s_sej_044715_BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bagian ini merupakan hasil tinjauan kepustakaan dan telaah berbagai
referensi yang berhubungan dengan perkembangan Ahmadiyah di Eropa pada
masa Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad sebagaimana yang digunakan sebagai
judul dalam skripsi ini. Kajian pustaka ini berguna sebagai landasan dalam
mengambil posisi terhadap objek kajian.
Sumber informasi yang khusus menyoroti gerakan Ahmadiyah di Eropa
secara menyeluruh memang terbatas. Kelangkaan sumber ini bisa jadi karena
penulisan mengenai Ahmadiyah lebih terfokus kepada teologinya dan sedikit
sekali yang mengkaji Ahmadiyah dari perspektif gerakan dakwah atau missionaris
terutama kajian tentang perkembangannya di Eropa.
2.1 Perkembangan Ahmadiyah di Eropa
Kajian terhadap perkembangan Ahmadiyah di Eropa telah banyak ditulis
seperti oleh, Tahir Ahmad (2004), Alhadar (1990), Zafrullah Khan (1978),
Karimulah Zirvi (2008), Maulana Dost Muhammad (1965) dan beberapa penulis
yang lainnya. Perkembangan Ahmadiyah di Eropa tidak bisa terlepas dari sejarah
dan corak gerakannya, Ahmadiyah seperti yang diungkapkan oleh Bashir Ahmad
(1998:7) bahwa dalam kepercayaan Ahmadiyah tugas yang diemban oleh Agama
Islam dapat dibagi menjadi dua bidang yang pokok yaitu, pertama tabligh
(propaganda), yaitu menyampaikan suara kebenaran pada orang-orang yang
14
belum masuk Islam dan berusaha menarik mereka ke dalam lingkungan orangorang yang mukhlis. Kedua adalah tarbiat (pendidikan), menanam dan membina
pemahaman dalam beragama.
Kedua bidang tersebut dipandang oleh Ahmadiyah sebagai bagian yang
penting bila salah satu bagian dari dua hal itu terabaikan akan mengakibatkan
tatanan organisasi Islam akan hancur, yang satu merupakan pemikul panji
kuantitas dan yang lainnya pemikul panji kualitas. Abdur Rahim Dard (2008:11)
dalam bukunya berjudul Life of Ahmad, Founder of The Amadiyya Movement
berpendapat
dalam
pandangannya
mengenai
gerakan
Ahmadiyah.
Dard
mengatakan bahwa budaya paternal dalam gerakan Ahmadiyah sangat kuat
sehingga ketaatan pengikutnya terhadap sosok Ghulam Ahmad dan para
penerusnya (khalifah) sangat tinggi, dengan begitu tidak sulit bagi para khalifah
Ahmadiyah dalam memobilisasi pengikutnya, terutama dalam hal dakwah dan
pengorbanan.
Penulisan mengenai gerakan Ahmadiyah
yang berkaitan dengan
perkembangannya di Eropa dapat dibagi ke dalam tiga kategori penulisan.
Kategori yang pertama adalah yang bersipat simpatik, kemudian antipati dan yang
bersipat netral. Penulisan yang bersipat simpatik biasanya datang dari kalangan
Ahmadiyah sendiri seperti misalnya tulisan dari Maulana Dost Muhammad (1965)
penulis buku Tarikh-i-Ahmadiyyat ini mengatakan bahwa Ahmadiyah sudah
dikenal oleh dunia Barat sejak masa Mirza Ghulam Ahmad sendiri, ketika itu
tulisan-tulisan yang dikeluarkan oleh Ghulam Ahmad mengenai berbagai tema
tidak hanya masalah Islam saja tapi juga tema agama yang lainnya sudah banyak
15
beredar di Amerika dan Eropa, dengan demikian tidak mengherankan jika pada
perkembangan selanjutnya ada beberapa orang yang berasal dari bangsa Amerika
dan juga Eropa yang kemudian membenarkan pendirian Ghulam Ahmad dan
kemudian bergabung dengan Ahmadiyah. Begitupun pada masa Hakim Nurudin
yang menggantikan Ghulam Ahmad, tidak hanya berbagi literatur saja yang
disebar ke dunia barat akan tetapi Nurudin (khalifatulmasih I) ketika itu sudah
mulai menancapkan pengaruh Ahmadiyah di Eropa dengan membuka misi
pertama di luar India yaitu di Inggris tepatnya di London pada tahun 1913 dan
misi terebut semakin berkembang pada masa Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad
(khalifatulmasih II) sebagai penerus Nurudin yang wafat tahun 1914.
Hal senada juga diungkap oleh Zafrullah Khan (1978) dalam bukunya
berjudul Ahmadiyya: Renaisance of Islam. Berpendapat mengenai gerakan
Ahmadiyah pada masa perkembangannya di Eropa terutama setelah terpilihnya
Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad sebagai Khalifah Ahmadiyah ke II yang
membentuk berbagai badan dalam menujang berbagai kebutuhan dan tujuan
organisasi, salah satunya adalah pembentukan Majelis Syuro tahun 1916. Badan
ini berfungsi sebagai badan perencanaan propaganda (tabligh) Ahmadiyah. Badan
ini dibentuk dengan pertimbangan dan wasiat dari pendiri Ahmadiyah sendiri
bahwa Islam harus disiarkan ke berbagai belahan dunia. Dengan pedoman inilah
Ahmadiyah mulai membuka misi-misi pertablighan diberbagai belahan dunia baik
di Afrika, Amerika, Asia dan Eropa.
Karimullah Zirvi (2008) dalam bukunya yang berjudul Welcome to
Ahmadiyyat, The True Islam, juga mengungkapkan mengenai gerakan Ahmadiyah
16
pada masa Mira Bashirudin Mahmud Ahmad. Zirvi mengatakan bahwa peranan
Mahmud Ahmad selama 52 tahun masa jabatannya, telah memberikan prestasi
luar biasa dan yang paling menonjol adalah propaganda Ahmadiyah ke berbagai
belahan dunia, seperti pada masa Mahmud Ahmadiyah berkembang di Eropa.
Pidato Mahmud yang dibacakan dalam sebuah Conference of Living Religions
tahun 1924 yang diselenggarakan di London, Inggris adalah bagian terpenting dari
berbagai macam cara dalam menyampaikan pemahaman Ahmadiyah dalam
sebuah perspektif gerakan keagamaan, mencoba menguraikan serta ajakan
terhadap warga Eropa khususnya untuk menerima Islam, karena hanya agama
Islamlah yang mampu memenuhi semua kebutuhan manusia, dengan cara yang
ilmiah Mahmud Ahmad memberikan penafsiran yang baru bagi orang Eropa
untuk kemudian mendalami dan bergabung dalam Islam. Ini merupakan salah satu
contoh bentuk propaganda yang dilakukan Ahmadiyah dalam menyebarkan
pengaruhnya khususnya di Inggris (2008:225).
Referensi selanjutnya juga datang dari karangan Mirza Tahir Ahmad
(1990), With Love to the Muslims of the World: The Ahmadiyya Perspective. Tahir
Ahmad ketika penulisan buku ini menjabat sebagai khalifah Ahmadiyah IV.
Dalam pendapatnya ini diterangkan tentang awal masuk dan perkembangan
pengaruh Ahmadiyah di Rusia pada tahun 1919 yang ketika itu masih bernama
Uni Soviet. Hal menarik dari penulis ini adalah masuknya pengaruh Ahmadiyah
di Rusia khususnya tidak terlepas dari ketegangan anatara Inggris dan Uni Soviet.
Ketika itu pasukan bantuan dari India di bawah Inggris dikirim ke wilayah Rusia
melalui Iran, salah seorang dari prajurit itu adalah pengikut Ahmadiyah, dan
17
dalam waktu singkat beberapa orang kemudian bergabung dan mendirikan sebuah
mesjid pada tahun 1924.
Sepak terjang Ahmadiyah di Eropa juga ternyata menarik perhatian bangsa
Eropa sendiri seperti dalam buku yang dikeluarkan Pengurus Besar Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (2007), Kami Orang Islam. Berisi komentar tokoh dunia
Islam dan tanggapan pers tentang Ahmadiyah. Seperti pendapat dari salah satu
media cetak Ediche Courant terbitan Belanda tahun 1968 menulis bahwa
menanggapi sepak terjang Ahmadiyah sebagai suatu hal yang remeh atau biasa
saja adalah sikap yang keliru, karena Ahmadiyah mempunyai rencana yang besar
dan luas sekali prospeknya, dikatakan pula jika Eropa tidak waspada maka
Ahmadiyah akan cepat menancapkan pengaruhnya (2007:100).
Pendapat yang senada juga terlontar dari surat kabar Haagsche Post yang
juga terbit di Belanda Tahun 1963, yang menyatakan tradisi lama dari orangorang Barat ialah mengutus misionaris-misionaris atau para pendetanya ke jurusan
Timur untuk menyemaikan agama Kristen, akan tetapi sesudah Perang Dunia ke II
keadaan itu terbalik, sekarang kita lihat, misionaris-misionaris Islam dari Timur
mendatangi negeri-negeri Barat untuk menyebarkan agamanya, dan Ahmadiyah
adalah salah satu yang tampil paling menonjol (2007:100).
Nieuwe Haagsche Couran terbitan gereja Khatolik di Belanda tahun 1969
juga perpendapat bahwa dari sejarah, kita mengetahui bahwa orang-orang Islam di
masa lalu sudah datang dua kali ke benua Eropa. Pertama kali pada babd ke 8 dan
kedua kalinya pada abad ke 15. kedua kalinya mereka masuk dengan alat senjata
dan kekuatan fisik, dan mereka menghadapi kekuatan juga. Serangan –serangan
18
semacam ini dengan mudah dapat dihentikan, akan tetapi masuknya Islam pada
jaman ini dengan senjata sangat halus dan ampuh, mereka kali ini tidak dihadapi
oleh tentara yang bersenjata, akan tetapi berhadapan dengan pemuda-pemuda
Kristen yang hatinya kosong dari keimanan, dan yang kepercayaannya sudah lama
kabur (2007:101).
Surat kabar Kristligh Dagblad terbitan tahun 1958 juga mengungkapkan
sungguh penting untuk mengikuti hasil yang akan dicapai oleh serbuan yang
dilakukkan oleh Islam terhadap Skandinavia, kelihatannya memang tidak
diragukan lagi, bahwa orang-orang Ahmadiyah ini akan berhasil dan mendapat
suskses. Dibandingkan dengan orang-orang Islam kebanyakan, orang Ahmadiyah
lebih serius. Mengenai masalah jihad, mereka tidak sepaham dengan orang-orang
Islam umum yang mengatakan, bahwa jihad itu mengangkat senjata atau pedang.
Menurut Ahmadiyah Al-Quran mengatakan tidak ada paksaan dalam agama
adalah tegas dan menentukan (2007:102).
Mingguan Life, Amerika terbit tahun 1955 memberikan ulasan bahwa,
belum selang beberapa lama umat Islam masih belum punya suatu gerakan teratur
dan terorganisir dengan baik di bidang dakwah, akan tetapi sekarang kita jumpai
tanda yang nyata pada mereka dengan perhatiannya terhadap tehnik dakwah misimisi Kristen, golongan Islam yang paling kuat, paling dinamis dan hidup diantara
semua orang Islam adalah golongan Ahmadiyah yang berpusat di Pakistan yang
memiliki pusat-pusat dakwah di seluruh Eropa, Afrika, Amerika dan Timur Jauh
(2007:102).
19
Di beberapa daerah dimana misionaris-misionaris Kristen dan mubaligh
Islam Ahmadiyah berlomba dalam dakwah maka, hasil yang dicapai adalah
apabila seorang dimasukan k edalam Kristen, maka sepuluh orang lainnya masuk
agama Islam lewat Ahmadiyah. Ahli sejarah dan sastrawan Muhamad Akram juga
berpendapat bahwa pengaruh Ahmadiyah memang jauh sekali, ini disebabkan
kepercayaan pendiri dan pengikut Ahmadiyah bahwa jihad dengan pedang
bukanlah masanya lagi sekarang, yang diperlukan ialah jihad dengan pena, jihad
dengan lisan dan tulisan (2007:103).
Sumber informasi tentang Ahmadiyah yang bersipat polemik dan
cenderung Antipati datang misalnya dari tulisan Ehsan Elahi Zaheer (1978),
Qadiyaniat: An Analytical Survey. Dalam tulisannya itu yang oleh Ehsan Elahi
telah diakui sebagai buku yang telah melewati penelitian mendalam, berisikan
analisis terhadap hubungan anatara Ghulam Ahmad dan para penerusnya seperti
Mahmud Ahmad dengan penjajah Inggris.
Hal menarik dari pendapatnya itu adalah kesimpulan pengarang yang
berasumsi bahwa Ahmadiyah sebagai agen imperialisme Inggris di India karena
tidak mau dan melarang para pengikutnya untuk mengangkat senjata terhadap
penjajahan Inggris di India ketika itu serta mendapat perlindungan dan bantuan
dari Inggris sehingga dapat berkembang di Eropa. Zaheer mengungkapkan dalam
kaitannya Ahmadiyah dan Inggris, ketika muncul pertama kalinya pada akhir abad
ke 19 adalah bagian dari taktik imperialis Inggris untuk memertahankan
kekuasaanya di India, karena ketika itu menurut Zaheer kekuatan penjajahan
Inggris melemah akibat mulai munculnya kesadaran dari rakyat India khususnya
20
Muslim untuk menentang Inggris, maka dibentuklah Ahmadiyah dengan harapan
bisa memecah persatuan Muslim India ketika itu.
Ungkapan senada juga datang dari Abdullah Hasan Alhadar (1980),
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah, berpendapat bahwa
Ahmadiyah yang diasumsikan sebagai organisasi buatan Inggris yang bertujuan
memecah belah umat Islam. Alhadar juga berpendapat pada masa Mahmud
Ahmad, Ahmadiyah dijadikan spionase dalam perang Eropa. Hal menarik dari
pendapatnya ini adalah penulis telah menempatkan pemikiran-pemikiran
Ahmadiyah sebagai hasil refleksi dan imajinasi atas heterogenitas kepercayaankepercayaan di India saat itu.
Dalam kaitannya dalam perkembangan Ahmadiyah di Eropa Alhadar
mengungkapkan
Bashiruddin
Mahmud
Ahmad
dapat
mengembangkan
Ahmadiyah dengan pesatnya ,dengan harta karun peninggalan ayahnya dan para
sesepuhnya hasil dari pengorbanan bakti setia dan taat pada raja Sikh kemudian
imperialis Inggris, maka bisa dengan mudah untuk meneruskan ajaran-ajaran
ayahnya ke seantero negeri. Ditambah lagi dengan mendirikan nazarat Baitul
Maal, para pengikutnya yang kebanyakan kaum kaya raya, dapat menghimpun
uang ratusan juta. Lebih lanjut lagi Alhadar mengungkapkan dengan bantuan
keungan Inggris, Ahmadiyah tidak mustahil dapat mengembangkan ajaranajarannya ke berbagai tempat di dunia.
Muhammad Iqbal (1991), dalam tulisannya yang berjudul Islam dan
Ahmadiyah, Jawaban Terhadap Pertanyaan-Pertanyaan
Jawaharlal
Nehru.
Berpendapat mengenai gerakan Ahmadiyah yang serupa dengan gerakan sufisme
21
abad pertengahan dan merupakan alat politik bagi Inggris di India dan dunia Islam
waktu itu, dalam buku tersebut Iqbal mengatakan esensi
adalah serupa dengan gagasan-gagasan Majusi
paham
Ahmadiyah
pra-Islam, melalui
saluran-
saluran tasawwuf, yang telah mempengaruhi pemikiran pendiri paham Ahmadiyah
tersebut sangat menarik bila dilihat dari sudut ilmu perbandingan agama.
Iqbal mengungkapkan bahwa Argumen dan pendiri gerakan itu sendiri,
yang mirip sekali dengan argumen ahli Ilmu kalam abad pertengahan, adalah
bahwa spiritualitas Nabi Besar Islam itu dianggap tidak sempurna bila ia
tidak disempurnakan oleh Nabi lain. Dia menyatakan kenabiannya sendiri sebagai
bukti atas kekuatan spiritualitas Nabi Besar Islam itu untuk mengangkat nabi
lain. Tetapi bila anda bertanya lebih jauh kepadanya apakah spiritualitas
Muhammad mampu mengangkat lebih dari seorang nabi, jawabannya adalah
tidak Ini jelas sama dengan ucapan Muhammad bukan nabi terakhir; tetapi
sayalah yang terakhir.
Karena kurang sekali memahami nilai kultural gagasan Islam tentang
penutup nabi-nabi dalam sejarah ummat manusia pada umumnya dan ummat
manusia di Asia pada khususnya, dia menganggap penutup nabi-nabi, dalam
pengertian bahwa tidak ada seorang pengikut Muhammad pun dapat mencapai
kedudukan nabi, merupakan tanda ketidak sempurnaan dalam kenabian
Muhammad itu.
Lebih lanjut Iqbal mengatakan, arti penting dari gerakan itu sebagaimana
dia pahami, bahwa keyakinan kelompok Ahmadi terhadap Jesus Kristus (Nabi
Isa) yang mengalami kematian biasa dan kedatangannya yang kedua hanya
22
berarti kedatangan seseorang yang secara spiritual "seperti dia," memberikan
kepada gerakan itu sejenis penampilan rasional, tetapi keyakinan-keyakinan itu
sebenarnya tidak esensial bagi gerakan itu. Barangkali cukup bila dikatakan
bahwa sifat hakiki dari paham Ahmadiyyah terletak di balik Tasawwuf dan Ilmu
Kalam abad pertengahan (Iqbal, 1991: 3).
Referensi yang bisa dimasukan ke dalam kategori tidak memihak biasanya
datang dari tulisan Orientalis Barat. Seperti tulisan dari Ian Adamson (1989),
dalam bukunya Mirza Ghulam Ahmad of Qadian. Buku setebal 187 halaman ini
membahas tentang biografi Ghulam Ahmad sejak kelahiran sampai kewafatannya,
khususnya tentang setting-historis kehidupannya, misinya, dan perjalanan
intelektulitasnya dan spiritualnya. Walaupun bersipat deskriptif-analitik, tapi buku
ini merupakan salah satu sumber referensi yang representatif bagi kalangan civitas
akademika yang ditulis oleh peneliti diluar pengikut Ahmadiyah.
Adamson
misalnya
mengungkapkan
bahwa
gerakan
Ahmadiyah
mempunyai ciri yang berbeda dengan gerakan keagamaan lain pada jamannya,
gerakan ini lebih banyak berkiprah dibidang sosial dan pendidikan dan bahkan
menolak untuk berpolitik, padahal pada masanya itu gerakan-gerakan keagamaan
banyak yang bersipat politis khususnya di India. Lebih lanjut Adamson
menjelaskan pendekatan yang dilakukan Ahmadiyah dalam mendefinisikan
tentang Islam lebih rasional dan lebih bisa diterima oleh pikiran Barat.
Dalam tulisan Yohann Friedmann (1989), Prophecy Continuous: Aspecks
of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background, yang mengungkap
tentang asapek-aspek keagamaan pengikut Ghulam Ahmad, khususnya tentang
23
kenabian dan jihad. Dalam aspek kenabian Friedmann misalnya mengungkapkan
ada perbedaan definisi kenabian bagi kaum Ahmadi yang berbeda dengan
pemahaman Muslim pada umumnya.
Bagi kaum Ahmadi kenabian bukanlah monopoli suatu kaum, bangsa atau
agama tertentu, akan tetapi Tuhan dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya telah
membimbing setiap manusia diseluruh wilayah bumi ini, menurut kaum Ahmadi
sebelum kedatangan Muhammad, nabi-nabi telah lahir tidak hanya di tanah Arab
saja tapi juga telah lahir di tanah Persia, Romawi dan India. Hal menarik dari
pendapat Friedmann ini adalah penilaian penulis terhadap konsep dakwah atau
jihad pengikut Ghulam Ahmad yang humanis dan jauh dari nilai-nilai kekerasan.
2.2. Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad
Khalifatul Masih adalah pemimpin tertinggi dari Muslim Ahmadi, Jamaah
Ahmadiyah. Anggota dari Muslim Ahmadi percaya Khalifatul Masih itu adalah
manifestasi kedua dari kenabian. Sebagaimana tradisi dalam Islam, setelah
kewafatan Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW, diikuti oleh Khulafa'ur
Rasyidin begitupun yang diyakini kaum Ahmadi, sesudah mangkatnya Mirza
Ghulam Ahmad yang telah mereka percayai sebagai Al-Masih dan Imam Mahdi
yang dijanjikan, dilanjutkan dan dipimpin oleh para Khalifah Al-Masih sebagai
penerusnya. Menurut Ahmadiyah, keberadaan khalifah yang berkesinambungan
dan berlangsung terus adalah bukti bahwa Islam akan terpelihara. Dan keberadaan
khalifah ini, Allah akan memberikan kesatuan, keamanan dan kemajuan. Hal ini
sesuai dengan nubuwatan (kabar suka) dari Nabi Besar Muhammad Rasulullah
24
SAW, dan janji Allah bagi mereka orang-orang yang beriman dan berbuat amal
saleh yang telah diisyaratkan dalam Al-Quran Surat An Nur ayat 56 (Cheema,
2007:6).
Ahmadiyah Lahore atau di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah
Indonesia tidak masuk dalam kepercayaan Kekhalifahan Masih ini. Terpilih
sebagai Khalifatul Masih I pada tahun 1908 adalah Maulana Hakim Nurudin
(1841-1914), satu hari setelah kewafatan pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam
Ahmad. Maulana Hakim Nurudin seorang tabib termasyur, penulis dan ahli ilmu
agama. Setelah mangkatnya Nurudin pada tahun 1914, selanjutnya pada tahun
yang sama terpilih Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad (1889-1965) sebagai
Khalifatul Masih II.
Sepeninggal Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad pada tahun 1965,
selanjutnya yang menggantikannya adalah Mirza Nasir Ahmad (1909-1982) yang
kemudian terpilih sebagai Khalifatul Masih III. Setelah kewafatan Mirza Nasir
Ahmad, kemudian terpilih Mirza Tahir Ahmad (1928-2003) sebagai Khalifatul
Masih IV pada tahun 1982. Setelah wafatnya Mirza Tahir Ahmad pada tanggal 19
April 2003, Jemaat Ahmadiyah selanjutnya dipimpin oleh Mirza Masroor Ahmad
yang terpilih sebagai Khalifatul Masih V pada tanggal 23 April 2003 sampai
sekarang (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2005: 24).
Tulisan mengenai Mirza Bashirudin Mahmud Ahmad juga telah banyak di
tulis seperti oleh Khurshid Ahmad (1973), Bashir Ahmad Dehlavi (2007), Mirza
Muzaffar Ahmad (1995), Choudhery Muhammed Siddique Sahib (1997), Zafrulla
Khan 1978), dan yang lainnya.
25
Secara garis besar para penulis tersebut berpendapat bahwa Mirza
Bashirudin Mahmud Ahmad yang lahir 12 Januari 1889 di Qadian, India dan
wafat 7 November 1965 di Rabwah, Pakistan., adalah seorang pribadi yang
kharismatik dan istimewa, diantara prestasinya adalah pembentukan dan
bimbingannya langsung pada struktur organisasi Jemaah Ahmadiyah, ketika
permulaan masa khalifahnya Ahmadiyah ketika itu sedang dalam masa yang sulit
hal ini terjadi sebagai dampak meruncingnya pertentangan diantara para tokoh
Ahmadiyah ketika itu mengenai peganti sebenarnya dari Ghulam Ahmad, sebagai
hasil pertentangan tersebut lahirlah dua golongan dalam Ahmadiyah yang
kemudian dikenal dengan istilah Qadian dan Lahore.
Terdapatnya
dua
kelompok
Ahmadiyah,
keduanya
sama-sama
mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa Al-Masih yang telah
dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki
perbedaan prinsip yaitu:
1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa
Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang
nabi.
2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar
mujaddid dari ajaran Islam.
26
Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka percaya pada
semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam Quran dan Hadits, dan
percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan
Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi
yang terakhir. Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya
tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Sesudah Nabi
Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada
siapa pun. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat)
satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat walâkin
rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS, 33:40), dan berarti membuka pintu
khatamun-nubuwwat.
Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW. Seorang muslim, apabila
mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa
salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa
disebut kafir. Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah
tertutup, akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak
umat tetap cerah dan segar. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa
di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para
muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi.
Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 Hijriah. Dan menurut Hadits,
mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan
nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid. Percaya kepada Mirza Ghulam
27
Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang
yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir
(http://en.wikipedia.org/wiki/Lahore_Ahmadiyya_Movement_for_the_Propagatio
n_of_Islam, 27/12/2008).
Pada masa Mahmud terjadi pemisahan wilayah antara Hindu dan Islam di
India sebagai akibatnya pusat Ahmadiyah harus pindah dari Qadian India ke
daerah Rabwah Pakistan. Masa-masa ini adalah masa yang paling sulit karena
Jemaat Ahmadiyah harus menata kembali dari nol, selain dari kesulitan ekonomi
pada masa ini juga mulai gencarnya pertentangan terhadap Ahmadiyah terutama
dari kalangan Islam Radikal di Pakistan seperti dari Maududi dengan Jemaat
Islamnya.
Sebagian dari hasil buah tangannya adalah karya besarnya yang
menakjubkan berupa tafsir Al-Qur'an Tafsir Kabir yang merupakan tafsir lengkap
sepuluh volume dan Tafsir Saghir selain itu juga, propaganda penyebaran Islam
melalui kegiatan misi pengutusan mubaligh-mubaligh Ahmadiyah secara aktif di
dalam maupun di luar anak benua India seperti benua Eropa, benua Amerika,
benua Afrika, benua Asia termasuk Indonesia.
Khurshid Ahmad (1973:42) dalam karyanya berjudul A Brief History of
Ahmadiyya Muslim Community, berpendapat bahwa Mahmud Ahmad adalah
seorang anak yang mempunyai kualitas seperti ayahnya (Ghulam Ahmad),
seorang yang cerdas dan berahlak mulia dimata para pengikutnya. Bashir Ahmad
Dehlavi (2007) mengatakan masa-masa keemasan khalifah beliau dan
keberhasilan yang dicapai sejak 14 maret 1914 hingga 7 November 1965, satu
28
periode sepanjang 52 tahun beliau memimpin Ahmadiyah, salah satu keberhasilan
penting yang beliau capai adalah membangun sebuah nizam tabligh Islam di
dalam dan di luar negeri. Segera setelah beliau menjadi khalifah, beliau
mengumumkan bahwa tugas pertama beliau adalah tabligh Islam.
Mirza Muzaffar Ahmad (1995) juga mengatakan bahwa Mahmud juga
memeiliki kecerdasan yang luar biasa walaupun tidak memiliki kualitas
pendidikan yang baik sebaagian dari beberapa buah tangannya adalah,
1. The Holy Quran Tafsir Kabir (Tafsir Besar).
2. The Holy Quran Tafsir Saghir (Tafsir Kecil), di Indonesia dikenal
Al-Quran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, suntingan Malik
Ghulam Farid, terbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
3. Pengantar Mempelajari Alquran (Introduction to the study of the
Holy Qur'an).
4. Riwayat Hidup Rasulullah saw. (Life of Muhammad s.a.)
5. Da'watul Amir (Invitation to Ahmadiyyat).
6. Tohfat al-Malook (Gift to the Kings).
7. Tatanan Dunia Baru Menurut Islam (New World Order of Islam).
8. Haqeeqat al-Nabuwwat (The Truth about Prophethood).
9. Ser-e-Roohani (The spiritual Journey, originally a series of
speeches).
10. Ahmadiyah atau Islam Sejati (Ahmadiyyat, the True Islam).
11. Inqalab-e-Haqeeqi (Revolusi Sejati).
29
12. Hindustan ke Siyasi Masael ka hal (Solution to the political
problems of India).
13. Fazael-e-Qur'an (Excellences of the Qur'an).
14. Hasti-ye Bari Ta'ala (The Existance of God).
15. Malaykatullah (The Angels of God).
16. A'ina-e-Sadaqat (The Mirror of Truth, The Truth about the Split)
17. Minhajut Talibin (Way of the Seekers).
18. Zikir Illahi (Remeberance of God).
19. Muhammad in The Bible.
20. Kalam-e-Mahmood (collection of Poetry of Mahmood).
Ali Mukhayat (2007:22-25) mengatakan dalam sejarah Ahmadiyah, ada
tiga hari besar yang selalu diperingati setiap tahunnya. Ketiga hari besar adalah:
pertama, hari Masih Mau’ud. Ketika Ghulam Ahmad untuk pertama kalinya
menerima sumpah setia dari para pengikutnya, yang kemudian menjadi tonggak
awal berdirinya Jemaah Islam Ahmadiyah, gerakan ini mengambil nama dari
salah satu nama Nabi Muhammad yaitu Ahmad yang berarti terpuji dan berarti
juga jabal atau keindahan. Menurut faham Ahmadiyah masa sekarang adalah
masanya untuk memunculkan sipat keindahan dan kehalusan Islam. kedua adalah
hari khilafat. Diperingati sebagai manifestasi rasa syukur
yang telah
menganugrahkan kembali khilafat setelah lama lepas dari gemgaman orang-orang
Islam, dimana khilafat adalah simbol kejayaan umat Islam.
Ketiga adalah hari Muslih Maud yaitu salah satu peringatan yang
dilakukan pengikut Ahmadiyah untuk mengenang suatu tanda kebenaran wahyu
30
yang diterima Ghulam Ahmad tentang kelahiran seorang putera beliau yang
dijanjikan melalui selebaran tertanggal 20 Februari tahun 1886, dan putera yang
dijanjikan itu lahir pada tauhun 1889 yang bertepatan juga dengan tahun
berdirinya Ahmadiyah.
Selanjutnya Ali Mukhayat juga mengatakan bahwa Mahmud Ahmad
membentuk gerakan pengorbanan untuk penyebaran misi Ahmadiyah di luar India
dan Pakistan, yang kemudian dikirim keberbagai belahan dunia. Hubungannya
dengan penyebaran para misionaris ke Benua Eropa pada masa Mahmud Ahmad
di Eropa telah berdiri cabang-cabang pertablighan seperti di Inggris, Swiss,
Belanda, Denmark, Jerman, Swedia dan diwilayah Eropa lainya.
Itulah sebagaian dari sumber referensi yang penulis gunakan dalam kajian
perkembangan Ahmadiyah di Eropa pada masa Mirza Bashirudin Mahmud
Ahmad yang batasan waktunya mulai dari tahun 1914 sampai dengan
kewafatannya tahun 1965.
31
Download