Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi

advertisement
DINAMIKA INFLASI INDONESIA PADA TATARAN PROVINSI
ADJI SUBEKTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran
Provinsi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Penulis,
Adji Subekti
H151090114
ABSTRACT
ADJI SUBEKTI. Indonesian Inflation Dynamics at Provincial Level. Under
supervision of HERMANTO SIREGAR and NOER AZAM ACHSANI.
Indonesia never experience any annual deflation for more than forty years.
After being strucked by the 1998 economic crisis, Indonesia introduced two
fundamentals policies, those are the exchange rate rearrangement in 1999 and the
decentralization policy in 2001. Following the implementation of those policies,
there are some changes of policy or non-policy variables that would be responded
by various level of inflation among regions in Indonesia. This research aim to
examine the policy and non-policy variables affecting Indonesian inflation
dynamics at provincial level. After utilizing the method of dynamic panel data
with spatial and non-spatial approaches, this research found that during the period
of 2000-2009, inflation dynamics are likely affected by non-policy variables, such
as inflation inertia, exchange rate volatility, and the simultaneous changes of
infrastructure conditions and trade openness. Some policy variables such as salary
adjustment of government employee, adjustment of domestic oil price and interest
rate adjustment are also affecting the inflation dynamics. It is suggest that central
bank together with government develop system to support inflation-forecast
targeting. In order to decrease exchange rate pass through, government can
propose import substitution, nationality suasion to use domestic product and the
obligation for proposing a new establishment’s permission to use a local base or
domestic material in the most. It is also suggest that central government sets the
domestic oil prices adjustment periodically to minimize bad impact of
unanticipated expectation of the policy, beside that, salary adjustment of
government employee must be set carefully to avoid higher inflation expectation.
Further more, in the way of interest rate adjustment and targeting inflation, central
bank should construct an accurately forecast to raise their credibility. Last, central
and local government must concern about the improvement of the infrastructure
condition and simplification of regulation which related to business environment.
Keywords : inflation volatility, dynamic panel data, policy and non policy
variables
JEL Classification : E31, F41, O23, O57
RINGKASAN
ADJI SUBEKTI. Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi.
Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NOER AZAM ACHSANI.
Sejarah mencatat, selama lebih dari 40 tahun Indonesia belum pernah
mengalami deflasi untuk periode tahunan. Pasca krisis 1998, terdapat perubahan
haluan politik yang menyebabkan perubahan kondisi ekonomi secara struktural.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji variabel kebijakan dan non kebijakan yang
memengaruhi dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi. Metode yang
digunakan dalam metode ini adalah data panel dinamis untuk model spasial dan
non spasial. Temuan dari penelitian ini adalah, selama tahun 2000 – 2009,
dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi,
penyesuaian BI rate, gejolak nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan penyesuaian
gaji PNS/TNI/POLRI, sementara kesenjangan output, pertumbuhan M1,
penetapan UMP dan belanja pemerintah daerah tidak berpengaruh signifikan
terhadap volatilitas inflasi. Berdasarkan pendekatan model data panel spasial
dinamis, inersia inflasi dapat didekomposisi menjadi dua sumber penyebab inflasi,
yaitu persistensi dari inflasi masing-masing provinsi dan inflasi yang berasal dari
provinsi lainnya. Selain itu, pendekatan model data panel non spasial dinamis
menunjukkan bahwa interaksi antara perbaikan kondisi infrastruktur dengan
peningkatan derajat keterbukaan perdagangan secara simultan dapat menurunkan
volatilitas inflasi. Hal ini terkait dengan hasil estimasi dari model ini yang lebih
sensitif terhadap shock yang berasal dari perekonomian global dibanding model
spasial. Penelitian ini menyimpulkan selama tahun 2000 – 2009, inflasi lebih
disebabkan oleh sisi penawaran, selain itu, diperoleh bukti bahwa inflasi di
Indonesia tidak semata-mata fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena
fiskal. Terkait dengan kesimpulan penelitian ini, dalam penetapan target inflasi,
Bank Indonesia bersama-sama dengan pemerintah disarankan untuk merancang
sistem peramalan target inflasi. Upaya penurunan derajat pass through dapat
dilakukan dengan strategi substitusi bahan baku impor, himbauan penggunaan
barang domestik dan kewajiban penggunaan bahan baku yang sebagian besar
berasal dari produk lokal untuk perizinan usaha baru. Pemerintah pusat disarankan
untuk melakukan penyesuaian harga BBM secara berkala untuk mengindari
dampak buruk dari ekspektasi yang tidak diantisipasi atas kebijakan tersebut dan
seyogyanya mempertimbangkan besaran penyesuaian gaji pengawai pemerintah
karena dapat menyebabkan ekspektasi yang tinggi terhadap inflasi. Lebih lanjut,
terkait dengan penyesuaian BI rate dan penentuan target inflasi, Bank Indonesia
hendaknya membuat peramalan yang cukup akurat guna meningkatkan
kredibilitasnya. Terakhir, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
memperhatikan perbaikan kondisi infrastruktur dan penyederhanaan peraturanperaturan terkait dengan dunia usaha.
Kata kunci: volatilitas inflasi, data panel dinamis, variabel kebijakan dan non
kebijakan
Klasifikasi JEL : E31, F41, O23, O57
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DINAMIKA INFLASI INDONESIA PADA TATARAN PROVINSI
ADJI SUBEKTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
Nama
NRP
Program Studi
:
:
:
:
Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi
Adji Subekti
H151090114
Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Ketua
Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 25 Juni 2011
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. H. R. Dedi Walujadi, MA.
Untuk
: Ibu dan Bapak
Istriku Ros
Anak-anakku : Damar, Radit dan Akhtar
PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Topik yang
dipilih untuk penelitian ini adalah “Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran
Provinsi”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto
Siregar, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Noer Azam
Achsani, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan dan banyak masukan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima
kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu
Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan
Ibu Dr. Ir. Lukytawati Anggraeni, M.Si selaku ketua dan sekretaris program studi
yang telah banyak memberi dukungan dan arahan sehingga tugas akhir ini dapat
diselesaikan.
Secara khusus, penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,
Kepala BPS Provinsi Banten dan Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Provinsi
Banten yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan
pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah
Pascasarjana IPB. Demikian juga, terima kasih dan penghargaan untuk semua
dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa
membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas dan menyelesaikan
tugas akhir ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada yang
tersayang Rosnawiyah, ST (istri penulis), Damar Fatih Mahardhika (anak pertama
penulis), Radityo Hadi Nugraha (anak kedua penulis), Akhtar Rafif Waskita (anak
ketiga penulis) dan seluruh keluarga besar kami yang telah memberikan kekuatan
luar biasa kepada penulis sejak seleksi awal tugas belajar hingga penyelesaian
tesis ini.
Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini memberikan kontribusi bagi
dunia pendidikan dan proses pembangunan di Indonesia khususnya dalam upaya
mengendalikan inflasi. Selain itu, tesis ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Bogor,
Juni 2011
Penulis,
Adji Subekti
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Adji Subekti, lahir pada tanggal 14 Juli 1973 di Jakarta.
Penulis anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Soetadi Prawirowiyono
dan Ariati Nurprestya Ningsih. Penulis diterima menjadi mahasiswa Akademi
Ilmu Statistik Jakarta (AIS) pada tahun 1994 dan menyelesaikan pendidikan
DIII pada tahun 1997. Setelah selesai pendidikan DIII, penulis sempat bekerja di
BPS Provinsi Jawa Barat, namun tidak lama kemudian berpindah tugas di BPS
Kabupaten Serang Provinsi Jawa Barat.
Setelah bekerja kurang lebih 2 tahun, pada tahun 1999, penulis memperoleh
kesempatan untuk tugas belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta
dalam rangka menyelesaikan pendidikan DIV. Selesai pendidikan DIV, pada
tahun 2000 penulis kembali bertugas di BPS Kabupaten Serang tetapi kemudian
bukan lagi bagian dari Provinsi Jawa Barat melainkan Provinsi Banten, karena
pemekaran wilayah.
Terhitung sejak tahun 2008, penulis beralih tugas dari sebelumnya di BPS
Kabupaten Serang ke BPS Provinsi Banten. Pada tahun 2009, setelah
menyelesaikan program alih jenjang S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM,
penulis melanjutkan kuliah S2 Magister Ilmu Ekonomi IPB melalui program
beasiswa yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
.................................................................................... ivxiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iiixiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... iiiixv
DAFTAR ISTILAH
................................................................................... iiixvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ iixvii
PENDAHULUAN ....................................................................................
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1.2 Perumusan Masalah .........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................
1.4 Ruang Lingkup.................................................................................
001
001
011
014
014
II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
2.1 Definisi Inflasi .................................................................................
2.2 Inflasi Regional ...............................................................................
2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian ..............................................
2.3.1 Output Potensial dan Output Gap ..........................................
2.3.2 Ekspektasi Inflasi ...................................................................
2.4 Pendekatan Kurva AD – AS ...........................................................
2.4.1 Permintaan Agregat ...............................................................
2.4.2 Penawaran Agregat ................................................................
2.4.3 Upah Minimum dan Inflasi....................................................
2.4.4 Administred Prices dan Inflasi...............................................
2.5 Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi ..
2.6 Infrastruktur dan Inflasi ...................................................................
2.7 Metode Univariate Detrending .......................................................
2.8 Metode Regresi Data Panel .............................................................
2.8.1 Data Panel Statis ...................................................................
2.8.1.1 Fixed Effect Model (FEM) ......................................
2.8.1.2 Random Effect Model (REM) ..................................
2.8.2 Data Panel Dinamis ...............................................................
2.8.2.1 Data Panel Dinamis Non Spasial .............................
First-Difference GMM (FD-GMM) ........................
System GMM (SYS-GMM) ....................................
2.8.2.2 Data Panel Spasial Dinamis .....................................
Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB) ...........
Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) ...........
2.9 Penelitian Sebelumnya.....................................................................
2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian........................................................
017
017
019
021
025
027
030
030
033
034
037
040
043
045
047
048
048
049
049
050
050
052
053
054
056
058
062
I.
xi
III. METODE PENELITIAN ..........................................................................
3.1 Metode Analisis..................................................................................
3.1.1 Analisis Deskriptif....................................................................
3.1.2 Estimasi Output Potensial dengan Metode
Univariate Detrending ............................................................
3.1.3 Aplikasi Regresi Data Panel ....................................................
3.1.3.1 Model Data Panel Statis .............................................
3.1.3.2 Model Data Panel Dinamis Non Spasial.....................
3.1.3.3 Model Data Panel Spasial Dinamis.............................
3.2 Spesifikasi Model Penelitian .............................................................
3.3 Jenis dan Sumber Data ......................................................................
3.4 Hipotesis Penelitian ............................................................................
065
065
065
IV. GAMBARAN UMUM..............................................................................
4.1 Dinamika Inflasi Regional..................................................................
4.2 Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar .............................................
4.3 Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan BI .............................................
4.4 Penyesuaian Harga BBM dan Gaji PNS ............................................
4.5 Struktur Ekonomi Provinsi .................................................................
083
083
089
094
096
098
V. PEMBAHASAN HASIL...........................................................................
5.1 Penaksiran Output Potensial dan Output Gap ....................................
5.2 Pengujian Stasioneritas Data ..............................................................
5.3 Pengujian Kausalitas Granger ............................................................
5.4 Hasil Estimasi.....................................................................................
5.4.1 Model Dasar .............................................................................
5.4.2 Model Penargetan Inflasi..........................................................
5.4.3 Model Perbedaan Kondisi Infrastruktur antar Wilayah ...........
5.5 Respon Inflasi terhadap Variabel-variabel Non Kebijakan ...............
5.5.1 Peran Inersia Inflasi dan Keterkaitan Secara Spasial
dalam Pembentukan Inflasi......................................................
5.5.2 Pengaruh Output Gap terhadap Inflasi.....................................
5.5.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi .....................
5.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur .......
5.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur .......
5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan Otoritas
Moneter ..............................................................................................
5.6.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat .............
5.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah...........
5.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter ............................
5.6.4 Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi .........................
5.7 Rangkuman Hasil Pembahasan ..........................................................
103
103
106
108
113
113
120
122
125
134
134
136
138
142
145
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
6.1 Kesimpulan ....................................................................................
6.2 Implikasi Kebijakan............................................................................
6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut ............................................................
149
149
150
154
065
067
068
069
070
072
078
081
125
127
128
130
133
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 155
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 161
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
01. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi
tahun 1959-1966...................................................................................
02. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi
tahun 1990-1998 ..................................................................................
03. Perbandingan inflasi antar pulau tahun 2008 – 2009 ..........................
04. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya ...............................................
05. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis ...............
06. Inflasi menurut pulau dan kelompok pulau tahun 2000 - 2009 ...........
07. Korelasi inflasi antar provinsi tahun 2000 – 2009 ...............................
08. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah
untuk Jawa dan Luar Jawa ...................................................................
09. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah
untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI) ..................................................................................
10. Rangkuman hasil pengujian panel unit root ........................................
11. Ringkasan hasil pengujian kausalitas granger antara inflasi
dengan beberapa variabel yang diteliti.................................................
12. Hasil estimasi model data panel non spasial ........................................
13. Hasil estimasi model data panel spasial ...............................................
14. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk penargetan inflasi......
15. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk perbedaan inflasi
antar wilayah ....................................................................................
16. Korelasi antara pengeluaran pemerintah daerah dengan
penerimaan daerah tahun 2000 – 2009.................................................
17. Korelasi antara Upah Minimum Provinsi (UMP) riil dengan
tingkat pengangguran tahun 2000 – 2009 ............................................
18. Target dan realisasi inflasi Indonesia tahun 2000 – 2009 ....................
19. Implikasi kebijakan berdasarkan rumusan hasil penelitian..................
002
004
009
058
081
086
087
101
102
107
109
115
119
121
124
137
138
143
150
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
01.0
02.0
03.0
04.0
05.0
06.0
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
xiv
Inflasi Indonesia tahun 1958 – 2009 ................................................
Nilai tukar nominal (rupiah/US $) dan inflasi year on year (%) .....
Upah minimum provinsi riil 5 provinsi di Indonesia.......................
Hipotesis tradeoff antara inflasi dan output gap dalam
kurva Phillips versi NKPC...............................................................
Mekanisme transmisi kebijakan fiskal ekpansioner dan
kebijakan moneter ekpansioner terhadap inflasi..............................
Ilustrasi dampak kenaikan upah minimum dan kenaikan
harga BBM ....................................................................................
Kerangka pemikiran penelitian ........................................................
Inflasi Indonesia menurut provinsi tahun 2000 – 2009....................
Perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar (M1)
tahun 2003 – 2009............................................................................
Perkembangan jumlah simpanan dan kredit menurut provinsi
tahun 2003 – 2009 (dalam triliun rupiah) ........................................
Perkembangan suku bunga acuan BI dan nilai tukar
tahun 2000 – 2009............................................................................
Perkembangan harga BBM dan gaji PNS tahun 2000 – 2009 .........
Persentase sektor dominan terhadap PDRB menurut provinsi
tahun 2000 – 2009............................................................................
Output aktual dan output potensial menurut provinsi
tahun 1999 – 2009 (dalam triliun rupiah) .......................................
Perkembangan impor menurut penggunaan barang
tahun 2000 – 2010 (dalam CIF miliar US$) ....................................
Jalur mekanisme transmisi kebijakan penetapan BI rate .................
001
005
006
024
032
039
063
084
089
092
094
096
099
104
129
140
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
2.
3.
4.
Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Program Eviews v6 .....
Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Inflasi dengan
Beberapa Variabel yang Diteliti Program Eviews v6 ...................
Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis
Non Spasial (FD-GMM) dan Spasial Dinamis (SAB) .................
Scripts Input dan Hasil Output untuk Metode Data Panel Statis
dan Dinamis untuk Model Non Spasial dan Spasial dengan
Program STATA v.10 ...................................................................
161
172
173
175
xv
DAFTAR ISTILAH
administred prices
backward looking
BI rate
continuum
detrending
driving force variable
fiat money
first differencing
downward biased
forward looking
money growth
money supply
output gap
pass through
persistence
predetermine variable
price rigidity
price setter
robustness
shock
spatial error
spatial lag
spillover
spurious regression
trade openness
volatile
wage setter
xvi
: barang-barang yang harganya ditentukan oleh
peraturan pemerintah
: perilaku ekspektasi yang cenderung memperhatikan
kondisi sebelumnya
: suku bunga acuan dari Bank Indonesia
: rangkaian urutan nilai parameter
: penghalusan tren dari data runtun waktu
: variabel utama yang memengaruhi variabel tidak bebas
: uang unjuk nilai, yaitu nilai nominal uang yang tertera
pada mata uang yang digunakan pada suatu negara
: pembedaan pertama
: bias ke bawah, artinya nilai estimasi yang dihasilkan
cenderung lebih rendah dibanding nilai parameter
sebenarnya
: perilaku ekspektasi yang cenderung meramalkan
bagaimana kondisi ke depan
: pertumbuhan uang
: penawaran uang
: kesenjangan output, yaitu deviasi dari output aktual
terhadap kondisi potensialnya
: atau exchange rate pass through (ERPT) adalah
dampak pergerakan nilai tukar terhadap volatilitas
inflasi
: persistensi, yaitu ada dan berlangsung terus-menerus
karena tidak mudah untuk dikendalikan
: variabel yang nilai ditentukan terlebih dahulu dalam
model namun tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya
: kekakuan harga
: pihak-pihak yang menentukan besarnya harga
: kekuatan/keteguhan/ketegaran yang sulit dibantahkan
: guncangan yang terjadi akibat adanya suatu perubahan
: model spasial yang difokuskan pada keterkaitan dari
galat secara spasial
: model spasial yang difokuskan pada keterkaitan dari
variabel tidak bebas secara spasial
: dampak limpahan atau imbas
: regresi yang dibangun atas hubungan semu atau
hubungan yang sebenarnya terjadi sehingga hasilnya
bisa menimbulkan kesalahan interpretasi
: derajat keterbukaan perdagangan
: terus-menerus bergejolak
: pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam
menetapkan besarnya upah
DAFTAR SINGKATAN
AD – AS
ADF – Fisher test
BBM
ERPT
FD-GMM
FEM
GLS
GMM
HP-filter
IHK
IPS test
IRIO
IHK
ITF
KBI
KTI
LLC test
NAIRU
NKPC
OLS
PDRB
PLS
PNS
PP – Fisher test
REM
SAB
SBB
SYS-GMM
UMP
: aggregate demand – aggregate supply
: augmented Dickey–Fuller – Fisher test
: bahan bakar minyak
: exchange rate pass through
: first-difference GMM
: fixed effect model
: generalize least squared
: generalized method of moments
: Hodrick-Prescott (HP) filter
: indeks harga konsumen
: Im, Pesaran and Shin test
: inter-regional input-output
: indeks harga konsumen
: inflation targeting framework
: Kawasan Barat Indonesia
: Kawasan Timur Indonesia
: Levin, Lin and Chu test
: non-accelerating inflation rate of unemployment
: New Keynesian Phillips Curve
: ordinary least squared
: Produk Domestik Regional Bruto
: pooled least squared
: pegawai negeri sipil
: Phillips–Perron – Fisher test
: random effect model
: spatially Arellano-Bond
: spatially Blundell-Bond
: system GMM
: upah minimum provinsi
xvii
Halaman ini sengaja dikosongkan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah mencatat, lebih dari empat dasawarsa Indonesia belum pernah
mengalami deflasi untuk periode tahunan, artinya sepanjang kurun waktu tersebut,
setiap tahun terjadi inflasi secara terus-menerus. Fakta sejarah juga menunjukkan
bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim
Orde Lama dan Rezim Orde Baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang
cukup tinggi, masing-masing pada tahun 1966 dan tahun 1998 (BPS). Inflasi pada
tahun 1966 merupakan inflasi dengan tiga digit tertinggi pada era tahun 1960-an,
sementara di era tahun 1990-an inflasi tahun 1998 adalah inflasi dengan dua digit
tertinggi.
Sumber : Badan Pusat Statistik
Gambar 1. Inflasi Indonesia Tahun 1958 – 2009.
Saat Orde Lama jatuh, yaitu pada tahun 1966, inflasi tercatat mencapai
636% dan secara bersamaan jumlah uang beredar (M1) menunjukkan peningkatan
lebih dari 90% dalam lima tahun terakhir sebelum kejatuhan rezim tersebut
(Tabel 1). Peningkatan M1 tersebut merupakan konsekuensi dari instabilitas
politik dalam negeri Indonesia yang diwarnai oleh banyaknya pemberontakan,
serta kebijakan politik luar negeri Indonesia yang cenderung berkiblat pada blok
2
timur sehingga Indonesia kesulitan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri
(Tambunan, 2009). Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya konfrontasi dengan
Malaysia dan operasi Trikora dalam rangka membebaskan Irian Barat serta
pembangunan proyek-proyek “mercu suar”. Akibatnya, pemerintah kemudian
melakukan kebijakan untuk mencetak uang untuk membiayai semuanya termasuk
juga membiayai pembangunan dalam negeri. Secara umum, penyebab utama dari
hiperinflasi yang terjadi pada masa Orde Lama adalah anggaran belanja
pemerintah yang tidak berimbang yang dipicu oleh neraca perdagangan yang
negatif, hutang luar negeri yang cukup besar, tertutupnya akses untuk memperoleh
pinjaman luar negeri sehingga segala kegiatan yang melibatkan peran pemerintah
sebagian besar terpaksa harus dibiayai dengan pencetakan uang.
Tabel 1. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi tahun 19591966
Tahun
M1
Pertumbuhan M1
(%)
Inflasi
(%)
1958
1959
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
29
35
48
68
136
263
675
2.713.688
5.164.552
18,78
37,13
41,40
100,89
93,79
156,34
301.965,18
90,31
46
22
38
27
174
119
135
594
636
Sumber : Bank Indonesia – Sejarah Moneter Periode 1959-1966
Akibat lebih lanjut dari jatuhnya rezim Orde Lama adalah perekonomian
Indonesia di bawah rezim baru cenderung lebih liberal dan lebih terbuka terhadap
perekonomian luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk peraturan
perundang-undangan yang berusaha menstimulasi sektor swasta untuk masuk ke
sektor-sektor strategis, termasuk juga berusaha untuk menarik penanaman modal
asing (Tambunan, 2009). Melalui perubahan sistim politik tersebut maka
dimulailah pinjaman luar baik yang bersifat bilateral maupun melalui pinjaman
multilateral untuk membiayai proyek-proyek strategis, mengingat pada rezim
sebelumnya banyak infrastruktur ekonomi yang terbengkelai pada awal rezim ini.
Guna
mengejar
banyak
ketertinggalan
di
bidang
ekonomi,
paradigma
pembangunan Orde Baru, selain diarahkan untuk mendorong pertumbuhan
3
ekonomi yang tinggi dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya juga
berusaha untuk menjaga stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam
bidang politik dan ekonomi sebagaimana yang tertuang dalam Trilogi
Pembangunan. Dalam praktiknya, upaya menjaga stabilitas nasional tersebut
termasuk juga melakukan stabilisasi harga guna menurunkan inflasi. Nampaknya,
kesadaran dari rezim ini akan bahaya akan inflasi yang merupakan “hantu
perekonomian” yang menakutkan disebutkan secara implisit sebagai salah satu
tujuan dari langkah strategis dalam pembangunan.
Tak dapat dipungkiri, Orde Baru memberikan perubahan yang signifikan
dalam proses pembangunan Indonesia yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi
dan peningkatan pendapatan per kapita yang cukup tinggi. Ibarat pepatah, “tak ada
gading yang tak retak”, karena dengan membuat perekonomian Indonesia lebih
terbuka membuat guncangan yang berasal dari luar negeri akan berpengaruh
secara signifikan terhadap perekonomian di dalam negeri. Tingkat ketergantungan
impor yang tinggi dan ketergantungan atas pinjaman luar negeri termasuk
penanaman modal asing membuat perekonomian Indonesia semakin rapuh
terhadap guncangan dari luar negeri. Terbukti ketika terjadi krisis mata uang Asia,
dalam hitungan bulan perekonomian Indonesia memasuki fase krisis yang cukup
parah. Akibat inflasi yang demikian tinggi ditambah rupiah yang terdepresiasi
demikian hebat, penanggulangan krisis tersebut diperkirakan mencapai 50% dari
besarnya GDP (Mishkin, 2004).
Selanjutnya, kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 diawali oleh krisis
mata uang Asia yang sesungguhnya merupakan shock yang berasal dari luar
negeri. Krisis tersebut kemudian dengan cepat menjalar ke sektor riil sehingga
membuat perekonomian Indonesia memasuki fase krisis ekonomi dan
menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang negatif yaitu 13,13% (BPS). Selama
fase krisis ekonomi tersebut tercatat inflasi mencapai 77,63% dan di saat yang
sama terjadi penambahan jumlah uang beredar (dalam arti luas/M2) sebesar
62,28% (Tabel 2). Meski inflasi pada tahun 1998 tidak sebesar tahun 1966, namun
tingkat inflasi tersebut merupakan inflasi tertinggi sejak rezim Orde Baru mulai
melakukan upaya stabilisasi inflasi pada tahun 1970-an. Adanya penambahan
jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) nampaknya merupakan konsekuensi
4
logis karena Bank Indonesia berusaha melakukan stabilisasi nilai tukar terhadap
dolar AS yang terdepresiasi demikian hebat, mengingat pada periode tersebut
Indonesia masih menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Akibat
menipisnya cadangan luar negeri karena harus terus-menerus melakukan
intervensi dalam stabilisasi rupiah terhadap dolar AS, diduga pihak otoritas
moneter meningkatkan base money (McLeod, 2003 dalam Ito dan Sato, 2006).
Melihat dua kondisi Indonesia tersebut, agaknya pendapat Prof. Friedman
(Mankiw, 2007) mengenai inflasi merupakan sebuah fenomena moneter kapan
saja dan dimana saja sepertinya benar.
Tabel 2. Jumlah uang beredar (dalam miliar rupiah) dan inflasi tahun 19901998
Tahun
M1
Pertumbuhan M1
(%)
M2
Pertumbuhan M2
(%)
Inflasi
(%)
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
23,82
26,34
28,78
36,81
45,37
53,22
64,09
78,34
101,20
10,58
9,26
27,90
23,25
17,30
20,42
22,24
29,17
84,63
99,06
119,05
145,20
174,51
222,64
288,63
355,64
577,15
17,05
20,18
21,97
20,19
27,58
29,64
23,22
62,28
9,94
9,93
5,04
10,18
9,64
8,97
6,65
11,05
77,63
Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik
Pasca krisis ekonomi tahun 1998, terjadi perubahan sistem nilai tukar dari
sebelumnya menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) menjadi nilai
tukar fleksibel (flexible exchange rate) pada tahun 1999, melalui pemberlakukan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pengertian nilai
tukar fleksibel bagi Indonesia ini bukan berarti nilai tukar sepenuhnya diserahkan
ke pasar, tetapi otoritas moneter juga ikut campur tangan dalam rangka stabilisasi
nilai tukar terhadap valuta asing dan pada gilirannya akan membantu stabilitas
inflasi. Upaya stabilisasi nilai tukar tersebut terkesan lambat karena membutuhkan
sekitar empat tahun setelah dilakukan perubahan sistem tersebut, nilai tukar riil
Indonesia hampir sama dengan nilai tukar riil negara tetangga, seperti Malaysia,
Singapura, dan Thailand, masing-masing terhadap dolar AS, sementara tiga
negara lainnya telah mencapai nilai tukar riil yang cukup stabil sejak tahun 2000
(Ito dan Sato, 2006). Hal lain yang bisa dilihat adalah meski telah dilakukan upaya
5
stabilisasi nilai tukar sejak tahun 1999, namun nilai tukar nominal tidak pernah
kembali ke level semula, yaitu kondisi sebelum krisis. Bahkan, adanya perubahan
sistem ini menyebabkan nilai tukar rupiah dan inflasi menjadi lebih volatile
(Prasertnukul et al., 2010).
Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik
Gambar 2. nilai tukar nominal (rupiah/US$) dan inflasi year on year (%).
Perubahan lainnya yang cukup mendasar pasca krisis ekonomi tahun 1998
adalah dimulainya era otonomi daerah sejak tahun 2001 yang membawa
konsekuensi tidak saja pada desentralisasi politik dan administrasi, tetapi
termasuk desentralisasi fiskal. Implikasi dari kebijakan desentralisasi fiskal ini
adalah pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber-sumber
pendapatan, termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk
menentukan belanja rutin dan belanja investasi. Kebijakan ini diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya daerah sehingga idealnya akan
mendorong daya saing daerah yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan
daerah. Keleluasaan pemerintah daerah dalam mengatur keuangannya di sisi lain,
menimbulkan kekhawatiran akan munculnya egoisme lokal yang akan
berpengaruh buruk pada stabilitas makro ekonomi pada tingkat nasional.
6
Salah satu implikasi dari pemberlakukan otonomi daerah adalah
mekanisme penetapan besarnya upah minimum regional (UMR) pada tingkat
provinsi atau dikenal dengan istilah upah minimum provinsi (UMP) yang
sebelumnya menganut sistem sentralisasi, sejak tahun 2001 menggunakan sistem
desentralisasi. Sebelum terjadinya perubahan mekanisme tersebut, sampai dengan
tahun 2000, ketika Indonesia terserang krisis ekonomi pada tahun 1998, upah
minimum riil mengalami penurunan dibanding sebelum krisis. Periode setelahnya,
yaitu ketika mekanisme penentuan upah minimun dilakukan dengan sistem
desentralisasi, upah minimum provinsi menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi,
bahkan besarannya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, kecuali untuk
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur (Gambar 3).
250.000
200.000
150.000
100.000
50.000
Sumatera Utara
Jawa Timur
DKI Jakarta
Sulawesi Selatan
Jawa Barat
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
0
Sumber : Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (data diolah)
Gambar 3. Upah Minimum Provinsi riil 5 provinsi di Indonesia.
Bersamaan dengan kenaikan upah minimum riil pada tingkat provinsi
tersebut, pemerintah juga melakukan penyesuaian besarnya gaji untuk PNS
termasuk TNI dan Polri secara bertahap dalam kurun waktu 10 terakhir. Salah satu
alasan pemerintah menaikkan gaji pegawainya adalah untuk menjaga daya beli
dari aparat pemerintah tersebut agar gaji yang diterima setiap bulan tidak tergerus
oleh inflasi, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi 1998. Kebijakan ini tidak
hanya menaikkan pengeluaran belanja pemerintah secara nominal, lebih jauh lagi,
7
kabar yang tentang kenaikan gaji pegawai pemerintah diterima oleh kalangan
dunia bisnis dari pengumuman presiden melalui berbagai media massa memicu
terjadinya kenaikan harga pada beberapa bulan mendatang, bahkan sebelum
kebijakan tersebut dilaksanakan beberapa harga kebutuhan pokok mulai
merangkak naik. Pengumuman mengenai kenaikan gaji pegawai pemerintah
tersebut diyakini akan memunculkan sentimen pasar melalui ekspektasi mengenai
inflasi di tahun mendatang.
Sejalan dengan perubahan mendasar pasca krisis, perekonomian Indonesia
kian terintegrasi dengan perekonomian global. Setidaknya beberapa perjanjian
mengenai pasar bebas dalam skala regional seperti AFTA dan perjanjian pasar
bebas antara ASEAN dengan China, Australia-Selandian Baru, Jepang, India,
Korea Selatan dan Amerika Serikat kurun waktu tahun 2002 – 2006, kian
memperjelas kondisi tersebut. Dalam perjanjian pasar bebas tersebut, wacana
penting yang dimunculkan adalah pengurangan atau bahkan penghapusan tarif
masuk yang menjadi salah satu penghalang terselenggaranya pasar bebas.
Berkurangnya atau dengan dihapuskannya penghalang tersebut, di satu sisi,
diharapkan konsumen domestik akan menikmati berbagai macam komoditas
untuk memenuhi kebutuhannya, yang tidak hanya berasal dari produk domestik
tetapi juga produk impor dengan harga bersaing. Di sisi lain, dengan pasar bebas
akan menyebabkan pendapatan pemerintah dari pajak impor akan berkurang dan
di saat yang sama perekonomian domestik akan semakin terbuka dan terintegrasi
dengan perekonomian global. Jika fondasi perekonomian Indonesia tidak cukup
kuat, hal ini tentu akan memberi pengaruh buruk pada perekonomian domestik
karena akan membuat tingkat ketergantungan yang tinggi atas perekonomian
global.
Perkembangan selanjutnya adalah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas sebagaimana paradigma pembangunan dari pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yodoyono (SBY), dalam lima tahun terakhir, tercatat
peningkatan belanja APBN yang cukup tinggi, yaitu sebesar Rp. 509,63 triliun
pada tahun 2005 menjadi Rp. 1.005,67 triliun pada tahun 2009. Peningkatan
belanja APBN yang demikian tinggi ini ternyata tidak lepas dari masalah, karena
setidaknya ketika terjadi guncangan harga minyak dunia (oil price shock),
8
pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM dan menyusul menaikkan tarif
dasar listrik (TDL) yang notebenenya merupakan administred prices guna
mengurangi subsidi energi yang menjadi beban berat APBN, mengingat dalam
beberapa tahun terakhir menganut sistem anggaran belanja tidak berimbang
(imbalanced budgeting) dan selisih antara anggaran pendapatan dan belanja
tersebut cenderung meningkat. Demi menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah
menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam bentuk obligasi pemerintah untuk
hutang negara yang berasal dari dalam negeri dan mengupayakan pinjaman luar
negeri baik yang berasal dari pinjaman bilateral maupun pinjaman multilateral,
karena pemerintah memiliki kendala anggaran, baik untuk penyelenggaran negara
maupun untuk keperluan pembangunan.
Bersamaan dengan perubahan sistem APBN, pihak otoritas moneter secara
efektif mulai memberlakukan secara penuh kerangka kerja penargetan inflasi
(inflation targeting framework/ITF) pada tahun 2005 berdasarkan amanat
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. ITF merupakan
suatu kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada
publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode
(tahun) ke depan. Terkait dengan pengumuman mengenai target inflasi yang akan
dicapai tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa tingkat inflasi yang rendah dan
stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Meski demikian tidak
berarti dengan single objective tersebut, ITF tidak mempertimbangkan
pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara
keseluruhan, tetapi sebaliknya inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang,
diyakini akan mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
(sustainable growth). Sejalan dengan tanggung jawab BI dalam melakukan
stabilisasi inflasi sesuai dengan amanat UU tersebut, dilakukan pula stabilisasi
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.
Terkait dengan upaya stabilisasi inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap
valuta
asing
dan
mendukung
terciptanya
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkelanjutan, selambat-lambatnya setiap tiga bulan sekali, melalui Rapat Dewan
Gubernur, Bank Indonesia menetapkan besarnya suku bunga acuan (BI rate).
Tujuan penetapan BI rate ini tidak hanya memberi sinyal kepada pasar tentang
9
kondisi perekonomian secara umum, namun juga untuk memengaruhi ekspektasi
masyarakat mengenai tingkat inflasi pada periode mendatang, termasuk
memengaruhi variabel makro ekonomi lainnya, yang pada akhirnya akan
memengaruhi besarnya inflasi melalui beberapa jalur mekanisme transmisi.
Berbagai kebijakan maupun variabel non kebijakan tersebut direspon
dengan tingkat inflasi yang berbeda-beda pada tiap daerah di Indonesia, artinya
kebijakan yang sama di tingkat nasional seperti penyesuaian gaji pegawai
pemerintah, penyesuaian harga BBM maupun berbagai kebijakan moneter yang
bersifat sentralistik, memiliki dampak inflasi yang berbeda-beda pada tiap daerah
atau provinsi. Ketika terjadi krisis finansial global pada tahun 2008 misalnya,
inflasi di Indonesia cukup bervariasi dengan rata-rata inflasi 12,11%; sementara
inflasi tertinggi dan terendah sebesar masing-masing 20,51% dan 6,96%.
Sebaliknya ketika terjadi penurunan harga BBM pada awal tahun 2009, tercatat
inflasi rata-rata 3,33%, dengan inflasi tertinggi dan terendah masing-masing
sebesar 7,52% dan 0,80% pada tahun 2009.
Tabel 3. Perbandingan inflasi antar pulau tahun 2008 – 2009
Tahun
2008
2009
Pulau /
Kelompok Pulau
Rata-rata
Maksimum
Minimum
Standar
Deviasi
Jawa
• dengan DKI
• tanpa DKI
Luar Jawa
• Sumatra
• Kalimantan
• Sulawesi
• Lainnya
INDONESIA
11,05
11,04
12,08
12,20
12,48
12,58
13,69
12,11
14,20
14,20
20,51
18,40
19,85
17,58
20,51
20,51
6,96
6,96
6,96
8,39
8,89
9,20
9,25
6,96
1,84
1,88
2,87
2,46
3,20
2,77
3,97
2,76
Jawa
• dengan DKI
• tanpa DKI
Luar Jawa
• Sumatra
• Kalimantan
• Sulawesi
• Lainnya
INDONESIA
3,17
3,21
3,64
2,38
3,63
3,83
4,57
3,33
5,83
5,83
7,52
4,18
7,21
6,84
7,52
7,52
1,30
1,30
1,15
0,80
1,15
1,40
1,92
0,80
0,97
0,98
1,55
0,92
1,94
1,82
1,83
1,52
Sumber : BPS (diolah)
Bervariasinya inflasi di Indonesia juga dapat dilihat menurut perbandingan
antar pulau, yaitu dengan rata-rata dan variasi inflasi di Jawa cenderung lebih
rendah dibanding luar Jawa, kecuali dibanding Sumatra untuk tahun 2009. Selain
10
perbandingan tersebut, dapat dilihat pula pada Tabel 3, ketika inflasi cukup tinggi,
yaitu tahun 2008, maka variasi inflasi dalam setiap pulau atau kelompok pulau
juga cukup tinggi, sebaliknya ketika inflasi cukup rendah pada tahun 2009, variasi
inflasi dalam setiap pulau ikut menjadi rendah.
Salah satu langkah proaktif dari Bank Indonesia terkait dengan ITF adalah
pembentukan tim pengendali inflasi daerah dengan alasan bahwa inflasi daerah
memengaruhi 78% inflasi nasional. Tim ini dibentuk untuk mengendalikan inflasi
yang berasal dari gangguan penawaran barang yang juga disebut dengan inflasi
non inti, sementara BI sebagai otoritas moneter hanya dapat memengaruhi inflasi
inti saja1. Pembentukan tim ini sepertinya adalah salah satu bentuk kesadaran akan
bervariasinya tekanan inflasi antar daerah mengingat inflasi nasional merupakan
indeks gabungan yang disusun berdasarkan inflasi daerah. Disamping itu,
pembentukan tim pengendali inflasi daerah oleh BI ini agaknya sejalan dengan
hasil kajian yang dilakukan Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi
di Indonesia yang menyatakan bahwa gangguan dari sisi penawaran lebih
dominan dalam memengaruhi perkembangan inflasi dibanding gangguan dari sisi
permintaan.
Bervariasinya tekanan inflasi antar daerah yang didominasi berasal dari
sisi penawaran ini tentu terkait dengan kondisi Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia dengan perbedaan karakteristik antar wilayah atau
antar provinsi, seperti struktur ekonomi. Perbedaan struktur ini tidak serta-merta
terjadi karena tentunya dipengaruhi oleh faktor endogen yang mencerminkan
adanya kekuatan dari faktor endowment dari wilayah tersebut dan faktor eksogen
yang cenderung berasal dari luar wilayah. Kepemilikan faktor endogen dan
eksogen tersebut merupakan determinan dalam menciptakan output yang
potensial. Akibat adanya keterbatasan atau kelimpahan sumber daya, suatu
wilayah belum bisa mencapai kondisi potensialnya atau bisa melampauinya.
Adanya perbedaan karakteristik antar provinsi dalam lingkup satu negara
yang kemudian menyebabkan perbedaan tingkat harga dan bervariasinya tingkat
inflasi tidak berarti masing-masing provinsi ini saling bebas terpengaruh satu
dengan lainnya. Adanya kedekatan secara geografis atau secara spasial dan
1
Koran Tempo, 12 April 2010, halaman 1.
11
kedekatan secara ekonomi (spatial and economic proximity) antar provinsi
memungkinkan terjadinya spillover antar provinsi, yaitu melalui transfer
pengetahuan dan penyebaran inovasi dan informasi atau melalui kebijakan yang
diterapkan di satu provinsi yang dampaknya terasa sampai dengan wilayah lain
sekitarnya. Secara empiris, penelitian Wimanda (2006) mengenai inflasi regional
menyatakan bukti terjadinya keterkaitan inflasi antar provinsi.
1.2 Perumusan Masalah
Mengingat banyaknya faktor yang mungkin akan memengaruhi inflasi di
Indonesia, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, seperti pengaruh dari
faktor moneter atau non monenter, tentu tidak mudah untuk menjelaskan perilaku
inflasi berdasarkan salah satu pendekatan saja. Hal inilah yang kemudian
mendasari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perilaku inflasi di Indonesia
dengan berbagai pendekatan, baik merujuk pada landasan teoritis yang sudah baku
maupun mengacu pada beberapa kajian empiris yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya.
Dari
berbagai
pendekatan
tersebut,
diharapkan
gambaran
menyeluruh tentang perilaku inflasi akan terlihat dengan lebih jelas.
Berbagai studi mengenai perilaku inflasi telah banyak dilakukan di banyak
negara dimana umumnya menggunakan pendekatan ekonometrik untuk melihat
faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan seberapa besar dari pengaruhnya
terhadap inflasi. Terkait dengan penelitian di Indonesia, setidaknya terdapat
penelitian mengenai inflasi yang telah dilakukan oleh Solikin (2004, 2007) yang
mengangkat masalah keberadaan kurva Phillips dan karakteristik tekanan inflasi
di Indonesia. Beberapa penelitian tersebut dibatasi hanya melihat inflasi Indonesia
pada level nasional saja dan tidak banyak yang melihat dinamika inflasi dalam
perspektif regional, yaitu antar provinsi.
Penelitian mengenai inflasi dalam perspektif regional dan terkait dengan
Indonesia dilakukan oleh Habermeier et al. (2009) yang meneliti tentang tekanan
inflasi dan opsi kebijakan moneter dalam perspektif antar regional dengan studi
kasus emerging and developing countries. Penelitian lainnya mengenai bagaimana
pergerakan nilai tukar memengaruhi tingkat inflasi di beberapa negara Asia yang
terkena dampak krisis mata uang Asia demikian parah yaitu Indonesia, Filipina,
Korea Selatan dan Thailand. Sayangnya, penelitian mengenai inflasi ini juga
12
masih pada level agregat dan tidak menjelaskan dinamika inflasi antar provinsi di
Indonesia, hanya menjelaskan keterbandingan antar negara atau kelompok negara
(Prasertnukul et al., 2010). Penelitian khusus mengenai dinamika inflasi antar
provinsi salah satunya dilaksanakan di China untuk melihat bagaimana proses
terjadinya perbedaan dalam pembentukan inflasi antar provinsi di negara yang
mengalami perubahan sistem ekonomi tersebut (Mehrotra et al., 2007). Kajian
lainnya mengenai inflasi regional dilakukan oleh Wimanda (2006) dengan tujuan
untuk mengetahui karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional, yaitu
pada tataran provinsi.
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dinamika inflasi coba dijelaskan
dengan hubungan kurva Phillips, namun model yang digunakan bukan model
tradisional yang menyatakan adanya trade off antara inflasi dan tingkat
pengangguran melainkan menggunakan model New Keynesian Phillips Curve
(NKPC) yang menunjukkan terjadinya tarik ulur antara inflasi dan kesenjangan
output. Kesenjangan output tersebut didefinisikan sebagai perbedaan antara output
aktual dan output potensial. Sebelumnya, penganut paham Real Business Cycle
(RBC) juga menggunakan pendekatan kesenjangan output namun dengan asumsi
flexible price. Sementara model hubungan kurva Phillips NKPC diperkenalkan
oleh penganut New Keynesian untuk menjawab adanya rigiditas harga dan upah
yang terjadi di dunia nyata, mengingat adanya guncangan pada sisi permintaan
atau penawaran tidak serta merta direspon secara langsung oleh price setter atau
wage setter (Romer, 2006). Kondisi ini setidaknya mirip dengan keadaan di
Indonesia dimana terdapat beberapa komoditi yang penentuan harganya diatur
oleh pemerintah (administred prices).
Selain administred prices, kontrak upah juga sering mengacu pada regulasi
tingkat upah minimum regional yang disahkan oleh pemerintah daerah sehingga
besarnya upah cenderung tidak berubah dalam kurun waktu setahun misalnya.
Implikasinya baik harga maupun tingkat upah cenderung mengikuti teori dari
Calvo mengenai stagerring prices and wages, yaitu dalam jangka pendek uang
tidak bersifat netral, karena terjadi rigiditas baik harga maupun upah (Solikin dan
Sugema, 2004). Penelitian mengenai keberadaan kurva Phillips di Indonesia
dilakukan oleh Solikin (2004) menyatakan bahwa untuk level nasional, kurva
13
tersebut memang eksis dan berubah sering dengan perubahan struktur
perekonomian di Indonesia.
Selain dijelaskan dengan kurva Phillips, penelitian mengenai perilaku
inflasi berdasarkan karakteristik sumber tekanan terhadap inflasi juga sering
dilakukan dengan pendekatan strukural VAR (SVAR). Melalui pendekatan ini,
sumber-sumber tekanan terhadap inflasi didekomposisi menjadi beberapa jalur
transmisi berdasarkan landasan teori mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
harga secara agregat. Jalur transmisi utama yang memengaruhi perubahan harga
secara agregat atau menyebabkan inflasi dibedakan menjadi dua kelompok besar,
yaitu berasal dari guncangan dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran.
Pendekatan SVAR yang digunakan ini pertama kali dikenalkan oleh Bayoumi dan
Eichengreen (1992) dengan pendekatan bivariate SVAR. Melalui pendekatan
sederhana ini, kedua peneliti tersebut dapat menjelaskan bagaimana pengaruh
guncangan menurut sumbernya terhadap harga dan output.
Setelah era Bayoumi dan Eichengreen (1992), penggunaan SVAR untuk
meneliti pengaruh guncangan dari sisi permintaan dan sisi penawaran terhadap
harga dan output terus berkembang dengan tidak hanya terbatas menggunakan dua
variabel saja. Adapun sumber guncangan yaitu dari sisi permintaan dan sisi
penawaran kemudian didekomposisi menjadi beberapa variabel untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh dari setiap variabel masing-masing terhadap harga dan
output. Penelitian Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi di
Indonesia dengan pendekatan SVAR dengan menggunakan lima variabel
berdasarkan dekomposisi Cholesky menyatakan bahwa pengaruh guncangan dari
sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibanding guncangan
dari sisi permintaan.
Penjelasan mengenai pengaruh suatu variabel tertentu terhadap inflasi
lebih lanjut seperti exchange rate pass-through (ERPT), dilakukan dengan
melakukan perluasan dari model kurva Phillips seperti dilakukan oleh Campa dan
Goldberg (2002); Edwards (2006); Prasertnukul et al. (2010) dan Beirne (2009).
Penelitian lainnya dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh suatu variabel atau
beberapa variabel terhadap inflasi tanpa menggunakan kurva Phillips setidaknya
dilakukan Al-Nasser et al. (2009) dan Kwon et al. (2009).
14
Merunut dari penjelasan sebelumnya, meski terlihat adanya keterkaitan
yang kuat dengan jumlah uang beredar terutama pada saat inflasi cukup tinggi,
namun hal tersebut bukan berarti inflasi adalah murni sebagai sebagai fenomena
moneter. Pendapat ini tentunya dilandasi atas kenyataan dari paparan sebelumnya
bahwa sektor riil diduga juga ikut berperan dalam memicu terjadinya inflasi,
sebagai konsekuensi terjadinya perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Oleh
karenanya, akan menjadi kajian yang menarik untuk melihat penyebab inflasi,
tidak hanya dari sisi moneter saja tetapi juga dari sudut pandang sektor riil.
khususnya pada level provinsi. Selanjutnya, kedua sisi tersebut pada prinsipnya
dapat dipilah menjadi variabel-variabel kebijakan dan non kebijakan yang
berpengaruh terhadap pembentukan inflasi. Kajian ini akan lebih menarik jika
dilakukan pada level provinsi, mengingat masih sedikit sekali penelitian tentang
inflasi pada tataran provinsi di Indonesia, terlebih dilakukan dengan berbagai
pendekatan, seperti pendekatan variabel kebijakan dan non kebijakan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output
gap, pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan
keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh variabel-variabel kebijakan yang dilakukan pemerintah
dan otoritas moneter terhadap inflasi di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengkaji pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output gap,
pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan
keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia.
2. Mengkaji pengaruh kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas
moneter terhadap inflasi di Indonesia.
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian meliputi empat hal. Pertama, memberikan
gambaran mengenai dinamika inflasi di Indonesia dengan analisis deskriptif.
15
Kedua, mengkaji pengaruh dari faktor-faktor non kebijakan terhadap inflasi.
Ketiga, mengkaji pengaruh kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan
otoritas moneter terhadap inflasi. Keempat, memberikan rumusan kebijakan
terkait dengan implikasi dari hasil penelitian.
Dalam penelitian ini cakupan yang dianalisis adalah seluruh provinsi di
Indonesia kecuali beberapa provinsi baru seperti Banten, Kepulauan Riau,
Bangka-Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. Hal
ini dikarenakan keenam provinsi tersebut baru terbentuk setelah tahun 2000,
sementara
periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 1999 – 2009.
Mengingat adanya keterbatasan data, maka untuk provinsi-provinsi yang
mengalami pemekaran tersebut, maka dilakukan agregasi ke provinsi induknya.
Provinsi Banten diagregasi dengan Provinsi Jawa Barat, Bangka-Belitung dengan
Sumatra Selatan, Kepulauan Riau dengan Riau, Gorontalo dengan Sulawesi Utara,
Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan, Maluku Utara dengan Maluku dan
Papua Barat dengan Provinsi Irian Jaya (Papua). Adapun jumlah provinsi yang
menjadi cakupan analisis dalam penelitian ini adalah 26 provinsi.
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Inflasi
Inflasi adalah gejala peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam
perekonomian secara terus-menerus. Secara ringkas, inflasi dapat diartikan
sebagai perubahan yang terjadi pada tingkat harga (Blanchard, 2004). Pengertian
umum mengenai inflasi yang telah banyak diterima ini sesungguhnya mengacu
pada definisi yang diberikan oleh Milton Friedman (1963, dalam Roger, 1998),
yang menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan pada tingkat harga umum yang
steady dan terus-menerus (sustained). Friedman menekankan perbedaan antara
steady inflation, yaitu inflasi yang didorongan kenaikan harga yang relatif konstan
dan intermitten inflation atau transient inflation. Perbedaan penting dari definisi
Friedman adalah unsur yang persisten atau steady dari inflasi terkait dengan
masalah ekspektasi dari inflasi itu sendiri, sementara transient inflation
disebabkan oleh kondisi yang tidak diantisipasi. Berdasarkan definisi umum
tersebut terdapat tiga aspek penting, yaitu :
1. Ada kecenderungan harga-harga yang meningkat, artinya dalam kurun waktu
tertentu, harga-harga menunjukkan tren atau tendensi yang meningkat.
2. Peningkatan harga berlangsung secara terus-menerus (sustained), artinya dari
waktu ke waktu mengalami peningkatan.
3. Pengertian harga adalah tingkat harga umum (general level of price), artinya
harga tersebut mencakup keseluruhan komoditas dan bukan hanya pada satu
atau beberapa komoditas saja.
Secara empiris, banyak ditemukan bahwa pergerakan inflasi seiring
dengan peningkatan jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun
dalam arti luas (M2), sehingga seringkali peningkatan jumlah uang beredar
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Anggapan tersebut tentu
tidak sepenuhnya salah karena Friedman menyatakan inflasi merupakan sebuah
fenomena moneter. Inflasi sebagai fenomena moneter merupakan salah satu
indikator yang dapat mencerminkan kondisi riil nilai uang. Bila terjadi inflasi
maka nilai uang secara riil mengalami penurunan dan hal ini akan menyebabkan
kemampuan daya beli dari uang itu sendiri menurun. Akibat dari penurunan ini
adalah daya beli masyarakan akan menurun atau bahkan tergerus. Bila inflasi
18
tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil, maka sudah
dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakan secara umum mengalami
penurunan.
Selanjutnya, melalui pendekatan pasar riil atau pasar barang, penyebab
inflasi dibagi menjadi dua, yaitu berasal dari kelebihan permintaan atau karena
adanya kenaikan biaya produksi. Penyebab pertama pada pasar riil adalah karena
ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang tidak dapat mencukupi
kelebihan permintaan masyarakat secara umum sehingga menyebabkan kenaikan
harga secara agregat. Secara implisit, ketersediaan komoditas yang terbatas di
pasar barang menyiratkan kapasitas produksi optimum dari suatu perekonomian
sehingga hal tersebut sesungguhnya mencerminkan kondisi output potensial.
Dalam beberapa literatur, inflasi dengan tipe seperti ini seringkali diistilahkan
sebagai inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation). Tipe kedua
berdasarkan sumber penyebab inflasi seringkali disebut sebagai inflasi karena
dorongan biaya (cost push inflation), dengan kenaikan harga yang terjadi
merupakan kondisi yang tidak diantisipasi dan hal tersebut disebabkan oleh
kenaikan biaya produksi. Kondisi yang tidak diantisipasi ini salah satunya
disebabkan oleh adanya shock dari sisi penawaran.
Pada praktiknya, inflasi seringkali dihitung berdasarkan pendekatan indeks
harga. Beberapa alternatif dalam menghitung indeks harga adalah indek harga
konsumen (IHK), indeks harga produsen (IHP) dan indeks harga implisit yang
diturunkan dari penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), atau sering disebut
sebagai GDP deflator. Berdasarkan beberapa alternatif dalam penghitungan
inflasi, umumnya digunakan indek harga konsumen (IHK), karena nilai uang
secara umum terkait dengan kekuatan daya beli dari uang pada tingkat konsumen.
Hanya saja perlu disadari bahwa IHK tidak didesain untuk mengukur tren dari
harga, sehingga seringkali IHK tidak dapat memberikan gambaran mendasar
mengenai inflasi, mengingat ada ketidaksesuaian antara konsep dengan
pendekatan penghitungan inflasi tersebut (Hanh, 2002).
Adanya ketidaksesuaian tersebut, dari sudut pandang teoritis dapat
disanggah karena tujuan utama dari kebijakan moneter adalah memaksimumkan
kesejahteraan masyarakat. Secara logika, wajar jika kemudian pihak otoritas
19
moneter memfokuskan pada indeks harga yang dapat lebih mendekati indeks
biaya hidup dari konsumen dan pada praktiknya, banyak negara yang
menggunakan IHK sebagai dasar dari penargetan inflasi. Hal tersebut karena
indeks biaya hidup dari konsumen lebih bisa didekati oleh IHK dibanding dengan
IHP dan indeks implisit. Pertimbangan lain dari penggunaan IHK terkait dengan
kualitas dari IHK yang jauh lebih baik dibanding indeks harga lainnya, karena
pada kenyataannya kebanyakan badan/biro statistik di seluruh negara berusaha
mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk membangun IHK dibanding indeks
harga lainnya. Oleh sebab itu, cukup adil jika mengatakan bahwa kebanyakan
bank sentral yang menerapkan penargetan inflasi telah menemukan alasan secara
praktis dalam menggunakan IHK bersamaan dengan alasan kredibilitas dalam
menggunakan IHK dibanding pertimbangan untuk menolaknya (Roger, 1998).
2.2 Inflasi Regional
Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi
perusahaan ditentukan oleh masalah minimisasi biaya transportasi atas beberapa
alternatif lokasi dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi atau teori minimisasi
biaya (cost minimization theories). Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong
perusahaan-perusahaan untuk terkonsentrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat
penurunan biaya transaksi, baik karena economies of scale, localization economies
atau urbanization economies. Pendekatan lain dalam teori lokasi adalah teori
maksimisasi keuntungan (profit maximization theories) yang berusaha menjawab
masalah tentang bagaimana memaksimumkan keuntungan dengan permintaan atas
produk yang dihasilkan perusahaan tersebar di mana-mana sementara penawaran
atas bahan baku dalam proses produksi terkonsentrasi di suatu wilayah atau titik
pasar tertentu saja (Cappelo, 2007).
Ulasan singkat mengenai teori lokasi berdasarkan pendekatan produksi
dan pendekatan pangsa pasar tersebut, sesungguhnya secara implisit bercerita
mengenai bagaimana kemudian harga produk-produk di suatu daerah menjadi
lebih murah dibanding daerah lainnya atau sebaliknya cenderung lebih mahal di
suatu wilayah dibanding wilayah lainnya. Lebih jauh, teori lokasi juga
menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah
infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar
20
perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan
memperoleh pangsa pasar yang lebih luas demi mengejar keuntungan maksimum.
Teori lokasi tersebut secara tidak langsung juga menceritakan tentang bagaimana
mekanisme pembentukan harga di suatu wilayah atau antar wilayah yang bisa
bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur ekonomi dari masing-masing
wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi
inflasi antar wilayah, yaitu antar negara atau pada tataran regional dalam satu
negara.
Studi empiris dari Marques et al. (2009) menyatakan bahwa biaya
transportasi merupakan determinan penting yang memicu terjadinya divergensi
inflasi di Chile, sementara besaran-besaran makroekonomi pada level nasional
seperti suku bunga jangka pendek, tingkat pengangguran, perubahan harga
minyak, jumlah uang beredar, nilai tukar efektif, upah tenaga kerja dan
pergerakan sektor industri pengolahan kurang berperan dalam mendorong proses
divergensi tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi dari bentuk negara Chili yang
memiliki lebar wilayah sekitar 175 km sementara panjangnya mencapai 4.300 km,
sehingga jarak geografis lebih menjadi masalah dibanding faktor-faktor lainnya.
Karenanya, khusus untuk studi kasus Chili, inflasi lebih disebabkan oleh faktor
spesifik dari negara tersebut yang bisa dikatakan unik ditinjau dari bentuk
wilayahnya.
Selanjutnya, Andrés et al. (2007) melakukan penelitian mengenai inflasi
untuk kasus negara-negara Uni Eropa dalam perspektif regional atau antar negara.
Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa terjadinya perbedaan tingkat inflasi
di negara-negara Uni Eropa meskipun telah menganut sistem moneter bersama
disebabkan oleh perbedaan elastisitas permintaan di pasar barang sehingga pihak
produsen bisa melakukan diskriminasi harga. Selain itu, divergensi inflasi tersebut
juga disebabkan oleh derajat keterbukaan perdagangan dan preferensi barangbarang impor untuk keperluan konsumsi, tergantung dari elastisitas substitusi dari
antara barang impor dan barang domestik. Kedua penyebab di atas yang
bersumber dari perbedaan tingkat kompetitif dari perusahaan dan perbedaan
derajat keterbukaan sepertinya menjadi lengkap dengan adanya perbedaan
struktural seperti perbedaan tingkat upah dan besarnya potongan pajak. Lebih
21
lanjut, derajat inersia harga juga merupakan salah satu sumber penyebab
terjadinya perbedaan tingkat inflasi tersebut dan diduga terkait erat dengan
masalah mekanisme penyesuaian internal seperti pertimbangan dalam melakukan
investasi dan eksistensi dari friksi pada sektor riil.
Salah satu penelitian mengenai inflasi regional dalam tataran provinsi
untuk studi kasus Indonesia dilakukan oleh Wimanda (2006). Tujuan penelitian
ini adalah untuk melihat karakteristik, konvergensi dan determinan dari inflasi
regional. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan berbagai metode analisis
menyatakan bahwa inflasi regional cenderung divergen karena dari 26 provinsi
yang dianalisis hanya 8 diantaranya yang memperlihatkan gejala untuk konvergen
sedangkan sisanya tidak. Temuan lainnya adalah inflasi yang terjadi pada
kelompok transportasi dan kelompok perumahan pada
kebanyakan provinsi
menunjukkan level inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional. Selain itu
diperoleh bukti bahwa kenaikan harga BBM tidak saja memengaruhi kelompok
transportasi tetapi juga kelompok lainnya pada sebagian besar provinsi. Bukti
lainnya adalah terdapat keterkaitan inflasi yang cukup tinggi pada sebagian besar
provinsi di Indonesia. Terakhir, determinan penting dari inflasi regional adalah
ekspektasi inflasi (backward looking) dan nilai tukar, sementara pengeluaran
pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi
regional.
2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian
Dalam papernya yang terkenal, Phillips (1958, dalam Romer, 2006)
mengungkapkan adanya bukti yang cukup kuat dan hubungan negatif yang relatif
stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi upah di Inggris sepanjang satu abad
sebelumnya. Tak lama berselang, beberapa peneliti selanjutnya menemukan
hubungan yang sama antara tingkat penganguran dan inflasi harga dan hubungan
tersebut kemudian dikenal sebagai kurva Phillips. Berdasarkan bukti empiris tersebut,
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan
inflasi, baik dari tinjauan teoritis maupun berdasarkan dukungan bukti empiris
(Romer, 2006).
Sampai dengan tahun 1960-an, kurva Phillips seakan menjadi rule of thumb
dan banyak diterima oleh berbagai kalangan, namun ketika terjadi kenaikan harga
22
minyak dunia dan perubahan cara wage setters dalam membangun ekspektasi terkait
dengan perubahan perilaku inflasi sehingga inflasi menjadi lebih persisten, hubungan
tersebut tidak terlihat lagi. Berdasarkan temuan tersebut, hubungan yang stabil antara
tingkat pengangguran dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips
kemudian dipertanyakan. Serangan terhadap hubungan yang permanen antara
pengangguran dan inflasi atau output dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam
kurva Phillips dilakukan oleh Friedman (1968, dalam Blanchard, 2004) dan Phelp
(1968, dalam Blanchard, 2004) yang menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah
tidak dapat diterima karena variabel nominal seperti inflasi dan money supply tidak
dapat memengaruhi variabel riil.
Hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukan Friedman (1968,
dalam Romer, 2006), the natural rate hypotesis of Phillips Curve, memberikan
penjelasan yang lebih memuaskan terhadap fenomena stagflasi yang dialami
negara-negara industri pada tahun 1970-an. Secara umum, kurva Phillips versi
tradisional, bahkan dalam bentuk augmented version sekalipun masih tetap
menjadi obyek kajian yang intensif dari beberapa sudut pandang. Hal ini terutama
menyangkut kurangnya landasan analisis ekonomi mikro yang dalam, yang
menjadikannya sebagai subyek dari kritik Lucas (Lucas critique). Lebih dari itu,
validitasnya sebagai suatu building block dari model untuk evaluasi atas berbagai
alternatif kebijakan masih dipertanyakan.
Perkembangan terkini dari teori inflasi melahirkan analisis Kurva Phillips
versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve/NKPC). NKPC didasarkan
pada landasan mikro ekonomi yang cukup kuat sebagai jawaban atas kritik Lucas dari
versi kurva Phillips sebelumnya. Perbedaan yang mendasar dari versi ini dengan
sebelumnya adalah perubahan harga merupakan hasil dari keputusan optimal dari
para pelaku bisnis dalam memaksimumkan keuntungannya pada pasar persaingan
monopolistik, dengan kendala berupa frekuensi penyesuaian harga dan dalam analisis
pembentukan harga nominal yang bersifat tidak kontinyu (staggered), yang diilhami
oleh John B. Taylor (1980, dalam Gali, 2002).
Spesifikasi umum dari pendekatan ini didasarkan pada model staggered price
setting yang dikembangkan oleh Calvo (1983, dalam Solikin, 2004). Persamaan
23
utama mengkaitkan tingkat inflasi saat ini dengan inflasi masa depan yang
diharapkan dan biaya marginal (Gali and Gertler (2000); Gali et al. (2001, 2005)):
t =  Et{t+1} +  mct’
.............................................. (2.1)
dengan mct’ adalah persentase deviasi biaya marginal riil dari level steady state,
 adalah discount factor, dan  adalah koefisien yang merupakan dekomposisi
dari beberapa parameter dalam sistem permodelan, sekaligus mencerminkan derajad
kekakuan harga (price rigidity). Mengingat biaya marginal riil merupakan fungsi
dari output riil, termasuk level steady state dari biaya marginal riil adalah fungsi dari
output potensial, maka dengan beberapa asumsi yang dipakai dalam model standar
optimisasi dengan perilaku harga nominal yang kaku, pola hubungan yang
sederhana antara kedua variabel tersebut dapat diturunkan sebagai berikut.
mct =  ( yt – y*t )
.............................................. (2.2)
dengan yt dan y*t masing-masing adalah logaritma dari tingkat output riil dan
tingkat output potensial. Kombinasi dari persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan
rumusan NKPC dengan dasar kesenjangan output/output gap (Gali, 2002) :
t =  Et{t+1} +  ( yt – y*t )
dengan 
.............................................. (2.3)
 .
Persamaan (2.3) memperlihatkan adanya tradeoff antara inflasi dengan
kesenjangan output, yaitu besarnya deviasi output aktual terhadap output potensial
atau output naturalnya. Gambar 4 mengilustrasikan bagaimana terjadinya tradeoff
tersebut, yaitu ketika output aktual berada di atas kondisi potensialnya maka
tingkat inflasi akan lebih tinggi dari ekspektasi inflasi atau inflasi yang diharapkan
(e). Kondisi sebaliknya, jika output aktual lebih rendah dari output potensial,
maka tingkat inflasi aktual akan lebih rendah dari ekspektasi inflasi. Berdasarkan
ilustrasi tersebut, sesungguhnya persamaan tersebut secara tidak langsung sudah
mengakomodir hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukakan Friedman
(1968, dalam Roger, 1998), karena saat terjadinya tingkat pengangguran alami maka
output yang tercipta adalah output natural yang merupakan pendekatan untuk kondisi
output potensial, bahkan dengan landasan teori mikro ekonomi yang lebih kuat.
Merujuk pada penjelasan sebelumnya, perlu difahami bahwa tradeoff yang
diilustrasikan oleh Gambar 4 tersebut tidak bersifat permanen karena slop dari kurva
Phillips versi NKPC bisa berubah-ubah seiring dengan terjadinya perubahan
24
fundamental dari suatu perekonomian (regime dependent). Beberapa penelitian
dengan menggunakan kurva Phillips menyatakan bentuk kurva tersebut bisa menjadi
lebih tegak atau lebih datar sehingga hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya
tradeoff sama sekali.
Pertanyaan yang muncul dari beberapa fakta empiris adalah menyangkut
bagaimana fenomena inflasi yang sebenarnya. Beberapa kritik ditujukan pada
validitas formulasi NKPC yang menyatakan bahwa inflasi hanya merupakan
fenomena forward-looking. Mengingat adanya persistensi dari tekanan inflasi,
alternatif dari rumusan tersebut adalah inflasi pada dasarnya merupakan fenomena
backward-looking. Hal ini tercermin dari keterkaitan yang erat antara inflasi saat ini
dengan inflasi periode sebelumnya sebagaimana dipaparkan oleh analisis Kurva
Phillips versi tradisional. Berkaitan dengan kedua fenomena tersebut, Gali and
Gertler (2000) dan Gali et al. (2001) mengajukan model gabungan/hibrid (hybrid
model) dari NKPC, yaitu model yang juga memperhitungkan kemungkinan adanya
fraksi tertentu dari perusahaan yang menggunakan pola penyesuaian backwardlooking sebagai rule of thumb.
Sumber : Romer (2006)
Gambar 4. Hipotesis tradeoff antara inflasi dan output gap dalam kurva Phillips
versi NKPC.
25
Berdasarkan hipotesis tersebut, NKPC dengan basis model hibrid dapat
dituliskan sebagai:
t
=
b
t-1
+
f
t
{
t+1}
+ mct’
.............................................. (2.4)
atau dengan menggunakan variabel output gap sebagai driving force variabel
(Solikin (2004); Mehrotra et al. (2007)) :
=
b
t-1
dengan
b
dan
t
+
f
f
t
{
t+1}
+ (yt – y*t )
.............................................. (2.5)
masing-masing merupakan koefisien dekomposisi dari beberapa
parameter dalam permodelan, sekaligus mencerminkan perilaku backward-looking
dan forward-looking dari inflasi.
2.3.1 Output Potensial dan Output Gap
Output potensial sering diartikan sebagai level dari kegiatan ekonomi
ketika permintaan agregat dan penawaran agregat berada pada kondisi yang
konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil, sementara kesenjangan output
(output gap) adalah deviasi dari output aktual terhadap tingkat output potensial.
Kedua indikator tersebut kian menjadi fokus perhatian, karena kemudian sering
digunakan untuk menilai sampai sejauh mana efektivitas dari kebijakan makro
ekonomi. Konsep di atas sepertinya dekat dengan definisi yang diberikan oleh
Friedman (1968, dalam Gibbs, 1995), yaitu tingkat output maksimum yang bisa
dihasilkan tanpa menimbulkan kenaikan inflasi. Definisi yang sedikit berbeda
dengan Friedman diberikan oleh Okun (1962, dalam Gibbs, 1995), yang
mengatakan bahwa output potensial yang diproksi dengan GNP potensial,
bukanlah suatu level yang dapat dihasilkan oleh sejumlah permintaan agregat
yang tidak terbatas. Suatu negara bisa saja lebih produktif dalam jangka pendek di
bawah tekanan inflasi, namun target untuk memaksimumkan produksi dan tingkat
penyerapan tenaga kerja dibatasi oleh keinginan untuk melakukan stabilisasi harga
dan mendorong terjadinya pasar bebas atau lebih tepatnya pasar persaingan
sempurna. Berdasarkan tujuan tersebut, maka penggunakan tenaga kerja secara
penuh (full employment) harus dipahami sebagai tuntutan untuk memaksimumkan
produksi tanpa adanya tekanan inflasi (Gibbs, 1995).
Lebih lanjut, Justiniano and Primiceri (2008) memberikan definisi tentang
output potensial yang berbeda dengan output natural. Output potensial merupakan
tingkatan output yang dihasilkan dalam kondisi pasar barang dan pasar tenaga
26
kerja pada pasar persaingan sempurna, sementara output natural adalah output
yang dihasilkan ketika pasar tidak dalam keadaan persaingan sempurna namun
harga dan upah cukup fleksibel. Berdasarkan perbedaan ini, maka dapat
disimpulkan bahwa definisi Justiniano and Primiceri mengenai output potensial
cenderung merujuk pada definisi dari Okun tentang output potensial, sementara
definisi tentang output natural tidak berbeda dengan definisi dari Friedman, meski
keduanya mensyaratkan adanya kondisi NAIRU (non-accelerating inflation rate
of unemployment).
Meskipun konsep di atas sudah cukup jelas, namun dalam praktiknya, baik
output potensial, output natural dan output gap adalah unobservable component.
Banyak kalangan telah memahami bahwa estimasi yang dihasilkan seringkali
dapat dikatakan tidak pasti mengingat perbedaan pendekatan yang digunakan.
Perbedaan ini menjadi hal yang problematik karena akan menyebabkan cara
diagnosa yang berbeda terhadap kondisi makro ekonomi termasuk rekomendasi
kebijakan yang akan dibuat. Cerra and Saxena (2000) menyatakan, setidaknya ada
enam pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung output potensial, yaitu
metode Hodrick-Prescott (HP) filter, metode unobserved components dengan
beberapa
model
turunannya,
metode
struktural
VAR
dari
pendekatan
BlanchardQuah, pendekatan fungsi produksi, demand-side model dan sistem
estimasi dari output potensial dan NAIRU dengan kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing metode. Penelitian yang sepertinya bisa menjawab bagaimana
dinamika output potensial diperoleh dari Justiniano and Primiceri (2008) dengan
menggunakan pendekatan dynamic stochastic general equilibrium (DSGE) untuk
mengetahui level output potensial dan output natural pada negara Amerika Serikat
berdasarkan data PDB triwulanan. Secara umum, hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa output potensial terlihat lebih halus sehingga output gap yang
dihasilkan cenderung lebih dekat dengan hasil estimasi dengan pendekatan
detrending tradisional. Kondisi sebaliknya, output natural cenderung lebih
volatile, sebagai akibat tingginya variasi guncangan dari segi markup. Fluktuasi
dari guncangan ini terjadi karena pada pasar persaingan yang tidak sempurna,
perusahaan memiliki insentif untuk menaikkan atau menurunkan markup agar
dapat memaksimumkan keuntungannya.
27
2.3.2 Ekspektasi Inflasi
Ekspektasi inflasi adalah salah satu unsur memegang peran penting dalam
formulasi kurva Phillips. Pada horizon waktu yang cukup panjang, secara tidak
langsung, hal ini bisa mencerminkan kredibilitas dari pihak otoritas moneter
terkait dengan komitmennya dalam stabilisasi harga. Munculnya unsur ekspektasi
inflasi sebagai fenomena forward looking dalam kurva Phillips merupakan
jawaban atas kritik yang dilakukan oleh Lucas. Ide dasar dari ekspektasi inflasi
tersebut adalah hipotesis ekspektasi rasional, dengan setiap pelaku ekonomi dalam
membentuk ekspektasi secara optimal tergantung dari tingkat pemahamannya
mengenai kondisi ekonomi dan sejumlah informasi yang tersedia untuknya
(Lucas, 1972 dalam Kiley, 2009).
Hipotesis ekspektasi rasional tersebut memberikan kerangka kerja yang
cukup kuat dan elegan sehingga mendominasi cara pemikiran tentang dinamika
struktur ekonomi dan evaluasi kebijakan berdasarkan pendekatan ekonometrik,
lebih dari 30 tahun terakhir. Kesuksesan ini mendorong pengujian lebih lanjut
mengenai adanya asumsi informasi yang kuat, yang digunakan secara implisit
dalam aplikasinya. Oleh karenanya, Sargent (1993, dalam Orphanides and
Williams, 2003) menyimpulkan bahwa dalam model ekspektasi rasional
diasumsikan setiap pelaku ekonomi diposisikan sebagai pihak yang harus
memiliki banyak pengetahuan. Konsekuensinya, untuk membentuk ekspektasi
yang rasional, setiap pelaku ekonomi harus memahami sekali mengenai struktur
ekonomi. Menyikapi hal tersebut, beberapa peneliti mengajukan penyesuaian
mengenai model ekspektasi rasional yang mewakili prinsip bahwa setiap pelaku
ekonomi menggunakan informasi secara efisien dalam membentuk ekspektasinya
terkait dengan adanya keterbatasan dalam biaya yang ditimbulkan dalam proses
mendapatkan informasi dan juga keterbatasan dari daya nalar dari setiap pelaku
ekonomi, yang kemudian akan memengaruhi proses pembentukan ekspektasi
(Sims, 2003, dalam Orphanides and Williams, 2003).
Terkait dengan keterbatasan tersebut atau meminjam istilah dari
Orphanides dan Williams (2003) karena pengetahuan yang tidak sempurna
(imperfect knowledge), maka pemahaman setiap pelaku ekonomi terhadap kondisi
ekonomi menjadi berbeda-beda. Hal ini membuat ekspektasi inflasi sangat
28
dipengaruhi oleh kondisi dan latar belakang sosial-demografi dari setiap pelaku
ekonomi. Hasil penelitian Blanchflower and MacCoille (2009) di Inggris secara
signifikan menunjukkan bahwa perbedaan kondisi sosial-demografi dari pelaku
ekonomi memengaruhi pembentukkan ekspektasi inflasi. Akibat adanya imperfect
knowledge, akan membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif dalam
mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas makro ekonomi.
Ekspektasi menjadi demikian penting dalam menentukan inflasi karena
secara langsung terlibat dengan proses penentuan harga dan upah. Ekspektasi ini
dapat memengaruhi inflasi melalui 3 jalur, yaitu melalui upah, karena penyesuaian
upah tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu maka para penentu upah (wage setters)
harus mempunyai pandangan mengenai besarnya inflasi di masa mendatang. Jika
inflasi diperkirakan persisten dan lebih tinggi di masa mendatang, maka para
pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi demi menjaga daya belinya. Hal ini
akan memicu terjadinya tekanan kenaikan harga atas output yang dihasilkan oleh
perusahaan, dan pada akhirnya akan membuat harga di tingkat konsumen menjadi
lebih tinggi. Kedua, bila perusahaan memperkirakan bahwa secara umum tingkat
inflasi di masa mendatang akan lebih tinggi, maka mereka cenderung akan
menaikkan harga outputnya karena yakin bahwa hal tersebut tidak akan
menyebabkan terjadinya penurunan permintaan atas outputnya. Jalur terakhir
adalah ekspektasi inflasi dapat secara langsung memengaruhi inflasi melalui
pengaruhnya atas konsumsi dan investasi. Pada tingkat suku bunga nominal
tertentu misalnya, jika perusahaan dan rumah tangga memperkirakan tingkat
inflasi yang lebih tinggi, maka akan menyebabkan tingkat suku bunga riil yang
diharapkan menjadi lebih rendah sehingga secara relatif membuat motif untuk
berbelanja menjadi lebih tinggi dibanding motif menabung. Hal tersebut tentunya
bisa terjadi jika pihak otoritas moneter tidak meresponnya dengan menaikkan
suku bunga nominal acuan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mengukur
ekspektasi inflasi, mengingat perannya yang sangat penting dalam memengaruhi
inflasi pada kerangka analisis kurva Phillips. Blanchflower and MacCoille (2009)
mengidentifikasi adanya tiga kelompok besar untuk mengukur ekspektasi inflasi,
yaitu pendekatan berbasis survei (survey-based measures), pendekatan berbasis
29
pasar (market-based measures) dan pendekatan indikator ekonomi. Pendekatan
survei terhadap ekspektasi inflasi dapat dilakukan pada masyarakat umum, para
akademisi, para ekonom dan perusahaan. Pendekatan lainnya, yaitu pendekatan
berbasis pasar menghitung ekspektasi inflasi dengan melakukan estimasi atas
bentuk kurva suku bunga nominal dan riil ke depan agar bentuk kurva inflasi ke
depan dan tingkat pertukaran inflasi ditentukan. Berdasarkan kedua kasus
tersebut, indikator-indikator yang dihasilkan tidak hanya mewakili ekspektasi
inflasi dari pasar, tetapi juga inflasi dari premi resiko dan inflasi yang terjadi pada
sejumlah pasar faktor lainnya. Selain dua pendekatan yang telah disebutkan,
pergerakan dari ekspektasi inflasi dapat jelas terlihat dari indikator ekonomi
seperti penentuan upah, dengan pihak yang meminta besaran tingkat upah harus
membuat penilaian terkait dengan bagaimana tingkat inflasi sepanjang periode
setelah upah ditetapkan. Tentu saja data mengenai besaran upah yang ditetapkan
tidak secara sederhana mencerminkan ekspektasi inflasi tetapi juga mewakili
kondisi faktor-faktor lainnya seperti kemampuan membayar dari perusahaan,
termasuk juga produktivitas dari pekerja.
Di Indonesia, survei mengenai ekspektasi inflasi telah dilakukan setiap
bulan oleh Bank Indonesia melalui survei konsumen dan survei penjualan eceran.
Tujuan dari kedua survei tersebut adalah menanyakan perkiraan atau ekspektasi
harga dalam beberapa bulan ke depan untuk masing-masing responden rumah
tangga yang mewakili konsumen dan responden pedagang eceran yang dianggap
mewakili pihak perusahaan. Survei konsumen juga dilakukan oleh BPS setiap 3
bulan untuk mengetahui ekspektasi inflasi secara tidak langsung dari responden
rumah tangga, yaitu melalui perkiraan pendapatan rumah tangga ke depan dan
rencana pembelian barang-barang tahan lama (durable goods).
Pendekatan survei lainnya adalah hasil penelitian dari Solikin dan Sugema
(2004) tentang rigiditas harga-upah dan implikasinya bagi kebijakan moneter di
Indonesia. Dalam penelitian tersebut, selain mengkaji dinamika pembentukan dan
rigiditas harga dan penyesuaian upah, didapati pula kajian mengenai ekspektasi
inflasi dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari perusahaan dan dari pedagang
yang dirinci menjadi pedagang grosir dan pedagang eceran/ritel. Hasil penelitian
tersebut menyatakan bahwa ekspektasi inflasi utamanya dipengaruhi oleh
30
administered prices, harga sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga,
harga periode sebelumnya, dan gaji PNS. Terkait dengan hasil penelitian untuk
kasus Indonesia tersebut, hasil pendekatan survei menunjukkan bahwa ekspektasi
inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh indikator ekonomi. Satu hal yang perlu
menjadi catatan penting yaitu hasil pendekatan survei tersebut secara tidak
langsung menyatakan bahwa ekspektasi inflasi tersebut berasal dari common
knowledge, sehingga hipotesis ekspektasi rasional sepertinya tetap berlaku untuk
setidaknya untuk kasus negara Indonesia.
2.4 Pendekatan Kurva AD – AS
Pendekatan AD – AS dibangun berdasarkan pendekatan dua buah kurva,
yaitu kurva permintaan agregat (aggregate demand/AD) dan kurva penawaran
agregat (aggregate supply/AS) yang mewakili terjadinya kondisi keseimbangan/
ekuilibrium serentak yang terjadi pada pada sisi permintaan dan sisi penawaran.
Kurva permintaan agregat adalah kurva yang mewakili sisi permintaan dan
menggambarkan bagaimana pengaruh dari harga terhadap output, sedangkan
kurva penawaran agregat adalah kurva yang menggambarkan pengaruh dari
output terhadap tingkat harga (Blanchard, 2006).
2.4.1 Permintaan Agregat
Kurva permintaan agregat dapat diturunkan dari kurva IS – LM yang
berdasarkan model Keynesian, yaitu kondisi yang mewakili terjadinya
keseimbangan/ekuilibrium serentak yang terjadi pada pasar barang dan pasar
uang. Kurva IS adalah kurva yang mewakili kondisi keseimbangan pada pasar
barang/jasa yang dinyatakan dalam kombinasi hubungan antara output dan tingkat
suku bunga dengan total jumlah barang yang diproduksi sama dengan total jumlah
barang/jasa yang diminta. Secara ringkas persamaan untuk kurva IS dalam kondisi
perekonomian terbuka dari model Keynesian adalah :
Y = f (G, r,  )
dengan : Y
G
r

=
=
=
=
.............................................. (2.6)
output
belanja pemerintah
suku bunga riil
nilai tukar efektif
Kurva LM adalah kondisi yang mencerminkan keseimbangan di pasar
uang berdasarkan kombinasi hubungan antara tingkat suku bunga dan output
31
dengan permintaan uang (money demand) sama besar dengan penawaran uang
(money supply). Pendekatan Keynesian untuk kondisi real money balanced
tersebut dapat diringkas menjadi persamaan berikut (Romer, 2006) :

M
 L r   e ,Y
P
dengan : M =
P =
Y =
r =
e =

.............................................. (2.7)
stok uang
tingkat harga
output
suku bunga riil
ekspektasi inflasi
Merujuk pada pendekatan Keynesian, stok uang (M) pada persamaan (7)
diasumsikan sebagai variabel eksogen, dan sebagai asumsi tambahan, tingkat
harga (P) dianggap tetap sehingga ekspektasi inflasi (e) sama dengan nol,
sehingga persamaan (7) menjadi
M
 L r , Y 
P
.............................................. (2.8)
atau dapat dituliskan pula dalam bentuk
M 
Y  f
,r
 P 
.............................................. (2.9)
Jika kemudian persamaan (2.6) dan persamaan (2.9) digabungkan, akan diperoleh
persamaan untuk permintaan agregat :
M

Y  f
, G, r,  
 P

.............................................. (2.10)
Persamaan (10) secara implisit memperlihatkan bagaimana stok uang riil
M 


 P 
,
belanja pemerintah (G), suku bunga riil (r) dan nilai tukar efektif () dapat
memengaruhi permintaan agregat. Empat variabel tersebut, yaitu belanja
pemerintah (G) adalah instrumen kebijakan fiskal sementara suku bunga riil (r),
nilai tukar efektif () dan stok uang riil
M 


 P 
bukan merupakan instrumen atau
sasaran dari kebijakan moneter secara langsung karena sesungguhnya nilai
nominal dari ketiga variabel terakhirlah yang merupakan instrumen dan sasaran
kebijakan moneter.
Terkait dengan analisis AD – AS, bila pemerintah melakukan kebijakan
fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan belanja pemerintah, maka hal
tersebut akan mendorong peningkatan harga, artinya akan menyebabkan
32
terjadinya inflasi. Ilustrasi dari dampak kebijakan fiskal ekspansioner dan
kebijakan moneter ekspansioner dalam kerangka analisis IS – LM dan analisis
permintaan dan penawaran agregat (kurva AD – AS) tersebut dapat dilihat pada
Gambar 5.
Sumber : Blanchard (2004)
Gambar 5. Mekanisme transmisi kebijakan fiskal ekpansioner dan
kebijakan moneter ekpansioner terhadap inflasi.
Saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner seperti peningkatan belanja
pegawai atau peningkatan gaji pegawai pemerintah, output akan meningkat dan
menyebabkan permintaan akan uang juga meningkat sehingga menyebabkan suku
bunga naik dan kurva IS bergeser ke kanan (Gambar 5 panel (a) atas). Akibat
peningkatan output tersebut, permintaan agregat mengalami peningkatan sehingga
kurva AD akan bergeser ke kanan dan menyebabkan terjadinya kenaikan harga
secara agregat (Gambar 5 panel (a) bawah). Merujuk pada pendekatan analisis
AD – AS seperti telah disampaikan sebelumnya, kenaikan harga secara agregat ini
didefinisikan sebagai inflasi.
Sedikit berbeda dengan ilustrasi kebijakan fiskal ekspansioner, inflasi
yang berasal dari sektor moneter berawal dari kenaikan stok uang sebagai hasil
33
dari kebijakan moneter ekspansioner yang menyebabkan kurva LM bergeser ke
kanan sehingga menyebabkan suku bunga mengalami penurunan. Akibat
penurunan suku bunga tersebut, investasi meningkat dan output juga mengalami
peningkatan (Gambar 5 panel (b) atas). Mekanisme selanjutnya sama seperti pada
saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner, kurva AD bergeser ke kanan dan
menyebabkan kenaikan harga secara agregat (Gambar 5 panel (b) bawah).
2.4.2 Penawaran Agregat
Kurva penawaran agregat diturunkan dari price setting relation (PS) dan
wage setting relation (WS), dengan harga ditentukan oleh besarnya upah sebagai
input dalam kegiatan produksi dan markup, sementara upah dipengaruhi oleh
ekspektasi harga ke depan dan tingkat pengangguran (Blanchard, 2004).
PS
: P =(1+)W
.............................................. (2.11)
WS : W = Pe F(u, z)
dengan : P =
Pe =
W=
 =
u =
z =
.............................................. (2.12)
tingkat harga
ekspektasi harga
upah nominal
markup
tingkat pengangguran
variabel lainnya
Melalui proses eleminasi terhadap variabel upah nominal (W), persamaan (2.11)
kemudian dapat dimasukkan ke persamaan (2.12), sehingga akan diperoleh
persamaan untuk penawaran agregat.
P = Pe ( 1 +  ) F(u, z)
.............................................. (2.13)
Jika tingkat pengangguran (u) kemudian digantikan dengan dengan output (Y ) per
angkatan kerja (L), sehingga ; u  1 
Y
L
maka persamaan (2.13) dapat dituliskan
dalam bentuk :
Y 

P  P e 1  u  F  1  , z 
L 

.............................................. (2.14)
Berdasarkan persamaan (2.14), secara eksplisit dapat dilihat, beberapa
variabel yang dapat memengaruhi tingkat harga adalah ekspektasi harga, markup
dan output. Perubahan ekspektasi harga dan pertumbuhan output akan
memengaruhi harga melalui peningkatan upah nominal sehingga tentu saja adanya
kenaikan upah nominal akan mendorong terjadinya kenaikan harga. Selain upah
nominal, markup juga merupakan variabel yang memengaruhi harga secara
34
langsung, artinya, jika perusahaan menaikkan markup, maka harga akan ikut naik.
Dalam kerangka analisis permintaan dan penawaran agregat (kurva AD – AS),
dampak dari kenaikan upah diperlihatkan oleh Gambar 5 panel (b).
2.4.3 Upah Minimum dan Inflasi
Penentuan upah minimum adalah salah satu bentuk campur tangan
pemerintah dalam pasar tenaga kerja mengingat pasar tersebut cenderung
mengarah dari pasar oligopsonis ke pasar monopsonis. Tujuan kebijakan ini
adalah sebagai jejaring pengaman (safety net) agar tingkat upah tidak merosot
akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja.
Menilik dari sisi perusahaan, upah minimum diharapkan akan meningkatkan
produktivitas pekerja, sedangkan dari sisi pekerja sendiri, kebijakan tersebut
idealnya dapat meningkatkan daya beli pekerja sehingga dapat meningkatkan taraf
hidup pekerja dan keluarganya, sementara dari sisi pemerintah, instrumen tersebut
merupakan salah satu program tidak langsung dalam upaya untuk mengentaskan
kemiskinan melalui redistribusi pendapatan.
Bila terjadi kenaikan upah minimum, perusahaan sesungguhnya memiliki
tiga alternatif untuk meresponnya, yaitu mengurangi jumlah pekerja, mengurangi
keuntungan perusahaan atau menaikkan harga produk. Umumnya, pendekatan
teori ekonomi meramalkan bahwa jika upah minimum mengalami peningkatan,
perusahaan tidak akan mengurangi keuntungan. Hal ini karena perusahaan yang
memberikan standar gaji yang rendah biasanya adalah perusahaan yang terlalu
kecil untuk dapat menyerap biaya ekstra yang ditimbulkan oleh kenaikan upah
minimum. Pada pasar persaingan sempurna dengan setiap pelaku ekonomi
diasumsikan sebagai price taker, teori ekonomi memprediksi bahwa perusahaan
akan mengurangi pekerjanya dalam merespon kenaikan upah minimum. Selain
itu, diprediksi pula oleh teori ekonomi jika terjadi lonjakan biaya pada tingkat
industri yang cukup luas, maka kenaikan upah minimum tersebut akan direspon
dengan menaikkan harga (Lemos, 2004b).
Terkait dengan bagaimana upah minimum dapat memengaruhi harga dan
inflasi, Sellekaerts (1981, dalam Lemos, 2004b) menjelaskan bagaimana
mekanisme transmisi tersebut. Pertama, adanya dampak langsung dari perubahan
upah minimum. Kedua, ada dampak spillover tak langsung dari penetapan upah
35
minimum yang baru. Ketiga, perusahaan menaikkan harga sebagai responnya atas
biaya pekerja yang lebih tinggi. Keempat, perusahaan melakukan penyesuaian
level kegiatan produksi dan melakukan penilaian atas besarnya input dan output
terkait dengan minimisasi biaya dengan kendala ekspektasi permintaan. Kelima,
menghasilkan kombinasi jumlah tenaga kerja dan tingkat upah yang baru untuk
memproduksi keseimbangan baru pada tingkat pendapatan, permintaan agregat
dan setelah beberapa waktu keseimbangan baru pada tingkat produksi. Keenam,
inflasi dan tingkat pengangguran menjadi konsisten dengan keseimbangan baru
yang mungkin pada waktunya kembali akan memengaruhi upah dan harga.
Merujuk pada transmisi dari Sellekaerts (1981, dalam Lemos, 2004b),
respon dari perusahaan ditekankan pada bagaimana kemudian upah minimum
memengaruhi pasar tenaga kerja sehingga menghasilkan tingkat upah dan tingkat
penyerapan tenaga kerja pada level keseimbangan yang baru. Hasil keseimbangan
baru tersebut kemudian akan memengaruhi penawaran dan permintaan agregat,
yang selanjutnya akan memengaruhi tingkat output dan harga. Berdasarkan
penekanan pada keseimbangan di pasar tenaga kerja tersebut, Lemos (2004a)
memberikan beberapa alternatif jalur yang memungkinkan penetapan upah
minimum dapat memengaruhi harga dari pendekatan teori ekonomi, yaitu (1)
melalui permintaan atas tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan
harga lebih tinggi, (2) melalui penawaran tenaga kerja, dengan peningkatan
produktivitas tenaga kerja sehingga mendorong harga menjadi lebih rendah; atau
dengan meningkatkan partisipasi angkatan kerja yang kemudian akan mendorong
upah atau harga menjadi lebih rendah, (3) melalui penawaran agregat, sehingga
terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dan output, kemudian mendorong upah dan
harga menjadi lebih tinggi, (4) melalui permintaan agregat, dengan peningkatan
pengeluaran agregat sehingga mendorong harga menjadi lebih tinggi; atau dengan
penurunan permintaan untuk produk-produk pada perusahaan dengan tipe
labour-intensive yang menerapkan upah minimum, sehingga mendorong harga
menjadi turun.
Pada kasus negara Indonesia, adanya sektor pekerjaan formal dan informal
menjadikan dampak upah minimum terhadap pasar tenaga kerja menarik untuk
diteliti. Di samping itu, pada sektor formal upah minimum tersebut bisa dilihat
36
pada sektor swasta dan sektor pemerintah. Besarnya upah minimum pada sektor
swasta terbagi menjadi upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum
kabupaten/kota (UMK), sementara pada sektor formal, besarnya upah minimum
adalah besarnya gaji pegawai pemerintah (PNS/TNI/POLRI) dengan golongan
terendah. Dalam 15 tahun terakhir, penetapan upah minimum pada sektor swasta
dilakukan secara kontinu, setiap setahun sekali melalui proses negosiasi antara
serikat pekerja dan asosiasi perusahan yang difasilitasi oleh pemerintah. Berbeda
dengan sektor swasta, pada sektor pemerintah, penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI
secara kontinu baru dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan untuk menjaga
agar daya beli dari pegawai pemerintah tersebut tidak tergerus oleh inflasi dan
yang terpenting adalah untuk meningkatkan produktivitas dari pegawai.
Terkait dengan fenomena upah minimum tersebut, khususnya pada sektor
swasta, penelitian Camola dan de Melo (2010) mengenai dampak desentralisasi
penetapan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja menyatakan
(1) pada sektor formal, upah minimum memberi pengaruh negatif atas penyerapan
tenaga kerja di sektor formal, khususnya pada perusahaan domestik, tetapi tidak
memengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja pada perusahaan multi nasional
yang beroperasi di Indonesia, (2) pada sektor informal, upah minimum memberi
efek positif karena pengurangan tenaga kerja di sektor formal menambah tenaga
kerja di sektor informal. Berdasarkan hasil penelitian Camola dan de Melo (2010)
dan beberapa jalur yang memungkinkan penetapan upah minimum dapat
memengaruhi harga dari Lemos (2004a), maka untuk kasus Indonesia, diduga
upah minimum pada sektor swasta akan memengaruhi harga melalui permintaan
tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan harga lebih tinggi.
Ilustrasi dari kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 6 untuk panel (a), yaitu ketika
terjadi kenaikan upah minimum di sektor swasta, maka akan mendorong kenaikan
upah secara keseluruhan sehingga upah nominal menjadi naik, demikian pula
dengan upah riil. Kenaikan upah nominal tersebut kemudian akan menyebabkan
kenaikan harga, dan selanjutnya karena upah riil juga ikut naik, maka perusahaan
meresponnya dengan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerjanya sehingga
secara agregat terjadi pengurangan tenaga kerja. Akibat dari pengurangan tenaga
kerja tersebut akan terjadi penurunan output yang dibarengi oleh kenaikan harga.
37
Berbeda dengan sektor swasta, mekanisme transmisi penyesuaian upah
minimum terhadap harga pada sektor pemerintah tidak melalui analisis pasar
tenaga kerja seperti diilustrasikan oleh Gambar 6. Kenaikan upah minimum yang
berupa kenaikan gaji PNS/TNI/POLRI pada golongan terendah dengan masa kerja
nol tahun selalu diikuti kenaikan gaji pegawai pemerintah pada golongan
berikutnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan belanja pemerintah secara
keseluruhan. Akibat kenaikan total belanja pemerintah tersebut, output akan ikut
meningkat, namun kenaikan output tersebut akan diikuti dengan kenaikan harga
alias akan menyebabkan inflasi (Gambar 5. panel (a)). Berdasarkan penjelasan
tersebut, maka mekanisme transmisi kenaikan upah minimum terhadap harga dan
inflasi pada sektor pemerintah cenderung mengikuti jalur permintaan agregat
sebagaimana dinyatakan oleh Lemos (2004a).
2.4.4 Administred Prices dan Inflasi
Administred prices atau harga komoditas-komoditas yang diatur oleh
pemerintah merupakan salah satu sumber penting yang menyebabkan terjadinya
volatilitas pada harga relatif komoditas lainnya secara menyeluruh. Oleh sebab
itu, penyesuaian pada harga komoditas-komoditas yang diatur oleh pemerintah
akan memberikan dampak pada inflasi. Mohanty dan Klau (2001) menyatakan
bahwa administred prices bisa menjadi sumber utama dalam memengaruhi inflasi,
namun hal tersebut tergantung bagaimana perilaku dari penyesuaiannya dan
bagaimana respon kebijakan moneter jika terjadi penyesuaian administred prices.
Jika revisinya dilakukan secara periodik untuk mengembalikannnya pada level
relatif, maka tidak akan menyebabkan terjadinya inflasi (Phillips, 1994 dalam
Mohanty dan Klau, 2001). Selain hal tersebut, maka penyesuaian pada harga yang
diatur pemerintah akan menyebabkan inflasi. Pertama, penyesuaian pada harga
yang diatur pemerintah mungkin akan diakomodasi oleh kebijakan moneter.
Kedua, pengalaman di negara-negara dengan perekonomian dalam masa transisi
menunjukkan bahwa, kenaikan yang terjadi pada harga yang diatur pemerintah
tidak sepenuhnya dikompensasi oleh penurunan harga pada non administred
prices, sehingga harga rata-rata meningkat pada perekonomian ini (IMF, 1996
dalam Mohanty dan Klau, 2001).
38
Khusus untuk Indonesia, harga yang diatur pemerintah diberlakukan pada
beberapa komoditas, seperti harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik
(TDL), tarif air minum (PAM/PDAM), dan tarif angkutan umum. Berdasarkan
semua komoditas tersebut, karakteristik komoditas yang harganya diatur oleh
pemerintah cenderung merupakan komoditas strategis atau bahkan menjadi
komoditas politik yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sebagian besar
diproduksi oleh pemerintah sendiri (melalui badan usaha milik negara/pemerintah
daerah). Lebih jauh, komoditas seperti BBM dan listrik merupakan salah satu
komoditas utama yang banyak digunakan dalam proses produksi sehingga
penyesuaian harga pada kedua komoditas tersebut akan memberi pengaruh yang
signifikan pada harga komoditas lainnya, baik yang terkait secara langsung
maupun tidak langsung. Walhasil, kenaikan utamanya pada kedua jenis komoditas
yang diatur pemerintah tersebut akan memicu terjadinya inflasi.
Terkait dengan penyesuaian harga BBM di Indonesia, adanya shock dari
luar negeri berupa kenaikan harga minyak dunia di pasar internasional tidak
langsung ditransfer secara sebagian ataupun secara penuh ke harga domestik,
karena pada praktiknya membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk
memutuskan kenaikan harga BBM di dalam negeri. Tarik ulur antara tetap
memberlakukan harga lama dengan resiko subsidi akan meningkat sehingga akan
membebani keuangan negara atau langkah sebaliknya, namun akan berakibat pada
stagflasi, yaitu terjadinya penurunan tingkat kegiatan ekonomi bersamaan dengan
inflasi yang cukup tinggi, bukanlah persoalan yang mudah. Oleh karenanya
penyesuaian harga BBM misalnya, merupakan salah satu bentuk kebijakan
pemerintah yang tidak populis dan menuai banyak kritik dari berbagai kalangan.
Mekanisme transmisi dampak penyesuaian pada administred prices
terhadap harga dan inflasi sesungguhnya mirip dengan terjadinya oil price shock
sebagaimana disebutkan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan pada
harga BBM yang notebenenya diatur oleh pemerintah misalnya, maka perusahaan
akan merespon dengan menaikkan markup, sehingga harga akan naik, karena
hubungan antara keduanya berbanding lurus (persamaan (2.13) dan (2.14)).
Akibat kenaikan harga tersebut, upah riil akan mengalami penurunan sehingga
penawaran atas tenaga kerja menjadi menurun. Dampak lebih lanjut adalah
39
terjadinya pengurangan jumlah tenaga kerja dan hal tersebut menyebabkan jumlah
pengangguran akan meningkat dan kemudian akan diikuti oleh output yang akan
mengalami penurunan. Ilustrasi dari mekanisme transmisi ini diperlihatkan oleh
Gambar 6 panel (b), yang secara tidak langsung menceritakan proses terjadinya
inflasi karena dorongan biaya.
Sumber : Blanchard (2004)
Gambar 6. Ilustrasi dampak kenaikan upah minimum dan kenaikan harga BBM.
Mekanisme transmisi dampak penyesuaian pada administred price khusus
untuk kasus kenaikan harga BBM terhadap harga dan inflasi seperti diilustrasikan
pada Gambar 6 panel (b) sesungguhnya berdasarkan kajian teoritis. Tidak banyak
memang penelitian yang bertujuan untuk melihat dampak penyesuaian harga yang
diatur (oleh pemerintah) terhadap tingkat harga dan inflasi. Salah satu penelitian
mengenai hal tersebut dilakukan oleh Lünnemann and Mathä (2005) untuk studi
kasus negara-negara pada Uni Eropa dengan tujuan untuk melihat dampak dari
harga yang diatur dan tarif jasa terhadap persistensi inflasi. Berdasarkan
disagregasi indeks (Harmonic Index of Consumer Price/HICP) menurut sub
kelompok, ditunjukkan bahwa perubahan indeks yang terjadi pada sub kelompok
harga yang diatur termasuk perubahan tarif jasa berkorelasi positif dengan
40
perubahan indeks yang terjadi pada komoditi lainnya. Selain itu, ditemukan pula
bahwa pada harga yang diatur dan tarif jasa lebih rigid ke bawah, yang artinya
cenderung lebih mudah naik dibanding turun. Selain itu didapati pula indeks
untuk harga yang diatur dan tarif jasa menunjukkan perubahan tingkat inflasi yang
lebih besar dibanding indeks lainnya. Dan terakhir jika kemudian harga yang
diatur dan tarif jasa dikeluarkan dari paket penghitungan indeks harga, akan
mengurangi terjadinya persistensi dari inflasi secara agregat. Berdasarkan kajian
empiris dan landasan teoritis, maka tidak diragukan lagi bila administred prices
memang merupakan salah satu determinan penting dalam memengaruhi terjadinya
inflasi.
2.5 Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi
Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya
kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif
akan melakukan spesialisasi guna memroduksi komoditi yang harganya relatif
murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional.
Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya, melalui
perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang
diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan
komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor.
Oleh
karenanya,
kegiatan
ekspor-impor
dianggap
dapat
meningkatkan
kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan
mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait
dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1996).
Berdasarkan teori standar tersebut, seharusnya dengan semakin besar
kapasitas perdagangan internasional, diduga akan menurunkan harga barang/jasa
kebutuhan konsumen sehingga secara tidak langsung hubungan antara tingkat
keterbukaan perdagangan (trade openness) dengan inflasi diprediksi akan
berbanding terbalik atau memiliki hubungan negatif. Terkait dengan prediksi dari
teori perdagangan standar tersebut, Romer (1993, dalam Al-Nasser et al., 2010)
memberikan bukti empiris yang menyatakan terdapat hubungan negatif antara
tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Keterkaitan antara keterbukaan
perdagangan dan inflasi dari Romer tersebut dibangun berdasarkan model dari
41
Barro-Gordon untuk menguji hipotesis bahwa pada perekonomian yang lebih
besar dan kurang terbuka akan memicu terjadinya tingkat inflasi yang lebih tinggi.
Berdasarkan analisis data cross section, Romer menemukan bahwa rata-rata
tingkat inflasi yang lebih rendah terjadi pada negara dengan perekonomian lebih
kecil dan lebih terbuka. Argumen Romer mengenai hal ini adalah masalah
independensi dari bank sentral terkait dengan hubungan antara keterbukaan dan
inflasi. Kondisi di negara-negara dengan bank sentral yang lebih independen,
adalah bank sentral akan melaksanakan tugasnya dengan kredibilitas sehingga
seharusnya tidak akan ada hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan
dengan inflasi. Sebaliknya, pada negara-negara dengan kondisi otoritas moneter
yang tidak independen, keterbukaan akan berperan untuk mengurangi insentif
pemerintah dalam memicu terjadinya inflasi.
Menurut Al-Nasser et al. (2010), meskipun beberapa penelitian sebelum
dan sesudahnya mendukung pendapat Romer, namun tidak hal tersebut karena
setidaknya beberapa peneliti setelahnya seperti Terra (1998), Bleaney (1999) dan
Temple (2002) kemudian menentangnya. Melihat prediksi dari teori perdagangan
internasional dan hasil empiris yang ambivalen maka perlu ditelusuri bagaimana
sebenarnya mekanisme transmisi dari tingkat keterbukaan perdagangan terhadap
inflasi. Bowdler and Malik (2006) dalam papernya menyatakan ada 2 jalur
mengenai bagaimana keterbukaan dalam perdagangan internasional dapat
berpengaruh terhadap volatilitas inflasi. Jalur pertama, keterbukaan memengaruhi
biaya terkait dengan volatilitas inflasi, yaitu dengan menciptakan insentif bagi
pemerintah dan bank sentral untuk mengimplementasikan kebijakan yang akan
memberikan implikasi yang berbeda-beda terhadap tingkat volatilitas. Menurut
Cavelaars (2006, dalam Bowdler and Malik, 2006), mekanisme pada jalur ini
cukup rumit karena harus melihat faktor apa yang mendorong terjadinya
peningkatan keterbukaan perdagangan, apakah didorong oleh kemajuan teknologi
sehingga menyebabkan penurunan harga atau berasal dari penurunan tarif impor
yang akan menimbulkan terjadinya diskresi dalam kebijakan moneter dan akan
membuat inflasi menjadi lebih volatile. Berdasarkan beberapa penelitian
berikutnya, Bowdler and Malik (2006) kemudian menyimpulkan bahwa stabilitas
42
kebijakan moneter memegang peranan penting dalam menentukan tingkat
volatilitas inflasi.
Jalur kedua, keterbukaan perdagangan akan memengaruhi struktur
konsumsi dan produksi, dan melalui diversifikasi konsumsi akan menyebabkan
terjadinya cancel out dalam agregasi indeks harga. Sesungguhnya jalur ini
mengacu pada teori perdagangan standar seperti telah dijelaskan sebelumnya,
yaitu akibat spesialisasi produksi dan diversifikasi konsumsi akan menurunkan
volatilitas inflasi. Meskipun demikian, terdapat jalur lainnya yang mungkin dapat
menyebabkan keterbukaan perdagangan akan meningkatkan terjadinya volatilitas
inflasi. Adanya spesialisasi pada kegiatan produksi misalnya, akan meningkatkan
terjadinya kerapuhan dari sektor-sektor tertentu yang bergantung pada kegiatan
ekspor. Ketergantungan ekspor tersebut akan membuat permintaan untuk produk
domestik menjadi volatile dan melalui jalur tersebut akan memicu meningkatnya
fluktuasi inflasi yang tinggi. Dampak terhadap tingginya volatilitas inflasi juga
akan terjadi jika meningkatnya keterbukaan dalam perdagangan diikuti dengan
keterbukaan dalam konteks finansial.
Dalam perspektif perekonomian global, Benigno and Faia (2010) mencoba
menjelaskan bagaimana globalisasi dapat memengaruhi dinamika inflasi di dalam
negeri. Dalam papernya, mereka berfokus pada bagaimana mekanisme transmisi
dari globalisasi terhadap inflasi. Jalur pertama adalah melalui pass-through dari
kombinasi antara nilai tukar nominal dan biaya marginal dari luar negeri melalui
barang-barang impor, baik barang-barang untuk kebutuhan konsumsi akhir atau
yang tergolong sebagai input antara, sehingga akan memberikan pengaruh
terhadap tingkat kompetisi produk dalam dan luar negeri. Jalur kedua adalah
melalui pengaruh secara tidak langsung yang akan menimbulkan dampak pada
strategi harga dari perusahaan domestik dalam menjual produknya untuk pasar
internal. Akibatnya, perusahaan domestik dan luar negeri akan berkompetisi untuk
meningkatkan market share dari produk mereka melalui strategi penentuan harga.
Hasil penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa derajat pass-through
akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik.
Lebih lanjut, tingkat ketergantungan dari perusahaan domestik yang menggunakan
43
komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga meningkat
bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan perusahaan asing.
Berdasarkan beberapa kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah
disampaikan, cukup rumit juga untuk meramalkan pengaruh dari keterbukaan
perdagangan terhadap inflasi karena terkait erat dengan perilaku dari pembuat
kebijakan dan struktur perekonomian dari suatu wilayah, terlepas berbagai
kemungkinan mekanisme transmisi yang akan terjadi. Oleh karenanya, untuk
melihat seberapa jauh pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi
atau tingkat volatilitas inflasi akan lebih bijaksana bila melibatkan beberapa faktor
lainnya seperti kondisi spesifik dari suatu negara dan kondisi global sebagaimana
dilakukan oleh Beirne (2009), meskipun tujuan dari penelitiannya adalah untuk
mengetahui tingkat vulnerabilitas dari inflasi.
2.6 Infrastruktur dan Inflasi
Beberapa teori pertumbuhan ekonomi sepakat mengenai arti penting dari
infrastruktur terhadap pembangunan regional, karena akan menjadi determinan
dalam membangun sistem pertumbuhan di tingkat lokal dan bagaimana kemudian
jalur pembangunan akan terbentuk. Menurut teori pertumbuhan export base dan
growth-poles; kapasitas ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan
wilayah dalam menarik suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment
berupa infrastruktur yang sudah terbangun. Dampak dari endowment kondisi
infrastruktur yang lebih baik akan dapat menarik kehadiran perusahaan baru pada
suatu wilayah dan akan menjadi sumber pemicu terjadinya persaingan dengan
perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu sudah beroperasi di wilayah tersebut.
Hal tersebut kemudian akan meningkatkan produktivitas dari faktor produksi dan
dengan peningkatan akses akan menurunkan biaya-biaya yang terkait dengan
pengeluaran perusahaan, sehingga akan membangkitkan eksternalitas positif pada
pembangunan di tingkat lokal. Tentu saja infrastruktur yang dimaksud adalah
infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan
udara, rel kereta dan pembangkit tenaga listrik, karena secara langsung akan
berfungsi dalam meningkatkan produktivitas perusahaan (Cappelo, 2007).
Penelitian tentang dampak infrastruktur telah banyak dilakukan baik di
negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Umumnya penelitian
44
tersebut ingin mengetahui dampaknya terhadap output, total factor productivity,
tenaga kerja, perdagangan dan distribusi pendapatan, namun sayangnya studi yang
secara eksplisit bertujuan untuk mengetahui dampaknya terhadap tingkat harga
dan inflasi bisa dikatakan tidak mudah untuk ditemukan. Hasil dari sejumlah
penelitian tersebut biasa berakhir dengan kesimpulan bahwa infrastruktur
memberikan dampak positif bagi objek yang diteliti, sebagaimana diprediksi oleh
beberapa teori pertumbuhan regional.
Terkait dengan penelitian mengenai dampak infrastruktur terhadap tingkat
harga dan inflasi, Beirne (2009) melakukan studi dengan tujuan untuk mengetahui
indikator-indikator yang mungkin menjadi determinan terhadap inflasi. Dalam
studi tersebut Beirne memasukkan faktor spesifik dari 10 negara anggota baru dari
Uni Eropa terkait dengan reformasi struktural dengan salah satunya adalah indeks
reformasi infrastruktur. Menariknya, hasil studi empiris tersebut menyimpulkan
bahwa semakin tinggi indeks yang artinya semakin baik kondisi infrastruktur akan
mendorong terjadinya kenaikan tingkat harga atau dengan kata lain akan memberi
pengaruh positif terhadap inflasi. Hasil ini tentu saja bertolak belakang dengan
prediksi dari teori sebelumnya dengan seharusnya semakin baik kondisi
infrastruktur akan menurunkan tingkat harga. Penjelasan dari penulis mengenai
hasil empiris tersebut adalah dengan semakin baiknya kondisi infrastruktur akan
mendukung masuknya investasi dan kegiatan ekonomi dari luar.
Anomali hasil empiris tersebut tentu saja menjadi pertanyaan besar karena
pastinya ada penjelasan mengenai bagaimana mekanisme transmisi sesungguhnya.
Studi dari Oosterhaven and Elhorst (2003) tentang manfaat ekonomi secara tidak
langsung dari investasi pada infrastruktur transportasi sepertinya merupakan
alternatif jawaban atas teka-teki tersebut. Berdasarkan pendekatan model ekonomi
regional dan makro ekonomi yang digunakan dalam studi tersebut, mereka
menyatakan
bahwa
peningkatan
kualitas
infrastruktur
transportasi
akan
menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam
perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan memengaruhi permintaan
terhadap produk lokal berupa input antara, tingkat konsumsi dan permintaan atas
investasi. Secara sektoral atau menurut produk, penghematan tersebut bisa
memberi dampak positif atau negatif dan dampak tersebut bisa meningkat karena
45
economies of scale pada perusahaan lokal. Secara agregat, dampak dari
peningkatan kualitas infrastruktur otomatis bisa menyebabkan kenaikan tingkat
harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau
wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua
kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya
akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi
adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi
negatif atau menyebabkan penurunan harga alias akan berpengaruh negatif
terhadap inflasi, namun jika terjadi hal yang sebaliknya maka dampaknya
terhadap inflasi menjadi positif.
Mekanisme transmisi dari kondisi infrastruktur terhadap harga tentunya
tidak sesederhana itu karena secara tidak langsung hal tersebut juga akan
memengaruhi kondisi pasar tenaga kerja di suatu negara atau wilayah, seperti
tingkat pengangguran, adanya lowongan pekerjaan dan terutama tingkat upah.
Oleh karenanya tidak mudah untuk melihat dampak agregat dari peningkatan
kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan infrastruktur secara
umum terhadap harga. Mengingat terdapat beberapa jalur yang kemungkinan
dapat memengaruhi harga dan dimungkinkan pula terjadi dampak bauran dari
beberapa alternatif jalur tersebut, maka dampak total terhadap harga menjadi tidak
mudah untuk diprediksi.
2.7 Metode Univariate Detrending
Beberapa variabel ekonomi yang terkait dengan runtun waktu umumnya
memiliki tren stokastik dan komponen stasioner, seperti hipotesis permanent
income yang disintesakan oleh Milton Friedman atau output potensial dan inflasi
inti (core inflation) seperti telah dibahas sebelumnya. Khusus untuk estimasi
output potensial dengan metode univariate non-structural, Ladiray et al. (2003)
menjelaskan beberapa teknik detrending yang memisahkan antara komponen tren
yang bersifat permanen dan transitory component, yaitu deviasi dari komponen
tren yang cenderung bersifat sementara. Transitory component sendiri kemudian
didekomposisi menjadi komponen siklus dan gangguan (irregular) yang
diasumsikan mengikuti pola acak (white noise).
46
Salah satu metode detrending yang sering digunakan untuk mengestimasi
output potensial adalah metode Hodrick–Prescott (HP) filter, meskipun metode ini
banyak dikritik karena tidak berdasarkan pendekatan struktural. Walapun banyak
mendapat kritik, namun jika dibandingkan metode univariate detrending lainnya
seperti BeveridgeNelson decomposition, metode ini menghasilkan dugaan yang
unique, sementara metode kedua tidak (Enders, 2004). Hal ini disebabkan oleh
ketergantungan dari model ARIMA (p,1,q) yang sesuai dengan kondisi data,
sementara masalah kesesuaian pada model ARIMA sendiri cenderung bersifat
subjektif.
Pendekatan detrending dengan menggunakan HP filter berusaha untuk
mendekomposisi series data menjadi tren (t) dan komponen stasioner yt – t. Jika
didefinisikan jumlah kuadrat sebagai berikut :
SS 
1
T
T
(y
t 1
t
 t )2 

T
T 1
 [( 
t 2
t 1
  t ) (  t   t 1 ) ] 2
.................... (2.15)
dengan  adalah sebuah konstanta dan T adalah jumlah observasi yang digunakan.
Permasalahan dalam penggunaan metode Hodrick–Prescott Filter adalah
bagaimana menentukan suatu deret dari t sehingga meminimumkan jumlah
kuadrat (SS). Terkait dengan permasalahan minimisasi,  adalah suatu sembarang
konstanta yang mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana
menurunkan fluktuasi menjadi tren. Tarik ulur dalam menentukan besar  akan
berimplikasi pada hasil dekomposisi, akan menjadi tren yang halus atau bahkan
akan menjadi konstanta (Enders, 2004).
Selain dua metode detrending series yang telah disebutkan sebelumnya,
metode band pass filter merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan
untuk menghitung output potensial. Pendekatan ini berusaha untuk mengestimasi
komponen siklus secara langsung agar mendekati band pass filter yang ideal,
sehingga berada di antara selang low band (1*) dan high band (2*). Terdapat
dua pendekatan dalam metode ini, yaitu metode band pass BaxterKing dan
metode
band
pass
ChristianoFitzgerald.
Keduanya
berusaha
untuk
meminimumkan deviasi antara respon frekuensi dari filter yang ideal dengan
estimasi dari respon frekuensi dari estimasinya, hanya saja untuk band pass
47
ChristianoFitzgerald menggunakan penimbang berupa densitas spektral dari data
runtun waktu yang akan dilakukan detrended.
Fungsi yang diminimumkan pada band pass filter versii BaxterKing dan
ChristianoFitzgerald adalah sebagai berikut (Ladiray et al., 2003) :
BaxterKing
Q

ChristianoFitzgerald
Q



 e iw    e iw  dw
........ (2.16)
 e iw    e iw 
........ (2.17)
2
2
f y w  dw
dengan,  (eiw) menyatakan respon frekuensi dari filter yang ideal,  (eiw) dan
 (eiw) adalah respon frekuensi yang diestimasi dan fy(w) merupakan densitas
spektral dari data yang di-detrended.
Menurut Ladiray et al. (2003), perbedaan dari kedua fungsi kerugian
tersebut adalah persamaan (2.16) mengharuskan kondisi yang simetris sementara
pada persamaan (2.17) dimungkinkan terjadinya kondisi yang tidak simetris pada
penimbang band pass filter. Perbedaan lainnya pada kedua metode tersebut adalah
BaxterKing menggunakan asumsi bahwa variabel mengikuti distribusi yang
identik dan independen, sementara pada band pass filter ChristianoFitzgerald,
variabel diasumsikan sebagai random walk.
Implikasi adanya perbedaan kedua asumsi tersebut adalah perbedaan
tingkat akurasi dari estimasi yang dihasilkan oleh keduanya. Perbedaan yang
menjadi implikasi lainnya adalah jumlah hasil estimasi yang diperoleh dari
metode BaxterKing menjadi berkurang beberapa observasi di awal dan di akhir
pada serangkaian data yang dianalisis, sedang pada metode ChristianoFitzgerald
diperoleh observasi yang lengkap. Terakhir, berdasarkan metode BaxterKing
akan didapatkan estimasi yang cukup baik saat high band sehingga cenderung
lebih baik digunakan untuk rentang waktu yang relatif pendek, sebaliknya metode
ChristianoFitzgerald cenderung baik untuk digunakan pada rentang waktu yang
relatif panjang atau bahkan tidak terbatas mengingat estimasi yang dihasilkan
cukup baik saat low band.
2.8 Metode Regresi Data Panel
Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu.
Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel
48
digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak
dapat diberikan oleh model cross section dan time series murni. Aplikasi metode
estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis
maupun
aplikatif
dalam
berbagai
literatur
mikroekonometrik
dan
makroekonometrik.
2.8.1 Regresi Data Panel Statis
Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel statis,
yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM), yang
dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan
peubah bebas. Secara umum, persamaan regresi panel data statis dituliskan
sebagai berikut :
yit = i + Xit + it
.......................................... (2.18)
dengan yit : nilai variabel dependen untuk setiap unit individu i pada periode t
dengan i = 1, …, n dan t = 1, …, T
i : unobserved heterogenity
Xit : nilai variabel independen yang terdiri dari sejumlah K variabel.
 : parameter yang diestimasi
dengan pada one way error, bentuk it didekomposisi menjadi
it = i + uit
.......................................... (2.19)
dengan i adalah efek individu dan uit adalah gangguan yang bersifat acak dengan
asumsi uit  iid (0,u2). Bentuk error it dapat didekomposisi menjadi two way atau
three way error, tergantung dari asumsi yang digunakan, namun pada penelitian ini
dibatasi hanya menggunakan bentuk one way error saja, baik untuk data panel statis
maupun dinamis.
2.8.1.1 Fixed Effect Model (FEM)
FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi
dengan atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Berdasarkan asumsi ini, maka
komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep,
sehingga untuk bentuk one way error, persamaan (2.19) dapat dituliskan menjadi
yit = ( i + i ) + Xit + uit
.......................................... (2.20)
49
Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu
(differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya
perbedaan intersep
pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan
sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi
rata-rata individual. Khusus untuk one way error, penduga FEM dapat dihitung
dengan teknik Pooled Least Square (PLS), Least Square Dummy Variable
(LSDV) dan Within Group (WG).
2.8.1.2 Random Effect Model (REM)
REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi
dengan atau memiliki pola yang sifatnya acak. Dengan kondisi ini, maka
komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error,
sehingga pada bentuk one way error, persamaan (2.18) dapat ditulis ulang
menjadi
yit = i + Xit + uit + i
......................................... (2.21)
Asumsi yang digunakan dalam model efek acak (REM) adalah
E uit | i   0


E uit2 | i   u2
E i | xit   0 ;  i, t


E u    0 ;  i, t, j
E u u   0 untuk i  j dan t  s
E i2 | xit   2 ;  i, t
it
j
it
js
Dalam bentuk one way error, penduga REM dapat dihitung dengan teknik
Between Estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS).
2.8.2 Regresi Data Panel Dinamis
Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis
dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment).
Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag dari variabel dependen di
antara regresor. Perkembangan teknik ekonometrika pada tahap selanjutnya
seiring dengan tuntutan dalam ekonomi regional menyebabkan regresi panel data
dinamis bisa menangkap adanya keterkaitan secara spasial.
50
2.8.2.1 Data Panel Dinamis Non Spasial
Model regresi data panel statis dengan pendekatan Fixed Effect Model
(FEM) dan Random Effect Model (REM) merupakan penduga yang konsisten dan
efisien, namun pada kondisi ini berbeda jika diterapkan pada model data panel
dinamis, yaitu dengan hadirnya lag dari variabel dependen pada ruas kanan
persamaan. Pembuktian secara matematis mengenai inkonsistensi dan inefisiensi
dari penduga FEM dan REM untuk model data panel dinamis tidak disampaikan
di sini, namun secara lengkap dapat dilihat lebih lanjut dalam Verbeek (2008).
First-Difference GMM (FD-GMM)
Arrelano dan Bond (1991, dalam Baltagi, 2005) menyarankan suatu
pendekatan generalized method of moments (GMM) untuk mengatasi masalah ini.
Secara umum, bentuk data panel autoregresif dengan lag 1 atau AR(1) tanpa
variabel eksogen adalah sebagai berikut (Baltagi, 2005) :
yit =  yi,t-1 + uit ;    < 1 ; t = 1, 2, … , T
.......................................... (2.22)
dengan uit = i + vit, dengan i  iid (0,2) dan vit  iid (0,v2).
Untuk memperoleh penduga  yang konsisten, dengan N   dengan T tertentu,
maka dilakukan first-difference pada persamaan (2.22) untuk menghilangkan efek
individu.
yit – yi,t-1 =  (yi,t-1 – yi,t-2) + (vit – vi,t-1) ; t = 2, 3, … , T
.................. (2.23)
dengan (vit – vi,t-1) mengikuti proses MA (1) dengan unit root.
Secara umum, pada persamaan (2.23) dapat dilihat bahwa yi,t-2 adalah variabel
instrumen yang valid karena berkorelasi dengan (yi,t-1 – yi,t-2), akan tetapi tidak
berkorelasi dengan (vit – vi,t-1). Prosedur instrumental variable masih belum ada
untuk differenced error term pada persamaan (2.23), dengan
E(vivi) = v2 (IN  G)
.......................................... (2.24)
dengan : vi = (vi3 – vi2, … , viT – vi,T-1) dan
 2 1 0
 1 2  1

G 



0
0
0

 0
0
0





0 
0
0
0 


 

 1 2  1
0  1 2 
0
0
.......................................... (2.25)
adalah (T-2) x (T-2), karena vi adalah MA(1) dengan unit root.
Didefinisikan sebagai
51
 yi 

Wi  


 0
 yi 1 , yi 2 





 yi 1 ,, yi ,T 2 
0
......................................... (2.26)
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Wi berisi instrumen yang
valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh
kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai
E(Wivi) = 0
......................................... (2.27)
Dengan mengalikan ulang persamaan difference (2.22) dalam bentuk vektor
dengan Wi, akan diperoleh
Wy = W (y-1)  + Wv
......................................... (2.28)
Dengan prosedur GLS untuk mengestimasi persamaan (2.28), maka akan
diperoleh Arrelano dan Bond (1991) preliminary one-step consistent estimator :
1

1

1
ˆ1  y 1  W W I N  G W  W y 1   y 1  W W I N  G W  W y 1 




... (2.29)
Optimal GMM estimator  dari ala Hansen (1982, dalam Baltagi, 2005) untuk
N yang tak hingga dan T relatif tetap dengan hanya menggunakan moment
restriction di atas menghasilkan notasi yang sama seperti (2.29) kecuali bahwa
N

W I N  G W   Wi G Wi
......................................... (2.30)
i 1
digantikan oleh
N


V N   Wi vi vi  Wi
......................................... (2.31)
i 1
GMM estimator memerlukan no knowledge concerning kondisi awal atau
distribusi dari vi dan ui. Prosedur estimasi pada metode ini adalah vi digantikan
oleh difference residual yang diperoleh dari preliminary consistent estimator.
Hasil metode estimasi ini adalah two-step Arrelano-Bond (1991) GMM estimator
(Baltagi, 2005) :
1

1

1
ˆ2  y 1  W VˆN W y 1   y 1  W VˆN W y 1 




.......................... (2.32)
Sebuah estimasi yang konsisten dari asymptotic var ( ˆ2 ) diberikan oleh bentuk
pertama dalam persamaan (2.33)
 

1
Var ˆ2  y 1  W VˆN W y 1 


1
........................... (2.33)
52
Kondisi ˆ1 dan ˆ2 adalah asymptotically equivalent jika adalah vit  iid (0,v2).
Berdasarkan cara yang sama, dapat diturunkan pula jika pada persamaan (2.22)
dimasukkan variabel eksogen, sehingga akan diperoleh persamaan berikut :
yit = x'it  + yi,t-1 + uit
................................ (2.34)
Parameter persamaan (2.35) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi
variabel instrumen atau pendekatan GMM. Berbagai asumsi dapat digunakan
untuk xit , dengan demikian sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat
dibangun berdasarkan asumsi tersebut.
System GMM (SYS-GMM)
Menurut Blundell dan Bond (1998, dalam Baltagi, 2005), penduga
FD-GMM dapat mengandung bias pada sampel berukuran kecil, hal ini terjadi
ketika
lagged
level
dari
deret
berkorelasi
secara
lemah
dengan
first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan
first-difference lemah. Dalam model AR(1) pada persamaan (2.22), fenomena ini
terjadi karena parameter autoregresif () mendekati satu, atau varian dari
pengaruh individu (i) meningkat relatif terhadap varian transient error (vit).
Mereka menunjukkan bahwa penduga FD-GMM pada persamaan (2.23)
dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan
yang tersedia relatif kecil. Oleh karenanya, merupakan hal penting untuk
memanfaatkan kondisi awal (initial condition) dalam menghasilkan penduga yang
efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan
diberikan model autoregresif data panel dinamis sebagai berikut :
yit =  yi,t-1 + i + vit
................................ (2.35)
dengan E(i) = 0; E(vi) = 0; E(ivi) = 0; untuk i = 1, 2, . . . , N ; t = 1, 2, . . . , T.
Dalam hal ini, Blundel dan Bond (1998) memfokuskan pada T = 3, oleh
karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh
E(yi1vi3) = 0; sedemikian sehingga  tepat teridentifikasi (just identified). Dalam
kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan
meregresikan yi2 pada yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari
persamaan (2.35) yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua ruas
pada persamaan tersebut, yakni
53
yi2 = (  1) yi,1 + i + vi2
................................ (2.36)
karenakan ekspektasi E(yi1i) > 0; maka (1 – ) akan bias ke atas (upward biased)
dengan


p lim ˆ  1    1
c
c(
2
/
2
u
.................... (2.37)
)
dengan c = (1 – )/(1 + ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari
variabel instrumen zi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi
variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke 12 dengan parameter
non-centrality

( u c ) 2
0
2
2
 u c
2
; saat   1
.................... (2.38)
Ketika   0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Blundell dan
Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM
dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter
konsentrasi (). Selanjutnya mereka memperluas penduga sistem GMM dengan
menggunakan lagged differences dari yit sebagai instrumen untuk persaman pada
level, sementara lagged level dari yit sebagai instrumen untuk persamaan dalam
first differences (lihat Arellano dan Bover, 1995).
2.8.2.2 Data Panel Spasial Dinamis
Model data panel spasial dinamis adalah pengembangan lebih lanjut ketika
variabel dependen atau bentuk error-nya memiliki keterkaitan spasial. Bentuk
umum dari model spasial dengan i = 1, 2, … , N unit spasial dan t = 1, 2, … , T
periode waktu, dengan jumlah amatan unit spasial relatif lebih besar dari panjang
periode waktu. Jika diasumsikan data pada waktu ke-t dibangkitkan mengikuti
model berikut :
yt =  yt-1 +  WN yt + xt  + ut
................................ (2.39)
dengan WN adalah matriks penimbang spasial berukuran N  N dengan seluruh
elemen pada diagonal utama berisi nol dan elemen pada setiap baris dinormalkan;
 adalah koefisien dari variabel dependen,  adalah koefisien autoregresif spasial
yang mengukur efek dari terjadinya interaksi antar variabel endogen, sementara
xt dan ut masing-masing adalah variabel penjelas yang diasumsikan strictly
exogenous dan error term (Jacobs et al., 2009).
54
Selanjutnya, pada kasus terjadinya keterkaitan struktur error secara
spasial, maka komponen error uit mengikuti proses autoregresif spasial sebagai
berikut :
ut =  MN ut + t
................................ (2.40)
dengan MN adalah matriks penimbang spasial berukuran N  N, sehingga MN uit
merupakan bentuk error spasial. Selanjutnya it = IN + vit ; vit  iid (0,v2IN),
dengan  vektor (unobservable) unit-specific fixed effects.
Persamaan (2.39) dan (2.40) kemudian dapat direduksi sehingga akan diperoleh
persamaan berikut :
yt = (IN   WN )1 [ yt-1 + xt  + ut ]
..................................... (2.41)
atau
yt = zt  + ut
..................................... (2.42)
ut = (IN   MN )1 [ IN + vt ]
..................................... (2.43)
dengan zit = [ yi,t-1 ; WN yit ; xit ], sementara  = [ ;  ; ' ]
Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB)
Metode ini merupakan perluasan dari metode data panel dinamis dari
Arellano dan Bond (1991) yang menghadirkan adanya keterkaitan secara spasial
pada variabel lag dan galatnya. Menurut Jacobs et al. (2009), penduga dari
koreksi spasial Arellano-Bond akan diturunkan dalam tiga tahap. Pada tahap
pertama, digunakan GMM untuk mengestimasi  yang digunakan menghitung
uˆ it  yit  z itˆ , kemudian untuk menghilangkan
 digunakan pembedaan pertama
(first-difference) dari persamaan (2.42) dan (2.43).
 yt = zt  + ut 
................................ (2.44)
ut = (IN   MN )1 vt ; t = 3, … , T
................................ (2.45)
Baik lag dari waktu dan lag secara spasial dari variabel dependen adalah variabel
endogen yang saling berhubungan. Tantangan dari kondisi tersebut adalah
menemukan instrumen spasial yang memiliki korelasi yang lebih kuat dengan lag
spasial dibanding lag dari waktu pada variabel dependen, sebaliknya instrumen
dinamis memerlukan kondisi yang sebaliknya. Konsistensi dari prosedur GMM
data panel terletak pada eksistensi matriks instrumen HSAB dengan dimensi
N (T  2)  F dengan memenuhi kondisi F momen berikut : E [H'SAB  uit] = 0.
55
Berdasarkan penjelasan tersebut, penduga untuk koreksi spasial Arellano-Bond
tahap pertama adalah sebagai berikut :
 z 1 z H SAB ASAB H SAB
 y
ˆSAB  z H SAB ASAB H SAB
...................... (2.46)
dengan ASAB = [H'SAB G HSAB]1 adalah matriks instrumen berdimensi F  F,
sementara G adalah matrik penimbang dengan ukuran N (T  2)  N (T  2),
dengan elemen dari G seperti pada persamaan (2.25). Berdasarkan variabel
instrumen yang digunakan pada persamaan (2.46), implikasi dari prosedur
Arellano-Bond adalah harus terpenuhi kondisi momen berikut :
E(y'i,ts vit) = 0 ; t = 3, … , T dan s = 2, … , T  1
......................... (2.47)
Meski demikian, karena adanya keterkaitan spasial maka dengan modifikasi dari
pendekatan Kelejian dan Robinson (1993, dalam Jacobs et al. 2009) harus
terpenuhi juga kondisi momen :
E[(WN  xi,t2 )' vit ] = 0 ; E[ x'i,t2 vit ] = 0 ; t = 3, … , T
............. (2.48)
Pada tahap kedua, masih menurut Jacobs et al. (2009), penduga GMM
yang konsisten dari  dan v2 diperoleh dari û it dan memenuhi modifikasi dari
kondisi momen berdasarkan Kapoor et al. (2007) berikut :
2


 
1
v

 N (T  2 )  Q  


 
1


2 1



 Q   v
tr ( M N M N ) 
 
 N (T  2 )
N


 
1

 Q  

0
 
 N (T  2 )

...................... (2.49)
dengan : Q = (IT1  JT1/(T  1))  IN adalah matriks transformasi “within”, IT1
merupakan matriks identitas berdimensi T  1 dan JT1 = eT
 1
e' T
 1,
dengan
elemen sebanyak (T  1)  (T  1). Vektor  dan  adalah vektor dengan ukuran
N (T  1)  1, didefinisikan sebagai berikut
...................... (2.50)
 it  u it   u dan   u   u

dengan : uit  yit  zit SAB ; u  ( I T 1  M N ) u dan u  ( I T 1  M N ) u
Kemudian, dengan memasukkan persamaan (2.49) ke (2.50) akan diperoleh
 1

  
 (T  2 ) uˆ Q uˆ 
 


 2 1  1
  
uˆ Q uˆ 

N   N  (T  2 )
 1

 
uˆ Quˆ 

 v 2 

 (T  2 )
...................... (2.51)
56
dengan
 1

 (T  2 ) uˆ Q uˆ 


1

uˆ Q uˆ 
 (T  2 )

 1

uˆ Quˆ 

 (T  2 )


2
uˆ Q uˆ

(
T
 2)


2

u Q uˆ

(T  2 )
 2

uˆ Q u  uˆ Q uˆ

 (T  2 )

1
uˆ Q uˆ
(T  2 )
 
1

u Q u
(T  2 )

1

uˆ Q u
(T  2 )





tr ( M N M N ) 


0


1
Selanjutnya, pada tahap terakhir, penduga dari  digunakan untuk
melakukan mentransformasi spasial, variabel pada persamaan (2.44) sehingga
akan diperoleh hasil

~
y  ~
z  SCAB  
....................... (2.52)
dengan untuk p = {y, z}, ~p  I N  ̂ M N  p
Model transformasi kemudian digunakan untuk menurunkan penduga SAB pada
tahap ketiga



~ ~ ~
 ~
ˆSCAB  ~z H SAB ASAB H SAB
z
~
 G H SAB
dengan ASAB  H~ SAB
~
1
1
~ ~ ~
 ~
~
z H SAB ASAB H SAB
y
....................... (2.53)
dan H~ SAB  I N  ̂ M N H SAB
Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB)
Sistem GMM yang disarankan oleh Blundell-Bond (1998) sebagaimana
telah dipaparkan sebelumnya merupakan cara untuk menanggulangi adanya
kelemahan dari instrumen yang digunakan dalam metode FD-GMM. Menurut
Jacobs et al. (2009), penduga dari koreksi spasial metode Blundell-Bond (SCBB)
dapat diturunkan melalui model berikut :
 yit   z it 
 u it 
 y    z     u 
 it   it 
 it 
....................... (2.54)
atau secara ringkas dapat ditulis menjadi
yBB(t) = zBB(t)  + uBB(t)
......................... (2.55)
dengan yBB(t) adalah vektor 2N  1.
Pada model Blundell-Bond, jumlah amatan menjadi dua kali lipat, yaitu dari
sebelumnya N ( T  2 ) menjadi 2N (T  2 ), sehingga akan meningkatkan efisiensi
dari pendugaan. Prosedur pendugaan SCBB dapat menggunakan tiga tahap
dengan mengikuti langkah-langkah yang digunakan pada pendugaan SCAB
sebelumnya. Tahap pertama dari penduga spasial Blundell-Bond yang disarankan
oleh Jacobs et al. (2009) adalah
57
 z 1 z H SBB ASBB H SBB
 y
ˆSBB  z H SBB ASBB H SBB
...................... (2.56)
dengan ASBB = [H'SBB HSBB]1 dan HSBB didefinisikan seperti berikut
H
H SBB   D
 0
0 
H L 
...................... (2.57)
Pada matriks HSBB, HD berisi instrumen untuk model dengan pembeda pertama,
sedangkan HL terdiri dari instrumen untuk model dalam bentuk level. Struktur dari
matriks HSBB sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (2.57) secara tidak
langsung memastikan tidak adanya interaksi antar variabel instrumen, sehingga
antara variabel instrumen tidak dapat memengaruhi satu dengan lainnya. Matriks
instrumen HD berdasarkan kondisi momen berikut
E[ y'(ts) v(t)] = 0 ; E[(WN x)' v(t)] = 0 ; E[x'(t) v(t)] = 0
........ (2.58)
sementara matriks instrumen HL berdasarkan
E[ y'(t) v(ts)] = 0 ; E[(WN x)' v(ts)] = 0 ; E[x'(t) v(ts) ] = 0
. (2.59)
untuk t = 3, … , T dan s = 2, … , T  1.
Dengan mengambil analogi dari metode SCAB, tahap kedua dan ketiga

dapat dilakukan dengan prosedur pendugaan menggunakan uˆ  y  z  SBB dengan

 SBB diperoleh dari pendugaan tahap pertama dan z hanya berisi variabel pada
level.
58
2.9 Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian empiris yang menjelaskan tentang keterkaitan inflasi dengan beberapa variabel lain yang memengaruhinya
disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya
No.
Peneliti
1. Beirne (2009)
2. Benigno
(2010)
and
Objek / Tujuan
Metode dan Data
Hasil
Mengetahui
faktor-faktor
yang menyebabkan atau
memicu terjadinya inflasi
secara komprehensif pada
10 negara anggota baru dari
Uni Eropa.
Metode panel data dinamis
dengan menggunakan data
kuartalan tahun 1998 – 2007,
Variabel-variabel yang diteliti
adalah yang mewakili kondisi
spesifik dari setiap negara dan
merepresentasikan
faktor
global.
Inflasi inersia, nilai tukar nominal
efektif (NEER), defisit fiskal, belanja
pemerintah, investasi (PMTB), kondisi
infrastruktur dan variabel-variabel yang
menggambarkan tekanan inflasi yang
berasal faktor global berpengaruh
positif dan signifikan terhadap inflasi di
negara-negara yang diteliti.
Faia Meneliti tentang bagaimana
mekanisme transmisi dari
globalisasi dan besarnya
dampak
pass-through
terhadap inflasi.
Metode yang digunakan adalah
Seemingly
Unrelated
Regressions (SUR) dengan
data yang digunakan adalah
kuartalan tahun 1983 – 2008
untuk 5 industri manufaktur di
Amerika Serikat.
Derajat pass-through akan meningkat
seiring dengan bertambahnya produk
asing ke pasar domestik. Lebih lanjut,
tingkat ketergantungan dari perusahaan
domestik yang menggunakan komponen
impor dalam melancarkan strategi
penentuan harga juga meningkat bila
kemudian terjadi peningkatan derajat
kompetisi dengan perusahaan asing.
3. Bowdler and Malik Meneliti tentang dampak Metode panel dinamis dengan
unbalanced
panel.
keterbukaan
perdagangan model
(2006)
Penelitian dilakukan pada 96
terhadap volatilitas inflasi.
negara dengan data kuartalan
tahun 1961 – 2000.
Keterbukaan perdagangan memberikan
pengaruh negatif terhadap volatilitas
inflasi. Hubungan tersebut terlihat
sangat kuat pada negara-negara
berkembang (developing and emerging
market economies).
4. Gali
and
(2000)
Gertler Membangun model struktural
inflasi dengan mengakomodir
aturan
backward-looking
berdasarkan kurva Phillips
versi New Keynesian (New
Keynesian Phillips Curve/
NKPC).
Metode
GMM
nonlinear
dengan variabel instrumen dan
marginal cost sebagai driving
force variable dalam model
NKPC hibrid.
Model hibrid cukup robust dlm
menjelaskan aturan backward-looking,
sementara aturan forward-looking lebih
dominan dalam menjelaskan inflasi.
5. Lemos (2004b)
Meneliti tentang pengaruh
dari
penetepan
upah
minimum terhadap tingkat
harga.
Studi kasus yang digunakan
adalah negara Amerika Serikat
namum menggunakan berbagai
teknik estimasi termasuk data
dengan tahun yang berbedabeda.
Penyesuaian upah minimum akan
memberi dampak positif terhadap
tingkat upah dan harga namun tidak
berdampak negatif terhadap tingkat
penyerapan tenaga kerja, namun
pengaruhnya terhadap inflasi relatif
kecil, berdasarkan berbagai teknik
estimasi yang digunakan.
6. Wimanda (2006)
Melakukan studi tentang
karakteristik, konvergensi dan
determinan inflasi regional di
Indonesia
Metode yang digunakan adalah
Granger causality; koefisien
korelasi; koefisien konvergensi
 dan ; dan OLS
Inflasi regional cenderung divergen,
sementara determinan penting dalam
inflasi regional adalah ekspektasi inflasi
(backward looking) dan nilai tukar.
59
60
7. Lünnemann
Mathä (2005)
8. Solikin (2007)
9.
Solikin (2004)
and Meneliti
tentang
derajat Disagregasi indeks (HICP).
kekakuan
harga
dan
persistensi inflasi, khususnya
terkait dengan harga yang
diatur dan tarif jasa untuk 15
negara Uni Eropa.
Administred prices cenderung rigid ke
bawah dan cukup besar dalam
memengaruhi inflasi. Jika dikeluarkan
dari paket penghitungan indeks harga,
maka akan mengurangi terjadinya
persistensi dari inflasi secara agregat.
Melakukan penelitian untuk Menggunakan metode SVAR
mengetahui
karakteristik model dekomposisi Cholesky,
dengan analisi data kuartalan
tekanan inflasi di Indonesia
tahun 1974 – 2002.
FEVD menunjukkan bahwa guncangan
pada sisi penawaran, yang merupakan
agregasi dari shock dari luar negeri dan
kondisi penawaran agregat, relatif lebih
dominan dalam memengaruhi harga
dibanding sisi permintaan. Implikasi
hasil adalah kebijakan moneter masih
dapat digunakan secara berhati-hati
untuk memengaruhi inflasi.
Meneliti tentang keberadaan Model yang digunakan adalah
dari kurva Phillip dalam hybrid NKPC yg diestimasi
dengan
GMM, sementara
perekonomian Indonesia
driving force variable adalah
output gap, dengan estimasi
output gap berbagai metode
Kurva Phillips versi NKPC memang
benar eksis, dengan tradeoff antara
output gap dan tingkat inflasi berubah
seiring dengan terjadinya perubahan
struktural
di
Indonesia
(time
dependent). Selain itu diketahui pula
bahwa
perilaku
forward-looking
berperan
lebih
penting
dalam
membentuk inflasi dibanding dengan
unsur backward-looking.
10.
Mehrotra et al. (2007)
11.
Al-Nasser
(2009)
12.
Prasertnukul
(2010)
et
et
Membangun sebuah model
inflasi untuk negara China
dalam perspektif provinsi
untuk melihat sampai sejauh
mana
NKPC
dapat
menangkap proses terjadinya
inflasi pada tingkat provinsi.
Baseline model adalah hybrid
NKPC dengan driving force
variable adalah output gap, yg
diestimasi metode GMM.
Kemudian untuk menjelaskan
perbedaan pembentukan inflasi
digunakan regresi probit.
Inflasi dengan output gap sebagai
driving force variable dan aturan
forward-looking cukup baik dalam
menjelaskan perilaku inflasi hanya
provinsi-provinsi di wilayah pesisir
timur saja akan tetapi tidak dapat
menjelaskan perilaku inflasi di wilayah
lainnya.
al. Berusaha untuk membuktikan
validitas
dari
hubungan
negatif antar keterbukaan
perdagangan dengan tingkat
inflasi yang sebelumnya telah
diteliti oleh Romer (1993).
Metode yang digunakan adalah
metode data panel, dengan
jumlah negara yang diteliti
sebanyak 152 negera untuk
tahun 1950 – 1992.
Pada prinsipnya hasil penelitian dari
Romer masih berlaku sampai dengan
tahun 1990-an dan mementahkan kritik
yang menyatakan hubungan yang
sebaliknya. Hasil penelitian cukup
robust karena berdasarkan pembagian
kelompok negara-negara menunjukkan
hasil yang sama.
al. Meneliti tentang dampak dari
diadopsinya kerangka kerja
penargetan inflasi (inflationtargeting
framework/ITF)
terhadap pass-through dan
volatilitas nilai tukar di
Indonesia, Filipina, Thailand
dan Korea.
Metode yang digunakan adalah
OLS, SURE dan VAR untuk
melihat dampak pass-through,
dan untuk melihat volatilitas
digunakan metode GARCH,
dengan data bulanan dari
Januari 1990 - Juni 2007.
Secara umum, dengan diadopsinya ITF,
akan menurunkan derajat exchange rate
pass-through dan volatilitas inflasi.
Khusus untuk Indonesia, pengaruhnya
tidak terlihat signifikan.
61
62
62
2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, permasalahan utama yang dalam penelitian
ini yang diduga akan membentuk inflasi nasional adalah tekanan inflasi daerah dan
struktur ekonomi daerah. Dalam menjelaskan kedua permasalahan utama tersebut, maka
dilakukan pendekatan melalui analisis AD – AS dan pendekatan kurva Phillips versi
New Keynesian (NKPC), khususnya terkait dengan pembentukan inflasi daerah. Selain
itu dilakukan pula pendekatan lain melalui kondisi infrastruktur dan keterbukaan dalam
perdagangan yang mewakili struktur ekonomi daerah. Berdasarkan kedua pendekatan
tersebut, kemudian dirinci beberapa variabel yang terkait dengan pembentukan inflasi
sesuai dengan tujuan penelitian, termasuk bagaimana mekanisme transmisi dari setiap
variabel yang dianalisis dalam model akan memengaruhi inflasi.
Mekanisme
transmisi
sebagaimana
diilustrasikan
oleh
Gambar
7
memperlihatkan bahwa hubungan langsung dari variabel-variabel yang dianalisis
terhadap inflasi nasional ditunjukkan oleh panah dengan garis tidak terputus-putus (
),
sementara hubungan langsung dalam memengaruhi inflasi nasional diperlihatkan oleh
panah dengan garis terputus-putus (
). Dalam mekanisme transmisi tersebut juga
dapat dilihat beberapa variabel yang sesungguhnya tidak dianalisis dalam model karena
memang tidak dimasukkan sebagai tujuan pada penelitian ini. Secara eksplisit, variabelvariabel yang masuk dalam model penelitian dinyatakan dengan kotak tanpa garis
terputus-putus (
), sedangkan variabel-variabel di luar model penelitian namum
terkait dengan mekanisme transmisi disimbolkan dengan kotak dengan garis terputusputus (
). Lebih lanjut, variabel-variabel yang masuk dalam model penelitian akan
dianalisis dengan regresi panel data dinamis.
Gambar 7. Kerangka pemikiran penelitian.
63
Halaman ini sengaja dikosongkan
III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Analisis
Bab ini akan membahas metode analisis yang digunakan dalam penelitian
ini, yang terdiri dari analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis dengan
metode ekonometrika menggunakan metode univariate detrending dan metode
regresi data panel seperti telah disampaikan pada tinjauan teoritis dalam bab
sebelumnya. Guna mendukung analisis ini, akan digunakan paket program
software STATA 10.0. dan EViews 6.0.
3.1.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai
dinamika inflasi regional dan beberapa variabel yang diduga terkait erat dengan
inflasi, termasuk struktur ekonomi menurut provinsi. Melalui metode analisis
yang pertama ini akan disajikan tabel dan gambar/grafik untuk memperlihatkan
kondisi perekonomian secara umum menurut provinsi. Selain itu, digunakan pula
beberapa statistik sederhana seperti rata-rata sederhana, rata-rata tertimbang,
koefisien korelasi Pearson dan pengujian kausalitas granger untuk melihat
keterkaitan inflasi antar provinsi di Indonesia dan keterkaitan inflasi dengan
variabel lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. Melalui gambaran umum
ini, diharapkan dapat menguatkan analisis ekonometrika yang akan dibahas
selanjutnya, terkait dengan hipotesis yang telah disusun untuk menjawab tujuan
penelitian ini.
3.1.2 Estimasi Output Potensial dengan Metode Univariate Detrending
Penghitungan output potensial pada hakikatnya tidak mudah dilakukan
karena output potensial sendiri merupakan unobserved component. Metode yang
umum digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah pendekatan
univariate. Pendekatan ini relatif lebih mudah dibanding pendekatan multivariate,
karena bisa dilakukan melalui dekomposisi atau detrended dari series data
tertentu. Adapun penggunaan metode univariate dalam penelitian ini mengacu
pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008) yang menyatakan bahwa
output potensial lebih halus dan lebih baik jika diestimasi dengan menggunakan
metode detrended tradisional.
66
Metode univariate detrending yang digunakan digunakan dalam penelitian
ini adalah metode Hodrick–Prescot (HP) filter dan band pass filter ala
ChristianoFitzgerald. Penggunaan kedua metode ini didasari atas kesadaran
bahwa output potensial sendiri merupakan unobserved component, sehingga pada
praktiknya
diperlukan
metode
penghitungan
alternatif
untuk
melihat
keterbandingan hasil estimasi output potensial. Berdasarkan hasil estimasi output
potensial dengan kedua metode ini, kemudian akan diturunkan output gap yang
menjadi salah satu variabel yang memengaruhi inflasi, dengan demikian akan
dilihat bagaimana keterkaitan antara output gap yang dihasilkan dengan inflasi
yang merupakan objek utama dalam penelitian ini.
Langkah awal dalam melakukan estimasi output potensial adalah
menyiapkan data dengan series yang cukup panjang, setidaknya 20 tahun,
sehingga secara tidak langsung dapat mencerminkan adanya kondisi NAIRU
(non-accelerating inflation rate of unemployment) atau menggambarkan tren
pertumbuhan output dalam jangka panjang. Pada praktiknya, penelitian ini akan
menggunakan PDB atas dasar harga konstan yang merupakan proksi dari output
riil, untuk periode tahun 1983 – 2009. Pada metode HP filter, permasalahan yang
dihadapi adalah bagaimana memilih 1, yaitu sembarang konstanta yang
mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi
menjadi tren. Dalam beberapa penelitian termasuk Hodrick–Prescot (1984, dalam
Enders, 2004) dan Farmer (1993, dalam Enders, 2004),  ditetapkan sebesar
1.600. Menurut mereka, besarnya  tersebut merupakan nilai yang cukup ideal
karena umumnya akan diperoleh hasil dekomposisi yang cukup masuk akal.
Sayangnya, dalam Ender (2004) tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai periode
data yang digunakan, apakah data tahunan, triwulanan atau bulanan yang cukup
baik untuk menggunakan nilai  yang disarankan. Merujuk pada Hodrick–Prescot
(1980, dalam Ladiray et al., 2003), nilai  dibedakan menurut periode data, yaitu
untuk data tahunan menggunakan  = 100, sedangkan pada data triwulanan 
ditetapkan sebesar 1.600, sementara untuk data bulanan besarnya  adalah
144.000. Merujuk pada penjelasan Ladiray et al. (2003) tersebut, maka nilai 
untuk metode HP filter dalam penelitian ini adalah 100, karena periode data yang
digunakan adalah data tahunan.
67
Permasalahan selanjutnya yang dihadapi dalam metode band pass filter
dari ChristianoFitzgerald adalah memilih pendekatan simetris atau pendekatan
asimetris. Pendekatan simetris menetapkan peningkatan dan penurunan output
potensial berada pada band tertentu, dengan besarnya lower band dan upper band
dibuat sama. Sebaliknya, pada pendekatan asimetris yang dimungkinkan
terjadinya peningkatan atau penurunan output tidak selalu dalam range yang
sama. Sayangnya, pendekatan simetris akan menyebabkan hilangnya beberapa
observasi di awal dan di akhir dari suatu set series data, sementara pada
pendekatan asimetris hal tersebut tidak terjadi. Berdasarkan penjelasan tersebut,
metode band pass filter yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
asimetris dari ChristianoFitzgerald agar diperoleh observasi yang utuh dari series
data yang diestimasi. Adapun nilai lower band dan upper band yang ditetapkan
dalam model ini masing-masing sebesar 0,8 dan 0,2.
3.1.3 Aplikasi Regresi Data Panel
Pembahasan mengenai aplikasi regresi data panel dalam sub bab ini terdiri
dari tiga bagian, yaitu data panel statis, data panel dinamis non spasial dan data
panel spasial dinamis, dengan landasan teoritis mengenai ketiganya telah
disampaikan pada bab sebelumnya. Setiap bagian akan membahas beberapa
kendala yang dihadapi oleh masing-masing model dan bagaimana perlakuan yang
diterapkan untuk mengatasinya.
Analisis data panel umumnya menggunakan data dalam bentuk level
dengan tujuan untuk memudahkan interpretasi model, namun jika kemudian
penelitian menggunakan data dengan series yang yang mengandung tren, maka
perlu dilakukan pengujian unit root, untuk memastikan bahwa hubungan antara
variabel dependen dan variabel independen tidak menunjukkan spurious
regression. Bila hasil pengujian unit root menunjukkan adanya tren pada data
level, maka seperti biasanya, harus dilakukan pembedaan pertama (first
differencing) untuk menghindari terjadinya hasil yang misleading. Perlu diingat
bahwa karena data yang digunakan dalam penelitian adalah data panel, maka
pengujian unit root yang digunakan bukan menggunakan metode yang biasa,
tetapi menggunakan panel unit root. Pengujian ini disarankan oleh Baltagi (2005)
untuk data panel dengan N dan T yang relatif tidak besar.
68
Hipotesis nol yang digunakan dalam pengujian panel unit root sama
seperti pada pengujian unit root untuk data time series murni, hanya saja statistik
uji yang digunakan merupakan pengembangan lebih lanjut dari statistik uji
Augmented Dickey–Fuller (ADF) dan Phillips–Perron (PP). Statistik uji yang
digunakan dalam menguji panel unit root terdiri dari dua jenis, yaitu common unit
root yang terdiri dari statistik uji Levin, Lin and Chu (LLC) dan Breitung’s test;
serta individual unit root yang terdiri statistik uji Im, Pesaran and Shin (IPS),
ADF – Fisher test dan PP – Fisher test. Setelah diperoleh hasil pengujian yang
menyatakan bahwa series dari data panel tidak mengandung unit root maka
estimasi bisa dilaksanakan.
3.1.3.1 Model Data Panel Statis
Estimasi dengan model regresi data panel statis dapat menggunakan data
level sepanjang tidak mengandung unit root. Secara umum model estimasi dari
data panel statis untuk data pada bentuk level dapat dituliskan sebagai berikut :
F
pit  a0  a1 pi ,t 1   a j x jit   it
....................... (3.1)
j 1
dengan pit dan pi,t–1 menyatakan tingkat harga pada data cross section ke-i periode
t, dan sebelumnya, sementara xjit adalah variabel eksogen ke-j, pada data cross
section ke-i periode t, dan F + 1 menyatakan seluruh jumlah variabel penjelas
termasuk variabel pi,t–1.
Jika kemudian terdapat unit root pada data level, maka persamaan (3.1) harus
dilakukan first differencing, sehingga akan diperoleh persamaan berikut :
F
pit   1 pi ,t 1    j x jit   it
....................... (3.2)
j 1
Metode data panel statis yang digunakan untuk mengestimasi salah satu
dari persamaan (3.1) atau (3.2) adalah Fixed Effect Model (FEM) dan Random
Effect Model (REM). Model FEM dibatasi hanya akan menggunakan within
estimator dan Pooled Least Squared (PLS), sementara pada model REM akan
menggunakan GLS estimator saja. Statistik uji Hausman akan digunakan untuk
membandingkan model FEM dengan model REM, sementara uji Chow digunakan
untuk membandingkan FEM dengan PLS. Tujuan penggunaan kedua statistik uji
ini adalah untuk mendapatkan model terbaik pada metode data panel statis.
69
3.1.3.2 Model Data Panel Dinamis Non Spasial
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa model data panel dinamis
diperoleh dari data level sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (2.22) untuk
tinjauan teoritis dan persamaan (3.1) atau persamaan (3.2) untuk aplikasinya.
Secara umum, permasalahan utama dalam aplikasi regresi data panel dinamis
adalah penentuan variabel instrumen yang akan digunakan untuk estimasi model
empiris. Tahap awal dalam menentukan instrumen variabel adalah seluruh
variabel penjelas (explanatory variable) selain lag dari variabel dependen
diasumsikan strictly exogenous. Berdasarkan asumsi tersebut, maka matriks
instrumen (Wi) pada persamaan (2.26) hanya terdiri dari sekumpulan data level
untuk variabel dependen atau dalam persamaan (3.1) secara eksplisit dinyatakan
oleh variabel “p”. Instrumen ini tentu saja hanya tepat digunakan untuk model
FD-GMM, karena secara teoritis tidak mensyaratkan adanya intial condition
sebagaimana dibutuhkan pada model SYS-GMM (Baltagi, 2005).
Sedikit berbeda dengan instrumen yang digunakan pada model FD-GMM,
maka untuk model SYS-GMM dibutuhkan intial condition dalam suatu sistem
persamaan. Bentuk sistem persamaan dari metode ini adalah dengan
menggabungkan persamaan (3.1) dan (3.2) dengan mengeliminasi intersep (a0)
dari persamaan (3.1). Jika variabel penjelas lainnya masih diasumsikan strictly
exogenous, maka variabel instrumennya adalah data first differencing untuk
persamaan pada level dan data level untuk persamaan first difference. Di bawah
sistem persamaan dari SYS-GMM, secara eksplisit, variabel instrumen untuk
persamaan (3.1) adalah “pit”, sedangkan “pit” merupakan variabel instrumen
untuk persamaan (3.2), dengan t = 1, 2, … , T – 2.
Khusus pada model SYS-GMM, variabel instrumen dapat ditambah
dengan memasukkan lag dari variabel instrumen awal, yaitu “pit-1” dan “pit-1”.
Dasar penambahan variabel instrumen ini adalah adanya keterkaitan antara
variabel dependen dan lag dari variabel dependen yang berada pada sisi kanan
sistem persamaan. Meski dapat ditambahkan variabel instrumen, termasuk pada
model FD-GMM, namun perlu dipastikan terlebih dahulu apakah variabel
instrumen yang digunakan adalah valid. Pengujian validitas variabel instrumen
yang digunakan adalah menggunakan statistik uji Sargan, dengan hipotesis nol
70
yang menyatakan bahwa variabel instrumen yang digunakan adalah valid. Hasil
pengujian yang diharapkan adalah hipotesis nol diterima, artinya tidak ada cukup
bukti untuk menolak bahwa variabel instrumen yang digunakan adalah valid.
Sebaliknya, jika kemudian hipotesis nol ditolak, maka perlu ditambahkan
beberapa variabel instrumen lainnya, salah satunya dengan membuat kombinasi
pasangan dengan variabel penjelas lainnya yang sebelumnya diasumsikan strictly
exogenous.
Selanjutnya, pengujian tambahan perlu dilakukan untuk model FD-GMM,
selain menggunakan uji Sargan. Pengujian tambahan dimaksud adalah dengan
menggunakan statistik uji Arelano-Bond “m1” dan “m2”. Hipotesis nol dari uji
Arelano-Bond adalah terjadi autokorelasi pada error, dengan hipotesis untuk “m1”
menyatakan bahwa rata-rata autocovariance dari error pada ordo 1 adalah nol
sedangkan hipotesis untuk “m2” adalah rata-rata autocovariance dari error pada
ordo 2 adalah nol. Hasil pengujian yang diharapkan adalah hipotesis untuk “m1”
ditolak, sebaliknya hipotesis untuk “m2” harus diterima.
3.1.3.3 Model Data Panel Spasial Dinamis
Ide dasar dari dari model data panel spasial adalah keterkaitan antar
wilayah yang kemungkinan akan berpengaruh pada hasil estimasi. Hal ini
setidaknya mengikuti First Law of Geography dari Tobler yang menyatakan
bahwa “everything is related to everything else, but near things are more related
than distant things” (World Development Report 2009). Baik secara teoritis
maupun secara empiris, keterkaitan tersebut memang tidak dapat disangkal,
namun ukuran keterkaitan itu sendiri yang mungkin menjadi sumber perdebatan
mengingat keterkaitan dimaksud bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang.
Terkait dengan model data panel spasial dinamis, salah satu permasalahan
yang dihadapi adalah bagaimana menentukan matriks penimbang spasial W untuk
model spatial lag dan M untuk model spatial error atau untuk model gabungan
dari keduanya (lihat persamaan (2.45) dan (2.46)). Kukenova dan Monteiro (2009)
menggunakan dua pendekatan untuk menentukan matriks penimbang spasial W,
yaitu pertama, bersandarkan pada kondisi ideal keterkaitan antar wilayah di
seluruh dunia akibat perbedaan derajat penyebarannya (degree of sparseness),
sebagaimana penelitian Kelejian dan Prucha (1999) dan Kapoor et al. (2007), dan
71
kedua, berdasarkan kondisi riil yang terjadi yang dinyatakan sebagai jarak riil
(jarak Euclidean) antar ibukota negara/negara bagian. Penelitian Baltagi et al.
(2010) tentang kurva upah di Jerman dengan model spatial error menggunakan 5
pendekatan untuk matriks penimbang spasial M, yaitu berdasarkan letak yang
berdampingan antar dua wilayah (contiguity), arus ulang-alik commuter, jarak,
waktu tempuh perjalanan dan berdasarkan penimbang tingkat penyerapan tenaga
kerja dari dua wilayah yang berdampingan (employment weighted contiguity).
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pada intinya pendekatan untuk matrik penimbang spasial W dan M
menggunakan variabel-variabel yang mewakili jarak riil dan variabel-variabel
yang menyiratkan adanya spillover antar wilayah. Beberapa variabel yang
digunakan untuk menangkap adanya spillover seperti dinyatakan dalam penelitian
Baltagi et al. (2010) sepertinya cukup masuk akal, namun penggunaan jarak
Euclidean perlu dipertanyakan, khususnya untuk kasus Indonesia yang
notebenenya merupakan negara kepulauan yang masih terkendala dengan masalah
infrastruktur yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya divergensi harga
dan inflasi. Terkait dengan masalah tersebut, sepertinya untuk variabel jarak harus
dilakukan redifinisi sehingga matrik penimbang spasial W yang nantinya
terbentuk akan menggambarkan keterkaitan secara spasial yang kuat selainjuga
karena akan digunakan sebagai salah satu variabel instrumen dalam estimasi
model.
Definisi jarak menurut World Development Report 2009 adalah sesuatu
yang dapat menunjukkan mudah atau sulitnya barang, jasa, tenaga kerja, modal,
informasi dan ide-ide untuk melintasi ruang, sehingga mencerminkan bagaimana
kemudahan perpindahan arus modal, mobilitas tenaga kerja dan bagaimana aliran
barang dan jasa bisa sampai dari satu tempat ke tempat lainnya. Berdasarkan
definisi tersebut, istilah jarak lebih merujuk pada konsep ekonomi dan bukan
sekedar jarak secara fisik. Terkait definisi tersebut, maka untuk menangkap
keterkaitan spasial yang kuat yang mewakili konsep ekonomi, pada penelitian ini
digunakan matrik penimbang yang berasal dari koefisien matriks penggunaan
barang domestik Inter-Regional Input Output (IRIO) Indonesia tahun 2005.
72
Koefisien matriks tersebut kemudian dilakukan ditranspose sehingga secara baris
menyatakan pengaruh penggunaan input.
Permasalahan lain dalam model data panel spasial dinamis adalah
bagaimana membuat sistem persamaan simultan dengan beberapa instrumen
tambahan agar terpenuhi kondisi momen pada persamaan (2.49) di bawah
prosedur Arellano-Bond atau Blundell-Bond, sebagaimana syarat yang disarankan
oleh Kukenova dan Monteiro (2009). Hal ini tentu berbeda dengan prosedur untuk
metode data panel dinamis non spasial yang tidak mensyaratkan sistem persamaan
simultan dan sebagainya dalam penggunaannya. Terkait dengan penggunaan
metode data panel dinamis, akan digunakan prosedur Arellano-Bond terlebih
dahulu. Jika hasilnya menunjukkan statistik uji m1 dan m2 dari Arellano-Bond
serta uji Sargan sesuai dengan harapan dan cukup konsisten dengan teori ekonomi
maka tidak perlu menggunakan prosedur Blundell-Bond. Selanjutnya, guna
menanggulangi terjadinya downward biased dari estimator GMM murni, estimasi
dari standar error akan mengikuti prosedur dari Windmeijer (2005) untuk
menjaga robustness hasil penelitian.
3.2 Spesifikasi Model Penelitian
Model empiris dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada
penelitian Beirne (2009), dengan baseline model yang digunakan adalah
F
pit   1 pi ,t 1    j x jit   it
....................... (3.3)
j 1
dengan pit dan pi,t–1 adalah level harga pada provinsi ke-i periode t, dan
sebelumnya, sementara xjit adalah variabel penjelas ke-j, pada provinsi ke-i
periode t, dan F menyatakan jumlah variabel penjelas lainnya selain dari lag
variabel dependen.
Modifikasi baseline model dari penelitian Beirne (2009) diperlukan
mengingat dari 18 variabel yang digunakan tersebut, 4 variabel diantaranya, yaitu
harga relatif, kapitalisasi pasar modal, indeks kebebasan ekonomi dan indeks
liberalisasi harga tidak tersedia pada tingkat provinsi di Indonesia. Kemudian,
beberapa faktor global seperti shock harga minyak dunia dan shock harga pangan
dunia dianggap sudah diwakili melalui transmisi ke variabel nilai tukar. Khusus
untuk shock harga minyak dunia juga dianggap kurang relevan dengan kondisi
73
Indonesia yang menetapkan harga minyak sebagai administred prices sehingga
variabel ini digantikan dengan indeks harga BBM. Kemudian untuk variabel
shock yang dari suku bunga dunia juga tidak digunakan karena mekanisme
transmisinya sudah terwakili oleh penyesuaian suku bunga acuan domestik yang
dilakukan oleh Bank Indonesia sehingga variabel tersebut digantikan dengan suku
bunga acuan domestik, sebagaimana penelitian dari Habermeier et al. (2009) yang
memasukkan variabel ini sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi
inflasi dan merupakan salah satu opsi kebijakan dalam mengendalikan inflasi.
Selanjutnya, variabel dummy tentang kondisi suatu negara sebelum dan
sesudah masuk sebagai anggota Uni Eropa; variabel dummy tentang pergantian
sistem nilai tukar; dan variabel kondisi nilai tukar sebelum dan setelah pergantian
sistem nilai tukar juga tidak relevan dengan kondisi Indonesia yang merupakan
satu kesatuan moneter sejak pertama merdeka, sedangkan pergantian nilai tukar
telah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1999, sementara cakupan analisis
adalah tahun 2000 – 2009. Variabel pergantian sisitem nilai tukar kemudian,
digantikan dengan variabel kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation
targeting framework/ITF) dalam penelitian ini. Variabel-variabel lainnya yang
juga tidak digunakan adalah PDB riil per kapita, Pembentukan Modal Tetap Bruto
(PMTB) atau investasi riil dan persentase kredit domestik untuk sektor swasta
(kredit modal usaha) terhadap PDB karena tidak sesuai dengan tujuan penelitian.
Pertimbangan lainnya dengan tidak memasukkan PMTB dan kredit modal usaha
adalah secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut merupakan outcome
dari penyesuaian suku bunga acuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Baseline model dari penelitian Beirne (2009) memperlihatkan variabel
pengangguran yang secara tidak langsung menandakan bahwa model yang
dibangun sesungguhnya menggunakan pendekatan kurva Phillips dengan
perluasan dan berdasarkan relasinya terhadap tingkat pengangguran. Pendekatan
kurva Phillips klasik ini digantikan dengan pendekatan NKPC sesuai landasan
teoritis yang digunakan dalam penelitian ini, dengan demikian, variabel tingkat
pengangguran digantikan dengan output gap sebagai driving force variable.
Alasan penggantian pendekatan kurva Phillips tersebut adalah building block dari
mikro ekonomi untuk pendekatan klasik masih perlu dipertanyakan. Sebaliknya,
74
pendekatan New Keynesian diturunkan dari landasan mikro ekonomi yang kuat,
yaitu konsumen memaksimumkan utilitasnya dan perusahaan memaksimumkan
keuntungannya terkait dengan kendal masing-masing dalam kerangka ekulibrium
harga yang fleksibel atau staggered price setting (Gali, 2002).
Konsekuensi dari penggunaan pendekatan NKPC adalah memasukkan
variabel ekspektasi inflasi yang cenderung merupakan unobservable component.
Guna menanggulangi masalah tersebut, Solikin (2004); Mehrotra et al. (2007);
Gali dan Gertler (2000); dan Gali et al. ((2001);(2005)) melakukan estimasi
dengan beberapa variabel instrumen diantaranya nilai tukar, suku bunga dan
output gap. Konsekuensi dengan membuat variabel ekspektasi inflasi sebagai
variabel endogen di bawah model regresi panel dinamis, akan menyebabkan
proses estimasi menjadi tidak efisien, karena harus ada variabel instrumen
tambahan lainnya. Merujuk pada penelitian Solikin dan Sugema (2004) yang
menyatakan bahwa ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh administered prices, harga
sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga, harga periode sebelumnya, dan
gaji PNS, maka variabel ekspektasi inflasi digantikan dengan faktor-faktor yang
memengaruhinya
kecuali
harga
sembako
dan
variabel-variabel
tersebut
dimasukkan ke dalam model.
Pembahasan mengenai inflasi sendiri tentu menjadi kurang lengkap tanpa
memasukkan variabel moneter jumlah uang beredar (M1), karena setidaknya
Friedman menyatakan bahwa inflasi merupakan suatu fenomena moneter. Secara
empiris, M1 dianggap sebagai determinan inflasi merujuk pada penelitian yang
dilakukan oleh Kwon et al. (2009). Selain perbedaan yang telah disampaikan
sebelumnya, dibanding penelitian Wimanda (2006), pendekatan yang digunakan
pada penelitian ini menggunakan data panel dengan memasukkan beberapa
variabel yang mewakili kebijakan moneter, kebijakan pemerintah pusat dan
daerah, sementara penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan parsial,
dengan analisis difokuskan pada variabel-variabel yang terkait dengan kebijakan
desentralisasi fiskal.
Berdasarkan uraian tersebut, maka model umum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
75
Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it
+ 7 BMit + 8 Git + j j  xj.it
dengan : P
........ (3.4)
: perubahan harga (inflasi)
OG
: output gap
IR
: perubahan suku bunga riil
M1
: perubahan jumlah uang beredar riil
XR
: perubahan nilai tukar nominal efektif
BM
: perubahan indeks harga BBM
W2
: kenaikan gaji PNS golongan terendah
G
: perubahan belanja pemerintah daerah
 xj.it
: perubahan dari variabel penjelas lainnya
subskrip (it) atau (i,t1) menandakan kondisi pada provinsi ke-i dan tahun ke-t
atau tahun sebelumnya. Variabel harga (P), output gap (OG), nilai tukar nominal
efektif (XR), jumlah uang beredar riil (M1), belanja pemerintah (G), indeks harga
BBM (BM ), dan gaji PNS (W2) dinyatakan dalam bentuk logaritma natural,
sementara untuk variabel suku bunga riil (IR) dinyatakan dalam bentuk
persentase. Perlu dicatat di sini, model umum pada persamaan (3.4) adalah dalam
bentuk first differencing, dengan demikian jika menggunakan data level, tanda
delta () harus dihilangkan.
Selanjutnya, model umum seperti dapat dilihat pada persamaan (3.4)
memunculkan lag inflasi sebagai variabel penjelas sehingga model yang
dikonstruksi merupakan model dinamis. Filosofi dari model dinamis ini merujuk
pada kurva Phillips versi New Keynesian (NKPC) dengan memasukkan unsur
ekspektasi inflasi dalam konstruksi model inflasi tersebut. Perdebatan muncul
berkenaan dengan ekspektasi inflasi apakah merupakan perilaku forward looking
atau cenderung bersifat backward looking. Terkait dengan perdebatan tersebut,
penelitian Wimanda et al. (2011) menunjukkan bahwa perilaku backward looking
lebih penting dibanding fenomena forward looking untuk kasus Indonesia.
Berdasarkan kajian empiris ini, dikonstruksi model dinamis dengan memasukkan
lag inflasi sebagai variabel penjelas seperti dapat dilihat pada persamaan (3.4).
Berdasarkan model umum pada persamaan (3.4) tersebut, kemudian
dikembangkan dua persamaan, yaitu model data panel dinamis non spasial dan
76
data panel spasial dinamis untuk menangkap dampak spasial dari keterkaitan antar
provinsi terhadap inflasi. Pada metode non spasial, upaya untuk menangkap
respon inflasi terhadap perubahan infrastruktur dilihat melalui interaksinya dengan
penyesuaian UMP yang mencerminkan mekanisme perubahan harga yang terjadi
melalui pasar tenaga kerja dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan yang
mewakili mekanisme harga melalui jalur perdagangan. Interaksi antara perubahan
kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP yang dimasukkan dalam formulasi
ini juga merupakan upaya untuk menangkap dampak spillover dari perubahan
kondisi infrastruktur terhadap pasar tenaga kerja secara spasial yang kemudian
berujung pada perubahan harga. Sedikit berbeda dengan model non spasial, pada
metode spasial yang menggunakan matrik penimbang spasial ditambah beberapa
instrumen untuk menangkap dampak spillover antar provinsi. Konsekuensi dari
formulasi tersebut adalah perubahan infrastruktur hanya dikaitkan dengan
perubahan derajat keterbukaan perdagangan saja dan untuk penyesuaian UMP
tidak diinteraksikan dengan perubahan kondisi infrastruktur karena telah
ditangkap sebelumnya oleh matrik penimbang spasial dan beberapa variabel
instrumen yang digunakan untuk lebih menangkap dampak spasial tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka spesifikasi model empiris yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it
+ 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it  ISit ) + 10 (OPit  ISit ) ... (3.5)
merupakan model dasar yang digunakan untuk regresi data panel dinamis non
spasial, sementara untuk model data panel spasial dinamis diturunkan spesifikasi
model spatial lag berikut :
Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit
+ 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit  ISit ) . (3.6)
dengan : W
: matrik penimbang spasial
WP
: pengaruh inflasi dari wilayah lainnya secara spasial
W1
: penyesuaian Upah Minimun Provinsi (UMP)
W1  IS : interaksi antara penyesuaian UMP dengan perubahan
kondisi infrastruktur
77
OP  IS : interaksi
antara
perubahan
derajat
keterbukaan
perdagangan dengan perubahan kondisi infrastruktur
dengan variabel Upah Minimun Provinsi (W1) dan kondisi infrastruktur (IS)
dinyatakan dalam bentuk logaritma natural, sementara untuk derajat keterbukaan
perdagangan (OP) dinyatakan dalam bentuk persentase.
Sesuai dengan landasan teoritis dan beberapa tinjauan empiris, koefisien 1 , 2 ,
4 , 5 ,6 , 7 , 8 dan 9 diharapkan bernilai positif (+), demikian pula dengan
1 , 2 , 3 , 5 , 6 , 7 , 8 , 9 dan 10 , sedangkan untuk 3 , 10 , 4 dan 11
diharapkan bernilai negatif ().
Selanjutnya, merujuk pada penelitian Prasertnukul et al. (2010), dengan
salah satu tujuannya untuk melihat dampak dari diterapkannya ITF, meskipun
pendekatan yang digunakan bukan dengan data panel, maka variabel yang akan
diteliti adalah bagaimana perilaku persistensi inflasi dan exchange rate pass
through (ERPT) sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan secara penuh pada
tahun 2005. Selain itu, akan dilihat juga bagaimana level inflasi sebelum dan
sesudah diterapkan ITF untuk melihat apakah kebijakan tersebut berhasil secara
signifikan dalam menurunkan tingkat inflasi. Guna menangkap perilaku dari
ketiganya, maka digunakan variabel dummy (DIT), yang kemudian digunakan
sebagai intersep dan juga dummy slope, yaitu dengan mengalikan dengan variabel
inflasi inersia (Pi,t1), yang merupakan pendekatan dari persistensi inflasi; dan
variabel nilai tukar atau exchange rate (XRit), sebagai proksi dari ERPT.
Konsekuensi dari masuknya beberap variabel dummy ini, maka dari baseline
model empiris untuk model dinamis non spasial pada persamaan (3.4) dapat
diturunkan model berikut :
Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it
+ 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it  ISit ) + 10 (OPit  ISit )
+ 1 DIT + 2 Pi,t1  DIT + 3 XRit  DIT
...... (3.7)
sementara untuk model spasial dinamis adalah
Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit
+ 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit  ISit )
+ 1 DIT + 2 Pi,t1  DIT + 3 XRit  DIT
...... (3.8)
78
dengan : nilai DIT = 0 untuk kondisi sebelum tahun 2005 dan
nilai DIT = 1 untuk periode tahun setelahnya.
Nilai koefisien yang mencerminkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan ITF
diterapkan, yaitu 1 , 2 dan 3 diharapkan negatif (). Hal ini sesuai dengan
tujuan dari ITF, yaitu menurunkan persistensi inflasi dan menurunkan ERPT, di
samping juga untuk melihat dampak kebijakan terhadap penurunan tingkat inflasi.
Berkenaan dengan hipotesis tentang perbedaan kondisi infrastruktur secara
simultan dengan trade openness akan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi
antara Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI, maka pada penelitian
ini akan difokuskan untuk melihat apakah perbedaan tersebut signifikan. Guna
menangkap perbedaan tersebut, seperti pada persamaan (3.7) dan (3.8), akan
digunakan variabel dummy slope yang menyatakan perbedaan kawasan.
Spesifikasi model empiris yang digunakan untuk melihat perbedaan kondisi
infrastruktur antara Jawa dengan luar Jawa adalah sebagai berikut :
Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it
+ 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it  ISit ) + 10 (OPit  ISit )
+ 1 (OPit  ISit ) DJW
...... (3.9)
Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit
+ 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit  ISit )
+ 1 (OPit  ISit ) DJW
...... (3.10)
dengan : nilai DJW = 0 untuk luar Jawa dan
nilai DJW = 1 untuk Jawa
sementara spesifikasi model empiris untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur
antara KBI dengan KTI adalah sebagai berikut :
Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it
+ 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it  ISit ) + 10 (OPit  ISit )
+ 2 (OPit  ISit ) DKTI
...... (3.11)
Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit
+ 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit  ISit )
+ 2 (OPit  ISit ) DKTI
...... (3.12)
79
dengan : nilai DKTI = 0 untuk KBI dan
nilai DKBI = 1 untuk KTI
nilai dari 1 diharapkan positif (+) untuk dummy Pulau Jawa, sebaliknya 2
diharapkan bernilai negatif () untuk dummy KTI.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal
dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan adalah data panel tahunan dari
seluruh provinsi di Indonesia, kecuali provinsi pemekaran sehingga jumlah
provinsi yang dianalisis adalah 26 provinsi, masing-masing dengan rentang waktu
tahun 1999 – 2009.
Adapun deskripsi dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian
ini seperti dapat dilihat pada persamaan (3.5) dan (3.6) adalah sebagai berikut :
1. Harga (P) diwakili dengan IHK ibukota provinsi sebagai proksi dari tingkat
harga pada level provinsi dan dinyatakan dalam bentuk logaritma natural.
Dasar penggunaan proksi ini adalah ibukota provinsi sebagai pusat
pertumbuhan yang akan memengaruhi daerah lainnya di luar ibukota provinsi.
2. Output aktual (Y) diproksi dengan PDRB atas dasar harga konstan (adhk).
Output potensial (YPOT) merupakan estimasi dari PDRB adhk dengan
metode detrending. Output gap (OG) selanjutnya diturunkan dengan
menghitung deviasi antara output aktual terhadap output potensialnya.
(OG = ln Y – ln YPOT). Terkait dengan proses estimasi output potensial, data
PDRB adhk yang digunakan adalah periode tahun 1983 – 2009, sementara
untuk analisis hanya menggunakan tahun 2000 – 2009.
3. Proksi dari nilai tukar (KURS) yang digunakan adalah kurs rupiah per
dolar AS, sementara dari nilai tukar nominal efektif (XR) dihitung dengan
membagi kurs dengan tingkat harga atau dalam bentuk logaritma natural
XR = ln KURS – P.
4. Proksi dari suku bunga nominal adalah suku bunga acuan dari BI (BI rate),
sementara suku bunga riil (IR) dihitung dengan persamaan Fisher, yaitu suku
bunga nominal dikurangi tingkat inflasi yang diharapkan (Mankiw, 2007).
Tingkat inflasi (e) yang diharapkan diproksi inflasi IHK periode sebelumnya.
80
5. Jumlah uang beredar (JUB) yang digunakan adalah jumlah uang beredar
dalam arti sempit. Jumlah uang beredar riil (M1) diproksi dengan membagi
besarnya jumlah uang beredar dalam arti sempit dengan tingkat harga. Dalam
bentuk logaritma natural M1 = ln JUB – P.
6. Pengeluaran belanja pemerintah daerah secara nominal (GEXP) dihitung
dengan menjumlahkan seluruh belanja pemerintah daerah untuk barang dan
jasa pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam satu provinsi, sementara
belanja riil (G) diperoleh dengan membagi belanja nominal dengan tingkat
harga. Dalam bentuk logaritma natural G = ln GEXP – P.
7. Indeks Harga BBM (BM) merupakan proksi dari administred prices yang
dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Indeks harga ini dikonstruksi dari
perkembangan harga bensin premium, harga solar dan harga minyak tanah
berdasarkan nilai konsumsi masing-masing dan tidak diterbitkan secara resmi
oleh BPS.
8. Upah minimum nominal diproksi dengan dua variabel, yaitu besarnya gaji
PNS terendah (GPNS) dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Upah minimum
riil untuk sektor swasta (W1) dan pemerintah (W2) masing-masing dihitung
dengan membagi upah minimum nominal dengan tingkat harga, atau dalam
bentuk logaritma natural W1 = ln UMP – P dan W2 = ln GPNS – P.
9. Kondisi infrastruktur (IS) diwakili oleh infrastruktur jalan raya, dengan
diproksi dengan panjang jalan raya dengan kondisi baik (km) dibagi dengan
luas wilayah (km2) dan kemudian dinyatakan dalam bentuk logaritma natural.
Proksi ini mengacu pada pendekatan yang telah banyak diterapkan dalam
beberapa penelitian, termasuk oleh Asian Development Bank (ADB).
10. Derajat keterbukaan perdagangan (trade openness) diproksi dengan membagi
nilai total trade (nilai ekspor ditambah impor) dengan total output. Nilai
ekspor dan impor dimaksud diambil dari data PDRB menurut penggunaan,
sementara total output menggunakan PDRB total, keduanya pada tingkat
provinsi dan dinyatakan merupakan PDRB nominal atau PDRB atas dasar
harga berlaku (adhb).
Secara umum, sumber data dan data dasar yang akan digunakan dalam
analisis dirangkum dalam tabel berikut :
81
Tabel 5. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis
No. Variabel
Keterangan
Sumber
1. IHK
rebasing : tahun dasar 2000
BPS : diolah
2. PDRB adhk
rebasing : tahun dasar 2000 (jutaan rupiah)
BPS : diolah
3. KURS
Rupiah per dolar AS
BI
4. Suku bunga
BI rate (%)
BI
5. Jumlah uang beredar
Jumlah uang beredar dalam arti sempit/M1 *)
BI
6. Indeks Harga BBM
rebasing : tahun dasar 2000
BPS : diolah
7. Upah Minimum
Provinsi (UMP)
Dalam rupiah
Kemenakertrans
8. Gaji PNS terendah
Dalam rupiah
Kemenkeu
Panjang jalan raya dengan kondisi baik (km)
BPS
9.
Panjang jalan
2
10. Luas wilayah
Dalam km
BPS
11. Ekspor
Nilai ekspor dari PDRB menurut penggunaan
atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah)
BPS
12. Impor
Nilai impor dari PDRB menurut penggunaan
atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah)
BPS
13. PDRB adhb
PDRB atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah)
BPS
14. IRIO 2005
Digunakan sebagai matriks penimbang spasial
model spatial lag (W)
Bappenas
& BPS : diolah
Keterangan : *) jumlah uang beredar pada level nasional
Selanjutnya, mengingat keterbatasan data untuk jumlah uang beredar pada
tingkat provinsi, maka dilakukan estimasi dengan metode proporsi jumlah uang
beredar dalam arti sempit pada level nasional dengan alokator yang digunakan
adalah PDRB atas dasar harga berlaku (adhb) menurut provinsi. Estimasi ini
merujuk pada teori kuantitas uang, yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar
berbanding lurus dengan aktivitas perekonomian yang diproksi dengan PDRB atas
dasar harga berlaku. Alasan lain dalam penggunaan indikator PDRB atas dasar
harga berlaku menurut provinsi sebagai pendekatan dari jumlah uang beredar
menurut provinsi adalah korelasinya yang tinggi dengan jumlah uang beredar pada
level nasional.
3.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut di
atas, maka hipotesis yang diajukan untuk kondisi Indonesia adalah:
1. Inflasi inersia memberikan peran yang positif dan signifikan dalam
pembentukan inflasi.
82
2. Kesenjangan output (output gap) tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pembentukan inflasi.
3. Perbaikan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan peningkatan
derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap volatilitas inflasi.
4. Perbedaan laju peningkatan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan
derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi
yang signifikan antara Jawa dengan luar Jawa dan antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
5. Pergerakan nilai tukar dolar AS memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap volatilitas inflasi .
6. Pengaruh penetapan upah minimum provinsi (UMP) tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas inflasi.
7. Peningkatan belanja pemerintah daerah memberikan pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap volatilitas inflasi.
8. Penyesuaian harga BBM yang memberikan pengaruh positif dan signifikan
terhadap volatilitas inflasi .
9. Penyesuaian gaji PNS yang dilakukan memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap volatilitas inflasi .
10. Penyesuaian suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia memberikan
pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi.
11. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) memberikan pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap volatilitas inflasi.
12. Penargetan inflasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi dan exchange rate pass
through (ERPT).
IV. GAMBARAN UMUM
4.1 Dinamika Inflasi Regional
Sepanjang tahun 2000 – 2009, terlihat tingkat inflasi Indonesia pada
tingkat nasional selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78%
terjadi pada tahun 2009 saat harga BBM diturunkan oleh pemerintah dan tertinggi,
yaitu mencapai 17,11% ketika dilakukan penyesuaian harga BBM tahun 2005
(Gambar 1.1). Tidak berbeda dengan kondisi inflasi tingkat nasional, pada tataran
provinsi juga terjadi inflasi yang selalu bernilai positif dalam kurun waktu yang
sama di seluruh provinsi Indonesia. Selama periode tahun 2000 – 2009, tercatat
inflasi tertinggi terjadi di NAD, yaitu sebesar 41,12% pada tahun 2005 dan
terendah terjadi di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2003 dengan inflasi
sebesar 0,69% (Gambar 8). Khusus untuk NAD, demikian tingginya inflasi di
provinsi ini dibanding provinsi lainnya pada tahun 2005 terkait erat dengan
kondisi pasca bencana tsunami yang menyebabkan rusaknya sebagian
infrastruktur di provinsi tersebut, ditambah dengan adanya penyesuaian harga
BBM bersubsidi yang naik melebihi 80%.
Secara umum, jika dibandingkan dengan rata-rata inflasi untuk setiap
provinsi sebagaimana ditunjukkan oleh garis berwarna merah pada Gambar 8,
dapat dilihat bahwa inflasi pada tahun 2005 dan 2008 untuk semua provinsi di
Indonesia melebihi rata-rata inflasi tahun 2000–2009. Selain kedua tahun tersebut,
inflasi pada tahun 2001 juga hampir menyebabkan tingkat inflasi di hampir semua
provinsi lebih tinggi dibanding rata-rata inflasi dalam sepuluh tahun terakhir,
kecuali untuk provinsi Kalimantan Selatan. Kondisi yang hampir menyerupai
tahun 2001 adalah inflasi tahun 2002, dapat dilihat, kecuali lima provinsi, yaitu
NAD, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTB, tingkat
inflasi pada setiap provinsi melebihi rata-rata inflasi tahun 2000 – 2009. Lebih
lanjut, tingkat inflasi yang lebih tinggi dari tingkat rata-ratanya juga terjadi
setidaknya di lebih dari separuh provinsi di Indonesia pada tahun 2000.
Visualisasi dari kondisi inflasi di setiap provinsi untuk tahun 2000 – 2009 secara
rinci dapat dilihat pada Gambar 8.
84
SUMBAR
30
15
10
5
0
5
0
5
25
20
25
20
15
15
15
10
5
0
10
5
10
5
0
15
10
Inflasi (%)
2008
2004
2006
2008
2006
2004
2002
2008
2008
2008
2006
2004
2008
2006
2004
2002
2000
2008
2006
2002
2000
2008
2006
2004
2002
2002
2004
2006
2008
2006
2008
2004
2002
2000
2008
2006
2004
2002
MALUKU
PAPUA
30
25
20
15
10
2004
2008
2006
2004
2002
5
0
2002
2008
2000
2006
2006
2002
2004
2004
2002
2000
2000
2000
2000
2006
2008
2008
2006
5
0
30
25
20
15
10
2006
2004
2002
SULTRA
30
25
20
15
10
5
0
2000
2008
2004
2002
NTT
30
25
20
15
10
5
0
2006
2002
2000
2004
NTB
30
25
20
15
10
5
0
2000
2008
2006
2004
2002
2000
5
0
KALTIM
30
25
20
15
10
5
0
SULSEL
30
25
20
15
10
5
0
BALI
30
25
20
15
10
5
0
KALSEL
30
25
20
15
10
5
0
SULTENG
30
25
20
15
10
2000
2008
2008
2008
2006
2002
2004
2004
2002
2000
2008
2006
2004
2002
2000
KALTENG
30
25
20
15
10
5
0
SULUT
30
25
20
15
10
5
0
2000
2008
2006
2004
2002
2000
KALBAR
30
25
20
15
10
5
0
JATIM
30
25
20
15
10
5
0
10
5
0
5
0
JABAR
2000
20
15
10
2006
DIY
30
25
20
15
5
0
30
25
20
15
10
5
0
2006
2002
2000
JATENG
2004
DKI
30
25
20
15
10
5
0
30
25
2004
2002
2000
2008
2006
2004
2002
2000
0
LAMPUNG
30
25
20
2002
2000
2008
2006
2004
2002
BENGKULU
30
25
20
2000
SUMSEL
0
2000
2000
2008
15
10
2006
15
10
2004
25
20
2002
25
20
30
RIAU
30
25
20
2008
JAMBI
30
SUMUT
30
2006
2002
2000
2004
NAD
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Rata-rata Inflasi (%)
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 8. Inflasi Indonesia menurut provinsi tahun 2000 – 2009.
85
Terkait dengan kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation
targeting framework/ITF) yang diterapkan oleh BI secara penuh sejak tahun 2005,
maka dari masing-masing provinsi dapat dilihat bagaimana perilaku inflasi
sebelum dan sesudah kebijakan yang mengacu pada Undang-undang Nomor 3
tahun 2004 tersebut dilaksanakan, dibandingkan dengan rata-rata inflasi selama
tahun 2000 – 2009. Tujuan dari ulasan ini adalah untuk melihat secara sekilas,
sampai sejauh mana hasil penerapan kebijakan ITF di Indonesia, yaitu dengan
melihat membandingkan jumlah tahun dengan tingkat inflasi di atas rata-rata
inflasi tahun 2000 – 2009 untuk masing-masing periode tahun 2000 – 2004 dan
periode tahun 2005 - 2009, di setiap provinsi sebagaimana diperlihatkan disajikan
pada Gambar 8.
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa jumlah tahun dengan
tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi, lebih sedikit untuk periode setelah
pelaksanaan kebijakan ITF dibanding sebelumnya terjadi di 11 provinsi, yaitu
Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua. Sementara
untuk jumlah tahun dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi sama
untuk periode tahun 2005 – 2009 dibanding periode tahun 2000 – 2004, juga
tercatat sebanyak 11 provinsi, terdiri dari Sumatera Utara, Jambi, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTT. Lebih lanjut, untuk jumlah tahun
dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi, tercatat lebih banyak
dibandingkan periode sebelum diterapkannya kebijakan penargetan inflasi dialami
oleh 4 provinsi, diantaranya NAD, DIY, Kalimantan Selatan dan NTB.
Merujuk dari hasil pengamatan, kebijakan yang bertujuan untuk
menurunkan tingkat inflasi tersebut terlihat cukup efektif pada 11 provinsi, namun
tidak memberikan manfaat di 4 provinsi karena tingkat inflasi setelah kebijakan
ITF diterapkan tidak lebih baik dibanding kondisi sebelumnya, sedang pada
11 provinsi lainnya tidak berbeda. Berdasarkan ulasan tersebut, secara umum
dapat disimpulkan bahwa dampak setelah diterapkannya kebijakan ITF di
Indonesia belum cukup berhasil dibanding periode sebelumnya.
86
Tabel 6. Inflasi menurut pulau dan kelompok pulau tahun 2000 - 2009
Pulau /
Kelompok Pulau
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
1. Jawa
9.27
12.69
10.78
5.58
6.45
16.23
6.72
6.35
11.09
2.36
2. Luar Jawa
3.19
II. Kelompok Pulau
9.23
12.80
10.62
4.78
6.65
18.28
7.44
7.88
12.61
a. Sumatra
9.13
13.32
10.78
4.85
6.86
23.33
7.64
7.53
12.82
2.85
b. Kalimantan
9.06
10.63
9.28
6.44
6.58
14.06
7.78
8.39
12.48
3.20
c. Sulawesi
10.11
14.14
11.87
3.03
6.46
17.93
7.94
7.92
12.58
3.57
d. Lainnya
8.85
12.69
10.45
4.84
6.54
14.63
6.49
8.00
12.42
3.39
II. Wilayah Pembangunan
1. KBI
9.20
12.43
10.55
5.40
6.62
18.40
7.20
7.26
12.13
2.83
2. KTI
9.48
13.99
11.22
3.77
6.65
16.97
7.63
8.16
12.73
3.33
Sumber : BPS (diolah)
Selanjutnya, dari Tabel 6 dapat dilihat tingkat inflasi antar pulau atau
kelompok pulau yang diperoleh dari metode rata-rata tertimbang untuk inflasi dari
setiap tahunnya untuk melihat dinamika inflasi di Indonesia menurut pembagian
wilayah. Hasil rata-rata tertimbang pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sepanjang
tahun 2000 – 2009, inflasi di Jawa cenderung lebih rendah dibanding inflasi di
luar Jawa. Sementara jika dirinci menurut pembagian wilayah pembangunan,
yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dapat
dilihat pula bahwa inflasi untuk wilayah KBI cenderung lebih rendah dari KTI,
kecuali untuk tahun 2003 dan 2005. Lebih tingginya inflasi KBI dibanding KTI
pada tahun 2005 erat kaitannya dengan kondisi pasca bencana tsunami di NAD
yang menyebabkan inflasi mencapai 41,12% pada tahun 2005, sementara pada
tahun 2003 terkait erat dengan inflasi di Sulawesi Utara yang demikian rendah,
yaitu hanya 0,69%, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.
Masih dari Tabel 6, jika dirinci menurut lima pulau/kelompok pulau besar,
yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan kelompok pulau lainnya, dapat
dilihat bahwa dalam kurun 10 tahun penelitian ini, Pulau Jawa sempat mengalami
tingkat inflasi terendah dibanding pulau-pulau lainnya, yaitu pada tahun 2004 dan
tahun 2007 – 2009. Demikian pula untuk Kalimantan, Sulawesi dan kelompok
pulau lainnya sempat mengalami tingkat inflasi terendah dibanding pulau-pulau
lainnya pada 1 atau 2 tahun untuk tahun 2000 – 2003 dan tahun 2005 – 2006,
sementara untuk Pulau Sumatera tidak pernah mengalami inflasi terendah
dibanding pulau-pulau lainnya.
Jabar
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
0,89
0,83
0,87
0,77
0,78
0,74
0,80
0,62
0,71
0,73
0,77
0,71
0,81
0,83
0,55
0,84
0,86
0,84
0,53
0,91
0,91
0,88
0,93
0,90
0,88
0,85
0,81
0,77
0,70
0,72
0,81
0,87
0,86
0,81
0,70
0,92
0,89
0,91
0,68
0,90
0,89
1,00
0,86
0,91
0,93
0,98
0,96
0,94
0,93
0,87
0,86
0,83
0,91
0,79
0,88
0,89
0,80
0,73
0,93
0,94
0,73
0,85
0,91
0,86
0,78
0,77
0,88
0,86
1,00
0,83
0,92
0,80
0,86
0,96
0,96
0,93
0,85
0,96
0,89
0,89
0,70
0,85
0,88
0,90
0,90
0,82
0,88
0,85
0,91
0,91
0,84
0,80
0,81
0,91
0,83
1,00
0,91
0,86
0,84
0,87
0,88
0,87
0,94
0,82
0,83
0,80
0,91
0,78
0,87
0,79
0,89
0,91
0,77
0,78
0,93
0,84
0,81
0,86
0,95
0,93
0,92
0,91
1,00
0,91
0,93
0,94
0,93
0,95
0,95
0,91
0,89
0,91
0,83
0,80
0,86
0,90
0,95
0,89
0,82
0,94
0,94
0,93
0,87
0,92
0,91
0,98
0,80
0,86
0,91
1,00
0,98
0,91
0,91
0,86
0,82
0,80
0,88
0,72
0,80
0,84
0,77
0,73
0,90
0,92
0,71
0,86
0,87
0,87
0,69
0,89
0,91
0,96
0,86
0,84
0,93
0,98
1,00
0,95
0,92
0,91
0,82
0,88
0,93
0,80
0,76
0,88
0,81
0,81
0,94
0,93
0,80
0,91
0,89
0,94
0,75
DKI
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
0,83
0,88
0,94
0,96
0,87
0,94
0,91
0,95
1,00
0,95
0,93
0,86
0,95
0,96
0,89
0,80
0,93
0,85
0,85
0,95
0,91
0,85
0,87
0,93
0,93
0,85
0,87
0,93
0,93
0,96
0,88
0,93
0,91
0,92
0,95
1,00
0,94
0,86
0,89
0,87
0,79
0,74
0,85
0,87
0,84
0,89
0,85
0,84
0,84
0,90
0,90
0,77
0,77
0,90
0,87
0,93
0,87
0,95
0,86
0,91
0,93
0,94
1,00
0,92
0,91
0,86
0,86
0,71
0,81
0,90
0,93
0,88
0,81
0,92
0,87
0,87
0,94
0,85
0,78
0,88
0,86
0,85
0,94
0,95
0,82
0,82
0,86
0,86
0,92
1,00
0,85
0,78
0,88
0,87
0,71
0,84
0,89
0,87
0,82
0,77
0,83
0,90
0,86
0,86
0,74
0,85
0,83
0,96
0,82
0,91
0,80
0,88
0,95
0,89
0,91
0,85
1,00
0,92
0,92
0,70
0,85
0,86
0,94
0,94
0,87
0,88
0,87
0,94
0,96
0,83
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
0,80
0,81
0,91
0,89
0,83
0,89
0,88
0,93
0,96
0,87
0,86
0,78
0,92
1,00
0,86
0,76
0,96
0,86
0,78
0,94
0,93
0,83
0,88
0,91
0,92
0,82
0,62
0,77
0,79
0,89
0,80
0,91
0,72
0,80
0,89
0,79
0,86
0,88
0,92
0,86
1,00
0,79
0,78
0,76
0,86
0,91
0,81
0,82
0,86
0,87
0,84
0,96
0,71
0,70
0,88
0,70
0,91
0,83
0,80
0,76
0,80
0,74
0,71
0,87
0,70
0,76
0,79
1,00
0,73
0,63
0,60
0,83
0,85
0,56
0,67
0,82
0,67
0,81
0,73
0,72
0,89
0,85
0,78
0,80
0,84
0,88
0,93
0,85
0,81
0,71
0,85
0,96
0,78
0,73
1,00
0,81
0,68
0,85
0,85
0,79
0,74
0,82
0,84
0,78
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
0,77
0,81
0,80
0,88
0,87
0,86
0,77
0,81
0,85
0,87
0,90
0,84
0,86
0,86
0,76
0,63
0,81
1,00
0,86
0,82
0,80
0,87
0,81
0,88
0,91
0,74
0,71
0,87
0,73
0,90
0,79
0,90
0,73
0,81
0,85
0,84
0,93
0,89
0,94
0,78
0,86
0,60
0,68
0,86
1,00
0,85
0,75
0,86
0,85
0,88
0,94
0,76
0,81
0,86
0,93
0,90
0,89
0,95
0,90
0,94
0,95
0,89
0,88
0,87
0,94
0,94
0,91
0,83
0,85
0,82
0,85
1,00
0,97
0,82
0,91
0,96
0,93
0,84
0,83
0,81
0,94
0,82
0,91
0,89
0,92
0,93
0,91
0,85
0,81
0,82
0,87
0,93
0,81
0,85
0,85
0,80
0,75
0,97
1,00
0,75
0,85
0,95
0,88
0,75
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
0,55
0,70
0,73
0,88
0,77
0,82
0,71
0,80
0,85
0,84
0,92
0,77
0,88
0,83
0,82
0,56
0,79
0,87
0,86
0,82
0,75
1,00
0,76
0,77
0,87
0,84
0,84
0,92
0,85
0,85
0,78
0,94
0,86
0,91
0,87
0,84
0,87
0,83
0,87
0,88
0,86
0,67
0,74
0,81
0,85
0,91
0,85
0,76
1,00
0,88
0,91
0,77
0,86
0,89
0,91
0,91
0,93
0,94
0,87
0,89
0,93
0,90
0,87
0,90
0,94
0,91
0,87
0,82
0,82
0,88
0,88
0,96
0,95
0,77
0,88
1,00
0,93
0,77
0,84
0,91
0,86
0,91
0,84
0,93
0,87
0,94
0,93
0,90
0,94
0,86
0,96
0,92
0,84
0,67
0,84
0,91
0,94
0,93
0,88
0,87
0,91
0,93
1,00
0,75
0,53
0,68
0,78
0,84
0,81
0,87
0,69
0,75
0,85
0,77
0,85
0,86
0,83
0,82
0,96
0,81
0,78
0,74
0,76
0,84
0,75
0,84
0,77
0,77
0,75
1,00
Sulteng
DKI
0,92
0,95
Sulut
Lampung
0,86
0,81
Kaltim
Bengkulu
0,80
0,88
Kalsel
Sumsel
0,77
0,89
Kalteng
Jambi
0,90
1,00
Kalbar
Riau
0,94
0,94
Jatim
Sumbar
1,00
DIY
Sumut
NAD
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Provinsi
Jateng
NAD
Tabel 7. Korelasi inflasi antar provinsi tahun 2000 – 2009
Sumber : BPS (diolah)
87
88
Sangat disadari bahwa dalam tataran provinsi, pergerakan barang dapat
dengan leluasa melewati batas administrasi tanpa harus melewati proses
kepabeanan yang cukup rumit layaknya kegiatan ekspor – impor antar negara.
Oleh karena itu sangat dimungkinkan terjadinya proses saling memengaruhi harga
antar provinsi, dimana suatu provinsi dapat berperan sebagai produsen maupun
konsumen. Dalam proses tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung akan
berpengaruh pada tingkat inflasi pada setiap provinsi sehingga inflasi yang terjadi
di suatu provinsi sangat mungkin dipengaruhi oleh inflasi dari provinsi lain dan
sebaliknya, bisa juga memengaruhi inflasi di provinsi lainnya. Perlu difahami
bahwa pengaruh inflasi suatu provinsi ke provinsi lain dan sebaliknya belum tentu
simentris mengingat adanya perbedaan struktur ekonomi antar provinsi.
Tabel 7 memperlihatkan bagaimana keterkaitan antar inflasi dari seluruh
provinsi di Indonesia untuk tahun 2000 – 2009, yang dihitung dengan koefisien
korelasi Pearson. Berdasarkan tabel tersebut provinsi-provinsi dalam Pulau Jawa
menunjukkan keterkaitan inflasi antar provinsi yang sangat kuat, karena
setidaknya koefisien korelasi mencapai 0,85; sementara pulau atau kelompok
pulau lainnya dapat dilihat pula keterkaitan inflasi yang cukup kuat hingga sangat
kuat untuk pulau atau kelompok pulau lainnya, dengan koefisien korelasi minimal
sebesar 0,73. Kemudian, tanpa melihat kelompok pulau, dapat dilihat bahwa
inflasi dari DKI Jakarta dan Sumatera Selatan memiliki keterkaitan yang kuat
dengan inflasi provinsi lainnya, terbukti dari koefisien korelasi minimal dari
kedua provinsi tersebut yang mencapai 0,80. Secara umum, keterkaitan inflasi
antar provinsi pada hampir seluruh provinsi lainnya selain DKI Jakarta dan
Sumatera Selatan cukup kuat atau bahkan sangat kuat, dengan ditunjukkan oleh
koefisien korelasi yang tidak kurang dari 0,60; kecuali antara NAD dengan Bali
dan Papua serta antara Bali dengan Kalimantan Selatan yang menunjukkan
keterkaitan yang kurang kuat karena koefisien korelasinya kurang dari 0,60.
Berdasarkan ulasan ini, secara implisit keterkaitan inflasi antar provinsi
menyatakan bahwa inflasi yang terjadi di suatu provinsi tidak hanya disebabkan
oleh perubahan harga di provinsi bersangkutan tetapi juga terkait dengan
perubahan harga dari provinsi lainnya dan demikian pula berlaku kondisi
sebaliknya.
89
4.2 Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar
Pihak otoritas moneter bisa menggunakan beberapa instrumen kebijakan
moneter demi mencapai tujuan yang diinginkan seperti memacu pertumbuhan
ekonomi, mengendalikan harga atau tingkat inflasi maupun melakukan stabilisasi
nilai tukar. Beberapa instrumen yang bisa digunakan diantaranya adalah
penetapan suku bunga acuan, pengendalian jumlah uang beredar, baik secara
langsung melalui penambahan atau pengurangan monetary base atau secara tidak
langsung dengan menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM). Disamping itu,
beberapa kebijakan moneter lainnya yang bersifat persuasif juga dibuat sebagai
alternatif dari beberapa instrumen yang telah umum dilaksanakan.
600
17
500
14
400
11
300
8
200
5
100
Jan-03
Apr-03
Jul-03
Oct-03
Jan-04
Apr-04
Jul-04
Oct-04
Jan-05
Apr-05
Jul-05
Oct-05
Jan-06
Apr-06
Jul-06
Oct-06
Jan-07
Apr-07
Jul-07
Oct-07
Jan-08
Apr-08
Jul-08
Oct-08
Jan-09
Apr-09
Jul-09
Oct-09
(%)
20
ORI
Deposito
Investasi
BI Rate
M1 (triliun rupiah) : sumbu kanan
Sumber : Bank Indonesia
Gambar 9. Perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar (M1)
tahun 2003 – 2009.
Terkait dengan kebijakan moneter di Indonesia yang notebenenya
merupakan satu kesatuan sistem moneter, sub bab ini dibatasi hanya membahas
mengenai suku bunga acuan (BI rate) dan jumlah uang beredar dalam arti sempit
90
(M1) dan bagaimana beberapa suku bunga lainnya di Indonesia. Tujuan dari
pembahasan ini adalah untuk melihat sampai dimana instrumen kebijakan moneter
yang dirancang oleh Bank Indonesia dapat memengaruhi perilaku dari beberapa
variabel moneter lainnya, seperti suku bunga simpanan (suku bunga deposito),
suku bunga pinjaman (suku bunga investasi), jumlah simpanan (tabungan) dan
jumlah kredit (pinjaman) di Indonesia.
Merujuk pada Gambar 9 dapat dilihat, sejak Agustus 2006 sampai
Desember 2009, suku bunga acuan (BI rate) harus bersaing dengan hadirnya
obligasi pemerintah yang diwakili oleh Obligasi Ritel Indonesia (ORI). Secara
umum, imbal hasil yang diberikan oleh ORI dalam kurun waktu tersebut lebih
besar dibanding suku bunga acuan yang ditetapkan oleh otoritas moneter kecuali
pada November 2008. Tingginya imbal hasil yang diberikan oleh ORI, relatif
terhadap besarnya BI rate dapat menyebabkan instrumen kebijakan moneter tidak
dapat bekerja sesuai yang diharapkan sehingga dikhawatirkan target makro
ekonomi yang merupakan tujuan akhir dari kebijakan moneter tidak akan tercapai.
Kekhawatiran ini tentu saja cukup beralasan mengingat suku bunga deposito yang
dirancang untuk menghimpun dana masyarakat dan kemudian digulirkan kembali
dalam bentuk pinjaman atau kredit, selalu lebih rendah dibandingkan imbal hasil
yang diberikan oleh ORI. Akibat kondisi ini, sangat dimungkinkan bila sebagian
dana masyarakat tersebut kemudian dapat beralih ke obligasi pemerintah yang
menawarkan keuntungan yang lebih tinggi.
Adanya peralihan dana masyarakat dari deposito ke ORI dalam jangka
panjang bisa menyebabkan terjadinya kekeringan likuiditas moneter dan sektor
perbankan tentunya akan mengalami kesulitan dalam menarik dana masyarakat
sehingga pihak perbankan akan berfikir ulang untuk bisa menyalurkan kredit, baik
untuk investasi maupun untuk modal usaha. Akibatnya kekeringan likuiditas ini,
sektor perbankan akan menetapkan tingkat suku bunga yang cukup tinggi untuk
suku bunga pinjaman. Sangat disadari bahwa, dengan tingginya suku bunga
pinjaman ini, di satu sisi dapat meredam tingkat inflasi yang tinggi, namum
demikian, di sisi lain tentu saja akan membuat sektor riil akan mengalami
kesulitan untuk melakukan ekspansi dan hal ini akan membuat roda perekonomian
akan mengalami perlambatan.
91
Mekanisme transmisi yang secara implisit telah disampaikan sebelumnya
sesungguhnya dapat dilihat dari perilaku suku bunga simpanan yang diwakili oleh
suku bunga deposito dari bank umum sangat mirip dengan perilaku dari suku
bunga acuan (BI rate), artinya fluktuasi dari suku bunga deposito mengikuti
pergerakan dari BI rate. Secara implisit, pergerakan ini mengisyaratkan bahwa
instrumen kebijakan moneter dalam bentuk penetapan BI rate cukup efektif dalam
memengaruhi suku bunga deposito. Sayangnya, instrumen kebijakan moneter
tersebut tidak cukup efektif dalam memengaruhi suku bunga investasi. Hal ini bisa
dilihat dari besarnya margin antara suku bunga investasi dengan BI rate yang
secara rata-rata mencapai 5,46% sepanjang tahun 2000 – 2009, sementara margin
antara suku bunga deposito dengan suku bunga acuan BI hanya sebesar 0,58%
untuk periode yang sama. Sebaliknya, margin antara suku bunga investasi dengan
imbal hasil yang diberikan oleh ORI lebih rendah dibanding margin antara suku
bunga investasi dengan BI rate, yaitu rata-rata sebesar 3,25%.
Masih dari Gambar 9, dapat dilihat tren pertumbuhan M1 (jumlah uang
beredar dalam arti sempit) yang terus meningkat sejak Januari 2003 sampai
Desember 2009. Seiring dengan M1 penambahan M1, suku bunga investasi
menunjukan tren penurunan yang cukup signifikan, dari sebelumnya sekitar 17%
pada Januari 2003 hingga mencapai sebesar 13%-an pada akhir tahun 2009.
Berbeda dengan suku bunga investasi, pengaruh dari penambahan M1 pada suku
bunga deposito tidak terlalu terlihat karena pergerakan suku bunga deposito
sepanjang tahun 2003 – 2009 tidak menunjukkan tren yang meningkat atau
menurun. Kondisi ini tentu saja terkait erat dengan pengaruh dari suku bunga
acuan dari BI yang sangat kuat terhadap suku bunga deposito sebagaimana telah
disampaikan sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan ini maka dapat ditarik kesimpulan sementara
bahwa baik suku bunga acuan BI maupun M1 hanya memberikan pengaruh yang
cukup signifikan terhadap salah satu dari dua variabel moneter yang diteliti saja
namun tidak pada keduanya. Konsekuensinya, baik pengaruh BI rate maupun M1
relatif kecil, khususnya terhadap seluruh variabel moneter dan bukan tidak
mungkin jika pengaruh keduanya terhadap variabel makro ekonomi lainnya juga
relatif kecil.
0
Simpanan
0
40
NTT
8
0
Kalsel
50
5
0
Sulsel
5
30
4
20
5
2
10
1
0
0
0
0
Maluku
6
Sultra
3
2
25
20
4
10
2
2
5
0
0
Papua
15
0
2009
2009
10
2009
20
50
2009
100
5
2008
10
2008
60
2008
30
2008
40
2007
150
2007
15
2007
90
2006
2009
2008
2007
2006
0
2006
0
2005
5
0
2005
2
2004
10
2004
25
2005
Jatim
2003
4
2003
2009
2009
2007
2008
Jabar
2008
2007
30
2004
2009
2008
2007
2006
Bengkulu
2003
2009
2008
2007
2006
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2009
2008
2007
2006
2005
0
2007
0
2004
0
2006
3
2005
15
0
2006
4
2003
30
5
2005
5
60
2005
10
2004
2009
2008
2007
2006
2005
10
20
2004
6
15
45
2004
Sulteng
2003
2009
2008
2007
6
2003
8
Sumbar
2003
6
2009
9
10
2008
15
15
2007
20
2006
200
2006
0
2005
0
2006
50
0
2005
100
200
2005
250
2005
150
400
2004
600
2004
200
2004
Kalteng
2003
800
2004
DIY
2003
2009
2008
2007
DKI
2003
2009
2008
2007
20
2003
2009
2008
2007
8
2009
4
2
Sumsel
2008
4
2006
40
2007
6
2006
40
2006
10
20
2005
8
6
Sumut
2004
8
2004
2003
80
2003
NTB
2009
10
2009
15
2008
10
2008
Sulut
2007
12
2007
Kalbar
2006
30
2006
20
2006
1000
2006
Jateng
2005
0
2005
5
2005
10
2005
50
2005
Jambi
2004
2003
0
2004
2003
2009
2008
2007
2006
5
2004
2009
2008
2007
2005
100
2005
0
2003
2009
2008
2007
2006
10
2004
2003
2009
2008
2007
2006
2004
2003
NAD
2004
2003
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
15
2004
2003
2009
2008
2007
10
2006
20
2006
20
2005
2004
2003
120
2005
2004
2003
15
2005
2004
2003
20
2005
2004
2003
92
Riau
60
20
Lampung
15
10
Bali
0
40
Kaltim
30
20
10
0
Kredit
Sumber : Bank Indonesia
Gambar 10. Perkembangan jumlah simpanan dan kredit menurut provinsi
tahun 2003 – 2009 (dalam triliun rupiah).
93
Selanjutnya, dari Gambar 10 dapat dilihat bagaimana pengaruh tidak
langsung dari instrumen moneter seperti penetapan BI rate dan penambahan M1
terhadap jumlah simpanan (tabungan) dan jumlah kredit (pinjaman) pada seluruh
provinsi di Indonesia dalam kurun tahun 2003 – 2009. Secara umum, baik jumlah
simpanan maupun jumlah kredit pada setiap provinsi terus menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali untuk jumlah simpanan pada NAD yang
sempat mengalami penurunan pada tahun 2007 dan tahun 2009 serta pada
Provinsi Bengkulu pada tahun 2009, masing-masing dibanding periode
sebelumnya. Secara rata-rata, pertumbuhan jumlah simpanan dari setiap provinsi
berkisar antara 13%  25%, sementara pertumbuhan jumlah kredit mencapai
sekitar 19% – 35%, untuk periode tahun 2003 – 2009. Tingkat pertumbuhan
terendah untuk jumlah simpanan terjadi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa,
yaitu 13% – 15% untuk pertumbuhan simpanan, sementara untuk pertumbuhan
jumlah kredit terendah, yaitu sekitar 19% – 23% terjadi pada provinsi-provinsi di
Pulau Jawa, Sumatera Barat, Riau dan Bali. Diduga, pertumbuhan kredit yang
cukup tinggi terkait erat dengan penurunan tingkat suku bunga investasi
sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, sementara rendahnya pertumbuhan
simpanan secara relatif dibanding pertumbuhan kredit berhubungan dengan
tingkat suku bunga deposito yang tidak menunjukkan adanya tren meningkat.
Meski pertumbuhan jumlah kredit secara relatif terhadap jumlah simpanan
lebih tinggi di setiap provinsi di Indonesia dalam kurun tahun 2003 – 2009, namun
secara absolut, jumlah kredit yang lebih tinggi dibanding jumlah simpanan hanya
terjadi di 14 provinsi dan umumnya terjadi pada tahun 2008 atau 2009 saja. Untuk
11 provinsi lainnya, yaitu NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta,
DIY, Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan
Papua, secara absolut, jumlah kredit yang dicairkan tidak pernah lebih tinggi
dibanding jumlah simpanan. Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa
dengan penambahan jumlah uang beredar (M1), tidak serta merta diikuti nilai
absolut kredit yang lebih tinggi dibanding nilai absolut simpanan untuk semua
provinsi di Indonesia. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa
pengaruh M1 terhadap perilaku masyarakat Indonesia dalam menabung maupun
meminjam uang di sektor perbankan tidak terlihat signifikan.
94
4.3 Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan BI
Tujuan kerangka kerja penargetan inflasi adalah disamping melakukan
stabilisasi harga guna menurunkan tingkat inflasi juga melakukan stabilisasi nilai
tukar, dalam hal ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (US$). Upaya tersebut
dilakukan melalui penetapan suku bunga acuan (BI rate) sebagai respon dari
kondisi perekonomian secara umum dengan harapan target inflasi yang telah
diumumkan sebelumnya dapat tercapai. Pada sub bab berikut, akan dilihat
bagaimana perilaku nilai tukar dan BI rate serta kemungkinan interaksi antara
keduanya dalam kurun tahun 2000 – 2009. Hal ini untuk menilai secara sekilas
18
13000
16
12000
14
11000
12
10000
10
9000
8
8000
6
7000
Jan-00
Apr-00
Jul-00
Oct-00
Jan-01
Apr-01
Jul-01
Oct-01
Jan-02
Apr-02
Jul-02
Oct-02
Jan-03
Apr-03
Jul-03
Oct-03
Jan-04
Apr-04
Jul-04
Oct-04
Jan-05
Apr-05
Jul-05
Oct-05
Jan-06
Apr-06
Jul-06
Oct-06
Jan-07
Apr-07
Jul-07
Oct-07
Jan-08
Apr-08
Jul-08
Oct-08
Jan-09
Apr-09
Jul-09
Oct-09
(%)
seberapa efektif kerangka kerja penargetan inflasi terhadap stabilisasi nilai tukar.
BI Rate : sumbu kiri
Nilai Tukar (rupiah/US$) : sumbu kanan
Sumber : Bank Indonesia
Gambar 11. Perkembangan suku bunga acuan BI dan nilai tukar
tahun 2000 – 2009.
Secara umum, Gambar 11 memperlihatkan bahwa salah satu tujuan
penetapan suku bunga acuan BI adalah melakukan stabilisasi nilai tukar, baik
sebelum maupun sesudah diberlakukannya kerangka kerja penargetan inflasi
95
secara penuh pada tahun 2005. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa episode
sepanjang tahun 2000 – 2009, yaitu tahun 2001 –2002, tahun 2005 – 2006 dan
Juli 2008 – Desember 2009. Dalam ketiga episode tersebut, pihak otoritas moneter
secara bertahap menaikkan suku bunga acuan guna meredam kenaikan nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS. Dampak dari strategi tersebut adalah nilai tukar
berangsur-angsur turun dan bahkan kembali pada level sebelumnya. Seiring
dengan penurunan nilai tukar atau penguatan rupiah terhadap dolar AS, suku
bunga acuan kemudian diturunkan kembali oleh Bank Indonesia untuk memberi
stimulan pada sektor riil.
Sepintas dari Gambar 11, nampak sekali bahwa penetapan suku bunga
acuan BI cukup efektif dalam meredam gejolak nilai tukar. Bila kemudian dirinci
menurut episode, untuk tahun 2001 –2002, ketika posisi nilai tukar pada
Desember 2002 berada pada kondisi lebih rendah dibanding kondisi Januari 2001,
suku bunga acuan juga berada pada level yang lebih rendah dibanding
sebelumnya. Sementara pada episode tahun 2005 – 2006, saat kondisi nilai tukar
Desember 2006 kembali ke level yang kurang lebih sama seperti Januari 2006,
suku bunga acuan tidak kembali pada posisi yang sama. Sebaliknya di episode
akhir, meski BI rate telah lebih rendah dibanding posisi sebelumnya, nilai tukar
nominal masih lebih tinggi dibanding kondisi Juli 2008.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat secara sepintas dilihat bahwa
suku bunga acuan merupakan instrumen kebijakan moneter yang cukup baik
dalam melakukan stabilisasi nilai tukar sepanjang tahun 2000 – 2009, namun bila
jika dirinci menurut episode, efektivitas dari penetapan tersebut lebih kuat pada
paruh waktu tahun 2000 – 2005, sementara pada paruh waktu setelahnya
efektivitas tersebut nampaknya berkurang. Diduga, berkurangnya efektivitas dari
penetapan BI rate pada tahun 2005 – 2009 yang notebenenya merupakan periode
setelah diberlakukannya kerangka kerja penargetan inflasi secara penuh oleh
pihak otoritas moneter terkait dengan masalah kredibilitas dari lembaga tersebut.
Salah satunya ketika terjadi krisis finansial global yang dampaknya mulai terasa di
Indonesia pada Juli 2008, di saat hampir semua bank sentral di seluruh dunia
menurunkan suku bunganya, sebaliknya Bank Indonesia menaikkan suku bunga
acuan dengan tujuan mencegah terjadinya capital outflow, meski banyak dikritik.
96
4.4 Penyesuaian Harga BBM dan Gaji PNS
Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seperti bensin premium,
solar dan minyak tanah merupakan barang-barang yang harganya ditetapkan
berdasarkan kebijakan pemerintah (administered prices), mengingat ketiga barang
tersebut menguasai hajat hidup orang banyak. Beberapa kali pemerintah
melakukan penyesuaian harga BBM sebagai konsekuensi atas beratnya subsidi
yang harus ditanggung pemerintah akibat lonjakan kenaikan harga minyak di
pasar internasional. Kritik maupun penolakan yang berasal dari beberapa kalangan
berulang kali terjadi ketika pemerintah menerapkan kebijakan penyesuaian harga
BBM tersebut, karena hal tersebut dianggap akan membuat kondisi masyarakat
lebih sengsara, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
6000
1200
5000
1000
4000
800
3000
600
2000
400
1000
200
0
Minyak Tanah (Rp.)
Solar (Rp.)
Sep-09
Mar-09
Sep-08
Mar-08
Sep-07
Mar-07
Sep-06
Mar-06
Sep-05
Mar-05
Sep-04
Mar-04
Sep-03
Mar-03
Sep-02
Mar-02
Sep-01
Mar-01
Sep-00
Mar-00
0
Premium (Rp.)
Gaji PNS (Rp. 000) : sumbu kanan
Sumber : Kemenkeu dan Kementerian ESDM
Gambar 12. Perkembangan harga BBM dan gaji PNS tahun 2000 – 2009.
Sejak Januari 2000, pemerintah berulang kali melakukan penyesuaian
harga BBM. Penyesuaian harga bensin premium tercatat sebanyak 11 kali, harga
minyak solar sempat disesuaikan 10 kali, sementara harga minyak tanah hanya 5
kali. Khusus bensin premium, pemerintah sempat menurunkan harganya pada
1 Oktober 2000, 1 Desember 2008 serta pada tanggal 1 dan 15 bulan Januari 2009.
Penurunan maksimal dari keempat kebijakan tersebut hanya mencapai 10%,
97
sebaliknya kenaikan harga maksimal mencapai 87,50%, yaitu pada 1 Oktober
2005. Lebih lanjut, pada minyak solar, pemerintah juga pernah menurunkan
harganya pada tanggal 1 Desember 2008 serta pada tanggal 1 dan 15 bulan Januari
2009, dengan penurunan maksimal sebesar 9,09%, sedangkan peningkatan harga
tertinggi terjadi pada 1 Oktober 2005, yaitu sebesar 104,76%. Sementara untuk
minyak tanah yang notebenenya belum pernah mengalami penurunan harga,
kenaikan harga pada komoditi ini sempat merupakan yang tertinggi dibanding dua
jenis BBM bersubsidi lainnya karena pada 1 Oktober 2005 tercatat kenaikan
sebesar 185,71%.
Akibat kenaikan harga BBM yang demikian tinggi pada 1 Oktober 2005,
dapat dilihat pada Gambar 8, tingkat inflasi pada hampir seluruh provinsi
merupakan yang tertinggi sepanjang tahun 2000 – 2009. Inflasi yang cukup tinggi,
setidaknya dibanding rata-rata tingkat inflasi selama kurun tahun 2000 – 2009
juga terjadi pada tahun 2008, ketika dilakukan kebijakan kenaikan harga BBM
pada 16 Juni 2001, 17 Januari 2002 dan 24 Mei 2008. Kondisi yang sedikit
berbeda adalah kenaikan BBM pada 2 Januari 2003 yang tidak menimbulkan
inflasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat inflasi tahun
2000 – 2009. Sebaliknya inflasi yang cukup tinggi terjadi pada lebih dari separuh
provinsi di Indonesia pada tahun 2000 sedangkan pada saat itu harga bensin
premium sempat diturunkan.
Penyesuaian BBM pada tahun 2001, 2002, 2005 dan 2008 sepertinya
terkait dengan kondisi yang tidak diantisipasi sehingga menyebabkan tingkat
inflasi yang cukup tinggi pada tahun-tahun tersebut. Sementara penyesuaian BBM
pada tahun 2003 agaknya sudah diramalkan oleh akan terjadi oleh berbagai
kalangan mengingat dua tahun sebelumnya terus terjadi kenaikan harga BBM,
artinya kondisi kenaikan tersebut sudah diantisipasi oleh pelaku ekonomi sehingga
dampaknya terhadap inflasi tidak terlampau tinggi. Lain halnya dengan kondisi
tahun 2000, karena sebelumnya tingkat inflasi cukup rendah, bahkan terjadi
deflasi di beberapa provinsi, diduga akan terjadi lonjakan harga sebagai
konsekuensi dari rencana akan dilepasnya monopoli Pertamina atas penjualan
BBM, meski kemudian harga BBM tidak jadi dinaikkan, bahkan untuk bensin
premium ternyata diturunkan.
98
Selain perkembangan harga BBM, Gambar 12 juga memperlihatkan
bagaimana perkembangan Gaji PNS untuk golongan terendah. Dalam kurun
waktu 10 tahun, pemerintah sempat 6 kali menaikkan gaji PNS, yaitu tahun 2001,
2003 dan tahun 2006 – 2009. Terkait kenaikan kenaikan gaji PNS yang cukup
tinggi tersebut pada tahun 2001, agaknya selain kenaikan BBM, kebijakan
penyesuaian gaji PNS juga turut berperan dalam memicu tingkat inflasi yang
cukup tinggi pada tahun 2001. Kondisi yang kurang lebih sama juga terjadi pada
tahun 2008 ketika terjadi inflasi yang cukup tinggi, mengingat disamping
dilakukan penyesuaian harga BBM juga terjadi kenaikan gaji PNS.
Nampaknya, kebijakan pemerintah pusat dalam menetapkan administered
prices dan melakukan penyesuaian upah minimun untuk pegawai pemerintah
(PNS) ini merupakan penyebab terjadinya inflasi yang terus-menerus di Indonesia
selama tahun 2000 – 2009. Meski kedua kebijakan pemerintah tersebut bekerja
melalui mekanisme transmisi yang berbeda, dimana administered prices melalui
sisi penawaran sementara gaji PNS melalui sisi permintaan, namun hasil akhirnya
sama, akan memicu terjadinya inflasi. Akibat penyesuaian gaji PNS secara terusmenerus selama tahun 2006 – 2009, diduga akan membuat inflasi kian persisten
mengingat inflasi akan lebih disebabkan oleh tarikan permintaan dibanding akibat
dorongan biaya produksi.
4.5 Struktur Ekonomi Provinsi
Pembahasan mengenai struktur ekonomi merupakan hal yang tidak dapat
dikesampingkan ketika mengulas masalah inflasi karena kondisi ekonomi turut
berperan dalam pembentukan harga pada suatu wilayah. Adanya perbedaan
struktur ekonomi antar wilayah menyebabkan terjadinya kondisi saling
ketergantungan antar pelaku ekonomi antar wilayah, baik yang bertindak sebagai
produsen maupun sebagai konsumen dalam arti yang lebih luas. Sebagaimana
telah diulas sebelumnya, keterkaitan antar provinsi tersebut diperlihatkan oleh
keterkaitan inflasi dengan hubungan yang kuat pada hampir seluruh provinsi di
Indonesia. Ulasan berikut merupakan uraian sepintas mengenai kondisi ekonomi
pada setiap provinsi yang secara umum akan menyiratkan kondisi keterkaitan
antar provinsi.
99
SULSEL
100
40
40
20
20
20
20
0
0
0
0
MALUKU
100
Pertambangan
Angkutan
Industri
Bank
2008
2006
0
2004
0
2002
0
2000
20
0
2008
20
2006
20
2004
40
20
2002
60
40
2000
60
40
2008
60
40
2006
60
2004
80
2002
80
2000
80
Pertanian
Perdagangan
2008
2006
2006
2008
2006
2008
2004
2004
2008
2004
2008
2006
PAPUA
100
80
2008
2008
2006
2004
2002
2000
2008
2006
2004
2002
NTT
100
2000
60
60
2006
NTB
80
80
2000
2008
2006
40
2004
40
2002
60
2000
60
100
SULTRA
100
80
2002
2000
2008
2008
SULTENG
100
80
2004
SULUT
2006
0
2004
0
2002
0
2000
20
0
2006
20
2004
20
2002
40
20
2000
60
40
2008
60
40
2006
60
40
2004
60
2002
80
2000
80
100
KALTIM
100
80
2002
2000
2009
2007
2005
2009
2003
KALSEL
100
80
2002
KALTENG
100
2001
0
1999
0
2009
0
2007
20
0
2005
20
2003
20
2001
40
20
1999
40
2007
40
2005
60
40
2003
60
2001
80
60
1999
80
60
KALBAR
BALI
100
80
2006
JATIM
100
80
100
2002
2000
2008
2008
2008
DIY
100
2006
0
2004
20
0
2000
40
20
2006
60
40
2004
60
2002
80
2000
JATENG
100
JABAR
100
2002
2000
DKI
80
2004
0
2006
0
2002
0
2000
20
0
2008
20
2006
20
2004
40
20
2002
60
40
2008
60
40
2006
60
40
2004
60
2002
80
2000
80
100
LAMPUNG
100
80
2002
2000
2008
BENGKULU
100
80
2004
SUMSEL
100
2006
2000
JAMBI
2004
0
2002
0
2000
0
2008
20
0
2006
20
2004
20
2002
40
20
2008
60
40
2006
60
40
2004
60
40
2002
60
2000
80
100
RIAU
100
80
2004
SUMBAR
100
80
2002
SUMUT
100
80
2000
NAD
100
Bangunan
Jasa
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 13. Persentase sektor dominan terhadap PDRB menurut provinsi
tahun 2000 – 2009
100
Sebagaimana disajikan dalam Gambar 13, dapat dilihat sektor-sektor
dominan pada setiap provinsi, yaitu sektor dengan andil tidak kurang dari 10%
terhadap total PDRB masing-masing provinsi. Berdasarkan gambar tersebut,
terlihat bahwa sektor pertanian (arsiran berwarna hijau) masih merupakan sektor
dominan pada hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali untuk DKI Jakarta
dan Kalimantan Timur. Sektor lainnya yang juga termasuk sektor dominan pada
hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali untuk provinsi Riau, Kalimantan
Timur dan Papua adalah sektor perdagangan, jasa restoran dan jasa akomodasi
(arsiran berwarna biru). Selain dua sektor yang telah disebutkan, sektor industri
pengolahan (arsiran berwarna kuning) juga termasuk sektor dominan pada lebih
dari separuh provinsi di Indonesia.
Dirinci menurut pulau, untuk pulau-pulau di luar Jawa, utamanya masih
mengandalkan sektor ekonomi primer, yaitu pertanian dan pertambangan, kecuali
Provinsi Bali dan Sulawesi Utara telah bertumpu pada sektor tersier, yaitu sektor
jasa-jasa. Meski demikian, pada beberapa provinsi sektor sekunder seperti industri
pengolahan sudah mulai berkembang. Kondisi yang berbeda terjadi pada Pulau
Jawa karena telah mengandalkan sektor tersier dengan dukungan sektor sekunder
seperti sektor industri pengolahan. Akibat perbedaan jenis sektor unggulan ini
secara tidak langsung menyebabkan perbedaan struktur ekonomi antara Jawa dan
luar Jawa, terlebih lagi jika kemudian dilihat skala ekonomi dari setiap sektor
unggulan akan memperlihatkan perbedaan yang signifikan.
Masih dirinci menurut pulau, bila kemudian dibagi menjadi wilayah, yaitu
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dapat
dilihat bahwa untuk KBI umumnya sektor industri pengolahan merupakan sektor
yang dominan dalam perekonomian, sementara pada KTI sektor tersebut tidak
menjadi sektor dominan pada seluruh provinsi, karena masih cenderung
mengandalkan sektor primer seperti telah disampaikan sebelumnya. Perbedaan
yang cukup nyata ini tidak hanya menyiratkan adanya perbedaan struktur ekonomi
namun juga perbedaan tahapan pembangunan ekonomi antara kedua kawasan
tersebut. Setidaknya untuk KBI, hampir seluruh provinsi sudah mulai memasuki
tahapan industrialisasi, sementara pada KTI umumnya masih cenderung berada
pada kondisi perekonomian tradisional.
101
Tabel 8. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah
untuk Jawa dan luar Jawa
Jawa
Wilayah
Jawa
Luar Jawa
Sektor
Luar Jawa
Input
Antara
Konsumsi
Akhir
Total
Input
Antara
Konsumsi
Akhir
Primer
78,38
80,18
78,99
1,80
7,20
2,91
Sekunder
93,43
93,44
93,44
27,92
27,74
27,82
Tersier
98,22
98,06
98,14
6,85
7,70
7,35
Total
92,91
94,28
93,58
13,63
17,79
15,61
Primer
21,62
19,82
21,01
98,20
92,80
97,09
Sekunder
6,57
6,56
6,56
72,08
72,26
72,18
Tersier
1,78
1,94
1,86
93,15
92,30
92,65
Total
7,09
5,72
6,42
86,37
82,21
84,39
Total
Sumber : IRIO 2005 – BAPPENAS dan BPS (diolah)
Keterkaitan perekonomian antara Jawa dan luar Jawa dapat dilihat pada
Tabel 8 yang menunjukkan bagaimanan penggunaan komoditi domestik yang
digunakan sebagai input antara atau bahan baku dan bahan penolong atau
digunakan untuk konsumsi akhir menurut asal wilayah dalam satuan moneter.
Untuk Pulau Jawa, total nilai komoditi domestik yang berasal dari daerah sendiri
mencapai 93,58%, sedang sisanya dari luar Jawa sebesar 6,42%. Sebaliknya, total
nilai komoditi yang berasal dari Jawa yang digunakan di luar Jawa mencapai
15,61%, sementara penggunaan komoditi yang berasal dari wilayah sendiri
sebesar 84,39%. Berdasarkan proporsi penggunaan komoditi domestik menurut
asal wilayah tersebut dapat dilihat keterkaitan atau bahkan ketergantungan antara
Jawa dengan luar Jawa.
Dirinci lebih lanjut, ketergantungan perekonomian Jawa terhadap luar
Jawa terlihat cukup tinggi untuk komoditi sektor primer, yaitu pertanian dan
pertambangan yang total nilainya mencapai 21,01%, baik digunakan sebagai input
antara maupun untuk konsumsi akhir. Berdasarkan Tabel 8 juga dapat dilihat
tingkat ketergantungan perekonomian luar Jawa terhadap Jawa untuk komoditi
sektor sekunder yang terdiri dari industri pengolahan; sektor konstruksi; dan
sektor listrik, air dan gas yang mencapai 27,82%. Kondisi ini tentunya sesuai
dengan perbedaan struktur ekonomi seperti telah disinggung sebelumnya.
102
Tabel 9 Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untuk
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)
KBI
Wilayah
KBI
KTI
Sektor
KTI
Input
Antara
Konsumsi
Akhir
Total
Input
Antara
Konsumsi
Akhir
Primer
95,35
56,27
85,30
1,32
1,18
1,28
Sekunder
99,33
74,65
86,95
53,73
26,43
37,44
Tersier
99,65
71,05
84,09
7,14
6,01
6,42
Total
98,59
71,80
85,72
24,30
15,36
19,35
Primer
4,65
43,73
14,70
98,68
98,82
98,72
Sekunder
0,67
25,35
13,05
46,27
73,57
62,56
Tersier
0,35
28,95
15,91
92,86
93,99
93,58
Total
1,41
28,20
14,28
75,70
84,64
80,65
Total
Sumber : IRIO 2005 – BAPPENAS dan BPS (diolah)
Berdasarkan pengelompokan kawasan, ketergantungan perekonomian KBI
terhadap KTI mencapai 14,28%, yaitu besarnya total nilai komoditi dari KTI yang
digunakan oleh KBI. Sebaliknya kebutuhan akan komoditi yang berasal dari KBI
untuk digunakan oleh KTI total nilainya mencapai 19,35%. Dirinci menurut sektor
dan tujuan penggunaan, nilai komoditi sektor primer untuk konsumsi akhir yang
digunakan oleh KBI dan berasal dari KTI mencapai 43,73%, sementara untuk
kebutuhan produksi di KTI, 46,27% dari nilai input antaranya berasal dari KBI.
Pola keterkaitan yang mencerminkan ketergantungan antar kawasan ini
merupakan konsekuensi dari perbedaan struktur ekonomi dari masing-masing
kawasan. Seperti telah diulas sebelumnya, KBI cenderung berada pada tahapan
industrialiasi sementara KTI menunjukkan kondisi yang mewakili perekonomian
tradional karena masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor dominan yang
menggerakan pertumbuhan. Secara signifikan, perbedaan tersebut diperlihatkan
oleh pola penggunaan komoditi dari masing-masing kawasan.
V. PEMBAHASAN HASIL
5.1 Penaksiran Output Potensial dan Output Gap
Berdasarkan dua pendekatan penaksiran output potensial, yaitu metode
Hodrick–Prescot (HP) filter dan band pass (BP) filter ala ChristianoFitzgerald
diperoleh hasil seperti dapat dilihat pada Gambar 14. Mengingat periode analisis
dibatasi untuk tahun 2000 – 2009, maka hasil penaksiran dari kedua metode yang
disandingkan dengan output aktual untuk masing-masing provinsi hanya disajikan
sesuai dengan periode analisis saja.
Secara umum, hasil penaksiran output potensial dari setiap provinsi
dengan metode HP filter (garis berwarna merah) terlihat lebih halus dibanding
metode BP filter (garis berwarna biru) yang menunjukkan estimasi yang
berfluktuatif, meski keduanya menggunakan metode univariate detrending.
Merujuk pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008), seharusnya
output potensial terlihat cukup halus karena tidak menunjukkan adanya guncangan
yang bersifat sesaat dari tren output dalam jangka panjang. Berdasarkan penelitian
tersebut, maka disimpulkan bahwa hasil penaksiran output potensial dengan
metode HP filter cukup mewakili kondisi yang diperkirakan dan selanjutnya
perkiraan output gap yang diperoleh dari metode ini akan digunakan dalam
analisis model inflasi pada penelitian ini. Hasil penaksiran output potensial yang
menyatakan metode HP filter lebih superior dibanding metode detrending lainnya
untuk studi kasus Indonesia juga sejalan dengan hasil penelitian Solikin (2004)
tentang keberadaan kurva Phillips di Indonesia.
Selanjutnya, dengan membandingkan hasil perkiraan output potensial
dengan metode HP filter dengan output aktual dari masing-masing provinsi dapat
dilihat pada hampir seluruh provinsi, kemiripan pola dari output potensial yang
nilainya lebih rendah dibanding output aktual pada tahun 2007 – 2009, sementara
pada tahun-tahun sebelumnya cenderung lebih tinggi, kecuali untuk provinsi
NAD, NTB dan Papua tidak memperlihatkan kondisi yang demikian. Berdasarkan
hasil tersebut, maka secara umum kondisi Indonesia pada tahun 2000 – 2009
terbagi menjadi dua episode, yaitu periode tahun 2007 – 2009, ketika terjadi
output gap positif dan periode sebelumnya saat output gap bernilai negatif.
104
Sumut
Sumsel
DKI Jakarta
DIY
Output Potensial-HP
2008
2006
2004
2002
2000
2008
2006
4
2004
2006
2008
2008
2004
2006
2008
5
2002
2004
2008
Papua
30
28
26
24
22
20
18
6
2000
2008
2006
2004
2002
2000
2004
2008
2006
2006
Maluku
8
Output Aktual
2008
7
2008
9
2006
9
2004
2008
2006
2004
11
10
9
8
7
6
5
7
10
2006
13
11
2006
17
15
11
2004
2002
2000
2008
2006
2004
2002
2002
2000
2008
2006
12
Sultra
Sulsel
NTT
NTB
2002
70
52
49
46
43
40
37
34
31
28
8
19
2008
80
15
2002
10
2006
90
18
12
10
2004
100
2000
14
14
12
2004
27
Sulteng
18
16
Kaltim
110
21
2000
2008
2006
2004
2002
2000
2002
Kalsel
30
24
Sulut
2002
2000
2008
2006
Kalteng
18
16
14
12
10
8
2000
26
24
22
20
18
16
2004
Kalbar
2004
190
2002
230
12
2000
14
100
2008
120
2006
270
2004
18
16
2002
20
140
2000
160
310
16
2004
Bali
Jatim
22
20
2002
2008
2006
2004
2002
2000
2008
220
2006
260
200
2004
300
240
2002
340
280
2000
320
Jateng
30
28
26
24
22
20
18
2008
2008
Jabar
380
360
180
2006
2004
2000
2008
2006
2004
2002
2000
2008
2006
4
2004
40
2002
5
8
2000
50
2002
6
10
2006
60
12
2004
36
34
32
30
28
26
24
22
7
14
2000
2006
2004
2008
Lampung
Bengkulu
8
70
2002
Jambi
16
2002
2000
2008
2006
2004
2002
20
2000
2008
2006
2004
2002
2000
25
2002
60
2000
30
30
2000
80
2002
35
35
2000
100
Riau
130
120
110
100
90
80
2002
40
Sumbar
40
2000
120
2000
NA D
45
Output Potensial-BP
Gambar 14. Output aktual dan output potensial menurut provinsi
tahun 2000 – 2009 (dalam triliun rupiah)
105
Merujuk pada kerangka analisis AD-AS berkenaan dengan kondisi
tersebut, maka saat output gap positif dalam perekonomian telah terjadi kelebihan
permintaan (excess demand), sebaliknya ketika terjadi output negatif, dalam
perekonomian dianggap terjadi kelebihan penawaran (excess supply). Dalam
pendekatan kurva Phillips ala New Keynesian (NKPC), ketika output gap positif
akan menyebabkan inflasi karena tarikan permintaan. Bahkan jika kemudian
output gap sangat berperan dalam pembentukan inflasi maka sedikit saja terjadi
output aktual melebihi kondisi potensialnya maka akan mendorong terjadinya
inflasi dan hal ini akan membuat inflasi menjadi demikian persisten. Berbeda jika
pada suatu kurun waktu tertentu output aktual selalu berada di bawah titik
potensialnya maka output gap tidak akan menyebabkan inflasi atau dengan kata
lain tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi.
Lebih lanjut, berkenaan dengan kondisi kelebihan permintaan yang terjadi
pada periode tahun 2007 – 2009, diduga hal tersebut terkait erat dengan kebijakan
penyesuaian gaji PNS yang dilakukan oleh pemerintah pusat secara berturut-turut
selama tahun 2006 – 2009, dengan besar kenaikan tidak kurang dari 15%.
Menurut Lemos (2004a), mekanisme penyesuaian gaji PNS cenderung mengikuti
jalur permintaan agregat, yaitu melalui peningkatan pengeluaran konsumsi
pemerintah dan kemudian akan meningkatkan pengeluaran konsumsi masyarakat.
Mekanisme ini dapat dilihat dari kenaikan belanja pemerintah riil berdasarkan
data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut penggunaan pada hampir
seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2007 – 2009. Pada saat yang bersamaan,
seiring dengan peningkatan belanja pemerintah riil, konsumsi riil masyarakat juga
terus meningkat, termasuk juga konsumsi per kapita riil ikut mengalami
peningkatan. Berdasarkan uraian mengenai mekanisme transmisi tersebut, faktor
utama yang diduga menjadi penyebab terjadinya kondisi kelebihan permintaan
pada tahun 2007 – 2009 secara singkat dapat dijelaskan. Hasil ini sesungguhnya
mencerminkan dampak dari arah kebijakan pemerintah pusat yang berusaha
memacu pertumbuhan ekonomi (pro growth), yaitu dengan menggunakan
instrumen kebijakan fiskal. Secara tidak langsung, hal ini memperlihatkan adanya
dominasi peran dari kebijakan fiskal atas kebijakan moneter (fiscal dominance)
dalam perekonomian Indonesia.
106
5.2 Pengujian Stasioneritas Data
Pengujian kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam
menganalisis data panel untuk melihat ada tidaknya panel unit root yang
terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid.
Pengujian panel unit root yang digunakan penelitian ini didasarkan pada beberapa
statistik uji untuk tingkat level dan first differencing seperti telah dijelaskan pada
bab sebelumnya. Hasil pengujian panel unit root secara lengkap dapat dilihat pada
lampiran 1, sementara rangkumannya disajikan pada Tabel 10.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 10, pengujian panel unit root dilakukan
pada variabel IHK (P), jumlah uang beredar (M1), nilai tukar (XR), pengeluaran
konsumsi pemerintah daerah (G), upah minimun provinsi (W1), gaji PNS (W2),
dan indeks harga BBM (BM) yang masing-masing dinyatakan dalam logaritma
natural dari nilai riilnya, kecuali untuk indeks, serta variabel suku bunga (IR) dan
trade openness (OP) yang dinyatakan dalam persentase. Khusus untuk variabel
infrastruktur (IS) dinyatakan dalam logaritma natural dari panjang jalan per km2
luas wilayah. Untuk variabel output gap tidak dilakukan pengujian ini mengingat
variabel ini bukan merupakan variabel level, karena dihasilkan dari deviasi dari
output aktual terhadap nilai output potensialnya.
Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan plotting data
untuk melihat metode pengujian, apakah panel unit root akan digunakan untuk
data dengan intersep tanpa tren (kode 2) atau dengan intersep dan tren (kode 3).
Berdasarkan plotting data tersebut, untuk data level diketahui, kecuali untuk
variabel nilai tukar yang menggunakan metode intersep tanpa tren, seluruhnya
menggunakan metode dengan intersep dan tren. Berdasarkan berbagai statistik uji
yang digunakan, data level menunjukkan adanya common unit root (uji Breitung),
bahkan beberapa variabel menunjukkan adanya individual unit root, kecuali pada
variabel IHK (P). Hasil ini tentu agak aneh mengingat dari plotting data variabel
ini secara implisit menunjukkan terjadinya gejala unit root, sementara hasil
P-value dari IPS W-statistic dan ADF – Fisher Chi-square masih signifikan pada
tingkat kesalahan 5%, tetapi tidak pada level 1%. Oleh karena itu, pada variabel
ini tetap dilakukan first differencing sebagaimana variabel lainnya demi menjaga
robustness hasil penelitian.
107
Tabel 10. Rangkuman hasil pengujian panel unit root
Variabel
Diff
1)
P-Value Statistik Uji 3)
Metode 2)
LLC
Breitung
IPS
ADF-Fisher
PP-Fisher
P
0
3
0.0000
0.0079
0.0364
0.0244
0.0001
P
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
IR
0
3
0.0000
0.8268
0.0004
0.0000
0.0000
IR
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
M1
0
3
0.0000
0.2520
0.0178
0.0007
0.1737
M1
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
XR
0
2
0.0006
-
0.9940
1.0000
1.0000
XR
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
G
0
3
0.0000
0.4746
0.0298
0.0430
0.6481
G
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
W1
0
3
0.0000
0.5937
0.0000
0.0000
0.0000
W1
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
W2
0
3
0.0000
0.0000
0.4903
0.8598
0.8897
W2
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
BM
0
3
0.0000
0.0010
0.2785
0.6189
0.7017
BM
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
IS
0
3
0.0000
0.3233
0.0407
0.0092
0.0014
IS
1
2
0.0000
-
0.0000
0.0000
0.0000
OP
0
3
0.0000
0.0022
0.0000
1
2
0.0000
0.8604
-
0.0206
OP
0.0000
0.0000
0.0000
W1  IS
1
2
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
OP  IS
1
2
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
Keterangan :
Differencing :
1)
0
1
= data level
= data first differencing
2)
Metode :
1
2
3
= tanpa intersep  tanpa tren
= dengan intersep  tanpa tren
= dengan intersep  dengan tren
3)
Statistik Uji :
LLC
Breitung
IPS
ADF  Fisher
PP  Fisher
=
=
=
=
=
Levin, Lin & Chu t*
Breitung t-stat
Im, Pesaran and Shin W-stat
ADF  Fisher Chi-square
PP  Fisher Chi-square
Setelah dilakukan first differencing pada semua variabel, hasil pengujian
dengan menggunakan metode dengan intersep tanpa tren menunjukkan, baik
dengan statistik uji common unit root maupun individual unit root seluruhnya
signifikan pada level kesalahan 1% dan bahkan 0,1%. Selain data differencing
asli, ditampilkan pula interaksi antara differencing dari infrastruktur (IS) dengan
UMP (W1) dan infrastruktur (IS) dengan trade openness (OP), dengan
pengujian menggunakan intersep namun tanpa tren. Hasil pengujian kemudian
108
menyatakan tidak ditemukannya panel unit root pada variabel interaksi tersebut.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setelah
dilakukan first differencing, seluruh variabel sudah tidak mengandung unit root
lagi.
5.3 Pengujian Kausalitas Granger
Tujuan dari pengujian kausalitas granger antara inflasi dengan beberapa
variabel yang diteliti adalah untuk mengetahui variabel-variabel mana yang lebih
dahulu memengaruhi inflasi atau sebaliknya inflasi yang lebih dahulu
memengaruhi variabel-variabel lainnya. Hasil pengujian kausalitas granger juga
dapat menyatakan bahwa variabel-variabel yang diteliti saling memengaruhi
dengan inflasi atau sebaliknya tidak saling memengaruhi. Satu hal yang perlu
difahami, meski dalam pengujian kausalitas granger dinyatakan bahwa suatu
variabel signifikan memengaruhi inflasi, bukan berarti secara otomatis variabel
tersebut akan memberi pengaruh signifikan dalam model data panel.
Merujuk pada hasil pengujian kausalitas granger sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 11, didapati empat pola arah hubungan antara inflasi dengan beberapa
variabel yang diteliti dan secara tidak langsung merepresntasikan perilaku
hubungan tersebut dari sudut pandang teoritis dan praktis. Pertama, arah hubungan
dua arah atau saling memengaruhi, dalam hal ini antara inflasi dengan
penyesuaian suku bunga acuan (IR), perubahan jumlah uang beredar riil (M1),
perubahan nilai tukar riil (XR), penyesuaian gaji PNS (W2), dengan
penyesuaian harga BBM (BM) dan variabel interaksi antara perubahan kondisi
infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan (OP  IS).
Kedua, arah hubungan searah dari variabel yang diteliti memengaruhi inflasi,
yaitu output gap (OG), kenaikan pengeluaran konsumsi pemerintah (G) dan
perubahan kondisi infrastruktur (IS), namun tidak berlaku hubungan yang
memengaruhi dari inflasi terhadap ketiga variabel tersebut. Ketiga, arah hubungan
searah dari inflasi memengaruhi penyesuaian UMP (W1) dan perubahan derajat
keterbukaan perdagangan (OP), tetapi tidak sebaliknya. Terakhir adalah tidak
ada hubungan antara inflasi dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur
dengan penyesuaian UMP (W1  IS).
109
Tabel 11. Ringkasan hasil pengujian kausalitas granger antara inflasi dengan
beberapa variabel yang diteliti
No.
Hipotesis Nol
F-Statistic
1.
OG does not granger cause P
P does not granger cause OG
5.6529 ***
0.4419
2.
IR does not granger cause P
P does not granger cause IR
7.0209 ***
47.9498 ***
3.
M1 does not granger cause P
P does not granger cause M1
14.6428 ***
23.5896 ***
4.
XR does not granger cause P
P does not granger cause XR
3.4712 **
16.8271 ***
5.
G does not granger cause P
P does not granger cause G
9.2563 ***
1.5591
6.
W1 does not granger cause P
P does not granger cause W1
1.9668
26.3641 ***
7.
W2 does not granger cause P
P does not granger cause W2
6.2858 ***
34.4923 ***
8.
BM does not granger cause P
P does not granger cause BM
5.4710 ***
33.1914 ***
9.
IS does not granger cause P
P does not granger cause IS
3.4801 **
1.5523
10.
OP does not granger cause P
P does not granger cause OP
0.0971
3.7852 **
11.
(W1  IS) does not granger cause P
P does not granger cause (W1  IS)
0.7191
1.0030
12.
(OP  IS) does not granger cause dp
P does not granger cause (OP  IS)
5.1231 ***
3.6457 **
Keterangan : *** = signifikan pada  = 01%
Keterangan : *** = signifikan pada  = 05%
Keterangan : *** = signifikan pada  = 10%
Hubungan saling memengaruhi antara inflasi dengan suku bunga acuan
memang tidak dapat dipungkiri karena penetapan suku bunga acuan pada
praktiknya bertujuan untuk mencapai tingkat inflasi yang ditargetkan, sedang di
sisi lain, dalam proses penentuan besarnya suku bunga, pihak otoritas moneter
memperhatikan kondisi makro ekonomi terkini, salah satunya dengan mengamati
inflasi yang terjadi. Berdasarkan tinjauan teoritis, hubungan saling memengaruhi
antara inflasi dengan suku bunga acuan juga dinyatakan dalam aturan suku bunga
(interest rate rule) atau lebih dikenal dengan Taylor rule (Romer, 2006).
110
Keterkaitan antara inflasi dengan perubahan nilai tukar riil pada praktiknya
bekerja dari jalur imported inflation, yaitu ketika nilai tukar memengaruhi inflasi
sementara inflasi akan memengaruhi nilai tukar riil melalui perbedaan tingkat
harga di dalam dan di luar negeri atau karena perbedaan tingkat inflasi. Secara
teoritis, inflasi juga dapat memengaruhi nilai tukar riil melalui paritas suku bunga.
Berbeda dengan mekanisme hubungan antara inflasi dan nilai tukar riil, hubungan
saling memengaruhi antara inflasi dengan perubahan jumlah uang beredar (M1)
riil sedikit rumit jika dirunut jalur transmisinya.
Merujuk pada kerangka analisis AD – AS untuk jangka pendek, inflasi
akan membuat jumlah stok uang riil berubah dan hal ini akan menyebabkan
perubahan tingkat output (Blanchard, 2004). Adanya perubahan output ini akan
kemudian akan direspon oleh pasar tenaga kerja dengan melakukan penyesuaian
tingkat penyerapan tenaga kerja atau dengan kata lain akan memengaruhi tingkat
pengangguran dalam pendekatan hukum Okun (Okun’s law). Dalam analisis kurva
Phillips, perbedaan tingkat pengangguran tersebut kemudian akan memicu
terjadinya inflasi. Demikian seterusnya, mekanisme tersebut terus terjadi sehingga
baik inflasi maupun perubahan jumlah uang riil saling memengaruhi satu dengan
lainnya.
Hasil pengujian kausalitas granger juga menyatakan bahwa terjadi proses
saling memengaruhi antara inflasi dengan penyesuaian gaji pegawai pemerintah.
Layaknya penentuan upah minimum, penyesuaian gaji PNS/TNI/Polri, utamanya
untuk golongan terendah, merupakan salah satu cara untuk menjaga daya beli dari
pegawai pemerintah tersebut agar tidak tergerus oleh inflasi, meski di sisi lain
diharapkan juga akan meningkatkan kinerja mereka. Penyesuaian tingkat gaji
tersebut, pada praktiknya tentu saja harus mempertimbangkan besarnya inflasi
untuk menghindari terjadinya money illusion. Sebaliknya, kenaikan gaji
pemerintah merupakan salah satu faktor yang membentuk ekspektasi masyarakat
atas inflasi (Solikin dan Sugema, 2004). Seperti telah dibahas sebelumnya,
mekanisme kenaikan gaji PNS/TNI/POLRI ini memengaruhi inflasi melalui
permintaan agregat.
Variabel selanjutnya pada pola hubungan pertama adalah penyesuaian
harga BBM, dalam hal ini harga BBM bersubsidi yang terdiri dari bensin premiun,
111
solar dan minyak tanah. Baik secara teoritis maupun secara empiris, sudah tidak
dapat disangsikan bila terjadi penyesuaian pada harga BBM akan memicu terjadi
inflasi, namun kondisi sebaliknya tidak mudah dijelaskan. Dalamm praktiknya,
inflasi akan menambah berat beban subsidi yang kelak harus ditutup dengan
penerimaan negara yang bersumber dari pendapatan sektor pajak dan non pajak
jika subsidi terus diterapkan. Apabila penerimaan negara pada tahun berjalan tidak
dapat mencukupi beban subsidi tersebut, maka akan terjadi defisit fiskal yang
pada saat itu juga harus ditutup. Beberapa pilihan dalam menutup defisit fiskal
tersebut adalah melakukan pinjaman, yaitu dengan meluncurkan surat utang
negara untuk hutang yang berasal dari dalam negeri atau melalui pinjaman luar
negeri, menerapkan kebijakan pengurangan subsidi atau bahkan pemerintah
meminta otoritas moneter untuk melakukan pencetakan uang. Semua pilihan
tersebut pada akhirnya akan berujung pada terjadinya inflasi, termasuk pilihan
penyesuaian harga BBM untuk mengurangi subsidi.
Variabel terakhir pada hubungan pertama adalah interaksi antara
perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan
(OP  IS). Pada pembahasan selanjutnya, akan dijelaskan hubungan searah dari
perubahan kondisi infrastruktur dalam memengaruhi inflasi dan inflasi dalam
memengaruhi derajat keterbukaan berdasarkan kausalitas granger. Berdasarkan
dua arah hubungan tersebut, maka interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur
dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan dengan inflasi akan menjadi
hubungan dua arah yang saling memengaruhi satu dengan lainnya.
Selanjutnya, untuk pola hubungan yang kedua, yaitu output gap,
perubahan
pengeluaran
pemerintah
dan
perubahan
kondisi
infrastruktur
memengaruhi inflasi, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Secara umum, pada bab
sebelumnya telah sesungguhnya telah membahas bagaimana ketiga variabel
tersebut memengaruhi inflasi, namun tidak dijelaskan apakah inflasi dapat
memengaruhi keduanya. Terkait dengan output gap yang merupakan deviasi dari
output aktual terhadap output potensialnya yang menggambarkan tren output riil
dalam jangka panjang sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh variabel nominal.
Hal ini tentu sejalan dengan landasan teoritis yang telah disampaikan pada bab
sebelumnya. Sementara untuk pengeluaran pemerintah daerah, tidak dipengaruhi
112
oleh inflasi karena dalam melakukan belanja pengeluaran pemerintah sudah diatur
dalam APBD yang notebenenya disyahkan oleh DPRD terlebih dahulu sesuai
dengan tujuan, sasaran, target dan program pembangunan yang sudah digariskan
dan wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, pengeluaran belanja pemerintah
tidak terlalu terpengaruh oleh tingkat inflasi. Kemudian, untuk perubahan kondisi
infrastruktur, dalam teori pertumbuhan regional sebagaimana telah disampaikan
pada sebelumnya dinyatakan secara implisit bahwa kondisi infrastruktur
merupakan variabel eksogen yang tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya,
termasuk oleh inflasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, wajar jika analisis
kausalitas granger menyatakan hubungan yang searah dari perubahan kondisi
infrastruktur memengaruhi inflasi namun tidak terjadi hubungan yang sebaliknya.
Pola hubungan ketiga menyatakan bahwa inflasi memengaruhi upah
minimum provinsi (UMP) dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan (trade
openness) tetapi tidak berlaku sebaliknya. Alasan UMP tidak memengaruhi inflasi
akan dijelaskan kemudian pada saat pembahasan model, sementara pada bagian
ini hanya akan dibahas mengenai bagaimana inflasi memengaruhi UMP.
Penyesuaian UMP dilakukan setiap tahun melalui proses negosiasi antara
perwakilan pihak perusahaan dan serikat pekerja dengan mempertimbangkan
kondisi ekonomi. Salah satu indikator ekonomi yang umumnya digunakan dalam
proses tersebut adalah tingkat inflasi. Terkait dengan kausalitas Granger yang
digunakan, maka lag dari inflasi yang memengaruhi perubahan UMP tahun
berjalan. Sepertinya, hal ini terkait dengan perilaku backward looking dari wage
setter dalam menentukan besarnya UMP. Sedangkan pengaruh dari inflasi
terhadap perubahan derajat keterbukaan bekerja melalui transmisi jalur nilai tukar
riil yang tentu saja dipengaruhi oleh inflasi seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Satu hal yang sedikit mengherankan adalah bagaimana perubahan derajat
keterbukaan perdagangan tidak memengaruhi inflasi sebagaimana ramalan dari
teori standar perdagangan internasional. Hal ini bisa terjadi ketika dampak bauran
dari keterbukaan perdagangan menyebabkan terjadinya peningkatan ekspor dan
impor secara bersamaan sehingga tidak berpengaruh terhadap harga.
Hasil pengujian kausalitas yang terakhir menyatakan bahwa tidak
hubungan saling memengaruhi antara inflasi dengan interaksi antara perubahan
113
kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP (W1  IS). Tidak adanya
keterkaitan ini terkait erat dengan pola hubungan kedua yaitu inflasi tidak dapat
memengaruhi perubahan kondisi infrastruktur namun yang terjadi adalah
hubungan sebaliknya dan pola hubungan ketiga yang menyatakan penyesuaian
UMP tidak memengaruhi inflasi, tetapi inflasilah yang memengaruhi penyesuaian
UMP. Akibat dari kedua pola hubungan tersebut secara serentak, maka interaksi
antara perubahan kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP tidak
memengaruhi inflasi.
5.4 Hasil Estimasi
5.4.1 Model Dasar
Menindaklanjuti hasil pengujian panel unit root yang menyatakan semua
variabel yang akan diteliti harus distasionerkan terlebih dahulu untuk menghindari
terjadinya spurious regression, maka model dasar yang diestimasi adalah model
first differencing sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (3.5.) untuk regresi
panel data non spasial, sementara untuk bentuk spasialnya mengacu pada
persamaan (3.6). Setiap persamaan akan diestimasi dengan panel data statis dan
dinamis untuk melihat continuum dari parameter model. Hasil estimasi untuk
masing-masing persamaan kemudian akan dirangkum dalam bentuk tabel yang
dirinci menurut metode yang digunakan dan disajikan beberapa statistik uji yang
diperlukan dalam memperoleh penduga terbaik.
Hasil estimasi dari persamaan (3.5) seperti dapat dilihat pada Tabel 12,
menampilkan tiga metode estimasi untuk data panel statis, yaitu FEM, REM dan
pooled LS (OLS) dan satu metode data panel dinamis dengan menggunakan
metode FD-GMM. Berdasarkan ketiga metode data panel statis, estimasi terbaik
diberikan oleh REM dibanding dua metode lainnya. Hal ini bisa dilihat dari uji
Hausman
yang
mengindikasikan
metode
REM
lebih
baik
dari
FEM
(P – value = 0,9975); dan uji Breusch-Pagan LM juga menyatakan REM jauh
lebih baik dari pooled LS (P – value = 0,0024). Selain kedua uji tersebut, hasil uji
kebaikan suai (goodness of fit) juga menunjukkan hasil estimasi dari model REM
cukup baik, mengingat Wald chi-test signifikan pada taraf 1%.
114
Perlu diutarakan sebelumnya, hasil estimasi metode FD-GMM diperoleh
dengan menggunakan predetermine variable yaitu variabel laju perubahan M1
sehingga secara tidak langsung menjadi sistem persamaan variabel instrumen.
Alasan ditetapkannya laju perubahan M1 sebagai predetermine variable adalah
Indonesia merupakan satu kesatuan moneter sehingga jumlah uang beredar (M1)
pada level provinsi tidak ditentukan oleh pemerintah daerah sehingga sepenuhnya
merupakan variabel eksogen. Proses penentuan predetermine variable sendiri
melalui penelusuran yang cukup panjang, namun tetap merujuk pada pendekatan
IS – LM. Proses selengkapnya untuk mendapatkan hasil estimasi ini dapat dilihat
pada Tabel 1 dan Tabel 2 dalam Lampiran 2.
Estimasi yang diberikan oleh metode FD-GMM menunjukkan hasil yang
cukup baik karena telah melampaui syarat perlu yang harus dipenuhi untuk
metode data panel dinamis. Syarat perlu tersebut adalah konsistensi hasil uji
Arellano-Bond untuk m1 dan m2 serta validitas dari instrumen yang digunakan
untuk estimasi model dari uji Sargan. Sesuai dengan yang diharapkan, hasil
estimasi model data panel dinamis non spasial pada Tabel 12 menyatakan bahwa
uji Arellano-Bond untuk m1 signifikan pada  sebesar 1% dan m2 tidak signifikan
pada taraf uji 10%, sedangkan hasil uji Sargan tidak signifikan pada tingkat
kesalahan 10%.
Setelah syarat perlu telah terpenuhi, maka perlu diperiksa kembali
continuum dari hasil estimasi dan perbandingan nilai dari koefisien regresi dengan
nilai parameter yang diharapkan. Mengingat penduga terbaik yang diperoleh dari
metode data panel statis adalah model REM, maka untuk melihat continuum hasil
estimasi, perlu dibandingkan koefisien dari FD-GMM dengan REM. Berdasarkan
rangkuman hasil estimasi sebagaimana disajikan pada Tabel 12, dapat dilihat nilai
koefisien parameter yang diperoleh dari kedua model tidak berbeda secara
signifikan, namun hasil yang diperoleh dari FD-GMM pada penelitian ini lebih
robust karena estimasi standard error yang digunakan telah dikoreksi dengan
metode dari Windmeijer (2005) dari downward biased yang dihasilkan dari
metode GMM standar. Merujuk pada pernyataan sebelumnya, seharusnya nilai
dari standard error dari koefisien regresi yang dihasilkan oleh metode FD-GMM
seharusnya sama atau lebih besar dibanding standard error dari metode REM.
Tabel 12. Hasil estimasi model data panel non spasial
Variabel
lag P
OG
IR
M1
XR
G
W2
BM
W1  IS
OP  IS
konstanta
F-Test
Wald-Test
Chow F-Test
Breusch-Pagan LM Test
Hausman Test
Arelano-Bond - m1
Arelano-Bond - m2
Sargan Test
OLS
1,0017
(0,0377)
0,0498
(0,0202)
-0,0088
(0,0002)
-0,0252
(0,0081)
0,1058
(0,0109)
-0,0165
(0,0048)
0,0293
(0,0031)
0,0862
(0,0035)
0,0197
(0,0161)
-0,0884
(0,0329)
-0,0123
(0,0032)
***
**
***
***
***
***
***
***
***
***
395,72 [0.0000]
FEM
0,7112
(0,0372)
0,0373
(0,0262)
-0,0077
(0,0003)
-0,0309
(0,0107)
-0,0220
(0,0150)
-0,0168
(0,0061)
0,0352
(0,0038)
0,0857
(0,0047)
0,0149
(0,0215)
-0,0778
(0,0423)
0,0043
(0,0038)
***
***
***
***
***
***
*
245,98 [0.0000]
27,78 [0.3694]
0,38 [0.9970]
REM
1,0017
(0,0377)
0,0498
(0,0202)
-0,0088
(0,0002)
-0,0252
(0,0081)
0,1058
(0,0109)
-0,0165
(0,0048)
0,0293
(0,0031)
0,0862
(0,0035)
0,0197
(0,0161)
-0,0884
(0,0329)
-0,0123
(0,0032)
***
**
***
***
***
***
***
***
***
***
3957,25 [0.0000]
FD-GMM
0.9685
(0.1631)
0.0456
(0.0822)
-0.0086
(0.0008)
-0.0247
(0.0217)
0.1017
(0.0347)
-0.0201
(0.0192)
0.0310
(0.0103)
0.0872
(0.0035)
0.0282
(0.0369)
-0.1075
(0.0625)
-
***
***
***
***
***
*
5063,73 [0.0000]
9,25 [0.0024]
1,83 [0.9975]
-3,6541 [0.0003]
0,6787 [0.4974]
25,4306 [0.8824]
Keterangan :
*** : signifikan pada 01%
*** : signifikan pada 05%
*** : signifikan pada 10%
( ) : standart error
[ ] : P-value
115
116
Berdasarkan kriteria tersebut, didapati standard error dari seluruh variabel
pada model data panel dinamis lebih besar dibanding metode REM, kecuali
variabel penyesuaian BBM, namun tidak merubah signifikansi dari pengaruh
variabel tersebut. Secara tidak langsung hal ini menyiratkan kondisi yang cukup
konsisten dari penduga FD-GMM. Tahap selanjutnya, perlu diperiksa kembali
tanda dari koefisien regresi, apakah sudah sesuai dengan nilai parameter yang
diharapkan dan secara eksplisit telah dinyatakan pada bab sebelumnya.
Berdasarkan sepuluh penduga koefisien yang diperoleh melalui metode
FD-GMM, dua diantaranya yaitu pertumbuhan jumlah uang beredar dan
peningkatan belanja pemerintah daerah tidak sesuai dengan nilai parameter yang
diharapkan. Dalam beberapa penelitian, anomali dari dampak peningkatan belanja
pemerintah daerah terhadap inflasi sudah pernah ditemui dan kemungkinan untuk
studi kasus Indonesia juga demikian kondisinya. Anomali lainnya dari hasil
estimasi model data panel dinamis non spasial adalah tanda dari koefisien
pertumbuhan M1 berpengaruh negatif, namun karena pengaruhnya tidak
signifikan terhadap inflasi maka fakta ini dapat diterima karena dalam beberapa
penelitian, pada kondisi inflasi moderat money growth memang tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap inflasi. Hasil FD-GMM ini mengisyaratkan estimasi
yang lebih baik dibanding REM yang menyatakan bahwa pertumbuhan M1
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Berdasarkan hasil tersebut,
estimasi FD-GMM dianggap cukup konsisten dan diharapkan dapat digunakan
untuk melihat dinamika inflasi di Indonesia.
Beralih ke estimasi dengan pendekatan spasial, pada pendekatan ini
digunakan juga metode statis dan dinamis. Rangkuman hasil estimasi dari model
spasial pada persamaan (3.5) dengan menggunakan beberapa metode disajikan
pada Tabel 13 Sebelum pembahasan lebih lanjut, perlu diketahui bahwa, untuk
mendapatkan model data panel spasial dinamis sebagaimana disajikan pada Tabel
13, melalui proses cukup panjang, namun tetap mengacu pada tinjauan empiris
yang disarankan Kukenova dan Monteiro (2009) dan menggunakan landasan
teoritis pendekatan IS – LM. Berdasarkan tinjauan empiris dan landasan teoritis
tersebut, estimasi dari metode SAB diperoleh melalui suatu sistem persamaan
simultan, yaitu dengan mendefinisikan pertumbuhan uang beredar dan perubahan
117
belanja pemerintah daerah sebagai predetermine variable serta variabel
keterkaitan inflasi antar provinsi (WP) dan interaksi antara perubahan kondisi
infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan sebagai variabel endogen. Sama
seperti pada estimasi sebelumnya, alasan pertumbuhan uang beredar ditetapkan
sebagai predetermine variable mengacu pada pendekatan IS – LM dan kondisi
spesifik di Indonesia. Penentuan perubahan belanja pemerintah daerah sebagai
predetermine variable sesungguhnya mengakomodir kondisi spesifik di Indonesia,
namun dikuatkan pula oleh hasil kausalitas granger yang menyatakan hubungan
searah dari variabel ini dalam memengaruhi inflasi tetapi tidak berlaku sebaliknya.
Sesuai dengan persyaratan Kukenova dan Monteiro (2009), maka variabel
keterkaitan inflasi antar provinsi (WP) wajib ditetapkan sebagai variabel
endogen, namun ditambah beberapa variabel lainnya. Mengingat matrik
penimbang yang digunakan dalam model spasial dinamis berasal dari koefisien
IRIO untuk transaksi domestik, sesungguhnya tidak diperlukan lagi variabel
endogen tambahan karena IRIO sudah menangkap seluruh transaksi domestik
pada pasar barang. Meski demikian, berdasarkan pengujian kausalitas granger
didapati bahwa terjadi hubungan saling memengaruhi antara interaksi perubahan
kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan dengan inflasi, maka
variabel ini juga ditetapkan sebagai variabel endogen, namun variabel lainnya,
kecuali pertumbuhan uang beredar tidak ditetapkan sebagai variabel endogen
murni (fully endogenous) atau eksogen murni (fully exogenous).
Merujuk pada persyaratan tambahan dari Kukenova dan Monteiro (2009)
dan Jacobs et. Al. (2009), upaya untuk menangkap terjadinya spillover antar
wilayah secara spasial dilakukan dengan menambahkan beberapa variabel
instrumen seperti laju perubahan tertimbang spasial dari kedua predetermine
variabel tersebut ditambah dengan perubahan UMP, derajat keterbukaan
perdagangan dan kondisi infrastruktur. Filosofi yang mendasari penggunaan
beberapa variabel instrumen ini adalah adanya keterkaitan secara spasial baik
secara langsung maupun tidak langsung yang akan memengaruhi variabel tersebut
atau variabel-variabel lainnya. Secara teoritis, adanya perubahan kondisi dari
kelima variabel instrumen tersebut secara spasial dapat mendorong terjadinya
inflasi melalui dua jalur utama, yaitu permintaan agregat dan penawaran agregat.
118
Perbandingan beberapa hasil estimasi dengan metode SAB dapat dilihat pada
Tabel 3 dalam Lampiran 2. Setelah diperoleh hasil pendugaan terbaik, dalam hal
ini model 6, tahap selanjutnya adalah membandingkannya dengan hasil estimasi
metode data panel statis untuk melihat continuum hasil estimasi dari metode SAB.
Tahapan ini bertujuan untuk memeriksa konsistensi dan robustness hasil estimasi
sehingga hasil estimasi metode data panel dinamis yang selalu diklaim lebih baik
dibanding hasil estimasi metode data panel statis dapat dibuktikan secara empiris,
khususnya terkait dengan estimasi model dinamika inflasi di Indonesia ini.
Berdasarkan tiga metode data panel statis yang digunakan, terlihat
superioritas REM dibanding dua metode lainnya, dilihat dari hasil Wald chi-test,
uji Hausman dan uji Breusch-Pagan LM, sementara hasil estimasi dari metode
SAB juga menunjukkan kondisi terpenuhinya syarat perlu dari model dinamis,
yaitu uji Arellano-Bond untuk m1 signifikan pada tingkat kesalahan 1% dan m2
tidak signifikan pada taraf uji 10%, sedangkan hasil uji Sargan tidak signifikan
pada  sebesar 10%. Setelah terpenuhi syarat perlu dari metode SAB, langkah
berikutnya
adalah
memeriksa
continuum
hasil
estimasi
dan
kemudian
membandingkan nilai dari koefisien regresi yang diperoleh dengan nilai parameter
yang diharapkan. Rangkuman hasil estimasi pada Tabel 13, juga memperlihatkan
nilai koefisien regresi SAB tidak berbeda secara signifikan dengan hasil yang
diperoleh REM, sementara standard error dari penduga parameter pada SAB
seluruhnya menunjukkan nilai yang lebih besar dibanding standard error dari
metode REM. Konsistensi dari metode SAB dibandingkan REM terletak pada
perbedaan hasil estimasi koefisien penyesuaian UMP (W1) yang tidak signifikan
dan sesuai dengan hasil pengujian kaualitas granger. Bardasarkan hasil tersebut,
dari sisi continuum, estimasi yang dihasilkan dari metode SAB cukup baik.
Tabel 13. Hasil estimasi model data panel spasial
Variabel
lag P
WP
OG
IR
M1
XR
G
W1
W2
BM
OP  IS
konstanta
F-Test
Wald-Test
Chow F-Test
Breusch-Pagan LM Test
Hausman Test
Arelano-Bond - m1
Arelano-Bond - m2
Sargan Test
OLS
0,8733
(0,0409)
0,2696
(0,0452)
0,2696
(0,0452)
-0,0077
(0,0003)
-0,0094
(0,0080)
0,0788
(0,0111)
-0,0150
(0,0045)
-0,0245
(0,0082)
0,0272
(0,0030)
0,0562
(0,0059)
-0,0920
(0,0299)
-0,0191
(0,0033)
420
FEM
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
[0,0000]
0,8205
(0,0471)
0,3036
(0,0490)
0,3036
(0,0490)
-0,0074
(0,0003)
-0,0058
(0,0085)
0,0704
(0,0119)
-0,0171
(0,0048)
-0,0254
(0,0089)
0,0279
(0,0031)
0,0529
(0,0063)
-0,0869
(0,0319)
-0,0170
(0,0036)
375,9
51,65
0,41
REM
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
[0,0000]
[0,0020]
[0,9951]
SAB
0,8733
(0,0409)
0,2696
(0,0452)
0,2696
(0,0452)
-0,0077
(0,0003)
-0,0094
(0,0080)
0,0788
(0,0111)
-0,0150
(0,0045)
-0,0245
(0,0082)
0,0272
(0,0030)
0,0562
(0,0059)
-0,0920
(0,0299)
-0,0191
(0,0033)
***
4620,00
[0,0000]
5,77
6,16
[0,0163]
[0,8626]
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
0,7469
(0,1424)
0,3555
(0,1678)
0,0509
(0,0768)
-0,0070
(0,0012)
0,0022
(0,0366)
0,0568
(0,0209)
-0,0220
(0,0363)
-0,0302
(0,0254)
0,0311
(0,0148)
0,0469
(0,0182)
-0,1609
(0,4100)
-
***
**
***
***
**
**
Keterangan :
5969,83
[0,0000]
-2,5258
-0,8634
23,4472
[0,0115]
[0,3879]
[1,0000]
*** : signifikan pada 01%
*** : signifikan pada 05%
*** : signifikan pada 10%
( ) : standart error
[ ] : P-value
119
120
Pemeriksaan selanjutnya adalah apakah arah dari koefisien regresi sudah
sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Tabel 13 memperlihatkan, dari
sebelas penduga koefisien yang dihasilkan oleh metode SAB, dua diantaranya
yaitu peningkatan belanja pemerintah daerah dan penyesuaian UMP tidak sesuai
dengan nilai parameter yang diharapkan. Pada pembahasan sebelumnya, anomali
tentang pangaruh peningkatan belanja pemerintah daerah terhadap inflasi telah
disinggung dan dapat diterima karena merujuk dari beberapa penelitian empiris
kondisi tersebut pernah ditemui, sementara untuk penyesuaian UMP yang
berpengaruh negatif terhadap inflasi, namum karena pengaruhnya tidak siginifkan
maka dapat diterima, mengingat pada pengujian kausalitas granger memang
demikian kondisinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa metode SAB relatif konsisten dan robust untuk mengestimasi
persamaan (3.6) dibanding metode REM dan model yang diharapkan dapat
memberi gambaran mengenai dinamika inflasi di Indonesia pada tataran provinsi,
sesuai dengan tujuan penelitian.
5.4.2 Model Penargetan Inflasi
Pembahasan mengenai model penargetan inflasi dimaksud mengacu pada
persamaan (3.7) dan persamaan (3.8) yang masing-masing diestimasi dengan
menggunakan metode panel data dinamis non spasial dan metode panel data
spasial dinamis. Berbeda penyajian pada tabel sebelumnya, pada model
penargetan inflasi yang disajikan pada Tabel 14 tidak ditampilkan estimasi untuk
metode panel data statis namun langsung menggunakan metode panel data
dinamis, sehingga tidak dilakukan lagi pemeriksaan dari continuum hasil estimasi
sebagaimana sebelumnya. Perlu diutarakan pula bahwa pada estimasi metode
panel data dinamis non spasial menggunakan perlakuan yang sama dengan model
dasar, yaitu menggunakan persamaan variabel instrumen dengan pertumbuhan M1
ditetapkan sebagai predetermine variabel, sementara pada metode spasial dinamis
digunakan sistem persamaan simultan dengan variabel endogen dan predetermine
variabel yang sama seperti sebelumnya, namun hanya menggunakan tiga variabel
instrumen yaitu laju perubahan tertimbang spasial dari UMP, derajat keterbukaan
121
perdagangan dan kondisi infrastruktur agar bisa menangkap terjadinya spillover
antar provinsi.
Tabel 14. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk penargetan inflasi
Variabel
FD-GMM
lag P
0,7070
(0,1825)
-
WP
-0,0299
(0,0702)
-0,0093
(0,0010)
-0,0470
(0,0225)
0,0536
(0,0513)
-0,0099
(0,0188)
-
OG
IR
M1
XR
G
W1
W2
0,0350
(0,0124)
0,0765
(0,0072)
0,0016
(0,0262)
-0,0442
(0,0483)
-0,0138
(0,0108)
0,3390
(0,1751)
0,0090
(0,0623)
BM
W1  IS
OP  IS
DIT
lag P  DIT
XR  DIT
SAB
***
0,5852
(0,2437)
0,5257
(0,2318)
-0,0055
(0,1835)
-0,0076
(0,0018)
-0,0303
(0,0252)
0,0818
(0,0570)
-0,0028
(0,0137)
-0,0114
(0,0165)
0,0201
(0,0089)
0,0134
(0,0343)
-
***
**
***
***
**
**
***
**
-0,0841
(0,2242)
-0,0083
(0,0110)
0,1617
(0,1823)
-0,1142
(0,0941)
*
Wald-Test
4741,49
[0.0000]
40091,01
[0,0000]
Arelano-Bond - m1
Arelano-Bond - m2
-3,7782
0,7203
[0.0002]
[0.4714]
-1,8505
-1,0238
[0,0642]
[0,3059]
Sargan Test
23,6955
[1.0000]
13,9952
[1,0000]
Keterangan :
dit = dummy Inflation Targeting
*** : signifikan pada 01%
( ) : standart error
*** : signifikan pada 05%
[ ] : P-value
*** : signifikan pada 10%
Hasil estimasi baik dengan menggunakan metode dinamis spasial dan
metode spasial dinamis memperlihatkan terpenuhinya syarat perlu yaitu hasil uji
Sargan tidak signifikan pada  sebesar 10% sementara uji Arellano-Bond untuk
m1 signifikan pada tingkat kesalahan 10% dan m2 tidak signifikan pada taraf uji
122
10%, sedangkan Wald chi-test menunjukkan P – value yang kurang dari 1%.
Sayangnya, pada metode panel dinamis non spasial didapati kondisi yang tidak
konsisten dengan teori ekonomi yang berlaku umum seperti money growth
memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap inflasi dan hal ini sulit
dijelaskan baik secara teoritis maupun empiris. Disamping itu, ditemui pula
besarnya derajat pass through dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur
dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan tidak signifikan pengaruhnya
terhadap inflasi ( = 10%), sementara model dasar menyatakan hal sebaliknya.
Berdasarkan pemeriksaan validitas hasil estimasi yang telah disampaikan maka
dapat disimpulkan bahwa metode data panel dinamis non spasial kurang konsisten
dengan teori ekonomi yang berlaku secara umum dan model sebelumnya.
Tidak jauh berbeda dengan metode data panel dinamis non spasial, hasil
estimasi dari metode SAB juga menyatakan pengaruh dari money growth yang
negatif terhadap inflasi, namun tidak signifikan, sementara didapati besarnya
exchange rate pass through yang juga tidak signifikan. Selain itu, pengaruh
penyesuaian BBM yang pada model dasar berpengaruh positif dan signifikan,
pada estimasi persamaan (3.8) tidak terlihat signifikan pada taraf 10%, meskipun
pengaruhnya tetap positif terhadap inflasi. Berdasarkan perbandingan hasil
estimasi dengan menggunakan kedua metode data panel dinamis, secara relatif
metode data panel spasial dinamis lebih baik dibanding metode non spasial,
namun estimasi yang diberikan kurang robust jika dibandingkan dengan estimasi
model dasar. Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa estimasi tersebut
merupakan hasil terbaik yang diperoleh dalam penelitian ini, sehingga estimasi
tersebut tetap akan digunakan dalam interpretasi model terkait dengan penerapan
kebijakan kerangka penargetan inflasi di Indonesia.
5.4.3 Model Perbedaan Kondisi Infrastruktur antar Wilayah
Sebelum menjelaskan hasil estimasi dari model ini, perlu diketahui bahwa
untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur terhadap volatilitas inflasi, maka
hanya akan difokuskan bagaimana peran dari interaksi antara perubahan kondisi
infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi
dirinci menurut kelompok wilayah Jawa dengan luar Jawa berdasarkan persamaan
123
(3.9) dan (3.10) dan kelompok wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan
Kawasan Timur Indonesia (KTI), dari persamaan (3.11) dan (3.12). Seperti
metode estimasi sebelumnya, pada FD-GMM dibuat sistem persamaan variabel
instrumen dengan predetermined variable yang sama, kecuali pada kelompok
wilayah KBI dengan KTI ditambah interaksi antara perubahan kondisi
infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan, sementara untuk
metode SAB menggunakan persamaan simultan dengan satu variabel endogen,
yaitu keterkaitan inflasi secara spasial (WP) dan predetermined variable
sebagaimana digunakan pada model dasar, namun tambahan variabel instrumen
untuk model pada masing-masing kelompok wilayah berbeda. Untuk melihat
inflasi kelompok wilayah Jawa dengan luar Jawa digunakan variabel instrumen
berupa laju perubahan tertimbang spasial dari UMP, derajat keterbukaan
perdagangan, kondisi infrastruktur dan suku bunga riil, sementara pada kelompok
wilayah KBI dengan KTI tambahan instrumen yang digunakan sama dengan
instrumen yang digunakan pada model dasar, guna menangkap terjadinya
spillover secara spasial.
Hasil estimasi dari perbedaan kondisi kelompok wilayah sebagaimana
disajikan pada Tabel 15 menyatakan terpenuhinya syarat perlu dengan
menggunakan uji Sargan dan uji Arellano-Bond (statistik m1 dan m2), baik
diestimasi dengan FD-GMM maupun dengan metode SAB. Meski demikian,
terdapat beberapa catatan terkait dengan estimasi yang dihasilkan oleh metode
FD-GMM dan SAB, terkait dengan konsistensi dengan hasil estimasi model dasar.
Pada model perbedaan inflasi Jawa dengan luar Jawa, pertumbuhan M1 yang
diestimasi dengan FD-GMM menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan
terhadap inflasi pada taraf 10%, sementara pada model dasar dampaknya tidak
signifikan. Sementara untuk estimasi dengan metode SAB menunjukkan hasil
yang sama dengan model dasar, baik arah maupun signifikansi dari seluruh
variabel yang memengaruhi inflasi. Sedangkan untuk model perbedaan inflasi
antara KBI dengan KTI, hasil estimasi metode FD-GMM memperlihatkan arah
dan signifikansi yang sama pada hampir semua variabel, kecuali pengaruh dari
interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat
124
keterbukaan perdagangan yang pengaruhnya signifikan pada  sebesar 10% di
model dasar, pada model ini tidak memberikan pengaruh signifikan. Pada
pendugaan dengan metode SAB, perbedaan dengan model dasar hanya terjadi
pada signifikansi dari hasil estimasinya saja.
Tabel 15. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk perbedaan volatilitas
inflasi antar wilayah
Variabel
lag P
Wilayah Jawa dan Luar Jawa
FD-GMM
0,9655
(0,1632)
-
WP
***
0,0529
(0,0741)
-0,0086
(0,0008)
-0,0248
(0,0150)
0,1015
(0,0344)
-0,0216
(0,0186)
-
OG
IR
M1
XR
G
W1
W2
BM
W1  IS
OP  IS
OP  IS  DJW
***
*
***
0,0317
(0,0091)
0,0873
(0,0037)
0,0332
(0,0470)
-0,1245
(0,0545)
0,1406
(0,1408)
OP  IS  DKTI
***
***
**
-
Wilayah KBI dan KTI
SAB
0.7562
(0.1281)
0.3468
(0.1338)
0.0585
(0.1147)
-0.0070
(0.0010)
0.0009
(0.0323)
0.0597
(0.0179)
-0.0205
(0.0304)
-0.0288
(0.0606)
0.0299
(0.0142)
0.0482
(0.0186)
-
FD-GMM
***
0.9746 ***
(0.0606)
-
**
0.0499
(0.0979)
-0.0086 ***
(0.0006)
-0.0264
(0.0200)
0.1035 ***
(0.0218)
-0.0227
(0.0234)
-
***
***
**
0.0322 ***
(0.0114)
0.0867 ***
(0.0044)
0.0270
(0.0600)
-0.1199
(0.2023)
-
**
-0.1065
(0.2232)
0.0729
(0.8023)
-
SAB
0.7116
(0.1577)
0.3769
(0.1851)
0.0434
(0.0769)
-0.0068
(0.0013)
0.0005
(0.0302)
0.0512
(0.0245)
-0.0211
(0.0347)
-0.0337
(0.0502)
0.0309
(0.0161)
0.0443
(0.0233)
-
***
**
***
**
*
*
-0.1998
(0.2998)
-
-0.0190
(0.3389)
-0.0222
(0.4244)
Wald-Test
7204,13
[0.0000]
7148.29 [0.0000]
4439.41 [0.0000]
5181.61 [0.0000]
Arelano-Bond - m1
Arelano-Bond - m2
-3,3110
0,4095
[0.0009]
[0.6822]
-2.2204 [0.0264]
-0.6614 [0.5084]
-3.1054 [0.0019]
0.2837 [0.7766]
-2.1411 [0.0323]
-0.8335 [0.4046]
Sargan Test
25,0530
[1.0000]
24.4450 [1.0000]
25.0623 [0.8861]
22.5063 [1.0000]
2
Keterangan :
djw = dummy Pulau Jawa
*** : signifikan pada 01%
dkti = dummy KTI
*** : signifikan pada 05%
*** : signifikan pada 10%
( ) : standart error
[ ] : P-value
Secara umum, estimasi dari kedua metode memperlihatkan hasil yang
cukup baik karena tanda koefisien cukup konsisten dengan hasil estimasi yang
125
diperoleh dari model dasar, permasalahannya hanya pada masalah tingkat
signifikansi dari koefisien hasil estimasi saja. Oleh karenanya, pendugaan dengan
kedua metode data panel dinamis tersebut tetap akan digunakan, mengingat
interpretasi model hanya akan difokuskan pada interaksi antara perbedaan kondisi
infrastruktur dan trade openness terhadap inflasi saja sedangkan variabel lainnya
digunakan untuk melihat robustness hasil estimasi.
5.5 Respon Inflasi terhadap Variabel-variabel Non Kebijakan
5.5.1 Peran Inersia Inflasi
Pembentukan Inflasi
dan
Keterkaitan
Secara
Spasial
dalam
Besarnya pengaruh inersia inflasi terhadap pembentukan inflasi tahun
berjalan adalah 0,7469 dengan metode Spatial Arellano Bond (SAB), sedangkan
dengan metode non spasial besarnya pengaruh inersia inflasi adalah 0,9685.
Secara tidak langsung, inersia inflasi ini merepresentasikan bagaimana ekspektasi
masyarakat terhadap inflasi pada tahun berjalan sangat dipengaruhi oleh besarnya
inflasi tahun sebelumnya, disamping juga dapat diartikan sebagai derajat
persistensi inflasi, tentunya dengan merujuk pada formulasi dari spesifikasi model
yang digunakan. Tingginya inersia inflasi tersebut secara tidak langsung
menyiratkan perilaku backward looking dalam pembentukan ekspektasi terhadap
inflasi merupakan hal yang penting mengingat tingginya derajat persistensi inflasi.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Prasertnukul et al. (2010) yang menyatakan besarnya inersia inflasi adalah
0,550; maka metode SAB menunjukkan hasil estimasi yang tidak berbeda secara
signifikan. Hasil penelitian lainnya yang hampir sama diperoleh dari penelitian
Solikin (2004) mengenai uji keberadaan kurva Phillips versi tradisional, untuk
sampel tahun 1974 – 2002 tercatat inersia inflasi sebesar 0,602; sementara untuk
periode tahun 1997 – 2002 besarnya 0,603. Perlu dicatat, meski dalam penelitian
Prasertnukul et al. (2010) kesimpulan diperoleh dari eksplorasi data time series,
demikian pula dengan Solikin (2004), sementara pada penelitian ini menggunakan
data panel, namun hasil estimasi dari koefisien inersia inflasi menunjukkan hasil
yang tidak berbeda secara signifikan. Dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya, hasil estimasi dari metode FD-GMM juga memperlihatkan hasil yang
tidak berbeda secara signifikan dengan temuan dari Wimanda (2006), karena
126
secara rata-rata besarnya persistensi inflasi pada tingkat provinsi sebesar 0,914
dan secara nasional besarnya adalah 0,964.
Estimasi dari persamaan (3.6) dengan metode SAB yang merupakan
novelti dari penelitian ini adalah keterkaitan inflasi antar provinsi yang memberi
peran terhadap pembentukan inflasi sebesar 0,3555; artinya jika secara rata-rata
terjadi peningkatan inflasi di provinsi lain sebesar 1%, maka akan mendorong
terjadinya peningkatan inflasi sebesar 0,36% di suatu provinsi, dengan catatan
pada kondisi ceteris paribus. Keterkaitan inflasi secara spasial ini tentu tidak
dapat dinafikan mengingat pada pembahasan sebelumnya sebagaimana disajikan
pada Tabel 7 (bab II), ditemukan fakta mengenai adanya korelasi inflasi antar
provinsi yang cukup kuat pada hampir seluruh provinsi dan fakta empiris tersebut
hampir sama dengan hasil penelitian dari Wimanda (2006) untuk rentang waktu
setelah krisis ekonomi.
Temuan dari model spatial lag ini bisa jadi merupakan jawaban atas
penyebab inflasi di Indonesia yang tidak hanya dipengaruhi oleh persistensi inflasi
dari masing-masing provinsi sebagai faktor utama yang menentukan besarnya
inflasi tetapi juga pergerakan harga yang berasal dari provinsi lainnya. Pada model
spatial lag ini, pengaruh dari inersia inflasi didekomposisi menjadi persistensi
inflasi masing-masing provinsi dan pengaruh inflasi dari provinsi lain. Jika
kemudian diagregasi, pengaruh inersia inflasi dari persamaan (3.6) menjadi
sebesar 1,1024 dan tidak berbeda secara signifikan dengan hasil estimasi untuk
persamaan (3.5) yang menggunakan FD-GMM.
Berdasarkan ketebandingan dengan beberapa penelitian terdahulu dan
hasil estimasi dari metode non spasial yang dinyatakan dalam persamaan (3.5),
maka dapat disimpulkan bahwa hasil estimasi dari persamaan (3.6) dengan
menggunakan metode SAB cukup valid. Bahkan terdapat satu keuntungan
tambahan terkait dengan model yang digunakan yaitu diketahuinya sumber utama
penyebab inflasi di Indonesia, mengingat persistensi inflasi dapat didekomposisi.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, keuntungan tambahan yang
diperoleh dari model spatial lag di atas merupakan salah satu kontribusi dari
penelitian ini.
127
5.5.2 Pengaruh Output Gap terhadap Inflasi
Estimasi koefisien regresi data panel dinamis menyatakan bahwa output
gap tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap inflasi, baik diestimasi
dengan metode non spasial maupun dengan metode spasial (Tabel 12 dan
Tabel 13). Hasil estimasi ini sepertinya terkait erat dengan kondisi umum
Indonesia karena pada hampir seluruh provinsi, output aktual berada di bawah
output potensial untuk periode tahun 2000 – 2006 dan baru pada tiga tahun
setelahnya output aktual berada di atas kondisi potensialnya atau dengan kata lain,
lebih dari separuh rentang waktu penelitian, output gap berada pada kondisi
negatif (Gambar 14). Secara teoritis, pada kondisi demikian, inflasi lebih
disebabkan oleh sisi penawaran dibanding sisi permintaan, mengingat output gap
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Meski tidak signifikan,
namun dapat dilihat nilai dari koefisien tersebut positif dan sesuai dengan
landasan teoritis.
Merujuk pada hasil penelitian Solikin (2004) tentang keberadaan kurva
Phillips di Indonesia dan Wimanda et al. (2011) mengenai determinan inflasi di
Indonesia, didapati peran output gap dalam pembentukan inflasi cukup signifikan.
Hasil ini tentu tidak sejalan dengan temuan yang telah dijelaskan sebelumnya,
karena dengan pendekatan inflasi regional pada tataran provinsi output gap tidak
berperan signifikan terhadap pembentukan inflasi. Perbedaan hasil temuan ini
sepertinya terkait erat dengan formulasi dari spesifikasi model pada penelitian
Solikin (2004) yang murni menggunakan model hybrid NKPC dan lag output gap
sebagai proksi dari driving force variable. Berbeda dengan Solikin (2004),
Wimanda et al. (2011) menggunakan spesifikasi model perluasan dari hybrid
NKPC, sehingga hasil model tersebut lebih bisa dibandingkan dengan model
penelitian ini. Perbedaan hasil penelitian ini dengan kajian Wimanda et al. (2011)
merupakan temuan menarik terkait dengan pendekatan yang berbeda, yaitu
penelitian ini menggunakan pendekatan pada tataran provinsi, sementara kajian
sebelumnya menggunakan pendekatan pada level nasional.
Mencermati hasil penaksiran output potensial dan output gap pada
pembahasan sebelumnya, yaitu selama periode tahun 2006 – 2009 terjadi kondisi
output aktual melebihi kondisi potensialnya, maka untuk periode selanjutnya bila
128
hal tersebut terus terjadi, dimungkinkan pengaruh dari output gap terhadap inflasi
menjadi signifikan mengingat pada kondisi tersebut akan terjadi kelebihan
permintaan. Guna menjawab pertanyaan tersebut, dibutuhkan tambahan data
beberapa periode ke depan dan disarankan agar melakukan penelitian lebih lanjut.
5.5.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi
Depresiasi nilai tukar dapat menyebabkan terjadinya imported inflation
karena nilai barang-barang impor menjadi lebih mahal dan mendorong terjadinya
inflasi, baik secara langsung melalui konsumsi akhir maupun berasal dari barang
domestik yang sebagian besar berbahan baku impor. Dalam beberapa kajian,
dampak perubahan nilai tukar terhadap inflasi sering diistilahkan sebagai
exchange rate pass through (ERPT). Perhatian terhadap besarnya ERPT memicu
banyak kajian untuk mengetahui seberapa jauh dampak fluktuasi nilai tukar
terhadap volatilitas inflasi. Besarnya derajat ERPT bisa mengindikasikan seberapa
besar tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian
global. Semakin besar derajat pass through berarti semakin tinggi tingkat
ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian luar negeri.
Hasil estimasi pada Tabel 12 dan Tabel 13 menyatakan dampak
perubahan nilai tukar terhadap inflasi adalah signifikan pada taraf nyata 1%,
dengan besarnya pengaruh 0,0568 berdasarkan estimasi metode SAB dan 0,1017
dari metode FD-GMM. Dibanding Tabel 13 penelitian sebelumnya dari
Prasertnukul et al. (2010), dengan menggunakan data Januari 1990 – Juni 2007
dan Wimanda (2006) yang menggunakan data periode tahun 1999 – 2006,
besarnya ERPT ini meningkat, namun masih lebih rendah dibanding penelitian
dari Achsani dan Nababan (2008). Peningkatan pass through dibanding hasil
penelitian
Prasertnukul et al. (2010) dan Wimanda (2006), tentunya erat
kaitannya dengan krisis finansial global yang dampaknya sempat dirasakan di
Indonesia. Hal lain yang juga berkaitan erat dengan peningkatan ERPT adalah
tekanan harga minyak dunia yang meningkat di tahun 2008 dan mencapai level
tertinggi pada Juli 2008. Akibat kedua shock yang berasal dari perekonomian
global tersebut, nilai tukar nominal terdepresiasi hingga sempat menyentuh level
Rp. 12.000,-/dolar AS dan merupakan level terendah pasca krisis ekonomi 1998.
Sementara lebih rendahnya ERPT dari kedua metode yang digunakan pada
129
penelitian ini dibanding hasil dari Achsani dan Nababan (2008) karena pada
penelitian tersebut memasukkan guncangan harga minyak dunia ke dalam
estimasi, sedangkan pada penelitian ini, guncangan tersebut tidak langsung
berpengaruh mengingat harga BBM merupakan administered prices yang
merupakan kebijakan dari pemerintah pusat. Perbedaan proksi variabel dalam
spesifikasi model yang digunakan dalam kajian Achsani dan Nababan (2008)
dengan penelitian ini membuat keduanya cenderung tidak dapat dibandingkan,
namun bukti mengenai tingginya derajat pass through dari kajian sebelumnya
tersebut tentu tidak dapat dinafikan.
Barang Konsumsi
Bahan Baku/Penolong
Barang Modal
100
80
60
40
20
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS
Gambar 15. Perkembangan impor menurut penggunaan barang
tahun 2000 – 2010 (dalam CIF miliar US$)
Fakta mengenai tingginya derajat pass through di Indonesia secara implisit
menyiratkan
bahwa
perekonomian
domestik
kian
terintegrasi
dengan
perekonomian global. Konsekuensinya adalah perekonomian domestik menjadi
kian terbuka dan hal ini akan menyebabkan semakin rentannya perekonomian
domestik terhadap shock yang berasal dari perubahan kondisi global apabila
fondasi ekonomi domestik tidak dibangun secara baik. Di bawah area perjanjian
pasar bebas yang ditandatangani Indonesia dengan beberapa negara mitra wicara
dalam beberapa tahun terakhir, meningkatnya ketergantungan perekonomian
130
domestik terhadap perekonomian global seakan tidak dapat dielakkan lagi, karena
wacana penghapusan hambatan biaya masuk yang menjadi benteng terakhir dalam
memroteksi masuknya barang impor perlahan-lahan harus dilaksanakan.
Tingginya derajat pass through ini tentunya erat kaitannya dengan
besarnya penggunaan barang-barang impor, terutama kategori bahan baku atau
bahan penolong untuk kegiatan produksi domestik, mengingat lebih dari 70%
pangsa impor Indonesia merupakan kategori barang tersebut (Gambar 15).
Disamping itu, dapat dilihat pula tingkat ketergantungan impor untuk kategori
barang modal terlihat cukup tinggi, yaitu tidak kurang dari 13% dalam kurun
tahun 2000 – 2009. Tingginya prosentase impor untuk kategori bahan baku atau
bahan penolong dan impor kategori barang modal menyebabkan perubahan harga
barang impor akan ditransmisi semakin jauh ke dalam perekonomian domestik
sehingga dampaknya akan semakin besar terhadap inflasi. Berdasarkan penjelasan
tersebut, permasalahan tingginya ERPT kembali pada struktur perekonomian
domestik yang kemudian berujung dengan masalah daya saing dari produk
domestik terhadap produk impor, baik dari sisi harga maupun kualitas dari
produknya. Selain itu, perlu juga melakukan strategi pengurangan impor seperti
melalui substitusi bahan baku, himbauan penggunaan produk domestik dan
kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru
untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar berasal dari produksi dalam
negeri untuk lebih menguatkan fondasi ekonomi domestik.
5.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur
Seperti pada pembahasan sebelumnya, untuk melihat respon inflasi
terhadap perubahan kondisi infrastruktur digunakan dua metode, yaitu data panel
dinamis non spasial dan data panel spasial dinamis dengan formulasi yang sedikit
berbeda, yaitu dimasukkannya interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur
dengan penyesuaian UMP pada metode FD-GMM, sementara pada metode SAB,
dampak penyesuaian UMP dilihat secara langsung dan hal tersebut sudah dibahas
pada bagian sebelumnya.
Merujuk pada Tabel 12, pengaruh dari perubahan kondisi infrastruktur
yang diinteraksikan dengan penyesuaian UMP memberi pengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap volatilitas inflasi. Pengaruh yang tidak signifikan ini dari
131
penyesuaian upah minimum ini terhadap inflasi ini konsisten dengan pembahasan
sebelumnya yang melihat dampaknya secara langsung terhadap inflasi dan hasil
pengujian kausalitas granger. Meski hasil keduanya tidak signifikan, namun
menariknya, pada kondisi ceteris paribus, dampak dari laju penyesuaian UMP
secara simultan dengan laju perubahan kondisi infrastruktur adalah positif
terhadap inflasi, berbeda dengan pembahasan sebelumnya yang menyatakan,
tanpa adanya perubahan kondisi infrastruktur, pengaruh penyesuaian UMP adalah
negatif terhadap inflasi. Temuan menarik ini secara tidak langsung menguatkan
Oosterhaven and Elhorst (2003) yang menyatakan bahwa untuk melihat dampak
infrastruktur terhadap variabel makro ekonomi harus ditelusuri lebih lanjut
bagaimana respon dari pasar tenaga kerja atas perubahannya, misalnya dari sisi
penyerapan tenaga kerja atau tingkat pengangguran atau dari sisi penyesuaian
upah, sehingga dampak bauran dari keduanya tidak mudah untuk diprediksi.
Selain dilihat respon dari sisi pasar tenaga kerja, perubahan kondisi
infrastruktur juga perlu dilihat responnya dari sisi jalur perdagangan. Hasil
estimasi antara interaksi dari perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan
derajat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi memperlihatkan pengaruh yang
negatif terhadap inflasi terhadap volatilitas inflasi, baik berdasarkan estimasi
dengan metode FD-GMM maupun dengan metode SAB. Pengaruh yang negatif
ini sesuai dengan teori pertumbuhan regional yang menyatakan perbaikan
infrastruktur akan berpengaruh pada penurunan biaya transpor dan teori standar
perdagangan internasional yang menyatakan makin tinggi derajat keterbukaan
berarti semakin tinggi pula volume dari ekspor dan impor dari suatu daerah dan
untuk itu barang-barang ekspor maupun impor harus dapat bersaing, salah satunya
dari sisi harga sehingga akan memicu penurunan harga.
Perbedaan yang ditemui adalah signifikannya pengaruh dari interaksi
tersebut taraf 10% berdasarkan hasil estimasi metode FD-GMM, sebaliknya
dengan metode SAB menyatakan hal sebaliknya. Secara pemodelan, dapat dilihat
jika hasil estimasi dari FD-GMM relatif lebih sensitif terhadap shock dari luar
negeri dibanding hasil yang diperoleh metode SAB. Hal ini bisa dilihat dari
koefisien dari derajat pass through dan penyesuaian harga BBM dari FD-GMM
yang besarnya hampir dua kali lipat dari hasil estimasi SAB atau tingkat
132
signifikansi dari variabel-variabel yang terkait dengan shock dari luar seperti nilai
tukar, harga BBM dan trade openness. Kurang sensitifnya hasil pendugaan dari
metode SAB disebabkan oleh besarnya porsi penimbang dan instrumen yang
merepresentasikan transaksi pada pasar domestik guna menangkap spillover
secara spasial. Berdasarkan hasil tersebut, estimasi dari setiap metode memiliki
kelebihan maupun kekurangan masing-masing untuk menjelaskan dinamika
inflasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil estimasi dari FD-GMM, maka kata kunci untuk
meredam atau menurunkan volatilitas inflasi di Indonesia adalah peningkatan
kondisi infrastruktur yang harus dibarengi dengan peningkatan daya saing lokal.
Melalui peningkatan daya saing misalnya, maka ekspor neto akan terus meningkat
dan akan memicu terjadinya apresiasi nilai tukar, sehingga secara tidak langsung
akan menurunkan exchange rate pass through (ERPT). Sementara dengan
peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transportasi
terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu wilayah
disamping juga akan berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor dan impor
suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi
yang lebih cepat antar wilayah. Dilihat dari koefisien interaksi antara keduanya
terhadap inflasi, jika secara simultan laju dari perubahan kondisi infrastruktur
dengan perubahan derajat perdagangan terjadi sebesar 1%, maka dapat
menurunkan volatilitas inflasi sebesar 0,11%.
Secara pemodelan, interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan
perubahan derajat keterbukaan perdagangan terbilang baru baik dalam kajian pada
level nasional maupun pada tataran regional ASEAN. Hasil ini merupakan temuan
signifikan dalam penelitian ini, meskipun banyak kalangan telah menyatakan hal
yang sama namun tidak disertai oleh bukti empiris sebagaimana penelitian ini.
Temuan ini tentunya menjadi salah satu novelti dari penelitian ini dan diharapkan
dapat melengkapi kekurangan atau kesenjangan pembahasan yang terjadi pada
kajian-kajian sebelumnya khususnya terkait dengan bahasan mengenai dinamika
inflasi Indonesia.
133
5.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur
Pembahasan mengenai perbedaan inflasi antar wilayah sesungguhnya telah
disampaikan pada bab sebelumnya, dilihat dari tinggi-rendahnya inflasi secara
secara relatif antara wilayah Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI.
Hanya saja, pada pembahasan tersebut belum ditelusuri lebih lanjut penyebab dari
perbedaan inflasi antar wilayah. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab
perbedaan tersebut adalah kondisi infrastruktur yang berbeda antara Jawa dengan
luar Jawa atau antara KBI dengan KTI. Oleh karenanya, pada pembahasan ini
akan dilihat apakah interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan
derajat keterbukaan perdagangan yang kemudian menjadi penyebab terjadinya
perbedaan inflasi antar wilayah.
Hasil estimasi data panel dinamis sebagaimana disajikan pada Tabel 15
menyimpulkan bahwa perbedaan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur
dengan derajat keterbukaan perdagangan untuk wilayah Jawa dan luar Jawa tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf 10% terhadap volatilitas
inflasi, baik diestimasi dengan FD-GMM maupun dengan metode SAB. Hal yang
sama juga ditunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada =10%,
pengaruh interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan derajat
keterbukaan perdagangan pada KBI dan KTI terhadap gejolak inflasi yang terjadi
pada kedua wilayah tersebut.
Meski pengaruhnya tidak signifikan, namun dapat dilihat koefisien hasil
estimasi dari kedua metode menunjukkan nilai yang positif untuk perbedaan
kondisi inflasi antara Jawa dengan luar Jawa. Interpretasi dari nilai positif tersebut
adalah, sebagai akibat perbedaan laju perubahan kondisi infrastruktur dengan laju
perubahan derajat keterbukaan perdagangan secara bersama-sama menyebabkan
volatilitas inflasi di Jawa lebih rendah dibanding luar Jawa. Sebaliknya, hasil
estimasi dengan kedua metode panel data dinamis memperlihatkan koefisien
negatif untuk dummy slope yang membedakan volatilitas inflasi KTI terhadap
KBI, yang berarti perbedaan interaksi antara laju perubahan kondisi infrastruktur
dengan laju perubahan derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan volatilitas
inflasi di KTI lebih tinggi dibanding KBI.
134
Hasil tersebut sepertinya tidak sejalan dengan pendapat beberapa kalangan
yang menyatakan bahwa perbedaan kondisi infrastruktur merupakan faktor utama
yang menyebabkan perbedaan volatilitas atau perbedaan tingkat inflasi antar
wilayah, utamanya untuk Jawa dengan luar Jawa. Menyikapi hal tersebut,
disarankan untuk memperluas proksi dari data infrastruktur yang tidak hanya
diwakili panjang jalan raya kualitas baik saja, tetapi memasukkan beberapa
infrastruktur lainnya seperti panjang jalan tol, panjang rel kereta api serta
beberapa infrastruktur ekonomi lainnya.
Lebih lanjut, terkait dengan penjelasan pada bab sebelumnya, mengenai
struktur ekonomi menurut wilayah, dimungkinkan hal tersebut bisa menjelaskan
lebih jauh mengenai adanya perbedaan tingkat inflasi maupun perbedaan
volatilitas inflasi antara wilayah. Hal tersebut merupakan usulan untuk penelitian
lebih lanjut, tentunya dengan data yang lebih mutahir serta metode estimasi yang
lebih baik lagi. Usulan ini tentu saja didasari oleh salah satu hasil penelitian ini,
yaitu volatilitas inflasi secara signifikan dipengaruhi pula oleh perubahan kondisi
infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan.
5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan Otoritas Moneter
5.6.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat
Kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
penyesuaian harga BBM yang merupakan administered prices dan penyesuaian
gaji PNS/TNI/POLRI yang tidak lain mewakili upah minimum sektor pemerintah.
Merujuk pada Tabel 13 dapat dilihat, laju penyesuaian harga BBM akan
berpengaruh positif pada peningkatan inflasi, dengan besarnya pengaruh 0,0483
untuk metode SAB dan 0,0872 dari metode FD-GMM. Artinya, laju penyesuaian
harga BBM sebesar 10% akan meningkatkan inflasi yang tidak lebih dari 0,87%,
dengan catatan, kondisi variabel-variabel lainnya tidak berubah. Tabel 13
memperlihatkan pula laju penyesuaian gaji pegawai pemerintah berpengaruh
positif dan signifikan (= 5%) terhadap peningkatan inflasi, dengan besarnya
koefisien regresi panel sekitar 0,0311. Interpretasi dari hasil ini adalah, jika terjadi
laju penyesuaian gaji pegawai pemerintah sebesar 10%, maka akan memberi
sumbangan peningkatan inflasi sebesar 0,31% pada kondisi ceteris paribus.
135
Kedua hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat dalam
menyesuaikan besarnya harga BBM dan gaji pegawainya secara signifikan akan
memicu terjadinya volatilitas inflasi. Mengingat dampaknya terhadap inflasi,
seyogianya kebijakan ini harus dilakukan secara berhati-hati. Lebih lanjut,
merujuk pada Mohanty dan Klau (2001), administered prices yang dalam hal ini
diwakili oleh harga BBM dapat berpengaruh besar terhadap inflasi, namun
tergantung bagaimana perilaku dan respon kebijakan moneter dari penyesuaian
tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9 dan
Gambar 12 bagaimana perilaku penyesuaian harga BBM dan respon kebijakan
moneter seperti jumlah uang beredar (M1) dan BI rate. Gambar 12
memperlihatkan, penyesuaian harga BBM tidak dilakukan secara periodik,
sementara pada saat terjadi penyesuaian harga BBM, Bank Indonesia berusaha
menaikkan suku bunga acuan akan tetapi secara bersamaan M1 terus meningkat
seperti diperlihatkan dalam Gambar 9. Menurut Phillips (1994 dalam Mohanty
dan Klau, 2001), jika penyesuaian tidak dilakukan secara periodik seperti pada
harga BBM, maka penyesuaiannya akan menyebabkan inflasi.
Fakta lain yang tidak dapat diingkari adalah keterkaitan harga BBM
dengan komoditi lainnya sehingga jika terjadi kenaikan harga BBM maka akan
diikuti oleh kenaikan harga-harga komoditi lainnya sehingga akan memicu
terjadinya inflasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Lünnemann and
Mathä (2005), dan hal ini didukung oleh Mohanty dan Klau (2001) yang
menyatakan kenaikan pada administered prices tidak dikompensasi oleh
penurunan harga pada komoditi lainnya. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa pihak
otoritas moneter baik secara langsung maupun tidak langsung juga ikut
mengakomodasi melalui penambahan M1 dan kondisi ini menurut Mohanty dan
Klau (2001) juga akan menyebabkan inflasi.
Selanjutnya, sepanjang tahun 2000 – 2009, penyesuaian gaji untuk
pegawai pemerintah dilakukan secara periodik sejak tahun 2006, sementara
periode sebelumnya tidak dilakukan penyesuaian setiap tahun. Selama beberapa
kali terjadi penyesuaian, didapati secara nominal, besarannya selalu saja lebih
tinggi dibanding besarnya inflasi tahun berjalan. Fakta ini secara tidak langsung
menyiratkan bahwa ketika terjadi penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI, besaran
136
penyesuaian secara nominal ikut membangun ekspektasi masyarakat akan tingkat
inflasi yang akan terjadi pada tahun berjalan dan hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Solikin dan Sugema (2004) yang telah disampaikan sebelumnya.
Meski hasil penelitian ini tidak berbeda dengan dua penelitian sebelumnya,
namun perlu dicatat bahwa hal tersebut tidak menunjukkan pengaruh langsung
terhadap inflasi. Studi empiris yang secara eksplisit menyatakan bahwa
administered prices berpengaruh signifikan terhadap inflasi pernah dilakukan oleh
Indrawati (1996, dalam Atmadja, 1999), namun untuk pengaruh signifikan dari
penyesuaian gaji pegawai pemerintah terhadap inflasi belum pernah diteliti
sebelumnya dan hal ini merupakan temuan yang signifikan dari penelitian ini.
5.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada penelitian ini kebijakan
pemerintah daerah hanya difokuskan pada pengeluaran belanja pemerintah daerah
terkait dengan masalah desentralisasi fiskal dan penyesuaian upah minimum
provinsi (UMP) sebagai salah satu jejaring pengaman sosial. Pengaruh dari
penyesuaian UMP secara langsung terhadap inflasi ini diestimasi dengan model
spasial dengan pertimbangan metode SAB sudah memasukkan dampak spillover
dari beberapa variabel yang secara spasial akan berpengaruh terhadap inflasi. Pada
model non spasial penyesuaian UMP diinteraksikan dengan perubahan kondisi
infrastruktur sehingga akan dibahas pada bagian pengaruh perubahan infrastruktur
terhadap inflasi di sub bab selanjutnya.
Pengaruh kedua kebijakan tersebut terhadap inflasi, seperti dapat dilihat
pada Tabel 13 menunjukkan dampak yang negatif namun tidak signifikan pada
taraf 10%. Temuan mengenai pengaruh negatif dari kedua kebijakan tersebut
terhadap inflasi tentu saja tidak sesuai dengan landasan teoritis yang berlaku
secara umum, karena seharusnya berpengaruh positif terhadap inflasi. Anomali
tersebut tidak terlalu merisaukan karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap
inflasi, namun tetap menarik untuk ditelusuri lebih lanjut apakah hanya terjadi di
Indonesia atau pernah terjadi pada negara lainnya.
Terkait dengan dampak pengeluaran belanja pemerintah daerah terhadap
inflasi dalam kerangka desentralisasi fiskal, terdapat dua penelitian yang
menyimpulkan hal yang sama dengan hasil penelitian ini, yaitu Oommen (2008)
137
yang melaporkan penelitian di India dan Bodman et al. (2009) untuk negara
Australia. Lebih lanjut, hasil penelitian di Australia menyimpulkan bahwa
penerimaan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Rekam
jejak hasil penelitian tersebut tentu menarik untuk dibandingkan dengan kondisi di
Indonesia.
Penelusuran lebih lanjut memperlihatkan adanya korelasi yang cukup kuat
antara pengeluaran belanja pemerintah daerah dengan penerimaan daerah yang
terdiri dari pajak daerah dan retribusi, sebagaimana disajikan pada Tabel 16.
Artinya, semakin besar pengeluaran belanja daerah, maka pemerintah daerah akan
berusaha meningkatkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi demi menutup
pengeluarannya tersebut. Hal ini tentu saja sejalan dengan desentralisasi fiskal
yang memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengelola
keuangan daerah termasuk mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang sah.
Berdasarkan arah hubungan yang diperlihatkan pada Tabel 16 maka penjelasan
mengenai dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap inflasi terjawab.
Tabel 16. Korelasi antara pengeluaran pemerintah daerah dengan
penerimaan daerah tahun 2000 – 2009
Wilayah
Penerimaan Daerah
Pajak Daerah (P)
Retribusi (R)
P+R
Jawa
Luar Jawa
0.6559
0.7413
0.9397
0.7771
0.7444
0.7604
KBI
KTI
0.7834
0.7168
0.9110
0.6491
0.8285
0.7251
Total
0.7663
0.8907
0.8091
Sumber : Kemenkeu (diolah)
Selanjutnya, untuk menjelaskan pengaruh negatif dan tidak signifikan dari
penyesuaian UMP terhadap inflasi sepertinya harus memperhatikan dampaknya
terhadap penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Sugiyarto dan Endriga
(2008) mencatat adanya dampak negatif dari kenaikan upah minimum terhadap
penyerapan tenaga kerja untuk golongan tidak terdidik, namun memberi dampak
positif bagi kalangan tenaga kerja terdidik di Indonesia. Studi sebelumnya dari
Maning (2003, dalam Sugiyarto dan Endriga, 2008) menyatakan dampak negatif
dari kenaikan upah minimum terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja secara
138
total, artinya kenaikan upah minimum berdampak positif pada tingkat
pengangguran. Studi dari Maning ini secara tidak langsung menyimpulkan hasil
penelitian Sugiyarto dan Endriga mengingat jumlah tenaga kerja tidak terdidik
lebih besar dibanding kalangan pekerja terdidik. Fakta terkini dari kedua
penelitian tersebut bisa dibandingkan dengan respon pasar tenaga kerja di
Indonesia yang menyatakan adanya korelasi positif antara besarnya UMP dengan
tingkat pengangguran seperti dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan hubungan
yang tidak semestinya seperti diperlihatkan pada Tabel 17 menyebabkan
kebalikan dari mekanisme transmisi dari UMP terhadap inflasi, sehingga
pengaruhnya menjadi negatif.
Tabel 17. Korelasi antara upah minimum provinsi (UMP) riil dengan tingkat
pengangguran tahun 2000 – 2009
Wilayah
Periode
2000 - 2004
2005 - 2009
2000 - 2009
Jawa
Luar Jawa
0.6714
0.5383
0.4668
0.0161
0.5761
0.3120
KBI
KTI
0.5936
0.4561
0.1298
0.0873
0.3852
0.2721
Total
0.5456
0.1032
0.3440
Sumber : Kemenakertrans dan BPS (diolah)
Berkenaan dengan dampak UMP yang tidak signifikan terhadap inflasi,
pada pembahasan tentang kausalitas granger telah disinggung bahwa arah
hubungan antara keduanya adalah inflasi memengaruhi UMP tetapi tidak
sebaliknya. Hal ini terkait dengan perilaku wage setter dalam menetapkan upah
yang cerderung backward looking dibanding forward looking, sehingga inflasi
secara signifikan memengaruhi penyesuaian upah minimum. Kondisi yang hampir
sama, yaitu penyesuaian upah tidak secara signifikan memengaruhi inflasi juga
dikemukakan oleh Hess and Schweitzer (2000) pada studi di Amerika Serikat.
Penelitian Lemos (2004b) untuk kasus negara yang sama menyatakan bahwa
pengaruh penyesuaian upah minimum relatif kecil terhadap inflasi.
5.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter
Sangat disadari bahwa pihak otoritas moneter memiliki beberapa pilihan
kebijakan moneter melalui banyak mekanisme transmisi untuk memengaruhi
139
output dan tingkat inflasi. Berkenaan dengan banyaknya pilihan atas kebijakan
moneter, penelitian ini dibatasi hanya untuk melihat kebijakan moneter yang
terkait dengan penyesuaian suku bunga acuan (BI rate) dan penambahan jumlah
uang beredar dalam arti sempit (M1). Lebih lanjut mengenai pembahasan
mengenai dua jalur mekanisme transmisi yang akan diteliti adalah sebagai berikut.
Estimasi dengan metode FD-GMM dan SAB pada Tabel 13 menunjukkan
bahwa pengaruh laju penyesuaian BI rate terhadap volatilitas inflasi adalah negatif
dan signifikan pada taraf 1%. Besarnya pengaruh laju penyesuaian BI rate
terhadap volatilitas inflasi dengan metode FD-GMM adalah -0,0086; sementara
dengan metode SAB sebesar -0,0070; artinya jika laju penyesuaian BI rate sebesar
1% akan menurunkan volatilitas inflasi tidak lebih dari 0,0086%. Menurut Bank
Indonesia, kecilnya pengaruh dari penyesuaian BI rate terhadap inflasi karena
suku bunga acuan hanya bisa memengaruhi inflasi inti saja dan tidak dapat
memengaruhi inflasi umum (Gambar 16). Meski dalam penjelasannya,
memungkinkan BI rate dapat memengaruhi inflasi melalui beberapa jalur
mekanisme transmisi, namun dari beberapa jalur transmisi kebijakan moneter
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 16, tidak sepenuhnya berjalan sesuai
dengan harapan.
Pada jalur suku bunga misalnya, seharusnya BI rate bisa memengaruhi
suku bunga deposito dan suku bunga kredit, namun ternyata hanya dapat
memengaruhi suku bunga deposito saja sementara suku bunga kredit seakan tidak
terpengaruh dan tetap berada pada level yang tinggi sebagaimana telah dibahas
sebelumnya (Gambar 9). Pengaruh BI rate juga kian berkurang setelah
diterbitkannya obligasi pemerintah sejak April 2006 yang menawarkan imbal hasil
lebih tinggi dari suku bunga deposito sehingga dimungkinkan terjadi kekeringan
likuiditas. Hal yang sama juga terjadi, ketika BI rate diharapkan bisa
memengaruhi kredit, karena didapati nilai kredit yang disalurkan lebih besar dari
nilai simpanan hanya terjadi di 14 dari 26 provinsi yang diteliti dan umumnya
untuk tahun 2008 atau 2009 saja (Gambar 10).
140
Sumber : www.bi.go.id
Gambar 16. Jalur mekanisme transmisi kebijakan penetapan BI rate.
Sedikit berbeda dengan dua jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter
yang telah dijelaskan sebelumnya, penyesuaian BI rate terlihat cukup efektif
dalam memengaruhi nilai tukar, namun tidak secara keseluruhan melainkan hanya
pada beberapa episode saja (Gambar 11). Adapun dampak tidak langsung dari
efektivitas penyesuaian BI rate ini lebih lanjut adalah akan terjadi penurunan
exchange rate pass-through (ERPT) dan kemudian akan menurunkan tingkat
inflasi. Contoh nyata dari penyesuaian BI rate seperti dicatat dalam penelitian
Habermeier et al. (2009) adalah ketika terjadi krisis finansial global tahun 2008,
BI mulai menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin sejak Mei 2008
guna menstabilkan nilai tukar disamping berusaha untuk meredam tekanan inflasi
yang dikhawatirkan akan mencapai dua digit dan tekanan kenaikan harga minyak
di pasar internasional. Kebijakan ini dinilai cukup berhasil karena setidaknya
inflasi pada tahun 2008 lebih rendah dibanding inflasi pada tahun 2005, meski
tetap saja tingkat inflasi berada pada kisaran dua digit dan lebih tinggi dari yang
ditargetkan.
Jalur mekanisme transmisi lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam
Gambar 16 adalah jalur harga asset dan jalur ekspektasi inflasi. Untuk jalur harga
141
asset tidak akan dibahas lebih lanjut, sementara untuk jalur ekspektasi inflasi
nampaknya juga tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Alasannya adalah
pada pembahasan sebelumnya mengenai peran inersia inflasi dalam pembentukan
inflasi, diperoleh hasil estimasi yang cukup tinggi. Secara tidak langsung, hasil ini
menyatakan masih tingginya derajat persistensi inflasi di Indonesia. Fakta ini
menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi cenderung bersifat backward looking
dibanding melihat tingkat inflasi yang ditargetkan Bank Indonesia atau bersifat
forward looking dan kondisi ini akan membuat mekanisme transmisi menjadi bias
terhadap sasaran yang ditargetkan. Terlepas besar-kecilnya pengaruh dari
penyesuaian BI rate terhadap inflasi, namun pengaruhnya yang signifikan secara
tidak langsung menyatakan bahwa BI rate dapat dijadikan opsi dalam
mengendalikan inflasi. Hasil ini sesuai dengan kajian dari Wimanda et al. (2011)
yang menyatakan bahwa suku bunga merupakan determinan inflasi di Indonesia.
Kebijakan moneter lainnya yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah
dampak laju pertumbuhan M1 terhadap inflasi. Pada Tabel 13 dapat dilihat
pengaruhnya terhadap inflasi adalah positif pada estimasi dengan SAB dan negatif
berdasarkan estimasi metode FD-GMM, namun keduanya tidak signifikan pada
taraf nyata 10%. Mengingat pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap inflasi,
maka tanda koefisien dari estimasi dari metode FD-GMM dapat dikesampingkan.
Temuan ini berbeda dengan penelitian Wimanda et al. (2011) dengan berdasarkan
pendekatan level nasional dan rentang data tahun 1980 – 2008, sebaliknya
menyatakan bahwa jumlah uang beredar merupakan determinan inflasi. Perbedaan
hasil kajian ini dengan Wimanda et al. (2011) dimungkinkan terjadi sebagai akibat
perbedaan rentang data dan pendekatan yang digunakan, namun demikian,
perbedaan ini merupakan temuan penting dan signifikan dari penelitian ini.
Terkait dengan perbedaan temuan ini dengan hasil Wimanda et al. (2011),
perlu dicatat bahwa selama rentang waktu penelitian, secara rata-rata, inflasi yang
terjadi pada sebagian besar provinsi di Indonesia adalah inflasi moderat. Menurut
Anglingkusumo (2005) yang meneliti tentang hubungan antara penawaran uang
dan inflasi di Indonesia, pada krisis 1998, hiper inflasi yang terjadi di Indonesia
didorong oleh kelebihan penawaran stok uang sehingga hubungan antara inflasi
142
dan pertumbuhan M1 terlihat demikian kuat, sementara pada masa non krisis,
ketika inflasi pada level yang cukup moderat, hubungan tersebut tidak terlalu kuat.
Penelitian dari Anglingkusumo (2005) tersebut sepertinya memberi
jawaban mengapa pertumbuhan M1 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
inflasi. Selain hasil penelitian tersebut, pada pembahasan bab sebelumnya telah
diperlihatkan dampak tidak langsung dari pertumbuhan M1 terhadap jumlah kredit
dan simpanan pada level provinsi (Gambar 10). Secara umum, dari gambar
tersebut dapat dilihat jumlah simpanan cenderung lebih besar dibanding jumlah
pinjaman pada hampir seluruh provinsi, sementara kondisi sebaliknya hanya
terjadi pada tahun 2008 atau 2009 dan sebagian provinsi saja. Berdasarkan
penjelasan tambahan yang merujuk pada data faktual dan hasil penelitian
sebelumnya tersebut, maka kesimpulan yang menyatakan bahwa penambahan M1
tidak secara signifikan menyebabkan terjadi inflasi telah terjawab.
5.6.4 Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi
Fokus utama dalam menelaah dampak kebijakan kerangka kerja
penargetan inflasi (inflation targeting framework/ITF) adalah melakukan stabilitas
harga atau menurunkan volatilitas inflasi, penurunan persistensi inflasi dan
penurunan exchange rate pass through (ERPT). Oleh karenanya dalam model
penargetan inflasi dari persamaan (3.7) dibuat variabel dummy intersep (dit) untuk
melihat apakah dampak kebijakan ITF dapat menurunkan volatilitas inflasi dan
dua variabel dummy slope guna menangkap perubahan perilaku dari persistensi
inflasi (lag P  DIT) dan perilaku dari ERPT (XR  DIT) setelah diberlakukan
kebijakan ITF secara penuh sejak tahun 2005.
Hasil estimasi dengan metode FD-GMM dan SAB sebagaimana disajikan
pada Tabel 14 menyatakan bahwa kebijakan ITF tidak berdampak signifikan
terhadap penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi atau bahkan penurunan
pass through. Sebaliknya jika diperiksa lebih lanjut, nilai koefisien dari persistensi
inflasi yang positif secara implisit menyatakan bahwa terjadi peningkatan
persistensi inflasi setelah diterapkannya ITF dibanding periode sebelumnya,
bahkan estimasi dengan metode non spasial memperlihatkan pengaruhnya
signifikan terhadap peningkatan persistensi inflasi. Bukti mengenai dampak ITF
143
yang tidak signifkan terhadap penurunan persistensi inflasi dan penurunan ERPT
sejalan dengan penelitian dari Prasertnukul et al. (2010) yang menyatakan hal
yang sama, namun tanda koefisien dari dummy slope untuk persistensi inflasi
setelah diterapkannya ITF dari kajian terdahulu tersebut berlawanan dengan hasil
yang diperoleh dalam penelitian ini.
Terkait dengan hasil tersebut, pada pembahasan mengenai penyesuaian
harga BBM dan gaji PNS di bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemerintah
secara periodik melakukan penyesuaian gaji pegawainya sejak tahun 2006
sementara tekanan harga minyak mentah di pasar internasional terus meningkat
dan sempat beberapa kali melewati level 100 dolar AS/barel mulai tahun 2005.
Disamping itu, pada paruh akhir 2007 terjadi krisis finansial global yang
dampaknya mulai terasa di Indonesia pada Juli 2008 dan membuat inflasi
mencapai level dua digit, demikian pula di tahun 2005. Akibat berbagai penyebab
ini, maka persisten inflasi akan meningkat dan hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang disimpulkan berdasarkan model penargetan inflasi. Hasil ini tentu
saja menguatkan bahwa pengaruh penyesuaian BI rate relatif kecil dalam
meredam laju inflasi karena ekspektasi inflasi cenderung backward looking dan
membuat inflasi menjadi kian persisten.
Tabel 18. Target dan realisasi inflasi Indonesia tahun 2000 – 2009
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008 *)
2009
Target Inflasi
3,0
4,0
9,0
8,0
4,5
5,0
8,0
5,0
6,5
3,0
-
5,0
6,0
10,0
10,0
6,5
7,0
9,0
7,0
7,0
5,0
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
Realisasi Inflasi
Inflasi Umum
Inflasi Inti
9,35 %
12,55 %
10,03 %
5,06 %
6,40 %
17,11 %
6,60 %
6,03 %
6,59 %
6,29 %
11,06 %
8,29 %
2,78 %
4,28 %
Sumber : Bank Indonesia dan BPS
Keterangan : *) revisi target
Berkenaan dengan hasil estimasi dari model penargetan inflasi yang
menyatakan bahwa tidak terjadi penurunan volatilitas inflasi atau dengan kata lain
tidak terjadi penurunan level inflasi setelah diterapkannya ITF secara penuh sejak
tahun 2005, diperoleh bukti berdasarkan data inflasi menurut provinsi
144
sebagaimana disajikan pada Gambar 8 (bab IV), bahwa penurunan tingkat inflasi
setelah tahun 2005 tidak terjadi pada seluruh provinsi, melainkan hanya pada
sebagian provinsi saja, bahkan . Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kebijakan
ITF dinilai tidak berhasil secara signifikan dalam menurunkan inflasi dan hal ini
telah disampaikan secara implisit pada bab sebelumnya.
Berdasarkan beberapa bukti yang diperoleh sebelumnya, kebijakan ITF
yang belum terlihat signifikan memengaruhi inflasi. Hal ini dapat dilihat dari
pengalaman selama tahun 2000 – 2009, yang menunjukkan bahwa dari sejumlah
realisasi inflasi umum dalam periode tersebut, hampir seluruhnya melenceng dari
tingkat inflasi yang ditargetkan (Tabel 18). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
kebijakan ITF secara penuh baru dilaksanakan sejak 2005, meskipun untuk
periode sebelumnya setelah krisis 1998, Indonesia secara tidak langsung telah
menganut kebijakan lite inflation targeting melalui pengendalian nilai tukar
nominal, sesuai amanat dari UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia.
Terkait dengan kurang berhasilnya kebijakan ITF di Indonesia, penelitan
Habermeier et al. (2009) mengenai opsi kebijakan moneter di negara-negara yang
mengadopsi ITF dalam menghadapi tekanan inflasi termasuk negara-negara yang
tidak mengadopsinya sebagai pembanding menyatakan, kurangnya kredibilitas
dari pihak bank sentral merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab
tidak bekerjanya kebijakan tersebut secara efektif. Kurangnya kredibilitas tersebut
berhubungan erat dengan lambatnya reaksi dari bank sentral atas kemungkinan
terjadinya inflasi yang tinggi sehingga akan memicu ekspektasi inflasi tetap pada
level yang tinggi, karena ekspektasi inflasi cenderung bersifat backward looking.
Disamping itu, seberapa cepat penyesuaian dan besarnya dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan moneter juga terkait dengan kredibilitas bank sentral.
Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah pernyataan dari Bank
Indonesia tentang BI rate sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan ITF yang
hanya dapat memengaruhi inflasi inti tetapi tidak dapat memengaruhi inflasi
umum (inflasi IHK), terkait dengan besarnya supply shock yang terjadi di
Indonesia, sementara kebanyakan masyarakat lebih familiar dengan inflasi umum
dibanding inflasi inti, sehingga target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
tentunya dibandingkan dengan besarnya inflasi umum bukan inflasi inti. Secara
145
psikologis, pernyataan Bank Indonesia tersebut menyiratkan kurangnya tingkat
kepercayaan dan kredibilitas dari bank sentral dalam mengendalikan inflasi,
karena hanya bisa mengendalikan inflasi inti saja yang tidak terpengaruh oleh
gangguan dari sisi penawaran, seperti tidak lancarnya distribusi barang atau
karena volatilitas dari produk makanan dan energi.
5.7 Rangkuman Hasil Pembahasan
Bagian ini bertujuan untuk merangkum hasil pembahasan berdasarkan
uraian sebelumnya yang cenderung memberi penjelasan secara parsial. Melalui
pembahasan ini diharapkan hasil penelitian mengenai dinamika inflasi Indonesia
pada tataran provinsi ini dapat dijelaskan secara komprehensif. Pertama, terkait
dengan hasil estimasi dengan metode statis dan dinamis, estimasi dengan metode
panel dinamis lebih konsisten dengan landasan teoritis dan hasil pengujian
kausalitas granger. Berkenaan dengan pendekatan spasial dan non spasial dinamis,
meskipun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun
pendekatan non spasial dinamis lebih dapat menjelaskan dinamika inflasi
Indonesia pada tataran provinsi dibanding dengan metode spasial dinamis.
Berdasarkan hasil tersebut, model yang digunakan untuk menjelaskan dinamika
inflasi Indonesia pada penelitian ini merujuk pada estimasi yang diberikan oleh
metode non spasial.
Kedua, dilihat dari besarnya koefisien dari pergerakan nilai tukar,
penyesuaian harga BBM dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur
dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan secara bersama-sama
dibanding koefisien penyesuaian suku bunga dan penyesuaian gaji pegawai
pemerintah mengindikasikan pengaruh sisi penawaran lebih dominan dalam
memengaruhi volatilitas inflasi dibandingkan sisi permintaan. Hasil ini konsisten
dengan output gap yang tidak berperan secara signifikan dalam pembentukan
inflasi di Indonesia pada tataran provinsi dan sesuai pula dengan hasil kajian
Solikin (2007) yang menyatakan hal yang sama, yaitu shock dari sisi penawaran
lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibandingkan shock yang berasal sisi
permintaan.
Ketiga, selain fenomena moneter, inflasi di Indonesia juga merupakan
fenomena fiskal. Hal ini bisa dilihat dari pengaruh pengaruh signifikan dari
146
penyesuaian harga BBM sebagai administred prices dan penyesuaian gaji PNS/
TNI/POLRI dalam memengaruhi dinamika inflasi di Indonesia. Fenomena ini
merupakan temuan utama dalam penelitian ini mengingat dalam kajian
sebelumnya, baik pada level nasional maupun regional ASEAN, belum pernah
disinggung mengenai hal ini. Khusus untuk studi kasus Indonesia dengan
pendekatan regional pada tataran provinsi, fenomena ini merupakan hal baru.
Fenomena ini sesungguhnya pernah diungkap oleh Sims (1994) yang menyatakan
bahwa fenomena ini dimungkinkan terjadi pada negara-negara yang menggunakan
sistem fiat money.
Ilustrasi dari inflasi sebagai fenomena fiskal salah satunya berasal dari
kebijakan fiskal ekspansioner seperti ditunjukkan pada Gambar 5 (bab II).
Terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner dalam tataran provinsi ini terkait erat
dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang diawali adanya transfer keuangan dari
pemerintah pusat ke ke pemerintah daerah. Melalui transfer keuangan tersebut,
pemerintah daerah leluasa untuk membelanjakan pengeluarannya, terutama untuk
belanja pengawai yang masih merupakan porsi terbesar dalam belanja daerah.
Peningkatan belanja pegawai tersebut kemudian akan mendorong konsumsi
sehingga akan menyebabkan peningkatan pada permintaan agregat.
Sedikit berbeda dengan mekanisme kebijakan fiskal ekspansioner melalui
peningkatan belanja pegawai pemerintah, proses penyesuaian harga BBM bekerja
lewat dua jalur transmisi, yaitu mekanisme kenaikan biaya produksi mekanisme
kebijakan fiskal ekspansioner yang memengaruhi konsumsi, karena pemerintah
mengklaim bahwa pengurangan subsidi BBM dialihkan ke subsidi dalam bentuk
lainnya seperti transfer bantuan langsung ke rumah tangga dan transfer- transfer
dalam bentuk lainnya ke seluruh daerah di Indonesia. Akibat proses pengalihan
subsidi tersebut, tidak terjadi mekanisme kebijakan fiskal kontraksioner, bahkan
sebaliknya terjadi kebijakan fiskal ekspansioner karena menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi. Kondisi ini tidak saja terjadi secara agregat pada level
nasional, namun juga terjadi pada tataran provinsi di seluruh Indonesia.
Mekanisme penyesuaian harga BBM seperti telah diuraikan sebelumnya dari sisi
permintaan agregat sebagai bagian kebijakan fiskal ekspansioner diilustrasikan
147
oleh Gambar 5 (bab II), sementara dari sisi penawaran agregat, ilustrasinya dapat
dilihat pada Gambar 6 (bab II).
Terakhir, adanya pengaruh signifikan dari perubahan kondisi infrastruktur
secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan serta
pengaruh signifikan dari penyesuaian harga BBM merupakan bukti bahwa inflasi
tidak hanya permasalahan pada sektor moneter, tetapi juga merupakan
permasalahan pada sektor riil. Bukti empiris ini menguatkan pendapat Atmadja
(1999) yang menyatakan bahwa permasalahan pada sektor riil ini terkait erat
dengan adanya hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) di Indonesia,
sebagai konsekuensi terjadinya kesenjangan antara penyesuaian dari faktor-faktor
penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat. Ilustrasi dari inflasi
sebagai permasalahan sektor riil dapat dilihat pada Gambar 6 (bab II). Gambar
tersebut menceritakan bagaimana dampak penyesuaian harga BBM serta dampak
terhambatnya distribusi barang dan jasa sebagai akibat infrastruktur yang buruk.
Mekanisme ini dapat menyebabkan kenaikan biaya akibat dorongan biaya
produksi sebagai akibat adanya kenaikan biaya transportasi.
Halaman ini sengaja dikosongkan
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dan merujuk
pada tujuan dari penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dinamika inflasi Indonesia dipengaruhi oleh variabel-variabel non kebijakan
seperti, inersia inflasi, pergerakan nilai tukar dan interaksi antara perubahan
kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan.
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan pengaruh positif
terhadap volatilitas inflasi, sebaliknya kondisi infrastruktur secara simultan
dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh
negatif, sementara inflasi inersia memberikan peran yang besar terhadap
pembentukan inflasi.
2. Volatilitas inflasi Indonesia dipengaruhi oleh beberapa variabel kebijakan
antara lain, penyesuaian gaji pegawai pemerintah, penyesuaian harga BBM
dan penyesuaian BI rate. Penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji
PNS/TNI/POLRI yang merupakan kebijakan pemerintah pusat dapat memicu
terjadinya peningkatan inflasi karena berpengaruh positif terhadap volatilitas
inflasi, sementara penyesuaian BI rate sebagai instrumen kebijakan moneter
memberi pengaruh negatif volatilitas inflasi dan dapat menjadi salah satu opsi
untuk menurunkan volatilitas maupun tingkat inflasi.
Beberapa temuan penting dari penelitian dengan pendekatan pada tataran
provinsi ini yang berbeda dibanding kajian sebelumnya adalah output gap tidak
memberi pengaruh signifikan terhadap inflasi sementara beberapa kajian yang
menggunakan pendekatan pada level nasional menyatakan hal sebaliknya. Hasil
penelitian lainnya yang merupakan temuan baru dibanding kajian sebelumnya
adalah penyesuaian gaji pegawai pemerintah dan perubahan kondisi infrastruktur
secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan memberi
pengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi di Indonesia. Lebih lanjut, temuan
utama dari penelitian ini adalah inflasi di Indonesia tidak semata-mata fenomena
moneter tetapi juga fenomena fiskal.
150
6.2 Implikasi Kebijakan
Merujuk pada hasil penelitian dan kesimpulan yang diuraikan sebelumnya, beberapa arah kebijakan yang disarankan dirangkum
pada Tabel 19 berikut.
Tabel 19. Implikasi kebijakan berdasarkan rumusan hasil penelitian
No.
Kesimpulan Hasil Penelitian
Implikasi Kebijakan
1.
Peran inflasi inersia yang cukup besar dan signifikan terhadap
pembentukan inflasi di Indonesia untuk periode tahun 2000 – 2009
menandakan
tingginya
tingkat
persistensi
inflasi
dan
mengindikasikan perilaku backward looking yang dominan dalam
ekspektasi inflasi serta kurang berhasilnya kebijakan moneter dalam
memengaruhi inflasi melalui jalur ekspektasi inflasi.
Bank Indonesia bersama-sama dengan pemerintah hendaknya lebih
akurat dalam menetapkan target inflasi agar mekanisme transmisi
melalui jalur ekspektasi dapat bekerja semestinya. Berdasarkan
pengalaman di negara lain, diusulkan agar membentuk tim khusus
yang ditugaskan untuk menyusun target inflasi dalam 1 – 2 tahun ke
depan. Tim ini terdiri dari beberapa grup, yaitu grup dari grup Bank
Indonesia, grup pemerintah dan beberapa grup yang berasal dari
beberapa perguruan tinggi yang masing-masing bekerja secara
independen. Secara periodik, seluruh grup dikumpulkan dan membuat
rumusan target inflasi berdasarkan keputusan bersama-sama.
2.
Laju depresiasi nilai tukar rupiah akan menyebabkan peningkatan
volatilitas inflasi. Besarnya pengaruh volatilitas tersebut
menunjukkan derajat exchange rate pass through (ERPT) dan hal
tersebut terkait erat dengan besarnya proporsi impor untuk kategori
bahan baku dan bahan penolong.
Upaya penurunan derajat ERPT bisa dilakukan oleh pemerintah pusat
dan daerah adalah strategi pengurangan impor seperti :
a. substitusi bahan baku dari bahan baku impor ke bahan baku lokal
b. himbauan penggunaan produk domestik dan
c. kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan
usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar
merupakan produksi lokal/domestik.
3.
Pengaruh kebijakan pemerintah pusat yang diwakili oleh a. Kebijakan penyesuaian harga BBM, utamanya BBM bersubsidi
penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji pegawai pemerintah
yang mewakili administered prices, hendaknya dilakukan secara
berpengaruh positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi di
berhati-hati karena berdampak besar terhadap inflasi. Disarankan
Indonesia, sedangkan pengaruh kebijakan pemerintah daerah yang
untuk melakukan penyesuaian BBM dilakukan secara berkala,
berupa penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) dan
setiap enam bulan atau setahun sekali untuk meminimumkan
desentalisasi fiskal melalui pengeluaran belanja pemerintah daerah
dampak buruk dari ekspektasi yang tidak diantisipasi atas
tidak berpengaruh signifikan dalam memicu terjadinya gejolak
kebijakan fiskal tersebut.
inflasi di Indonesia.
b. Pemerintah pusat seyogyanya mempertimbangkan besarnya
penyesuaian gaji pengawai pemerintah karena sejak tahun 2006
peningkatan gaji tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan
tingkat inflasi yang ditargetkan maupun tingkat inflasi aktual dan
hal ini akan menyebabkan ekspektasi yang tinggi terhadap inflasi.
c. Meskipun penyesuaian UMP dan belanja pemerintah daerah tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, namun perumusan
kebijakan tersebut tetap harus dilakukan secara seksama,
mengingat dampaknya tidak saja terkait dengan inflasi tetapi juga
berhubungan dengan variabel makro ekonomi lainnya seperti
pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran yang menjadi
perhatian dari pemerintah pusat.
4.
Pengaruh kebijakan moneter berupa penyesuaian BI rate relatif kecil
terhadap volatilitas inflasi, sementara kebijakan penetapan jumlah
uang beredar dalam arti sempit (M1) dan kebijakan kerangka kerja
penargetan inflasi (ITF) tidak berpengaruh signifikan dalam
menekan gejolak inflasi.
Kebijakan penyesuaian BI rate dengan penargetan inflasi sebaiknya
dirumuskan dengan lebih akurat, seperti dengan menjaring informasi
yang lebih mendalam dari praktisi dunia usaha, pihak akademis dan
pemerintah, selain mempertimbangkan juga kondisi makro ekonomi
secara umum. Melalui perumusan kebijakan yang lebih akurat
tersebut, kredibilitas Bank Indonesia diharapkan akan meningkat dan
mekanisme kebijakan moneter melalui jalur ekspektasi inflasi serta
beberapa jalur transmisi lainnya dapat bekerja sesuai dengan harapan,
sehingga secara bertahap akan menurunkan level inflasi, volatilitas
inflasi, persistensi inflasi dan besarnya derajat pass through.
151
152
5.
Laju peningkatan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
laju peningkatan derajat perdagangan akan menurunkan volatilitas sudah seharusnya fokus terhadap
inflasi.
a. Masalah peningkatan kondisi infrastruktur, utamanya kondisi
infrastruktur jalan raya. Peningkatan kondisi infrastruktur, selain
akan menurunkan biaya transportasi terkait dengan lancarnya arus
barang, juga berpotensi untuk meningkatkan volume perdagangan
suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi
dan informasi yang lebih cepat antar wilayah, sehingga akan
memicu terjadinya inovasi. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota disarankan agar meningkatkan
alokasi dana untuk
1. pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas infrastruktur
jalan raya yang sudah ada
2. membangun infrastruktur jalan raya baru yang menghubungkan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru atau alternatifnya, dari
jalan raya yang sudah ada, ditingkatkan statusnya, misalnya dari
jalan poros kecamatan menjadi jalan kabupaten/kota, dari jalan
kabupaten/kota menjadi jalan provinsi dan seterusnya menjadi
jalan negara.
b. peningkatan daya saing produk domestik atau produk lokal karena
dengan peningkatan daya saing maka ekspor neto akan terus
meningkat dan akan memicu terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah,
sehingga secara tidak langsung akan menurunkan ERPT.
1. Upaya peningkatan daya saing yang dapat dilakukan oleh
pemerintah pusat adalah
− memacu ekspor non migas untuk komoditas unggulan dan
sebaiknya komoditi unggulan tersebut tidak dalam bentuk
bahan baku tetapi barang jadi / barang setengah jadi
− menurunkan atau menghapuskan pajak ekspor untuk
komoditi unggulan barang jadi / barang setengah jadi
2. Upaya peningkatan daya saing yang dapat dilakukan oleh
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah
− memberi kemudahan dalam perizinan usaha baru yang
menghasilkan komoditas unggulan daerah berdaya saing
ekspor khususnya kategori barang jadi / barang setengah jadi
− melakukan pembinaan secara intensif terhadap usaha-usaha
yang menghasilkan komoditas unggulan berdaya saing
ekspor
− melakukan kajian mengenai potensi daerah secara mendalam
untuk memperoleh informasi komoditi unggulan alternatif
yang bisa dikembangkan di daerah, utamanya komoditi
unggulan yang memiliki daya saing ekspor yang tinggi
6.
Perbedaan laju perubahan kondisi infrastruktur dengan laju Pemerintah pusat sudah seharusnya
perubahan derajat perdagangan secara simultan menyebabkan a. fokus terhadap pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas
volatilitas inflasi yang lebih tinggi untuk wilayah luar Jawa dan KTI,
infrastruktur jalan raya yang menjadi urat nadi perekonomian
namun perbedaan tersebut tidak memberikan pengaruh yang
daerah, utamanya jalan raya yang menghubungkan ibukota-ibukota
signifikan
provinsi di luar Jawa
b. mengambil alih tanggung jawab dari pemerintah daerah untuk
pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas infrastruktur
jalan raya yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru yang berpengaruh besar dalam perekonomian
regional di luar Jawa
7.
a. Indikasikan terjadinya dominasi kebijakan fiskal dalam
memengaruhi inflasi dan variabel makro ekonomi lainnya dan hal
ini akan menyebabkan mekanisme transmisi dari kebijakan
moneter tidak berjalan semestinya.
b. Sumber inflasi lebih disebabkan oleh sisi penawaran dibanding
sisi permintaan.
Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnya melakukan komunikasi
yang baik terkait dengan perumusan kebijakan masing-masing
sebagaimana telah disarankan sebelumnya, namun tidak mengurangi
independensi dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter.
153
154
6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah belum bisa menjelaskan lebih
jauh mengenai perbedaan inflasi antar wilayah yang disebabkan oleh perbedaan
kondisi infrastruktur dan derajat keterbukaan perdagangan. Saran untuk penelitian
lebih lanjut adalah sebagai berikut :
1. Memperluas proksi dari data infrastruktur yang tidak hanya diwakili panjang
jalan raya kualitas baik saja, tetapi mencakup infrastruktur lainnya seperti
panjang jalan tol, panjang rel kereta api serta beberapa infrastruktur ekonomi
lainnya.
2. Memasukkan variabel yang mewakili struktur ekonomi wilayah dalam
pemodelan inflasi, karena tidak menutup kemungkinan hal tersebut bisa
menjelaskan lebih jauh mengenai adanya perbedaan tingkat inflasi maupun
perbedaan volatilitas inflasi antara wilayah.
3. Melakukan pengembangan lebih lanjut tetap dalam pemodelan inflasi yang
mempertimbangkan keterkaitan secara spasial yaitu dengan menggabungkan
model spatial lag dan spatial error agar bisa lebih menangkap keterkaitan
spasial antar wilayah, disamping menggunakan beberapa alternatif matrik
penimbang spasial yang tidak hanya dapat menangkap keterkaitan secara
spasial tetapi juga cukup sensitif dalam menangkap shock yang berasal dari
perekonomian global.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N. A. dan H. F. Nababan (2008) : “Dampak Perubahan Kurs
(Pass-Through Effect) Terhadap Tujuh Kelompok Indeks Harga
Konsumen di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan
Vol. 11, Issue 1, pp. 1-15.
Atmadja, A. S. (1999) : “Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan
Pengendaliannya”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1,
pp. 54-67.
Al-Nasser, O. M., A. Sachsida and M. J. C. Mendonça (2009) : “The OpennessInflation Puzzle: Panel Data Evidence”, International Research Journal of
Finance and Economics, Issue 28, pp. 169-181.
Anglingkusumo, R. (2005) : “Money - Inflation Nexus in Indonesia”, Tinbergen
Institute Discussion Paper, No. TI 2005-054/4.
Andrés, J., E. Ortega and J. Vallés (2008) : “Competition and Inflation
Differentials in EMU”, Journal of Economic Dynamics and Control,
Vol. 32, Issue 3, pp. 848-874.
Baltagi, B. H. (2005) :”Econometric Analysis of Panel Data”, 3rd Ed.
Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. West Sussex.
Baltagi, B. H., U. Blien and K. Wolf (2010) : “A Dynamic Spatial Panel Data
Approach To The German Wage Curve”, Center for Policy Research –
Syracuse University Working Paper, No. 126.
Bayoumi, T., dan B. Eichengreen (1992) : “Macroeconomic Adjustment Under
Bretton Woods and The Post-Bretton Woods Float : An ImpulseResponse Analysis”, NBER Working Paper Series, No. 4169.
Beirne, J. (2009) : “Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to
Country-specific and Global Factors”, Economics Bulletin, Vol. 29,
No. 2, pp. 1420-1431.
Benigno, P., and E. Faia (2010) : “Globalization, Pass-Through and Inflation
Dynamic”, NBER Working Paper Series, No. 15842.
Blanchard, O. (2004) : “Macroeconomics”, 4th Ed. Prentice Hall. New Jersey.
Blanchflower, D. G., and C. MacCoille (2009) : “The Formation Of Inflation
Expectations: An Empirical Analysis For The UK”, NBER Working
Paper Series, No. 15388.
Bodman, P. et al. (2009) : “Fiscal Decentralisation, Macroeconomic Conditions
and Economic Growth in Australia”, Macroeconomics Research Group
Report. School of Economics, The University of Queensland. St. Lucia.
Bowdler, C. and A. Malik. (2006) : “Openness and inflation volatility: Panel data
evidence”, Nuffield College, University of Oxford. Working paper.
No. 8/2005.
156
Campa, J.M., and L.S. Goldberg (2002): “Exchange Rate Pass-Through into
Import Prices: A Macro or Micro Phenomenon?,” NBER Working Paper
Series, No. 8934.
Cappelo, R. (2007) : “Regional Economics”, 1st Ed. Routledge. London &
New York.
Cerra, V. and S. C. Saxena (2000) : “Alternative Methods of Estimating Potential
Output and the Output Gap: An Application to Sweden”, IMF Working
Paper, No. WP/00/59.
Camola, M. and L. de Mello (2010) : “How Does Decentralized Minimum Wage
Setting Affect Employment and Informality? The case of Indonesia”
OECD Papers.
Edwards, S. (2006): “The Relationship between Exchange Rates and Inflation
Targeting Revisited,” NBER Working Paper Series, No. 12163.
Enders, W. (2004) : “Applied Econometric Time Series”, 2nd Ed. John Wiley &
Sons Inc. New York.
Gali, J. (2002) : ” New Perspectives On Monetary Policy, Inflation, And The
Business Cycle”, NBER Working Paper Series, No. 8767.
Gali, J. and M. Gertler (2000) : “Inflation Dynamics: A Structural Econometric
Analysis” , Journal of Monetary Economics, No. 44, pp. 195-222.
Gali, J., M. Gertler and J.D. Lopez-Salido (2001) : “European Inflation Dynamics”,
NBER Working Paper Series, No. 8218.
Gali, J., M. Gertler and J.D. Lopez-Salido (2005) : “Robustness Of The Estimates
of The Hybrid New Keynesian Phillips Curve”, NBER Working Paper
Series, No. 11788.
Gibbs, D. (1995) : “Potential Output: Concepts and Measurement” Labour Market
Bulletin, Issue 1, pp. 72 – 115.
Habermeier, K. et al. (2009) : “Inflation Pressures and Monetary Policy Options
in Emerging and Developing Countries: A Cross Regional Perspective”,
IMF Working Paper, No. WP/09/01.
Hanh, E. (2002) : “Core Inflation in the Euro Area: Evidence from the Structural
VAR Approach”, CFS Working Paper No. 2001/09.
Hess, G. D. and M. E. Schweitzer (2000) : “Does Wage Inflation Cause Price
Inflation?”, Federal Reserve Bank of Cleveland - Policy Discussion
Papers No. 10.
Ishak-Kasim, S. and A. D. Ahmed (2009) : “Inflation Expectations Formation and
Financial Stability in Indonesia“,The Empirical Economics Letters,
Vol. 8, No. 9, pp. 833-842.
Ito, T., and K. Sato. (2006): “Exchange Rate Changes and Inflation in Post-Crisis
Asian Economies: VAR Analysis of the Exchange Rate Pass-Through,”
NBER Working Paper Series, No. 12395.
157
Jacobs, J. P.A.M., J. E. Ligtharty, and H. Vrijburg (2009) : “Dynamic Panel Data
Models Featuring Endogenous Interaction and Spatially Correlated
Errors”, CentER Discussion Paper Series, No. 2009-92.
Justiniano, A. and G. E. Primiceri (2008) : “Potential and Natural Output”,
Federal Reserve Bank of Chicago Working Papers.
Kapoor, M., H. Kelejian, and I. R. Prucha (2007): “Panel Data Models with
Spatially Correlated Error Components”, Journal of Econometrics,
No. 140, pp. 97-130.
Kelejian, H.H. and I.R. Prucha (1999) : “A Generalized Moments Estimator for
the Autoregressive Parameter in a Spatial Model”, International
Economic Review, Vol. 40, No. 2, pp. 509-533.
Kiley, M. T. (2009) : “Inflation Expectations, Uncertainty, the Phillips Curve, and
Monetary Policy”, Finance and Economics Discussion Series – Federal
Reserve Board, Washington, D.C. No. 2009-15.
Kukenova, M., and J. A. Monteiro (2009): “Spatial Dynamic Panel Model and
System GMM: A Monte Carlo Investigation”, mimeo, University of
Lausanne.
Kwon, G., L. Mcfarlane, And W. Robinson (2009) : “ Public Debt, Money
Supply, and Inflation: A Cross-Country Study”, IMF Staff Papers,
Vol. 56, No. 3, pp. 476-515.
Ladiray, D., G. L. Mazzi, and F. Sartori (2003) : “Statistical Methods for Potential
Output Estimation and Cycle Extraction”, European Commission
Working Papers and Studies, No. KS-AN-03-15-EN-N. European
Communities. Luxembourg.
Lemos, S. (2004a) : “The Effect of the Minimum Wage on Prices in Brazil”, IZA
Discussion Paper, No. 1071.
Lemos, S. (2004b) : “The Effect of the Minimum Wage on Prices”, IZA
Discussion Paper, No. 1072.
Lünnemann, P., and T. Y. Mathä (2005) : “Regulated and Services’ Prices and
Inflation Persistence”, ECB Working Papers, No. 466.
Mankiw, N. G. (2007) : “Makroekonomi”, Edisi Keenam. Terjemahan dari
Macroeconomics. 6th Editon. Worth Publishers. Liza, F dan Imam
Nurmawan, [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Marques, H., G. Pino and J. D. Tena (2009) : “Regional Inflation Dynamics Using
Space-Time Models”, CRENOS Working Paper, No. 2009/15.
Mehrotra, A., T. Peltonen and A.S. Rivera (2007) : “Modelling inflation in China
– a regional perspective”, BOFIT Discussion Papers Bank of Finland,
No. 19/2007.
Mishkin, F. S. (2004) : “The Economics of Money, Banking, and Financial
Markets”, 7th Ed. Pearson Addison Wesley.
158
Mohanty, M. S., and M. Klau (2001) : “What Determines Inflation in Emerging
Market Economies” Bank for International Settlements (BIS) Papers,
No. 8. pp. 1-38.
Oommen, M. A. (2008) : “Fiscal Decentralisation to Local Governments in
India”, Cambridge Scholars Publishing. Newcastle, UK.
Oosterhaven, J. and J. P. Elhorst (2003) : "Indirect Economic Benefits of
Transport Infrastructure Investments", Across The Border. pp. 143-161.
De Boeck, Ltd.
Orphanides, A., and J. C. Williams (2003) : “Imperfect Knowledge, Inflation
Expectations, And Monetary Policy”, NBER Working Paper Series,
No. 9884.
Prasertnukul, W., D. Kim and M. Kakinaka (2010) : “Exchange Rates, Price
Levels, and Inflation Targeting: Evidence from Asian Countries”,
Graduate School of International Relations International - University of
Japan (GSIR) Working Papers, No. EDP10-1.
Roger, S. (1998) : “Core Inflation: Concepts, Uses and Measurement”, Reserve
Bank of New Zealand Discussion Paper Series, No. G98/9.
Romer, D. (2006) : “Advanced Macroeconomics”, 3rd Ed. McGraw-Hill/Irvin.
Salvatore, D. (1996) : “International Economics”, 5th Ed. Alih Bahasa. Jilid 1.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Sims, C. A. (1994) : “A Simple Model for Study of The Determination of The
Price Level and The Interaction of Monetary and Fiscal Policy”,
Economic Theory, Vol. 4, No. 3, pp. 381-399.
Solikin (2004) : “Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia :
Keberadaan, Linearitas, dan Pembentukan Ekspektasi”, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan (BEMP), Maret, Bank Indonesia.
Solikin (2007) : “Karakteristik Tekanan Inflasi di Indonesia: Pengaruh Dinamis
Sisi Permintaan-Penawaran dan Prospek ke Depan”, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan (BEMP), Januari, Bank Indonesia.
Solikin dan I. Sugema (2004) : “Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya bagi
Kebijakan Moneter di Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan (BEMP), September, Bank Indonesia.
Sugiyarto, G. and B. A. Endriga (2008) : “Do Minimum Wages Reduce
Employment and Training?”, Asian Development Bank  Economics and
Research Department Working Paper Series No. 113.
Tambunan, T. (2009) : “Perekonomian Indonesia”, Ghalia Indonesia. Jakarta.
Verbeek, M. (2008) : “A Guide to Modern Econometrics”, 3rd Ed. Chicester: John
Wiley & Sons. Ltd. West Sussex.
Windmeijer, F. (2005) : “A Finite Sample Correction for The Variance of Linear
Efficient Two-Step GMM Estimators”, Journal of Econometrics,
No. 126, 25 – 51.
159
Wimanda, R. E. (2006) : “Regional Inflation in Indonesia: Characteristic,
Convergence, and Determinants”, Bank Indonesia Working Papers,
No. WP/ 13 / 2006.
Wimanda, R. E., P. Turner and M. J. B. Hall (2011) : “Expectations and The
Inertia of Inflation: The Case of Indonesia”, Journal of Policy Modeling,
Vol. 33, Issue 3, pp. 426-438. [abstract] EconPapers
World Bank (2009) : “World Development Report (WDR) 2009 : Reshaping
Economic Geography”, The World Bank. Washington, DC.
Halaman ini sengaja dikosongkan
161
Lampiran 1 Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Program Eviews v6
ln IHK (P)
Panel unit root test: Summary
Series: P
Date: 03/12/11 Time: 13:12
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-9.7309
Breitung t-stat
-2.4118
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-1.7944
ADF - Fisher Chi-square
73.9352
PP - Fisher Chi-square
99.8052
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
0.0079
26
26
250
224
0.0364
0.0244
0.0001
26
26
26
250
250
260
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari ln IHK ( P)
Panel unit root test: Summary
Series: D(AP)
Date: 03/12/11 Time: 13:15
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-12.9413
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-6.9265
ADF - Fisher Chi-square
151.4514
PP - Fisher Chi-square
216.5206
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
220
0.0000
0.0000
0.0000
26
26
26
220
220
234
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
162
“Suku Bunga” (IR)
Panel unit root test: Summary
Series: IR
Date: 03/12/11 Time: 13:28
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-12.1771
Breitung t-stat
0.9414
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-3.3565
ADF - Fisher Chi-square
105.0075
PP - Fisher Chi-square
162.0858
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
0.8268
26
26
253
227
0.0004
0.0000
0.0000
26
26
26
253
253
260
Crosssections
Obs
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari “Suku Bunga” ( IR)
Panel unit root test: Summary
Series: D(IR)
Date: 03/12/11 Time: 13:29
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-16.1352
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-9.9451
ADF - Fisher Chi-square
204.5965
PP - Fisher Chi-square
327.9354
Prob.**
0.0000
26
216
0.0000
0.0000
0.0000
26
26
26
216
216
234
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
163
ln M1 (M1)
Panel unit root test: Summary
Series: M1
Date: 03/12/11 Time: 13:17
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-9.4393
Levin, Lin & Chu t*
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
236
-0.6682
0.2520
26
210
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-2.1005
Im, Pesaran and Shin W-stat
90.8938
ADF - Fisher Chi-square
0.0178
26
236
0.0007
26
236
61.4413
0.1737
26
260
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
215
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-7.8734
Im, Pesaran and Shin W-stat
168.8520
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
215
0.0000
26
215
189.2346
0.0000
26
234
Breitung t-stat
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari ln M1 ( M1)
Panel unit root test: Summary
Series: D(M1)
Date: 03/12/11 Time: 13:17
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-14.3416
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
164
ln KURS (XR)
Panel unit root test: Summary
Series: XR
Date: 03/15/11 Time: 17:35
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
User specified lags at: 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0006
26
234
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
2.5096
Im, Pesaran and Shin W-stat
16.3061
ADF - Fisher Chi-square
0.9940
26
234
1.0000
26
234
0.7272
1.0000
26
260
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
208
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-25.5593
Im, Pesaran and Shin W-stat
431.5761
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
208
0.0000
26
208
370.9997
0.0000
26
234
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-3.2472
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari ln KURS ( XR)
Panel unit root test: Summary
Series: D(XR)
Date: 03/15/11 Time: 17:33
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
User specified lags at: 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-49.2175
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
165
ln “GAJI MINIMUM PNS” (W2)
Panel unit root test: Summary
Series: W2
Date: 03/12/11 Time: 13:24
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-5.0244
Levin, Lin & Chu t*
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
260
-4.4263
0.0000
26
234
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-0.0242
Im, Pesaran and Shin W-stat
41.1700
ADF - Fisher Chi-square
0.4903
26
260
0.8598
26
260
39.914238
0.8897
26
260
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
234
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-9.0332
Im, Pesaran and Shin W-stat
180.6372
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
234
0.0000
26
234
179.2809
0.0000
26
234
Breitung t-stat
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari ln “GAJI MINIMUM PNS” ( W2)
Panel unit root test: Summary
Series: D(W2)
Date: 03/12/11 Time: 13:25
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-17.6673
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
166
ln “INDEKS HARGA BBM” (BM)
Panel unit root test: Summary
Series: BM
Date: 03/12/11 Time: 13:26
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-7.0806
Levin, Lin & Chu t*
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
260
-3.0760
0.0010
26
234
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-0.5872
Im, Pesaran and Shin W-stat
48.3319
ADF - Fisher Chi-square
0.2785
26
260
0.6189
26
260
46.161953
0.7017
26
260
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
234
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-8.1940
Im, Pesaran and Shin W-stat
166.3980
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
234
0.0000
26
234
250.3580
0.0000
26
234
Breitung t-stat
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari ln “INDEKS HARGA BBM” ( BM)
Panel unit root test: Summary
Series: D(BM)
Date: 03/12/11 Time: 13:27
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-16.4082
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
167
ln “PENGELUARAN PEMERINTAH” (G)
Panel unit root test: Summary
Series: G
Date: 03/12/11 Time: 13:21
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-11.4830
Levin, Lin & Chu t*
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
255
-0.0636
0.4746
26
229
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-1.8832
Im, Pesaran and Shin W-stat
70.7246
ADF - Fisher Chi-square
0.0298
26
255
0.0430
26
255
47.5833
0.6481
26
260
Breitung t-stat
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari ln “PENGELUARAN PEMERINTAH” ( G)
Panel unit root test: Summary
Series: D(G)
Date: 03/12/11 Time: 13:21
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
227
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-7.6611
Im, Pesaran and Shin W-stat
157.2753
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
227
0.0000
26
227
144.9795
0.0000
26
234
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-14.2942
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
168
ln “UPAH MINIMUM PROVINSI/UMP” (W1)
Panel unit root test: Summary
Series: W1
Date: 03/12/11 Time: 13:22
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-13.4858
Levin, Lin & Chu t*
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
254
0.2371
0.5937
26
228
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-4.2887
Im, Pesaran and Shin W-stat
109.1367
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
254
0.0000
26
254
122.7309
0.0000
26
260
Breitung t-stat
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari ln “UPAH MINIMUM PROVINSI/UMP” ( W1)
Panel unit root test: Summary
Series: D(W1)
Date: 03/12/11 Time: 13:23
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
229
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-8.2761
Im, Pesaran and Shin W-stat
160.6471
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
229
0.0000
26
229
183.0036
0.0000
26
234
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-16.0341
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
169
ln INFRASTRUKTUR (IS)
Panel unit root test: Summary
Series: IS
Date: 03/12/11 Time: 13:33
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-8.7645
Levin, Lin & Chu t*
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
250
-0.4584
0.3233
26
224
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-1.7430
Im, Pesaran and Shin W-stat
79.0462
ADF - Fisher Chi-square
0.0407
26
250
0.0092
26
250
87.8803
0.0014
26
260
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
229
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-8.4009
Im, Pesaran and Shin W-stat
171.6119
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
229
0.0000
26
229
233.1021
0.0000
26
234
Breitung t-stat
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari ln INFRASTRUKTUR ( IS)
Panel unit root test: Summary
Series: D(IS)
Date: 03/12/11 Time: 13:34
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-15.9528
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
170
“TRADE OPENNESS” (OP)
Panel unit root test: Summary
Series: OP
Date: 02/15/11 Time: 12:02
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-8.8335
Levin, Lin & Chu t*
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
250
1.0823
0.8604
26
224
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-2.0419
Im, Pesaran and Shin W-stat
85.8803
ADF - Fisher Chi-square
0.0206
26
250
0.0022
26
250
135.2118
0.0000
26
260
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
223
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-9.6254
Im, Pesaran and Shin W-stat
184.4550
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
223
0.0000
26
223
251.7582
0.0000
26
234
Breitung t-stat
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Differencing dari “TRADE OPENNESS” ( OP)
Panel unit root test: Summary
Series: D(OP)
Date: 02/15/11 Time: 12:02
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-19.6233
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
171
INTERAKSI PENYESUAIAN UMP DAN
PERUBAHAN INFRASTRUKTUR (DW1IS = W1
IS)
Panel unit root test: Summary
Series: DW1IS
Date: 05/14/11 Time: 01:55
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
User specified lags at: 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Balanced observations for each test
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
208
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-7.8256
Im, Pesaran and Shin W-stat
143.0990
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
208
0.0000
26
208
131.1424
0.0000
26
234
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-29.2346
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
INTERAKSI PERUBAHAN TRADE OPENNESS DAN
PERUBAHAN INFRASTRUKTUR (DOPIS= OP
IS)
Panel unit root test: Summary
Series: DOPIS
Date: 05/07/11 Time: 20:57
Sample: 1999 2009
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Prob.**
Crosssections
Obs
0.0000
26
231
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
-4.7057
Im, Pesaran and Shin W-stat
121.8938
ADF - Fisher Chi-square
0.0000
26
231
0.0000
26
231
144.1526
0.0000
26
234
Method
Statistic
Null: Unit root (assumes common unit root process)
-8.7515
Levin, Lin & Chu t*
PP - Fisher Chi-square
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
172
Lampiran 2 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Inflasi dengan Beberapa
Variabel yang Diteliti dengan Program Eviews v6
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/07/11 Time: 20:16
Sample: 1999 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
DBM does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DBM
208
5.4710
33.1914
0.0049
0.0000
DG does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DG
208
5.9738
20.8708
0.0030
0.0000
DIR does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DIR
208
7.0209
47.9498
0.0011
0.0000
DIS does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DIS
208
3.4801
1.5523
0.0327
0.2143
DM1 does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DM1
208
14.6428
23.5896
0.0000
0.0000
DOP does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DOP
208
0.0971
3.7852
0.9075
0.0243
DOPIS does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DOPIS
208
5.1231
3.6457
0.0068
0.0278
DW1 does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DW1
208
1.9668
26.3641
0.1426
0.0000
DW1IS does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DW1IS
208
1.0030
0.7191
0.3686
0.4884
DW2 does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DW2
208
6.2858
34.4923
0.0022
0.0000
DXR does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DXR
208
3.4712
16.8271
0.0329
0.0000
OG does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause OG
208
3.5749
0.1453
0.0298
0.8648
Keterangan variabel :
dp
dm1
dg
og
dir
dxr
dw1
dw2
dbm
dop
dis
dw1is
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
P
M1
G
OG
IR
XR
W1
W2
BM
OP
IS
W1  IS
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
dopis
= OP  IS
:
inflasi
pertumbuhan M1
perubahan belanja daerah
output gap
penyesuaian suku bunga
pergerakan nilai tukar/kurs
penyesuaian UMP
penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI
penyesuaian harga BBM
perubahan trade openness
perubahan kondisi infrastruktur
interaksi antara penyesuaian UMP dengan perubahan kondisi
infrastruktur
interaksi antara perubahan trade openness dengan perubahan
kondisi infrastruktur
Lampiran 3 Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) dan Spasial Dinamis (SAB)
Tabel 1 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) : tanpa Predetermine Variable
Variabel
lag P
Model 1
W1  IS
-
0.9814
(0.0998)
0.0852
(0.0628)
-0.0087
(0.0006)
-0.0208
(0.0103)
0.0971
(0.0205)
-0.0209
(0.0180)
-0.0141
(0.0181)
0.0337
(0.0077)
0.0858
(0.0051)
-0.0001
(0.0043)
-0.0033
(0.0219)
-
OP  IS
-
-
OG
IR
M1
XR
G
W1
W2
BM
IS
OP
Wald-Test
Arelano-Bond - m1
Arelano-Bond - m2
Sargan Test
0.9884
(0.0717)
0.0864
(0.0612)
-0.0087
(0.0005)
-0.0202
(0.0103)
0.0970
(0.0123)
-0.0207
(0.0181)
-0.0145
(0.0189)
0.0340
(0.0081)
0.0857
(0.0050)
0.0000
(0.0057)
-
4831.98
-3.7073
0.6338
25.5588
***
Model 2
***
**
***
***
***
[0.0000]
[0.0002]
[0.5262]
[1.0000]
4645.55
-3.5956
0.6109
25.3097
***
***
**
***
***
***
Model 3
0.9831
(0.0668)
0.0857
(0.0651)
-0.0087
(0.0005)
-0.0210
(0.0111)
0.0971
(0.0106)
-0.0195
(0.0159)
-0.0169
(0.0187)
0.0329
(0.0072)
0.0854
(0.0049)
-0.0019
(0.0050)
-
***
***
*
***
***
***
0.0308
(0.0331)
[0.0000]
[0.0003]
[0.5412]
[1.0000]
4577.78
-3.6681
0.7721
25.3774
Model 4
0.9727
(0.0771)
0.0843
(0.0600)
-0.0087
(0.0005)
-0.0264
(0.0110)
0.0959
(0.0161)
-0.0171
(0.0161)
-0.0136
(0.0193)
0.0325
(0.0077)
0.0859
(0.0051)
0.0008
(0.0051)
-
***
***
**
***
***
***
-
[0.0000]
[0.0002]
[0.4401]
[1.0000]
Model 5
0.9700
(0.1246)
0.0818
(0.0659)
-0.0086
(0.0008)
-0.0261
(0.0124)
0.0962
(0.0222)
-0.0185
(0.0191)
-0.0134
(0.0186)
0.0330
(0.0086)
0.0857
(0.0048)
0.0009
(0.0055)
-0.0006
(0.0168)
-
-0.1063 *
(0.0587)
-0.1084
(0.0685)
5007.81
-3.5813
0.6474
25.3649
3655.58
-3.4578
0.6147
25.1449
[0.0000]
[0.0003]
[0.5174]
[1.0000]
***
***
**
***
***
***
Model 6
0.9744
(0.0760)
0.0856
(0.0526)
-0.0087
(0.0005)
-0.0251
(0.0093)
0.0957
(0.0163)
-0.0181
(0.0166)
-0.0143
(0.0184)
0.0332
(0.0074)
0.0857
(0.0051)
-
***
***
***
***
***
***
-
0.9794
(0.0541)
0.0895
(0.0565)
-0.0087
(0.0004)
-0.0254
(0.0096)
0.1010
(0.0091)
-0.0168
(0.0141)
-0.0143
(0.0184)
0.0305
(0.0068)
0.0873
(0.0037)
-
***
***
***
***
***
***
-
-
[0.0000]
[0.0005]
[0.5387]
[1.0000]
Model 7
-0.1020 *
(0.0609)
0.0247
(0.0228)
-0.1163 **
(0.0528)
5063.73
-3.6541
0.6787
25.4306
3475.33
-3.4568
0.5160
25.5102
[0.0000]
[0.0003]
[0.4974]
[1.0000]
[0.0000]
[0.0005]
[0.6059]
[1.0000]
173
174
Tabel 2 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) : dengan Predetermine Variable M1
Variabel
lag P
Model 1
W1  IS
-
0.9754
(0.1738)
0.0553
(0.0629)
-0.0086
(0.0008)
-0.0209
(0.0139)
0.0975
(0.0365)
-0.0214
(0.0169)
-0.0130
(0.0148)
0.0333
(0.0075)
0.0855
(0.0040)
0.0001
(0.0063)
-0.0012
(0.0220)
-
OP  IS
-
-
OG
IR
M1
XR
G
W1
W2
BM
IS
OP
Wald-Test
Arelano-Bond - m1
Arelano-Bond - m2
Sargan Test
0.9751
(0.1759)
0.0567
(0.0613)
-0.0086
(0.0009)
-0.0202
(0.0187)
0.0957
(0.0352)
-0.0190
(0.0151)
-0.0137
(0.0142)
0.0324
(0.0076)
0.0857
(0.0037)
0.0004
(0.0065)
-
6305.53
-3.5720
0.2402
25.6671
***
Model 2
***
***
***
***
[0.0000]
[0.0004]
[0.8102]
[1.0000]
Keterangan : *** : signifikan pada 01%
Keterangan : *** : signifikan pada 05%
Keterangan : *** : signifikan pada 10%
5495.03
-3.6204
0.2758
25.3512
Model 3
***
0.9749
(0.1487)
0.0639
(0.1088)
-0.0086
(0.0009)
-0.0197
(0.0209)
0.0972
(0.0340)
-0.0210
(0.0200)
-0.0159
(0.0160)
0.0329
(0.0111)
0.0849
(0.0044)
-0.0020
(0.0060)
-
***
***
***
***
***
***
***
***
***
0.0331
(0.0405)
[0.0000]
[0.0003]
[0.7827]
[1.0000]
4098.86
-3.2585
0.3358
25.5578
Model 4
0.9655
(0.1452)
0.0499
(0.0816)
-0.0086
(0.0008)
-0.0232
(0.0204)
0.0979
(0.0308)
-0.0209
(0.0195)
-0.0126
(0.0168)
0.0333
(0.0095)
0.0861
(0.0045)
0.0013
(0.0063)
-
***
***
***
***
***
-
[0.0000]
[0.0011]
[0.7370]
[1.0000]
Model 5
0.9609
(0.0954)
0.0484
(0.0804)
-0.0086
(0.0006)
-0.0244
(0.0166)
0.0958
(0.0235)
-0.0209
(0.0193)
-0.0110
(0.0222)
0.0334
(0.0107)
0.0856
(0.0042)
0.0009
(0.0040)
0.0021
(0.0201)
-
-0.0988 *
(0.0594)
-0.1084
(0.0685)
5087.20
-3.4834
0.3496
25.2348
3958.63
-3.5053
0.3262
25.0621
( ) : robust standart error
[ ] : P-Value
[0.0000]
[0.0005]
[0.7266]
[1.0000]
***
***
***
***
***
Model 6
0.9654
(0.1365)
0.0509
(0.0813)
-0.0086
(0.0007)
-0.0228
(0.0228)
0.0983
(0.0309)
-0.0206
(0.0189)
-0.0119
(0.0149)
0.0332
(0.0095)
0.0863
(0.0046)
-
***
***
***
***
***
-
0.0310 ***
(0.0103)
0.0872 ***
(0.0035)
-
0.0282
(0.0369)
-0.1075 *
(0.0625)
-0.0956
(0.0648)
5422.56
-3.5019
0.3572
25.2464
0.9685 ***
(0.1631)
0.0456
(0.0822)
-0.0086 ***
(0.0008)
-0.0247
(0.0217)
0.1017 ***
(0.0347)
-0.0201
(0.0192)
-
-
-
[0.0000]
[0.0005]
[0.7443]
[1.0000]
Model 7
[0.0000]
[0.0005]
[0.7210]
[1.0000]
4175.88
-3.2366
0.2237
25.3948
[0.0000]
[0.0012]
[0.8230]
[1.0000]
Tabel 3 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Spasial Dinamis (SAB)
Variabel
lag P
Model 1
W1  IS
-
0.7640
(0.1611)
0.3517
(0.1723)
0.0543
(0.0954)
-0.0070
(0.0013)
0.0051
(0.0259)
0.0563
(0.0280)
-0.0241
(0.0357)
-0.0307
(0.0676)
0.0314
(0.0149)
0.0469
(0.0206)
0.0005
(0.0137)
0.0099
(0.0395)
-
OP  IS
-
-
WP
OG
IR
M1
XR
G
W1
W2
BM
IS
OP
Wald-Test
Arelano-Bond - m1
Arelano-Bond - m2
Sargan Test
0.7593
(0.1250)
0.3482
(0.1673)
0.0559
(0.0874)
-0.0070
(0.0011)
0.0076
(0.0284)
0.0578
(0.0195)
-0.0241
(0.0297)
-0.0297
(0.0409)
0.0312
(0.0142)
0.0476
(0.0198)
0.0002
(0.0117)
-
6538.45
-1.7976
-1.0947
23.7571
***
Model 2
**
***
***
**
**
[0.0000]
[0.0722]
[0.2737]
[1.0000]
9872.94
-1.6913
-0.8314
23.9944
***
**
***
**
**
**
Model 3
0.7230
(0.1576)
0.3943
(0.2049)
0.0569
(0.0830)
-0.0067
(0.0013)
0.0093
(0.0302)
0.0539
(0.0215)
-0.0210
(0.0177)
-0.0401
(0.0435)
0.0282
(0.0096)
0.0425
(0.0230)
-0.0042
(0.0147)
-
***
*
***
**
***
*
0.0731
(0.0914)
[0.0000]
[0.0908]
[0.4058]
[1.0000]
6558.14
-2.1839
-0.6027
23.2646
[0.0000]
[0.0290]
[0.5467]
[1.0000]
Model 4
0.7537
(0.1268)
0.3544
(0.1388)
0.0542
(0.0805)
-0.0070
(0.0010)
0.0020
(0.0327)
0.0579
(0.0213)
-0.0210
(0.0342)
-0.0304
(0.0289)
0.0303
(0.0145)
0.0470
(0.0147)
0.0019
(0.0104)
-
0.7414
(0.1636)
0.3648
(0.1637)
0.0503
(0.0875)
-0.0069
(0.0011)
0.0024
(0.0323)
0.0539
(0.0313)
-0.0256
(0.0369)
-0.0275
(0.0353)
0.0318
(0.0156)
0.0459
(0.0174)
0.0019
(0.0104)
0.0141
(0.0215)
-
-0.1445
(0.3563)
-0.1280
(0.3967)
6050.19
-2.1844
-0.9078
23.7341
***
Model 5
**
***
***
**
***
[0.0000]
[0.0289]
[0.3640]
[1.0000]
8433.42
-2.0696
-0.7960
23.2734
***
**
***
*
**
***
Model 6
0.7469
(0.1424)
0.3555
(0.1678)
0.0509
(0.0768)
-0.0070
(0.0012)
0.0022
(0.0366)
0.0568
(0.0209)
-0.0220
(0.0363)
-0.0302
(0.0254)
0.0311
(0.0148)
0.0469
(0.0182)
-
***
**
***
***
**
**
0.7747 ***
(0.1902)
0.3193
(0.2119)
0.0549
(0.0974)
-0.0072 ***
(0.0017)
0.0004
(0.0336)
0.0702 ***
(0.0229)
-0.0256
(0.0338)
0.0286 **
(0.0128)
0.0537 **
(0.0236)
-
-
-
-
0.0463
(0.1059)
-0.1451
(0.3296)
-0.1609
(0.4100)
[0.0000]
[0.0385]
[0.4260]
[1.0000]
Model 7
5969.83
-2.5258
-0.8634
23.4472
[0.0000]
[0.0115]
[0.3879]
[1.0000]
5939.92
-2.4455
-0.5436
23.1462
[0.0000]
[0.0145]
[0.5867]
[1.0000]
175
176
Lampiran 3 Scripts Input dan Hasil Output untuk Metode Data Panel Statis dan
Dinamis untuk Model Non Spasial dan Spasial dengan Program
STATA v.10
dp
= P
: inflasi
L1.
= lag P
: lag inflasi
wdp
= WP
: keterkaitan inflasi secara spasial
og
= OG
: output gap
dm1
= M1
: pertumbuhan M1
dg
= G
: perubahan belanja daerah
dir
= IR
: penyesuaian suku bunga
dxr
= XR
: pergerakan nilai tukar/kurs
dw1
= W1
: penyesuaian UMP
dw2
= W2
: penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI
dbm
= BM
: penyesuaian harga BBM
dop
= OP
: perubahan trade openness
dis
= IS
: perubahan kondisi infrastruktur
dw1is
= W1  IS
: interaksi antara penyesuaian UMP dengan
perubahan kondisi infrastruktur
dopis
= OP  IS
: interaksi antara perubahan trade openness
dengan perubahan kondisi infrastruktur
dopisjw
= OP  IS  DJW
: interaksi antara perubahan trade openness
dengan perubahan kondisi infrastruktur
untuk Pulau Jawa
dopiskti = OP  IS  DKTI
: interaksi antara perubahan trade openness
dengan perubahan kondisi infrastruktur
untuk KBI
dit
: dummy inflation targeting
Ldpit
= lag P  DIT
: persistensi inflasi setelah kebijakan ITF
dxrit
= XR  DIT
: pass through setelah kebijakan ITF
_cons
: konstanta
. use "C:\tmp\Data_OK.dta"
. xtset prov tahun, yearly
panel variable: prov (strongly balanced)
time variable: tahun, 1999 to 2009
delta: 1 year
177
1. Model Dasar Non Spasial
. xtreg dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis,fe
Fixed-effects (within) regression
Group variable: prov
Number of obs
Number of groups
=
=
234
26
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
9
9.0
9
within = 0.9255
between = 0.9529
overall = 0.9247
corr(u_i, Xb)
= 0.1147
F(10,198)
Prob > F
=
=
245.98
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------dp |
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.7111903
.0372194
19.11
0.000
.637793
.7845875
og |
.037336
.026168
1.43
0.155
-.0142678
.0889398
dir | -.0077373
.0002924
-26.46
0.000
-.008314
-.0071605
dm1 |
-.030885
.010683
-2.89
0.004
-.051952
-.0098179
dxr | -.0219959
.0149826
-1.47
0.144
-.0515419
.0075501
dg | -.0168038
.006138
-2.74
0.007
-.028908
-.0046996
dw2 |
.0351674
.0038323
9.18
0.000
.0276101
.0427247
dbm |
.0856565
.0046519
18.41
0.000
.0764828
.0948302
dw1is |
.0148918
.0215054
0.69
0.489
-.0275171
.0573008
dopis | -.0777744
.042306
-1.84
0.068
-.1612026
.0056539
_cons |
.0042946
.0038177
1.12
0.262
-.0032341
.0118232
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .00289289
sigma_e | .01310667
rho |
.0464536
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0:
F(25, 198) =
0.38
Prob > F = 0.9970
. est sto fixed
. xttest3
Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity
in fixed effect regression model
H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i
chi2 (26) =
Prob>chi2 =
27.78
0.3694
. predict resid, e
. tsset prov tahun, yearly
panel variable: prov (strongly balanced)
time variable: tahun, 1999 to 2009
delta: 1 year
. xtserial resid
Wooldridge test for autocorrelation in panel data
H0: no first-order autocorrelation
F( 1,
25) =
10.442
Prob > F =
0.0034
. drop resid
178
. xtreg dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis,re
Random-effects GLS regression
Group variable: prov
Number of obs
Number of groups
=
=
234
26
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
9
9.0
9
within = 0.9456
between = 0.9741
overall = 0.9467
Random effects u_i ~ Gaussian
corr(u_i, X)
= 0 (assumed)
Wald chi2(10)
Prob > chi2
=
=
3957.25
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
1.001675
.0376503
26.60
0.000
.927882
1.075468
og |
.0497537
.0201758
2.47
0.014
.0102099
.0892975
dir | -.0087936
.0002458
-35.77
0.000
-.0092754
-.0083119
dm1 | -.0251916
.0081473
-3.09
0.002
-.0411601
-.0092231
dxr |
.1058178
.0109319
9.68
0.000
.0843917
.1272439
dg | -.0165211
.0047968
-3.44
0.001
-.0259226
-.0071196
dw2 |
.0293222
.0031087
9.43
0.000
.0232291
.0354152
dbm |
.0862474
.0035184
24.51
0.000
.0793515
.0931433
dw1is |
.0196606
.0161218
1.22
0.223
-.0119375
.0512587
dopis | -.0884319
.0328508
-2.69
0.007
-.1528182
-.0240456
_cons | -.0122543
.0032154
-3.81
0.000
-.0185563
-.0059522
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u |
0
sigma_e | .01118675
rho |
0
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------. est sto random
. xttest0
Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects
dp[prov,t] = Xb + u[prov] + e[prov,t]
Estimated results:
|
Var
sd = sqrt(Var)
---------+----------------------------dp |
.002044
.0452106
e |
.0001251
.0111868
u |
0
0
Test:
Var(u) = 0
chi2(1) =
Prob > chi2 =
9.25
0.0024
179
. hausman fixed random
---- Coefficients ---|
(b)
(B)
(b-B)
sqrt(diag(V_b-V_B))
|
fixed
random
Difference
S.E.
-------------+---------------------------------------------------------------L.dp |
.9817382
1.001675
-.019937
.0203791
og |
.0506212
.0497537
.0008675
.0085455
dir |
-.0086968
-.0087936
.0000968
.000118
dm1 |
-.0240913
-.0251916
.0011003
.0029672
dxr |
.1026348
.1058178
-.003183
.0042114
dg |
-.0178291
-.0165211
-.001308
.0018821
dw2 |
.0300617
.0293222
.0007396
.0011765
dbm |
.0865738
.0862474
.0003264
.0011597
dw1is |
.0237936
.0196606
.004133
.0083678
dopis |
-.0854657
-.0884319
.0029662
.0140073
-----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg
B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg
Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic
chi2(10) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
=
1.83
Prob>chi2 =
0.9975
. regress dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis
Source |
SS
df
MS
-------------+-----------------------------Model |
.45084585
10 .045084585
Residual | .025406214
223 .000113929
-------------+-----------------------------Total | .476252064
233
.002044
Number of obs
F( 10,
223)
Prob > F
R-squared
Adj R-squared
Root MSE
=
=
=
=
=
=
234
395.72
0.0000
0.9467
0.9443
.01067
-----------------------------------------------------------------------------dp |
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
1.001675
.0376503
26.60
0.000
.9274793
1.075871
og |
.0497537
.0201758
2.47
0.014
.0099941
.0895133
dir | -.0087936
.0002458
-35.77
0.000
-.009278
-.0083092
dm1 | -.0251916
.0081473
-3.09
0.002
-.0412473
-.009136
dxr |
.1058178
.0109319
9.68
0.000
.0842747
.1273608
dg | -.0165211
.0047968
-3.44
0.001
-.0259739
-.0070683
dw2 |
.0293222
.0031087
9.43
0.000
.0231959
.0354484
dbm |
.0862474
.0035184
24.51
0.000
.0793138
.093181
dw1is |
.0196606
.0161218
1.22
0.224
-.0121099
.0514311
dopis | -.0884319
.0328508
-2.69
0.008
-.1531696
-.0236942
_cons | -.0122543
.0032154
-3.81
0.000
-.0185907
-.0059178
-----------------------------------------------------------------------------. est drop fixed random
180
. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis, noconstant twostep pre(dm1) vce(r)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: prov
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
88
Wald chi2(10)
Prob > chi2
=
=
208
26
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
4175.88
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------|
WC-Robust
dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.9685081
.1631096
5.94
0.000
.6488191
1.288197
dm1 | -.0247074
.021674
-1.14
0.254
-.0671876
.0177729
og |
.0455943
.0821711
0.55
0.579
-.1154581
.2066468
dir | -.0085929
.0007747
-11.09
0.000
-.0101113
-.0070744
dxr |
.1016518
.0346976
2.93
0.003
.0336457
.1696578
dg | -.0200854
.0191669
-1.05
0.295
-.0576518
.0174809
dw2 |
.0310323
.010304
3.01
0.003
.0108368
.0512278
dbm |
.087223
.0034712
25.13
0.000
.0804196
.0940264
dw1is |
.0281787
.0368929
0.76
0.445
-.04413
.1004873
dopis | -.1075166
.0625427
-1.72
0.086
-.2300982
.0150649
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1
Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-3.2366 0.0012 |
|
2 | .22366 0.8230 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(78)
Prob > chi2
=
=
25.3948
1.0000
181
2. Model Dasar Spasial
. xtreg dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis,fe
Fixed-effects (within) regression
Group variable: prov
Number of obs
Number of groups
=
=
234
26
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
9
9.0
9
within = 0.9545
between = 0.9636
overall = 0.9537
corr(u_i, Xb)
= 0.1134
F(11,197)
Prob > F
=
=
375.90
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------dp |
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.8204876
.0471186
17.41
0.000
.727566
.9134093
wdp |
.30364
.0489504
6.20
0.000
.2071058
.4001741
og |
.0489732
.0201376
2.43
0.016
.0092602
.0886862
dir | -.0073892
.0003263
-22.65
0.000
-.0080326
-.0067457
dm1 | -.0058049
.0084935
-0.68
0.495
-.0225548
.0109451
dxr |
.0703531
.0119229
5.90
0.000
.0468402
.093866
dg | -.0171324
.0047666
-3.59
0.000
-.0265325
-.0077323
dw1 | -.0253956
.0088627
-2.87
0.005
-.0428735
-.0079177
dw2 |
.0279487
.0031439
8.89
0.000
.0217487
.0341487
dbm |
.0529339
.0063106
8.39
0.000
.0404889
.0653789
dopis | -.0869023
.0319384
-2.72
0.007
-.1498873
-.0239172
_cons | -.0169529
.0035539
-4.77
0.000
-.0239615
-.0099443
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u |
.002397
sigma_e | .01026642
rho | .05169488
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0:
F(25, 197) =
0.41
Prob > F = 0.9951
. est sto fixed
. xttest3
Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity
in fixed effect regression model
H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i
chi2 (26) =
Prob>chi2 =
51.65
0.0020
. predict resid, e
. tsset prov tahun, yearly
panel variable: prov (strongly balanced)
time variable: tahun, 1999 to 2009
delta: 1 year
. xtserial resid
Wooldridge test for autocorrelation in panel data
H0: no first-order autocorrelation
F( 1,
25) =
2.458
Prob > F =
0.1295
. drop resid
182
. xtreg dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis,re
Random-effects GLS regression
Group variable: prov
Number of obs
Number of groups
=
=
234
26
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
9
9.0
9
within = 0.9542
between = 0.9703
overall = 0.9542
Random effects u_i ~ Gaussian
corr(u_i, X)
= 0 (assumed)
Wald chi2(11)
Prob > chi2
=
=
4620.00
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.8732956
.0408614
21.37
0.000
.7932087
.9533825
wdp |
.2695888
.0452306
5.96
0.000
.1809384
.3582392
og |
.0513871
.0187659
2.74
0.006
.0146067
.0881675
dir | -.0077051
.0002896
-26.60
0.000
-.0082727
-.0071375
dm1 | -.0093953
.0080289
-1.17
0.242
-.0251316
.006341
dxr |
.0788002
.0110864
7.11
0.000
.0570713
.1005291
dg | -.0150154
.00449
-3.34
0.001
-.0238157
-.0062152
dw1 | -.0244958
.008219
-2.98
0.003
-.0406047
-.0083868
dw2 |
.0271973
.0029985
9.07
0.000
.0213204
.0330742
dbm |
.0562362
.005879
9.57
0.000
.0447136
.0677589
dopis | -.0920255
.0298926
-3.08
0.002
-.1506139
-.0334371
_cons | -.0191096
.0032874
-5.81
0.000
-.0255527
-.0126664
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u |
0
sigma_e | .01026642
rho |
0
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------. est sto random
. xttest0
Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects
dp[prov,t] = Xb + u[prov] + e[prov,t]
Estimated results:
|
Var
sd = sqrt(Var)
---------+----------------------------dp |
.002044
.0452106
e |
.0001054
.0102664
u |
0
0
Test:
Var(u) = 0
chi2(1) =
Prob > chi2 =
5.77
0.0163
183
. hausman fixed random
---- Coefficients ---|
(b)
(B)
(b-B)
sqrt(diag(V_b-V_B))
|
fixed
random
Difference
S.E.
-------------+---------------------------------------------------------------L.dp |
.8204876
.8732956
-.0528079
.023463
wdp |
.30364
.2695888
.0340512
.0187173
og |
.0489732
.0513871
-.0024139
.0073052
dir |
-.0073892
-.0077051
.0003159
.0001503
dm1 |
-.0058049
-.0093953
.0035904
.0027708
dxr |
.0703531
.0788002
-.008447
.0043872
dg |
-.0171324
-.0150154
-.002117
.0016001
dw1 |
-.0253956
-.0244958
-.0008998
.0033158
dw2 |
.0279487
.0271973
.0007514
.0009452
dbm |
.0529339
.0562362
-.0033024
.0022937
dopis |
-.0869023
-.0920255
.0051232
.0112469
-----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg
B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg
Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic
chi2(11) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
=
6.16
Prob>chi2 =
0.8626
. regress dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis
Source |
SS
df
MS
-------------+-----------------------------Model | .454416477
11 .041310589
Residual | .021835587
222 .000098359
-------------+-----------------------------Total | .476252064
233
.002044
Number of obs
F( 11,
222)
Prob > F
R-squared
Adj R-squared
Root MSE
=
=
=
=
=
=
234
420.00
0.0000
0.9542
0.9519
.00992
-----------------------------------------------------------------------------dp |
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.8732956
.0408614
21.37
0.000
.7927697
.9538215
wdp |
.2695888
.0452306
5.96
0.000
.1804525
.3587252
og |
.0513871
.0187659
2.74
0.007
.014405
.0883691
dir | -.0077051
.0002896
-26.60
0.000
-.0082758
-.0071343
dm1 | -.0093953
.0080289
-1.17
0.243
-.0252179
.0064273
dxr |
.0788002
.0110864
7.11
0.000
.0569522
.1006482
dg | -.0150154
.00449
-3.34
0.001
-.0238639
-.006167
dw1 | -.0244958
.008219
-2.98
0.003
-.040693
-.0082985
dw2 |
.0271973
.0029985
9.07
0.000
.0212882
.0331064
dbm |
.0562362
.005879
9.57
0.000
.0446504
.067822
dopis | -.0920255
.0298926
-3.08
0.002
-.1509351
-.0331159
_cons | -.0191096
.0032874
-5.81
0.000
-.025588
-.0126311
-----------------------------------------------------------------------------. est drop fixed random
184
. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm, twostep noconstant end(wdp dopis) pre(dm1 dg)
inst(dwdm1 dwdg dwdw1 dwdop dwdis) vce(r)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: prov
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
171
Wald chi2(11)
Prob > chi2
=
=
208
26
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
5969.83
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------|
WC-Robust
dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.7468522
.1423592
5.25
0.000
.4678332
1.025871
dm1 |
.0022414
.036557
0.06
0.951
-.069409
.0738919
dg | -.0220143
.0362603
-0.61
0.544
-.0930832
.0490547
wdp |
.3555337
.1678384
2.12
0.034
.0265766
.6844909
dopis | -.1609211
.4100081
-0.39
0.695
-.9645222
.64268
og |
.050926
.0768107
0.66
0.507
-.0996202
.2014721
dir | -.0069862
.001172
-5.96
0.000
-.0092833
-.0046891
dxr |
.0568016
.0209305
2.71
0.007
.0157785
.0978247
dw1 |
-.030187
.0254188
-1.19
0.235
-.0800068
.0196328
dw2 |
.0310961
.0148305
2.10
0.036
.0020289
.0601633
dbm |
.0468605
.0182364
2.57
0.010
.0111178
.0826033
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp L(2/.).dopis
Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm dwdm1 dwdg dwdw1 dwdop dwdis
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-2.5258 0.0115 |
|
2 |-.86336 0.3879 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(160)
Prob > chi2
=
=
23.44723
1.0000
185
3. Model Non Spasial untuk Inflation Targeting
. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis dit Ldpit dxrit, noconstant twostep
pre(dm1) vce(r)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: prov
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
91
Wald chi2(13)
Prob > chi2
=
=
208
26
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
4741.49
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------|
WC-Robust
dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.7070446
.1824968
3.87
0.000
.3493573
1.064732
dm1 | -.0470326
.0225161
-2.09
0.037
-.0911634
-.0029019
og | -.0298654
.0701741
-0.43
0.670
-.1674041
.1076732
dir | -.0093091
.001016
-9.16
0.000
-.0113003
-.0073178
dxr |
.0536469
.0512908
1.05
0.296
-.0468812
.1541749
dg | -.0099056
.0188083
-0.53
0.598
-.0467691
.026958
dw2 |
.0349749
.0124118
2.82
0.005
.0106483
.0593016
dbm |
.0765291
.0072253
10.59
0.000
.0623678
.0906904
dw1is |
.0015584
.0262057
0.06
0.953
-.0498037
.0529206
dopis | -.0442155
.0483043
-0.92
0.360
-.1388902
.0504592
dit | -.0137814
.0108411
-1.27
0.204
-.0350296
.0074667
Ldpit |
.3390343
.1751275
1.94
0.053
-.0042092
.6822779
dxrit |
.0090362
.0623018
0.15
0.885
-.113073
.1311453
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1
Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis D.dit D.Ldpit
D.dxrit
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-3.7782 0.0002 |
|
2 | .72025 0.4714 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(78)
Prob > chi2
=
=
23.69554
1.0000
186
4. Model Spasial untuk Inflation Targeting
. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dit Ldpit dxrit, twostep noconstant end(wdp
dopis) pre(dm1 dg) inst(dwdm1 dwdop dwdis) vce(r)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: prov
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
172
Wald chi2(14)
Prob > chi2
=
=
208
26
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
40091.01
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------|
WC-Robust
dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.5851623
.2437148
2.40
0.016
.1074902
1.062834
dm1 | -.0302888
.0252088
-1.20
0.230
-.0796971
.0191196
dg | -.0028372
.0136983
-0.21
0.836
-.0296853
.024011
wdp |
.5256722
.2317966
2.27
0.023
.0713592
.9799853
dopis | -.0840878
.2241714
-0.38
0.708
-.5234557
.35528
og | -.0055443
.1834523
-0.03
0.976
-.3651043
.3540156
dir | -.0075647
.0018006
-4.20
0.000
-.0110937
-.0040356
dxr |
.0817933
.0570416
1.43
0.152
-.0300062
.1935928
dw1 | -.0113637
.0165039
-0.69
0.491
-.0437107
.0209833
dw2 |
.02007
.008863
2.26
0.024
.0026988
.0374411
dbm |
.013353
.0343308
0.39
0.697
-.0539341
.0806401
dit | -.0082748
.0110117
-0.75
0.452
-.0298574
.0133078
Ldpit |
.1616863
.1823067
0.89
0.375
-.1956283
.5190009
dxrit | -.1141877
.0941069
-1.21
0.225
-.2986339
.0702586
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp L(2/.).dopis
Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm D.dit D.Ldpit D.dxrit dwdm1
dwdop dwdis
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-1.8505 0.0642 |
|
2 |-1.0238 0.3059 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(158)
Prob > chi2
=
=
13.99524
1.0000
187
5. Model Non Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara Jawa dengan luar Jawa
. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis dopisjw, noconstant twostep
pre(dm1) vce(r)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: prov
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
89
Wald chi2(11)
Prob > chi2
=
=
208
26
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
7204.13
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------|
WC-Robust
dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.9655053
.1632286
5.92
0.000
.6455832
1.285427
dm1 | -.0247739
.0149817
-1.65
0.098
-.0541376
.0045897
og |
.0529118
.0740884
0.71
0.475
-.0922989
.1981224
dir | -.0085957
.0007773
-11.06
0.000
-.0101193
-.0070722
dxr |
.1015132
.0344146
2.95
0.003
.0340619
.1689645
dg | -.0216123
.0186177
-1.16
0.246
-.0581024
.0148778
dw2 |
.0317266
.0091069
3.48
0.000
.0138773
.0495758
dbm |
.0873215
.0036601
23.86
0.000
.0801478
.0944951
dw1is |
.0332082
.0470058
0.71
0.480
-.0589213
.1253378
dopis | -.1244573
.0545049
-2.28
0.022
-.231285
-.0176296
dopisjw |
.1406335
.1407875
1.00
0.318
-.1353049
.4165719
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1
Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis D.dopisjw
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 | -3.311 0.0009 |
|
2 | .40952 0.6822 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(78)
Prob > chi2
=
=
25.05301
1.0000
188
6. Model Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara Jawa dengan luar Jawa
. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dopis dopisjw, lags(1) twostep end(wdp)
pre(dm1 dg) artests(2) noconstant inst(dwdw1 dwdis dwdop dwdir) vce(r)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: prov
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
160
Wald chi2(12)
Prob > chi2
=
=
208
26
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
7148.29
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------|
WC-Robust
dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.7561895
.1280899
5.90
0.000
.5051379
1.007241
dm1 |
.0008687
.0323231
0.03
0.979
-.0624834
.0642208
dg | -.0204748
.0303788
-0.67
0.500
-.0800162
.0390667
wdp |
.3467517
.1338311
2.59
0.010
.0844475
.6090558
og |
.0584553
.1147232
0.51
0.610
-.166398
.2833087
dir | -.0070184
.0010363
-6.77
0.000
-.0090496
-.0049872
dxr |
.0596659
.0178774
3.34
0.001
.0246268
.0947051
dw1 | -.0287802
.0606251
-0.47
0.635
-.1476033
.0900428
dw2 |
.0298834
.0142031
2.10
0.035
.0020457
.057721
dbm |
.0482126
.018634
2.59
0.010
.0116906
.0847345
dopis | -.1065468
.2231554
-0.48
0.633
-.5439234
.3308298
dopisjw |
.0729332
.8023003
0.09
0.928
-1.499546
1.645413
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp
Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm D.dopis D.dopisjw dwdw1 dwdis
dwdop dwdir
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-2.2204 0.0264 |
|
2 |-.66141 0.5084 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(148)
Prob > chi2
=
=
24.44504
1.0000
189
7. Model Non Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara KBI dengan KTI
. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopiskti, noconstant twostep pre(dm1
dopis) vce(r)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: prov
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
125
Wald chi2(11)
Prob > chi2
=
=
208
26
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
4439.41
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------|
WC-Robust
dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.9746127
.0605685
16.09
0.000
.8559005
1.093325
dm1 | -.0264368
.0199802
-1.32
0.186
-.0655973
.0127237
dopis | -.1198633
.2023285
-0.59
0.554
-.5164199
.2766932
og |
.0498789
.0978794
0.51
0.610
-.1419611
.2417189
dir | -.0086338
.0005892
-14.65
0.000
-.0097885
-.0074791
dxr |
.1034889
.0218413
4.74
0.000
.0606808
.1462971
dg | -.0226629
.0234038
-0.97
0.333
-.0685335
.0232077
dw2 |
.0322467
.0114377
2.82
0.005
.0098293
.0546642
dbm |
.0867466
.0044093
19.67
0.000
.0781044
.0953887
dw1is |
.0270403
.0599775
0.45
0.652
-.0905135
.1445941
dopiskti | -.0190201
.3388879
-0.06
0.955
-.6832282
.6451881
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dopis
Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopiskti
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-3.1054 0.0019 |
|
2 | .28373 0.7766 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(78)
Prob > chi2
=
=
25.06233
1.0000
190
8. Model Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara KBI dengan KTI
. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dopis dopiskti, twostep noconstant pre(dm1 dg)
end(wdp) inst(dwdm1 dwdg dwdw1 dwdis dwdop) vce(r)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: prov
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
161
Wald chi2(12)
Prob > chi2
=
=
208
26
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
5181.61
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------|
WC-Robust
dp |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------dp |
L1. |
.7116251
.1577476
4.51
0.000
.4024455
1.020805
dm1 |
.0004783
.0302213
0.02
0.987
-.0587544
.0597109
dg |
-.021121
.0346564
-0.61
0.542
-.0890463
.0468043
wdp |
.3769383
.1850742
2.04
0.042
.0141995
.7396771
og |
.0433946
.0768727
0.56
0.572
-.1072731
.1940622
dir | -.0067615
.0012666
-5.34
0.000
-.009244
-.004279
dxr |
.0512392
.0245363
2.09
0.037
.003149
.0993294
dw2 |
.0309479
.0161239
1.92
0.055
-.0006545
.0625502
dbm |
.0442681
.0232505
1.90
0.057
-.001302
.0898382
dw1 | -.0337499
.0501518
-0.67
0.501
-.1320456
.0645458
dopis | -.1997858
.2997558
-0.67
0.505
-.7872963
.3877246
dopiskti | -.0221821
.4244048
-0.05
0.958
-.8540003
.809636
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp
Standard: D.og D.dir D.dxr D.dw2 D.dbm D.dw1 D.dopis D.dopiskti dwdm1 dwdg
dwdw1 dwdis dwdop
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-2.1411 0.0323 |
|
2 |-.83345 0.4046 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(149)
Prob > chi2
=
=
22.50627
1.0000
Download