 7,0 5,0 % % % % % % % % % % Realisasi Inflasi Inflasi Umum Inflasi Inti 9,35 % 12,55 % 10,03 % 5,06 % 6,40 % 17,11 % 6,60 % 6,03 % 6,59 % 6,29 % 11,06 % 8,29 % 2,78 % 4,28 % Sumber : Bank Indonesia dan BPS Keterangan : *) revisi target Berkenaan dengan hasil estimasi dari model penargetan inflasi yang menyatakan bahwa tidak terjadi penurunan volatilitas inflasi atau dengan kata lain tidak terjadi penurunan level inflasi setelah diterapkannya ITF secara penuh sejak tahun 2005, diperoleh bukti berdasarkan data inflasi menurut provinsi 144 sebagaimana disajikan pada Gambar 8 (bab IV), bahwa penurunan tingkat inflasi setelah tahun 2005 tidak terjadi pada seluruh provinsi, melainkan hanya pada sebagian provinsi saja, bahkan . Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kebijakan ITF dinilai tidak berhasil secara signifikan dalam menurunkan inflasi dan hal ini telah disampaikan secara implisit pada bab sebelumnya. Berdasarkan beberapa bukti yang diperoleh sebelumnya, kebijakan ITF yang belum terlihat signifikan memengaruhi inflasi. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman selama tahun 2000 – 2009, yang menunjukkan bahwa dari sejumlah realisasi inflasi umum dalam periode tersebut, hampir seluruhnya melenceng dari tingkat inflasi yang ditargetkan (Tabel 18). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ITF secara penuh baru dilaksanakan sejak 2005, meskipun untuk periode sebelumnya setelah krisis 1998, Indonesia secara tidak langsung telah menganut kebijakan lite inflation targeting melalui pengendalian nilai tukar nominal, sesuai amanat dari UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Terkait dengan kurang berhasilnya kebijakan ITF di Indonesia, penelitan Habermeier et al. (2009) mengenai opsi kebijakan moneter di negara-negara yang mengadopsi ITF dalam menghadapi tekanan inflasi termasuk negara-negara yang tidak mengadopsinya sebagai pembanding menyatakan, kurangnya kredibilitas dari pihak bank sentral merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab tidak bekerjanya kebijakan tersebut secara efektif. Kurangnya kredibilitas tersebut berhubungan erat dengan lambatnya reaksi dari bank sentral atas kemungkinan terjadinya inflasi yang tinggi sehingga akan memicu ekspektasi inflasi tetap pada level yang tinggi, karena ekspektasi inflasi cenderung bersifat backward looking. Disamping itu, seberapa cepat penyesuaian dan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter juga terkait dengan kredibilitas bank sentral. Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah pernyataan dari Bank Indonesia tentang BI rate sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan ITF yang hanya dapat memengaruhi inflasi inti tetapi tidak dapat memengaruhi inflasi umum (inflasi IHK), terkait dengan besarnya supply shock yang terjadi di Indonesia, sementara kebanyakan masyarakat lebih familiar dengan inflasi umum dibanding inflasi inti, sehingga target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia tentunya dibandingkan dengan besarnya inflasi umum bukan inflasi inti. Secara 145 psikologis, pernyataan Bank Indonesia tersebut menyiratkan kurangnya tingkat kepercayaan dan kredibilitas dari bank sentral dalam mengendalikan inflasi, karena hanya bisa mengendalikan inflasi inti saja yang tidak terpengaruh oleh gangguan dari sisi penawaran, seperti tidak lancarnya distribusi barang atau karena volatilitas dari produk makanan dan energi. 5.7 Rangkuman Hasil Pembahasan Bagian ini bertujuan untuk merangkum hasil pembahasan berdasarkan uraian sebelumnya yang cenderung memberi penjelasan secara parsial. Melalui pembahasan ini diharapkan hasil penelitian mengenai dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi ini dapat dijelaskan secara komprehensif. Pertama, terkait dengan hasil estimasi dengan metode statis dan dinamis, estimasi dengan metode panel dinamis lebih konsisten dengan landasan teoritis dan hasil pengujian kausalitas granger. Berkenaan dengan pendekatan spasial dan non spasial dinamis, meskipun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun pendekatan non spasial dinamis lebih dapat menjelaskan dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi dibanding dengan metode spasial dinamis. Berdasarkan hasil tersebut, model yang digunakan untuk menjelaskan dinamika inflasi Indonesia pada penelitian ini merujuk pada estimasi yang diberikan oleh metode non spasial. Kedua, dilihat dari besarnya koefisien dari pergerakan nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan secara bersama-sama dibanding koefisien penyesuaian suku bunga dan penyesuaian gaji pegawai pemerintah mengindikasikan pengaruh sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi volatilitas inflasi dibandingkan sisi permintaan. Hasil ini konsisten dengan output gap yang tidak berperan secara signifikan dalam pembentukan inflasi di Indonesia pada tataran provinsi dan sesuai pula dengan hasil kajian Solikin (2007) yang menyatakan hal yang sama, yaitu shock dari sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibandingkan shock yang berasal sisi permintaan. Ketiga, selain fenomena moneter, inflasi di Indonesia juga merupakan fenomena fiskal. Hal ini bisa dilihat dari pengaruh pengaruh signifikan dari 146 penyesuaian harga BBM sebagai administred prices dan penyesuaian gaji PNS/ TNI/POLRI dalam memengaruhi dinamika inflasi di Indonesia. Fenomena ini merupakan temuan utama dalam penelitian ini mengingat dalam kajian sebelumnya, baik pada level nasional maupun regional ASEAN, belum pernah disinggung mengenai hal ini. Khusus untuk studi kasus Indonesia dengan pendekatan regional pada tataran provinsi, fenomena ini merupakan hal baru. Fenomena ini sesungguhnya pernah diungkap oleh Sims (1994) yang menyatakan bahwa fenomena ini dimungkinkan terjadi pada negara-negara yang menggunakan sistem fiat money. Ilustrasi dari inflasi sebagai fenomena fiskal salah satunya berasal dari kebijakan fiskal ekspansioner seperti ditunjukkan pada Gambar 5 (bab II). Terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner dalam tataran provinsi ini terkait erat dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang diawali adanya transfer keuangan dari pemerintah pusat ke ke pemerintah daerah. Melalui transfer keuangan tersebut, pemerintah daerah leluasa untuk membelanjakan pengeluarannya, terutama untuk belanja pengawai yang masih merupakan porsi terbesar dalam belanja daerah. Peningkatan belanja pegawai tersebut kemudian akan mendorong konsumsi sehingga akan menyebabkan peningkatan pada permintaan agregat. Sedikit berbeda dengan mekanisme kebijakan fiskal ekspansioner melalui peningkatan belanja pegawai pemerintah, proses penyesuaian harga BBM bekerja lewat dua jalur transmisi, yaitu mekanisme kenaikan biaya produksi mekanisme kebijakan fiskal ekspansioner yang memengaruhi konsumsi, karena pemerintah mengklaim bahwa pengurangan subsidi BBM dialihkan ke subsidi dalam bentuk lainnya seperti transfer bantuan langsung ke rumah tangga dan transfer- transfer dalam bentuk lainnya ke seluruh daerah di Indonesia. Akibat proses pengalihan subsidi tersebut, tidak terjadi mekanisme kebijakan fiskal kontraksioner, bahkan sebaliknya terjadi kebijakan fiskal ekspansioner karena menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi. Kondisi ini tidak saja terjadi secara agregat pada level nasional, namun juga terjadi pada tataran provinsi di seluruh Indonesia. Mekanisme penyesuaian harga BBM seperti telah diuraikan sebelumnya dari sisi permintaan agregat sebagai bagian kebijakan fiskal ekspansioner diilustrasikan 147 oleh Gambar 5 (bab II), sementara dari sisi penawaran agregat, ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 6 (bab II). Terakhir, adanya pengaruh signifikan dari perubahan kondisi infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan serta pengaruh signifikan dari penyesuaian harga BBM merupakan bukti bahwa inflasi tidak hanya permasalahan pada sektor moneter, tetapi juga merupakan permasalahan pada sektor riil. Bukti empiris ini menguatkan pendapat Atmadja (1999) yang menyatakan bahwa permasalahan pada sektor riil ini terkait erat dengan adanya hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) di Indonesia, sebagai konsekuensi terjadinya kesenjangan antara penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat. Ilustrasi dari inflasi sebagai permasalahan sektor riil dapat dilihat pada Gambar 6 (bab II). Gambar tersebut menceritakan bagaimana dampak penyesuaian harga BBM serta dampak terhambatnya distribusi barang dan jasa sebagai akibat infrastruktur yang buruk. Mekanisme ini dapat menyebabkan kenaikan biaya akibat dorongan biaya produksi sebagai akibat adanya kenaikan biaya transportasi. Halaman ini sengaja dikosongkan VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dan merujuk pada tujuan dari penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Dinamika inflasi Indonesia dipengaruhi oleh variabel-variabel non kebijakan seperti, inersia inflasi, pergerakan nilai tukar dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan pengaruh positif terhadap volatilitas inflasi, sebaliknya kondisi infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh negatif, sementara inflasi inersia memberikan peran yang besar terhadap pembentukan inflasi. 2. Volatilitas inflasi Indonesia dipengaruhi oleh beberapa variabel kebijakan antara lain, penyesuaian gaji pegawai pemerintah, penyesuaian harga BBM dan penyesuaian BI rate. Penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI yang merupakan kebijakan pemerintah pusat dapat memicu terjadinya peningkatan inflasi karena berpengaruh positif terhadap volatilitas inflasi, sementara penyesuaian BI rate sebagai instrumen kebijakan moneter memberi pengaruh negatif volatilitas inflasi dan dapat menjadi salah satu opsi untuk menurunkan volatilitas maupun tingkat inflasi. Beberapa temuan penting dari penelitian dengan pendekatan pada tataran provinsi ini yang berbeda dibanding kajian sebelumnya adalah output gap tidak memberi pengaruh signifikan terhadap inflasi sementara beberapa kajian yang menggunakan pendekatan pada level nasional menyatakan hal sebaliknya. Hasil penelitian lainnya yang merupakan temuan baru dibanding kajian sebelumnya adalah penyesuaian gaji pegawai pemerintah dan perubahan kondisi infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan memberi pengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi di Indonesia. Lebih lanjut, temuan utama dari penelitian ini adalah inflasi di Indonesia tidak semata-mata fenomena moneter tetapi juga fenomena fiskal. 150 6.2 Implikasi Kebijakan Merujuk pada hasil penelitian dan kesimpulan yang diuraikan sebelumnya, beberapa arah kebijakan yang disarankan dirangkum pada Tabel 19 berikut. Tabel 19. Implikasi kebijakan berdasarkan rumusan hasil penelitian No. Kesimpulan Hasil Penelitian Implikasi Kebijakan 1. Peran inflasi inersia yang cukup besar dan signifikan terhadap pembentukan inflasi di Indonesia untuk periode tahun 2000 – 2009 menandakan tingginya tingkat persistensi inflasi dan mengindikasikan perilaku backward looking yang dominan dalam ekspektasi inflasi serta kurang berhasilnya kebijakan moneter dalam memengaruhi inflasi melalui jalur ekspektasi inflasi. Bank Indonesia bersama-sama dengan pemerintah hendaknya lebih akurat dalam menetapkan target inflasi agar mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi dapat bekerja semestinya. Berdasarkan pengalaman di negara lain, diusulkan agar membentuk tim khusus yang ditugaskan untuk menyusun target inflasi dalam 1 – 2 tahun ke depan. Tim ini terdiri dari beberapa grup, yaitu grup dari grup Bank Indonesia, grup pemerintah dan beberapa grup yang berasal dari beberapa perguruan tinggi yang masing-masing bekerja secara independen. Secara periodik, seluruh grup dikumpulkan dan membuat rumusan target inflasi berdasarkan keputusan bersama-sama. 2. Laju depresiasi nilai tukar rupiah akan menyebabkan peningkatan volatilitas inflasi. Besarnya pengaruh volatilitas tersebut menunjukkan derajat exchange rate pass through (ERPT) dan hal tersebut terkait erat dengan besarnya proporsi impor untuk kategori bahan baku dan bahan penolong. Upaya penurunan derajat ERPT bisa dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah adalah strategi pengurangan impor seperti : a. substitusi bahan baku dari bahan baku impor ke bahan baku lokal b. himbauan penggunaan produk domestik dan c. kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar merupakan produksi lokal/domestik. 3. Pengaruh kebijakan pemerintah pusat yang diwakili oleh a. Kebijakan penyesuaian harga BBM, utamanya BBM bersubsidi penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji pegawai pemerintah yang mewakili administered prices, hendaknya dilakukan secara berpengaruh positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi di berhati-hati karena berdampak besar terhadap inflasi. Disarankan Indonesia, sedangkan pengaruh kebijakan pemerintah daerah yang untuk melakukan penyesuaian BBM dilakukan secara berkala, berupa penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) dan setiap enam bulan atau setahun sekali untuk meminimumkan desentalisasi fiskal melalui pengeluaran belanja pemerintah daerah dampak buruk dari ekspektasi yang tidak diantisipasi atas tidak berpengaruh signifikan dalam memicu terjadinya gejolak kebijakan fiskal tersebut. inflasi di Indonesia. b. Pemerintah pusat seyogyanya mempertimbangkan besarnya penyesuaian gaji pengawai pemerintah karena sejak tahun 2006 peningkatan gaji tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi yang ditargetkan maupun tingkat inflasi aktual dan hal ini akan menyebabkan ekspektasi yang tinggi terhadap inflasi. c. Meskipun penyesuaian UMP dan belanja pemerintah daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, namun perumusan kebijakan tersebut tetap harus dilakukan secara seksama, mengingat dampaknya tidak saja terkait dengan inflasi tetapi juga berhubungan dengan variabel makro ekonomi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran yang menjadi perhatian dari pemerintah pusat. 4. Pengaruh kebijakan moneter berupa penyesuaian BI rate relatif kecil terhadap volatilitas inflasi, sementara kebijakan penetapan jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) dan kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (ITF) tidak berpengaruh signifikan dalam menekan gejolak inflasi. Kebijakan penyesuaian BI rate dengan penargetan inflasi sebaiknya dirumuskan dengan lebih akurat, seperti dengan menjaring informasi yang lebih mendalam dari praktisi dunia usaha, pihak akademis dan pemerintah, selain mempertimbangkan juga kondisi makro ekonomi secara umum. Melalui perumusan kebijakan yang lebih akurat tersebut, kredibilitas Bank Indonesia diharapkan akan meningkat dan mekanisme kebijakan moneter melalui jalur ekspektasi inflasi serta beberapa jalur transmisi lainnya dapat bekerja sesuai dengan harapan, sehingga secara bertahap akan menurunkan level inflasi, volatilitas inflasi, persistensi inflasi dan besarnya derajat pass through. 151 152 5. Laju peningkatan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota laju peningkatan derajat perdagangan akan menurunkan volatilitas sudah seharusnya fokus terhadap inflasi. a. Masalah peningkatan kondisi infrastruktur, utamanya kondisi infrastruktur jalan raya. Peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transportasi terkait dengan lancarnya arus barang, juga berpotensi untuk meningkatkan volume perdagangan suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi yang lebih cepat antar wilayah, sehingga akan memicu terjadinya inovasi. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota disarankan agar meningkatkan alokasi dana untuk 1. pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas infrastruktur jalan raya yang sudah ada 2. membangun infrastruktur jalan raya baru yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru atau alternatifnya, dari jalan raya yang sudah ada, ditingkatkan statusnya, misalnya dari jalan poros kecamatan menjadi jalan kabupaten/kota, dari jalan kabupaten/kota menjadi jalan provinsi dan seterusnya menjadi jalan negara. b. peningkatan daya saing produk domestik atau produk lokal karena dengan peningkatan daya saing maka ekspor neto akan terus meningkat dan akan memicu terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah, sehingga secara tidak langsung akan menurunkan ERPT. 1. Upaya peningkatan daya saing yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat adalah − memacu ekspor non migas untuk komoditas unggulan dan sebaiknya komoditi unggulan tersebut tidak dalam bentuk bahan baku tetapi barang jadi / barang setengah jadi − menurunkan atau menghapuskan pajak ekspor untuk komoditi unggulan barang jadi / barang setengah jadi 2. Upaya peningkatan daya saing yang dapat dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah − memberi kemudahan dalam perizinan usaha baru yang menghasilkan komoditas unggulan daerah berdaya saing ekspor khususnya kategori barang jadi / barang setengah jadi − melakukan pembinaan secara intensif terhadap usaha-usaha yang menghasilkan komoditas unggulan berdaya saing ekspor − melakukan kajian mengenai potensi daerah secara mendalam untuk memperoleh informasi komoditi unggulan alternatif yang bisa dikembangkan di daerah, utamanya komoditi unggulan yang memiliki daya saing ekspor yang tinggi 6. Perbedaan laju perubahan kondisi infrastruktur dengan laju Pemerintah pusat sudah seharusnya perubahan derajat perdagangan secara simultan menyebabkan a. fokus terhadap pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas volatilitas inflasi yang lebih tinggi untuk wilayah luar Jawa dan KTI, infrastruktur jalan raya yang menjadi urat nadi perekonomian namun perbedaan tersebut tidak memberikan pengaruh yang daerah, utamanya jalan raya yang menghubungkan ibukota-ibukota signifikan provinsi di luar Jawa b. mengambil alih tanggung jawab dari pemerintah daerah untuk pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas infrastruktur jalan raya yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang berpengaruh besar dalam perekonomian regional di luar Jawa 7. a. Indikasikan terjadinya dominasi kebijakan fiskal dalam memengaruhi inflasi dan variabel makro ekonomi lainnya dan hal ini akan menyebabkan mekanisme transmisi dari kebijakan moneter tidak berjalan semestinya. b. Sumber inflasi lebih disebabkan oleh sisi penawaran dibanding sisi permintaan. Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnya melakukan komunikasi yang baik terkait dengan perumusan kebijakan masing-masing sebagaimana telah disarankan sebelumnya, namun tidak mengurangi independensi dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter. 153 154 6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut Keterbatasan dalam penelitian ini adalah belum bisa menjelaskan lebih jauh mengenai perbedaan inflasi antar wilayah yang disebabkan oleh perbedaan kondisi infrastruktur dan derajat keterbukaan perdagangan. Saran untuk penelitian lebih lanjut adalah sebagai berikut : 1. Memperluas proksi dari data infrastruktur yang tidak hanya diwakili panjang jalan raya kualitas baik saja, tetapi mencakup infrastruktur lainnya seperti panjang jalan tol, panjang rel kereta api serta beberapa infrastruktur ekonomi lainnya. 2. Memasukkan variabel yang mewakili struktur ekonomi wilayah dalam pemodelan inflasi, karena tidak menutup kemungkinan hal tersebut bisa menjelaskan lebih jauh mengenai adanya perbedaan tingkat inflasi maupun perbedaan volatilitas inflasi antara wilayah. 3. Melakukan pengembangan lebih lanjut tetap dalam pemodelan inflasi yang mempertimbangkan keterkaitan secara spasial yaitu dengan menggabungkan model spatial lag dan spatial error agar bisa lebih menangkap keterkaitan spasial antar wilayah, disamping menggunakan beberapa alternatif matrik penimbang spasial yang tidak hanya dapat menangkap keterkaitan secara spasial tetapi juga cukup sensitif dalam menangkap shock yang berasal dari perekonomian global. DAFTAR PUSTAKA Achsani, N. A. dan H. F. Nababan (2008) : “Dampak Perubahan Kurs (Pass-Through Effect) Terhadap Tujuh Kelompok Indeks Harga Konsumen di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Vol. 11, Issue 1, pp. 1-15. Atmadja, A. S. (1999) : “Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, pp. 54-67. Al-Nasser, O. M., A. Sachsida and M. J. C. Mendonça (2009) : “The OpennessInflation Puzzle: Panel Data Evidence”, International Research Journal of Finance and Economics, Issue 28, pp. 169-181. Anglingkusumo, R. (2005) : “Money - Inflation Nexus in Indonesia”, Tinbergen Institute Discussion Paper, No. TI 2005-054/4. Andrés, J., E. Ortega and J. Vallés (2008) : “Competition and Inflation Differentials in EMU”, Journal of Economic Dynamics and Control, Vol. 32, Issue 3, pp. 848-874. Baltagi, B. H. (2005) :”Econometric Analysis of Panel Data”, 3rd Ed. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. West Sussex. Baltagi, B. H., U. Blien and K. Wolf (2010) : “A Dynamic Spatial Panel Data Approach To The German Wage Curve”, Center for Policy Research – Syracuse University Working Paper, No. 126. Bayoumi, T., dan B. Eichengreen (1992) : “Macroeconomic Adjustment Under Bretton Woods and The Post-Bretton Woods Float : An ImpulseResponse Analysis”, NBER Working Paper Series, No. 4169. Beirne, J. (2009) : “Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Country-specific and Global Factors”, Economics Bulletin, Vol. 29, No. 2, pp. 1420-1431. Benigno, P., and E. Faia (2010) : “Globalization, Pass-Through and Inflation Dynamic”, NBER Working Paper Series, No. 15842. Blanchard, O. (2004) : “Macroeconomics”, 4th Ed. Prentice Hall. New Jersey. Blanchflower, D. G., and C. MacCoille (2009) : “The Formation Of Inflation Expectations: An Empirical Analysis For The UK”, NBER Working Paper Series, No. 15388. Bodman, P. et al. (2009) : “Fiscal Decentralisation, Macroeconomic Conditions and Economic Growth in Australia”, Macroeconomics Research Group Report. School of Economics, The University of Queensland. St. Lucia. Bowdler, C. and A. Malik. (2006) : “Openness and inflation volatility: Panel data evidence”, Nuffield College, University of Oxford. Working paper. No. 8/2005. 156 Campa, J.M., and L.S. Goldberg (2002): “Exchange Rate Pass-Through into Import Prices: A Macro or Micro Phenomenon?,” NBER Working Paper Series, No. 8934. Cappelo, R. (2007) : “Regional Economics”, 1st Ed. Routledge. London & New York. Cerra, V. and S. C. Saxena (2000) : “Alternative Methods of Estimating Potential Output and the Output Gap: An Application to Sweden”, IMF Working Paper, No. WP/00/59. Camola, M. and L. de Mello (2010) : “How Does Decentralized Minimum Wage Setting Affect Employment and Informality? The case of Indonesia” OECD Papers. Edwards, S. (2006): “The Relationship between Exchange Rates and Inflation Targeting Revisited,” NBER Working Paper Series, No. 12163. Enders, W. (2004) : “Applied Econometric Time Series”, 2nd Ed. John Wiley & Sons Inc. New York. Gali, J. (2002) : ” New Perspectives On Monetary Policy, Inflation, And The Business Cycle”, NBER Working Paper Series, No. 8767. Gali, J. and M. Gertler (2000) : “Inflation Dynamics: A Structural Econometric Analysis” , Journal of Monetary Economics, No. 44, pp. 195-222. Gali, J., M. Gertler and J.D. Lopez-Salido (2001) : “European Inflation Dynamics”, NBER Working Paper Series, No. 8218. Gali, J., M. Gertler and J.D. Lopez-Salido (2005) : “Robustness Of The Estimates of The Hybrid New Keynesian Phillips Curve”, NBER Working Paper Series, No. 11788. Gibbs, D. (1995) : “Potential Output: Concepts and Measurement” Labour Market Bulletin, Issue 1, pp. 72 – 115. Habermeier, K. et al. (2009) : “Inflation Pressures and Monetary Policy Options in Emerging and Developing Countries: A Cross Regional Perspective”, IMF Working Paper, No. WP/09/01. Hanh, E. (2002) : “Core Inflation in the Euro Area: Evidence from the Structural VAR Approach”, CFS Working Paper No. 2001/09. Hess, G. D. and M. E. Schweitzer (2000) : “Does Wage Inflation Cause Price Inflation?”, Federal Reserve Bank of Cleveland - Policy Discussion Papers No. 10. Ishak-Kasim, S. and A. D. Ahmed (2009) : “Inflation Expectations Formation and Financial Stability in Indonesia“,The Empirical Economics Letters, Vol. 8, No. 9, pp. 833-842. Ito, T., and K. Sato. (2006): “Exchange Rate Changes and Inflation in Post-Crisis Asian Economies: VAR Analysis of the Exchange Rate Pass-Through,” NBER Working Paper Series, No. 12395. 157 Jacobs, J. P.A.M., J. E. Ligtharty, and H. Vrijburg (2009) : “Dynamic Panel Data Models Featuring Endogenous Interaction and Spatially Correlated Errors”, CentER Discussion Paper Series, No. 2009-92. Justiniano, A. and G. E. Primiceri (2008) : “Potential and Natural Output”, Federal Reserve Bank of Chicago Working Papers. Kapoor, M., H. Kelejian, and I. R. Prucha (2007): “Panel Data Models with Spatially Correlated Error Components”, Journal of Econometrics, No. 140, pp. 97-130. Kelejian, H.H. and I.R. Prucha (1999) : “A Generalized Moments Estimator for the Autoregressive Parameter in a Spatial Model”, International Economic Review, Vol. 40, No. 2, pp. 509-533. Kiley, M. T. (2009) : “Inflation Expectations, Uncertainty, the Phillips Curve, and Monetary Policy”, Finance and Economics Discussion Series – Federal Reserve Board, Washington, D.C. No. 2009-15. Kukenova, M., and J. A. Monteiro (2009): “Spatial Dynamic Panel Model and System GMM: A Monte Carlo Investigation”, mimeo, University of Lausanne. Kwon, G., L. Mcfarlane, And W. Robinson (2009) : “ Public Debt, Money Supply, and Inflation: A Cross-Country Study”, IMF Staff Papers, Vol. 56, No. 3, pp. 476-515. Ladiray, D., G. L. Mazzi, and F. Sartori (2003) : “Statistical Methods for Potential Output Estimation and Cycle Extraction”, European Commission Working Papers and Studies, No. KS-AN-03-15-EN-N. European Communities. Luxembourg. Lemos, S. (2004a) : “The Effect of the Minimum Wage on Prices in Brazil”, IZA Discussion Paper, No. 1071. Lemos, S. (2004b) : “The Effect of the Minimum Wage on Prices”, IZA Discussion Paper, No. 1072. Lünnemann, P., and T. Y. Mathä (2005) : “Regulated and Services’ Prices and Inflation Persistence”, ECB Working Papers, No. 466. Mankiw, N. G. (2007) : “Makroekonomi”, Edisi Keenam. Terjemahan dari Macroeconomics. 6th Editon. Worth Publishers. Liza, F dan Imam Nurmawan, [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Marques, H., G. Pino and J. D. Tena (2009) : “Regional Inflation Dynamics Using Space-Time Models”, CRENOS Working Paper, No. 2009/15. Mehrotra, A., T. Peltonen and A.S. Rivera (2007) : “Modelling inflation in China – a regional perspective”, BOFIT Discussion Papers Bank of Finland, No. 19/2007. Mishkin, F. S. (2004) : “The Economics of Money, Banking, and Financial Markets”, 7th Ed. Pearson Addison Wesley. 158 Mohanty, M. S., and M. Klau (2001) : “What Determines Inflation in Emerging Market Economies” Bank for International Settlements (BIS) Papers, No. 8. pp. 1-38. Oommen, M. A. (2008) : “Fiscal Decentralisation to Local Governments in India”, Cambridge Scholars Publishing. Newcastle, UK. Oosterhaven, J. and J. P. Elhorst (2003) : "Indirect Economic Benefits of Transport Infrastructure Investments", Across The Border. pp. 143-161. De Boeck, Ltd. Orphanides, A., and J. C. Williams (2003) : “Imperfect Knowledge, Inflation Expectations, And Monetary Policy”, NBER Working Paper Series, No. 9884. Prasertnukul, W., D. Kim and M. Kakinaka (2010) : “Exchange Rates, Price Levels, and Inflation Targeting: Evidence from Asian Countries”, Graduate School of International Relations International - University of Japan (GSIR) Working Papers, No. EDP10-1. Roger, S. (1998) : “Core Inflation: Concepts, Uses and Measurement”, Reserve Bank of New Zealand Discussion Paper Series, No. G98/9. Romer, D. (2006) : “Advanced Macroeconomics”, 3rd Ed. McGraw-Hill/Irvin. Salvatore, D. (1996) : “International Economics”, 5th Ed. Alih Bahasa. Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta. Sims, C. A. (1994) : “A Simple Model for Study of The Determination of The Price Level and The Interaction of Monetary and Fiscal Policy”, Economic Theory, Vol. 4, No. 3, pp. 381-399. Solikin (2004) : “Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia : Keberadaan, Linearitas, dan Pembentukan Ekspektasi”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BEMP), Maret, Bank Indonesia. Solikin (2007) : “Karakteristik Tekanan Inflasi di Indonesia: Pengaruh Dinamis Sisi Permintaan-Penawaran dan Prospek ke Depan”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BEMP), Januari, Bank Indonesia. Solikin dan I. Sugema (2004) : “Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya bagi Kebijakan Moneter di Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BEMP), September, Bank Indonesia. Sugiyarto, G. and B. A. Endriga (2008) : “Do Minimum Wages Reduce Employment and Training?”, Asian Development Bank Economics and Research Department Working Paper Series No. 113. Tambunan, T. (2009) : “Perekonomian Indonesia”, Ghalia Indonesia. Jakarta. Verbeek, M. (2008) : “A Guide to Modern Econometrics”, 3rd Ed. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. West Sussex. Windmeijer, F. (2005) : “A Finite Sample Correction for The Variance of Linear Efficient Two-Step GMM Estimators”, Journal of Econometrics, No. 126, 25 – 51. 159 Wimanda, R. E. (2006) : “Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants”, Bank Indonesia Working Papers, No. WP/ 13 / 2006. Wimanda, R. E., P. Turner and M. J. B. Hall (2011) : “Expectations and The Inertia of Inflation: The Case of Indonesia”, Journal of Policy Modeling, Vol. 33, Issue 3, pp. 426-438. [abstract] EconPapers World Bank (2009) : “World Development Report (WDR) 2009 : Reshaping Economic Geography”, The World Bank. Washington, DC. Halaman ini sengaja dikosongkan 161 Lampiran 1 Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Program Eviews v6 ln IHK (P) Panel unit root test: Summary Series: P Date: 03/12/11 Time: 13:12 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -9.7309 Breitung t-stat -2.4118 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.7944 ADF - Fisher Chi-square 73.9352 PP - Fisher Chi-square 99.8052 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 0.0079 26 26 250 224 0.0364 0.0244 0.0001 26 26 26 250 250 260 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari ln IHK ( P) Panel unit root test: Summary Series: D(AP) Date: 03/12/11 Time: 13:15 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -12.9413 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -6.9265 ADF - Fisher Chi-square 151.4514 PP - Fisher Chi-square 216.5206 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 220 0.0000 0.0000 0.0000 26 26 26 220 220 234 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 162 “Suku Bunga” (IR) Panel unit root test: Summary Series: IR Date: 03/12/11 Time: 13:28 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -12.1771 Breitung t-stat 0.9414 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.3565 ADF - Fisher Chi-square 105.0075 PP - Fisher Chi-square 162.0858 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 0.8268 26 26 253 227 0.0004 0.0000 0.0000 26 26 26 253 253 260 Crosssections Obs ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari “Suku Bunga” ( IR) Panel unit root test: Summary Series: D(IR) Date: 03/12/11 Time: 13:29 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -16.1352 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -9.9451 ADF - Fisher Chi-square 204.5965 PP - Fisher Chi-square 327.9354 Prob.** 0.0000 26 216 0.0000 0.0000 0.0000 26 26 26 216 216 234 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 163 ln M1 (M1) Panel unit root test: Summary Series: M1 Date: 03/12/11 Time: 13:17 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -9.4393 Levin, Lin & Chu t* Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 236 -0.6682 0.2520 26 210 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -2.1005 Im, Pesaran and Shin W-stat 90.8938 ADF - Fisher Chi-square 0.0178 26 236 0.0007 26 236 61.4413 0.1737 26 260 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 215 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -7.8734 Im, Pesaran and Shin W-stat 168.8520 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 215 0.0000 26 215 189.2346 0.0000 26 234 Breitung t-stat PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari ln M1 ( M1) Panel unit root test: Summary Series: D(M1) Date: 03/12/11 Time: 13:17 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -14.3416 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 164 ln KURS (XR) Panel unit root test: Summary Series: XR Date: 03/15/11 Time: 17:35 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects User specified lags at: 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test Prob.** Crosssections Obs 0.0006 26 234 Null: Unit root (assumes individual unit root process) 2.5096 Im, Pesaran and Shin W-stat 16.3061 ADF - Fisher Chi-square 0.9940 26 234 1.0000 26 234 0.7272 1.0000 26 260 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 208 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -25.5593 Im, Pesaran and Shin W-stat 431.5761 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 208 0.0000 26 208 370.9997 0.0000 26 234 Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -3.2472 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari ln KURS ( XR) Panel unit root test: Summary Series: D(XR) Date: 03/15/11 Time: 17:33 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects User specified lags at: 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -49.2175 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 165 ln “GAJI MINIMUM PNS” (W2) Panel unit root test: Summary Series: W2 Date: 03/12/11 Time: 13:24 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -5.0244 Levin, Lin & Chu t* Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 260 -4.4263 0.0000 26 234 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -0.0242 Im, Pesaran and Shin W-stat 41.1700 ADF - Fisher Chi-square 0.4903 26 260 0.8598 26 260 39.914238 0.8897 26 260 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 234 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -9.0332 Im, Pesaran and Shin W-stat 180.6372 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 234 0.0000 26 234 179.2809 0.0000 26 234 Breitung t-stat PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari ln “GAJI MINIMUM PNS” ( W2) Panel unit root test: Summary Series: D(W2) Date: 03/12/11 Time: 13:25 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -17.6673 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 166 ln “INDEKS HARGA BBM” (BM) Panel unit root test: Summary Series: BM Date: 03/12/11 Time: 13:26 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -7.0806 Levin, Lin & Chu t* Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 260 -3.0760 0.0010 26 234 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -0.5872 Im, Pesaran and Shin W-stat 48.3319 ADF - Fisher Chi-square 0.2785 26 260 0.6189 26 260 46.161953 0.7017 26 260 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 234 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -8.1940 Im, Pesaran and Shin W-stat 166.3980 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 234 0.0000 26 234 250.3580 0.0000 26 234 Breitung t-stat PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari ln “INDEKS HARGA BBM” ( BM) Panel unit root test: Summary Series: D(BM) Date: 03/12/11 Time: 13:27 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -16.4082 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 167 ln “PENGELUARAN PEMERINTAH” (G) Panel unit root test: Summary Series: G Date: 03/12/11 Time: 13:21 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -11.4830 Levin, Lin & Chu t* Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 255 -0.0636 0.4746 26 229 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -1.8832 Im, Pesaran and Shin W-stat 70.7246 ADF - Fisher Chi-square 0.0298 26 255 0.0430 26 255 47.5833 0.6481 26 260 Breitung t-stat PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari ln “PENGELUARAN PEMERINTAH” ( G) Panel unit root test: Summary Series: D(G) Date: 03/12/11 Time: 13:21 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 227 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -7.6611 Im, Pesaran and Shin W-stat 157.2753 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 227 0.0000 26 227 144.9795 0.0000 26 234 Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -14.2942 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 168 ln “UPAH MINIMUM PROVINSI/UMP” (W1) Panel unit root test: Summary Series: W1 Date: 03/12/11 Time: 13:22 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -13.4858 Levin, Lin & Chu t* Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 254 0.2371 0.5937 26 228 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -4.2887 Im, Pesaran and Shin W-stat 109.1367 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 254 0.0000 26 254 122.7309 0.0000 26 260 Breitung t-stat PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari ln “UPAH MINIMUM PROVINSI/UMP” ( W1) Panel unit root test: Summary Series: D(W1) Date: 03/12/11 Time: 13:23 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 229 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -8.2761 Im, Pesaran and Shin W-stat 160.6471 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 229 0.0000 26 229 183.0036 0.0000 26 234 Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -16.0341 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 169 ln INFRASTRUKTUR (IS) Panel unit root test: Summary Series: IS Date: 03/12/11 Time: 13:33 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -8.7645 Levin, Lin & Chu t* Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 250 -0.4584 0.3233 26 224 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -1.7430 Im, Pesaran and Shin W-stat 79.0462 ADF - Fisher Chi-square 0.0407 26 250 0.0092 26 250 87.8803 0.0014 26 260 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 229 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -8.4009 Im, Pesaran and Shin W-stat 171.6119 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 229 0.0000 26 229 233.1021 0.0000 26 234 Breitung t-stat PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari ln INFRASTRUKTUR ( IS) Panel unit root test: Summary Series: D(IS) Date: 03/12/11 Time: 13:34 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -15.9528 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 170 “TRADE OPENNESS” (OP) Panel unit root test: Summary Series: OP Date: 02/15/11 Time: 12:02 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -8.8335 Levin, Lin & Chu t* Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 250 1.0823 0.8604 26 224 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -2.0419 Im, Pesaran and Shin W-stat 85.8803 ADF - Fisher Chi-square 0.0206 26 250 0.0022 26 250 135.2118 0.0000 26 260 Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 223 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -9.6254 Im, Pesaran and Shin W-stat 184.4550 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 223 0.0000 26 223 251.7582 0.0000 26 234 Breitung t-stat PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Differencing dari “TRADE OPENNESS” ( OP) Panel unit root test: Summary Series: D(OP) Date: 02/15/11 Time: 12:02 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -19.6233 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 171 INTERAKSI PENYESUAIAN UMP DAN PERUBAHAN INFRASTRUKTUR (DW1IS = W1 IS) Panel unit root test: Summary Series: DW1IS Date: 05/14/11 Time: 01:55 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects User specified lags at: 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 208 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -7.8256 Im, Pesaran and Shin W-stat 143.0990 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 208 0.0000 26 208 131.1424 0.0000 26 234 Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -29.2346 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. INTERAKSI PERUBAHAN TRADE OPENNESS DAN PERUBAHAN INFRASTRUKTUR (DOPIS= OP IS) Panel unit root test: Summary Series: DOPIS Date: 05/07/11 Time: 20:57 Sample: 1999 2009 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Prob.** Crosssections Obs 0.0000 26 231 Null: Unit root (assumes individual unit root process) -4.7057 Im, Pesaran and Shin W-stat 121.8938 ADF - Fisher Chi-square 0.0000 26 231 0.0000 26 231 144.1526 0.0000 26 234 Method Statistic Null: Unit root (assumes common unit root process) -8.7515 Levin, Lin & Chu t* PP - Fisher Chi-square ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 172 Lampiran 2 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Inflasi dengan Beberapa Variabel yang Diteliti dengan Program Eviews v6 Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/07/11 Time: 20:16 Sample: 1999 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob. DBM does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DBM 208 5.4710 33.1914 0.0049 0.0000 DG does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DG 208 5.9738 20.8708 0.0030 0.0000 DIR does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DIR 208 7.0209 47.9498 0.0011 0.0000 DIS does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DIS 208 3.4801 1.5523 0.0327 0.2143 DM1 does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DM1 208 14.6428 23.5896 0.0000 0.0000 DOP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DOP 208 0.0971 3.7852 0.9075 0.0243 DOPIS does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DOPIS 208 5.1231 3.6457 0.0068 0.0278 DW1 does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DW1 208 1.9668 26.3641 0.1426 0.0000 DW1IS does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DW1IS 208 1.0030 0.7191 0.3686 0.4884 DW2 does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DW2 208 6.2858 34.4923 0.0022 0.0000 DXR does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DXR 208 3.4712 16.8271 0.0329 0.0000 OG does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause OG 208 3.5749 0.1453 0.0298 0.8648 Keterangan variabel : dp dm1 dg og dir dxr dw1 dw2 dbm dop dis dw1is = = = = = = = = = = = = P M1 G OG IR XR W1 W2 BM OP IS W1 IS : : : : : : : : : : : : dopis = OP IS : inflasi pertumbuhan M1 perubahan belanja daerah output gap penyesuaian suku bunga pergerakan nilai tukar/kurs penyesuaian UMP penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI penyesuaian harga BBM perubahan trade openness perubahan kondisi infrastruktur interaksi antara penyesuaian UMP dengan perubahan kondisi infrastruktur interaksi antara perubahan trade openness dengan perubahan kondisi infrastruktur Lampiran 3 Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) dan Spasial Dinamis (SAB) Tabel 1 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) : tanpa Predetermine Variable Variabel lag P Model 1 W1 IS - 0.9814 (0.0998) 0.0852 (0.0628) -0.0087 (0.0006) -0.0208 (0.0103) 0.0971 (0.0205) -0.0209 (0.0180) -0.0141 (0.0181) 0.0337 (0.0077) 0.0858 (0.0051) -0.0001 (0.0043) -0.0033 (0.0219) - OP IS - - OG IR M1 XR G W1 W2 BM IS OP Wald-Test Arelano-Bond - m1 Arelano-Bond - m2 Sargan Test 0.9884 (0.0717) 0.0864 (0.0612) -0.0087 (0.0005) -0.0202 (0.0103) 0.0970 (0.0123) -0.0207 (0.0181) -0.0145 (0.0189) 0.0340 (0.0081) 0.0857 (0.0050) 0.0000 (0.0057) - 4831.98 -3.7073 0.6338 25.5588 *** Model 2 *** ** *** *** *** [0.0000] [0.0002] [0.5262] [1.0000] 4645.55 -3.5956 0.6109 25.3097 *** *** ** *** *** *** Model 3 0.9831 (0.0668) 0.0857 (0.0651) -0.0087 (0.0005) -0.0210 (0.0111) 0.0971 (0.0106) -0.0195 (0.0159) -0.0169 (0.0187) 0.0329 (0.0072) 0.0854 (0.0049) -0.0019 (0.0050) - *** *** * *** *** *** 0.0308 (0.0331) [0.0000] [0.0003] [0.5412] [1.0000] 4577.78 -3.6681 0.7721 25.3774 Model 4 0.9727 (0.0771) 0.0843 (0.0600) -0.0087 (0.0005) -0.0264 (0.0110) 0.0959 (0.0161) -0.0171 (0.0161) -0.0136 (0.0193) 0.0325 (0.0077) 0.0859 (0.0051) 0.0008 (0.0051) - *** *** ** *** *** *** - [0.0000] [0.0002] [0.4401] [1.0000] Model 5 0.9700 (0.1246) 0.0818 (0.0659) -0.0086 (0.0008) -0.0261 (0.0124) 0.0962 (0.0222) -0.0185 (0.0191) -0.0134 (0.0186) 0.0330 (0.0086) 0.0857 (0.0048) 0.0009 (0.0055) -0.0006 (0.0168) - -0.1063 * (0.0587) -0.1084 (0.0685) 5007.81 -3.5813 0.6474 25.3649 3655.58 -3.4578 0.6147 25.1449 [0.0000] [0.0003] [0.5174] [1.0000] *** *** ** *** *** *** Model 6 0.9744 (0.0760) 0.0856 (0.0526) -0.0087 (0.0005) -0.0251 (0.0093) 0.0957 (0.0163) -0.0181 (0.0166) -0.0143 (0.0184) 0.0332 (0.0074) 0.0857 (0.0051) - *** *** *** *** *** *** - 0.9794 (0.0541) 0.0895 (0.0565) -0.0087 (0.0004) -0.0254 (0.0096) 0.1010 (0.0091) -0.0168 (0.0141) -0.0143 (0.0184) 0.0305 (0.0068) 0.0873 (0.0037) - *** *** *** *** *** *** - - [0.0000] [0.0005] [0.5387] [1.0000] Model 7 -0.1020 * (0.0609) 0.0247 (0.0228) -0.1163 ** (0.0528) 5063.73 -3.6541 0.6787 25.4306 3475.33 -3.4568 0.5160 25.5102 [0.0000] [0.0003] [0.4974] [1.0000] [0.0000] [0.0005] [0.6059] [1.0000] 173 174 Tabel 2 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) : dengan Predetermine Variable M1 Variabel lag P Model 1 W1 IS - 0.9754 (0.1738) 0.0553 (0.0629) -0.0086 (0.0008) -0.0209 (0.0139) 0.0975 (0.0365) -0.0214 (0.0169) -0.0130 (0.0148) 0.0333 (0.0075) 0.0855 (0.0040) 0.0001 (0.0063) -0.0012 (0.0220) - OP IS - - OG IR M1 XR G W1 W2 BM IS OP Wald-Test Arelano-Bond - m1 Arelano-Bond - m2 Sargan Test 0.9751 (0.1759) 0.0567 (0.0613) -0.0086 (0.0009) -0.0202 (0.0187) 0.0957 (0.0352) -0.0190 (0.0151) -0.0137 (0.0142) 0.0324 (0.0076) 0.0857 (0.0037) 0.0004 (0.0065) - 6305.53 -3.5720 0.2402 25.6671 *** Model 2 *** *** *** *** [0.0000] [0.0004] [0.8102] [1.0000] Keterangan : *** : signifikan pada 01% Keterangan : *** : signifikan pada 05% Keterangan : *** : signifikan pada 10% 5495.03 -3.6204 0.2758 25.3512 Model 3 *** 0.9749 (0.1487) 0.0639 (0.1088) -0.0086 (0.0009) -0.0197 (0.0209) 0.0972 (0.0340) -0.0210 (0.0200) -0.0159 (0.0160) 0.0329 (0.0111) 0.0849 (0.0044) -0.0020 (0.0060) - *** *** *** *** *** *** *** *** *** 0.0331 (0.0405) [0.0000] [0.0003] [0.7827] [1.0000] 4098.86 -3.2585 0.3358 25.5578 Model 4 0.9655 (0.1452) 0.0499 (0.0816) -0.0086 (0.0008) -0.0232 (0.0204) 0.0979 (0.0308) -0.0209 (0.0195) -0.0126 (0.0168) 0.0333 (0.0095) 0.0861 (0.0045) 0.0013 (0.0063) - *** *** *** *** *** - [0.0000] [0.0011] [0.7370] [1.0000] Model 5 0.9609 (0.0954) 0.0484 (0.0804) -0.0086 (0.0006) -0.0244 (0.0166) 0.0958 (0.0235) -0.0209 (0.0193) -0.0110 (0.0222) 0.0334 (0.0107) 0.0856 (0.0042) 0.0009 (0.0040) 0.0021 (0.0201) - -0.0988 * (0.0594) -0.1084 (0.0685) 5087.20 -3.4834 0.3496 25.2348 3958.63 -3.5053 0.3262 25.0621 ( ) : robust standart error [ ] : P-Value [0.0000] [0.0005] [0.7266] [1.0000] *** *** *** *** *** Model 6 0.9654 (0.1365) 0.0509 (0.0813) -0.0086 (0.0007) -0.0228 (0.0228) 0.0983 (0.0309) -0.0206 (0.0189) -0.0119 (0.0149) 0.0332 (0.0095) 0.0863 (0.0046) - *** *** *** *** *** - 0.0310 *** (0.0103) 0.0872 *** (0.0035) - 0.0282 (0.0369) -0.1075 * (0.0625) -0.0956 (0.0648) 5422.56 -3.5019 0.3572 25.2464 0.9685 *** (0.1631) 0.0456 (0.0822) -0.0086 *** (0.0008) -0.0247 (0.0217) 0.1017 *** (0.0347) -0.0201 (0.0192) - - - [0.0000] [0.0005] [0.7443] [1.0000] Model 7 [0.0000] [0.0005] [0.7210] [1.0000] 4175.88 -3.2366 0.2237 25.3948 [0.0000] [0.0012] [0.8230] [1.0000] Tabel 3 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Spasial Dinamis (SAB) Variabel lag P Model 1 W1 IS - 0.7640 (0.1611) 0.3517 (0.1723) 0.0543 (0.0954) -0.0070 (0.0013) 0.0051 (0.0259) 0.0563 (0.0280) -0.0241 (0.0357) -0.0307 (0.0676) 0.0314 (0.0149) 0.0469 (0.0206) 0.0005 (0.0137) 0.0099 (0.0395) - OP IS - - WP OG IR M1 XR G W1 W2 BM IS OP Wald-Test Arelano-Bond - m1 Arelano-Bond - m2 Sargan Test 0.7593 (0.1250) 0.3482 (0.1673) 0.0559 (0.0874) -0.0070 (0.0011) 0.0076 (0.0284) 0.0578 (0.0195) -0.0241 (0.0297) -0.0297 (0.0409) 0.0312 (0.0142) 0.0476 (0.0198) 0.0002 (0.0117) - 6538.45 -1.7976 -1.0947 23.7571 *** Model 2 ** *** *** ** ** [0.0000] [0.0722] [0.2737] [1.0000] 9872.94 -1.6913 -0.8314 23.9944 *** ** *** ** ** ** Model 3 0.7230 (0.1576) 0.3943 (0.2049) 0.0569 (0.0830) -0.0067 (0.0013) 0.0093 (0.0302) 0.0539 (0.0215) -0.0210 (0.0177) -0.0401 (0.0435) 0.0282 (0.0096) 0.0425 (0.0230) -0.0042 (0.0147) - *** * *** ** *** * 0.0731 (0.0914) [0.0000] [0.0908] [0.4058] [1.0000] 6558.14 -2.1839 -0.6027 23.2646 [0.0000] [0.0290] [0.5467] [1.0000] Model 4 0.7537 (0.1268) 0.3544 (0.1388) 0.0542 (0.0805) -0.0070 (0.0010) 0.0020 (0.0327) 0.0579 (0.0213) -0.0210 (0.0342) -0.0304 (0.0289) 0.0303 (0.0145) 0.0470 (0.0147) 0.0019 (0.0104) - 0.7414 (0.1636) 0.3648 (0.1637) 0.0503 (0.0875) -0.0069 (0.0011) 0.0024 (0.0323) 0.0539 (0.0313) -0.0256 (0.0369) -0.0275 (0.0353) 0.0318 (0.0156) 0.0459 (0.0174) 0.0019 (0.0104) 0.0141 (0.0215) - -0.1445 (0.3563) -0.1280 (0.3967) 6050.19 -2.1844 -0.9078 23.7341 *** Model 5 ** *** *** ** *** [0.0000] [0.0289] [0.3640] [1.0000] 8433.42 -2.0696 -0.7960 23.2734 *** ** *** * ** *** Model 6 0.7469 (0.1424) 0.3555 (0.1678) 0.0509 (0.0768) -0.0070 (0.0012) 0.0022 (0.0366) 0.0568 (0.0209) -0.0220 (0.0363) -0.0302 (0.0254) 0.0311 (0.0148) 0.0469 (0.0182) - *** ** *** *** ** ** 0.7747 *** (0.1902) 0.3193 (0.2119) 0.0549 (0.0974) -0.0072 *** (0.0017) 0.0004 (0.0336) 0.0702 *** (0.0229) -0.0256 (0.0338) 0.0286 ** (0.0128) 0.0537 ** (0.0236) - - - - 0.0463 (0.1059) -0.1451 (0.3296) -0.1609 (0.4100) [0.0000] [0.0385] [0.4260] [1.0000] Model 7 5969.83 -2.5258 -0.8634 23.4472 [0.0000] [0.0115] [0.3879] [1.0000] 5939.92 -2.4455 -0.5436 23.1462 [0.0000] [0.0145] [0.5867] [1.0000] 175 176 Lampiran 3 Scripts Input dan Hasil Output untuk Metode Data Panel Statis dan Dinamis untuk Model Non Spasial dan Spasial dengan Program STATA v.10 dp = P : inflasi L1. = lag P : lag inflasi wdp = WP : keterkaitan inflasi secara spasial og = OG : output gap dm1 = M1 : pertumbuhan M1 dg = G : perubahan belanja daerah dir = IR : penyesuaian suku bunga dxr = XR : pergerakan nilai tukar/kurs dw1 = W1 : penyesuaian UMP dw2 = W2 : penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI dbm = BM : penyesuaian harga BBM dop = OP : perubahan trade openness dis = IS : perubahan kondisi infrastruktur dw1is = W1 IS : interaksi antara penyesuaian UMP dengan perubahan kondisi infrastruktur dopis = OP IS : interaksi antara perubahan trade openness dengan perubahan kondisi infrastruktur dopisjw = OP IS DJW : interaksi antara perubahan trade openness dengan perubahan kondisi infrastruktur untuk Pulau Jawa dopiskti = OP IS DKTI : interaksi antara perubahan trade openness dengan perubahan kondisi infrastruktur untuk KBI dit : dummy inflation targeting Ldpit = lag P DIT : persistensi inflasi setelah kebijakan ITF dxrit = XR DIT : pass through setelah kebijakan ITF _cons : konstanta . use "C:\tmp\Data_OK.dta" . xtset prov tahun, yearly panel variable: prov (strongly balanced) time variable: tahun, 1999 to 2009 delta: 1 year 177 1. Model Dasar Non Spasial . xtreg dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis,fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov Number of obs Number of groups = = 234 26 R-sq: Obs per group: min = avg = max = 9 9.0 9 within = 0.9255 between = 0.9529 overall = 0.9247 corr(u_i, Xb) = 0.1147 F(10,198) Prob > F = = 245.98 0.0000 -----------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .7111903 .0372194 19.11 0.000 .637793 .7845875 og | .037336 .026168 1.43 0.155 -.0142678 .0889398 dir | -.0077373 .0002924 -26.46 0.000 -.008314 -.0071605 dm1 | -.030885 .010683 -2.89 0.004 -.051952 -.0098179 dxr | -.0219959 .0149826 -1.47 0.144 -.0515419 .0075501 dg | -.0168038 .006138 -2.74 0.007 -.028908 -.0046996 dw2 | .0351674 .0038323 9.18 0.000 .0276101 .0427247 dbm | .0856565 .0046519 18.41 0.000 .0764828 .0948302 dw1is | .0148918 .0215054 0.69 0.489 -.0275171 .0573008 dopis | -.0777744 .042306 -1.84 0.068 -.1612026 .0056539 _cons | .0042946 .0038177 1.12 0.262 -.0032341 .0118232 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .00289289 sigma_e | .01310667 rho | .0464536 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(25, 198) = 0.38 Prob > F = 0.9970 . est sto fixed . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (26) = Prob>chi2 = 27.78 0.3694 . predict resid, e . tsset prov tahun, yearly panel variable: prov (strongly balanced) time variable: tahun, 1999 to 2009 delta: 1 year . xtserial resid Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 25) = 10.442 Prob > F = 0.0034 . drop resid 178 . xtreg dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis,re Random-effects GLS regression Group variable: prov Number of obs Number of groups = = 234 26 R-sq: Obs per group: min = avg = max = 9 9.0 9 within = 0.9456 between = 0.9741 overall = 0.9467 Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed) Wald chi2(10) Prob > chi2 = = 3957.25 0.0000 -----------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | 1.001675 .0376503 26.60 0.000 .927882 1.075468 og | .0497537 .0201758 2.47 0.014 .0102099 .0892975 dir | -.0087936 .0002458 -35.77 0.000 -.0092754 -.0083119 dm1 | -.0251916 .0081473 -3.09 0.002 -.0411601 -.0092231 dxr | .1058178 .0109319 9.68 0.000 .0843917 .1272439 dg | -.0165211 .0047968 -3.44 0.001 -.0259226 -.0071196 dw2 | .0293222 .0031087 9.43 0.000 .0232291 .0354152 dbm | .0862474 .0035184 24.51 0.000 .0793515 .0931433 dw1is | .0196606 .0161218 1.22 0.223 -.0119375 .0512587 dopis | -.0884319 .0328508 -2.69 0.007 -.1528182 -.0240456 _cons | -.0122543 .0032154 -3.81 0.000 -.0185563 -.0059522 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 0 sigma_e | .01118675 rho | 0 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------. est sto random . xttest0 Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects dp[prov,t] = Xb + u[prov] + e[prov,t] Estimated results: | Var sd = sqrt(Var) ---------+----------------------------dp | .002044 .0452106 e | .0001251 .0111868 u | 0 0 Test: Var(u) = 0 chi2(1) = Prob > chi2 = 9.25 0.0024 179 . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | fixed random Difference S.E. -------------+---------------------------------------------------------------L.dp | .9817382 1.001675 -.019937 .0203791 og | .0506212 .0497537 .0008675 .0085455 dir | -.0086968 -.0087936 .0000968 .000118 dm1 | -.0240913 -.0251916 .0011003 .0029672 dxr | .1026348 .1058178 -.003183 .0042114 dg | -.0178291 -.0165211 -.001308 .0018821 dw2 | .0300617 .0293222 .0007396 .0011765 dbm | .0865738 .0862474 .0003264 .0011597 dw1is | .0237936 .0196606 .004133 .0083678 dopis | -.0854657 -.0884319 .0029662 .0140073 -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test: Ho: difference in coefficients not systematic chi2(10) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 1.83 Prob>chi2 = 0.9975 . regress dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis Source | SS df MS -------------+-----------------------------Model | .45084585 10 .045084585 Residual | .025406214 223 .000113929 -------------+-----------------------------Total | .476252064 233 .002044 Number of obs F( 10, 223) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE = = = = = = 234 395.72 0.0000 0.9467 0.9443 .01067 -----------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | 1.001675 .0376503 26.60 0.000 .9274793 1.075871 og | .0497537 .0201758 2.47 0.014 .0099941 .0895133 dir | -.0087936 .0002458 -35.77 0.000 -.009278 -.0083092 dm1 | -.0251916 .0081473 -3.09 0.002 -.0412473 -.009136 dxr | .1058178 .0109319 9.68 0.000 .0842747 .1273608 dg | -.0165211 .0047968 -3.44 0.001 -.0259739 -.0070683 dw2 | .0293222 .0031087 9.43 0.000 .0231959 .0354484 dbm | .0862474 .0035184 24.51 0.000 .0793138 .093181 dw1is | .0196606 .0161218 1.22 0.224 -.0121099 .0514311 dopis | -.0884319 .0328508 -2.69 0.008 -.1531696 -.0236942 _cons | -.0122543 .0032154 -3.81 0.000 -.0185907 -.0059178 -----------------------------------------------------------------------------. est drop fixed random 180 . xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis, noconstant twostep pre(dm1) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: prov Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 88 Wald chi2(10) Prob > chi2 = = 208 26 min = avg = max = 8 8 8 = = 4175.88 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------| WC-Robust dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .9685081 .1631096 5.94 0.000 .6488191 1.288197 dm1 | -.0247074 .021674 -1.14 0.254 -.0671876 .0177729 og | .0455943 .0821711 0.55 0.579 -.1154581 .2066468 dir | -.0085929 .0007747 -11.09 0.000 -.0101113 -.0070744 dxr | .1016518 .0346976 2.93 0.003 .0336457 .1696578 dg | -.0200854 .0191669 -1.05 0.295 -.0576518 .0174809 dw2 | .0310323 .010304 3.01 0.003 .0108368 .0512278 dbm | .087223 .0034712 25.13 0.000 .0804196 .0940264 dw1is | .0281787 .0368929 0.76 0.445 -.04413 .1004873 dopis | -.1075166 .0625427 -1.72 0.086 -.2300982 .0150649 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-3.2366 0.0012 | | 2 | .22366 0.8230 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(78) Prob > chi2 = = 25.3948 1.0000 181 2. Model Dasar Spasial . xtreg dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis,fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov Number of obs Number of groups = = 234 26 R-sq: Obs per group: min = avg = max = 9 9.0 9 within = 0.9545 between = 0.9636 overall = 0.9537 corr(u_i, Xb) = 0.1134 F(11,197) Prob > F = = 375.90 0.0000 -----------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .8204876 .0471186 17.41 0.000 .727566 .9134093 wdp | .30364 .0489504 6.20 0.000 .2071058 .4001741 og | .0489732 .0201376 2.43 0.016 .0092602 .0886862 dir | -.0073892 .0003263 -22.65 0.000 -.0080326 -.0067457 dm1 | -.0058049 .0084935 -0.68 0.495 -.0225548 .0109451 dxr | .0703531 .0119229 5.90 0.000 .0468402 .093866 dg | -.0171324 .0047666 -3.59 0.000 -.0265325 -.0077323 dw1 | -.0253956 .0088627 -2.87 0.005 -.0428735 -.0079177 dw2 | .0279487 .0031439 8.89 0.000 .0217487 .0341487 dbm | .0529339 .0063106 8.39 0.000 .0404889 .0653789 dopis | -.0869023 .0319384 -2.72 0.007 -.1498873 -.0239172 _cons | -.0169529 .0035539 -4.77 0.000 -.0239615 -.0099443 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .002397 sigma_e | .01026642 rho | .05169488 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(25, 197) = 0.41 Prob > F = 0.9951 . est sto fixed . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (26) = Prob>chi2 = 51.65 0.0020 . predict resid, e . tsset prov tahun, yearly panel variable: prov (strongly balanced) time variable: tahun, 1999 to 2009 delta: 1 year . xtserial resid Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 25) = 2.458 Prob > F = 0.1295 . drop resid 182 . xtreg dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis,re Random-effects GLS regression Group variable: prov Number of obs Number of groups = = 234 26 R-sq: Obs per group: min = avg = max = 9 9.0 9 within = 0.9542 between = 0.9703 overall = 0.9542 Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed) Wald chi2(11) Prob > chi2 = = 4620.00 0.0000 -----------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .8732956 .0408614 21.37 0.000 .7932087 .9533825 wdp | .2695888 .0452306 5.96 0.000 .1809384 .3582392 og | .0513871 .0187659 2.74 0.006 .0146067 .0881675 dir | -.0077051 .0002896 -26.60 0.000 -.0082727 -.0071375 dm1 | -.0093953 .0080289 -1.17 0.242 -.0251316 .006341 dxr | .0788002 .0110864 7.11 0.000 .0570713 .1005291 dg | -.0150154 .00449 -3.34 0.001 -.0238157 -.0062152 dw1 | -.0244958 .008219 -2.98 0.003 -.0406047 -.0083868 dw2 | .0271973 .0029985 9.07 0.000 .0213204 .0330742 dbm | .0562362 .005879 9.57 0.000 .0447136 .0677589 dopis | -.0920255 .0298926 -3.08 0.002 -.1506139 -.0334371 _cons | -.0191096 .0032874 -5.81 0.000 -.0255527 -.0126664 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 0 sigma_e | .01026642 rho | 0 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------. est sto random . xttest0 Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects dp[prov,t] = Xb + u[prov] + e[prov,t] Estimated results: | Var sd = sqrt(Var) ---------+----------------------------dp | .002044 .0452106 e | .0001054 .0102664 u | 0 0 Test: Var(u) = 0 chi2(1) = Prob > chi2 = 5.77 0.0163 183 . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | fixed random Difference S.E. -------------+---------------------------------------------------------------L.dp | .8204876 .8732956 -.0528079 .023463 wdp | .30364 .2695888 .0340512 .0187173 og | .0489732 .0513871 -.0024139 .0073052 dir | -.0073892 -.0077051 .0003159 .0001503 dm1 | -.0058049 -.0093953 .0035904 .0027708 dxr | .0703531 .0788002 -.008447 .0043872 dg | -.0171324 -.0150154 -.002117 .0016001 dw1 | -.0253956 -.0244958 -.0008998 .0033158 dw2 | .0279487 .0271973 .0007514 .0009452 dbm | .0529339 .0562362 -.0033024 .0022937 dopis | -.0869023 -.0920255 .0051232 .0112469 -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test: Ho: difference in coefficients not systematic chi2(11) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 6.16 Prob>chi2 = 0.8626 . regress dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis Source | SS df MS -------------+-----------------------------Model | .454416477 11 .041310589 Residual | .021835587 222 .000098359 -------------+-----------------------------Total | .476252064 233 .002044 Number of obs F( 11, 222) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE = = = = = = 234 420.00 0.0000 0.9542 0.9519 .00992 -----------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .8732956 .0408614 21.37 0.000 .7927697 .9538215 wdp | .2695888 .0452306 5.96 0.000 .1804525 .3587252 og | .0513871 .0187659 2.74 0.007 .014405 .0883691 dir | -.0077051 .0002896 -26.60 0.000 -.0082758 -.0071343 dm1 | -.0093953 .0080289 -1.17 0.243 -.0252179 .0064273 dxr | .0788002 .0110864 7.11 0.000 .0569522 .1006482 dg | -.0150154 .00449 -3.34 0.001 -.0238639 -.006167 dw1 | -.0244958 .008219 -2.98 0.003 -.040693 -.0082985 dw2 | .0271973 .0029985 9.07 0.000 .0212882 .0331064 dbm | .0562362 .005879 9.57 0.000 .0446504 .067822 dopis | -.0920255 .0298926 -3.08 0.002 -.1509351 -.0331159 _cons | -.0191096 .0032874 -5.81 0.000 -.025588 -.0126311 -----------------------------------------------------------------------------. est drop fixed random 184 . xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm, twostep noconstant end(wdp dopis) pre(dm1 dg) inst(dwdm1 dwdg dwdw1 dwdop dwdis) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: prov Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 171 Wald chi2(11) Prob > chi2 = = 208 26 min = avg = max = 8 8 8 = = 5969.83 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------| WC-Robust dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .7468522 .1423592 5.25 0.000 .4678332 1.025871 dm1 | .0022414 .036557 0.06 0.951 -.069409 .0738919 dg | -.0220143 .0362603 -0.61 0.544 -.0930832 .0490547 wdp | .3555337 .1678384 2.12 0.034 .0265766 .6844909 dopis | -.1609211 .4100081 -0.39 0.695 -.9645222 .64268 og | .050926 .0768107 0.66 0.507 -.0996202 .2014721 dir | -.0069862 .001172 -5.96 0.000 -.0092833 -.0046891 dxr | .0568016 .0209305 2.71 0.007 .0157785 .0978247 dw1 | -.030187 .0254188 -1.19 0.235 -.0800068 .0196328 dw2 | .0310961 .0148305 2.10 0.036 .0020289 .0601633 dbm | .0468605 .0182364 2.57 0.010 .0111178 .0826033 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp L(2/.).dopis Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm dwdm1 dwdg dwdw1 dwdop dwdis . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-2.5258 0.0115 | | 2 |-.86336 0.3879 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(160) Prob > chi2 = = 23.44723 1.0000 185 3. Model Non Spasial untuk Inflation Targeting . xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis dit Ldpit dxrit, noconstant twostep pre(dm1) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: prov Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 91 Wald chi2(13) Prob > chi2 = = 208 26 min = avg = max = 8 8 8 = = 4741.49 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------| WC-Robust dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .7070446 .1824968 3.87 0.000 .3493573 1.064732 dm1 | -.0470326 .0225161 -2.09 0.037 -.0911634 -.0029019 og | -.0298654 .0701741 -0.43 0.670 -.1674041 .1076732 dir | -.0093091 .001016 -9.16 0.000 -.0113003 -.0073178 dxr | .0536469 .0512908 1.05 0.296 -.0468812 .1541749 dg | -.0099056 .0188083 -0.53 0.598 -.0467691 .026958 dw2 | .0349749 .0124118 2.82 0.005 .0106483 .0593016 dbm | .0765291 .0072253 10.59 0.000 .0623678 .0906904 dw1is | .0015584 .0262057 0.06 0.953 -.0498037 .0529206 dopis | -.0442155 .0483043 -0.92 0.360 -.1388902 .0504592 dit | -.0137814 .0108411 -1.27 0.204 -.0350296 .0074667 Ldpit | .3390343 .1751275 1.94 0.053 -.0042092 .6822779 dxrit | .0090362 .0623018 0.15 0.885 -.113073 .1311453 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis D.dit D.Ldpit D.dxrit . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-3.7782 0.0002 | | 2 | .72025 0.4714 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(78) Prob > chi2 = = 23.69554 1.0000 186 4. Model Spasial untuk Inflation Targeting . xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dit Ldpit dxrit, twostep noconstant end(wdp dopis) pre(dm1 dg) inst(dwdm1 dwdop dwdis) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: prov Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 172 Wald chi2(14) Prob > chi2 = = 208 26 min = avg = max = 8 8 8 = = 40091.01 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------| WC-Robust dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .5851623 .2437148 2.40 0.016 .1074902 1.062834 dm1 | -.0302888 .0252088 -1.20 0.230 -.0796971 .0191196 dg | -.0028372 .0136983 -0.21 0.836 -.0296853 .024011 wdp | .5256722 .2317966 2.27 0.023 .0713592 .9799853 dopis | -.0840878 .2241714 -0.38 0.708 -.5234557 .35528 og | -.0055443 .1834523 -0.03 0.976 -.3651043 .3540156 dir | -.0075647 .0018006 -4.20 0.000 -.0110937 -.0040356 dxr | .0817933 .0570416 1.43 0.152 -.0300062 .1935928 dw1 | -.0113637 .0165039 -0.69 0.491 -.0437107 .0209833 dw2 | .02007 .008863 2.26 0.024 .0026988 .0374411 dbm | .013353 .0343308 0.39 0.697 -.0539341 .0806401 dit | -.0082748 .0110117 -0.75 0.452 -.0298574 .0133078 Ldpit | .1616863 .1823067 0.89 0.375 -.1956283 .5190009 dxrit | -.1141877 .0941069 -1.21 0.225 -.2986339 .0702586 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp L(2/.).dopis Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm D.dit D.Ldpit D.dxrit dwdm1 dwdop dwdis . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-1.8505 0.0642 | | 2 |-1.0238 0.3059 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(158) Prob > chi2 = = 13.99524 1.0000 187 5. Model Non Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara Jawa dengan luar Jawa . xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis dopisjw, noconstant twostep pre(dm1) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: prov Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 89 Wald chi2(11) Prob > chi2 = = 208 26 min = avg = max = 8 8 8 = = 7204.13 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------| WC-Robust dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .9655053 .1632286 5.92 0.000 .6455832 1.285427 dm1 | -.0247739 .0149817 -1.65 0.098 -.0541376 .0045897 og | .0529118 .0740884 0.71 0.475 -.0922989 .1981224 dir | -.0085957 .0007773 -11.06 0.000 -.0101193 -.0070722 dxr | .1015132 .0344146 2.95 0.003 .0340619 .1689645 dg | -.0216123 .0186177 -1.16 0.246 -.0581024 .0148778 dw2 | .0317266 .0091069 3.48 0.000 .0138773 .0495758 dbm | .0873215 .0036601 23.86 0.000 .0801478 .0944951 dw1is | .0332082 .0470058 0.71 0.480 -.0589213 .1253378 dopis | -.1244573 .0545049 -2.28 0.022 -.231285 -.0176296 dopisjw | .1406335 .1407875 1.00 0.318 -.1353049 .4165719 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis D.dopisjw . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 | -3.311 0.0009 | | 2 | .40952 0.6822 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(78) Prob > chi2 = = 25.05301 1.0000 188 6. Model Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara Jawa dengan luar Jawa . xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dopis dopisjw, lags(1) twostep end(wdp) pre(dm1 dg) artests(2) noconstant inst(dwdw1 dwdis dwdop dwdir) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: prov Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 160 Wald chi2(12) Prob > chi2 = = 208 26 min = avg = max = 8 8 8 = = 7148.29 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------| WC-Robust dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .7561895 .1280899 5.90 0.000 .5051379 1.007241 dm1 | .0008687 .0323231 0.03 0.979 -.0624834 .0642208 dg | -.0204748 .0303788 -0.67 0.500 -.0800162 .0390667 wdp | .3467517 .1338311 2.59 0.010 .0844475 .6090558 og | .0584553 .1147232 0.51 0.610 -.166398 .2833087 dir | -.0070184 .0010363 -6.77 0.000 -.0090496 -.0049872 dxr | .0596659 .0178774 3.34 0.001 .0246268 .0947051 dw1 | -.0287802 .0606251 -0.47 0.635 -.1476033 .0900428 dw2 | .0298834 .0142031 2.10 0.035 .0020457 .057721 dbm | .0482126 .018634 2.59 0.010 .0116906 .0847345 dopis | -.1065468 .2231554 -0.48 0.633 -.5439234 .3308298 dopisjw | .0729332 .8023003 0.09 0.928 -1.499546 1.645413 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm D.dopis D.dopisjw dwdw1 dwdis dwdop dwdir . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-2.2204 0.0264 | | 2 |-.66141 0.5084 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(148) Prob > chi2 = = 24.44504 1.0000 189 7. Model Non Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara KBI dengan KTI . xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopiskti, noconstant twostep pre(dm1 dopis) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: prov Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 125 Wald chi2(11) Prob > chi2 = = 208 26 min = avg = max = 8 8 8 = = 4439.41 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------| WC-Robust dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .9746127 .0605685 16.09 0.000 .8559005 1.093325 dm1 | -.0264368 .0199802 -1.32 0.186 -.0655973 .0127237 dopis | -.1198633 .2023285 -0.59 0.554 -.5164199 .2766932 og | .0498789 .0978794 0.51 0.610 -.1419611 .2417189 dir | -.0086338 .0005892 -14.65 0.000 -.0097885 -.0074791 dxr | .1034889 .0218413 4.74 0.000 .0606808 .1462971 dg | -.0226629 .0234038 -0.97 0.333 -.0685335 .0232077 dw2 | .0322467 .0114377 2.82 0.005 .0098293 .0546642 dbm | .0867466 .0044093 19.67 0.000 .0781044 .0953887 dw1is | .0270403 .0599775 0.45 0.652 -.0905135 .1445941 dopiskti | -.0190201 .3388879 -0.06 0.955 -.6832282 .6451881 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dopis Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopiskti . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-3.1054 0.0019 | | 2 | .28373 0.7766 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(78) Prob > chi2 = = 25.06233 1.0000 190 8. Model Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara KBI dengan KTI . xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dopis dopiskti, twostep noconstant pre(dm1 dg) end(wdp) inst(dwdm1 dwdg dwdw1 dwdis dwdop) vce(r) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: prov Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 161 Wald chi2(12) Prob > chi2 = = 208 26 min = avg = max = 8 8 8 = = 5181.61 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------| WC-Robust dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dp | L1. | .7116251 .1577476 4.51 0.000 .4024455 1.020805 dm1 | .0004783 .0302213 0.02 0.987 -.0587544 .0597109 dg | -.021121 .0346564 -0.61 0.542 -.0890463 .0468043 wdp | .3769383 .1850742 2.04 0.042 .0141995 .7396771 og | .0433946 .0768727 0.56 0.572 -.1072731 .1940622 dir | -.0067615 .0012666 -5.34 0.000 -.009244 -.004279 dxr | .0512392 .0245363 2.09 0.037 .003149 .0993294 dw2 | .0309479 .0161239 1.92 0.055 -.0006545 .0625502 dbm | .0442681 .0232505 1.90 0.057 -.001302 .0898382 dw1 | -.0337499 .0501518 -0.67 0.501 -.1320456 .0645458 dopis | -.1997858 .2997558 -0.67 0.505 -.7872963 .3877246 dopiskti | -.0221821 .4244048 -0.05 0.958 -.8540003 .809636 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw2 D.dbm D.dw1 D.dopis D.dopiskti dwdm1 dwdg dwdw1 dwdis dwdop . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-2.1411 0.0323 | | 2 |-.83345 0.4046 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “ Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(149) Prob > chi2 = = 22.50627 1.0000