BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam undang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam undang-undang No.36 tentang kesehatan disebutkan bahwa
peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan diselenggarakan melalui berbagai
macam kegiatan, salah satu diantaranya adalah pengamanan makanan dan
minuman. Upaya pengamanan makanan dan minuman akan lebih ditingkatkan
untuk mendukung peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan. Semua ini
merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang
tidak memenuhi persyaratan mutu (Depkes RI, 2009).
Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari. Prakteknya masih banyak produsen pangan yang menggunakan bahan
tambahan pangan secara berlebihan yang tidak sesuai dengan aturan penggunaan
dan tidak jarang produsen pangan menggunakan bahan tambahan pangan yang
beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak dibolehkan untuk
makanan. Kurangnya perhatian untuk hal ini telah sering mengakibatkan
terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari
keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian
sampai resiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan
pangan yang berbahaya (Syah, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Makanan yang terkontaminasi dapat disebabkan oleh higiene dan sanitasi
makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan maka perlu dilakukan
pengawasan terhadap higiene dan sanitasi makanan mengingat bahwa makanan
merupakan media yang berpotensi dalam penyebaran penyakit. Tindakan higiene
dan sanitasi yang merupakan bagian dari kesehatan lingkungan juga analisis
pengendalian kritis (HACCP : Hazard Analysis Critical Control Point)
merupakan salah satu upaya penting untuk menghindari pencemaran terhadap
hasil produksi (DepKes RI,2004).
Keracunan makanan selain disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme,
dapat pula disebabkan oleh bahan kimia. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya
semua bahan kimia adalah beracun. Ketika masuk kedalam tubuh manusia zat
kimia ini menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlah zat
kimia yang masuk kedalam tubuh. Bahan kimia yang sering kita kenal sebagai
bahan tambahan makanan seperti pengawet, pewarna, pengental dan penyedap
rasa pun dapat menjadi racun bagi tubuh kita apabila dikonsumsi dalam jumlah
yang berlebihan (Yuliarti, 2007).
Bahan pengawet saat ini sudah tidak bisa dipisahkan dari makanan dan
minuman olahan. Secara umum bahan pengawet yang sering digunakan dalam
olahan bahan pangan terbagi atas bahan pengawet sintetis (buatan) dan pengawet
alami. Pengawet sintetis pada umumnya terbuat dari bahan kimia. Kadang-kadang
pengusaha yang nakal menggunakan pengawet sintetis pada bahan makanan
secara berlebihan untuk memberikan tampilan yang menarik dan daya simpan
yang lebih lama, misalnya penggunaan natrium metabisulfit yang sering di
Universitas Sumatera Utara
gunakan dalam proses pembuatan kripik ubi, french fries ubi jalar, gula merah,
tepung tapioka dan pengawet santan kelapa. Bahan pengawet sintesis yang boleh
digunakan untuk untuk makanan harus dibatasi jumlahnya karena setiap benda
sintetis yang masuk kedalam tubuh akan menimbulkan efek (Septiyani, 2012).
Gula merah adalah salah satu produk dari nira kelapa, gula merah dengan
mutu baik berwarna kuning sampai kecoklatan, memiliki kandungan sukrosa
minimal 77%, gula reduksi 10%, kadar air maksimal 10%, kadar abu maksimal
2% serta padatan tidak larut maksimal 1% (SNI 01-3743-1995). Selama
penyimpanan, gula merah kelapa mudah mengalami kerusakan. Selama
penyimpanan, gula merah kelapa mudah mengalami kerusakan, hal tersebut
karena sifat higrokopis yang dimiliki oleh gula merah, yaitu mudah menyerap air
dari lingkungan. Karakteristik gula merah yang bersifat mudah menyerap air
(higrokopis) menyebabkan gula merah relatif tidak dapat bertahan lama, hanya
bertahan selama 2-4 minggu. Kerusakan gula merah ditandai dengan
meningkatnya kadar air sehingga tekstur gula merah kelapa menjadi lumbek yang
menyebebkan mutu dan penerimaan konsumen menurun (Goutara, 1975).
Berdasarkan
PerMenKes
RI
No.1168/MenKes/Per/X/1999,
bahan
pengawet natrium metabisulfit merupakan salah satu bahan pengawet yang
diizinkan yang digolongkan dalam golongan pengawet (Preservatif) yang
berfungsi untuk mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian
dan perusakan lainnya yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pada Peraturan
Kepala BPOM RI No. 36 tahun 2013 bahwa kadar maksimum natrium
metabisulfit yang diperkenankan pada pengolahan gula merah adalah 40mg/kg.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan natrium metabisulfit tidak hanya digunakan pada industri gula
merah tetapi ada beberapa jenis industri bahan pangan yang juga menggunakan
natrium metabisulfit diantaranya industri rumah tangga pengolahan kerupuk ubi,
keripuk rebung, industri rumah tangga santan kelapa, industri rumah tangga
pengolahan tepung tapioka, industri rumah tangga pembuatan french fries ubi jalar
dan kentang goreng, semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang
digunakan
untuk
mengawetkan
bahan
pangan
kering
akan
cenderung
mengakibatkan kadar air rendah pada bahan tersebut. Penambahan natrium
metabisulfit pada pengolahan gula merah dapat meningkatkan daya simpan gula
merah menjadi 3 sampai 4 bulan (Rahayu, 2012).
Beberapa bahan pengawet makan berpengaruh terhadap kesehatan
masyarakat, misalnya natrium metabisulfit merupakan bahan pengawet yang
pemakaiannya digunakan secara luas, namun pada dosis tertentu akan
menimbulkan gangguan pada kesehatan. Berbagai gangguan penyakit dapat
diderita oleh individu yang hipersensitif terhadap zat-zat kimia atau senyawa
penyusun bahan makanan yang tidak tergantung pada besar kecilnya dosis yang
digunakan. Natrium metabisulfit dapat menyebabkan iritasi pada saluran
pernapasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada organ pencernaan dan
keracunan. Natrium metabisulfit dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan
bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit
seperti kanker dan tumor pada organ tubuh manusia (Septiyani, 2012).
Pada penelitian sebelumnya, Septiasih (2014) menemukan dari 13 sampel
gula merah kelapa hasil yang dihasilkan oleh petani gula merah di Desa Sikapat,
Universitas Sumatera Utara
Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas Tahun 2014 menunjukkan bahwa
semua sampel mengandung natrium metabisulfit dan 11 sampel gula merah kelapa
melebihi batas maksimum natrium metabisulfit pada gula merah kelapa yang
diperbolehkan menurut Peraturan Kepala BPOM RI No.36 Tahun 2013.
Siswanto (2012) menemukan dari 30 sampel gula merah yang beredar di
pasar Anom Kabupaten Sumenep, terdapat 30 sampel yang positif menggunakan
bahan pengawet natrium metabisulfit dan 2 diantaranya melebihi batas maksimum
penggunaan natrium metabisulfit.
Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan, di kecamatan pelangiran
Desa Baung Rejo Jaya terdapat 8 (delapan) industri rumah tangga pengolahan
gula merah. Gula merah memiliki rasa yang manis dan aroma yang enak.
Penggunaannya bisa pada masakan, kue, jajanan dan minuman. Sehingga banyak
peminatnya bukan hanya dari kalangan ibu rumah tangga, melainkan para penjual
kue, penjual jajanan dan penjual minuman yang menggunakan gula merah sebagai
bahan baku pembuatannya. Adapun pembuatan gula merah masih menggunakan
cara yang tradisional, pada umumnya produsen gula merah masih kurang
memperhatikan aspek higiene sanitasi pengolahan makan sehingga rentan
terkontaminasi oleh organisme patogen. Selain itu dalam pengolahan gula merah
yang dilakukan oleh industri rumah tangga ditemui adanya penggunaan bahan
pengawet yang dikhawatirkan merupakan bahan tambahan pangan yang dilarang
oleh pemerintah serta penggunaanya tidak sesuai dengan peratuan yang ditetapka
oleh pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin mengetahui gambaran
mengenai penerapan higiene sanitasi pengolahan dan kadar natrium metabisulfit
pada gula merah diindustri rumah tangga Desa Baung Rejo Kec. Pelangiran sesuai
dengan Kepmenkes RI No. 942/MenKes/SK/2003 dan Peraturan Kepala BPOM
RI No. 36 tahun 2013.
1.2.
Perumusan Masalah
Belum diketahuinya higiene sanitasi pengolahan dan adanya kemungkinan
penggunaan zat pengawet natrium metabisulfit yang melebihi batas maksimum,
dengan demikian perumusan masalahnya adalah bagaimana higiene sanitasi
pengolahan gula merah dan kadar natrium metabisulfit pada gula merah yang di
produksi oleh industri rumah tangga di Desa Baung Rejo Jaya Kecamatan
Pelangiran.
1.3.
Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran hygiene sanitasi
industri rumah tangga pengolahan gula merah dan kadar natrium metabisulfit pada
gula merah diindustri rumah tangga Desa Baung Rejo Jaya.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui higiene sanitasi pemilihan bahan baku gula merah,
menyimpan
bahan
baku
gula
merah,
pengolahan
gula
merah,
penyimpanan gula merah, pengangkutan gula merah dan penyajian atau
pengemasan gula merah.
Universitas Sumatera Utara
2. Mengetahui ada atau tidaknya natrium metabisulfit sebagai zat pengawet
pada gula merah dan mengetahui kadar natrium metabisulfit yang terdapat
pada gula merah di industri rumah tangga pengolahan gula merah.
3. Mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan pekerja industri
rumah tangga pembuatan gula merah tentang higiene sanitasi pengolahan
gula merah.
1.4.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai
masukan
bagi
pemilik
industri
rumah
tangga
untuk
mempertahankan higiene sanitasi dalam pengolahan gula merah untuk
meningkatkan upaya penyehatan bahan makanan.
2. Memberikan informasi dalam upaya peningkatan pengetahuan bagi
masyarakat selaku konsumen didalam memilih gula merah yang akan
dibeli.
3. Menambah wawasan berpikir bagi peneliti terutama yang berhubungan
dengan higiene sanitasi dan penggunaan pengawet pada gula merah.
Universitas Sumatera Utara
Download