2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang adalah endapan-endapan massif kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria=Scleractinia), dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organism-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1988). Sebagaimana organisme yang termasuk dalam kelompok yang bersifat sessil di dasar perairan, karang rentan dengan terjadinya perubahan lingkungan. Beberapa faktor pembatas utama dalam menentukan kehadiran dan kelangsungan hidup karang pada suatu perairan meliputi (Thamrin 2006): a) Kedalaman. Hewan karang hanya akan ditemukan sampai kedalaman dimana cahaya masih ditolerir zooxhantellae yang hidup di dalam jaringan tubuh karang. Karang penghasil terumbu (hermatypic) ditemukan dari daerah intertidal sampai kedalaman 70 m, akan tetapi pada umumnya ditemukan sampai kedalaman 50 m. Sebagian besar hidup dengan subur sampai kedalaman 20 m, dan lebih rinci lagi keanekaragaman spesies dan pertumbuhan terbaik ditemukan pada kedalaman antara 3 sampai 10 m. b) Suhu. Karang hermatypic tumbuh dan berkembang dengan subur antara suhu 25-290C. Secara umum diketahui suhu terendah untuk organisme ini adalah pada suhu 180C pada musim dingin dan suhu tertinggi sekitar 320C pada musim panas. c) Salinitas. Kisaran salinitas pada umumnya karang masih ditemukan antara 27-40‰, dan pertumbuhan terbaik karang berkisar antara 34-36‰. d) Cahaya. Cahaya dibutuhkan karang dalam bentuk hubungan tidak langsung. Pada prinsipnya cahaya dibutuhkan simbion karang zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan tubuh karang hermatypic yang merupakan penyuplai utama kebutuhan hidup karang. e) Arus. Arus diperlukan karang dalam memperoleh makanan dalam bentuk zooplankton dan oksigen serta dalam membersihkan permukaan karang dari sedimen. Arus juga berperan besar dalam proses fertilisasi dan distribusi karang, terutama dalam masa pemijahan dan tahap larva. 9 f) Substrat. Pada umumnya larva karang mampu menempel pada berbagai tipe substrat keras, seperti berbagai jenis batu-batuan, skeleton karang yang telah mati, kerangka atau cangkang berbagai jenis hewan dasar laut baik yang bebas bergerak maupun yang hidup menetap. g) Kecerahan perairan. Kecerahan perairan berhubungan dengan padatan tersuspensi dan cahaya yang sampai ke dalam perairan. Intensitas cahaya yang masuk akan semakin besar dan dalam bila perairan memiliki kecerahan yang tinggi. Kecerahan dan cahaya menjadi faktor pembatas melalui hubungan secara tidak langsung dengan hewan karang sebagai inang bagi zooxhantellae. Karang mempunyai variasi bentuk pertumbuhan individu maupun koloni yang berkaitan erat dengan tata air dan pencahayaan dari sinar matahari pada masing-masing lokasi. Suharsono (1984) mengatakan bahwa perbedaan tempat hidup, kondisi lingkungan serta bertambahnya kedalaman merupakan faktor yang mempengaruhi morfologi karang. Masing-masing jenis karang penyusun terumbu karang mempunyai respon yang spesifik terhadap lingkungannya. Faktor yang paling berpengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dan komposisi genetiknya (berdasarkan genus) menurut Wood (1977) adalah kedalaman, kuat arus dan gelombang. Suatu jenis karang dari marga yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang berbeda-beda (Wijsman-Best 1977) dan menyebar pada lokasilokasi yang berbeda. Perairan yang memiliki kondisi fisik serupa, dapat mendukung kehidupan karang dengan bentuk pertumbuhan yang mirip walaupun secara taksonomis berbeda (Wood 1977). Beberapa contoh tipe pertumbuhan biota karang batu dan karakteristik dari masing-masing genera menurut Dahl dalam Ongkosongo (1988) yaitu: 1. Tipe bercabang (branching) Memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya. 2. Tipe padat (massive) Berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Jika beberapa bagian dari karang ini mati, maka akan 10 berkembang menjadi tonjolan, sedangkan bila berada di daerah dangkal maka bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Permukaan terumbu halus dan padat. 3. Tipe kerak (encrusting) Tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu atau sering ditemukan merambat di atas permukaan biota karang massif ataupun karang yang sudah mati. Tipe karang ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta lubanglubang kecil. 4. Tipe daun (foliose) Tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, dapat berukuran besar dan kecil serta membentuk lipatan yang melingkar. 5. Tipe meja (tabulate) Menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar. 6. Tipe jamur (mushroom) Berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit yang beralur dari tepi hingga pusat mulut. Suatu ketidakseimbangan tekanan atau variasi dalam lingkungan karang Scleractinia dapat mengakibatkan terbentuknya zona-zona yang didominasi oleh fauna atau flora tertentu, hal ini juga dapat mengubah pola zonasi itu secara lokal maupun regional (Faure 1977). Di kepulauan Indonesia, Wijsman-Best (1977) menyatakan turun-naiknya permukaan laut pada masa lalu sebagai penyebab adanya perbedaan bentuk terumbu karang saat ini. Morton (1990) mengatakan bahwa pola penyebaran biota karang pada terumbu di Indo-Pasifik secara umum hampir sama. Pada daerah dimana energi gelombang paling besar diterima oleh terumbu dan kondisi turbulen besar, didominasi oleh Pocillopora spp yang berasosiasi dengan karang api (Millepora sp). Pada lereng terumbu paling luar dimana pergerakan air kecil, kecepatan arus dan kekuatan gelombang berkurang didominasi oleh Acropora spp dengan beberapa Pocillopora dan Millepora sebagai selingan. Bentuk utama Acropora 11 yang mendominasi daerah ini adalah bentuk tabulate (meja) dan branching (bercabang). Pada daerah rataan terumbu, daerah antara permukaan terumbu dan pantai yang merupakan daerah tenang, Porites sp merupakan jenis karang yang paling banyak terdapat dan biasanya berasosiasi dengan Pavona sp. atau Acropora sp. bila terdapat pergerakan air. Sejalan dengan itu, Stoddart (1971) mengatakan bahwa komunitas Acropora banyak terdapat di terumbu yang menghadap angin (windward reef) dan komunitas Porites banyak terdapat di terumbu yang terlindung dan di selat-selat. Menurut Wood (1977) pendugaan penutupan karang dapat menunjukkan status dan sifat-sifat terumbu secara umum serta sangat berguna untuk perbandingan antar lokasi. 2.2 Ikan Karang Ikan karang merupakan jenis ikan yang umumnya menetap atau relatif tidak berpindah tempat (sedentary) dan pergerakannya relative mudah dijangkau. Jenis substrat untuk dijadikan habitat biasanya pada karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak (Suharti 2005). Berdasarkan periode aktif mencari makan, ikan karang dapat dikelompokkan menjadi 3 (Adrim 1983; Terangi 2004), yaitu: 1) Ikan nocturnal: Adalah jenis ikan karang yang aktif ketika malam hari. Ada sekitar 10% jenis ikan karang yang memiliki sifat nokturnal. Ikan ini bersembunyi di celahcelah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Contohnya pada ikanikan dari Suku Holocentridae (swanggi), Suku Apogonidae (beseng), Suku Hamulidae, Priacanthidae (bigeyes), Muraenidae (eels), Serranidae (jewfish) dan beberapa dari Suku Mullidae (goatfish) 2) Ikan diurnal: Adalah jenis karang yang aktif di siang hari. Meliputi sekitar 75% ikan yang hidup di daerah terumbu karang. Sebagian dari ikan-ikan ini berwarna sangat menarik serta umumnya sangat erat berkaitan dengan terumbu karang, contohnya ikan dari Suku Labridae (wrasse), Chaetodontidae (butterflyfishes), Pomacentridae (damselfishes), Scaridae (parrotfishes), 12 Acanthuridae (surgeonfishes), Bleniidae (blennies), Balistidae (triggerfishes), Pomaccanthidae (angelfishes), Monacanthidae, Ostracionthidae (boxfishes), Tetraodontidae, Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (goatfish). 3) Ikan crepuscular Adalah jenis-jenis ikan karang yang aktif pada pagi hari atau pada sore sampai menjelang malam), contohnya pada ikan-ikan dari Suku Sphyraenidae (barracudas), Serranidae (groupers), Carrangidae (jacks), Scorpionidae (lionfishes), Synodontidae (lizardifishes), Carcharinidae, Lamnidae, Spyrnidae (sharks) dan beberapa dari Muraenidae (eels). Ada beberapa ikan karang yang umumnya berukuran kecil dan sangat pandai menyamarkan dirinya dan menghabiskan sebagian besar waktunya bersembunyi di dalam struktur karang yang kompleks. Jenis ikan karang ini juga sering disebut ikan yang bersifat kriptik (tidak mudah dilihat). Berdasarkan karakteristik habitat, sebagian kecil ikan di terumbu karang hidupnya menguburkan diri di pasir, lumpur atau pecahan karang (rubble), contohnya ikan bloso (Saurida spp), ikan lidah/sebelah (Suku Cynoglossidae) dan sebagian ikan gobi (Suku Gobiidae). Sebagian kelompok ikan berlindung dan menjelajah di terumbu karang yang termasuk di dalamnya adalah ikan butana (herbivora), dan kelompok karnivora seperti ikan kakap dan ikan kerapu (Adrim 1983). Banyak jenis ikan karang yang hidupnya soliter, berpasangan atau berkelompok (schooling) baik dalam jumlah kecil maupun besar. Ini merupakan suatu strategi terutama bagi ikan yang hidupnya lebih banyak menjelajah kolom air terbuka (Suharti 2005). 2.3 Interaksi Terumbu Karang dan Ikan Karang Kawasan terumbu karang mempunyai struktur habitat yang kompleks dan ini menyediakan banyak ruang sebagai tempat perlindungan bagi berbagai spesies ikan (Connell 1978). Banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh kompleksitas habitat terhadap populasi ikan terumbu karang, namun hasil yang didapat berbeda-beda dari beberapa kajian yang dilakukan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke and Speight 2005). 13 Kajian utama yang dilakukan adalah melihat pengaruh penutupan karang hidup terhadap populasi ikan karang. Banyak peneliti mendapatkan bahwa tutupan karang hidup mempunyai pengaruh positif terhadap keanekaragaman spesies dan kelimpahan inidividu ikan karang (Carpenter et al. 1982; Chabanet et al. 1997). Penelitian juga dilakukan untuk melihat dampak penutupan karang hidup terhadap beberapa suku tertentu, terutama dengan Suku Chaetodontidae, yang dijadikan sebagai bioindikator untuk suatu kawasan karang (Reese 1981). Ini karena suku ini adalah organisme pemakan karang (corallivorous) dan diketahui mempunyai korelasi yang positif dengan pentupan karang hidup (BouchonNavaro and Bouchon 1989), dan jika kawasan perairan karang terganggu, akan berdampak langsung kepada suku ini dan seterusnya akan mengurangi kelimpahan individu (Sano et al. 1987). Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno, et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan karang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi (rugosity) dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984, Galzin et al. 1994, Chabanet et al. 1997). Secara ekologi, perkembangan ikan karang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu (1) mobilitas dan ukuran ikan, yaitu ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah (sedentary) dan berukuran relatif kecil; (2) aksesibiltas (habitat yang mudah dicapai), yaitu perairannya relatif dangkal, berada di lingkungan yang hangat dan jernih dibandingkan dengan perairan yang lain; (3) skala pemanfaatan ruang/habitat, yaitu ikan karang baik larva maupun dewasanya hidup di perairan yang relatif dangkal, dekat dengan substrat yang solid dan dekat dengan daratan, siklus hidup ikan karang umumnya telah diketahui dan banyak diantaranya hidup hanya beberapa tahun walupun beberapa ada yang bisa berumur panjang (Suharti 2005). Namun demikian, terdapat juga kajian yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kompleksitas habitat dengan populasi ikan terumbu 14 karang (Luckhurst dan Luckhurst 1978; McManus et al. 1982). Risk (1972), Luckhurst dan Luckhurst (1978) juga mendapati tidak terdapat adanya korelasi yang signifikan antara komunitias ikan karang dan keanekeragaman habitat dan spesies karang. Luckhurst dan Luckhurst (1978) juga menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kondisi karang hidup dan kelimpahan ikan yang hidup dan bersembunyi di kawasan terumbu karang. Chabanet et al. (1997) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelimpahan individu ikan karnivora dan ikan pemakan plankton dengan kompleksitas habitat. Beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang berbeda untuk hubungan antara populasi ikan karang dan habitatnya adalah penggunaan kumpulan taksonomi dan kumpulan ikan yang berbeda serta keragaman metode yang digunakan. Selain itu, hubungan antara populasi ikan dan substrat juga berbeda diantara habitat dan kawasan karang serta kawasan biogeografi yang berlainan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke dan Speight 2005). 2.4 Karakteristik Ikan Kerapu sebagai Ikan Karang Ikan kerapu merupakan jenis ikan karang yang hidup di perairan terumbu karang. Dalam perdagangan internasional jenis-jenis ikan kerapu dikenal dengan nama grouper. Terdapat sekitar 150 spesies ikan kerapu di seluruh dunia yang tersebar di berbagai tipe habitat. Dari seluruh spesies yang ada, ikan kerapu dikelompokkan dalam 7 genus dimana 3 diantaranya sudah berhasil dibudidayakan dan termasuk jenis komersial, yaitu genus Cromileptes, Plectropomus dan Epinephelus (Ahmad 2002). Pada umunya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Telur dan larva ikan kerapu macan bersifat pelagis, sedangkan yang individu muda dan dewasa bersifat demersal. Habitat favorit larva dan ikan kerapu muda adalah perairan pantai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun. Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperature 24-310C, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH 7,8-8. Perairan dengan kondisi 15 seperti ini pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Lembaga Penelitian Undana 2006). Aktivitas mencari makan merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh semua jenis ikan baik dengan menggunakan indera penglihatan, perabaan maupun penciuman. Berdasarkan kebiasaan makan, secara garis besar ikan dapat diklasifikasikan sebagai ikan herbivora, omnivora dan karnivora (Nybakken 1988). Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan karnivora dan cara makannya “menggerus”. Jenis ikan yang sering dimakan adalah ikan tembang, teri dan belanak. Pada umumnya ikan karnivora mempunyai gigi untuk menyergap, menahan dan merobek mangsa. Jari-jari tapis insangnya menyesuaikan untuk penahan, memegang, memarut dan menggilas mangsa. Ikan karnivora mempunyai lambung benar, palsu dan usus pendek, tebal dan elastic (Effendie 2002). Kebanyakan jenis ikan komersial penting, termasuk jenis-jenis kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal (spawning aggregation) yang melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu (Sadovy 1996). Pemijahan massal (spawning aggregation) adalah kelompok spesies ikan yang sama yang berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana denstitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan di lokasi agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Domeier & Colin 1997). Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997). Jenis ikan kerapu umumnya merupakan hermaprodit protogyni (Shapiro 1987 dalam Levin and Grimes 1991). Juvenil kerapu biasanya memiliki jenis kelamin betina, dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin (Levin and Grimes 1991). Selanjutnya Levin and Grimes (1991) menjelaskan bahwa eksploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa 16 menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalau pun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan (Shapiro et al. 1994 dalam Levin and Grimes 1991). Reproduksi dan rekruitmen merupakan dua momen penting dan kritis dalam siklus hidup spesies ikan. Sering, dalam proses ini melibatkan perpindahan antara wilayah, dan beberapa spesies, melakukan migrasi ke daerah pemijahan utama (SEAFDEC 2006). Kebanyakan populasi ikan kemudian menjadi rentan terhadap dampak aktivitas penangkapan yang beroperasi di daerah pemijahan (spawning ground) dan di daerah pengasuhan (nursery ground) dimana masing-masing terdapat stok induk dan juvenil yang melimpah. 2.5 Dampak Penangkapan terhadap Stok Ikan Perikanan multi-spesies merupakan perikanan yang dominan di daerah perairan tropis, tidak terkecuali pada perikanan ikan karang, sehingga aktivitas penangkapan di kawasan ini perlu memperhatikan interaksi antar spesies. Dampak aktivitas penangkapan dapat berlangsung pada level populasi dan level komunitas (Russ 1991a). Lebih jauh Russ (1991a) menyebutkan bahwa dampak penangkapan dapat terjadi secara langsung pada level populasi atau komunitas melalui pemindahan individu, atau terjadi secara tidak langsung jika teknik penangkapan menyebabkan terjadinya perubahan habitat ikan. Dampak langsung penangkapan pada level populasi banyak dan beragam. Salah satu yang paling sederhana untuk dideteksi adalah penurunan laju penangkapan (catch per unit effort/CPUE) dan pada akhirnya penurunan total tangkapan. Deteksi terhadap salah satu dari dampak tersebut tidak memerlukan informasi spesifik tentang karakteristik biologi populasi. Secara umum, dampak non-biologis dari penangkapan yang dapat diketahui melalui perubahan CPUE dan biaya penangkapan disebut sebagai economic overfishing (dimana upaya penangkapan melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai maximum 17 economic yield (MEY), seperti: keuntungan maksimum (Russ 1991a). Biasanya status economic overfishing terjadi secara cepat dalam suatu kegiatan perikanan. Sangat jelas bahwa penangkapan ikan seharusnya menyebabkan peningkatan laju kematian yang dapat dideteksi. Kematian akibat penangkapan (fishing mortalitiy) sering terjadi secara efektif pada individu berukuran besar dan lebih tua pada suatu populasi (sebagian besar karena banyak alat tangkap dirancang untuk secara selektif menangkap ikan ukuran tersebut), sehingga dengan demikian penangkapan berdampak pada struktur ukuran dan umur populasi (Russ 1991a). Suatu penurunan proporsi individu berukuran lebih besar dan berumur lebih tua dapat menyebabkan suatu peningkatan laju pertumbuhan individu yang tersisa dalam populasi sehingga penangkapan dapat menyebabkan suatu populasi memiliki individu berukuran lebih besar untuk umur biasanya. Ketika intensitas penangkapan mencapai titik dimana ikan-ikan ditangkap sebelum memiliki kesempatan untuk tumbuh (growth overfishing), terdapat penurunan yang substansial dalam proporsi kelas individu berukuran besar. Ketika intensitas penangkapan semakin meningkat terdapat kemungkinan penurunan baik densitas maupun biomass populasi yang dapat diukur. Jika penangkapan mengurangi ukuran stok dewasa pada titik dimana produksi larva dan rekruitmen berikutnya terganggu, dampaknya disebut sebagai recruitment overfishing). Kemungkinan dampak langsung lainnya dari penangkapan terhadap populasi termasuk perubahan rasio seksual jika individu-individu mengalami perubahan seksual secara alami pada ukuran atau umur tertentu, perubahan dalam tingkah laku individu populasi dan perubahan skala kecil dalam distribusi ikan (Russ 1991a). Dampak langsung penangkapan pada level komunitas termasuk dampak hilangnya pemangsa, mangsa atau kompetitor dari komunitas ikan. Ketika penangkapan pada intensitas dimana menyebabkan perubahan dalam kelimpahan relatif spesies atau komposisi spesies dari komunitas, maka stok dikatakan telah mencapai titik ecosystem overfishing (Pauly 1988 diacu dalam Russ 1991a). Dampak dari ecosystem overfishing termasuk penurunan dalam biomassa spesies yang tadinya melimpah dan peningkatan biomassa spesies lainnya. Sementara itu, dampak tidak langsung penangkapan baik pada level populasi maupun komunitas termasuk modifikasi habitat dari spesies yang dieksploitasi 18 atau spesies dalam komunitas yang bukan merupakan spesies target dari aktivitas penangkapan (Russ 1991a). 2.6 Dampak Reservasi Laut Terhadap Komunitas Ikan Karang Daerah reservasi laut dalam beberapa referensi dikenal sebagai “daerah larang tangkap” (no-fishing area) atau “daerah larang ambil” (no-take area), merupakan area yang secara permanen tertutup bagi aktivitas penangkapan ikan (Russ 1991b). Banyak review dilakukan mengenai manfaat reservasi laut, termasuk menjaga keanekaragaman hayati dan struktur ekosistem serta peningkatan wisata. Namun dalam konteks perikanan tangkap, dapat dijabarkan tujuh ekspektasi dasar dari suatu reservasi laut. Lima diantaranya menyangkut dampak terhadap ikan-ikan di dalam kawasan reservasi, dan dua lainnya terkait dengan keberlanjutan perikanan di luar kawasan reservasi. Agar efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, reservasi laut harus berperan dalam ekspor biomassa ikan, lebih dari sekedar mengganti kehilangan area penangkapan bagi nelayan pada saat ditetapkan. Dua siklus hidup bagi sebagian besar ikan karang (fase bentik dewasa yang mampu menyebar pada jarak puluhan hingga ribuan meter dan fase larva yang mampu menyebar dalam jarak puluhan hingga ratusan kilometer) yang berarti bahwa terdapat dua cara yang potensial dimana reservasi laut dapat berperan dalam ekspor biomassa ikan. Masing-masing terjadi pada skala spasial yang berbeda (Russ 1991b). Lima dampak yang diharapkan terjadi di dalam kawasan reservasi terdiri dari (Russ 1991b): 1. Mortalitas penangkapan (F) secara signifikan lebih rendah, atau bahkan F=0 2. Densitas spesies target secara signifikan lebih tinggi 3. Ukuran/umur rata-rata spesies target secara siginifikan lebih tinggi 4. Biomassa spesies target secara signifikan lebih tinggi 5. Produksi propagule (telur/larva) dari spesies target per unit area secara signifikan lebih tinggi Sedangkan dua dampak yang diharapkan terjadi di luar kawasan reservasi dan akhirnya berdampak pada peningkatan produksi perikanan adalah: 19 1. Dampak 1 sampai 4 di atas menyebabkan terjadinya ekspor ikan dewasa (spillover effect). 2. Dampak 1 sampai 5 di atas menyebabkan terjadinya ekspor telur/larva (recruitment effect). Hasilnya adalah peningkatan suplai recruit pada area penangkapan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya dampak suatu kawasan reservasi terhadap perikanan. Dampak tersebut termasuk meningkatnya kelimpahan dan meningkatnya ukuran dan umur individu dari populasi ikan yang menjadi target penangkapan (Starr et al. 2004). Kawasan larang ambil dapat juga meningkatkan kualitas habitat, seperti pemulihan karang (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004), keanekaragaman spesies (Russ and Alcala 1989) dan stabilitas komunitas (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004). Dampak suatu kawasan reservasi dapat mencapai kawasan di luar batas reservasi melalui limpahan individu dewasa dan/atau larva ke daerah penangkapan (Russ 1991b; Castilla and Fernandez 1998 dalam Starr et al. 2004). Zona inti dalam suatu kawasan Taman Nasional adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional). Zona inti dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan kawasan yang tertutup bagi aktivitas penangkapan, baik skala komersial maupun tradisional (no-fishing area) sehingga dapat dikategorikan sebagai daerah reservasi laut.