bab ii landasan teori - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Harga Diri
1. Definisi harga diri
Harga diri adalah istilah penilaian yang mengacu pada penilaian positif,
negatif, netral, dan ambigu yang merupakan bagian dari konsep diri, tetapi bukan
berarti cinta diri sendiri. Individu dengan harga diri yang tinggi menghormati
dirinya sendiri, mempertimbangkan dirinya berharga dan melihat dirinya sama
dengan orang lain, sedangkan harga diri rendah pada umumnya merasakan
penolakan, ketidakpuasan diri dan meremehkan diri sendiri (Frey & Carlock,
1987)
Harga diri merupakan penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya
sendiri. Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan
menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting,
berhasil dan berharga. Kesadaran tentang diri dan perasaan terhadap diri sendiri
itu menimbulkan suatu penilaian terhadap diri sendiri baik itu positif maupun
negatif (Coopersmith, dalam Berns, 2004).
Harga diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian
tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian
dirinya. Harga diri mencakup penilaian dan penghargaan terhadap diri sendiri dan
menghasilkan sikap positif atau negatif terhadap dirinya sendiri. Sikap positif
terhadap diri sendiri adalah sikap terhadap kondisi diri, menghargai kelebihan dan
Universitas Sumatera Utara
potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada. Sedangkan yang dimaksud
dengan sikap negatif terhadap diri sendiri adalah sikap tidak suka atau tidak puas
dengan kondisi sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dan melihat diri sebagai
sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998).
Menurut Hurlock (1999) harga diri merupakan evaluasi diri yang dibuat dan
dipertahankan oleh seseorang yang berasal dari interaksi sosial dalam keluarga
serta penghargaan, perlakuan, dan penerimaannya dari orang lain.
Berdasarkan uraian diatas harga diri merupakan suatu penilaian seseorang
terhadap dirinya sendiri apakah seseorang merasa dirinya mampu, bermakna,
berhasil maupun bermanfaat atau tidak serta bagaimana perasaan terhadap dirinya
sendiri yang diekspresikan melalui sikap-sikapnya, menerima atau menolak
dirinya.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu:
a. Socialization agent ( Berns, 2004) antara lain:
1) Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama individu melakukan hubungan sosial
(Andayani & Koentjoro, 2004). Pada lingkungan keluarga anak
mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar
emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi
dengan orangtua dan saudara-saudaranya Ada sejumlah faktor dalam
keluarga yang sangat dibutuhkan individu dalam proses perkembangan
Universitas Sumatera Utara
sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima
dan kebebasan untuk menyatakan diri (Ali & Asrori, 2004).
2) Sekolah
Sekolah merupakan salah satu lingkungan tempat remaja hidup dalam
kesehariannya (Ali & Asrori, 2004). Cole & Harter (dalam Berns, 2004)
menemukan murid-murid dengan harga diri yang lebih tinggi lebih
mungkin sukses dan berprestasi disekolah daripada murid dengan harga
diri yang rendah.
3) Teman sebaya
Selama masa remaja, khususnya awal masa remaja akan mengikuti standar
teman sebaya (Santrock, 1995). Sikap teman sebaya mengenai ukuran,
bentuk fisik, pandangan dan kemampuan fisik "ideal" (Berns, 2004).
Harter (dalam Berns, 2004) menemukan bahwa penampilan fisik
berhubungan dengan harga diri dari masa kanak-kanak sampai masa
dewasa.
4) Media
Iklan pada televisi dan dalam majalah sering mengarahkan individu untuk
percaya bahwa produk iklan akan menghasilkan karakteristik ideal (dalam
Berns, 2004). Pada laki-laki menekankan pada kekuatan, penampilan, dan
keahlian sedangkan perempuan menekankan pada daya tarik dan sifat
menyenangkan (Basow, dkk, dalam Berns, 2004).
Universitas Sumatera Utara
5) Masyarakat
Masyarakat dapat berkontribusi pada perbedaan harga diri seseorang
(Berns, 2004). Menurut Siagian (dalam Ali & Asrori, 2004), masa remaja
adalah masa untuk menentukan identitas dan menentukan arah, tetapi masa
yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh adanya kontradiksi dalam
masyarakat. Pada periode remaja diperlukan norma dan pegangan yang
jelas dan sederhana.
b. Jenis Kelamin
Berbagai penjelasan telah diberikan mengenai perbedaan harga diri antara
laki-laki dan perempuan, yang dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan dan
tuntutan sosial antara anak laki-laki dan perempuan. Harter (dalam Dacey &
Kenny) menyatakan bahwa masyarakat lebih menekankan penampilan fisik
pada remaja perempuan dan hal ini dapat menurunkan harga dirinya.
Penampilan fisik merupakan hal yang sangat penting bagi remaja perempuan
dan juga lebih sering merasa kurang puas dengan dirinya dibandingkan
dengan remaja laki-laki. Tekanan sosial pada remaja perempuan agar menjadi
sempurna dan disenangi oleh orang lain akan menurunkan harga diri dan dapat
menyebabkan ganguan psikologis. Hal ini didukung oleh Crai (dalam Papalia,
1998) yang menyatakan bahwa remaja perempuan memiliki harga diri yang
lebih rendah daripada remaja laki-laki yakni karena adanya streotype gender
seperti daya tarik fisik dan penampilan diri yang lebih dikhawatirkan oleh
remaja perempuan daripada remaja laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
c. Usia
Bachman (dalam Baron & Byrne, 1994) menyatakan bahwa harga diri
meningkat pada tahun-tahun antara masa remaja ke masa dewasa. Rosenberg
(dalam Dacey & Kenny, 1997) menyatakan bahwa semakin bertambah usia
individu akan mempengaruhi harga diri seseorang.
d. Kelas Sosial
Kelas sosial dapat mempengaruhi harga diri seseorang dimana status dan
posisi seseorang dalam masyarakat akan mempengaruhi harga diri seseorang.
Kedudukan sosial pada umumnya dilihat dari pekerjaan, penghasilan dan
tempat tinggal seseorang. Individu yang berada pada status sosial yang lebih
tinggi akan cenderung memiliki pekerjaan yang baik, penghasilan yang tinggi
dan tempat tinggal yang mewah. Individu tersebut dipandang lebih berhasil
oleh masyarakat, sehingga membuatnya percaya bahwa ia lebih berharga
daripada orang lain (Coopersmith dalam Berns, 2004)
3. Ciri-ciri harga diri tinggi dan rendah
Frey & Carlock (1987) mengungkapkan karakteristik-karakteristik individu
dengan harga diri tinggi dan rendah yaitu :
a. Karakteristik individu dengan harga diri tinggi
1) Menghargai dirinya sendiri
2) Menganggap dirinya berharga
3) Melihat dirinya sama dengan orang lain
4) Tidak berpura-pura menjadi sempurna
5) Berharap untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi
Universitas Sumatera Utara
b. Karakteristik individu dengan harga diri rendah
1) Secara umum mengalami perasaan ditolak
2) Memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri
3) Memiliki perasaan hina atau jijik terhadap diri sendiri
4) Memiliki perasaan remeh terhadap iri sendiri
Coopersmith (1967) mengemukakan karakteristik-karakteristik individu
berdasarkan tingkat harga dirinya, yaitu:
a. Individu dengan harga diri tinggi
1) Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya
dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya serta dapat menghargai
orang lain pula.
2) Dapat mengontrol tindakan-tindakannya teradap dunia diluar dirinya dan
dapat menerima kritik dari orang lain.
3) Menyukai tugas baru yang menantang serta tidak cepat bingung bila segala
sesuatu berjalan diluar rencana.
4) Berhasil
berprestasi
dalam
bidang
akademis,
aktif
serta
dapat
mengekspresikan dirinya dengan baik.
5) Tidak
menganggap
diri
sempurna,
tahu
keterbatasan
diri
dan
mengharapkan adanya perbaikan.
6) Memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap yang demokratis serta orientasi yang
realistis.
Universitas Sumatera Utara
7) Lebih
bahagia
dan
efektif
dalam
menghadapi
tuntutan
dari
lingkungannnyaTidak terpengaruh pada penilaian dari orang lain tentang
sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun negatif.
b. Individu dengan harga diri rendah
1) Menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak disukai
sehingga takut gagal dalam melakukan hubungan sosial. Hal ini seringkali
menyebabkan orang yang memiliki harga diri rendah menolak dirinya
sendiri, tidak puas dengan dirinya bahkan meremehkan dirinya.
2) Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurang
mampu mengekspresikan diri, serta menganggap ide-ide dan pekerjaan
orang lain lebih baik dari dirinya.
3) Tidak menyukai suatu hal/tugas yang baru sehingga akan sulit bagi mereka
untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas.
4) Merasa bahwa tidak banyak yang dapat diharapkan dari dirinya, baik yang
menyangkut masa kini maupun yang menyangkut masa mendatang
sehingga mereka terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi.
5) Merasa bahwa orang lain tidak memberikan perhatian pada dirinya
(merasa diasingkan dan tidak dicintai).
6) Menganggap bahwa segala sesuatu yang dikerjakan akan selalu
memberikan hasil buruk meskipun ia telah berusaha keras serta juga
mudah menyerah.
Universitas Sumatera Utara
4. Aspek-aspek harga diri
Menurut Frey dan Carlock (1987) harga diri memiliki dua aspek yang saling
berhubungan. Aspek-aspek tersebut, yaitu:
a. Merasa mampu, yaitu perasaan bahwa individu mampu mencapai tujuan yang
diinginkannya. Menjadi mampu berarti individu memiliki keyakinan pikiran,
perasaan, dan prilaku yang sesuai dengan realita dirinya. Apabila individu
mampu atau berhasil dalam tujuannya maka harga dirinya meningkat.
b. Merasa berguna, yaitu perasaan individu bahwa ia berguna untuk hidup.
Merasa berguna berarti menguatkan diri dan menghormati dirinya sendiri.
Individu yang memandang dirinya tidak layak akan menurunkan harga
dirinya.
5. Pembentukan harga diri
Seorang bayi tidak dilahirkan dengan harga diri. Perlahan-lahan melalui
interaksinya dengan orangtua, orang lain yang mempunyai makna bagi anak,
teman-teman sebayanya anak membentuk penilaian mengenai dirinya (Frey &
Carlock, 1987). Hal ini sejalan dengan pandangan Coopersmith (1967) yang
mengemukakan bahwa yang sangat besar peranannya dalam pembentukan harga
diri seorang anak adalah orang-orang disekitar anak tersebut (significant other)
seperti orangtua, teman sebaya dan lainnya. Ketika anak masih kecil orangtua
merupakan orang yang paling berarti bagi anak karena interaksi lebih sering
terjadi dengan orangtua. Interaksi antara orangtua dan anak pada masa kecil
membentuk harga diri seorang anak.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan harga diri ini dimulai sejak bayi melalui interaksi dengan
orangtuanya. Perasaan mampu, dan perasaan berguna atau berarti pada anak
diperoleh melalui perhatian dan kasih sayang yang dirasakan anak pada awal
kehidupannya. Seperti pada saat ia lapar dan ibunya memberi makan, saat ia
menangis ayah atau ibu mendekapnya dan sebagainya. Melalui pengalamanpengalaman ini berkembanglah perasaan bahwa ia berarti bagi orangtuanya.
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, dasar dari perasaan
mampu dan berguna semakin meluas, berkenaan dengan orang-orang lain selain
keluarganya. Anak juga harus belajar bahwa ia merupakan bagian dari
kelompoknya, ia juga mulai belajar peran jenis kelaminnya. Semakin besar anak,
anak mulai lebih sering berinteraksi dengan teman sebayanya, dari sini ia juga
belajar kemampuannya tidak lagi hanya dinilai oleh keluarganya tetapi juga oleh
teman bermainnya. Lingkungan sosialnya teman-teman sebaya dilingkungannya
merupakan orang yang dapat membentuk harga diri seorang anak (Horrocks,
1976).
Ketika anak berusia 7-8 tahun, anak mulai dapat membangun pandangan
menyeluruh mengenai perasaan mereka terhadap diri sendiri dan telah dapat
membedakan macam-macam harga diri seperti kompetensi akademik, fisik, dan
sosial. Menjelang usia 9-10 tahun anak benar-benar memiliki pengertian yang
jelas mengenai nilai diri mereka dan kompetensi dalam bidang yang berbeda.
Menjelang usia 10-12 tahun anak mulai memiliki konsep diri dan perasaaan
mengenai dirinya yang relatif stabil, dan akan menetap pada usia 13 tahun
(Mussen, 1985).
Universitas Sumatera Utara
Konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana kita
mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang
relevan dengan diri. Salah satu komponen yang lebih spesifik dari konsep diri
adalah harga diri yang melibatkan unsur evaluasi atau penilaian diri (Baron &
Byrne, 1994). Carl Rogers (dalam Frey dan Carlock,1987) menjelaskan bahwa
konsep diri menyangkut persepsi diri yang menunjuk pada cara seseorang melihat
dirinya, menilai dirinya, sedangkan harga diri mengacu pada apa yang kita
rasakan tentang diri kita, merupakan penilaiaan keberhargaan yang diberikan
seseorang terhadap dirinya sendiri.
Harga diri tampak jelas dari kesuksesan atau kegagalan menginternalisasikan
nilai dan sikap (Berns, 2004). Singkatnya menurut Mead (dalam Berns, 2004)
seseorang yang telah dibesarkan dengan berfokus pada pujian atau penerimaan
akan memiliki harga diri yang tinggi, sebaliknya seseorang yang ditolak dan
dikritik akan memiliki harga diri yang rendah.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri terbentuk
melalui perlakuan-perlakuan yang diterima individu dari lingkungannya yang
diperoleh melalui penghargaan, penerimaan dan interaksi individu dengan
lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
B. Peran Ayah
1. Definisi peran ayah
Peran ayah dalam keluarga telah mengalami banyak perubahan (Lamb, 1986;
Parke, 1995, dalam Santrock, 1999). Mulai dari jaman kolonial Amerika, dimana
ayah bertanggung jawab terhadap pengajaran moral sampai dengan tahun 1970an
dan
sekarang
dimana
ayah
dievaluasi
berdasarkan
keaktifannya
dan
keterlibatannya dalam mengasuh anak (Updegraff, McHale, & Crouter, 1996,
dalam Santrock, 1999)
Secara singkat dapat dikatakan peran ayah dalam keluarga yang tadinya
bersifat tunggal atau hanya meliputi satu dimensi saja telah mengalami
metamorfosa menjadi banyak peran, baik sebagai teman, pengasuh, pasangan,
pelindung, model, penunutun moral, guru ataupun sebagai pencari nafkah (Lamb,
1997)
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran ayah
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran ayah dalam menjalankan
perannya adalah sebagai berikut:
a. Kontribusi orangtua
Saat menjadi orangtua, setiap orang memunculkan kombinasi yang unik atas
karakteristik
personal
dan
pengalamannya.
Karakteristik
ini
akan
mempengaruhi kepekaan seseorang sebagai orangtua terhadap kebutuhan
anak-anaknya, harapan mereka sendiri dan anak-anaknya serta kemampuan
untuk menghadapi berbagai tuntutan dari peranan sebagai orangtua (Martin &
Colbert dalam Julaikha, 2006).
Universitas Sumatera Utara
1) Sejarah perkembangan
Pengalaman masa kecil seseorang akan mempengaruhi perilaku dalam
pengasuhan. Ketika mengalami disiplin yang keras sebagai anak, orangtua
cenderung mengulangi pola yang sama dengan anaknya (Martin & Colbert
dalam Julaikha, 2006).
2) Pengetahuan
Menurut
Cooke
(dalam
Julaikha,
2006),
orangtua
memperoleh
pengetahuan tentang perkembangan anak melalui program-program dalam
kelas, buku, orang dewasa yang lain dan pengalamannya dengan anak.
Studi menunjukkan bahwa pengetahuan yang lebih banyak maka orangtua
akan lebih baik dalam mengenali dan menginterpretasikan sinyal dari anak
dan bertindak tepat dalam tindakan yang membutuhkan solusi.
3) Jenis kelamin
Perbedaan psikologis yang paling mendasar antara pria dan wanita adalah
cenderung untuk berfokus pada dirinya sendiri dan mengutamakan
kemandirian sedangkan wanita lebih menekankan kedekatan terhadap
hubungan tersebut (Thevenin, 1993). Perbedaan ini lebih didasarkan pada
harapan sosial dan pengetahuan daripada pemahaman biologis (Martin &
Colbert, dalam Julaikha, 2006).
Universitas Sumatera Utara
b. Kontribusi anak
1) Jenis kelamin
Jenis kelamin berpengaruh terhadap proses pengasuhan, karena orangtua
dan lingkungan memiliki harapan yang berbeda terhadap anak laki-laki
dan anak perempuan (Lamb, 1997)
2) Usia
Menurut Dix (dalam Julaikha, 2006), usia merupakan hal yang penting,
karena
mempengaruhi
tugas-tugas
pengasuhan
orangtua.
Anak
membutuhkan perlakuan sesuai usianya. Bertambah dewasa seorang anak,
maka akan semakin bertambah kebutuhannya dan semakin bervariatif.
c. Dukungan sosial
Menurut Belsky dkk. (dalam Julaikha, 2006) terdapat cara bagaimana
dukungan sosial mempengaruhi pengasuhan, yaitu:
1) Dukungan emosional dari orang lain
Pasangan merupakan sumber dukungan sosial yang utama dan paling
intens (Martin & Colbert dalam Julaikha, 2006). Ibu sering memberikan
evaluasi pada para ayah ketika mereka terlibat dengan anak-anaknya.
Simon (dalam Andayani dan Koentjoro, 2004) menemukan bahwa sikap,
harapan dan dukungan ibu terhadap ayah akan mempengaruhi keterlibatan
ayah pada anaknya. Ayah yang merasa istrinya menilai dirinya memiliki
kemampuan mengurus anak akan cenderung lebih terlibat dengan anaknya.
Universitas Sumatera Utara
2) Teman dan keluarga
Teman dan keluarga berfungsi sebagai model bagi pengasuhan, melalui
informasi tentang harapan dan perkembangan anak dan teknik-teknik yang
berhubungan dengan masalah-masalah tertentu dalam pengasuhan anak.
Teman dan keluarga juga dapat berfungsi sebagai dukungan instrumental
seperti bantuan pengasuhan anak dan nasehat atau saran (Martin & Colbert
dalam Julaikha, 2006).
3. Aspek-aspek peran ayah
Aspek-aspek peran ayah adalah sebagai berikut:
a. Pemberi nafkah (economic provider)
Ayah memenuhi kebutuhan finansial anak untuk biaya sekolah, membeli
peralatan belajar, dan perlengkapannya sehingga anak merasa aman mengikuti
pelajaran, dan dapat belajar dengan lancar di rumah (Hart, dalam Slameto,
2003)
b. Sebagai teman (Friend and playmate)
Melalui permainan, ayah dapat bergurau/humor yang sehat, dapat menjalin
hubungan yang baik sehingga masalah, kesulitan, stress dapat dikeluarkan,
pada akhirnya tidak mengganggu belajar dan perkembangannya (Hart, dalam
Slameto, 2003).
c. Sebagai pengawas/pendisiplin (monitor and disciplinarian)
Ayah mengawasi prilaku anak, begitu ada tanda-tanda awal penyimpangan
bisa segera dideteksi sehingga disiplin prilaku anak bisa segera ditegakkan
(Hart, dalam Slameto, 2003)
Universitas Sumatera Utara
d. Pemberi perlindungan (protector)
Ayah mengontrol dan mengorganisasikan lingkungan anak sehingga anak
terbebas dari kesulitan resiko/bahaya selagi ayah atau ibu tidak bersamanya
(Hart, dalam Slameto, 2003). Seorang ayah adalah pelindung dan tokoh
otoritas dalam keluarga, dengan sikapnya yang tegas dan penuh wibawa
menanamkan pada anak sikap-sikap patuh terhadap otoritas dan disiplin.
Akhirnya akan tampak bahwa disiplin dari ayah, merupakan pengalaman
penting bagi timbulnya rasa aman seluruh keluarga (Gunarsa, 2004).
e. Penasehat (advocate)
Ayah siap membantu, mendampingi dan membela anak jika ada
kesulitan/masalah, dengan demikian anak merasa aman, tidak sendiri, dan ada
tempat untuk berkonsultasi, dan itu adalah ayah sendiri (Hart, dalam Slameto,
2003).
f. Pendidik dan sebagai teladan (teacher and role model)
Ayah bertanggung jawab mengajari tentang apa saja yang diperlukan anak
untuk kehidupan mendatang dalam berbagai kehidupan melalui latihan dan
teladan yang baik sehingga berpengaruh positif bagi anak (Hart, dalam
Slameto, 2003). Sears (dalam Thevenin, 1993) mengatakan modeling berarti
menyediakan perilaku yang konsisten dan murni yang diterima oleh anak
sebagai contoh untuk berprilaku. Remaja dapat memperoleh model peran
seorang ayah dan belajar mengenai bagaimana mereka memperlakukan teman,
berhubungan dengan pasangan dan mendidik anak serta bagaimana mereka
mengatasi masalah-masalah dalam hidup.
Universitas Sumatera Utara
Anak belajar banyak dari kehidupan orangtuanya. Anak belajar bahwa dalam
kehidupannya akan mengalami banyak tantangan ataupun permasalahan yang
harus dihadapi dan dipecahkan serta belajar untuk tidak melemparkan masalah
kepada orang lain. Orientasi ini merupakan salah satu trait yang merupakan
karakteristik laki-laki, maka dalam hal ini ayah memainkan peran penting
sebagai model bagi anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan
(Thevenin, 1993)
g. Pemberi perhatian (caregiver)
Ayah dapat sering melakukan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk sehingga
membuat anak merasa nyaman dan penuh kehangatan (Hart dalam Slameto,
2003).
h. Sebagai pembimbing (problem solver)
Ayah membantu anak-anaknya memecahkan masalah-masalah serta kesulitankesulitan yang dialami anak disekolah dan pembuat keputusan dalam
belajar/sekolah, menyangkut langkah-langkah apa saja yang ditempuh anak
dalam belajar, menceknya dan mananyakan nilai yang diperoleh di sekolah
(Evans, dalam Slameto, 2003).
Jadi dapat disimpulkan ada delapan peran ayah, yaitu sebagai pemberi nafkah
(economic provider), sebagai teman (friend and playmate), sebagai pengawas dan
pendisiplin (monitor and displinarian), pemberi perlindungan (protector),
penasehat (advocate ), pendidik dan sebagai teladan (teacher and role model),
sebagai pengasuh (caregiver), dan sebagai pembimbing (problem solver).
Universitas Sumatera Utara
4. Persepsi terhadap peran ayah
Persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian
objektif dengan bantuan indera. Proses ini dimulai dengan perhatian, yaitu proses
pengamatan selektif. Persepsi merupakan upaya mengamti dunia, mencakup
pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian (Chaplin,
1999).
Atkinson (1987) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana kita
mengorganisasikan dan menafsirkn pola stimulus dengan lingkungan. Menurut
Martin (1989) persepsi adalah sebuah proses yang menggunakan pengetahuan kita
sebelumnya untuk mengumpulkan dan mengartikan stimulus yang masuk melalui
indera.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi
merupakan proses yang dialami individu yang mencakup menerima, memilih,
menyadari, dan memaknai stimulus yang terdapat di lingkungan maupun dalam
diri individu dengan menggunakan informasi yang telah dikumpulkan
sebelumnya.
Menurut Shaw & Contazo (dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) peran
dapat didefenisikan sebagai fungsi seseorang yang diasosiasikan dengan posisi
tertentu.
Jadi persepsi remaja terhadap peran ayah adalah proses yang dialami seorang
remaja yang mencakup menerima, memilih, menyadari, dan memaknai stimulus
yang berasal dari fungsi seorang ayah sebagai orang tua laki-laki yang berperan
sebagai pemberi nafkah, sebagai teman, sebagai pengawas dan pendisiplin,
Universitas Sumatera Utara
pemberi perlindungan, penasehat, pendidik dan sebagai teladan, pemberi
perhatian, serta sebagai pembimbing dalam sebuah keluarga.
C. Remaja
1. Definisi remaja (adolescence)
Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti
tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1999). Piaget (dalam
Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia
dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak
lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan
dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang
dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut
Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang
sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan
pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan
dan 18-21 tahun masa remaja akhir.
2. Tugas perkembangan remaja
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja
meliputi :
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita
b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita
Universitas Sumatera Utara
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya
f. Mempersiapkan karir ekonomi
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku-mengembangkan ideologi.
3. Ciri-ciri masa remaja
Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat
tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju
kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :
a. Remaja awal (12-15 tahun)
Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang
menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan
pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang
secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya
pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan
dimengerti oleh orang dewasa.
b. Remaja madya (15-18 tahun)
Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecendrungan
narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-
Universitas Sumatera Utara
teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini
remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih
yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis,
dan sebagainya.
c. Remaja akhir (18-21 tahun)
Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan
pencapaian :
1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan
mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi
4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum.
D. Hubungan antara Persepsi terhadap Peran Ayah dengan Harga Diri
Remaja
Harga diri merupakan hal yang dibutuhkan oleh remaja yang sedang
berkembang (Gabarino & Benn dalam Andayani & Koentjoro, 2004). Harga diri
mengacu pada penilaian secara keseluruhan seseorang sebagai individu. Jika
individu merasa bahwa secara keseluruhan dirinya baik, maka ia akan memiliki
harga diri yang tinggi (Wayne & Margaret, 2006).
Salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri remaja adalah keluarga
(dalam Berns, 2004). Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi individu yaitu
Universitas Sumatera Utara
tempat individu belajar memahami dirinya sendiri. Orangtua sebagai pengendali
keluarga, memegang peranan dalam membentuk hubungan keluarga dengan anakanak mereka. (Maharani & Andayani, 2004).
Coopersmith (dalam Berns, 2004) melakukan penelitian tentang peranan
orangtua dalam perkembangan harga diri, dan menemukan empat bentuk perilaku
yang dianggap penting bagi perkembangan harga diri remaja yaitu perasaan dan
penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua, pembatasan standar perilaku yang
jelas, penetapan disiplin dan kontrol melalui penjelasan dan bukan dengan cara
kekerasan dan paksaan, serta sikap orangtua yang melibatkan pendapat anak
dalam menentukan keputusan keluarga.
Peran orangtua mencakup peran ayah dan peran ibu. Interaksi antara ayah dan
remaja dapat membentuk persepsi tersendiri oleh remaja terhadap peran ayah.
Menurut teori persepsi sosial, seseorang akan melakukan penilaian-penilaian
dalam upaya memahami orang lain, dalam hal ini adalah upaya remaja memahami
peran ayah dengan cara memberi penilaian-penilaian melalui interaksi yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Persepsi sosial sendiri bersumber dari tiga elemen.
Elemen tersebut adalah pribadi, situasi dan perilaku. Pengalaman yang seseorang
miliki terhadap elemen-elemen tersebut apabila semakin banyak maka semakin
terperinci pemahaman seseorang terhadap objek sosial tersebut (Brehm&Kassin,
dalam Soegiyoharto, 2006). Artinya semakin remaja merasa mengenal ayah
mereka dengan tepat dan benar maka mereka cenderung bisa mempersepsikan
peran ayah mereka dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
Dinamika hubungan ayah dengan remaja biasanya dipengaruhi oleh perubahan
yang terjadi baik pada ayah maupun remaja. Para peneliti telah memusatkan
perhatian mengenai hubungan ayah dengan remaja pada lima karakteristik (Hinde,
dkk, dalam Lamb, 1997) yaitu:
1. Waktu yang dihabiskan bersama
Waktu yang dihabiskan bersama telah digunakan sebagai indikator dari
hubungan ayah-remaja. Faktor yang penting tidak hanya meliputi jumlah waktu
aktual yang dipakai tapi juga bagaimana waktu tersebut dihabiskan dan tingkat
kepuasan masing-masing dengan hal tersebut. Montemayor (dalam Lamb, 1997)
menemukan bahwa remaja menghabiskan rata-rata 84 menit/hari dengan ibunya
dan hanya 70 menit dengan ayah mereka. Anak laki-laki dilaporkan
menghabiskan 53 menit/hari dengan ayah mereka dan anak perempuan
menghabiskan 59 menit/hari dengan ibunya. Sementara itu, anak laki-laki dengan
ibu mereka menghabiskan waktu 26 menit/hari dan anak perempuan hanya 17
menit dengan ayah mereka.
Remaja, baik laki-laki maupun perempuan merasa lebih senang dan puas
ketika terlibat aktivitas dengan ayah dibandingkan terlibat aktivitas bersama ibu
(Montemayor & Brownlee, dalam Lamb, 1997). Kualitas waktu yang dihabiskan
remaja bersama dengan ayahnya dengan ayahnya dipengarui oleh beberapa aspek
darihubungan. Contohnya, remaja laki-laki yang merasa dimengerti oleh ayahnya
memandang menghabiskan waktu bersama sebagai sesuatu yang menyenangkan,
dengan berbagi minat. Sementara itu, remaja laki-laki yang merasa tidak
dimengerti oleh ayahnya memandang waktu yang dihabiskan bersama sebagai
Universitas Sumatera Utara
sesuatu yang mengandung konflik dan berisi aktivitas yang dipaksakan serta tidak
diinginkan (Roll & Millen, dalam Lamb, 1997)
2. Komunikasi dan keterlibatan
Salah satu komponen komunikasi adalah frekuensi interaksi antara orangtua
dan remaja. Miller & Lane (dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa remaja lakilaki maupun perempuan lebih banyak berbicara dengan ayah dalam hal
membutuhkan pemecahan masalah. Ayah juga ditemukan lebih memberikan
kesempatan dan tidak menegangkan dibandingkan ibu (Hauser, dkk, dalam Lamb,
1997).
Biasanya keterlibatan ayah dengan remaja lebih selektif dan terbatas pada
diskusi dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan hal-hal seperti akademis
dan pendidikan berikutnya serta perencanaan karir (Noller, dkk, dalam Lamb,
1997). Meski demikian ayah digambarkan kurang terbuka dalam mendengar
masalah dan untuk membantu dalam meringankan perasaan. Selain itu,
dibandingkan dengan anak perempuan biasanya anak laki-laki merasa bahwa
mereka dipahami dengan lebih baik oleh ayahnya (Youniss & Ketterlinus, dalam
lamb, 1997). DeLuccie & Davis (dalam Lamb, 1997) menemukan adanya
penurunan yang tetap dalam keterlibatan ayah dari masa prasekolah dengan masa
remaja.
3. Kedekatan
Kedekatan sering didefinisikan sebagai kehangatan, penerimaan, keterkaitan,
attachment dan hal yang berhubungan dengan perasaan/afeksi. Youniss &
Ketterlinus (dalam Lamb, 1997) menyimpulkan bahwa hubungan ayah-remaja
Universitas Sumatera Utara
lebih berjarak dibandingkan hubungan ibu-remaja, terutama pada tingkat sosial
ekonomi menengah ke bawah. Beberapa peneliti mendefinisikan kedekatan dalam
kerangka perilaku kasih sayang, seperti pujian, pengargaan, dukungan dan kasih
sayang. Perbedaan jenis kelamin ternyata berpengaruh dalam kedekatan (Eberly,
dkk, dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa ayah dan anak laki-laki kurang saling
menunjukkan
perasaannya
masing-masing
dibandingkan
ibu
dan
anak
perempuannnya.
Persepsi remaja tentang orangtuanya yang hangat, dekat dan pengasih
berkorelasi tinggi dengan tingkat kedekatan remaja itu sendiri (Klos, dkk, dalam
Lamb, 1997). Oleh karena itu, tingkat kedekatan yang rendah dengan ayah dapat
menimbulkan persepsi akan hubungan yang berjarak dan berkurangnya perasaan
dekat dengan ayah selama remaja dapat dihubungkan dengan kurangnya
kedekatan pada masa kanak-kanak.
4. Konflik
Montemayor (dalam lamb, 1997) mengungkapkan bahwa orangtua dan remaja
mengalami konflik hampir 2 kali dalam seminggu, rata-rata yang tinggi jika
dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak mengalami banyak tekanan.
Keduanya, orangtua dan remaja melaporkan bahwa remaja lebih sedikit
perdebatan dengan ayah dibandingkan dengan ibu, dan konflik ibu-anak
perempuan lebih sering dibandingkan konflik ibu-anak laki-laki (Hill, dkk, dalam
Lamb, 1997)
Penelitian menunjukkan bahwa keberadaaan ayah menambah efek negatif
ketika remaja mengalami masa pubertas. Hal ini dapat terjadi karena ayah
Universitas Sumatera Utara
memandang bahwa masa transisi pubertas anak remaja merupakan hal yang
membebani (Montemayor, dalam Lamb, 1997). Efek negatif ayah ditemukan
sebagai tingkat prediktor yang kuat dari kualitas komunikasi dan kemandirian
psikologis (Flannery, dalam Lamb, 1997).
5. Kekuasaan
Kekuasaan sering didefinisikan sebagai seberapa besar pengaruh anggota
keluarga dalam pengambilan keputusan atau dalam derajat kontrol terhadap
anggota keluarga yang lain. Secara umum, remaja menilai ayah mereka kurang
egaliter dibandingkan ibu (LeCroy, dkk, dalam Lamb, 1997). Salah satu alasannya
adalah karena ayah cenderung untuk berusaha mengontrol dengan ketat anak
remajanya, sementar ibu cenderung lebih melonggarkan kontrolnya (Steinberg,
dkk, dalam Lamb, 1997). Baronowski (dalam Lamb, 1997) berpendapat bahwa
ayah memiliki kebutuhan untuk dominan dibandingkan ibu, cenderung lebih
mengontrol, dan kurang permisif. Ayah biasanya mendorong kemandirian dan
sikap asertif pada anak remajanya, sementara ibu mendorong perilaku
interpersonal yang sesuai dan keterlibatan anak dalam tugas-tugas rumah (Power
& Shanks, dalam Lamb, 1997). Ditemukan juga bahwa ayah sering menggunakan
hukuman fisik, sementara ibu disebutkan sering menggunakan hukuman yang
sifatnya material. Gehring (dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa ayah dari
remaja yang lebih tua dipandang kurang berkuasa dibandingkan ayah dari remaja
yang lebih muda.
Keterlibatan ayah membuat remaja dapat mengerti apa yang terjadi
disekitarnya, remaja merasa diterima, dihargai, dan dibutuhkan sebagai anggota
Universitas Sumatera Utara
keluarga (Goldstein, dalam Maharani & Andayani, 2004). Hal ini sejalan dengan
Maharani dan Andayani (2003) menjelaskan bahwa keterlibatan ayah sangat
mempengaruhi proses perkembangan individu, dimana ayah yang memberikan
perhatian dan dukungan pada anaknya akan memberikan perasaan diterima,
mampu, berguna, diperhatikan dan memiliki rasa percaya diri, sehingga proses
perkembangan anak tersebut dapat berjalan dengan baik. Menurut Dubowitz
(2001) remaja yang merasakan dukungan dari ayah atau merasa ayahnya makin
dekat maka harga diri remaja tersebut akan makin baik.
Berdasarkan uraian teori diatas diperoleh kesimpulan bahwa ayah berperan dalam
perkembangan harga diri remaja Perasaan mampu dan perasaan berguna merupakan
komponen-komponen yang terdapat dalam harga diri. Dapat disimpulkan
sementara bahwa ada hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri
remaja.
E. Hipotesa Penelitian
Hipotesa dalam penelitian ini adalah : Ada hubungan positif antara persepsi
terhadap peran ayah dengan harga diri remaja. Semakin positif persepsi remaja
terhadap peran ayah, maka semakin tinggi harga diri remaja. Sebaliknya semakin
negatif persepsi remaja terhadap peran ayah, maka semakin rendah harga diri
remaja.
Universitas Sumatera Utara
Download