1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...nalika

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
...nalika dheweke wiwit srawung karo para ibu-ibu saka kalangan dhuwur
kang kudune diajeni, nanging malah ngasorake dhiri kanthi ninggal bot
repote bale somah. Luru kabebasan nguja hawa nefsu, nuruti karepeng
setan. Sing mesti ora nate etung lan angon wayah. Kaping pira aku
kandha yen aku ora seneng, nanging Yulia wus kadhung ora bisa
kepenggak.(Pratiwi, 2001:30)
... ketika ia mulai berteman dengan para ibu-ibu dari kalangan elite yang
seharusnya terhormat, tetapi justru merendahkan diri dengan
meninggalkan repotnya urusan rumah tangganya. Memburu kebebasan
memuja hawa nafsu, mengikuti keinginan setan. Pastinya tidak
diperhitungkan dan mengenal waktu. Berapa kali aku mengatakan kalau
aku tidak suka, tetapi Yulia sudah terlanjur tidak bisa dicegah. (Pratiwi,
2001:30)
Kutipan di atas menunjukan bahwa persoalan perempuan masih terus
menerus menjadi perdebatan, sekalipun para perempuan tengah ber-euforia atas
keberhasilan gerakan feminismenya. Hal itu dikarenakan persoalannya selalu
direproduksi, dan salah satu yang mereproduksinya adalah melalui sastra. Kutipan
di atas juga menggambarkan masyarakat belum sepenuhnya menyetujui gagasan
gerakan feminisme. Gagasan tersebut adalah kesetaraan bagi perempuan. tidak
hanya itu, gerakan ini juga menyerukan gagasan bahwa perempuan tidak hanya
berada ranah domestik akan tetapi mereka sepenuhnya dapat masuk ke dalam
ranah publik. Ketidaksetujuan masyarakat mengenai gagasan feminisme tersebut
1
2
dikarenakan perempuan masih dianggap memiliki peran yang jauh lebih
utama yakni menjadi ibu. Kemudian konsep ibu tersebut terus direproduksi dalam
sastra.
Misalnya dalam sastra Jawa, konsep ibu tersebut direproduksi melalui
novel. Akan tetapi, sastra Jawa itu sendiri tidak otonom dari konteks Indonesia
secara sastra, dalam konteks sastra, budaya, sosial, politik dan seterusnya. Hal
tersebut menunjukan bahwa sastra Jawa dan sastra Indonesia selalu beriringan.
Dalam konteks Indonesia, konsep ibu tersebut juga telah diredefinisi sedemikian
rupa. Sebagai contoh adalah Azimah Rahayu dengan cerpen yang berjudul Jiwaku
adalah wanita (2003). Dalam cerpen tersebut Azima Rahayu menggambarkan
sosok Rima, perempuan yang memiliki karir yang sukses. Pekerjaan dan posisinya
di kantor sangat diperhitungkan oleh pimpinannya. Kemudian pengarang lain
yakni Korri Layun Rampan dengan novelnya Api Awan Asap. Mereka
menuangkan gagasannya mengenai konsep perempuan yang mandiri dan telah
leluasa mengaktualisasi dirinya dan kebebasannya sehingga konsep perempuan
sebagai ibu menjadi kabur. Dalam hal ini wanita digambarkan sebagai wanita
karir yang bebas mengaktualisasikan diri mereka pada ranah publik.
Seperti halnya pada sastra Indonesia, sastra Jawa juga memiliki konsep ibu
yang direproduksi melalui novel. Sebagai contoh, salah satu pengarang Jawa
yakni Suparto Brata yang berpendapat dalam (Untoro, 2006:70), bahwa ibu adalah
orang yang tegar sebagai soko guru keluarga, berani berjuang dan rela berkorban
demi kelangsungan hidup keluarga dan anak-anaknya. Dalam setiap novel
3
karyanya, ia memiliki tokoh perempuan yang merepresentasikan gagasangagasannya. Tokoh-tokoh wanita tersebut antara lain, Raden Ajeng Kuntarti yang
diceritakan sebagai ibu yang lemah lembut dan selalu memberikan nasehatnasehat tentang kehidupan kepada anak-anaknya. Kemudian tokoh nenek Jidan
digambarkan sebagai sosok ibu yang lemah lembut, penyayang, berbudi pekerti
luhur yang selalu membawa nilai-nilai luhur kehidupan keraton. Penceritaan
sosok ibu oleh Suparto Brata digeser menjadi sedikit berbeda pada tokoh
Raminem. Tokoh Raminem ini digambarkan sebagai sosok ibu yang gigih bekerja
di ranah publik yang turut memberi kontribusi dalam keluarga. Pergeseran
tersebut terjadi pula di era pasca 1990 yakni oleh Astuti Wulandari. Melalui
karya-karyanya yang berupa cerkak atau cerpen, ia menceritakan mengenai wanita
Jawa yang lebih mementingkan karir. Setiap pengarang mempunyai pendapat
yang berbeda mnegenai konsep perempuan ideal. Pengarang Jawa telah banyak
menggambarkan mengenai konsep perempuan ideal. Konsep ideal terus mengikuti
kaum perempuan, baik perempuan lajang maupun perempuan yang telah menjadi
ibu atau istri. Masyarakat selalu mempunyai konsep ideal mengenai ibu atau istri.
Sosok ibu ideal pada awalnya dikonstruksikan menjadi perempuan yang
melahirkan dan mengurus urusan rumah tangga atau dapat dikatakan bahwa
perempuan diposisikan hanya berada pada ranah domestik. Sosok ibu dalam ranah
domestik dalam hal ini dihubungkan dengan peran perempuan di dalam rumah.
Peran tersebut terjadi tidak lepas dari bentukan konstruksi sosial. Peran
perempuan dalam ranah domestik itu sendiri dibedakan menjadi dua yaitu peran
menjadi ibu dan peran menjadi istri. Didalam keluargalah perempuan bisa
4
menjalankan peranannya sebaga istri yang mencakup sikap hidup yang mantap,
bisa mendampingi suami dalam situasi bagaimanapun juga, disertai dengan kasih
sayang, kecintaan, loyalitas dan kesetiaan kepada suami (Kartono, 1992:7).
Adapun konsep perempuan Jawa menurut Muniarti dalam (Kurniati,
2008:9), disebutkan bahwa seorang istri harus setia pada suami, rela dimadu,
mencintai sesama, terampil pada pekerjaan perempuan, pandai berdandan dan
merawat diri, sederhana, pandai melayani kehendak suami, menaruh perhatian
kepada mertua dan gemar membaca buku-buku yang berisi nasihat. Peran
berikutnya adalah perempuan menjadi ibu. Peran ibu ini menempatkan perempuan
di rumah untuk menjaga, memelihara dan merawat rumah, menyediakan makanan
untuk suami, merawat anak yang lahir dari hasil perkawinannya, serta menjaga
kehormatan suami. Perempuan sebagai ibu hanya boleh mengerjakan pekerjaan
yang bersifat domestik saja, sedangkan pekerjaan yang bersifat publik menjadi
kewenangan pihak suami.
Ruang publik merupakan ruang yang dapat digunakan sosok ibu untuk
mengaktualisasikan diri. Berdasarkan pemahaman tersebut untuk berada di ruang
publik, sosok ibu dapat bekerja, menikmati kehidupan sosial, mengikuti
pendidikan formal ataupun non formal yang dapat digunakan untuk menambah
wawasan atau sudut pandang, sehingga mampu menjadi sosok yang mandiri dan
berwawasan dengan begitu perempuan mampu setara dengan laki-laki. Publik
sebagai tempat untuk mencari identitas baru bagi dirinya yaitu tidak sebagai istri
dan ibu tetapi juga sebagai wanita karir.
5
Ibu juga diharuskan memiliki sifat tanggung jawab. Tanggung jawab
adalah suatu keadaan wajib menanggung sesuatu. Jika sesuatu telah menjadi
tanggung jawab seseorang, yang bersangkutan harus melaksanakan atau wajib
menjaga tanggung jawabnya. Seorang ibu harus bertanggung jawab pada tugasnya
yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Sejauh ini sosok Ibu yang
lemah lembut, pandai mengurus suami, anak dan rumah tangga telah
dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Julia Suryakusuma adalah salah satu
tokoh yang berbicara mengenai paham ibuisme.
Pada awalnya Julia Suryakusuma (2011:5) menggambarkan, bahwa
konsep ibu di negara Indonesia ini lebih dari sekedar penekanannya kepada
keibuan biologis. Sekalipun tidak memiliki anak, perempuan yang memiliki
kedudukan sosial yang penting atau terhormat, perempuan yang memiliki
keahlian, perempuan kaya, perempuan yang memiliki keahlian mengobati atau
kekuatan spiritual, perempuan asing, dan perempuan tua bisa disebut “ibu”.
Suryakusuma kemudian memberikan gagasannya mengenai ibuisme negara itu
sendiri, (Suryakusuma, 2011:10), ibuisme negara diartikan sebagai ideologi jender
yang menciptakan stereotip kaku-baku dan bersifat sangat membatasi karena
tujuannya memang untuk mengontrol dan menciptakan suatu tatanan yang
hirarkis. Ibu yang ideal dalam paham ibuisme yakni kaum perempuan harus
melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat dan negara, (Suryakusuma,
2011:11).
6
Sifat keibuan menjadi sangat penting, hal tersebut dikarenakan adanya
anggapan bahwa perempuan adalah pilar bangsa. Anggapan tersebut tidak
berlebihan jika dipandang dari segi perempuan yang melahirkan seorang anak.
Maka akan terjalin kedekatan antara ibu dan anak secara alami. Dalam hal ini
peran ibu menjadi besar sebagai pendidik. Berdasarkan didikan tersebut baik
mengenai pendidikan moral dan kepribadian seorang anak maka akan tercipta
anak-anak yang bermoral yang sangat bermanfaat dalam pembangunan negara.
Pembicaraan mengenai sosok perempuan dalam peran sebagai ibu secara jelas
juga tergambar dalam dunia imajiner. Hal tersebut terjadi karena pengarang
adalah bagian dari masyarakat dan besar kemungkinan pengarang menyaksikan
atau bahkan mengalami sendiri. Hal tersebut berlaku kepada semua pengarang
tanpa terkecuali pada pengarang sastra Jawa.
Salah satu penulis sastra Jawa bernama Margaret Widhy Pratiwi termasuk
pengarang yang kerap menciptakan realitas yang unik dalam setiap karya
sastranya.M.G. Widhy Pratiwi lahir tanggal 27 Desember tahun 1961. Putri
pasangan S. Cipto Setiyono (kelahiran Magelang, 1935) dan Sri Kasiyah ini
menyelesaikan pendidikan di Yogyakarta, yakni SD Kanisius Wirobrajan (1974) ,
SLTP Pangudiluhur I (1977), dan SMA Marsudi Luhur (1981). la tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena setelah tamat SMA,
ia kemudian menikah dengan Anthon Ys Taufan Putra. Kemudian mereka
ikaruniai tujuh orang anak (3 laki-laki, dan 4 perempuan). Bersama keluarga,
Widhy tinggal di jalan Nitiprajan RT 02/20 No. 42 D, Ngesti Harjo, Yogyakarta
7
55182. Pratiwi mengikuti Crash Program Pendidikan Guru TK di SPG II
Yogyakarta (lulus tahun 1984).
Sejak kecil Widhy gemar membaca (cerita anak-anak, cerita wayang,
komik, dan lain-lain). Ia memulai karir kepengarangannya pada tahun 1981, saat
ia kelas III SMA. Karya pertamanya adalah cerkak yang berjudul “Gerimis
Wanci Surup”, dimuat Kandha Raharja pada tahun 1982. Karangan Widhy
tidak terbatas pada sastra Jawa, tetapi juga sastra Indonesia. Cerpen “Merahnya
Darah Merahnya Cinta” menembus mingguan Kartika (Harian Angkatan
Bersenjata) Semarang (1981). Karya – karyanya yang berjenis cerbung, cerpen,
dan artikel tentang sastra, kewanitaan, dan ilmu pengetahuan lain dimuat
diberbagai majalah dan surat kabar (Mekar Sari, Jaya Baya, Kandha Raharja,
Dharma Nyata, Putra Kita, Simponi, Gatot Kaca, Nova, dan lain-lain).
Dalam karya-karya itu ia seringkali menggunakan nama samaran MG.
Widhy Pratiwi, Emge Widhy Pratiwi, Aprodety (nama anak sulungnya) Tiwy
Emge, dan Endang Bratajaya. Margareth adalah seorang ibu rumah tangga,
mengasuh anak-anaknya sudah menjadi kewajibannya, meskipun demikian ia
masih menambah kegiatan yaitu terjun dan aktif dengan ibu-ibu PKK di tempat
tinggalnya. Sebagai seorang yang aktif MG. Widhy Pratiwi memiliki kegemaran
membaca, hal ini untuk menambah pengalaman dan pengetahuannya. Buku-buku
yang dibacanya tidak hanya mengenai sastra saja melainkan juga buku-buku
tentang ilmu pengetahuan.
8
MG. Widhy Pratiwi merupakan pengarang terhitung sangat produktif, hal
ini terlihat dari jumlah karya-karyanya yang telah mengalami cetak ulang serta
telah penerbitan cerita baru selama kurang lebih selama dua puluh tahun terakhir
ini telah mencapai sekitar 350 judul buah karyanya. Karya MG Widhy Pratiwi
tersebut berupa karya sastra maupun artikel. Sebetulnya kegemaran MG Widhy
Pratiwi akan tulis menulis ini dimulai sejak kelas 6 SD, namun bidang tulis
menulis tersebut ditekuninya secara serius pada tahun 1981 atau pada waktu kelas
tiga SMA. Pada tahun 1982 untuk pertama kali karyanya dimuat di surat kabar
Kandha Raharja terbitan kola Yogyakarta. Karya tersebut berbentuk cerita pendek
berjudul Gerimis Wanci Surup. Kegiatan menulis tidak terbatas dalam bahasa
Jawa saja akan tetapi juga dalam bahasa Indonesia. Tulisannya berbentuk cerita
pendek, cerita bersambung, dan artikel tentang kewanitaan dan sastra.
Margareth Widhy Pratiwi adalah bagian dari masyarakat. Masyarakat
adalah sebagai objek gagasan pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra.
Melalui karya sastra pengarang mengungkapkan gambaran kehidupan masyarakat
yang diketahui, sehingga keterkaitan antara pengarang, karya sastra, dan
masyarakat dapat dipahami lewat hasil karyanya. Oleh karena itu hasil karyanya
menyuguhkan gambaran sosial budaya yang ada dalam masyarakat, maka sudah
sewajarnyalah jika dalam mengarang, Pratiwi mengambil objek masyarakat juga.
Masyarakat dan segala aktivitusnya itulah yang menjadi gagasan pengarang dalam
menghasilkan sebuah karya sastra. Margareth Widhy Pratiwi adalah seorang
pengarang yang lahir dan besar di Yogyakarta sebagai pusat kebudayaaan Jawa. la
hidup
di tengah-tengah keluarga Jawa, maka sudah sewajamyalah jika
9
mempunyai pandangan dan falsafah hidup menurut masyarakat Jawa. Latar
kehidupan sehari-hari serta realita-realita yang selalu dilihat dan dialami dalam
masyarakatnya mampu menjadikan ide atau tema dalam karya-karyanya.
Karya-karya Pratiwi yang telah mendapatkan penghargaan atau telah
mendapatkan kejuaraan adalah (1) Sunduk gunting Tatu Loro, berbentuk cerita
cekak (cerkak). Sebagai juara I Balai Bahasa dan P&K Daerah IstimewaYogyakarta, tahun 1982 dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, (2) BurungBurung Gereja, berbcntuk Cerpen. Sebagai 10 besar karya terbaik lomba
penulisan dalam rangka “Lingkungan Hidup” yang diadakan oleh Harian
BeritaNasional Yogyakarta,(3) Langite Isih Biru berbentuk Cerkak. Sebagai juara
harapan 1, Keluarga Penulis Semarang (KPS), tahun 1983. (4) Mulih, berbcntuk
Cerkak. Sebagai juara II, Balai Penelitian Yogyakarta dan P & K. Daerah
Istimewa Yogyakarta, tahun 1984 dalam rangka Hari Pcndidikan Nasional. (5)
Kamar Pengantin, berbentuk Cerita Bersambung (Cerbung). Mendapatkan
penmghargaan Sastra Dasa Warsa “Sanggar Triwida” Tulung Agung Tahun 1990
(Periode I Tahun 1985-1990). (6) Sumunaring Lintang. Berbentuk cerkak,
mendapatkan penghargaan lomba Cipta Cerpen dan Puisi Oleh Taman Budaya
Yogyakarta tahun 1991. (7) Pramudani berbentuk novel sebagai juara 11 dari
Sanggar Sastra Jawa Timur “Triwida” tahun 1995. (8) Kinanti berbentuk novel
bahasa Jawa sebagai pemenang juara I Lomba novel yang diadakan oleh Taman
Budaya Yogyakarta. Tahun 2000.
10
Kemudian karya Margareth Widhy Pratiwi yang berbentuk cerpen antara
lain, (1) Catetan Desember berbentuk cerpen diterbitkan oleh Djoko Lodang
1985-1997, (2) Parang, Kedaulatan Rakyat Minggu Pon 18 April, (3) LintangLiniang Natal dimuat oleh Djoko Lodang No.745, 27 Desember 1986, (4) Saur
dimuat dalam Majalah Kandha Raharja, 17 Februari 1995. Karya-karya yang
berupa isei bernuansa didaktis antara lain, (1) Perlune Cita-cita Bocah dimuat
dalam Majalah Kandha Raharja tahun 1985-1987, (2) Basa basi Tumrap Bocah
Apa Perlu, dimuat dalam Majalah Kandha Raharja tahun 1985-1987, (3) Nyilih
Barang Aja Nyerikake Ati dimuat dalam Majalah Kandha Raharja 25 September
1990, (4) Aja Seneng Purik. Dimuat dalam Majalah Kandha Raharja 3 Mei 1987,
(5) Yen Ana Tamu Rawuh Bocah Kok Aleman dimuat dalam Majalah Kandha
Raharja 13 Februari 1987, (6) Menehi Pitutur Srana Dongcng dimuat dalam
Majalah Kandha Raharja 8 Mei 1987, (7) Rekreasi Iku Perlu Kanggo BocahBocah dimuat dalam Majalah Kandha Raharja, 1985-1987 (8) Emansipasi Sing
Kepiye dimuat dalam Majalah Kandha Raharja (1985-1987), (9) Pendidikan
Tumrap Bocah Bisa Diwulangake ing Ngendi Wae dimuat dalam Majalah
Kandha 1985-1987, (10) Ngajari Ngomong Marang Bocah dimuat dalam Majalah
Kandha Raharja 1985-1987, (11) Mbentuk Kapribadene Bocah dimuat dalam
Majalah Kandha Raharja 14 Desember 1990. Karya-karya yang berupa ontologi
antara lain, (1) Antologi puisi, cerpen, esai taman Sari tahun 1998. (2) Antologi
Cerpen Jawa Niskala, terbitan Keluarga Sastra Jawa IKIP Yogyakarta tahun 1993,
(3) Antologi
Cerpen
Surabaya tahun 1993.
Jawa
Mutiara
Sagegem
terbitan
Puspa
Pustaka
11
Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa salah satu novel karya
Margareth Widhy Pratiwi mengandung realitas mengenai ibu. Novel tersebut
adalah novel berbahasa Jawa yang berjudul Kinanti. Novel Kinanti ini berhasil
memenangkan perlombaan penulisan Novel Sastra Jawa yang diselenggarakan
oleh Taman Budaya Yogyakarta pada tahun 2000. Novel Kinanti ini dianggap
menandai masih eksisnya karya sastra Jawa modern. Novel ini menjadi pemenang
dalam sayembara tersebut karena pengarang mampu mengangkat tema yang pada
awalnya sangat biasa dan umum yakni tentang keluarga menjadi tidak biasa. Hal
tersebut karena pengarang novel Kinanti ini adalah salah satu pengarang
perempuan yang menyuarakan gagasannya mengenai peran perempuan yang
dianggap lebih utama oleh masyarakat yakni ibu.
Sebagai sebuah pemahaman saja bahwa pada tahun sebelum novel Kinanti
ini diterbitkan, telah banyak para pengarang perempuan maupun laki-laki yang
telah berbicara mengenai emansipasi dan kesetaraan yang berhasil diperoleh para
perempuan. Pengarang-pengarang tersebut antara lain adalah Korrie Layun
Rampan, Purwamadi Admadipura, Suparto Brata, Azimah Rahayu, dan lain-lain.
Sedangkan novel Kinanti ini ditulis ketika dalam sastra Indonesia telah tejadi
peredefinisian tentang perempuan telah direproduksi. Akan tetapi mengapa novel
Kinanti masih melanggengkan ibuisme ketika telah terjadi peredefinisian
perempuan baik pada sastra Indonesia maupun pada sastra Jawa. Sehingga hal
tersebut menimbulkan pertanyaan, mengapa Margareth Widhy Pratiwi berbicara
kembali mengenai paham ibuisme sedangkan hal tersebut telah lama ditinggalkan
12
oleh masyarakat modern yang sudah mengenal konsep kesetaraan. Ibu yang
seperti apakah yang direpresentasikan dalam novel Kinanti?.
Adapun alasan Novel Kinanti dijadikan sebagai objek material dalam
penelitian ini didasarkan pada hal sebagai berikut; menurut peneliti, novel
Margareth yang paling ekspresif berbicara mengenai ibuisme. Keekspresifan dan
keunikan ceritanya adalah karena Margareth menghadirkan perempuan sebagai
ibu yang selalu aktif pada ranah publik tanpa menghirukan peran domestiknya.
Hal itu digambarkan bertentangan dengan lingkungan sosialnya. Maka konsep
ibu yang ditawarkan oleh Margareth Widhy Pratiwi terepresentasikan dalam novel
Kinanti ini selebihnya akan dianalisis menggunakan teori Ibuisme.
1.2 Masalah Dan Rumusan Masalah
Fenomena sosial dalam masyarakat menunjukan bahwa perempuan tidak
serta merta bisa mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Kaum laki-laki
hanya fokus bekerja mencari nafkah di luar rumah sedangkan perempuan
mengurus rumah tangga dan bekerja di luar rumah. Sehingga hal itu membuat
perempuan yang telah berumah tangga justru memiliki peran ganda. Realitas
kesenjangan posisi perempuan dengan peran ganda meyebabkan terjadinya
stereotipe (pelabelan negatif) pada perempuan. Perempuan yang bekerja di luar
rumah dan mengabaikan urusan tumah tangga dianggap sebagai sebuah tindakan
yang tidak lazim. Hal tersebut karena masyarakat menganggap kaum perempuan
13
mempunyai peran yang jauh lebih penting yakni menjadi seorang ibu yang ideal.
Dengan hadirnya persoalan tersebut dalam karya sastra, permasalahan tersebut
dapat direfleksasikan karena dianggap dapat memediasi permasalahan di dunia
nyata yang tersepresentasikan dalam karya sastra. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah
1. Konsep ibu yang seperti apakah yang direpresentasikan dalam novel
Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi?
2. Mengapa Margareth Widhy Pratiwi masih melanggengkan ibuisme
dalam novel Kinanti?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian dalam novel Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi ini
diharapkan dapat digunakan sebagai prespektif yang baru dalam memahami
fenomena dan menjelaskan aktivitas wanita yang tertuang dalam novel tersebut
dalam kontekstal dalam perbedaan-perbedaan situasi kultural, perubahan sistem
politik dan sistem nilai sosial secara historis. Penelitian ini juga digunakan dalam
melengkapi baerbagai bentuk kajian wanita dalam karya sastra.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat yakni teoritis dan praktis. Manfaat
teoritisnya adalah melakukan penelitian ibuisme yang diterapkan dalam suatu
penelitian dimana nantinya akan memberikan kontribusi bagi perkembangan teori
feminisme. Penelitian yang dilakukan menggunakan teori ibuisme ini masih
14
jarang dilakukan, karena kebanyakan masih menggunakan teori dasar feminisme
yakni mengenai persoalan perlawanan demi kesetaraan gender. Manfaat
praktisnya adalah menambah referensi pembaca dalam melakukan penelitian yang
dianalisis melalui kacamata ibuisme sehingga dapat memperkaya pengatahuan
pembaca.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai Ibuisme ini masih sangat
sedikit. Penelitian feminisme yang berkaitan dengan gender kebanyakan adalah
mengenai citra perempuan. Adapun penelitian berupa skripsi yang memiliki
keterkaitan dengan penelitian konstruksi ibuisme adalah penelitian Victa Etriany
yang berjudul “Citra ibu dalam lirik lagu “Ibu”, “Bunda”, dan “Siapa Bilang”:
Kajian Kritik Sastra feminisme”. Penelitian ini ditulis pada tahun 2012 di
Universitas Gadjah Mada, berisi tentang bagaimana ibu dicitrakan dalam lirik
lagu.
Penelitian lain yang menjadi referensi bacaan dalam penelitian ini adalah
tesis yang disusun oleh Chrisna Putri Kurniati pada tahun 2008 di Universitas
Gadjah Mada yang berjudul “Citra Perempuan dalam Novel Sinden karya
Purwamadi Admadipura, sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis”. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Kurniati (2008) bertumpu pada masalah citra perempuan
dalam novel Sinden, mengangkat gender dalam kaitannya dengan kekuasaan
dunia patriarki yang masih mendominasi kehidupan masyarakat Jawa dengan
menampilkan potret sosial yang berlatar alam pedesaan. Konsep citra perempuan
15
dalam budaya Jawa yang bertolak pada budaya patriarki adalah makhluk yang
halus, lemah dan dan lembut. Oleh karena itu, laki-laki menganggap perempuan
cukup berdiam di rumah saja, mengurus dapur dan mengurus anak sehingga tidak
perlu ikut campur di luar rumah. konsep tersebut dalam tradisi budaya Jawa
menyebutkan perempuan sebagai kanca wingking, “teman belakang” yang
tugasnya olah-olah, umbah-umbah, mengkuep mlumah, lan momong bocah.
Tugas domestik yang diperankan perempuan adalah bentuk pengabdian seorang
perempuan sebagai istri. Selain itu, citra perempuan sebagai istri yang dituntut
setia kepada suami membuat perempuan semakin terpuruk pada posisi sebagai
pelayan suami. Situasi tersebut menjadi faktor lahirnya berbagai bentuk kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan pelacuran.
Apabila dalam keluarga dan masyarakat diakui adanya persamaan hak dalam
pendidikan,
kebebasan
untuk
mengeluarkan
pendapat,
dan
menentukan
kehidupannya sendiri maka perempuan dapat tampil sebagai pemimpin,
pemberani, dan bertanggung jawab.
Selanjutnya, penelitian yang lain berupa tesis dengan judul, Citra
Perempuan Dalam Prespektif Gender: Tinjauan Kritik Sastra Feminis Terhadap
Novel Api Awan Asap, Bunga dan Upacara Karya Korrie Layun Rampan.
Pennelitian ini membahas mengenai citra diri perempuan dan citra sosial
perempuan yang dibentuk oleh idiologi yang diyakini oleh laki-laki dan
perempuan. citra diri perempuan dapat dilihat dari karakteristik biologis dan
karakter psiologis. Pada karakteristik biologisnya, peremuan masih dicitraka
sebagai makhluk yang lekat dengan keindahan dan kelembutan serta kelemahan
16
dan ketidakberdayaan. Sehingga perempuan dijadikan objek seks bagi laki-laki.
Sementara itu, karakter psikologis perempuan menunjukan adanya dinamisasi,
yaitu dari karakter yang penurut, perasa, setia dan ingin diayomi. Dalam
penelitian ini, perempuan diposisikan sebagai istri dan sebagai ibu. penggambaran
citra perempuan yang telah dikemukakan tersebut memperlihatkan adanya
keseimbangan, antara citra yang cenderung ditampilkan negatif akibat adanya
ideologi patriarki menjadi citra yang lebih positif dengan adanya kesadaran
gender.
Penelitian berupa skirpsi dengan objek penelitian novel Kinanti adalah
penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah, program studi bahasa dan
sastra Jawa dari Universitas Muhammadiyah Purworejo. Penelitian tersebut
berjudul, Analisis struktur objektif novel Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang (1) aspek struktur objektif
dalam novel Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi; (2) kandungan nilai-nilai
budi pekerti dalam novel Kinanti Karya Margareth Widhy Pratiwi; dan (3)
hubungan antar unsur dalam novel. Objek penelitian dalam skripsi ini yaitu novel
Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi, kandungan nilai budi pekerti tokoh
dalam novel Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi, dan hubungan antar unsur
dalam novel. Subjek penelitiannya adalah novel Kinanti karya Margareth Widhy
Pratiwi. Sumber data dalam skripsi ini yaitu berasal dari novel Kinanti karya
Margareth Widhy Pratiwi. Intstrumen penelitian dalam hal ini yaitu buku-buku
teori tentang kajian struktural novel dan novel Kinanti. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik studi kepustakaan dan metode deskripsi. Teknik analisi data
17
menggunakan metode analisis isi. Hasil penelitian yaitu, sebagai berikut; (1) tema
ketidakharmonisan dalam keluarga Sujarwo. Tokoh utamanya yaitu Kinanti,
pelaku tambahan yaitu Yulia, Sujarwo, Sumpana, Kelik, Lik Semi, Boy, Pak
Aminoto, Bu Aminoto, Hapsari, Widarini dan Dhik Imam. Latar terbagi dalam
tiga jenis, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Gaya bahasa
menggunakan gaya bahasa simile, personifikasi, meafora, ironi dan hiperbola.
Sudut pandang menggunakan sudut pandang orang pertama. (2) nilai budi pekerti
yang terkandung dalam novel Kinanti antara lain: penyabar, pemaaf, pemberani
dan egois. (3) hubungan antar unsur yaitu hubungan tema dengan tokoh,
hubungan tokoh dengan latar, hubungan alur dengan latar, hubungan alur dengan
tokoh dan penokohan, hubungan penokohan dengan sudut pandang, hubungan
tema dengan amanat dan hubungan tema dengan latar.
Penelitian yang berupa skripsi lainnya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Septi Isnaini Fica Fadilah pada tahun 2012, Universitas Negeri Semarang.
Penelitian tersebut berjudul, Suspense dalam novel Kinanti karya Margareth
Widhy Pratiwi. Cerita yang baik biasanya mengandung suspense yang kuat. Hal
tersebut bertujuan untuk menumbuhkan rasa ingin tau pembaca. Penelitian ini
bertujuan untuk menemukan suspense dalam novel Kinanti. Pertanyaan penelitian
pada penelitian ini adalah (1)bagaimana cara pengarang memunculkan suspense,
(2) hal-hal apa sajakah yang digunakan pengarang untuk memunculkan suspense
dalam novel Kinanti. Manfaat penelitiannya adalah dapat memberikan pengertian
dan gambaran mengenai suspense, sedangkan manfaat praktisnya adalah dapat
digunakan sebagai bahan ajar dalam proses pembelajaran di sekolah. Teori yang
18
digunakan dalam penelitian ini adalah teori alur dan suspense. Sasaran penelitian
adalah suspense dalam novel Kinanti.
Data yang digunakan dalam penelitian sebagai dasar penelitian adalah
peristiwa-peristiwa yang mengandung suspense dalam setiap bab dalam novel.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisi struktural semiotik
dengan menggunakan teknik baca catat. Hasil penelitiannya adalah (1) regangan
(toppings) yang lebih kuat di dalam cerita novel Kinanti, (2) sarana yang
digunakan pengarang ketika menghadirkan suspense di novel Kinanti, regangan
(toppings), susutan (droppings), padahan (foreshadowing).
Penelitian oleh Drs. Afendy Widayat yang berjudul “Budaya Kota dan
Perseorangan dalam Sastra Jawa Modern: Sebuah Studi Kasus Novel Jawa
Kinanti Karya Margareth Widhy Pratiwi”, penelitian ini di presentasikan pada
Konferensi Internasional Kesusastraan XVIII HISKI, pada tangal 6-9 Agustus
2007 di UI Jakarta. Pada penelitiannya tersebut ia menyoroti dan menjawab
permasalahan mengenai negatifnya budaya kota yang terepresentasi dalam novel
Kinanti. Pergaulan yang bebas di ranah publik menjadikan perempuan merasa
terbebaskan dari urusan domestik. Ia semakin memperluas pergaulannya. Akan
tetapi ia salah memilih lingkungannya untuk bergaul. Sehingga menjadikannya
terjerumus dengan narkoba dan kehidupan malam.
Penelitian yang dipaparkan di atas berkontribusi dalam memberikan
informasi bacaan dalam penelitian ini. Sepengetahuan peneliti, sejauh ini belum
19
ada yang membahas mengenai konsep ibuisme dalam penelitian. Kemudian
sejauh pengetahuan peneliti juga, bahwa belum ada penelitian mengenai novel
Kinanti karya Mg. Widhy Pratiwi yang berupa tesis. Melalui pembacaan yang
telah dilakukan oleh peneliti, terlihat bahwa konsep ibuisme terdapat dalam
penceritaan novel Kinanti ini. Sehingga dalam penelitian ini akan secara lebih
khusus memaparkan bagaimana ibuisme dikonstruksikan. Hal tersebut menjadi
salah satu perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain.
1.6 Landasaan Teori
1.6.1 Peran Gender
Berbicara mengenai gender maka terkadang juga dikaitkan dengan konsep
seks. Padahal gender dan seks mempunyai pengertian yang berbeda. Fakih
(2006:7-8) membedakan kedua konsep tersebut. Menurut Fakih, seks atau jenis
kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara
biologis, jenis kelamin tidak dapat dipertukarkan karena merupakan ketentuan
Tuhan. Gender itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu sifat laki-laki ataupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial ataupun kultural. Ciri sifat itu sendiri
merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat
terjadi dari waktu ke waktu. Menurut Fakih (2006:12) menjelaskan bahwa
20
perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender.
Menurut Suryakusuma (2012:163), konsep gender yang sudah populer di
Indonesia merupakan ekspresi psikologis dan kultrural dari seks yang sifatnya
biologis, menjadi peran dan perilaku sosial tertentu, yaitu perempuan di sektor
domestik dan laki-laki di sektor publik. misalnya, kelaziman perempuan memakai
gaun dan laki-laki memakai pantalon, perempuan bekerja di dapur/rumah dan
laki-laki di kantor, laki-laki membawa parang dan perempuan membawa bakul,
laki-laki boleh keluar malam dan perempuan tidak, dan seterusnya.
Peran gender berkaitan erat dengan pembentukan konstruksi masyarakat
tentang feminitas dan maskulinitas. Dalam perkembangannya, peran perempuan
dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh masyrakat ke dalam dua ranah yaitu,
publik dan domestik mempengaruhi kualitas feminitas dan maskulinitas
seseorang, terutama dalam diri perempuan. Setelah keberhasilan gerakan
feminisme yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki di ranah publik,
persoalan perempuan ternyata masih belum usai. Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa masalah yang terjadi di masyarakat, baik di dalam keluarga maupun di
luar. Pembicaraan mengenai perempuan dan masalah gender masih menjadi
wacana publik yang hangat.
Perempuan dan laki-laki tidak sama secara biologis. Perbedaan secara
biologis tersebut menyebabkan penentuan streotipe yang diilhami patriarki untuk
memposisikan perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah. Penentuan
21
streotipe menurut jenis kelamin itu merupakan faktor kuat bagi masyarakat dalam
mendidik anak laki-laki maupun perempuan. Proses demikian telah dimulai sejak
bayi hingga anak itu kelak menjadi dewasa. Hal tersebut merupakan gejala-gejala
yang berhubungan dengan sosial dan budaya. Sehingga gejala-gejala tersebut
sangat berkaitan dengan gender. Sebagai produk sosiokultural, gender mengenal
sistem hierarki yang menciptakan kelompok-kelompok yang saling bersaing untuk
mempertahankan kekuasaan masing-masing. Dengan kata lain gender merupakan
hasil interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin dan kemudian
tersosialisasikan dalam masyarakat. Gender tidak bersifat universal dan bervariasi
dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, dari waktu ke waktu dengan
perkembangan di dalam masyarakat itu sendiri. Melalui proses yang panjang,
sosialisasi perbedaan gender dan peran gender tersebut akhirnya seolah-olah
merupakan kodrat yang telah ditentukan Tuhan dan tidak dapat diubah lagi.
Konsep inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya persepsi masyarakat
terhadap kedudukan perempuan sekaligus menciptakan persepsi diri kaum
perempuan akan tuntutan peran gendernya.
Peran dan kesadaraan gender adalah bentukan sosial yang melekat pada
individu baik perempuan maupun laki-laki sedari kecil. Hal tersebut telah
ditanamkan dalam keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan terus
berkembang didalam sosiokultur masyarakat. Sebuah usaha untuk memelihara
konsep gender ini adalah berupa sanksi sosial. Sehingga, agar tidak terjadi
kesalahan atau pengabaian konsep gender ini, dibutuhkanlah sebuah kesadaran
baik dari laki-laki maupun perempuan. Kesadaran akan peran dan fungsinya
22
masing-masing sesuai karakter yang mereka miliki. Konstruksi feminitas dan
maskulinitas tersebut dengan sendirinya akan membentuk perempuan maupun
laki-laki dalam masyarakat yaitu tentang bagaimana mereka harus bersikap dan
peran apa yang harus mereka lakoni. Sikap dan peran mereka jalani adalah sesuai
dengan kesadaran mereka sendiri-sendiri.
1.6.2 Ibuisme
Kebanyakan persoalan ini menyangkut keadilan peran sosial antara lakilaki dan perempuan yang sepanjang sejarah manusia telah dikonstruksikan oleh
adat, budaya dan agama. Laki-laki berperan sebagai kepala keluarga yang
berkewajiban untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga. Sedangkan
perempuan sebagai istri yang melayani dan mengelola rumah tangga. Peran
tersebut ternyata masih menimbulkan polemik bagi perempuan. Pasalnya,
perempuan yang telah berkeluarga dan telah menjadi ibu akan dihadapkan dalam
pilihan yang sulit. Menjadi ibu rumah tangga atau menjadi wanita karier, atau
bahkan kedua-duanya. Pilihan-pilihan tersebut mempunyai dampak postif dan
negatif sendiri-sendiri. jika dilihat dari perannya, maka seorang perempuan
memiliki peran ganda, yakni menjadi istri dan menjadi ibu.
Banyak para pakar yang berbicara mengenai persoalan perempuan. Baik
persoalan mengenai perbedaan gender maupun peran peran perempuan. Julia
Suryakusuma adalah salah satu tokoh yang berbicara mengenai perempuan. Ia
berbicara mengenai konstruksi sosial keperempuanan di Indonesia. Melalui
23
teorinya yakni ibuisme, ia menjelaskan mengenai perbedaan perempuan sebagai
ibu dan sebagai ibu rumah tangga. Kemudian melalui ibuisme, ia menjelaskan
bagaimana perempuan diposisikan dalam keluarga dengan segala aturan yang
dikonstruksikan sejak lama.
Pada awalnya Julia Suryakusuma (2011:5) menggambarkan, bahwa
konsep ibu di negara Indonesia ini lebih dari sekedar penekanannya kepada
keibuan biologis, sekalipun tidak memiliki anak, perempuan yang memiliki
kedudukan sosial yang penting atau terhormat, perempuan yang memiliki
keahlian, perempuan kaya, perempuan yang memiliki keahlian mengobati atau
kekuatan spiritual, perempuan asing, dan perempuan tua bisa disebut “ibu”.
Suryakusuma juga berpendapat bahwa konstruksi keperempuanan di Indonesia
adalah ibuisme yang diwarnai unsur-unsur “pengiburumahtanggaan”.
Jika membicarakan mengenai “pengiburumahtanggaan” maka hal tersebut
menyiratkan nilai-nilai ekonomistis dan ibuisme lebih menyiratkan nilai-nilai
budaya. Dalam kedua konstruksi tersebut baik pengiburumahtanggaan atau
ibuisme, sama-sama memiliki kaitan erat dengan domestifikasi yang mempunyai
cakupan yang luas. domestifikasi mempunyai implikasi penjinakan, segregasi dan
depolitisasi kaum perempuan, Suryakusuma (2011:9). Keseluruhan proses
domestifikasi ini tentu bukan untuk kepentingan perempuan, tetapi demi mencapai
ketertiban, pembinaan dan stabilitas.
Suryakusuma (2011:10),
memberikan gagasannya mengenai ibuisme
negara itu sendiri, ibuisme negara diartikan sebagai ideologi jender yang
24
menciptakan stereotip kaku-baku dan bersifat sangat membatasi karena tujuannya
memang untuk mengontrol dan menciptakan suatu tatanan yang hirarkis.
Berdasarkan pengertian di atas secara tidak langsung terlihat memang mengarah
kepada domestifikasi yang lebih tepat memang untuk konteks masyarakat
Indonesia yang mempunyai sistem patriarki.
Pembangunan di Indonesia semakin kapitalis, ideologi gender yang
berkembang dipengaruhi oleh kondisi kapitalisme dan juga mengambil unsurr
“pengiburumahtanggaan”. Konstruksi sosial keperempuanan di Indonesia adalah
“ibuisme” yang diwarnai unsur-unsur “pengiburumahtanggaan”. Sehingga dapat
dikatakan bahwa konstruksi keperempuanan adalah gabungan dari unsur-unsur
“pengiburumahtanggaan” dan “ibuisme”. Guna memperjelas konsep ibu itu
sendiri, Julia Suryakusuma membuat pembeda terhadap keduanya.
a.
Pengiburumahtanggaan Sebagai Konsep Awal Ibu ideal
Menurut
Mies
(dalam
Julia,
2011:1),
istilah
housewifization
atau
pengiburumahtanggan dikaitkan dengan produksi dengan ideologi gender, dan
kerja produktif dengan kerja reproduktif. Lebih lanjut Mies (dalam Julia, 2011:1)
mengatakan bahwa mendefinisikan ibu rumahtangga secara sosial sebagai
pasangan dari definisi sosial kaum lelaki yang dianggap sebagai pencari nafkah,
tanpa melihat sumbangan nyata mereka pada kelangsungan hidup keluarga.
Dalam proses ini, kaum perempuan diberi peran sebagai ibu rumah tangga yang
dianggap “tidak produktif”, yang tergantung dan menjalankan rumah tangga
secara
“cuma-cuma”,
(Suryakusuma,
2011:1-2).
Pengiburumahtanggaan
25
menyiratkan nilai-nilai ekonomistis. Kaum wanita menegaskan kembali perannya
sebagai ibu rumah tangga dengan melibatkan diri dalam urusan domestik.
Peran perempuan, sebagai ibu rumah tangga tidak mungkin dilepaskan
dari dirinya meskipun mereka juga bekerja di luar rumah. Pengiburumahtanggaan
yang terjadi dalam institusi yang bernama “keluarga”, memiliki cara pandang
yang berbeda-beda tentang peran kaum wanita sebagai ibu rumah tangga.
Sehingga dengan kata lain dapat disebutkan bahwa keluarga sebagai pembentuk
citra seseorang. Sebagai ibu rumah tangga, para wanita harus bekerja sebagai
pengelola rumah tangga tanpa menerima upah. Berbeda dengan wanita sebagai
wanita pekerja dimana ia bekerja dengan diberi upah. Ibu rumah tangga adalah
wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga
atau istri.
Masyarakat telah mempunyai konstruksi pengiburumahtanggan sejak lama
dan telah disosialisasikan secara terus menerus. Masyarakat mengonstruksikan
perempuan dengan peran gendernya, yakni memiliki hasrat merawat keluarga,
melayani suami sepenuh hati, merawat anak, mengelola urusan rumah tangga.
Konstruksi tersebut mengarah pada domestifikasi yang selalu dilekatkan kepada
perempuan. Sehingga dengan sendirinya tercipta suatu syarat bagi perempuan
yang telah berkeluarga untuk dikatakan ideal.
Menurut Suryakusuma (2011:11), ibu yang ideal dalam paham ibuisme
yakni kaum perempuan harus melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat
dan negara. Dalam pengiburumahtanggaan perempuan diharuskan memberikan
26
tenaga kerjanya secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan prestise atau kekuasaan
apapun, Suryakusuma (2011:111). Pengiburumahtanggan adalah paham yang
digunakan oleh masyarakat untuk membentuk konstruksi ibu yang ideal. Dengan
melihat berbagai kriteria ibu dalam paham pengiburumahtanggaan memang jelas
terlihat dalam konstruksi masyarakat mengenai perempuan dan perannya dalam
keluarga sebagai ibu yang baik dan ideal.
b.
Priyayisasi sebagai salah satu jalan menuju kekuasaan
Menurut Julia Suryakusuma (2011:8), priyayi adalah konsep penting yang
menandakan proses transformasi dan penggunaan nilai-nilai tradisional untuk
menopang pembangunan, modernisasi, serta kontrol kekuasaan Orde Baru.
Sehingga masa Orde Baru melalui birokrasi militernya dianggap sebagai salah
satu cara agar priyayisasi atau ‘jalan menuju kekuasaan’ dapat berjalan.
Sedangkan Langenberg (dalam Suryakusuma, 2011:7) mengelompokan priyayi ke
dalam salah satu kata kunci wacana politik Orde Baru, yakni priyayisasi adalah
elite turun temurun Jawa yang menyandang silsilah struktur kekuasaan, yang
mendapatkan legitimasi dari pemberian suatu nilai aristokrasi. Negara birokratis
militer memenuhi kebutuhan masyarakat melalui berbagai cara. Kekuasaan militer
bisa langgeng antra lain karena hirarki dan otoriterisme militer tersebut sejajar
dengan nilai budaya Jawa dimana kepatuhan kepada kekuasaan berakar kuat.
Menurut
Suryakusuma,
(2011:9),
pandangan
bahwa
masyarakat
mempunyai tatanan yang alami yang mencakup apa yang disebut dengan status
dan peran perempuan merupakan bagian dari kesejajaran ini. Di pihak lain,
27
birokrasi militer memberikan unsur modernisasi dengan mempertahankan kelas
priyayinya. Penciptaan organisasi-organisasi wajib bagi istri pegawai negeri sipil
adalah sebagai bagian dari proses priyayisasi.
Negara mengambil konstruksi keperempuanan dari aspek-aspek yang paling
opresif dari ideologi jender borjuis maupun priyayi yaitu konsep ibu rumahtangga
dan ibuisme. Perempuan disegregasikan ke dalam program-program yang khusus
untuk perempuan. Negara menciptakan organisasi istri wajib diikuti, meniru
hirearki suami. Mengatasnamakan peningkatan peran perempuan dalam
pembangunan, namun kenyataannya statuslah yang dijadikan orientasi utama dan
penghormatan diberikan kepada perempuan yang mendapatkan kedudukan dalam
organisasi karena posisinya sebagai istri. Namun menurut Suryakusuma,
(2011:12) meski ibuisme dan riyayisasi seolah-olah merupakan “jalan menuju
kekuasaan”, sesungguhnya itu hanyalah kekuasaan semu dan karenanya berarti
cerminan ketidakberdayaan.
Karena proses priyayisasi sejalan dengan ibuisme yaitu penggunaan dan
transformasi nilai-nilai tradisional (Jawa) untuk kepentingan pembangunan dan
modernisasi, Suryakusuma (2011:12). Proses priyayisasi yang tidak lepas dari
status dan peran menentukan posisi dalam masyarakat. Status priyayisasi yang
disandang dapat mempengaruhi penilaian masyarakat. Karena dalam masyarakat,
status priyayi memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingan “wong cilik” atau
masyarakat biasa yang tidak memiliki kedudukan apapun. Sehingga kesenjangan
tersebut akan menimbulkan pola tumpang tidih dalam masyarakat. Maksudnya,
28
priyayi memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan wong cilik. Perempuan atau
laki-laki yang memiliki status lebih tinggi akan memerintah bawahannya, dan
bawahan hanya dapat patuh dengan penuh penghormatan.
Seiring modernisasi mulai menyatu dengan masyarakat maka hal itu dapat
mempengaruhi pola pikir atau paham masyarakat. Seiring berjalannya waktu, pola
pikir masyarakat yang pada awalnya terpaku dengan paham patriarki, mulai
bergeser kepada paham modernisasi. Sejalan dengan bergeraknya perempuan ke
dalam ranah publik, salah satunya ditandai dengan masuknya perempuan ke
dalam program-program pemerintah. Dari situlah, perempuan mulai berorganisasi
dan bersosialisasi. Karena perempuan tidak lepas dari statusnya sebagai makhluk
sosial, sehingga ia tidak dapat hidup sendiri. Tidak hanya itu, perempuan sejak
lahir memiliki sifat feminim yang cenderung sensitif dan peka, maka diharapkan
melalui perempuanlah dapat tercipta paham kekeluargaan.
Melalui kepekaan dan kepandaian perempuan dalam mengelola suasana maka
akan tercipta kenyamanan baik itu hubungannya dengan keluarga maupun
masyarakat di sekitarnya. Melalui program-program pemerintah misalnya,
Dharma Wanita, terlihat masih adanya konsep priyayi. Karena di dalamnya
terdapat ideologi ibuisme yang menanamkan budaya ikut suami. Sehingga
organisasi ini cenderung menumbuhkan sikap yang menyebabkan kaum
perempuan menjadi krang berdikari dan lebih berkiblat kepada status,
Suryakusuma (2011:22). Namun, dalam hal budaya organisasi semacam ini
29
menjadi perantara antara pemberlakuan nilai-nilai budaya Jawa, patriarki dengan
priyayisasi.
Suryakusuma (2012:182), konsep priyayi memiliki cerminan ideologi
penyebarluasan keluarga batih, pemisahan perempuan dalam program-program
khusus perempuan, juga pada citra sosok perempuan di media massa yang
semakin menuju gambaran kelas menengah. Ini mencerminkan gagasan bahwa
perempuan didefinisikan dalam kapasitas mereka untuk mengabdi pada suami,
keluarga dan negara. Menurut Suryakusuma, (2012:12) meski ibuisme dan
priyayisasi seolah-olah menjadi jalan menuju kekuasaan, sesungguhnya itu
hanyalah kekuasaan semu, dan karenanya berarti cerminan ketidakberdayaan.
Perempuan elite dipercayakan tanpa kompensasi maupun bayaran untuk
menjalankan program bagi perempuan kelas bawah. Sehingga ini akan menjadi
beban bagi perempuan, karena keberadaanya dalam organisasi tersebut hanya
untuk menunjang karir suami dalam rangka pengabdiannya kepada suami.
c.
Ibuisme sebagai konsep ibu yang ideal
Menurut Julia Suryakusuma (2011:5), konsep ibu di negara Indonesia ini
lebih dari sekedar penekanannya kepada keibuan biologis, sekalipun tidak
memiliki anak, perempuan yang memiliki kedudukan sosial yang penting atau
terhormat, perempuan yang memiliki keahlian, perempuan kaya, perempuan yang
memiliki keahlian mengobati atau kekuatan spiritual, perempuan asing, dan
perempuan tua bisa disebut “ibu”. Ibuisme menyiratkan nilai-nilai budaya, lebih
30
luas cakupannya dari domestikasi. Domestikasi mempunyai implikasi penjinakan,
segregasi, dan depolitisasi perempuan.
Kemudian ia memberikan gagasannya mengenai ibuisme negara itu
sendiri, (Suryakusuma, 2011:10), ibuisme negara diartikan sebagai ideologi jender
yang menciptakan stereotip kaku-baku dan bersifat sangat membatasi karena
tujuannya memang untuk mengontrol dan menciptakan suatu tatanan yang
hirarkis. Menurut Suryakusuma, (2011:10-11), seruan untuk ‘berpartisipasi dalam
pembangunan, namun jangan meninggalkan kodrat sebagai istri dan ibu’,
seseungguhnya adalah manipulasi cerdik atas dua model keperempuanan. Negara
menciptakan organisasi isteri yang wajib diikuti, meniru heriarki semua ini. Hal
ini mencermirnkan gagasan bahwa kaum perempuan harus melayani suami,
masyarakat dan negara, (Suryakusuma, 2011:11). Ideologi ibuisme ini berjalan
dengan tidak demokratis, statuslah yang dijadikan orientasi utama dan
penghormatam diberikan kepada mereka yang mendapa kedudukan dalam
organisasi karena posisinya sebagai isteri bukan karena prestasinya sendiri.
Lebih lanjut, Suryakusuma menjelaskan bahwa padahal sebagai wanita
harus bisa menjadi pilar bangsa dan mempunyai sifat keibuan. Disebut pilar
bangsa menjadi hal yang idak berlebihan jika dipandang dari segi peran
perempuan di dalam keluarga. Perempuan menjadi ibu dari anak-anak dan
menjadi isri bagi suami. Sebagai seorang ibu yang disebut juga madrasah pertama
anak adalah sebagi pendidik. Ibulah yang pertama mengajarkan anak mengenai
banyak hal, antara lain berkomunikasi, berjalan dan sebagainya. Berbica soal
31
pendidik, pendidik pertama bagi kepribadian seorang anak adalah ibu. Dari rahim
ibu, terlahir anak-anak penerus bangsa yag berkualitas. Peranan dan kedudukan
seorang ibu yang memiliki feminitas akan memberikan pengaruh moril yang
positif pada lingkungannya.
Seorang ibu yang memiliki pengetahuan minim
tentang norma atau ajaran akan berdampak kepada anaknya. Pengalamanpengalaman ibu yang diajarkan ke anak dapat membentuk kepribadian atau citra
anak, pengalaman positif akan menumbuhkan kepribadian anak yang positif.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ibu adalah sosok penyeimbang dan penyelaras
keluarga. Seorang ibu bertugas untuk mendidik, mengasuh anak dan sebagai
pengelola rumah tangga.
Sifat keibuan dalam hal ini adalah naluri seorang ibu yang muncul dalam
diri seorang wanita yang akan menjadi ibu. Hubungan erat yang terjadi antara
anak dan ibu akan terus berlangsung. Bentuk fisiologis dimulai ketika ibu mulai
mengandung, melahirkan, menyusui, sampai memelihara bayinya. Tahapantahapan fisiologis tersebut akan diikuti oleh perubahan beban psikologisnya yang
berbeda-beda sesuai kepribadian setiap individu. Pengalaman yang mereka alami
menumbuhkan reaksi-reaksi emosional yang khas, baik yang bersifat positif
maupun negatif.
Sifat keibuan tersebut akan melekat pada diri seorang perempuan. Selain
itu ibu dengan sifat kepekaannya akan urusan rumah tangga dan lingkungan
sekitarnya, akan berusaha menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Berdasarkan
hal tersebut, biasanya para ibu terdorong untuk berusaha mencari cara untuk
32
bersama-sama dengan suami mempertahankan kelangsungan hidup keluarga.
Salah satunya adalah dengan bekerja. Istilah bekerja dalam hal ini berkaitan
dengan urusan publik. Jika demikian, seorang ibu akan mendapatkan peran ganda.
Peran ganda tersebut juga telah menjadi pembicaraan lama dalam lingkup luas
yakni negara. Pemerintah juga sependapat (dalam Suryakusuma, 2011:18),
dengan ideologi ibuisme karena proses modernisasi itu memerlukan peran tertentu
wanita sebagai “inti keluarga dan pengemban norma-norma dan nilai-nilai
masyarakat, (dokumen Repelita IV, 1983:xiii). Akan tetapi sesuai dengan peran
negara sebagai “keluarga”, pemerintah tidak lupa memasukan peringatan bahwa
meski mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama, “tidak berarti
bahwa ini mengurangi peran mereka sebagai pencipta keluarga yang bahagia dan
sejahtera,”
atau
bahwa
wanita
harus
meninggalkan
“kodrat”
mereka,
Suryakusuma, (2011:18-19).
Ibu memiliki peran ganda dalam hal ini adalah dalam peran domestik dan
peran publik. Peran domestik menjadi peran yang tak terpisahkan dari ibu karena
mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat yang mengharapkan kaum wanita
sebagai istri dan ibu yang baik. Masyarakat menghendaki kaum wanita mengurus
rumah tangga. Untuk menjalankan peran tersebut, mereka harus memegang nilainilai tradisional. Antara lain adalah wanita dianggap lebih baik hanya di rumah
sebagai pengatur rumah tangga. Bagi Suryakusuma (2011:9-10), domestikasi
memiliki cakupan yang luas bukan untuk kepentingan perempuan, tetapi demi
mencapai ketertiban, pembinaan dan stabilitas negara. Dalam cakupan yang lebih
sempit yakni keluarga, domestifikasi ini akan menguntungkan bagi suami dan
33
anak, harapannya bahwa mereka akan lebih terurus oleh wanita sebagai istri atau
ibu. Seorang ibu dalam peran domestifikasinya akan selalu mempunyai banyak
waktu di rumah dan mengurus keluarga.
Peran publik terkadang dijadikan perempuan sebagai upaya untuk keluar
dari dominasi pria. Selain itu, peran publik juga dianggap sebagai sarana untuk
mengaktualisasikan diri. Terkadang perempuan memilih wilayah publik dengan
alasan rumah tidak sepenuhnya mampu memberikan keamanan dan ketenangan.
Mereka memilih untuk tidak selalu di rumah tetapi mereka memperkuat hubungan
mereka dengan kehidupan sosialnya, yang praktis akan menghasilkan dampak
positif atau negatif. Ralitas sosial yang terjadi akhir-akhir ini mengundang
pendapat bahwa peran publik yang diambil oleh perempuan itu tidak sepenuhnya
salah. Dengan perempuan mengenal dunia luar seperti menjadi perempuan yang
bekerja diluar rumah maka ia akan menemukan pengalaman bahkan
keanekaragaman dalam hidupnya, sehingga ia mampu belajar lebih mengenai
kehidupan. Hal tersebut selain akan menambah penghasilan bagi keluarga, juga
akan menambah keberanian wanita dalam menangani masalah rumah tangga dan
keputusan-keputusan yang bijak dalam khidupan berumah tangganya.
Ideologi praktis bahwa perempuan baik-baik yang berlaku di kalangan
miskin menyatakan sebagai pengurus rumah, bukan sebagai istri dan ibu yang
baik, Suryakusuma, (2011:76). Akan tetapi realitas sosial yang terjadi akhir-akhir
ini justru kalangan elit juga mempunyai ideologi demikian. Meskipun
kelangsungan keluarga terjamin dan berlimpah materi, para perempuan memilih
34
untuk tetap berada dalam ranah publik. Karena menurut Suryakusuma, (2011:21),
aturan-aturan dalam sektor domesik tidak memberikan ruang kepada perempuan
untuk
melaksanakan
otonominya
dalam
mengekspresikan
kepentingan-
kepentingan yang mereka anggap sesuai dengan realitas kehidupan mereka.
Hal itu memunculkan stigma baru bahwa perempuan yang ideal untuk
menikah adalah perempuan yang bekerja tanpa meninggalkan urusan keluarga.
Menurut Suryakusuma, (2011:76), yang menyatakan bahwa perempuan dianggap
bertanggung jawab tidak hanya pada kesejahteraan psikologis para anggota rumah
tangga, tetapi juga kesejahteraan material. Dengan demikian perempuan
mempunyai tanggung jawab yang lebih yakni seorang istri/ibu harus mengatur,
menjaga dan merawa rumah. Perannya di luar rumah adalah bentuk aktualisasi
dirinya dan pendidikannya selama ini, namun bukan menjadi alasan untuk tidak
mengurusi urusan domestik.
Menurut Papanek (dalam Suryakusuma, 2011:56), selain bekerja di sektor
publik dan sektor privat memang sulit untuk memisahkan kedua sektor ini, namun
ada kegiatan ketiga yakni kerja produksi status. Menurut Suryakusuma, (2011:5657), konsep tersebut berguna menjembatani dikotomi yang semu dan tidak
memuaskan antara publik dan privat. Kerja produksi status ini memungkinkan
untuk melihat keluarga aktif dengan adanya perempuan yang bekerja atau tidak
sehingga dapat menaikan status keluarga tersebut.
Menurut Suryakusuma, (2011:57), pada dasarnya terdapat jenis-jenis
kegiatan yang dilakukan perempuan secara umum, yaitu kegiatan menciptakan
35
penghasilan, kegiatan domestik dan keluarga, serta kegiatan sosial dam
masyarakat. tetapi secara keseluruhan, perempuan juga lebih terbatasi dalam hal
norma – norma agama dan adat. Ketergantungan perempuan pada laki-laki
nampak jelas yaitu dalam hal membuat keputusan, penghasilan, mobilitas, dan
pembagian kerja seksual yang lebih kuat, Suryakusuma (2011:57). Karena tetap
saja status sosial mereka didapat dari suami.
Domestifikasi bagi perempuan elite berbeda dengan perempuan dengan
golongan sosial lain. Urusan domestik kaum perempuan elite mendapatkan
bantuan oleh perempuan lain selaku pekerja dalam rumah tangganya. Dalam
sebuah keluarga dari lapisan menengah memiliki ketidakleluasaan ideologis yang
ditambah dengan pesoalan-persoalan praktis yaitu pengelolaan keluarga dan
rumahtangga serta apa yang disebut dengan kerja produkti, Suryakusuma,
(2011:59). Tiadanya kebutuhan untuk bekerja dan adanya ideologi “ibu
rumahtangga” yang kuat, kebanyakan perempuan dalam golongan ini tidak
mengambil “keputusan sadar” untuk bekerja dan lebih memilih menjadi ibu
rumahtangga. Namun, kaum laki-laki dari golongan ini pada kenyataannya merasa
bahwa perempuan lebih layak bekerja yang idealnya sesuai dengan kewanitaanya,
misalnya perawat, guru, bidan dan lain-lain, Suryakusuma, (2011:59).
Menurut Suryakusuma, (2011:111), ibuisme ini berasal dari unsur-unsur
yang paling menindas, baik pengiburumahtanggan maupun paham priyayisasi.
Dalam ibuisme, perempuan harus melayani suami, anak-anak, keluarga,
masyarakat
dan
negara.
Sedangkan
pengiburumahtanggaan,
perempuan
36
diharuskan memberikan tenaganya secara cuma-cuma tanpa mengharapkan
prestise atau kekuasaan apapun. Ibuisme memiliki efek mendomestifikasi
perempuan yang jelas bukan demi kemajuan perempuan semata, Suryakusuma,
(2011:111).
1.7 Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini, hal pertama yang dilakukan adalah menentukan
objek material objek material sebagai bahan penelitian. Objek material dalam
penelitian ini adalah Novel Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi. Dari
pembacaan terhaap objek material tersebut akan didapatkan hal-hal yang dapat
dijadikan bahan penelitian. Setelah menentukan kajian penelitian, kemudian
menentukan objek formal sebagai pisau analisis dengan teknik kajian pustaka.
Proses dalam penelitian ini terjabarkan dalam langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Pengumpulan data
Mencari dan mengumpulkan data yang berhubungan dengan ibuisme yang
dimunculkan perempuan dalam cerita tersebut. Korpus data yang dikumpulkan
adalah kata-kata, kalimat ataupun paragraf yang menunjukan bentuk kosntruksi
ibuisme, tindakan-tindakan perempuan yang dilakukan oleh perempuan,
pandangan masyarakat mengenai sosok ibu yang ideal. Misalnya “Kamu harus
melayani bapak dan mengasuh Kinanti, Yul” atau “Seperti halnya induk yang
37
selalu mengayomi anak-anak dengan naluri yang tumbuh dari hati yang suci” dan
lain sebagainya.
2. Klasifikasi data
Dari banyaknya korpus data yang dikumpulkan kemudian diklasifikasikan.
Klasifikasi data mencakup bentuk konstruksi ibuisme yang diterapkan waktu
perempuan memasuki dunia rumah tangga, tindakan ibu dalam ranah domestik
dan publik, stereotipe ibu dalam kultur masyarakat Jawa dan kesadaran
perempuan akan peran utamanya. Misalnya seorang perempuan yang telah
menikah maka ia mempunyai kewajiban melayani suami, seorang perempuan
mempunyai kewajiban untuk merawat anaknya dan lain sebagainya.
3. Seleksi data
Dalam tahap ini dari begitu banyak data yang dikumpulan dan sudah
diklasifikasin kemudian diseleksi untuk dipilih mana yang akan digunakan.
Memilih data ini bertujuan untuk memfokuskan penelitian. Dari 4 volume cerita,
hampir semua cerita dalam setiap volume mempunyai isi cerita uang
menggambarkan tentang konstruksi ibu yang ideal. Dalam penelitian ini akan
mengambil semua volume yang ada didalam novel.
38
4. Analisis
Menganalisis cerita dengan menggunakan konsep ibuisme dengan kajian pustaka.
Dalam analisis menggunakan teknik kajian pustaka dengan cara mencari,
mengumpulkan, membaca dan mempelajari buku-buku acuan, artikel, tulisan
yang mempunyai hubungan atau yang menunjang penelitian. Kemudian dari hasil
analisis berdasarkan data-data yang ada kemudian ditarik kesimpulan dan
diuraikan dalam bentuk deskriptif.
1.8 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penyajian dalam penelitian ini terdiri atas empat bab.
Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode dan teknik penelitian,
serta sistematika penyajian. Pada Bab II penulis akan menjabarkan tentang
representasi ibuisme yang dikonstruksikan dalam novel Kinanti. Pada Bab III,
penulis akan membahas mengenai ideologi sebagai pembentuk konstruksi
ibuisme. Selanjutnya, Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
saran tentang penelitian ini.
Download