TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Buru hotong Buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) merupakan sejenis tanaman pangan yang dimanfaatkan masyarakat pulau Buru, Maluku. Tanaman buru hotong merupakan sejenis padi atau alang- alang yang tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang dapat tumbuh dengan baik di lahan- lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Hingga kini tanaman tersebut ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di pulau Buru (Maluku). Budidaya tanaman buru hotong tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sebagaimana tanaman padi, sehingga memungkinkan untuk dapat ditanam hampir pada semua tempat dengan cara menaburkan biji (Herodian et al., 2008). Tanaman buru hotong merupakan tanaman semusim. Umur panen tanaman ini 75 – 90 hari setelah tanam, tergantung jenis tanah dan lingkungan tempat budidayanya. Waktu penanaman terbaik pada bulan Juli hingga pertengahan Agustus di daerah beriklim tropis misalnya di wilayah India bagian selatan (Krishiworld, 2005). Menurut Dassanayake (1994), jenis- jenis buru hotong yang banyak dibudidayakan adalah: Setaria italica (L.) Beauv., Setaria italica (Var.) Metzgeri, dan Setaria italica (Var.) Stramiofructa. Hirarki taksonomi tanaman buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) selengkapnya adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Division : Magnoliophyta (Angiospermae) Class : Liliopsida Subclass : Commelinidae Ordo : Cyperales Family : Poaceae (Gramineae) Genus : Setaria Beauv. Species : Setaria italica (L.) Beauv. 5 Tanaman hotong merupakan tanaman semusim yang biasanya tumbuh dalam bentuk rumpun dengan tinggi tanaman 60-150 cm, batang tanaman tidak berkayu dan daun berbentuk seperti pita serta mempunyai ligula yang panjangnya 1-3 mm. Panjang malai buru hotong rata- rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan memilki berat rata- rata 5.7 g per malai. Biji buru hotong memilki ukuran panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm, dan ketebalan 1.1 mm (Dassanayake, 1994). Gambar tanaman dan biji buru hotong dapat dilihat pada Gambar 1. (a) (b) Gambar 1. Tanaman Buru Hotong (a) dan Biji Buru Hotong (b) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi Hotong Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman buru hotong diantaranya adalah tanah, varietas tanaman, iklim, dan tindakan budidaya. Setiap tanaman menghendaki kondisi tanah yang berbeda- beda sebagai tempat hidup yang optimum. Pada budidaya tanaman graminae pengolahan tanah yang intensif dengan pencacahan tanah akan sangat menguntungkan dari segi kemampuan perkembangan akar dan penghambatan pertumbuhan gulma. Tanaman buru hotong tidak memerlukan tanah khusus untuk tumbuh, namun perlu dilakukan perlakuan- perlakuan terhadap jenis tanah tertentu (Baker, 2003). Menurut Baker (2003) dan Krishiworld (2005), tanaman buru hotong dapat tumbuh pada daerah beriklim tropis maupun subtropis dengan curah hujan yang tidak terlalu besar. Swarbrick (1997) menyatakan bahwa secara umum, tanaman buru hotong tumbuh baik pada lahan tadah hujan sampai kering, karena tanaman ini relatif sedikit membutuhkan air. 6 Krishiworld (2005) melaporkan bahwa di India, tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah alluvial, bahkan pada tanah liat. Tanah dengan liat yang tinggi harus mendapatkan pengolahan tanah yang baik agar dapat mendukung perakaran dan meningkatkan perkolasi air tanah karena tanaman buru hotong memerlukan drainase yang baik. Tanaman buru hotong dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, namun tanaman ini bereaksi positif terhadap fosfor (P) dan nitrogen (N), sehingga tanah dengan kandungan fosfor dan nitrogen yang cukup akan menghasilkan produksi yang lebih baik. Tanaman buru hotong membutuhkan suhu tinggi untuk pertumbuhan dan perkecambahannya. Temperatur optimum untuk perkecambahan tanaman ini adalah rata- rata 200C- 300C. Tanaman ini merupakan tanaman yang sangat efisien dalam penggunaan air dan baik ditanam pada awal musim hujan agar tidak terjadi kekeringan pada waktu perkecambahan (Oelke et. a.l., 1990). Tanaman buru hotong merupakan tanaman multiguna yaitu batang dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan bijinya untuk bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan sedangkan limbahnya dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos. Biji hotong dapat digunakan sebagai pengganti beras. Rasa nasi biji hotong tidak berbeda jauh dengan rasa nasi beras, hanya saja teksturnya agak liat dibandingkan dengan nasi beras (Hasbullah et.al, dalam Nurshanti, 2008). Produktivitas buru hotong di Pulau Buru, Maluku bisa mencapai 800 kg/ha yang ditanam dengan cara tanam langsung namun hasil penelitian Nurshanti (2008) menunjukkan produktivitas buru hotong lebih rendah yaitu (1) 194,05 kg/ha untuk kombinasi perlakuan umur bibit 4 MSS dengan jarak tanam 25 cm x 10 cm, (2) 204,99 kg/ha untuk kombinasi bibit yang berumur 5 MSS dengan jarak tanam 15 cm x 10 cm, dan (3) kombinasi perlakuan umur bibit 5 MSS dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm. Hasil penelitian Hasbullah et al. (2003) menunjukkan bahwa buru hotong memiliki kandungan protein sekitar 11,2% dan lemak sekitar 2,4%, sedangkan beras memilki kandungan protein sekitar 4-5% dan lemak 1-2%, yang berarti kandungan protein dan lemak buru hotong lebih tinggi dibandingkan kandungan protein dan lemak yang ada pada beras. Dilihat dari kandungan karbohidratnya, 7 kandungan karbohidrat buru hotong sekitar 73% hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada beras sekitar 70-80% (Tabel 1). Tabel 1. Kandungan Gizi Buru Hotong dibandingkan Beras Komponen Karbohidrat (%) Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%) Hotong (a) 73 11.2 2.4 1.3 Beras (b) 70- 80 4.0- 5.0 1.0- 2.0 8.0- 15.0 2.0- 5.0 (a) Hasil Analisa dari Laboratorium IPB (b) www.republika.co.id Dormansi Benih dan Pematahan Dormansi Dormansi benih adalah suatu keadaan benih dimana benih tidak mampu berkecambah walaupun faktor – faktor perkecambahan (air, suhu, komposisis gas dan cahaya) berada dalam keadaan optimum (Mayer dan Mayber, 1982). Hampir semua kelompok tanaman termasuk keluarga rerumputan, serealia, legum berbiji kecil dan besar termasuk kacang tanah, timun, sayuran, bunga serta gulma akan mengalami dormansi ketika baru dipanen (Justice dan Bass, 1990). Benih dorman dan mati dapat dibedakan melalui proses perkecambahan yaitu jika benih tidak mengalami imbibisi, berarti benih dorman. Hal ini ditandai dengan volume benih yang tidak berubah sampai akhir proses perkecambahan atau dengan kata lain benih tetap keras, tetapi jika setelah periode perkecambahan berakhir dan benih tetap tidak mau tumbuh (meskipun benih telah mengalami imbibisi) berarti benih telah mengalami deteriorasi lanjut atau mati. Gejala ini ditandai dengan volume benih bertambah dan bila dipegang lunak bahkan terkadang ditumbuhi cendawan (Saenong et al., 1989). Menurut Copeland dan McDonald (1985) dormansi benih dibedakan dalam dua tipe yaitu dormansi primer dan dormansi sekunder. Dormansi primer disebabkan oleh adanya faktor fisik dan fisiologis. Faktor fisik disebabkan oleh bagian yang mengelilingi benih termasuk kulit benih yang tebal, adanya inhibitor dan impermeabilitas kulit benih terhadap air atau gas. Faktor fisiologis disebabkan oleh penghambatan dari dalam benih itu sendiri, seperti pembentukan embrio 8 yang belum sempurna, keseimbangan hormonal, dan metabolic block pada kotiledon. Dormansi sekunder adalah dormansi yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya salah satu faktor yang mempengaruhi perkecambahan, seperti air, gas (O2), suhu dan cahaya akibat perlakuan tertentu. Bagi benih yang memilki sifat dorman perlu diketahui cara yang tepat untuk mematahkannya supaya pertumbuhan yang cepat dan seragam dapat dicapai. Pengetahuan mengenai penyebab dormansi benih sangat diperlukan untuk menentukan perlakuan pematahan dormansi. Pemberian perlakuan pada benih akan sangat mempengaruhi daya berkecambah dan daya tumbuh benih dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit. Terdapat 2 metode pematahan dormansi yaitu fisiologis dan fisik. Cara fisiologis terdiri atas (1) penyimpanan kering (afterripening), (2) stratifikasi: suhu rendah dan suhu tinggi, (3) kimia, dan (4) suhu berganti. Cara fisik terdiri atas (1) skarifikasi: mekanik dan kimia, (2) pencucian/perendaman benih, dan (3) puncturing atau penusukan (Widajati et al., 2008). Cara pematahan dormansi secara fisiologis yaitu perlakuan dengan suhu tinggi sehingga mengakibatkan keseimbangan antara inhibitor dan promotor. Muchtar dalam Rosmawati (2003) melaporkan bahwa afterripening pada padi sawah varietas Srikuning dan Bahbutong cukup efektif dengan memberikan suhu tinggi (39-410C) dengan kelembaban relatif sedang (65- 85 %), dan suhu tinggi dengan kelembaban relatif rendah (52- 60%) dapat mempercepat after ripeningnya dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Metode pemanasan pada suhu 500C selama dua hari efektif mematahkan dormansi benih varietas Banyuasin, Maros, Muncul, Cipunegara, Towuti, dan Cilosari. Pemanasan benih pada suhu 500C salama lima hari efektif mematahkan dormansi benih hampir semua genotipe kecuali Way Arem, Digul, S3254-2g, Cimanuk dan S4325d-1-2-3-1 (Nugraha dan Soejadi, 2001). Hal ini diduga karena asam lemak jenuh berantai pendek yang menyebabkan dormansi pada benih larut selama pemanasan (IRRI 1987). Perlakuan dengan menggunakan suhu tinggi untuk pematahan dormansi cukup efektif, karena perlakuan suhu tinggi dapat mempercepat tejadinya keseimbangan antara inhibitor dan promotor (Muchtar 1987). 9 Kalium Nitrat (KNO3) merupakan bahan kimia yang umum dipergunakan dalam merangsang perkecambahan benih. Menurut Mayer dan Mayber (1982), larutan KNO3 dapat merangsang perkecambahan benih yang mengalami dormansi seperti benih Lepidium viginicum, Eragrotis curvula, Polypogon mospelliensis, Agrotis sp., dan Shorgum helepense. KNO3 mampu mematahkan dormansi dan respon benih tergantung pada konsentrasi yang digunakan. Larutan KNO3 tersebut berinteraksi dengan suhu dalam menstimulir perkecambahan benih. Byrd (1983) mengatakan bahwa perendaman dan pencucian dengan air serta dengan perlakuan beberapa bahan kimia dapat mematahkan dormansi pada benih yang permukaannya mengandung inhibitor. Menurut Bewley dan Black (1985), pematahan dormansi dengan KNO3 diduga berhubungan dengan aktivitas lintasan pentosa fosfat, ketersediaan O2 terbatas mengakibatkan lintasannya non aktif karena digunakan untuk aktivitas respirasi melalui lintasan lain. Perlakuan benih dengan akseptor hidrogen seperti nitrit, nitrat dan methyleneblue diduga dapat membantu proses reoksidasi NADPH sehingga mengaktifkan kembali lintasan pentosa posfat. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Diarni dalam Rosmawati (2003) bahwa perlakuan perendaman dalam larutan KNO3 selama 48 jam merupakan pematahan dormansi yang paling efektif pada benih padi gogo Varietas Kalimutu, Way Rarem dan Gajah Mungkur pada 0 MSP sedangkan varietas Jatiluhur yang efektif menggunakan pemanasan pada suhu 50C selama 48 jam yang diikuti perendaman dalam air selama 24 jam pada 2 MSP. Menurut hasil penelitian Rosmawati (2003) perendaman dalam larutan KNO3 2% selama 48 jam dapat mematahkan dormansi padi varietas IR64 pada minggu ke-4. Pengaruh nitrat, nitrit, dan hidroksilamin terhadap perkecambahan benihbenih dorman telah mengawali sejumlah hipotesis tentang mekanisme dormansi, tetapi belum ada kesepakatan umum bagaimana mekanisme kerjanya. Hendricks dan Taylorson (1974) menyatakan bahwa benih- benih yang mempunyai daya berkecambah yang rendah pada suhu konstan mengalami peningkatan setelah dikecambahkan dengan substrat yang mengandung ion nitrat atau nitrit. Penelitian Hendricks dan Taylorson (1974) terhadap aktivitas enzim katalase pada benih Lactuca sativa dan Amaranthus allus setelah perlakuan 10 dengan nitrat menunjukkan bahwa nitrat dalam perkecambahan benih bertindak setelah tereduksi menjadi nitrit atau hidroksilamin. Nitrat dalam perkecambahan benih berfungsi sebagai akseptor hydrogen yang membantu proses reaksi oksidasi NADPH. Nitrat dalam bentuk nitrit dan hidroksilamin tersebut diduga merangsang perkecambahan dengan cara menghambat enzim katalase. Penghambatan tersebut menyebabkan oksigen tetap tersedia dalam bentuk H2O2 untuk aktivitas peroksidase yang terlibat dalam sistem enzim reaksi oksidasi NADPH. Hasil reaksi ini adalah mengaktifkan kembali lintasan pentosa fosfat sehingga proses perkecambahan benih dapat terjadi. Tujuan pematahan dormansi adalah mendorong proses pematangan embrio, pengaktifan enzim dalam embrio, dan peningkatan dalam permeabilitas kulit benih yang memungkinkan masuknya air dan gas- gas yang diperlukan dalam perkecambahan. Afterripening Afterripening merupakan setiap perubahan pada kondisi fisiologis benih selama penyimpanan yang mengubah benih menjadi mampu berkecambah. Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-beda dari hanya beberapa hari sampai dengan beberapa tahun tergantung jenis benih (Sutopo 2002). Kemampuan afterripening tergantung pada kondisi lingkungan seperti kelembaban, suhu, dan oksigen. Proses afterripening memerlukan kadar air minimum, jika benih terlalu kering (contohnya KA 5%) proses afterripening menjadi tertunda. Afterripening juga tertunda apabila kadar oksigen rendah dan dipercepat ketika kadar oksigennya tinggi (Bewley dan Black, 1985). Benih padi yang baru dipanen pada umumnya mengalami dormansi walaupun embrio telah terbentuk sempurna dan kondisi lingkungan yang mendukung untuk terjadinya perkecambahan. Dormansi tersebut dapat dipecahkan jika benih mengalami penyimpanan kering, yang disebut afterripening (Sutopo, 2002). Periode afterripening yaitu lamanya penyimpanan kering sampai benih dapat memecahkan dormansinya secara alami. Menurut Copeland dan McDonald (2001), pada beberapa benih serealia penyimpanan pada suhu 200C selama 1- 2 11 bulan dapat menghasilkan perkecambahan yang maksimum. Selain itu suhu mempengaruhi respon terhadap perkecambahan benih tipe ini. Untuk benih buru hotong sendiri lama penyimpanan kering yang dibutuhkan untuk mematahkan dormansinya secara alami (periode afterripening) sekitar 3- 6 bulan pada suhu kamar (Ellis et al., 1985). Periode afterripening padi berbeda pada setiap spesies dan varietas tanaman. Perbedaan tersebut mencerminkan adanya keragaman genetik sifat dormansi dari setiap spesies dan varietas tanaman tersebut. Pada kelompok padi gogo, varietas Sentani memilki periode afterripening selama 2 minggu, varietas Arias memilki periode afterripening selama 4 minggu, varietas Way Rarem selama 5 minggu, varietas Tondano, Singkarak, Danau Tempe, dan Danau Atas selama 6 minggu, varietas Klemas dan Batur selama 7 minggu sedangkan varietas Dodokan selama 8 minggu (Santika, 2006). Viabilitas Benih Viabilitas benih merupakan fokus dari ilmu benih. Kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi optimum adalah Viabilitas Potensial, sedangkan kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi suboptimum disebut Vigor. Viabilitas Potensial dan Vigor adalah parameter viabilitas benih (Widajati et al., 2008). Berbagai jenis metode pengujian viabilitas benih antara lain: uji daya berkecambah (DB), uji tetrazolium (TZ), uji konduktivitas listrik, uji pembelahan embrio, berat kering kecambah normal, uji potensi tumbuh dan lain sebagainya. Dunia penelitian sering menggunakan berbagai metode tersebut, tetapi di dunia perdagangan internasional terdapat regulasi yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan melalui organisasi ISTA dimana pengujian viabilitas dilakukan dengan metode uji DB, uji TZ, dan uji sinar X (Copeland dan McDonald, 1995). Kombinasi metode pengujian dan indikasi serta tolok ukur yang sering digunakan adalah metode langsung dan indikasi langsung dengan menggunakan tolok ukur daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum, kekuatan tumbuh dan kecepatan tumbuh benih. Menurut definisi ISTA (2004), yang dimaksud dengan daya berkecambah di dalam pengujian laboratorium adalah muncul dan 12 berkembangnya kecambah sampai suatu tahap dimana struktur esensialnya mengindikasikan dapat tidaknya berkembang lebih lanjut menjadi tanaman yang memuaskan pada kondisi tanah yang sesuai. Pada kenyataannya kondisi pertanaman di lapang lebih sering tidak se-optimum kondisi di laboratorium, sehingga lot benih yang mempunyai persentase daya berkecambah tinggi dapat memilki nilai pemunculan kecambah (field emergence) yang rendah di lapang. Pada pengujian daya berkecambah benih Setaria Italica dilakukan evaluasi terhadap masing – masing benih. Pengamatan pertama dilakukan pada hari keempat dan pengamatan terakhir dilakukan pada hari kesepuluh. Evaluasi kecambah dilaksanakan terhadap kecambah yang tumbuh dengan kondisi optimum di laboratorium (ISTA, 2007). Perkecambahan benih padi berlangsung pada suhu minimum 100C – 120C, suhu optimum 300C – 370C dan suhu maksimum 400C- 420C. Pengaruh suhu terhadap perkecambahan benih tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan faktor- faktor lainnya baik dalm benihnya sendiri maupun dengan lingkungannya. Vigor merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi suboptimum (Sadjad, 1993). Vigor dipisahkan antara vigor genetik dan vigor fisiologi. Vigor genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbeda-beda sedang vigor fisiologi adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama. Vigor fisiologi dapat dilihat antara lain dari indikasi tumbuh akar dari plumula atau koleptilnya, ketahanan terhadap serangan penyakit dan warna kotiledon dalam efeknya terhadap Tetrazolium Test (Kartasapoetra,1986). Menurut ISTA (2004) vigor merupakan sekumpulan sifat yang dimilki benih yang menentukan tingkat potensi aktivitas dan performa benih atau lot benih selama perkecambahan dan munculnya kecambah. Performa tersebut adalah (1) proses dan reaksi biokimia selama perkecambahan seperti reaksi enzim dan aktivitas respirasi, (2) rata- rata dan keseragaman perkecambahan benih dan pertumbuhan kecambah, (3) rata- rata dan keseragaman munculnya kecambah dan pertumbuhannya di lapang dan (4) kemampuan munculnya kecambah pada kondisi lingkungan yang unfavorable (Copeland dan McDonald 1995). Secara 13 umum vigor diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh normal pada keadaan lingkungan yang suboptimal. Pengujian vigor dilakukan dengan mengukur performa tersebut. Dalam AOSA (2001) disebutkan bahwa vigor adalah suatu indikator yang dapat menunjukkan bagaimana benih tumbuh pada kondisi lapang yang bervariasi. Vigor merupakan gabungan antara umur benih, ketahanan, kekuatan dan kesehatan benih yang diukur melalui kondisi fisiologisnya, yaitu pengujian stress atau melalui analisis biokimia. Dengan demikian pengujian vigor benih dapat memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan pengujian DB, yang bermanfaat untuk melihat potensi daya simpan, estimasi nilai penanaman atau performa pertumbuhan benih di lapang. Pada hakekatnya vigor benih harus relevan dengan tingkat produksi, artinya dari benih yang bervigor tinggi akan dapat dicapai tingkat produksi yang tinggi. Vigor benih yang tinggi dicirikan antara lain tahan disimpan lama, tahan terhadap serangan hama penyakit, cepat dan merata tumbuhnya serta mampu menghasilkan tanaman dewasa yang normal dan berproduksi baik dalam keadaan lingkungan tumbuh yang sub optimal. Rendahnya vigor pada benih dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor genetis, fisiologis, morfologis, sitologis, mekanis dan mikrobia (Sutopo, 2004).