BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri adalah istilah penilaian yang mengacu pada penilaian positif, negatif, netral, dan ambigu yang merupakan bagian dari konsep diri, tetapi bukan berarti cinta diri sendiri. Individu dengan harga diri yang tinggi menghormati dirinya sendiri, mempertimbangkan dirinya berharga dan melihat dirinya sama dengan orang lain, sedangkan harga diri rendah pada umumnya merasakan penolakan, ketidakpuasan diri dan meremehkan diri sendiri (Frey & Carlock, 1987) Harga diri merupakan penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga. Kesadaran tentang diri dan perasaan terhadap diri sendiri itu menimbulkan suatu penilaian terhadap diri sendiri baik itu positif maupun negatif (Coopersmith, dalam Berns, 2004). Harga diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Harga diri mencakup penilaian dan penghargaan terhadap diri sendiri dan menghasilkan sikap positif atau negatif terhadap dirinya sendiri. Sikap positif terhadap diri sendiri adalah sikap terhadap kondisi diri, menghargai kelebihan dan Universitas Sumatera Utara potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap negatif terhadap diri sendiri adalah sikap tidak suka atau tidak puas dengan kondisi sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998). Menurut Hurlock (1999) harga diri merupakan evaluasi diri yang dibuat dan dipertahankan oleh seseorang yang berasal dari interaksi sosial dalam keluarga serta penghargaan, perlakuan, dan penerimaannya dari orang lain. Berdasarkan uraian diatas harga diri merupakan suatu penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri apakah seseorang merasa dirinya mampu, bermakna, berhasil maupun bermanfaat atau tidak serta bagaimana perasaan terhadap dirinya sendiri yang diekspresikan melalui sikap-sikapnya, menerima atau menolak dirinya. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu: a. Socialization agent ( Berns, 2004) antara lain: 1) Keluarga Keluarga adalah tempat pertama individu melakukan hubungan sosial (Andayani & Koentjoro, 2004). Pada lingkungan keluarga anak mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orangtua dan saudara-saudaranya Ada sejumlah faktor dalam keluarga yang sangat dibutuhkan individu dalam proses perkembangan Universitas Sumatera Utara sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan kebebasan untuk menyatakan diri (Ali & Asrori, 2004). 2) Sekolah Sekolah merupakan salah satu lingkungan tempat remaja hidup dalam kesehariannya (Ali & Asrori, 2004). Cole & Harter (dalam Berns, 2004) menemukan murid-murid dengan harga diri yang lebih tinggi lebih mungkin sukses dan berprestasi disekolah daripada murid dengan harga diri yang rendah. 3) Teman sebaya Selama masa remaja, khususnya awal masa remaja akan mengikuti standar teman sebaya (Santrock, 1995). Sikap teman sebaya mengenai ukuran, bentuk fisik, pandangan dan kemampuan fisik "ideal" (Berns, 2004). Harter (dalam Berns, 2004) menemukan bahwa penampilan fisik berhubungan dengan harga diri dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa. 4) Media Iklan pada televisi dan dalam majalah sering mengarahkan individu untuk percaya bahwa produk iklan akan menghasilkan karakteristik ideal (dalam Berns, 2004). Pada laki-laki menekankan pada kekuatan, penampilan, dan keahlian sedangkan perempuan menekankan pada daya tarik dan sifat menyenangkan (Basow, dkk, dalam Berns, 2004). Universitas Sumatera Utara 5) Masyarakat Masyarakat dapat berkontribusi pada perbedaan harga diri seseorang (Berns, 2004). Menurut Siagian (dalam Ali & Asrori, 2004), masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan menentukan arah, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh adanya kontradiksi dalam masyarakat. Pada periode remaja diperlukan norma dan pegangan yang jelas dan sederhana. b. Jenis Kelamin Berbagai penjelasan telah diberikan mengenai perbedaan harga diri antara laki-laki dan perempuan, yang dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan dan tuntutan sosial antara anak laki-laki dan perempuan. Harter (dalam Dacey & Kenny) menyatakan bahwa masyarakat lebih menekankan penampilan fisik pada remaja perempuan dan hal ini dapat menurunkan harga dirinya. Penampilan fisik merupakan hal yang sangat penting bagi remaja perempuan dan juga lebih sering merasa kurang puas dengan dirinya dibandingkan dengan remaja laki-laki. Tekanan sosial pada remaja perempuan agar menjadi sempurna dan disenangi oleh orang lain akan menurunkan harga diri dan dapat menyebabkan ganguan psikologis. Hal ini didukung oleh Crai (dalam Papalia, 1998) yang menyatakan bahwa remaja perempuan memiliki harga diri yang lebih rendah daripada remaja laki-laki yakni karena adanya streotype gender seperti daya tarik fisik dan penampilan diri yang lebih dikhawatirkan oleh remaja perempuan daripada remaja laki-laki. Universitas Sumatera Utara c. Usia Bachman (dalam Baron & Byrne, 1994) menyatakan bahwa harga diri meningkat pada tahun-tahun antara masa remaja ke masa dewasa. Rosenberg (dalam Dacey & Kenny, 1997) menyatakan bahwa semakin bertambah usia individu akan mempengaruhi harga diri seseorang. d. Kelas Sosial Kelas sosial dapat mempengaruhi harga diri seseorang dimana status dan posisi seseorang dalam masyarakat akan mempengaruhi harga diri seseorang. Kedudukan sosial pada umumnya dilihat dari pekerjaan, penghasilan dan tempat tinggal seseorang. Individu yang berada pada status sosial yang lebih tinggi akan cenderung memiliki pekerjaan yang baik, penghasilan yang tinggi dan tempat tinggal yang mewah. Individu tersebut dipandang lebih berhasil oleh masyarakat, sehingga membuatnya percaya bahwa ia lebih berharga daripada orang lain (Coopersmith dalam Berns, 2004) 3. Ciri-ciri harga diri tinggi dan rendah Frey & Carlock (1987) mengungkapkan karakteristik-karakteristik individu dengan harga diri tinggi dan rendah yaitu : a. Karakteristik individu dengan harga diri tinggi 1) Menghargai dirinya sendiri 2) Menganggap dirinya berharga 3) Melihat dirinya sama dengan orang lain 4) Tidak berpura-pura menjadi sempurna 5) Berharap untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi Universitas Sumatera Utara b. Karakteristik individu dengan harga diri rendah 1) Secara umum mengalami perasaan ditolak 2) Memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri 3) Memiliki perasaan hina atau jijik terhadap diri sendiri 4) Memiliki perasaan remeh terhadap iri sendiri Coopersmith (1967) mengemukakan karakteristik-karakteristik individu berdasarkan tingkat harga dirinya, yaitu: a. Individu dengan harga diri tinggi 1) Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya serta dapat menghargai orang lain pula. 2) Dapat mengontrol tindakan-tindakannya teradap dunia diluar dirinya dan dapat menerima kritik dari orang lain. 3) Menyukai tugas baru yang menantang serta tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan diluar rencana. 4) Berhasil berprestasi dalam bidang akademis, aktif serta dapat mengekspresikan dirinya dengan baik. 5) Tidak menganggap diri sempurna, tahu keterbatasan diri dan mengharapkan adanya perbaikan. 6) Memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Universitas Sumatera Utara 7) Lebih bahagia dan efektif dalam menghadapi tuntutan dari lingkungannnyaTidak terpengaruh pada penilaian dari orang lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun negatif. b. Individu dengan harga diri rendah 1) Menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak disukai sehingga takut gagal dalam melakukan hubungan sosial. Hal ini seringkali menyebabkan orang yang memiliki harga diri rendah menolak dirinya sendiri, tidak puas dengan dirinya bahkan meremehkan dirinya. 2) Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurang mampu mengekspresikan diri, serta menganggap ide-ide dan pekerjaan orang lain lebih baik dari dirinya. 3) Tidak menyukai suatu hal/tugas yang baru sehingga akan sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas. 4) Merasa bahwa tidak banyak yang dapat diharapkan dari dirinya, baik yang menyangkut masa kini maupun yang menyangkut masa mendatang sehingga mereka terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi. 5) Merasa bahwa orang lain tidak memberikan perhatian pada dirinya (merasa diasingkan dan tidak dicintai). 6) Menganggap bahwa segala sesuatu yang dikerjakan akan selalu memberikan hasil buruk meskipun ia telah berusaha keras serta juga mudah menyerah. Universitas Sumatera Utara 4. Aspek-aspek harga diri Menurut Frey dan Carlock (1987) harga diri memiliki dua aspek yang saling berhubungan. Aspek-aspek tersebut, yaitu: a. Merasa mampu, yaitu perasaan bahwa individu mampu mencapai tujuan yang diinginkannya. Menjadi mampu berarti individu memiliki keyakinan pikiran, perasaan, dan prilaku yang sesuai dengan realita dirinya. Apabila individu mampu atau berhasil dalam tujuannya maka harga dirinya meningkat. b. Merasa berguna, yaitu perasaan individu bahwa ia berguna untuk hidup. Merasa berguna berarti menguatkan diri dan menghormati dirinya sendiri. Individu yang memandang dirinya tidak layak akan menurunkan harga dirinya. 5. Pembentukan harga diri Seorang bayi tidak dilahirkan dengan harga diri. Perlahan-lahan melalui interaksinya dengan orangtua, orang lain yang mempunyai makna bagi anak, teman-teman sebayanya anak membentuk penilaian mengenai dirinya (Frey & Carlock, 1987). Hal ini sejalan dengan pandangan Coopersmith (1967) yang mengemukakan bahwa yang sangat besar peranannya dalam pembentukan harga diri seorang anak adalah orang-orang disekitar anak tersebut (significant other) seperti orangtua, teman sebaya dan lainnya. Ketika anak masih kecil orangtua merupakan orang yang paling berarti bagi anak karena interaksi lebih sering terjadi dengan orangtua. Interaksi antara orangtua dan anak pada masa kecil membentuk harga diri seorang anak. Universitas Sumatera Utara Perkembangan harga diri ini dimulai sejak bayi melalui interaksi dengan orangtuanya. Perasaan mampu, dan perasaan berguna atau berarti pada anak diperoleh melalui perhatian dan kasih sayang yang dirasakan anak pada awal kehidupannya. Seperti pada saat ia lapar dan ibunya memberi makan, saat ia menangis ayah atau ibu mendekapnya dan sebagainya. Melalui pengalamanpengalaman ini berkembanglah perasaan bahwa ia berarti bagi orangtuanya. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, dasar dari perasaan mampu dan berguna semakin meluas, berkenaan dengan orang-orang lain selain keluarganya. Anak juga harus belajar bahwa ia merupakan bagian dari kelompoknya, ia juga mulai belajar peran jenis kelaminnya. Semakin besar anak, anak mulai lebih sering berinteraksi dengan teman sebayanya, dari sini ia juga belajar kemampuannya tidak lagi hanya dinilai oleh keluarganya tetapi juga oleh teman bermainnya. Lingkungan sosialnya teman-teman sebaya dilingkungannya merupakan orang yang dapat membentuk harga diri seorang anak (Horrocks, 1976). Ketika anak berusia 7-8 tahun, anak mulai dapat membangun pandangan menyeluruh mengenai perasaan mereka terhadap diri sendiri dan telah dapat membedakan macam-macam harga diri seperti kompetensi akademik, fisik, dan sosial. Menjelang usia 9-10 tahun anak benar-benar memiliki pengertian yang jelas mengenai nilai diri mereka dan kompetensi dalam bidang yang berbeda. Menjelang usia 10-12 tahun anak mulai memiliki konsep diri dan perasaaan mengenai dirinya yang relatif stabil, dan akan menetap pada usia 13 tahun (Mussen, 1985). Universitas Sumatera Utara Konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang relevan dengan diri. Salah satu komponen yang lebih spesifik dari konsep diri adalah harga diri yang melibatkan unsur evaluasi atau penilaian diri (Baron & Byrne, 1994). Carl Rogers (dalam Frey dan Carlock,1987) menjelaskan bahwa konsep diri menyangkut persepsi diri yang menunjuk pada cara seseorang melihat dirinya, menilai dirinya, sedangkan harga diri mengacu pada apa yang kita rasakan tentang diri kita, merupakan penilaiaan keberhargaan yang diberikan seseorang terhadap dirinya sendiri. Harga diri tampak jelas dari kesuksesan atau kegagalan menginternalisasikan nilai dan sikap (Berns, 2004). Singkatnya menurut Mead (dalam Berns, 2004) seseorang yang telah dibesarkan dengan berfokus pada pujian atau penerimaan akan memiliki harga diri yang tinggi, sebaliknya seseorang yang ditolak dan dikritik akan memiliki harga diri yang rendah. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri terbentuk melalui perlakuan-perlakuan yang diterima individu dari lingkungannya yang diperoleh melalui penghargaan, penerimaan dan interaksi individu dengan lingkungannya. Universitas Sumatera Utara B. Peran Ayah 1. Definisi peran ayah Peran ayah dalam keluarga telah mengalami banyak perubahan (Lamb, 1986; Parke, 1995, dalam Santrock, 1999). Mulai dari jaman kolonial Amerika, dimana ayah bertanggung jawab terhadap pengajaran moral sampai dengan tahun 1970an dan sekarang dimana ayah dievaluasi berdasarkan keaktifannya dan keterlibatannya dalam mengasuh anak (Updegraff, McHale, & Crouter, 1996, dalam Santrock, 1999) Secara singkat dapat dikatakan peran ayah dalam keluarga yang tadinya bersifat tunggal atau hanya meliputi satu dimensi saja telah mengalami metamorfosa menjadi banyak peran, baik sebagai teman, pengasuh, pasangan, pelindung, model, penunutun moral, guru ataupun sebagai pencari nafkah (Lamb, 1997) 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran ayah Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran ayah dalam menjalankan perannya adalah sebagai berikut: a. Kontribusi orangtua Saat menjadi orangtua, setiap orang memunculkan kombinasi yang unik atas karakteristik personal dan pengalamannya. Karakteristik ini akan mempengaruhi kepekaan seseorang sebagai orangtua terhadap kebutuhan anak-anaknya, harapan mereka sendiri dan anak-anaknya serta kemampuan untuk menghadapi berbagai tuntutan dari peranan sebagai orangtua (Martin & Colbert dalam Julaikha, 2006). Universitas Sumatera Utara 1) Sejarah perkembangan Pengalaman masa kecil seseorang akan mempengaruhi perilaku dalam pengasuhan. Ketika mengalami disiplin yang keras sebagai anak, orangtua cenderung mengulangi pola yang sama dengan anaknya (Martin & Colbert dalam Julaikha, 2006). 2) Pengetahuan Menurut Cooke (dalam Julaikha, 2006), orangtua memperoleh pengetahuan tentang perkembangan anak melalui program-program dalam kelas, buku, orang dewasa yang lain dan pengalamannya dengan anak. Studi menunjukkan bahwa pengetahuan yang lebih banyak maka orangtua akan lebih baik dalam mengenali dan menginterpretasikan sinyal dari anak dan bertindak tepat dalam tindakan yang membutuhkan solusi. 3) Jenis kelamin Perbedaan psikologis yang paling mendasar antara pria dan wanita adalah cenderung untuk berfokus pada dirinya sendiri dan mengutamakan kemandirian sedangkan wanita lebih menekankan kedekatan terhadap hubungan tersebut (Thevenin, 1993). Perbedaan ini lebih didasarkan pada harapan sosial dan pengetahuan daripada pemahaman biologis (Martin & Colbert, dalam Julaikha, 2006). Universitas Sumatera Utara b. Kontribusi anak 1) Jenis kelamin Jenis kelamin berpengaruh terhadap proses pengasuhan, karena orangtua dan lingkungan memiliki harapan yang berbeda terhadap anak laki-laki dan anak perempuan (Lamb, 1997) 2) Usia Menurut Dix (dalam Julaikha, 2006), usia merupakan hal yang penting, karena mempengaruhi tugas-tugas pengasuhan orangtua. Anak membutuhkan perlakuan sesuai usianya. Bertambah dewasa seorang anak, maka akan semakin bertambah kebutuhannya dan semakin bervariatif. c. Dukungan sosial Menurut Belsky dkk. (dalam Julaikha, 2006) terdapat cara bagaimana dukungan sosial mempengaruhi pengasuhan, yaitu: 1) Dukungan emosional dari orang lain Pasangan merupakan sumber dukungan sosial yang utama dan paling intens (Martin & Colbert dalam Julaikha, 2006). Ibu sering memberikan evaluasi pada para ayah ketika mereka terlibat dengan anak-anaknya. Simon (dalam Andayani dan Koentjoro, 2004) menemukan bahwa sikap, harapan dan dukungan ibu terhadap ayah akan mempengaruhi keterlibatan ayah pada anaknya. Ayah yang merasa istrinya menilai dirinya memiliki kemampuan mengurus anak akan cenderung lebih terlibat dengan anaknya. Universitas Sumatera Utara 2) Teman dan keluarga Teman dan keluarga berfungsi sebagai model bagi pengasuhan, melalui informasi tentang harapan dan perkembangan anak dan teknik-teknik yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu dalam pengasuhan anak. Teman dan keluarga juga dapat berfungsi sebagai dukungan instrumental seperti bantuan pengasuhan anak dan nasehat atau saran (Martin & Colbert dalam Julaikha, 2006). 3. Aspek-aspek peran ayah Aspek-aspek peran ayah adalah sebagai berikut: a. Pemberi nafkah (economic provider) Ayah memenuhi kebutuhan finansial anak untuk biaya sekolah, membeli peralatan belajar, dan perlengkapannya sehingga anak merasa aman mengikuti pelajaran, dan dapat belajar dengan lancar di rumah (Hart, dalam Slameto, 2003) b. Sebagai teman (Friend and playmate) Melalui permainan, ayah dapat bergurau/humor yang sehat, dapat menjalin hubungan yang baik sehingga masalah, kesulitan, stress dapat dikeluarkan, pada akhirnya tidak mengganggu belajar dan perkembangannya (Hart, dalam Slameto, 2003). c. Sebagai pengawas/pendisiplin (monitor and disciplinarian) Ayah mengawasi prilaku anak, begitu ada tanda-tanda awal penyimpangan bisa segera dideteksi sehingga disiplin prilaku anak bisa segera ditegakkan (Hart, dalam Slameto, 2003) Universitas Sumatera Utara d. Pemberi perlindungan (protector) Ayah mengontrol dan mengorganisasikan lingkungan anak sehingga anak terbebas dari kesulitan resiko/bahaya selagi ayah atau ibu tidak bersamanya (Hart, dalam Slameto, 2003). Seorang ayah adalah pelindung dan tokoh otoritas dalam keluarga, dengan sikapnya yang tegas dan penuh wibawa menanamkan pada anak sikap-sikap patuh terhadap otoritas dan disiplin. Akhirnya akan tampak bahwa disiplin dari ayah, merupakan pengalaman penting bagi timbulnya rasa aman seluruh keluarga (Gunarsa, 2004). e. Penasehat (advocate) Ayah siap membantu, mendampingi dan membela anak jika ada kesulitan/masalah, dengan demikian anak merasa aman, tidak sendiri, dan ada tempat untuk berkonsultasi, dan itu adalah ayah sendiri (Hart, dalam Slameto, 2003). f. Pendidik dan sebagai teladan (teacher and role model) Ayah bertanggung jawab mengajari tentang apa saja yang diperlukan anak untuk kehidupan mendatang dalam berbagai kehidupan melalui latihan dan teladan yang baik sehingga berpengaruh positif bagi anak (Hart, dalam Slameto, 2003). Sears (dalam Thevenin, 1993) mengatakan modeling berarti menyediakan perilaku yang konsisten dan murni yang diterima oleh anak sebagai contoh untuk berprilaku. Remaja dapat memperoleh model peran seorang ayah dan belajar mengenai bagaimana mereka memperlakukan teman, berhubungan dengan pasangan dan mendidik anak serta bagaimana mereka mengatasi masalah-masalah dalam hidup. Universitas Sumatera Utara Anak belajar banyak dari kehidupan orangtuanya. Anak belajar bahwa dalam kehidupannya akan mengalami banyak tantangan ataupun permasalahan yang harus dihadapi dan dipecahkan serta belajar untuk tidak melemparkan masalah kepada orang lain. Orientasi ini merupakan salah satu trait yang merupakan karakteristik laki-laki, maka dalam hal ini ayah memainkan peran penting sebagai model bagi anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan (Thevenin, 1993) g. Pemberi perhatian (caregiver) Ayah dapat sering melakukan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk sehingga membuat anak merasa nyaman dan penuh kehangatan (Hart dalam Slameto, 2003). h. Sebagai pembimbing (problem solver) Ayah membantu anak-anaknya memecahkan masalah-masalah serta kesulitankesulitan yang dialami anak disekolah dan pembuat keputusan dalam belajar/sekolah, menyangkut langkah-langkah apa saja yang ditempuh anak dalam belajar, menceknya dan mananyakan nilai yang diperoleh di sekolah (Evans, dalam Slameto, 2003). Jadi dapat disimpulkan ada delapan peran ayah, yaitu sebagai pemberi nafkah (economic provider), sebagai teman (friend and playmate), sebagai pengawas dan pendisiplin (monitor and displinarian), pemberi perlindungan (protector), penasehat (advocate ), pendidik dan sebagai teladan (teacher and role model), sebagai pengasuh (caregiver), dan sebagai pembimbing (problem solver). Universitas Sumatera Utara 4. Persepsi terhadap peran ayah Persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Proses ini dimulai dengan perhatian, yaitu proses pengamatan selektif. Persepsi merupakan upaya mengamti dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian (Chaplin, 1999). Atkinson (1987) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana kita mengorganisasikan dan menafsirkn pola stimulus dengan lingkungan. Menurut Martin (1989) persepsi adalah sebuah proses yang menggunakan pengetahuan kita sebelumnya untuk mengumpulkan dan mengartikan stimulus yang masuk melalui indera. Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang dialami individu yang mencakup menerima, memilih, menyadari, dan memaknai stimulus yang terdapat di lingkungan maupun dalam diri individu dengan menggunakan informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya. Menurut Shaw & Contazo (dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) peran dapat didefenisikan sebagai fungsi seseorang yang diasosiasikan dengan posisi tertentu. Jadi persepsi remaja terhadap peran ayah adalah proses yang dialami seorang remaja yang mencakup menerima, memilih, menyadari, dan memaknai stimulus yang berasal dari fungsi seorang ayah sebagai orang tua laki-laki yang berperan sebagai pemberi nafkah, sebagai teman, sebagai pengawas dan pendisiplin, Universitas Sumatera Utara pemberi perlindungan, penasehat, pendidik dan sebagai teladan, pemberi perhatian, serta sebagai pembimbing dalam sebuah keluarga. C. Remaja 1. Definisi remaja (adolescence) Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. 2. Tugas perkembangan remaja Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja meliputi : a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita Universitas Sumatera Utara c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya f. Mempersiapkan karir ekonomi g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi. 3. Ciri-ciri masa remaja Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu : a. Remaja awal (12-15 tahun) Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. b. Remaja madya (15-18 tahun) Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecendrungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman- Universitas Sumatera Utara teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya. c. Remaja akhir (18-21 tahun) Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian : 1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. 3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum. D. Hubungan antara Persepsi terhadap Peran Ayah dengan Harga Diri Remaja Harga diri merupakan hal yang dibutuhkan oleh remaja yang sedang berkembang (Gabarino & Benn dalam Andayani & Koentjoro, 2004). Harga diri mengacu pada penilaian secara keseluruhan seseorang sebagai individu. Jika individu merasa bahwa secara keseluruhan dirinya baik, maka ia akan memiliki harga diri yang tinggi (Wayne & Margaret, 2006). Salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri remaja adalah keluarga (dalam Berns, 2004). Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi individu yaitu Universitas Sumatera Utara tempat individu belajar memahami dirinya sendiri. Orangtua sebagai pengendali keluarga, memegang peranan dalam membentuk hubungan keluarga dengan anakanak mereka. (Maharani & Andayani, 2004). Coopersmith (dalam Berns, 2004) melakukan penelitian tentang peranan orangtua dalam perkembangan harga diri, dan menemukan empat bentuk perilaku yang dianggap penting bagi perkembangan harga diri remaja yaitu perasaan dan penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua, pembatasan standar perilaku yang jelas, penetapan disiplin dan kontrol melalui penjelasan dan bukan dengan cara kekerasan dan paksaan, serta sikap orangtua yang melibatkan pendapat anak dalam menentukan keputusan keluarga. Peran orangtua mencakup peran ayah dan peran ibu. Interaksi antara ayah dan remaja dapat membentuk persepsi tersendiri oleh remaja terhadap peran ayah. Menurut teori persepsi sosial, seseorang akan melakukan penilaian-penilaian dalam upaya memahami orang lain, dalam hal ini adalah upaya remaja memahami peran ayah dengan cara memberi penilaian-penilaian melalui interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Persepsi sosial sendiri bersumber dari tiga elemen. Elemen tersebut adalah pribadi, situasi dan perilaku. Pengalaman yang seseorang miliki terhadap elemen-elemen tersebut apabila semakin banyak maka semakin terperinci pemahaman seseorang terhadap objek sosial tersebut (Brehm&Kassin, dalam Soegiyoharto, 2006). Artinya semakin remaja merasa mengenal ayah mereka dengan tepat dan benar maka mereka cenderung bisa mempersepsikan peran ayah mereka dengan baik. Universitas Sumatera Utara Dinamika hubungan ayah dengan remaja biasanya dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi baik pada ayah maupun remaja. Para peneliti telah memusatkan perhatian mengenai hubungan ayah dengan remaja pada lima karakteristik (Hinde, dkk, dalam Lamb, 1997) yaitu: 1. Waktu yang dihabiskan bersama Waktu yang dihabiskan bersama telah digunakan sebagai indikator dari hubungan ayah-remaja. Faktor yang penting tidak hanya meliputi jumlah waktu aktual yang dipakai tapi juga bagaimana waktu tersebut dihabiskan dan tingkat kepuasan masing-masing dengan hal tersebut. Montemayor (dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa remaja menghabiskan rata-rata 84 menit/hari dengan ibunya dan hanya 70 menit dengan ayah mereka. Anak laki-laki dilaporkan menghabiskan 53 menit/hari dengan ayah mereka dan anak perempuan menghabiskan 59 menit/hari dengan ibunya. Sementara itu, anak laki-laki dengan ibu mereka menghabiskan waktu 26 menit/hari dan anak perempuan hanya 17 menit dengan ayah mereka. Remaja, baik laki-laki maupun perempuan merasa lebih senang dan puas ketika terlibat aktivitas dengan ayah dibandingkan terlibat aktivitas bersama ibu (Montemayor & Brownlee, dalam Lamb, 1997). Kualitas waktu yang dihabiskan remaja bersama dengan ayahnya dengan ayahnya dipengarui oleh beberapa aspek darihubungan. Contohnya, remaja laki-laki yang merasa dimengerti oleh ayahnya memandang menghabiskan waktu bersama sebagai sesuatu yang menyenangkan, dengan berbagi minat. Sementara itu, remaja laki-laki yang merasa tidak dimengerti oleh ayahnya memandang waktu yang dihabiskan bersama sebagai Universitas Sumatera Utara sesuatu yang mengandung konflik dan berisi aktivitas yang dipaksakan serta tidak diinginkan (Roll & Millen, dalam Lamb, 1997) 2. Komunikasi dan keterlibatan Salah satu komponen komunikasi adalah frekuensi interaksi antara orangtua dan remaja. Miller & Lane (dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa remaja lakilaki maupun perempuan lebih banyak berbicara dengan ayah dalam hal membutuhkan pemecahan masalah. Ayah juga ditemukan lebih memberikan kesempatan dan tidak menegangkan dibandingkan ibu (Hauser, dkk, dalam Lamb, 1997). Biasanya keterlibatan ayah dengan remaja lebih selektif dan terbatas pada diskusi dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan hal-hal seperti akademis dan pendidikan berikutnya serta perencanaan karir (Noller, dkk, dalam Lamb, 1997). Meski demikian ayah digambarkan kurang terbuka dalam mendengar masalah dan untuk membantu dalam meringankan perasaan. Selain itu, dibandingkan dengan anak perempuan biasanya anak laki-laki merasa bahwa mereka dipahami dengan lebih baik oleh ayahnya (Youniss & Ketterlinus, dalam lamb, 1997). DeLuccie & Davis (dalam Lamb, 1997) menemukan adanya penurunan yang tetap dalam keterlibatan ayah dari masa prasekolah dengan masa remaja. 3. Kedekatan Kedekatan sering didefinisikan sebagai kehangatan, penerimaan, keterkaitan, attachment dan hal yang berhubungan dengan perasaan/afeksi. Youniss & Ketterlinus (dalam Lamb, 1997) menyimpulkan bahwa hubungan ayah-remaja Universitas Sumatera Utara lebih berjarak dibandingkan hubungan ibu-remaja, terutama pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Beberapa peneliti mendefinisikan kedekatan dalam kerangka perilaku kasih sayang, seperti pujian, pengargaan, dukungan dan kasih sayang. Perbedaan jenis kelamin ternyata berpengaruh dalam kedekatan (Eberly, dkk, dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa ayah dan anak laki-laki kurang saling menunjukkan perasaannya masing-masing dibandingkan ibu dan anak perempuannnya. Persepsi remaja tentang orangtuanya yang hangat, dekat dan pengasih berkorelasi tinggi dengan tingkat kedekatan remaja itu sendiri (Klos, dkk, dalam Lamb, 1997). Oleh karena itu, tingkat kedekatan yang rendah dengan ayah dapat menimbulkan persepsi akan hubungan yang berjarak dan berkurangnya perasaan dekat dengan ayah selama remaja dapat dihubungkan dengan kurangnya kedekatan pada masa kanak-kanak. 4. Konflik Montemayor (dalam lamb, 1997) mengungkapkan bahwa orangtua dan remaja mengalami konflik hampir 2 kali dalam seminggu, rata-rata yang tinggi jika dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak mengalami banyak tekanan. Keduanya, orangtua dan remaja melaporkan bahwa remaja lebih sedikit perdebatan dengan ayah dibandingkan dengan ibu, dan konflik ibu-anak perempuan lebih sering dibandingkan konflik ibu-anak laki-laki (Hill, dkk, dalam Lamb, 1997) Penelitian menunjukkan bahwa keberadaaan ayah menambah efek negatif ketika remaja mengalami masa pubertas. Hal ini dapat terjadi karena ayah Universitas Sumatera Utara memandang bahwa masa transisi pubertas anak remaja merupakan hal yang membebani (Montemayor, dalam Lamb, 1997). Efek negatif ayah ditemukan sebagai tingkat prediktor yang kuat dari kualitas komunikasi dan kemandirian psikologis (Flannery, dalam Lamb, 1997). 5. Kekuasaan Kekuasaan sering didefinisikan sebagai seberapa besar pengaruh anggota keluarga dalam pengambilan keputusan atau dalam derajat kontrol terhadap anggota keluarga yang lain. Secara umum, remaja menilai ayah mereka kurang egaliter dibandingkan ibu (LeCroy, dkk, dalam Lamb, 1997). Salah satu alasannya adalah karena ayah cenderung untuk berusaha mengontrol dengan ketat anak remajanya, sementar ibu cenderung lebih melonggarkan kontrolnya (Steinberg, dkk, dalam Lamb, 1997). Baronowski (dalam Lamb, 1997) berpendapat bahwa ayah memiliki kebutuhan untuk dominan dibandingkan ibu, cenderung lebih mengontrol, dan kurang permisif. Ayah biasanya mendorong kemandirian dan sikap asertif pada anak remajanya, sementara ibu mendorong perilaku interpersonal yang sesuai dan keterlibatan anak dalam tugas-tugas rumah (Power & Shanks, dalam Lamb, 1997). Ditemukan juga bahwa ayah sering menggunakan hukuman fisik, sementara ibu disebutkan sering menggunakan hukuman yang sifatnya material. Gehring (dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa ayah dari remaja yang lebih tua dipandang kurang berkuasa dibandingkan ayah dari remaja yang lebih muda. Keterlibatan ayah membuat remaja dapat mengerti apa yang terjadi disekitarnya, remaja merasa diterima, dihargai, dan dibutuhkan sebagai anggota Universitas Sumatera Utara keluarga (Goldstein, dalam Maharani & Andayani, 2004). Hal ini sejalan dengan Maharani dan Andayani (2003) menjelaskan bahwa keterlibatan ayah sangat mempengaruhi proses perkembangan individu, dimana ayah yang memberikan perhatian dan dukungan pada anaknya akan memberikan perasaan diterima, mampu, berguna, diperhatikan dan memiliki rasa percaya diri, sehingga proses perkembangan anak tersebut dapat berjalan dengan baik. Menurut Dubowitz (2001) remaja yang merasakan dukungan dari ayah atau merasa ayahnya makin dekat maka harga diri remaja tersebut akan makin baik. Berdasarkan uraian teori diatas diperoleh kesimpulan bahwa ayah berperan dalam perkembangan harga diri remaja Perasaan mampu dan perasaan berguna merupakan komponen-komponen yang terdapat dalam harga diri. Dapat disimpulkan sementara bahwa ada hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri remaja. E. Hipotesa Penelitian Hipotesa dalam penelitian ini adalah : Ada hubungan positif antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri remaja. Semakin positif persepsi remaja terhadap peran ayah, maka semakin tinggi harga diri remaja. Sebaliknya semakin negatif persepsi remaja terhadap peran ayah, maka semakin rendah harga diri remaja. Universitas Sumatera Utara