4 TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Bintil Akar Legum merupakan suatu kelompok tanaman yang memiliki nilai ekonomi penting seperti kedelai, semanggi, alfalfa, buncis, dan kacang-kacangan. Rhizobium, Bradyrhizobium, Sinorhizobium, Mesorhizobium, dan Azorhizobium adalah bakteri Gram negatif, motil dan berbentuk batang yang dapat bersimbiosis dengan tanaman legum. Infeksi pada akar tanaman legum oleh salah satu spesies tersebut dapat membentuk nodul (bintil) pada akar yang dapat mengubah nitrogen dalam bentuk gas menjadi nitrogen terikat, proses ini dinamakan fiksasi nitrogen (Madigan & Martinko 2000). Fiksasi nitrogen oleh simbiosis legum-Rhizobium sangat penting bagi pertanian karena dapat meningkatkan nitrogen terikat di dalam tanah dengan sangat signifikan. Kira-kira 90% dari seluruh spesies tanaman legum dapat mengalami nodulasi. Namun terdapat kespesifikan antara legum dan galur Rhizobium. Suatu galur Rhizobium umumnya dapat menginfeksi spesies legum tertentu dan tidak pada spesies lain. Kelompok galur Rhizobium yang dapat menginfeksi kelompok legum yang berkerabat dinamakan kelompok inokulasi silang. Meskipun galur Rhizobium mampu menginfeksi legum tertentu, tetapi tidak selalu dapat menghasilkan bintil yang memfiksasi nitrogen (Madigan & Martinko 2000). Bradyrhizobium japonicum termasuk dalam grup II Rhizobium yang spesifik menodulasi kedelai. Grup II Rhizobium tumbuh lambat dan menghasilkan basa (alkali). Anggota dari kelompok Rhizobium ini memerlukan waktu pertumbuhan 3-5 hari pada medium cair dan rata-rata waktu pembelahan 6-7 jam. Kebanyakan galur dalam kelompok ini tumbuh dengan baik dengan menggunakan pentosa sebagai sumber karbon. Sel-selnya berbentuk batang, motil mempunyai flagel tunggal polar atau subpolar (Somasegaran & Hoben 1995). Rhizobium sebagian besar bersifat kemoorganotrof aerobik dan mudah dikultur, tumbuh baik dengan keberadaan oksigen, menggunakan karbohidrat dan asam amino sederhana. Beberapa galur Rhizobium memerlukan vitamin untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan optimum sebagian besar galur pada suhu 25 – 30 °C dan pH 6-7. Meskipun metabolismenya secara aerobik, beberapa galur 4 dapat tumbuh dengan baik pada keberadaan oksigen yang minim (mikroaerofilik) (Somasegaran & Hoben 1995). Proses Pembentukan Bintil Akar Beberapa tahap infeksi dan perkembangan bintil akar (Madigan & Martinko 2000) yaitu : (1) pengenalan bakteri terhadap bagian tanaman pada inang yang sesuai dan pelekatan bakteri pada rambut akar, (2) invasi bakteri pada rambut akar dengan membentuk benang-benang infeksi, (3) perluasan infeksi menuju akar utama melalui benang infeksi, (4) pembentukan sel-sel bakteri di dalam sel tanaman yang disebut bakteroid dan berkembang pada tahap fiksasi nitrogen, dan (5) pembelahan sel tanaman dan bakteri membentuk bintil akar dewasa (matang). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Bintil Akar Pembentukan bintil akar dan fiksasi nitrogen dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan yaitu keasaman, suhu, keberadaan garam mineral, salinitas dan alkalinitas (Silvia et al. 2005). Keberhasilan penambatan N di udara oleh Rhizobium tergantung pada interaksi antara faktor-faktor berikut, yaitu keserasian galur Rhizobium dengan tanaman inang, kemampuan berkompetesi dengan Rhizobium indigenos, kemampuan tanaman inang untuk menyediakan nutrisi bagi Rhizobium yang bersimbiosis dengannya, serta faktor lingkungan terutama faktor pembatas dalam tanah, seperti pH, suhu, kelembaban tanah, dan ketersediaan hara makro dan mikro (Saraswati et al. 2003). Simbiosis Rhizobium-Legum dipengaruhi oleh penurunan pH tanah. Penurunan pH tanah dapat menimbulkan peningkatan konsentrasi proton, kelarutan logam seperti aluminium yang bersifat toksik terhadap bakteri bintil akar. Respon bakteri bintil akar terhadap tanah asam tergantung pada interaksi sejumlah faktor seperti konsentrasi H+, aktivitas Al3+, dan kemampuan kompetisi dan persistensi dari galur Rhizobium (Tiwari et al. 1992). Keasaman tanah secara langsung dapat menghambat pertumbuhan Rhizobium. Kegagalan nodulasi pada tanah asam tidak hanya disebabkan oleh menurunnya keberadaan Rhizobium, tetapi pH asam juga mempengaruhi 6 pelekatan Rhizobium pada inangnya. Nodulasi pada beberapa galur diperkirakan bermasalah pada pH di bawah 5,2 (Silvia et al. 2005). Pada tingkat keasaman tanah yang berbeda, akan timbul permasalahan mengenai ketersediaan unsur hara tertentu yang dapat mempengaruhi kehidupan bakteri Rhizobium maupun tanaman kedelai (Widawati & Rahayu 1995). Kondisi asam dalam tanah berakibat defisiensi kalsium, magnesium, dan kalium. Seringkali, keasaman tanah berakibat berkurangnya pengambilan molibdenum (Rao 1994). Spesies tanaman mempunyai toleransi yang beragam terhadap aluminium dan mangan tetapi umumnya tanaman lebih dipengaruhi oleh ion-ion ini daripada Rhizobium. Beberapa Rhizobium toleran pada 100 µM aluminium dan 300 µM mangan (Silvia et al. 2005). Beberapa galur B. japonicum toleran terhadap konsentrasi aluminium yang cukup tinggi sekitar 50 µM yang dibuktikan dengan kemampuannya tumbuh pada media Ayanaba (Endarini et al. 1995), tetapi tidak semua rhizobia toleran asam juga toleran Al tinggi (Keyser & Munns 1979). Kandungan mineral N di atas tingkat tertentu mempengaruhi infeksi pada rambut akar, jumlah bintil, struktur bintil, dan jumlah nitrogen yang difiksasi (Rao 1994). Rentangan suhu yang paling menguntungkan untuk pembentukan jaringan bakteroid di dalam bintil ialah 20 – 30 ºC. Pembentukan bintil tidak terjadi pada suhu akar di atas 32 ºC (Rao 1994). Suhu rendah dapat memperlambat proses nodulasi (Silvia et al. 2005). Penelitian terhadap pembentukan bintil semanggi menunjukkan bahwa fotoperiode mempengaruhi pembentukan, ukuran, dan jumlah bintil pada sistem perakaran. Awal pembentukan bintil pada semanggi tertunda apabila panjang hari ditambah (Rao 1994). Penambatan Nitrogen Penambatan N2 secara simbiotik berkaitan dengan aktivitas enzim nitrogenase, hidrogenase dan protein leghemoglobin. Nitrogenase merupakan suatu sistem enzim yang terdapat di dalam bakteroid, berfungsi mengkatalisis penambatan N2 dan merupakan kompleks yang tersusun atas dua komponen 6 logam-protein yakni MoFe-protein dan Fe-protein. MoFe-protein adalah komponen I disebut molibdoferedoksin atau dinitrogenase, Fe-protein adalah komponen II disebut azofereredoksin atau dinitrogenase-reduktase. Kedua komponen protein dibutuhkan bersama-sama untuk aktivitas katalisis nitrogenase dan masing-masing tidak aktif bila berdiri sendiri. Nitrogenase membutuhkan ATP dan reduktor potensial rendah untuk aktivitasnya. Reduktor berasal dari feredoksin atau flavodoksin (Madigan & Martinko 2000). Sumber energi penambatan nitrogen pada bakteroid tergantung sepenuhnya pada fotosintat tanaman inang yang ditranspor melalui membran simbiosom dalam bentuk produk senyawa antara dari siklus asam trikarboksilat (siklus Krebs) yaitu asam suksinat, fumarat, dan malat yang merupakan donor elektron untuk menghasilkan ATP dan mereduksi N2. Asam piruvat merupakan reduktan yang terlibat langsung sebagai donor elektron dalam sistem nitrogenase (Madigan & Martinko 2000). Reaksi penambatan N2 yang terjadi di dalam bakteroid sebagai berikut : nitrogenase N2 + 8e + 8H+ + 16 MgATP --------------> 2NH3 + H2 + 16 MgADP + 16 Pi Enzim nitrogenase menggunakan 16 ATP. Untuk mereduksi satu molekul N2 menjadi dua molekul NH3 dibutuhkan 12 ATP, 4 ATP selebihnya digunakan untuk mereduksi H+ menjadi H2. Ion Mg+ yang berikatan dengan ATP dibutuhkan agar nitrogenase dapat berfungsi. Selain dapat mereduksi ikatan rangkap tiga dari molekul N2 menjadi amonia, enzim nitrogenase dapat pula mereduksi molekul lain yang juga memiliki ikatan rangkap tiga seperti asetilen, sianida, nitrat oksida, dan metil isosianida (Somasegaran & Hoben 1995). Aktivitas nitrogenase akan terhambat apabila terdapat oksigen, namun oksigen juga diperlukan dalam respirasi aerob B. japonicum untuk menghasilkan ATP yang mendukung aktivitas nitrogenase. Adanya leghemoglobin yang terdapat dalam sitoplasma sel nodul dapat mengendalikan keadaan ini. Leghemoglobin mampu mengikat O2 dengan cepat sekaligus mengendalikan O2 pada taraf yang tidak mengganggu aktivitas nitrogenase (Madigan & Martinko 2000). 8 Efektivitas Simbiotik Simbiosis antara tanaman kedelai dengan bakteri simbion dalam penambatan nitrogen (N2) disebut efektivitas simbiotik. Efektivitas simbiotik diuji dengan beberapa cara, di antaranya dengan penetapan bobot kering tanaman, kandungan N total dan aktivitas nitrogenase (Somasegaran & Hoben 1995). Cara yang paling sederhana dalam menguji efektivitas simbiotik ialah dengan penetapan bobot kering tanaman. Bobot kering tanaman masih relevan digunakan untuk mengevaluasi efektivitas suatu galur bakteri bintil akar. Hal ini karena bobot kering tanaman berkorelasi nyata dengan kandungan N total. Bobot kering tanaman yang dipakai sebagai parameter untuk mengevaluasi penambatan N2 ialah tanaman bagian atas karena pada dasarnya 70% hasil penambatan tanaman ditranslokasikan ke tanaman bagian atas. Bobot kering tanaman biasanya sangat berkorelasi dengan bobot kering bintil akar (Somasegaran & Hoben 1995). Kedelai Toleran Asam Kedelai varietas Slamet merupakan hasil persilangan antara varietas Wilis dan Dempo. Biji varietas ini memiliki kadar lemak 15% dan kandungan protein 34%. Karakteristik varietas ini memiliki tinggi tanaman 65 cm, bunga berwarna ungu, warna biji kuning, kulit polong masak berwarna coklat, bulu juga berwarna coklat. Tipe tumbuh determinan, mulai berbunga pada umur 37 hari setelah tanam dan polong masak pada umur 87 hari setelah tanam. Keunggulan varietas ini yaitu sesuai untuk tanah asam, tahan rebah, cukup tahan terhadap penyakit karat, dan produksi di tanah tidak asam dapat mencapai 2,26 ton/ha (Somantri et al. 2003). Bahan Pembawa Secara tradisional gambut didefinisikan sama dengan turf yang merupakan jaringan tanaman yang terkarbonisasi sebagian dan terbentuk pada kondisi basah, melalui proses dekomposisi berbagai tumbuhan dan lumut-lumutan. Tanah gambut biasa juga didefinisikan sebagai tanah yang mempunyai bahan organik lebih dari 65 % (Andriesse 2003). 8 Komposisi kimiawi bahan-bahan gambut dipengaruhi terutama oleh vegetasi asal, derajat dekomposisi, dan lingkungan kimiawi asal. Kandungan senyawasenyawa yang larut air, terutama polisakarida, gula-gula tunggal (mono-sugar), dan beberapa tanin biasanya bervariasi di antara 5-10% tergantung pada tahap dekomposisi. Gambut-gambut hutan tropika mempunyai jumlah lignin serta derivat lignin yang cukup besar. Nilai sebesar 75% untuk gambut dataran rendah pesisir Indonesia adalah nilai yang sering terjadi, dan nilai yang sama (56-73%) ditemukan di Malaysia. Di dalam gambut terdapat juga senyawa organik yang mengandung nitrogen yang jumlahnya kecil kalau dibandingkan fraksi-fraksi lain, dan kebanyakan bersifat protein (Andriesse 2003). Nilai karbon organik sebesar 48 - 50% pada gambut yang terdekomposisi sedikit (fibrik), 53 - 54% pada gambut yang terdekomposisi sedang (mesik), dan 58 - 60% pada gambut yang sangat terdekomposisi (saprik). Persentase nitrogen gambut berkisar antara 1,53 – 2,87%. Kandungan nitrogen pada lapisan permukaan gambut-gambut dalam, umumnya lebih tinggi dibanding pada gambutgambut dangkal. Kandungan fosfor total pada gambut-gambut yang ada di Indonesia sekitar 0,006%. Beberapa tanah gambut terkenal karena kandungan belerang yang tinggi (Andriesse 2003). Tanah Asam Tanah asam didefenisikan sebagai tanah mineral yang mempunyai reaksi tanah asam (pH < 5,5) dan nilai kejenuhan basa (KB) < 50%, dan khususnya yang berada pada lahan kering. Tanah-tanah asam tersebut umumnya termasuk ordo Ultisol, Oxisol, Spodosol, sebagian Entisol dan Inseptisol yang berkembang di daerah beriklim basah dengan curah hujan tinggi (Setyorini et al. 2004). Tanah yang bersifat asam mengandung kation-kation kalsium, magnesium, kalium atau natrium yang rendah, disebabkan unsur-unsur tersebut dibawa aliran air ke lapisan tanah yang lebih bawah (pencucian) atau hilang diserap tanaman. Di Indonesia, pH tanah umumnya berkisar antara 3,0 - 9,0, tetapi untuk daerah rawa seperti tanah gambut ditemukan pH di bawah 3,0 karena banyak mengandung asam sulfat (Hafsah 2004). 10 Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Pada pH di bawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn, dan Fe. Sumber utama ion-ion H pada tanah asam sedang – kuat, seperti Ultisol, berasal dari hidrolisis Al yang menghasilkan pH 4,0 – 5,5 (Hanafiah 2005). Teknologi pengelolaan lahan kering dengan tanah asam untuk tanaman pangan dan tanaman perkebunan dapat didekati dari dua aspek : (1) aspek tanah dan air yang bertujuan memperbaiki lingkungan tumbuh tanaman dengan kondisi air dan hara yang cukup (pemupukan N, P dan K secara berimbang, pengelolaan bahan organik, pemberian pupuk hayati dan irigasi suplemen, serta menekan tingkat kejenuhan Al), serta (2) aspek tanaman yang bertujuan memilih varietasvarietas tanaman yang toleran yang sesuai dengan kondisi biofisik lahan. Pengembangan varietas tanaman yang toleran terhadap keasaman dapat dilakukan baik secara alami (pemuliaan tanaman) maupun rekayasa genetika (Setyorini et al. 2004). Beberapa tanaman pangan memiliki tingkat toleransi/kepekaan yang berbeda terhadap tingkat keasaman tanah. Tanaman yang memiliki tingkat kepekaan yang rendah adalah kedelai dan kacang-kacangan lainnya diikuti dengan jagung serta padi maupun ubi kayu, tanaman tersebut masih mampu berproduksi dengan baik pada tingkat kejenuhan Al di atas 40%. Berdasarkan hasil penelitian dari Badan Litbang Pertanian menginformasikan bahwa varietas kedelai unggul seperti Leuser dan Kawi tergolong agak tahan penyakit karat dan sesuai untuk dikembangkan pada tanah asam (Hafsah 2004). 10