BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini merupakan hasil tinjauan kepustakaan dan telaah berbagai referensi yang berhubungan dengan perkembangan Ahmadiyah di Eropa pada masa Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad sebagaimana yang digunakan sebagai judul dalam skripsi ini. Kajian pustaka ini berguna sebagai landasan dalam mengambil posisi terhadap objek kajian. Sumber informasi yang khusus menyoroti gerakan Ahmadiyah di Eropa secara menyeluruh memang terbatas. Kelangkaan sumber ini bisa jadi karena penulisan mengenai Ahmadiyah lebih terfokus kepada teologinya dan sedikit sekali yang mengkaji Ahmadiyah dari perspektif gerakan dakwah atau missionaris terutama kajian tentang perkembangannya di Eropa. 2.1 Perkembangan Ahmadiyah di Eropa Kajian terhadap perkembangan Ahmadiyah di Eropa telah banyak ditulis seperti oleh, Tahir Ahmad (2004), Alhadar (1990), Zafrullah Khan (1978), Karimulah Zirvi (2008), Maulana Dost Muhammad (1965) dan beberapa penulis yang lainnya. Perkembangan Ahmadiyah di Eropa tidak bisa terlepas dari sejarah dan corak gerakannya, Ahmadiyah seperti yang diungkapkan oleh Bashir Ahmad (1998:7) bahwa dalam kepercayaan Ahmadiyah tugas yang diemban oleh Agama Islam dapat dibagi menjadi dua bidang yang pokok yaitu, pertama tabligh (propaganda), yaitu menyampaikan suara kebenaran pada orang-orang yang 14 belum masuk Islam dan berusaha menarik mereka ke dalam lingkungan orangorang yang mukhlis. Kedua adalah tarbiat (pendidikan), menanam dan membina pemahaman dalam beragama. Kedua bidang tersebut dipandang oleh Ahmadiyah sebagai bagian yang penting bila salah satu bagian dari dua hal itu terabaikan akan mengakibatkan tatanan organisasi Islam akan hancur, yang satu merupakan pemikul panji kuantitas dan yang lainnya pemikul panji kualitas. Abdur Rahim Dard (2008:11) dalam bukunya berjudul Life of Ahmad, Founder of The Amadiyya Movement berpendapat dalam pandangannya mengenai gerakan Ahmadiyah. Dard mengatakan bahwa budaya paternal dalam gerakan Ahmadiyah sangat kuat sehingga ketaatan pengikutnya terhadap sosok Ghulam Ahmad dan para penerusnya (khalifah) sangat tinggi, dengan begitu tidak sulit bagi para khalifah Ahmadiyah dalam memobilisasi pengikutnya, terutama dalam hal dakwah dan pengorbanan. Penulisan mengenai gerakan Ahmadiyah yang berkaitan dengan perkembangannya di Eropa dapat dibagi ke dalam tiga kategori penulisan. Kategori yang pertama adalah yang bersipat simpatik, kemudian antipati dan yang bersipat netral. Penulisan yang bersipat simpatik biasanya datang dari kalangan Ahmadiyah sendiri seperti misalnya tulisan dari Maulana Dost Muhammad (1965) penulis buku Tarikh-i-Ahmadiyyat ini mengatakan bahwa Ahmadiyah sudah dikenal oleh dunia Barat sejak masa Mirza Ghulam Ahmad sendiri, ketika itu tulisan-tulisan yang dikeluarkan oleh Ghulam Ahmad mengenai berbagai tema tidak hanya masalah Islam saja tapi juga tema agama yang lainnya sudah banyak 15 beredar di Amerika dan Eropa, dengan demikian tidak mengherankan jika pada perkembangan selanjutnya ada beberapa orang yang berasal dari bangsa Amerika dan juga Eropa yang kemudian membenarkan pendirian Ghulam Ahmad dan kemudian bergabung dengan Ahmadiyah. Begitupun pada masa Hakim Nurudin yang menggantikan Ghulam Ahmad, tidak hanya berbagi literatur saja yang disebar ke dunia barat akan tetapi Nurudin (khalifatulmasih I) ketika itu sudah mulai menancapkan pengaruh Ahmadiyah di Eropa dengan membuka misi pertama di luar India yaitu di Inggris tepatnya di London pada tahun 1913 dan misi terebut semakin berkembang pada masa Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad (khalifatulmasih II) sebagai penerus Nurudin yang wafat tahun 1914. Hal senada juga diungkap oleh Zafrullah Khan (1978) dalam bukunya berjudul Ahmadiyya: Renaisance of Islam. Berpendapat mengenai gerakan Ahmadiyah pada masa perkembangannya di Eropa terutama setelah terpilihnya Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad sebagai Khalifah Ahmadiyah ke II yang membentuk berbagai badan dalam menujang berbagai kebutuhan dan tujuan organisasi, salah satunya adalah pembentukan Majelis Syuro tahun 1916. Badan ini berfungsi sebagai badan perencanaan propaganda (tabligh) Ahmadiyah. Badan ini dibentuk dengan pertimbangan dan wasiat dari pendiri Ahmadiyah sendiri bahwa Islam harus disiarkan ke berbagai belahan dunia. Dengan pedoman inilah Ahmadiyah mulai membuka misi-misi pertablighan diberbagai belahan dunia baik di Afrika, Amerika, Asia dan Eropa. Karimullah Zirvi (2008) dalam bukunya yang berjudul Welcome to Ahmadiyyat, The True Islam, juga mengungkapkan mengenai gerakan Ahmadiyah 16 pada masa Mira Bashirudin Mahmud Ahmad. Zirvi mengatakan bahwa peranan Mahmud Ahmad selama 52 tahun masa jabatannya, telah memberikan prestasi luar biasa dan yang paling menonjol adalah propaganda Ahmadiyah ke berbagai belahan dunia, seperti pada masa Mahmud Ahmadiyah berkembang di Eropa. Pidato Mahmud yang dibacakan dalam sebuah Conference of Living Religions tahun 1924 yang diselenggarakan di London, Inggris adalah bagian terpenting dari berbagai macam cara dalam menyampaikan pemahaman Ahmadiyah dalam sebuah perspektif gerakan keagamaan, mencoba menguraikan serta ajakan terhadap warga Eropa khususnya untuk menerima Islam, karena hanya agama Islamlah yang mampu memenuhi semua kebutuhan manusia, dengan cara yang ilmiah Mahmud Ahmad memberikan penafsiran yang baru bagi orang Eropa untuk kemudian mendalami dan bergabung dalam Islam. Ini merupakan salah satu contoh bentuk propaganda yang dilakukan Ahmadiyah dalam menyebarkan pengaruhnya khususnya di Inggris (2008:225). Referensi selanjutnya juga datang dari karangan Mirza Tahir Ahmad (1990), With Love to the Muslims of the World: The Ahmadiyya Perspective. Tahir Ahmad ketika penulisan buku ini menjabat sebagai khalifah Ahmadiyah IV. Dalam pendapatnya ini diterangkan tentang awal masuk dan perkembangan pengaruh Ahmadiyah di Rusia pada tahun 1919 yang ketika itu masih bernama Uni Soviet. Hal menarik dari penulis ini adalah masuknya pengaruh Ahmadiyah di Rusia khususnya tidak terlepas dari ketegangan anatara Inggris dan Uni Soviet. Ketika itu pasukan bantuan dari India di bawah Inggris dikirim ke wilayah Rusia melalui Iran, salah seorang dari prajurit itu adalah pengikut Ahmadiyah, dan 17 dalam waktu singkat beberapa orang kemudian bergabung dan mendirikan sebuah mesjid pada tahun 1924. Sepak terjang Ahmadiyah di Eropa juga ternyata menarik perhatian bangsa Eropa sendiri seperti dalam buku yang dikeluarkan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (2007), Kami Orang Islam. Berisi komentar tokoh dunia Islam dan tanggapan pers tentang Ahmadiyah. Seperti pendapat dari salah satu media cetak Ediche Courant terbitan Belanda tahun 1968 menulis bahwa menanggapi sepak terjang Ahmadiyah sebagai suatu hal yang remeh atau biasa saja adalah sikap yang keliru, karena Ahmadiyah mempunyai rencana yang besar dan luas sekali prospeknya, dikatakan pula jika Eropa tidak waspada maka Ahmadiyah akan cepat menancapkan pengaruhnya (2007:100). Pendapat yang senada juga terlontar dari surat kabar Haagsche Post yang juga terbit di Belanda Tahun 1963, yang menyatakan tradisi lama dari orangorang Barat ialah mengutus misionaris-misionaris atau para pendetanya ke jurusan Timur untuk menyemaikan agama Kristen, akan tetapi sesudah Perang Dunia ke II keadaan itu terbalik, sekarang kita lihat, misionaris-misionaris Islam dari Timur mendatangi negeri-negeri Barat untuk menyebarkan agamanya, dan Ahmadiyah adalah salah satu yang tampil paling menonjol (2007:100). Nieuwe Haagsche Couran terbitan gereja Khatolik di Belanda tahun 1969 juga perpendapat bahwa dari sejarah, kita mengetahui bahwa orang-orang Islam di masa lalu sudah datang dua kali ke benua Eropa. Pertama kali pada babd ke 8 dan kedua kalinya pada abad ke 15. kedua kalinya mereka masuk dengan alat senjata dan kekuatan fisik, dan mereka menghadapi kekuatan juga. Serangan –serangan 18 semacam ini dengan mudah dapat dihentikan, akan tetapi masuknya Islam pada jaman ini dengan senjata sangat halus dan ampuh, mereka kali ini tidak dihadapi oleh tentara yang bersenjata, akan tetapi berhadapan dengan pemuda-pemuda Kristen yang hatinya kosong dari keimanan, dan yang kepercayaannya sudah lama kabur (2007:101). Surat kabar Kristligh Dagblad terbitan tahun 1958 juga mengungkapkan sungguh penting untuk mengikuti hasil yang akan dicapai oleh serbuan yang dilakukkan oleh Islam terhadap Skandinavia, kelihatannya memang tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang Ahmadiyah ini akan berhasil dan mendapat suskses. Dibandingkan dengan orang-orang Islam kebanyakan, orang Ahmadiyah lebih serius. Mengenai masalah jihad, mereka tidak sepaham dengan orang-orang Islam umum yang mengatakan, bahwa jihad itu mengangkat senjata atau pedang. Menurut Ahmadiyah Al-Quran mengatakan tidak ada paksaan dalam agama adalah tegas dan menentukan (2007:102). Mingguan Life, Amerika terbit tahun 1955 memberikan ulasan bahwa, belum selang beberapa lama umat Islam masih belum punya suatu gerakan teratur dan terorganisir dengan baik di bidang dakwah, akan tetapi sekarang kita jumpai tanda yang nyata pada mereka dengan perhatiannya terhadap tehnik dakwah misimisi Kristen, golongan Islam yang paling kuat, paling dinamis dan hidup diantara semua orang Islam adalah golongan Ahmadiyah yang berpusat di Pakistan yang memiliki pusat-pusat dakwah di seluruh Eropa, Afrika, Amerika dan Timur Jauh (2007:102). 19 Di beberapa daerah dimana misionaris-misionaris Kristen dan mubaligh Islam Ahmadiyah berlomba dalam dakwah maka, hasil yang dicapai adalah apabila seorang dimasukan k edalam Kristen, maka sepuluh orang lainnya masuk agama Islam lewat Ahmadiyah. Ahli sejarah dan sastrawan Muhamad Akram juga berpendapat bahwa pengaruh Ahmadiyah memang jauh sekali, ini disebabkan kepercayaan pendiri dan pengikut Ahmadiyah bahwa jihad dengan pedang bukanlah masanya lagi sekarang, yang diperlukan ialah jihad dengan pena, jihad dengan lisan dan tulisan (2007:103). Sumber informasi tentang Ahmadiyah yang bersipat polemik dan cenderung Antipati datang misalnya dari tulisan Ehsan Elahi Zaheer (1978), Qadiyaniat: An Analytical Survey. Dalam tulisannya itu yang oleh Ehsan Elahi telah diakui sebagai buku yang telah melewati penelitian mendalam, berisikan analisis terhadap hubungan anatara Ghulam Ahmad dan para penerusnya seperti Mahmud Ahmad dengan penjajah Inggris. Hal menarik dari pendapatnya itu adalah kesimpulan pengarang yang berasumsi bahwa Ahmadiyah sebagai agen imperialisme Inggris di India karena tidak mau dan melarang para pengikutnya untuk mengangkat senjata terhadap penjajahan Inggris di India ketika itu serta mendapat perlindungan dan bantuan dari Inggris sehingga dapat berkembang di Eropa. Zaheer mengungkapkan dalam kaitannya Ahmadiyah dan Inggris, ketika muncul pertama kalinya pada akhir abad ke 19 adalah bagian dari taktik imperialis Inggris untuk memertahankan kekuasaanya di India, karena ketika itu menurut Zaheer kekuatan penjajahan Inggris melemah akibat mulai munculnya kesadaran dari rakyat India khususnya 20 Muslim untuk menentang Inggris, maka dibentuklah Ahmadiyah dengan harapan bisa memecah persatuan Muslim India ketika itu. Ungkapan senada juga datang dari Abdullah Hasan Alhadar (1980), Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah, berpendapat bahwa Ahmadiyah yang diasumsikan sebagai organisasi buatan Inggris yang bertujuan memecah belah umat Islam. Alhadar juga berpendapat pada masa Mahmud Ahmad, Ahmadiyah dijadikan spionase dalam perang Eropa. Hal menarik dari pendapatnya ini adalah penulis telah menempatkan pemikiran-pemikiran Ahmadiyah sebagai hasil refleksi dan imajinasi atas heterogenitas kepercayaankepercayaan di India saat itu. Dalam kaitannya dalam perkembangan Ahmadiyah di Eropa Alhadar mengungkapkan Bashiruddin Mahmud Ahmad dapat mengembangkan Ahmadiyah dengan pesatnya ,dengan harta karun peninggalan ayahnya dan para sesepuhnya hasil dari pengorbanan bakti setia dan taat pada raja Sikh kemudian imperialis Inggris, maka bisa dengan mudah untuk meneruskan ajaran-ajaran ayahnya ke seantero negeri. Ditambah lagi dengan mendirikan nazarat Baitul Maal, para pengikutnya yang kebanyakan kaum kaya raya, dapat menghimpun uang ratusan juta. Lebih lanjut lagi Alhadar mengungkapkan dengan bantuan keungan Inggris, Ahmadiyah tidak mustahil dapat mengembangkan ajaranajarannya ke berbagai tempat di dunia. Muhammad Iqbal (1991), dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Ahmadiyah, Jawaban Terhadap Pertanyaan-Pertanyaan Jawaharlal Nehru. Berpendapat mengenai gerakan Ahmadiyah yang serupa dengan gerakan sufisme 21 abad pertengahan dan merupakan alat politik bagi Inggris di India dan dunia Islam waktu itu, dalam buku tersebut Iqbal mengatakan esensi adalah serupa dengan gagasan-gagasan Majusi paham Ahmadiyah pra-Islam, melalui saluran- saluran tasawwuf, yang telah mempengaruhi pemikiran pendiri paham Ahmadiyah tersebut sangat menarik bila dilihat dari sudut ilmu perbandingan agama. Iqbal mengungkapkan bahwa Argumen dan pendiri gerakan itu sendiri, yang mirip sekali dengan argumen ahli Ilmu kalam abad pertengahan, adalah bahwa spiritualitas Nabi Besar Islam itu dianggap tidak sempurna bila ia tidak disempurnakan oleh Nabi lain. Dia menyatakan kenabiannya sendiri sebagai bukti atas kekuatan spiritualitas Nabi Besar Islam itu untuk mengangkat nabi lain. Tetapi bila anda bertanya lebih jauh kepadanya apakah spiritualitas Muhammad mampu mengangkat lebih dari seorang nabi, jawabannya adalah tidak Ini jelas sama dengan ucapan Muhammad bukan nabi terakhir; tetapi sayalah yang terakhir. Karena kurang sekali memahami nilai kultural gagasan Islam tentang penutup nabi-nabi dalam sejarah ummat manusia pada umumnya dan ummat manusia di Asia pada khususnya, dia menganggap penutup nabi-nabi, dalam pengertian bahwa tidak ada seorang pengikut Muhammad pun dapat mencapai kedudukan nabi, merupakan tanda ketidak sempurnaan dalam kenabian Muhammad itu. Lebih lanjut Iqbal mengatakan, arti penting dari gerakan itu sebagaimana dia pahami, bahwa keyakinan kelompok Ahmadi terhadap Jesus Kristus (Nabi Isa) yang mengalami kematian biasa dan kedatangannya yang kedua hanya 22 berarti kedatangan seseorang yang secara spiritual "seperti dia," memberikan kepada gerakan itu sejenis penampilan rasional, tetapi keyakinan-keyakinan itu sebenarnya tidak esensial bagi gerakan itu. Barangkali cukup bila dikatakan bahwa sifat hakiki dari paham Ahmadiyyah terletak di balik Tasawwuf dan Ilmu Kalam abad pertengahan (Iqbal, 1991: 3). Referensi yang bisa dimasukan ke dalam kategori tidak memihak biasanya datang dari tulisan Orientalis Barat. Seperti tulisan dari Ian Adamson (1989), dalam bukunya Mirza Ghulam Ahmad of Qadian. Buku setebal 187 halaman ini membahas tentang biografi Ghulam Ahmad sejak kelahiran sampai kewafatannya, khususnya tentang setting-historis kehidupannya, misinya, dan perjalanan intelektulitasnya dan spiritualnya. Walaupun bersipat deskriptif-analitik, tapi buku ini merupakan salah satu sumber referensi yang representatif bagi kalangan civitas akademika yang ditulis oleh peneliti diluar pengikut Ahmadiyah. Adamson misalnya mengungkapkan bahwa gerakan Ahmadiyah mempunyai ciri yang berbeda dengan gerakan keagamaan lain pada jamannya, gerakan ini lebih banyak berkiprah dibidang sosial dan pendidikan dan bahkan menolak untuk berpolitik, padahal pada masanya itu gerakan-gerakan keagamaan banyak yang bersipat politis khususnya di India. Lebih lanjut Adamson menjelaskan pendekatan yang dilakukan Ahmadiyah dalam mendefinisikan tentang Islam lebih rasional dan lebih bisa diterima oleh pikiran Barat. Dalam tulisan Yohann Friedmann (1989), Prophecy Continuous: Aspecks of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background, yang mengungkap tentang asapek-aspek keagamaan pengikut Ghulam Ahmad, khususnya tentang 23 kenabian dan jihad. Dalam aspek kenabian Friedmann misalnya mengungkapkan ada perbedaan definisi kenabian bagi kaum Ahmadi yang berbeda dengan pemahaman Muslim pada umumnya. Bagi kaum Ahmadi kenabian bukanlah monopoli suatu kaum, bangsa atau agama tertentu, akan tetapi Tuhan dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya telah membimbing setiap manusia diseluruh wilayah bumi ini, menurut kaum Ahmadi sebelum kedatangan Muhammad, nabi-nabi telah lahir tidak hanya di tanah Arab saja tapi juga telah lahir di tanah Persia, Romawi dan India. Hal menarik dari pendapat Friedmann ini adalah penilaian penulis terhadap konsep dakwah atau jihad pengikut Ghulam Ahmad yang humanis dan jauh dari nilai-nilai kekerasan. 2.2. Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad Khalifatul Masih adalah pemimpin tertinggi dari Muslim Ahmadi, Jamaah Ahmadiyah. Anggota dari Muslim Ahmadi percaya Khalifatul Masih itu adalah manifestasi kedua dari kenabian. Sebagaimana tradisi dalam Islam, setelah kewafatan Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW, diikuti oleh Khulafa'ur Rasyidin begitupun yang diyakini kaum Ahmadi, sesudah mangkatnya Mirza Ghulam Ahmad yang telah mereka percayai sebagai Al-Masih dan Imam Mahdi yang dijanjikan, dilanjutkan dan dipimpin oleh para Khalifah Al-Masih sebagai penerusnya. Menurut Ahmadiyah, keberadaan khalifah yang berkesinambungan dan berlangsung terus adalah bukti bahwa Islam akan terpelihara. Dan keberadaan khalifah ini, Allah akan memberikan kesatuan, keamanan dan kemajuan. Hal ini sesuai dengan nubuwatan (kabar suka) dari Nabi Besar Muhammad Rasulullah 24 SAW, dan janji Allah bagi mereka orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh yang telah diisyaratkan dalam Al-Quran Surat An Nur ayat 56 (Cheema, 2007:6). Ahmadiyah Lahore atau di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia tidak masuk dalam kepercayaan Kekhalifahan Masih ini. Terpilih sebagai Khalifatul Masih I pada tahun 1908 adalah Maulana Hakim Nurudin (1841-1914), satu hari setelah kewafatan pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad. Maulana Hakim Nurudin seorang tabib termasyur, penulis dan ahli ilmu agama. Setelah mangkatnya Nurudin pada tahun 1914, selanjutnya pada tahun yang sama terpilih Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad (1889-1965) sebagai Khalifatul Masih II. Sepeninggal Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad pada tahun 1965, selanjutnya yang menggantikannya adalah Mirza Nasir Ahmad (1909-1982) yang kemudian terpilih sebagai Khalifatul Masih III. Setelah kewafatan Mirza Nasir Ahmad, kemudian terpilih Mirza Tahir Ahmad (1928-2003) sebagai Khalifatul Masih IV pada tahun 1982. Setelah wafatnya Mirza Tahir Ahmad pada tanggal 19 April 2003, Jemaat Ahmadiyah selanjutnya dipimpin oleh Mirza Masroor Ahmad yang terpilih sebagai Khalifatul Masih V pada tanggal 23 April 2003 sampai sekarang (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2005: 24). Tulisan mengenai Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad juga telah banyak di tulis seperti oleh Khurshid Ahmad (1973), Bashir Ahmad Dehlavi (2007), Mirza Muzaffar Ahmad (1995), Choudhery Muhammed Siddique Sahib (1997), Zafrulla Khan 1978), dan yang lainnya. 25 Secara garis besar para penulis tersebut berpendapat bahwa Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad yang lahir 12 Januari 1889 di Qadian, India dan wafat 7 November 1965 di Rabwah, Pakistan., adalah seorang pribadi yang kharismatik dan istimewa, diantara prestasinya adalah pembentukan dan bimbingannya langsung pada struktur organisasi Jemaah Ahmadiyah, ketika permulaan masa khalifahnya Ahmadiyah ketika itu sedang dalam masa yang sulit hal ini terjadi sebagai dampak meruncingnya pertentangan diantara para tokoh Ahmadiyah ketika itu mengenai peganti sebenarnya dari Ghulam Ahmad, sebagai hasil pertentangan tersebut lahirlah dua golongan dalam Ahmadiyah yang kemudian dikenal dengan istilah Qadian dan Lahore. Terdapatnya dua kelompok Ahmadiyah, keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa Al-Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip yaitu: 1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi. 2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam. 26 Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam Quran dan Hadits, dan percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS, 33:40), dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat. Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW. Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir. Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi. Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 Hijriah. Dan menurut Hadits, mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid. Percaya kepada Mirza Ghulam 27 Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir (http://en.wikipedia.org/wiki/Lahore_Ahmadiyya_Movement_for_the_Propagatio n_of_Islam, 27/12/2008). Pada masa Mahmud terjadi pemisahan wilayah antara Hindu dan Islam di India sebagai akibatnya pusat Ahmadiyah harus pindah dari Qadian India ke daerah Rabwah Pakistan. Masa-masa ini adalah masa yang paling sulit karena Jemaat Ahmadiyah harus menata kembali dari nol, selain dari kesulitan ekonomi pada masa ini juga mulai gencarnya pertentangan terhadap Ahmadiyah terutama dari kalangan Islam Radikal di Pakistan seperti dari Maududi dengan Jemaat Islamnya. Sebagian dari hasil buah tangannya adalah karya besarnya yang menakjubkan berupa tafsir Al-Qur'an Tafsir Kabir yang merupakan tafsir lengkap sepuluh volume dan Tafsir Saghir selain itu juga, propaganda penyebaran Islam melalui kegiatan misi pengutusan mubaligh-mubaligh Ahmadiyah secara aktif di dalam maupun di luar anak benua India seperti benua Eropa, benua Amerika, benua Afrika, benua Asia termasuk Indonesia. Khurshid Ahmad (1973:42) dalam karyanya berjudul A Brief History of Ahmadiyya Muslim Community, berpendapat bahwa Mahmud Ahmad adalah seorang anak yang mempunyai kualitas seperti ayahnya (Ghulam Ahmad), seorang yang cerdas dan berahlak mulia dimata para pengikutnya. Bashir Ahmad Dehlavi (2007) mengatakan masa-masa keemasan khalifah beliau dan keberhasilan yang dicapai sejak 14 maret 1914 hingga 7 November 1965, satu 28 periode sepanjang 52 tahun beliau memimpin Ahmadiyah, salah satu keberhasilan penting yang beliau capai adalah membangun sebuah nizam tabligh Islam di dalam dan di luar negeri. Segera setelah beliau menjadi khalifah, beliau mengumumkan bahwa tugas pertama beliau adalah tabligh Islam. Mirza Muzaffar Ahmad (1995) juga mengatakan bahwa Mahmud juga memeiliki kecerdasan yang luar biasa walaupun tidak memiliki kualitas pendidikan yang baik sebaagian dari beberapa buah tangannya adalah, 1. The Holy Quran Tafsir Kabir (Tafsir Besar). 2. The Holy Quran Tafsir Saghir (Tafsir Kecil), di Indonesia dikenal Al-Quran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, suntingan Malik Ghulam Farid, terbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 3. Pengantar Mempelajari Alquran (Introduction to the study of the Holy Qur'an). 4. Riwayat Hidup Rasulullah saw. (Life of Muhammad s.a.) 5. Da'watul Amir (Invitation to Ahmadiyyat). 6. Tohfat al-Malook (Gift to the Kings). 7. Tatanan Dunia Baru Menurut Islam (New World Order of Islam). 8. Haqeeqat al-Nabuwwat (The Truth about Prophethood). 9. Ser-e-Roohani (The spiritual Journey, originally a series of speeches). 10. Ahmadiyah atau Islam Sejati (Ahmadiyyat, the True Islam). 11. Inqalab-e-Haqeeqi (Revolusi Sejati). 29 12. Hindustan ke Siyasi Masael ka hal (Solution to the political problems of India). 13. Fazael-e-Qur'an (Excellences of the Qur'an). 14. Hasti-ye Bari Ta'ala (The Existance of God). 15. Malaykatullah (The Angels of God). 16. A'ina-e-Sadaqat (The Mirror of Truth, The Truth about the Split) 17. Minhajut Talibin (Way of the Seekers). 18. Zikir Illahi (Remeberance of God). 19. Muhammad in The Bible. 20. Kalam-e-Mahmood (collection of Poetry of Mahmood). Ali Mukhayat (2007:22-25) mengatakan dalam sejarah Ahmadiyah, ada tiga hari besar yang selalu diperingati setiap tahunnya. Ketiga hari besar adalah: pertama, hari Masih Mau’ud. Ketika Ghulam Ahmad untuk pertama kalinya menerima sumpah setia dari para pengikutnya, yang kemudian menjadi tonggak awal berdirinya Jemaah Islam Ahmadiyah, gerakan ini mengambil nama dari salah satu nama Nabi Muhammad yaitu Ahmad yang berarti terpuji dan berarti juga jabal atau keindahan. Menurut faham Ahmadiyah masa sekarang adalah masanya untuk memunculkan sipat keindahan dan kehalusan Islam. kedua adalah hari khilafat. Diperingati sebagai manifestasi rasa syukur yang telah menganugrahkan kembali khilafat setelah lama lepas dari gemgaman orang-orang Islam, dimana khilafat adalah simbol kejayaan umat Islam. Ketiga adalah hari Muslih Maud yaitu salah satu peringatan yang dilakukan pengikut Ahmadiyah untuk mengenang suatu tanda kebenaran wahyu 30 yang diterima Ghulam Ahmad tentang kelahiran seorang putera beliau yang dijanjikan melalui selebaran tertanggal 20 Februari tahun 1886, dan putera yang dijanjikan itu lahir pada tauhun 1889 yang bertepatan juga dengan tahun berdirinya Ahmadiyah. Selanjutnya Ali Mukhayat juga mengatakan bahwa Mahmud Ahmad membentuk gerakan pengorbanan untuk penyebaran misi Ahmadiyah di luar India dan Pakistan, yang kemudian dikirim keberbagai belahan dunia. Hubungannya dengan penyebaran para misionaris ke Benua Eropa pada masa Mahmud Ahmad di Eropa telah berdiri cabang-cabang pertablighan seperti di Inggris, Swiss, Belanda, Denmark, Jerman, Swedia dan diwilayah Eropa lainya. Itulah sebagaian dari sumber referensi yang penulis gunakan dalam kajian perkembangan Ahmadiyah di Eropa pada masa Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad yang batasan waktunya mulai dari tahun 1914 sampai dengan kewafatannya tahun 1965. 31