BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Definisi Pemasaran
Pada saat ini, konsep pemasaran tidak hanya mencakup kebutuhan dan
keinginan saja, tetapi juga mencakup pengharapan konsumen, dan hal ini berkaitan
dengan semakin banyaknya informasi yang diterima oleh konsumen sehingga
menimbulkan tuntutan yang lebih tinggi akan pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan
harapan itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu mendapatkan perhatian yang
lebih khusus, karena konsumen merupakan pasar bagi produk yang dihasilkan oleh
perusahaan. Definisi Pemasaran terus berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Menurut American Marketing Association dalam Kotler dan Keller (2009,
p.45) bahwa “Marketing is an organization function and a set processes for creating,
communicating, and delivering value to customers and for managing customer
relationship in ways that benefit the organization and it stakeholders.”
Sedangkan, definisi dari organisasi yang sama American Marketing
Association di tahun yang berbeda dalam Kotler dan Keller (2012, p.5), definisi
tersebut sedikit berubah menjadi “Marketing is the activ-ity, set of institutions, and
processes for creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that
have value for customers, clients, partners, and society at large.”
Kotler (2005, p.10) seorang ahli pemasaran mengemukakan ”Pemasaran
adalah proses sosial dan manajerial, dengan proses itu individu dan kelompok
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai
dengan pihak lain.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah proses
perpindahan barang dan/ atau jasa dari produsen ke konsumen, atau semua kegiatan
yang berhubungan dengan arus barang dan/ atau jasa dari produsen ke konsumen .
2.2
Retail Image
Menurut Berman dan Evans pada bukunya “Retail Management”
(2007;p541), image merujuk kepada bagaimana sebuah retail dapat dirasakan oleh
konsumen dan lain nya, dan positioning merujuk kepada bagaimana perusahaan
7
8
merancang strategi mereka untuk memproyeksikan image sebuah retail untuk
mendapatkan respon yang positif dari konsumen.
Pada buku tersebut Berman dan Evans juga mengatakan untuk mencapai
kesuksesan sebuah retail harus mengkomunikasikan sebuah image secara, khusus,
jelas dan konsisten, sehingga ketika image sebuah retail melekat pada benak
konsumen, sebuah retail akan mendapatkan tempat yang sesuai di benak konsumen
dibandingkan dengan kompetitor nya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi image sebuah retail
Attributes of Physical
facilities
Target
market
Overall Retail
Image
Firm’s
Positioning
Gambar 2.1
Customer
Service
Store
Locatipn
Merchandise
Pricing
Gambar 2.1
Atributes
Shopping Experiences
Community Service
Promotion tools
Gambar 2.1 Component of Retail Image
Sumber : Berman dan Evans (2007;p542)
2.3
Store Atmosphere
2.3.1 Store
Menurut Maretha (2011) store atau toko merupakan sebuah tempat yang
umum nya tertutup dan di dalam nya terjadi perdagangan benda yang spesifik seperti
buku, makanan, minuman dan sebagainya. Dalam hal bangunan atau arsitektur nya,
bangunan toko biasanya lebih mewah dibandingkan dengan warung. Didalam toko
jenis barang barang yang dijual pun lebih modern. Proses transaksi didalam toko juga
lebih modern.
2.3.2 Atmosphere
Menurut Levy dan Weitz dalam bukunya “Retailing Management”
(2012;p490) Atmosphere adalah desain sebuah lingkungan atau suasana yang
9
menstimulasi 5 indra. Biasanya retailers menstimulasi persepsi dan emosional
konsumen melalui pencahayaan, warna, music, dan aroma. Dalam buku tersebut dan
dihalaman yang sama dikatakan riset telah menunjukan penting nya elemen
Atmosphere untuk dipadukan dan diaplikasikan. Contoh nya “the right music with
the right scent”.
Menurut Maretha (2011) Atmosphere merupakan :
1. Lingkungan intelektual yang dominan
2. Sebuah kualitas estetika atau efek yang menyenangkan dari sebuah tempat
3. Suasana atau perasaan dalam sebuah tempat atau situasi.
Atmosphere juga bagaimana interaksi antar konsumen dan kepuasan konsumen
dipengaruhi oleh suasana tempat dalam sebuah lembaga atau perusahaan. Interaksi
sesama konsumen memiliki pengaruh pada kepuasan dan loyalitas terhadap
perusahaan.
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa atmosfer merupakan suasana yang
tercipta dalam sebuah lingkungan yang di stimulisasikan melalui komunikasi visual,
pencahayaan. Warna, music , aroma dan interior yang bias mempengaruhi persepsi
dan emosi pengunjung atau konsumen.
2.3.3 Store Atmosphere
Dengan menghubungkan relasi antara teori Store dan Atmosphere yang sudah
dibahas sebelumnya, bias di simpulkan bahwa store Atmosphere atau lingkungan
toko merupakan suasana atau lingkungan toko yang bias menstimuli 5 indra
konsumen dan mempengaruhi persepsi dan emosional konsumen terhadap toko,
sesuai dengan pernyataan Levy dan Weitz (2012;p490).
Lingkungan toko juga dapat mempengaruhi pembelian dalam toko tersebut,
didukung melaui teori, bahwa store atmosphere yang terencana dapat menarik minat
konsumen untuk membeli (Kotler 2005). Minat pembelian secara mendadak juga
dapat dipengaruhi oleh lingkungan toko, karena menurut Kurniawan dan Kunto
(2013) Store Atmosphere sangat mempengaruhi Impulse Buying, oleh karena itu
pembenahan elemen elemen Store Atmosphere harus sangat diperhatikan,
Menurut Berman dan Evans (2007;p544) store atmosphere merujuk kepada
karakteristik fisik toko yang menampilkan image dan menarik perhatian konsumen.
Dan menurut Schiffman & Kanuk yang dikutip dari Jurnal Penelitian Maretha
dan Kuncoro (2011) menyatakan bahwa “toko-toko atau gerai mempunyai citra toko
10
perusahaan itu sendiri yang membantu mempengaruhi kualitas yang dirasakan dan
keputusan konsumen mengenai pembelian produk”
Justus, Srinivas, Venkadeshawaran dan Ramesh (2007) mengatakan bahwa
konsumen akan cenderung berlangganan pada toko yang dirasa memiliki banyak
kesamaan dengan mereka. Kemiripan Consumer’s self image dengan store image
akan mempengaruhi dimana konsumen akan berbelanja.
2.3.3.1 Elemen Store Atmosphere
Menurut Levy dan Weitz yang dikutip oleh Kurniawan dan Kunto (2013), Store
Atmosphere terdiri dari dua hal, yaitu Instore Atmosphere dan Outstore Atmosphere.
a. Instore Atmosphere
Instore Atmosphere adalah pengaturan pengaturan didalam ruangan yang
menyangkut :
1. Internal Layout
Merupakan pengaturan dari berbagai fasilitas didalam ruangan yang
terdiri dari tata letak meja kursi pengunjung. Tata letak meja kasir, dan
tata letak lampu, pendingin ruangan, sound.
2. Suara
Merupakan keseluruhan alunan suara yang dihadirkan dalam ruangan
untuk menciptakan kesan rileks atau persepsi emosional tersendiri dari
live music yang disajikan restoran dan alunan suara music dari sound
system. Areni dan Kim (1993), mengatakan bahwa Background Music
dapat mempengaruhi pembelian didalam toko.
3. Bau
Merupakan aroma-aroma yang dihadirkan dalam ruangan untuk
menciptakan selera makan yang timbul dari aroma makanan dan
minuman dan aroma yang ditimbulkan oleh pewangi ruangan.
4. Tekstur
Merupakan tampilan fisik dari bahan-bahan yang digunakan untuk meja
dan kursi dalam ruangan dan dinding ruangan.
5. Desain Interior
Bangunan adalah penataan ruang-ruang dalam restoran. Kesesuaian
meliputi kesesuaian luas ruang pengunjung dengan ruas jalan yang
11
memberikan kenyamanan, desain bar counter, penataan meja, penataan
lukisan-lukisan dan system pencahayaan dalam ruangan.
b. Outstore Atmosphere
Outstore Atmosphere adalah pengaturan-pengaturan diluar ruangan yang
menyangkut :
1. External Layout
Yaitu pengaturan tata letak berbagai fasilitas restoran di luar ruangan
meliputi tata letak parker pengunjung, tata letak papan nama, dan lokasi
yang strategis.
2. Tekstur
Merupakan tampilan fisik dari bahan bahan yang digunakan bangunan
maupun fasilitas diluar ruangan yang meliputi tekstur dinding bangunan
luar ruangan dan tekstur papan nama luar ruangan.
3. Desain Eksterior
Bangunan merupakan penataan ruangan-ruangan luar restoran meluputi
disain papan nama luar ruangan, penempatan pintu masuk, bentuk
bangunan dilihat dari luar dan system pencahayaan luar ruangan.
Menurut Berman dan Evans dalam bukunya “Retail Management”
(2007;p545) Store Atmosphere (Atmospherics) dapat dibagi menjadi beberapa
elemen penting yang akan mempengaruhi suasana toko yang diinginkan. Key element
tersebut adalah : Exterior , General Interior, Store Layouts dan Displays.
EXTERIOR
ATMOSPHERE
CREATED BY THE
RETAILER
GENERAL
INTERIOR
STORE
LAYOUT
INTERIOR
DISPLAY
Gambar 2.2 Elemen-elemen Store Atmosphere
Sumber : Berman dan Evans (2007;p542)
12
1. Exterior
Menurut Berman dan Evans dalam bukunya “Retail Management” (2007;p545)
Eksterior atau bagian depan toko memiliki imbas yang sanagat kuat terhadap image
toko dan harus di rencanakan secara tepat.
Bagian depan toko adalah total ekstrior fisik dari toko itu sendiri. Yang meliputi
Marquee (papan nama) , pintu masuk, jendela, pencahyaan dan konstruksi material.
Dengan tampilan depan toko retailer dapat menampilkan diskon dan tampilan
lainnya. Konsumen yang melewati depan toko dapat menilai toko tersebut dari
eksterior nya. Ada beberapa alternative dalam menampilkan basic store front :
a) Modular structure : berbentuk 1 buah persegi atau kotak yang
menyambungkan beberapa toko.
b) Prefabricated structure : frame atau kerangka bangunan yang dirakit dalam
sebuah toko.
c) Prototype Store : desain yang disediakan franschisor untuk membantu
perkembangan atmosphere.
d) Recessed Storefront : memikat konsumen dengan bersembunyi dibalik toko
toko lain, sehingga konsumen penasaran dan berjalan memeriksa toko
tersebut.
e) Unique Building : struktur bangunan yang berbeda
Yang termasuk exterior toko ialah pintu masuk toko. Pintu masuk toko harus
memperlihatkan tiga hal utama yaitu:
a. Jumlah pintu masuk yang dibutuhkan. Sebuah toko diharapkan dapat
mengatur antara pintu keluar dan pintu masuk toko. Pintu sebuah toko juga
harus dapat menghalangi potensi terjadinya pencurian.
b. Tipe dari pintu masuk yang dipilih, apakah dapat secara otomatis membuka
sendiri
atau
yang
bersifat
manual.
Lantai
jalan
masuk
dapat
menggunakan semen, keramik atau karpet.
c. Jalan masuknya. Jalan yang lebar dan lapang dapat menciptakan atmosfer
yang berbeda dibandingkan jalan yang kecil dan sempit.
Dalam beberapa kasus, tercapainya tujuan store atmosphere adalah melalui penataan
yang unik dan menarik perhatian. Bagian depan toko yang berbeda, papan nama toko
yang menarik, sirkulasi udara yang menarik, dan bangunan toko yang tidak biasa.
13
2.
General Interior
Banyak elemen-elemen yang mempengaruhi persepsi konsumen ketika mereka
memasuki bagiandalam toko. Suara dan aroma dapat mempengaruhi perasaan
konsumen. Perlengkapan toko dapat direncanakan berdasarkan kegunaan dan
estetikanya. Meja, rak barang, pintu merupakan bagian dari dekorasi interior.
Dinding toko juga mempengaruhi atmosfer dengan pemilihan wallpaper yang
berbeda pada setiap toko yang disesuaikan dengan keadaan toko. Konsumen juga
dipengaruhi oleh temperatur udara didalam toko. Kurang sejuknya udara dapat
mempercepat keberadaan konsumen di dalam toko. Ruangan yang luas dan tidak
padat menciptakan suasana yang berbeda dengan ruangan yang sempit dan padat.
Konsumen dapat berlama-lama di dalam toko apabila mereka tidak terganggu oleh
orang lain ketika sedang melihat-lihat produk yang dijual.
Toko dengan bentuk bangunan yang modern serta perlengkapan yang baru akan
lebih mendukung atmosfer. Remodelling bangunan dan pembaharuan peralatan toko
yang lama dengan yang baru juga dapat meningkatkan citra toko dimata konsumen.
Yang perlu diperhatikan dari semua hal diatas adalah bagaimana perawatannya agar
dapat selalu terlihat bersih. Tidak peduli bagaimana mahalnya interior sebuah toko
apabila terlihat kotor maka akan menimbulkan kesan yang jelek.
3. Store Layout
Setiap toko mempunyai ruang ruang yang digunakan untuk berjualan, menampilkan
barang, personil, dan konsumen. Tanpa alokasi tersebut sebuah toko tidak akan
memiliki ruang yang akan digunakan untuk displays, kamar mandi dan yang lain
nya. Alokasi ruang tersebut dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
a) Selling Space : ruang ini digunakan untuk menampilkan barang, interaksi
antara penjual dan konsumen, demonstrasi dan yang lain nya.
b) Merchandise Space : digunakan untuk menyimpan barang barang yang
tidak ditampilkan kepada konsumen.
c) Personnel Space : ruang ini digunakan untuk ruang ganti pegawai, tempat
beristirahat pegawai.
d) Customer Space : ruang ini bias berupa lounge, bangku atau sofa,
dressing room, restaurant, tempat parkir.
14
4. Interior Displays
Ketika layout toko sudah diaplikasikan dengan detail, retailer selanjutnya harus
merencanakan interior displays. Jenis jenis Interior Displays adalah sebagai berikut :
a) Assortment Display : Merupakan
bentuk
interior displays yang
digunakan untuk berbagai macam produk yang berbeda dan dapat
mempengaruhi konsumen untuk merasakan, melihat, dan mencoba
produk. Kartu ucapan, majalah, buku dan produk sejenis lainnya
merupakan produk-produk yang menggunakan assortment displays.
b) Theme-Setting Display : merupakan bentuk interior displays yang
menggunakan tema-tema tertentu digunakan dengan maksud membangun
suasana atau nuansa tertentu.
c) Ensemble Display : bentuk displays digunakan untuk satu pasang produk
yang merupakan gabungan dari berbagai macam produk.
d) Rack Display : bentuk displays tenoat gantungan produk yang
ditawarkan.
e) Cut Case : Merupakan
interior
displays yang
murah
hanya
menggunakan kertas biasa. Biasanya digunakan di super market atau
toko yang sedang menyelenggarakan diskon. Bentuk lain dari cut case
adalah dump bin, merupakan tempat menumpuk pakaian-pakaian atau
buku-buku yang sedang diskon.
2.4
Jasa
2.4.1 Pengertian Jasa
Menurut Kotler (2003) Jasa adalah sesuatu yang tidak berwujud yang
tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain dan
tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Dalam produksi nya, jasa bisa
terikat pada suatu produk fisik, tetapi bisa juga tidak.
Menurut Lovelock dalam Arief (2007;p11) lebih jelas mendeskripsikan jasa
sebagai proses daripada produk, dimana suatu proses melibatkan input dan
mentransformasikannya sebagai output. Dua kategori yang diproses oleh jasa adalah
orang dan objek.
Berdasarkan definisi di atas, jasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak
berwujud, yang melibatkan tindakan atau unjuk kerja melalui proses dan kinerja
15
yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain. Dalam produksinya, jasa bisa
terikat pada suatu produk fisik, tetapi bisa juga tidak.
Menurut Rambat dalam Arief (2007;p12), kata jasa sendiri mempunyai
banyak arti dari pelayanan personal (personal service) sampai jasa sebagai suatu
produk. Sejauh ini sudah banyak pakar pemasaran jasa yang telah berusaha
mendifinisikan pengertian jasa. Berikut adalah diantaranya :
“A service is an activity or a service of activities which take place in
interactions with a contact person or physical machine and which provides consumer
satistaction” Lethinen dalam Arief (2007;p12).
“A service is an activity or series of activities of more or less intangible
nature that normally, but not necessarily, take place in interaction between the
customer and service employees and/or physical resource or good and/or sistem of
the service provider, which are provide as solution to customer problems” Gronroos
dalam Arief (2007;p12).
Menurut William J.Staton dalam Arief (2007;p13) memberikan pengertian
jasa sebagai berikut :
“Service are to those separately identifiable, essentially intangible activies
that provide want - satisfaction, and that are not necessarily tied to sale of a product
or another service. To produce a service may or may not required the use of tangible
goods. However, when such is required, there is not transfer of the title (permanent
ownership) to these tangible goods.
Menurut Olsen dan Wycktoff (1978) yang dikutip oleh Yamit (2004:22)
melakukan pengamatan atas jasa pelayanan dan mendefinisikan jasa pelayanan
sebagai sekelompok manfaat yang berdaya guna secara eksplisit maupun implisit
atas kemudahan untuk mendapatkan barang maupun jasa pelayanan. Dan definisi
secara umum dari kualitas jasa pelayanan ini adalah dapat dilihat dari perbandingan
antara harapan konsumen dengan kinerja kualitas jasa pelayanan.
Kotler (2000) dalam Arief (2007;p40) menjelaskan lima pokok klasifikasi
bauran jasa sebagai berikut :
1. Pure tangible goods
Produk yang ditawarkan adalah barang berwujud murni/nyata, tidak ada bentuk
jasa-jasa yang menyertai produk jenis ini. Contohnya : obat nyamuk, shampoo,
dan sabun.
16
2. Tangible goods with accompanying maintance
Barang berwujud merupakan produk utama yang ditawarkan, sedangkan
pemeliharaan jasa menyertai produk utama tersebut. Pada umumnya, barang
elektronik kendaraan, dan mesin-mesin di ikuti oleh pemeliharaan/perawatan dari
barang-barang tersebut
3. Hybrid
Produk barang maupun jasa sama – sama dapat dirasakan, misalnya selain
mengharapkan makanan yang khas, pengunjung kafe juga ingin mendapatkan
pelayanan yang memuaskan.
4. Major Service with accompanying minor goods services
Produk utama adalah jasa dengan melibatkan sedikit produk lain berupa jasa,
misalnya penumpang kereta api membeli jasa transportasi darat dengan fasilitas
makan dan minum yang diberikan secara cuma - cuma.
5. Pure Service
Tidak ada produk lain yang berbentuk produk menyertai jasa murni, escort (
pengawalan/ teman), psikiater, dan jasa konsultasi.
2.4.2 Karakteristik Jasa
Kotler (2003) menyebutkan bahwa pada umumnya terdapat empat
karakteristik jasa yang dapat di definisikan sebagai berikut :
1. Intangibility, karena jasa tidak berwujud. Biasanya jasa dapat dirasakan secara
subjektif dan ketika jasa di deskripsikan oleh pelanggan, ekspresi seperti
pengalaman, kepercayaan, perasaaan, dan keamanan adalah tolak ukur yang
dipakai. Inti dari suatu jasa adalah ketidakberwujudan dari fenomena itu sendiri.
Oleh karena itu tinggi nya derajat ketidak berwujudannya maka jasa sangat sulit
di evaluasi oleh pelanggan.
2. Inseparability, karena jasa bukan benda tetapi merupakan suatu seri aktifitas atau
proses
dimana
produksi
dan
konsumsi
dilakukan
secara
simultan
(simultaneously). Dengan demikian, pada suatu tingkatan sangat sulit untuk
mengontrol kualitas dan melakukan pemasaran dengan cara tradisional.
3. Perishability, karakteristik yang menyatakan bahwa tidak memungkinkan untuk
menyimpan jasa seperti barang. Walaupun jasa tidak memungkinkan untuk
menyimpan jasa seperti barang. Walaupun jasa tidak dapat disimpan tetapi
pelanggan dapat diusahakan unutuk disimpan.
17
4. Variability, karena proses produksi dan penyampaian dilakukan oleh manusia.
Oleh karena manusia mempunyai sikap tidak konsisten sehingga penyampainya
suatu jasa belum tentu terhadap tiap-tiap pelanggan.
Menurut Gaspersz dalam Ariani (2004, p7-8) ada beberapa karakteristik unik dari
suatu industri jasa/pelayanan yang sekaligus membedakannya dari barang, antara
lain:
1. Pelayanan merupakan output tidak berbentuk (intangibility output).
2. Pelayanan merupakan output variable, tidak standar.
3. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam persediaan, tetapi dapat dikonsumsi
dalam produksi.
4. Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses
pelayanan.
5. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan.
6. Pelanggan sekaligus merupakan input bagi proses pelayanan yang
diterimanya.
7. Keterampilan personil diberikan secara langsung kepada pelanggan.
2.5
Service Quality
Service Quality atau Kualitas pelayanan adalah salah satu unsur penting
dalam organisasi jasa. Hal ini disebabkan oleh kualitas pelayanan merupakan salah
satu alat yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi jasa. Oleh karena itu,
kualitas pelayanan harus mendapat perhatian yang serius dari manajemen organisasi
jasa. Untuk menetapkan kualitas pelayanan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi
jasa, terlebih dahulu organisasi tersebut harus mempunyai tujuan yang jelas.
Berbagai definisi diberikan para ahli terhadap kualitas pelayanan.
Parasuraman (1998) mengartikan kualitas sebagai suatu bentuk sikap, berhubungan
namun tidak sama dengan kepuasan, yang merupakan hasil dari perbandingan antara
harapan dengan kinerja aktual. Namun kualitas pelayanan dan kepuasan dibentuk
dari hal yang berbeda. Selanjutnya disebutkan bahwa pengertian yang paling umum
dari perbedaan kualitas pelayanan dan kepuasan adalah bahwa kualitas pelayanan
merupakan satu bentuk sikap, penilaian dilakukan dalam waktu lama, sementara
kepuasan merupakan ukuran dari transaksi yang spesifik. Perbedaan antara kualitas
pelayanan dan kepuasan mengarah pada cara diskonfirmasi yang dioperasionalkan.
18
Dalam mengukur kualitas pelayanan yang dibandingkan adalah apa yang seharusnya
didapatkan, sementara dalam mengukur kepuasan yang diperbandingkan adalah apa
yang pelanggan mungkin dapatkan (Parasuraman,1998).
Menurut Tjiptono (2005;p59) kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan
yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi
keinginan pelanggan.
Dalam penelitian ini kualitas layanan diharapkan mampu memberikan
kontribusi terhadap penjualan, dan menurut Matilla (2008) kualitas pelayanan dari
karyawan suatu toko dapan memicu Impulse Buying dari konsumen. Dan menurut
Kharis (2011) Kualitas layanan dapat mempengaruhi Impulse Buying secara
signifikan.
Dari berbagai pendapat tentang kualitas pelayanan di atas, dapat disimpulkan
bahwa definisi kualitas pelayanan secara umum adalah bahwa kualitas harus
memenuhi harapan-harapan pelanggan dan memuaskan kebutuhan mereka. Namun
demikian meskipun definisi ini berorientasi pada konsumen, tidak berarti bahwa
dalam menentukan kualitas pelayanan penyedia jasa harus menuruti semua keinginan
konsumen. Dengan kata lain, dalam menetapkan kualitas pelayanan, perusahaan
harus mempertimbangkan selain untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan, juga
tersedianya sumberdaya dalam perusahaan.
2.5.1 Dimensi Service Quality
Menurut Pasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) dalam Tjiptono dan Chandra
(2005),
ada 5 dimensi yang digunakan dalam menilai kualitas pelayanan pada
industri, yaitu:
1. Reliability (reliabilitas), yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan
pelayanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan
apapundan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati.
2. Responsiveness (daya tanggap), yaitu respon atau kesigapan karyawan
dalammembantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan
tanggap, meliputi: kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan,
kecepatankaryawan dalam menangani transaksi, dan penanganan keluhan
pelanggan.
3. Assurance (Jaminan), yakni perilaku karyawan mampu menumbuhkan
kepercayaan
pelanggan
terhadap
perusahaan
dan
perusahaan
bisa
19
menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Jaminan juda berarti bahwa
para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan
danketerampilan
yang
dibutuhkan
untuk
menangani.
Dimensi
kepastian/jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi:
•
Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang
dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan.
•
Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian, dan sikap
para karyawan.
•
Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungandengan
kepercayaan
kepada
perusahaan,
seperti
reputasi,
prestasi,
dan
sebagainya.
4. Empati
(Empathy)
yaitu
perhatian
individual
yang
diberikan
perusahaankepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi
perusahaan,kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan,
dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan
pelanggannya.Dimensi ini merupakan penggabungan dari dimensi:
•
Akses, meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan
perusahaan.
•
Komunikasi, merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk
menyampaikan informasi kepada pelangganatau memperoleh masukan
dari pelanggan.
•
Pemahaman
pada
pelanggan,
meliputi
usaha
perusahaan
untuk
mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan.
5. Tangibles (bukti fisik), meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan
ruangan front office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan
dankenyamanan
ruangan,
kelengkapan
peralatan
komunikasi,
dan
penampilankaryawan.
2.5.2 Manfaat Kualitas Pelayanan
Keberhasilan suatu perusahaan dalam membangun bisnisnya, tidak luput dari
peran pelayanan yang baik dan memuaskan pelanggannya. Kualitas pelayanan akan
memberi manfaat yang cukup besar bagi perusahaan sebagai berikut (Simamora,
2003;p180):
20
1. Pelayanan yang istimewa (nilai pelayanan yang benar-benar dialami
konsumen melebihi harapannya) atau sangat memuaskan merupakan suatu
basis untuk penetapan harga premium. Perusahaan yang mampu memberikan
kepuasan tinggi bagi pelanggannya dapat menetapkan suatu harga yang
signifikan.
2. Pelayanan istimewa membuka peluang untuk diversifikasi produk dan harga.
Misalnya pelayanan dibedakan menurut kecepatan pelayanan yang diminta
oleh pelanggan yaitu tarif lebih mahal dibebankan untuk pelayanan yang
membutuhkan penyelesaian yang cepat.
3. Menciptakan loyalitas pelanggan. Pelanggan yang loyal tidak hanya potensial
untuk penjualan yang sudah ada tetapi juga untuk produk-produk baru dari
perusahaan.
4. Pelanggan yang terpuaskan merupakan sumber informasi positif bagi
perusahaan dan produk-produk kepada pihak luar, bahkan mereka dapat
menjadi pembela bagi perusahaan khususnya dalam menangkal isu-isu
negatif.
5. Pelanggan merupakan sumber informasi bagi perusahaan dalam hal intelijen
pemasaran dan pengembangan pelayanan atau produk perusahaan pada
umumnya.
2.6
Impulse Buying
Pemahaman tentang konsep pembelian impulsif (impulsive buying) dan
pembelian tidak direncanakan (unplanned buying) oleh beberapa peneliti tidak
dibedakan. Philipps dan Bradshow (1993) dalam semuel (2006), tidak membedakan
antara unplanned buying dengan impulsive buying, tetapi memberikan perhatian
penting kepada periset, pelanggan harus memfokuskan pada interaksi antara pointof-sale dengan pembeli yang sering diabaikan.
Engel dan Blacwell (1982) dalam Semuel (2006), mendefinisikan unplanned
buying adalah suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan terlebih
sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko.
Cobb dan Hayer dalam Semuel (2006), mengklasifikasikan suatu pembelian
impulsif terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu atau kategori
produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Sedangkan menurut Loudon dan
Bitta (1993), “Impulse buying or unplanned purchasing is another consumer
21
purchasing pattern. As the term implies, the purchase that consumers do not
specifically planned”. Ini berarti bahwa impulse buying merupakan salah satu jenis
perilaku konsumen, dimana hal tersebut terlihat dari pembelian konsumen yang tidak
secara rinci terencana.
Pernyataan tersebut didukung oleh Iyer (fadjar, 2007), impulse buying adalah
suatu fakta kehidupan dalam perilaku konsumen yang dibuktikan sebagai suatu
kegiatan pembelian yang berhubungan dengan lingkungan dan keterbatasan waktu
dalam berbelanja, dimana rute pembelian yang mereka lakukan semstinya berbeda.
Rute tersebut dapat dibedakan melalui hirarki impulse yang memperlihatkan bahwa
perilaku didasarkan pada respon afektif yang dipengaruhi oleh perasaan yang kuat
(Mown dan Minor, 2002), sehingga impulse bauying menurut Hoch et al., terjadi
ketika terdapat perasaan positif yang sangat kuat yang kemudian diikuti oleh sikap
pembelian (Negara dan Dharmmesta, 2003). Kollat dan Willet, dalam Semuel
(2006), memperkenalkan Tipologi perencanaan masuk toko, meliputi perencanaan
sebelum masuk toko, meliputi perncanaan terhadap produk dan merek produk,
kategori produk, kelas produk, kebutuhan umum yang ditetapkan, kebutuhan umum
yang belum ditetapkan. Beberapa peneliti pemasaran beranggapan bahwa impulse
sinonim dengan unplanned ketika para psikolog dan ekonom memfokuskan pada
aspek irasional atau pembelian impulsif murni (Bayley dan Nancarrow dalam
Semuel, 2006). Thomson et al, dalam semuel, 2006, mengemukakan bahwa ketika
terjadi pembelian impulsif akan memberikan pengalaman emosional lebih dari pada
rasional, sehingga tidak dilihat sebagai suatu sugesti, dengan dasar ini maka
pembelian impulsif lebih dipandang sebagai keputusan rasional dibanding irasional.
Menurut Sterns (1962) yang dikutip dari Bong (2011) belanja impulsif adalah
suatu pembelian yang dilakukan konsumen tanpa direncanakan sebelumnya
(impulsive buying is a purchase that made by consumers without being intentionally
planned before). Perilaku konsumen ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
tingkat pendapatan, personalitas seseorang, ketersediaan waktu, lokasi, dan faktor
budaya belanja setempat. Perilaku ini tidak hanya ditunjukkan oleh orang-orang yang
berbeda terhadap produkproduk yang sama, tetapi juga oleh orang-orang yang sama
pada situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Suatu pembelian yang
direncanakan secara teliti, bijaksana dan melalui evaluasi matang pada umumnya
menghasilkan hasil rasional, akurat dan merupakan keputusan baik. Kebalikannya
dari berbelanja terencana, maka belanja impulsif adalah spontanitas dan keputusan
22
mendadak dimana konsumen tidak secara aktif melihat lebih rinci produk-produk
yang dibeli dan tanpa rencana awal (Kollat dan Willet, 1967; Rook 1987; Rook dan
Fisher 1995; Verplanken dan Herabadi, 2001) yang dikutip dari Bong (2011). Lebih
jauh mengenai spontanitas, mendeskripsikan belanja impulsif sebagai suatu kondisi
ketegangan, melakukan aksi pembelian dalam keadaan tergesa-gesa, seolah-olah
terdesak waktu, tanpa mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya setelah
keputusan pembelian. Rook (1987) yang dikutip dari Bong (2011) lebih menekankan
bahwa konsumen mungkin berada dalam kondisi yang tidak rasional dalam
berbelanja.
Hansen dan Olsen yang dikutip dari Bong (2011) menekankan orientasi
kenyamanan (Convenience Orientation) dan persepsi desakan waktu (Perceived
Time Pressure) adalah sebagai anteseden dari tendensi belanja impulsif (Impulsive
Buying Tendency) dan seterusnya memengaruhi loyalitas konsumen terhadap toko
(Consumer Store Loyalty). Situasi dan kondisi dalam toko memegang peranan sangat
penting dalam upaya meningkatkan ketertarikan calon konsumen untuk berbelanja,
yang akhirnya calon konsumen mengambil keputusan melakukan belanja impulsif
spontan di tempat (Verplanken dan Herabadi 2001; Rook dan Fisher, 1995; Rook
1987; Kollat dan Willet, 1967) yang dikutip dari Bong (2011).
Menurut Bong (2011), dari hasil observasi yang dilihat dari sisi perilaku
konsumen, maka diperoleh adanya keputusan pembelian yang direncanakan dan
tidak direncanakan oleh konsumen pada titik keputusan pembelian (point of
purchase). Titik keputusan pembelian merepresentasikan factor waktu dan tempat
pada saat di mana terdapat unsur penawaran toko. Sedangkan faktor konsumen,
adanya kesiapan keuangan dan tawaran produk menarik pada saat bersamaan.
Dengan mempergunakan berbagai alat dan teknis komunikasi toko, seperti: pola
pemajangan, kemasan produk, promosi penjualan, periklanan, dan pelayanan toko
yang professional pada titik lokasi penjualan (Point Of Sales), maka pemasar
(marketer) berusaha memengaruhi keputusan pembelian calon konsumen.
Sedangkan Menurut Mowen & Minor yang dikutip dari Kurniawan dan Kunto
(2013) pengertian impulse buying adalah “an impulse purchase has been defined as
a buying action undertaken without a problem having been previously recognizing or
a buying intention formed prior to entering the store”. Pembelian tak terencana
adalah kegiatan pembelian mendadak tanpa ada perencanaan terlebih dahulu pada
saat memasuki suatu toko.
23
Impulse Buying didefinisikan sebagai “tindakan membeli yang sebelumnya tidak
diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan atau niat membeli yang
terbentuk sebelum memasuki toko”.
2.6.1 Dimensi Impulse Buying
Menurut Loudon dan Della yang dikutip dari Kurniawan dan Kunto (2013),
terdapat 4 dimensi dari pembelian tak terencana, yaitu :
1. Pure Impulse
Adalah pembelian yang memang benar-benar murni secara spontan.
2. Suggestion Impulse
Adalah ketika calon pembeli tidak mempunyai pengetahuan sebelumnya atas
produk tersebut dan baru pertama kali melihat dan merasa membutuhkan
produk tersebut.
3. Reminder Impulse
Adalah ketika calon pembeli mengingat pengalaman sebelumnya dalam
pemakaian produk tersebut dan atau mengingat barang tersebut setelah
melihat atau mendengarkan lewat iklan.
4. Planned Impulse
Adalah ketika calon pembeli memasuki toko dengan harapan untuk mencari
barang dengan harga special, penukaran kupon, dan sebagainya.
2.7
Hubungan Antar Variable
2.7.1 Hubungan Antara Store Atmosphere dengan Impulse Buying
Lingkungan toko atau store atmosphere yang terencana dapat menarik minat
konsumen untuk membeli (Kotler 2005).
Minat pembelian secara mendadak juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan
toko, karena menurut Kurniawan dan Kunto (2013) Store Atmosphere sangat
mempengaruhi Impulse Buying.
Jurnal penelitian Graa dan Dani-elKebir (2012) berjudul, Application Of
Stimulus & Response Model To Impulse Buying Behaviour Of Algerian Consumers ,
menyatakan bahwa ada hubungan Antara Store Atmosphere dengan Impulse Buying.
Jurnal ini meneliti bagaimana Situasional Factor dan Emotional States dapat
mempengaruhi Impulse buying pada konsumen di Algerian. Dan hasil yang didapat
24
menyatakan bahwa Store Environtment , Perceived Crowding dan Time Pressure
mempengauhi Impulse Buying Secara Positif.
Jurnal An Analysis Of In-Store Shopping Environtment On Consumers
Impulse Buying : Evidence From Pakistan , oleh Ali dan Hasnu (2011). Jurnal ini
berisi tentang penelitian pengaruh Store Environtment yang memicu Impulse Buying
Decision. Sample yang digunakan dalah 100 pembeli yang diambil secara acak di
Abbotabad dan Islamabad , Pakistan. Hasilnya adalah peningkatan enjoyable,
pleasant dan
attractive in-store yang dipengaruhi Store Atmosphere dapat
meningkatkan peluang terjadinya Impulsive Buying terhadap konsumen.
Jurnal Pengaruh Faktor-Faktor Store Environtment dan Faktor-faktor Product
Brand terhadap Impulse Buying Behaviour di Hypermart Ciputra World Surabaya,
Hartanto (2010) . Jurnal ini meneliti tentang pengaruh suasana toko pada Hypermart
Ciputra World Surabaya terhadap Impulse Buying Behaviour. Penelitian ini
menggunakan metode observasi dalam pengumpulan datanya karena penelitian ini
mencatat pola perilaku subyek (orang, obyek, benda) atau kejadian secara sistematik
tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti.
Sehingga dari data-data yang diperoleh, dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang
mendorong para pengunjung toko untuk melakukan impulse buying.
Hasil yang
didapat Store Atmosphere memiliki pengaruh negative terhadap Impulse Buying.
Menurut jurnal penelitian Kurniawan dan Kunto (2013) berjudul, Pengaruh
Promosi dan Store Atmosphere terhadap Impulse Buying dengan Shopping Emotion
sebagai variable Intervening Studi Kasus Di Matahari Department Store Cabang
Supermall Surabaya, Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatori.
Sampel penelitian adalah konsumen Matahari department store cabang supermall
Surabaya, yang berjumlah 150 orang. Penelitian ini menggunakan teknik analisis
Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
promotion dan store atmosphere berpengaruh terhadap shopping emotion, promotion
dan Store Atmosphere berpengaruh terhadap impulse buying, serta shopping emotion
berpengaruh terhadap impulse buying.
2.7.2 Hubungan Antara Service Quality dengan Impulse Buying
Menurut jurnal penilitian Kharis (2011) berjudul, Studi Mengenai Impulse
buying Dalam Penjualan Online (Studi Kasus di Lingkungan Universitas Diponegoro
Semarang), jurnal ini berisi tentang bagaimana pengaruh kualitas layanan dan
25
promosi terhadap impulse buying dalam penjualan online, dengan mengambil sample
100 Mahasiswa S1 Universitas Diponegoro Semarang yang pernah melakukan
impulse buying dengan jenis barang berupa fashion secara online. Dengan batasan
umur antara 18-25 tahun karena pada usia tersebut pelanggan dinilai sebagai pembeli
produktif (potensial) dan mereka tertarik dengan dunia fashion.
Dengan hasil
Variabel kualitas pelayanan (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
impulse buying, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Maka
Hipotesis pertama (H1) yaitu, semakin baik kualitas pelayanan yang dirasakan
konsumen, maka akan semakin cepat keputusan melakukan impulse buying, dapat
diterima.
Jurnal penelitian berjudul The role of store environmental stimulation and
social factors on impulse purchasing , oleh Mattila dan Wirtz (2008) berisi tentang
bagaimana suasana mempengaruhi Impulse Buying yang distimuli oleh 2 Social
Factor , dengan mengambil sampel 138 konsumen retail di Singapura. Dengan hasil
yang menyatakan bahwa kualitas layanan yang diberikan oleh pegawai dapat
mempengaruhi Perceived Crowded dan Impulse buying.
Jurnal penelitian berjudul The effect of culture and salespersons’ retail
service quality on impulse buying, oleh Pornpotakpan dan Han (2013), Studi ini
mengkaji pengaruh dari kualitas layanan retail penjual ' pada impulse buying dan
memberikan bukti bahwa moderat kualitas pelayanan berpengaruh pada impulse
buying . Percobaan menggunakan 2 ( budaya peserta : Singapura vs Amerika )
dengan 2 ( retail kualitas layanan yang : buruk dibandingkan dengan yang baik)
antara - subjek desain faktorial dengan 102 orang dewasa yang berasal dari
Singapura dan 88 orang berasal dari Amerika yang direkrut dari perusahaan di
Singapura . Ia menemukan bahwa untuk kedua budaya , pelayanan yang baik
mengarah ke pembelian impuls yang lebih tinggi daripada layanan yang buruk .
Interaksi yang signifikan antara budaya dan kualitas layanan terhadap impulse
buying menunjukkan bahwa ketika layanan baik, Singapura menunjukkan pembelian
impuls lebih tinggi daripada orang Amerika . Sebaliknya, ketika layanan buruk ,
Singapura mengungkapkan membeli impuls lebih rendah dibandingkan orang
Amerika . Implikasinya adalah bahwa perusahaan-perusahaan multinasional harus
berinvestasi dalam menciptakan dan menjamin kualitas pelayanan yang baik ketika
mereka melakukan bisnis dalam budaya kolektivis tapi mungkin memberikan bobot
26
yang relatif lebih tinggi untuk jenis lain dari keunggulan kompetitif ketika mereka
melakukan bisnis dalam budaya individualis
2.8
Kerangka Pemikiran
Store Atmosphere (X1) :
a. Instore Atmosphere :
Internal Layout
Suara
Tekstur
Desain Interior
Service Quality (X2) :
Reliability (reabilitas)
Tangible (bukti fisik)
Empathy (empati)
b. Outstore Atmosphere :
External Layout
Tekstur
Desain Eksterior
Assurance (jaminan)
Responsive (Daya
tanggap)
Impulse Buying (Y) :
Spontanitas/ Pure impulse
Reminder Impulse
Suggestion Impulse
Planned Impulse
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
27
2.9
Hipotesis
Menurut Sugiono (2010,p159) hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian. Kebenaran hipotesis itu harus dibuktikan
melalui data yang terkumpul.
Variabel:
X1
: Store Atmosphere
X2
: Service Quality
Y
: Impulse Buying
Hipotesis penelitian ini berdasarkan rumusan masalah:
1.
Hipotesis 1 : Adakah pengaruh yang signifikan antara penerapan Store
Atmosphere di UMBRA Bar & Lounge terhadap : Impulse Buying?
•
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara penerapan Store Atmosphere
di UMBRA Bar & Lounge terhadap : Impulse Buying
•
Ha
=
Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan Store Atmosphere di
UMBRA Bar & Lounge terhadap Impulse Buying
2.
Hipotesis 2 : Adakah pengaruh yang signifikan antara Service Quality
UMBRA Bar & Lounge terhadap Impulse Buying?
•
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Service Quality UMBRA Bar
& Lounge terhadap Impulse Buying.
•
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Service Quality UMBRA Bar &
Lounge terhadap Impulse Buying.
3.
Hipotesis 3 : Adakah pengaruh yang signifikan antara Store Atmosphere dan
Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap Impulse Buying?
•
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Store Atmosphere dan
Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap impulse buying.
•
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara antara Store Atmosphere dan
Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap impulse buying.
.
Download