LAYAK TIDAKNYA SEORANG YANG TIDAK BERAGAMA HIDUP DI NEGERI DENGAN DASAR FALSAFAH PANCASILA Disusun oleh : Nama : Faza Maula Azif NIM : 11.11.4811 Program Studi : Teknik Informatika Jurusan : S1-Teknik Informatika Kelompok :C Dosen pembimbing : Drs. Tahajudin Sudibyo SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN DAN ILMU KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011 1 ABSTRAK Pengingkaran terhadap ketuhanan yang maha esa atau sering disebut sebagai atheis (tidak bertuhan). Selain mengingkari tuhan, atheis juga sekaligus mengingkari dan menodai pancasila, sila pertama “Ketuhanan yang maha esa”. Sila tersebut memiliki makna mendalam tentang berketuhanan , segala hal yang ada di alam semesta ini tentunya tidak akan muncul atau ada begitu saja, tentunya ada suatu dzat agung yang menciptakan seluruh sistem alam semesta ini, dimana terdapat maksud – maksud dan tujuan dalam masing – masing penciptaanya. Oleh karena itu, pancasila mengatur bangsa Indonesia dan manusia lainnya agar bersyukur terhadap segala sesuatu yang ada, karena pancasila meyakini dan mengimani bahwa tuhan itu benar – benar ada. Hal inilah yang tidak dapat ditangkap oleh kalangan atheis, yang begitu mengandalkan logika dan rasionalitas semata, padahal tuhan telah berpesan, bahwa akal manusia itu dibatasi. Atheis sering menuntut kebenaran secara logika tentang segala sesuatu hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Padahal dengan keterbatasan akal manusia, hal – hal yang berbau ketuhanan tidak akan dapat di capai. Itulah kenapa setiap agama menuntun setiap umat masing – masing untuk memahami arti kata iman yang sesungguhnya. Mereka yang mengaku bahwa diri mereka atheis sebenarnya merupakan pribadi - pribadi yang belum benar - benar mengimani agama mereka. Dalam lubuk hati terdalam seorang atheis sebenarnya mereka masih membutuhkan tuhan. Tidak dapat dipungkiri, sebenarnya manusia itu perlu memiliki tuhan, perlu memiliki sesuatu yang bisa diharapkan, itu merupakan sifat alamiah manusia. Jadi, sebenarnya tuhan tidak benar – benar hilang dari dalam diri seorang yang mengaku tidak beragama. Didalam paper ini, penulis belum bisa menilai apakah jalan hidup seorang atheis yang tidak memiliki tuhan maupun agama bertentangan dengan sila pertama pancasila. Karena terjadi perdebatan panjang yang belum menemukan titik temu pada masalah ini. Penulis hanya menyampaikan beberapa pertimbangan yang berkaitan dalam masalah ini, sehingga diharapkan pembaca dapat menilai hal tersebut sesuai hati nurani masing – masing. Paper ini tidak dimaksudkan untuk memojokkan suatu kelompok tertentu. 2 BAB I LATAR BELAKANG MASALAH Adanya pernyataan dari sekelompok orang yang berani mengaku sebagai atheis dapat menimbulkan persepsi bahwa telah terjadi suatu kegagalan proses berbangsa dan bernegara dalam suatu negara dengan landasan sila pertama pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ideologi pancasila merupakan dasar Negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga Negara Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas ideologi pancasila terhadap agama dan tidak perlu berusaha mengganti ideologi pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideology pancasila bukan ideologi beragama, ideologi pancasila adalah ideologi beragama. Ketuhanan yang maha esa mengandung makna adanya keyakinan terhadap tuhan yang maha esa tunggal yang menciptakan alam semesta beserta isinya Negara Indonesia didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebagai konsekuensinya, maka negara menjamin kepada warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Sedangkan atheis menyangkal segala sesuatu yang bertentangan tentang eksistensi tuhan, mereka memiliki pemikiran “logito esto sum”, apa yang saya lakukan, itu yang akan saya dapatkan. Sama sekali tidak ada campur tangan tuhan dalam kehidupan atheis. Dalam pengertian ini, seakan – akan jalan hidup atheis sangat bertentangan dengan makna sila pertama pancasila, yang sepintas menuntut akan eksistensi tuhan dalam setiap kehidupan manusia. Memang, pancasila yang berperan sebagai pengatur bangsa Indonesia mengharapkan agar kehidupan berbangsa dan benegara berlangsung dengan baik, dengan tuntunan – tuntunan agama yang baik, sehingga kita tidak terjerumus dalam kesesatan – kesesatan duniawi. Tapi, tidak semua orang yang tidak beragama itu jahat atau sesat hidupnya, terkadang perilaku dan kehidupan mereka bahkan lebih baik daripada orang yang beragama, mereka menjunjung tinggi sifat humanis mereka dan menghilangkan tuhan dari pikiran mereka, walaupun hal tersebut dinilai bertentangan dengan sila pertama pancasila. 3 BAB II RUMUSAN MASALAH 1. Makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Atheisme dan pancasila 3. Kenapa memilih menjadi seorang yang tidak beragama ? 4 BAB III PENDEKATAN HISTORIS 1. PENDEKATAN HISTORIS Penulis Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach adalah salah seorang pertama yang menyebut dirinya ateis. Dalam buku The System of Nature (1770), ia melukiskan jagad raya dalam pengertian materialisme filsafat, determinisme yang sempit, dan ateisme. Buku ini dan bukunya Common Sense (1772) dikutuk oleh Parlemen Paris, dan salinansalinannya dibakar di depan umum. Atheisme sering dikatakan sebagai paham yang tidak mempercayai Tuhan, baik itu keberadaannya maupun perannya dalam kehidupan manusia. Sulit untuk merunut sejak kapan paham ini ada di muka bumi. Walaupun demikian, banyak orang yang mengklaim bahwa dirinya atheis. Atheisme mulai diberikan landasan rasional ilmiah ketika Ludwig Feuerbach menerbitkan karyanya The Essence of Christianity dan melakukan kritik agama khususnya agama Kristen. Atheisme model Ludwig Feuerbach adalah filsafat model “tak lain daripada…”. Hal ini karena pemikiran yang diajukan hanya melihat sesuatu dibalik/dibelakang masalah yang dibicarakannya. Bukannya secara jujur mengungkapkan kebenaran dan 5 kesalahan dari agama tapi langsung masuk kedalam adanya sesuatu di balik layar dari agama itu : “bahwa agama tak lain daripada….”. Landasan filosofis ini sering disebut dengan nama Reduksionisme. Keempat pemikiran yang mempelopori filsafat kritis terhadap agama adalah Ludwig Feurbach, Sigmund Freud, Friedrich Nietzsche dan Jean-Paul Sartre. A. Atheisme Ludwig Feuerbach Feuerbach adalah orang yang pertama kali memberikan landasan rasional ilmiah terhadap atheisme. Dia juga adalah salah satu pendukung filsafat dialektis Hegelian. Alih-alih mendukung sepenuhnya konsep hegelian, hal yang menurutnya bertentangan antara dirinya dengan konsep Hegel adalah tentang sesuatu yang nyata dan rasional. Bagi Feuerbach, manusia adalah nyata dan rasional, sedangkan roh semesta (yang dinyatakan oleh Hegel dan diasosiasikan dengan Tuhan/Allah) adalah sesuatu yang tidak nyata. Bagi Feuerbach, agama adalah proyeksi manusia atas keterasingan dirinya. Agama menjadi tempat bagi manusia untuk mengasingkan dirinya dari kehidupannya. Sebagai proyeksi, agama tak lain dari sesuatu yang diberikan penghargaan positif terhadap dirinya. Segala konsep tentang Tuhan, Malaikat, Surga, dan Neraka yang ada dalam agama tak lain daripada hasil proyeksi manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia yang mengkonsepkan hal-hal itu. Manusia yang menciptakan Tuhan, dan bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Agama berdampak positif bagi manusia. Segala sesuatu yang Maha, misalnya Adil, Baik, Penyayang, Pengampun, dll yang ada dalam Tuhan Agama, tidak lain daripada proyeksi manusia itu sendiri. Hal itu sebenarnya telah ada dalam eksistensi manusia. Bukannya menjadikan sesuatu yang Maha itu menjadi milik manusia, manusia justru terjebak dalam pemujaan dan penyembahan kepada agama dan Tuhan yang sebetulnya telah berada dalam dirinya dan menjadi miliknya. Oleh karena itu, manusia harus mengambil kembali ke-Maha-an itu kedalam dirinya. Agama dan Tuhan bukan lagi merupakan sesuatu yang menjadi pusat bagi manusia, tetapi justru manusialah pusat dari segalanya. 6 B. Atheisme Sigmund Freud. Sigmund Freud adalah seorang psikiater yang menciptkan dan mengembangkan metode Psikoanalisis. Suatu metode/teori yang kemudian menjadi salah satu aliran besar dalam psikologi. Freud mengikuti alur berpikir Feuerbach dengan filsafat reduksionismenya bahwa agama “tak lain daripada…” Buku karya Freud yang menyatakan atheismenya adalah Totem and Taboo(1913) dan Moses and Monotheism (1938). Menurut Freud, ritual-ritual keagamaan mempunyai kemiripan dengan ritual yang ada dalam gangguan obsesif-kompulsif. Obsesif-kompulsif adalah suatu gangguan psikologi (psychological disorder) dimana seseorang tidak mampu menahan keinginannya untuk melakukan suatu gerakan/aktivitas berulang-ulang, misalnya mencuci tangan berkali-kali, dll. Freud juga mengatakan “neurosis as an individual religion, religion as a universal obsessional neurosis”. Suatu pernyataan yang jelas mengaitkan antara agama dan neurosis. Dilain pihak, Freud juga mengatakan bahwa agama tak lain daripada sublimasi insting-insting seksual. Teori Psikoanalisis Freud dibangun diatas satu konsep yang disebut Psikoseksual, bahwa dorongan-dorongan seksual (sexual drive/libido) adalah dorongan yang terutama dalam diri manusia yang membuat manusia itu bisa bertahan hidup. Sedangkan sublimasi adalah salah satu mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang dibangun manusia untuk menyeimbangkan egonya dari dorongandorongan yang berasal dari ketidaksadaran. Insting-insting seksual manusia harus diberi bentuk lain agar dapat diterima secara sosial, dan semuanya itu ada dan tampak dalam agama. Agama adalah sublimasi dari insting-insting seksual manusia agar dapat diterima oleh masyarakat. 7 C. Atheisme Friederich Nietzsche. “Whiter is God, „he cried. „I shall tell you. We ahve killed Him-you and I. All of us are murderers…God is dead. God remain dead. And we have killed him…” (Friederich Nietzsche, The Gay Science, 1882). Kutipan diatas adalah salah satu pernyataan Nietzsche dalam bukunya. “God is Dead” yang dikatakan oleh Nietzsche bukanlah pengertian Tuhan secara literal. Jika Tuhan telah mati berarti pada suatu saat Tuhan pernah ada. Apa yang dinyatakan oleh Nietzsche adalah kematian keagamaan di Eropa. Pengertian God is Dead adalah Tuhan dalam konteks kekristenan di Eropa. Bahwa kepercayaan terhadap Tuhan (pada saat itu adalah Kristen) adalah kepercayaan yang salah. Tuhan tidaklah lagi dapat dipercayai, dan oleh karena itu Dia telah mati, dan seandainya Dia belum mati, adalah tugas manusialah untuk membunuhnya (and we have killed him…). Pandangan Nietzsche melegitimasi pandangan dalam bidang keilmuan (science) bahwa ilmu pengetahuan akan mengeluarkan Tuhan dari ranah kehidupan manusia. Filsafat, ilmu pengetahuan, politik dan bidang-bidang lain akan memperlakukan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak relevan dan tidak humanis. D. Atheisme Jean-Paul Sartre Sartre adalah salah satu tokoh terkemuka dalam Filsafat Eksistensialis. Dia adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Atheisme adalah salah satu inti dari filsafat Sartre. Sartre menolak konsep tentang Tuhan karena konsep Tuhan berisi kontradiksi dalam dirinya sendiri (self-contradiction). Sartre mendefinisikan Tuhan sebagai konsep yang being-in-itself-for-itself. Konsep Tuhan sebagai in-itselfmemproposisikan bahwa Dia adalah eksis, sempurna dalam dirinya sendiri, dan secara total tidak relevan. Sedangkan konsep for-itself memformulakan bahwa Dia adalah bebas secara sempurna dan tidak terikat terhadap apapun. Kesimpulan logika haruslah menolak konsep seperti ini karena konsep ini berisi kontradiksi dalam dirinya. (Jean-Paul Sartre, Being and Nothingnes : An Essay in Phenomenological Onthology, 1943). 8 Selain itu, konsep keberadaan Tuhan membatasi kebebasan dan eksistensi manusia. Konsep Tuhan diadopsi oleh manusia untuk memberiarti dunia ini. Manusia menemukan konsep ini untuk menerangkan sesuatu yang tidak dapat diterangkan (explain the unexplainable). Konsep Tuhan adalah keinginan manusia untuk memenuhi ketidaksempurnaan dan ketidakmampuannya. 9 BAB IV PEMBAHASAN 1. Makna sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa Tidak Memaksakan Suatu Agama& Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kepada Oranglain. Bangsa Indonesia dalam melaksanakan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa memiliki landasan yang dapat menjamin kehidupan beragama, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Pancasila, dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan didasari oleh silasila lainnya. b. Pembukaan UUD 1945: pada alenea ke tiga: Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur. Alenea ke empat: Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. c. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. d. Ketetapan MPR No IV/MPR/1999 tentang GBHN. Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dalam ketetapan tersebut dicantumkan bahwa salah satu arah kebijakan bidang agama adalah meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan melalui dialog antar umat beragama dan pelaksanaan pendidikan secara deskriptif yang tidak dogmatis untuk tingkat perguruan tinggi Dari beberapa uraian diatas, kita dapat menyimpulkan pelaksanaan Ibadah Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah : a) Negara kita adalah Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 10 b) Negara memberikan jaminan kebebasan kepada warga Negara untuk memeluk salah satu agama atau kepercayaan sesuai dengan keyakinan masing – masing. c) Kita tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama kita atau memaksa seseorang pindah dari satu agama ke agama yang lain. d) Dalam hal ibadah, Negara memberikan jaminan seluas – luasnya kepada semua umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing – masing. e) Setiap warga Negara Indonesia harus percaya dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama adalah ajaran, terutama didasarkan antara hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesame dan dengan alam sekitarnya berdasarkan suatu kitab suci. Pengertian ibadah secara umum adalah melakukan kewajiban kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama manusia dan alam sekitarnya Setiap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan kepada pemeluk dan penganutnya, tentang perintah – perintah dan larangan – larangan Tuhan, bagaimana harus bersikap dan bertindak dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia. 2. Atheisme dan Pancasila Agama pada dasarnya menuntun umatnya untuk berbuat baik pada sesama manusia. Agama juga mengajarkan sikap toleransi antar kepercayaan. Dalam konteks tersebut, jika kita melihatnya dari sudut pandang seorang atheis, kenapa seorang atheis harus butuh tuhan, butuh agama untuk merubah sikap manusia, kita (sebagai manusia) seharusnya secara alamiah berbuat seperti itu, karena kita memiliki akal, pikiran, kita tahu mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang seharusnya tidak dilakukan, lagipula makna yang terkandung dalam sila pertama pancasila salah satunya adalah, menghormati kepercayaan lain, “kepercayaan 11 lain” itu sangat luas konteksnya, atheis juga bisa disebut sebagai kepercayaan, mereka percaya terhadap sebuah ajaran atheis, percaya akan tidak adanya tuhan, mereka percaya apa yang di dapatkannya selama ini adalah hasil dari sesuatu yang mereka lakukan di waktu sebelumnya. Jika agama mengajarkan untuk berbuat baik pada sesama, bagaimana pandangan orang beragama terhadap seorang atheis yang lebih bersifat sosialis, penulis pernah membaca suatu tulisan di Koran Nasional, ada seorang atheis yang memiliki cukup materi, orang atheis tersebut memiliki jadwal untuk membantu sesama tiap bulannya, ia menyisihkan sedikit uangnya untuk orang – orang yang tidak mampu, bahkan seolah – olah orang atheis itu memiliki tingkat keikhlasan tinggi, ia sama sekali tidak mengharapkan “imbalan” yang sering dijanji janjikan tuhan terhadap umat beragama, ia hanya senang berbagi, melihat penderitaan saudaranya berkurang dapat membuat hatinya tentram. Dia berpendapat bahwa selama ini umat beragama dalam menjalankan perintah agama selalu dibayang – bayangi ketakutan akan dosa, neraka, seakan akan dia melihat umat beragama adalah umat yang terpenjara akan janji – janji Tuhan maupun dosa dan neraka. Sebagai umat beragama, penulis merasa ada sesuatu yang kurang dalam pribadi atheis, walaupun dia berbuat baik pada sesama, yaitu rasa bersyukur. Dia(atheis) kurang memahami kata Iman yang sesungguhnya, masalah tentang “umat beragama yang terpenjara akan janji – janji tuhan maupun dosa dan neraka” , jika umat beragama benar – benar mengimani agamanya, penulis yakin, umat beragama dalam melakukan ritual ibadahnya didasari dengan rasa butuh, kebutuhan akan hadirnya Tuhan dalam hidupnya yang dapat menentramkan jiwa bagi umat beragama. Jadi pendapat tentang “umat beragama, umat yang terpenjara” itu salah besar. Jika dilihat dari sudut pandang pancasila sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, apa yang dilakukan oleh atheis tersebut sudah termasuk mengamalkan secara penuh sila tersebut, kebanyakan orang yang mengaku dirinya atheis, hanya menghilangkan sila pertama pancasila saja, sedangkan sila – sila berikutnya, mereka masih mengamalkannya. Padahal pancasila sendiri adalah sebuah sistem yang tidak bisa dipisahkan. Justru, dengan apa yang telah dilakukan oleh orang atheis tersebut dapat memacu umat beragama, orang yang tidak 12 bertuhan saja, mampu dan mau melakukan hal tersebut, apalagi kita, umat beragama, seharusnya kita bisa dan mau berbuat lebih dari hal tersebut. Menurut Fransiscus Widiyatmoko, Agama sejatinya adalah proses pencarian manusia atas asal muasal keberadaannya di dunia dan hubungannya dengan peran apa yang harus dijalankan oleh seorang manusia dalam proses mengadanya di dunia ini. Memang sebuah pernyataan yang bersifat filosofis, tetapi fakta sejarah kelahiran agama-agama besar di dunia sepanjang peradaban umat manusia memang mengarah pada penemuan jati diri dan pengidentifikasian peran manusia dalam menjalani hidup di dunia nyata, jika demikian, sejatinya agama bisa muncul dalam pelbagai nama dan pelbagai ritual seturut tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pemeluk atau penganut agama tersebut. Tercatat dalam sejarah bahwa pernah muncul beragam kepercayaan dan agama yang jika ditelisik menurut peradaban manusianya akan mengarah pada kenyataan bahwa agama bukan sesuatu yang mati, tetapi terus hidup seturut perkembangan hidup pemeluknya. Kisah-kisah manusia dahulu selalu memberikan sesaji (mulai dari hasil bumi hingga pada penumbalan manusia) kepada gunung-gunung berapi dan kekuatan alam yang tidak mampu diatasi oleh manusia pada jamannya adalah bentuk ritual kepercayaan manusia terhadap keberadaan dirinya dan hubungannya dengan kekuatan alam yang ada. Sebagai sebuah entitas yang organis, maka agama dan aliran kepercayaan sejatinya adalah proses pelembagaan pemahaman manusia atas asal muasal keberadaannya di dunia dan melalui proses pelembagaan tersebut, manusia dapat menemukan peran penting yang harus manusia lakukan sebagai sebuah tanggungjawab historis atas keberadaannya di dunia. Pada titik ini … apakah agama harus seragam mengakui adanya satu zat tunggal yang mengatur keberadaan mahluk hidup dan benda-benda alam yang ada di dunia? Kembali lagi kepada sejarah perkembangan agama - agama yang pernah ada dan masih ada saat ini. Manusia pernah mempercayai bahwa zat pengatur 13 kehidupan ada dalam fenomena alam, seperti hujan, kemarau, banjir, dlsbnya. Tidaklah aneh jika kemudian kita mendapati dari temuan arkeologi artefak-artefak ataupun peninggalan berupa lukisan-lukisan gua yang menggambarkan pemujaan manusia pada dewa hujan, dewa cahaya, dewa angin, dan lain penyebutan utk fenomena alam yang manusia anggap sebagai penentu keberlangsungan hidupnya. Manusia pernah pula mempercayai bahwa kekuatan benda-benda alam merupakan manifestasi atau perwujudan dari zat pengatur kehidupan. Fakta ini dapat kita jumpai pula dari peninggalan arkeologi berupa kuil-kuil pemujaan kepada gunung berapi, lautan dan sungai, juga hutan dan pohon-pohon besar. Penamaannya pun beragam dari Dewa Gunung, Dewa Matahari, Dewa Bulan, Dewa Pohon, Dewa Laut, dan lain-lainnya lagi. Dari penelusuran ini, manusia pernah mengalami satu masa dimana manusia mempercayai pada beragam zat penentu kehidupan yang jamak. Jadi jika kita setia menelisik pada perjalanan peradaban manusia dalam proses memahami keberadaan dan peran penting yang menjadi tanggungjawab keberadaannya di dunia, dapat lah kita simpulkan bahwa kepercayaan pada zat tunggal penentu segala macam bentuk kehidupan dan keberadaan benda-benda di dunia ini bukanlah menjadi satu-satunya pengakuan yang pernah ada. Lalu kapan kah manusia mengakui hanya ada satu zat tunggal yang mengatur segala-galanya itu? Mungkin dengan mempelajari sejarah bangsa Israel dapatlah kita menemukan asal muasal manusia mengakui keberadaan zat tunggal yang menguasai segalanya. Sejarah bangsa Israel dengan kepercayaan terhadap zat tunggal tadi dapat dijumpai dalam masa Kitab Zabur menjadi pedoman bangsa Israel dalam memandang dunia dan keberadaan manusia di dunia. Itu saja nampaknya hanya dianut oleh satu keluarga besar (wangsa) yang ditokohi oleh Abraham –dalam tradisi masyarakat Nasrani- atau Ibrahim –dalam tradisi masyarakat Muslim. Pada masanya, masyarakat penganut Kitab Zabur juga bersinggungan dengan komunitas-komunitas lain yang mempercayai lebih dari 14 satu zat penentu kehidupan. Begitupun pada turunannya kemudian pada masa kitab Taurat - Injil - hingga turunnya Al-Quran di tengah-tengah umat manusia. Berbeda dari yang ada di daerah Timur Tengah, di daratan Asia, tepatnya India, lahir pula satu aliran kepercayaan yang mempercayai bahwa sejatinya manusia dan alam adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Keterpisahan terjadi karena memang harus ada karma yang mutlak dipenuhi sebelum kemudian manusia menyatu kembali dengan alam. Ajaran ini dikemukakan oleh Sidharta Gautama, seorang pangeran yang kemudian lebih memilih jalan hidup sebagai seorang pemikir dan pelaku tapa brata, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sang Budha. Dalam ajaran ini, manusia dapat mencapai tahap tertinggi dari kehidupan sehingga jiwa dan jasadnya dapat menyatu dengan Sang hidup … istilah yang digunakannya adalah Moksha, yaitu (kurang lebih saya pahami sebagai) bersatunya alam dan kehidupan dengan diri manusia. Mempelajari kelahiran agama-agama yang ada didunia dan mendekatkannya dengan tingkat peradaban manusia pada jaman di masa agamaagama itu awal mula diajarkan/dikenalkan/diturunkan. Jadi esensi agama sebagai sebuah alat (berupa lembaga dan pokok-pokok aturan yang ada didalamnya) untuk membantu manusia menemukan kesejatian diri (asal muasal dan peran penting yang wajib dituntaskannya dalam proses mengada di dunia) dapat ditemukan dalam agama-agama yang pernah dan masih hidup dan berkembang saat ini. Menarik pula mencermati bagaimana manusia kemudian mengkonsepkan Tuhan. Tidak dapat ditolak kenyataan bahwa pembahasaan Sang Pemilik dan Pengatur kehidupan sebagai Tuhan sudah tentu berawal dari gagasan seorang atau beberapa orang yang disampaikan (umumnya diawali) secara lisan kepada orang lain yang kemudian menyetujui dan secara sukarela menganut/mengikuti gagasan/ide tentang Tuhan. Penamaan Tuhan pun bisa beragam mulai dari Godgod, Tuhan, Sang Hyang Widhi, sampai pada Allah. Keseragamannya terletak pada pemahaman bahwa entitas yang dilabeli Tuhan ini memiliki sifat adidaya 15 (Maha), pemilik dan pengatur kehidupan, sebab utama yang tidak disebabkan (Causa Prima). Dari cara pandang yang lain, bagaimana jika ada manusia yang tidak mempercayai konsep-konsep ini? konsep agama dan konsep tuhan? Jika kita mempercayai bahwa sejarah peradaban manusia adalah proses dialektis yang tidak pernah berhenti bergerak seturut perkembangan pemahaman manusia sesuai perkembangan peradabannya, maka saya yakin bahwa ada satu masa di masa yang sangat lalu manusia tidak memiliki pemahaman apapun tentang konsep agama dan konsep tuhan (karena memang belum ada yang mengkonsepkannya baik secara lisan maupun tulisan). Artinya bolehlah saya mengatakan bahwa ada satu masa manusia pernah tidak mempercayai agama dan Tuhan. Ini artinya saya(Fransiscus Widiyatmoko) mau mengatakan bahwa ketidak-percayaan manusia pada keberadaan Tuhan lebih dulu ada sebelum munculnya atau lahirnya kepercayaan kepada Tuhan. Tentu saja pendapat ini boleh dibantah karena saya mengandalkan alur berpikir dialektis dan mengkaitkan dengan realitas temuan arkeologi yang ada (dan pernah saya baca). Jadi saya berpendapat bahwa ketidakpercayaan manusia modern saat ini terhadap keberadaan Tuhan adalah model “kepercayaan” yang lebih tua dari pada kepercayaan manusia kepada Tuhan. 2.1 INDONESIA DAN ALIRAN KEPERCAYAAN (TERMASUK AGAMA) Sejarah agama-agama yang sekarang hidup di Indonesia sejatinya adalah proses inkulturasi (atau akulturasi?) budaya pemahaman keberadaan manusia dengan alam sekitarnya –yang mula-mula hidup dan dihidupi oleh manusiamanusia yang saat ini bernaung dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia- dengan budaya pemahaman keberadaan manusia dengan alam sekitarnya dari para pendatang. Jika dirunut dari sejarah nusantara, aliran 16 kepercayaan Hindu adalah aliran kepercayaan tertua yang pertama kali dianut oleh sebagian besar masyarakat nusantara sebelum deklarasi Agustus 1945. Kepercayaan Hindu ini sendiri tidak lahir di bumi Nusantara, tetapi dibawa oleh para penganutnya pada masa perdagangan internasional klasik terjadi di bumi nusantara. Menyusul kemudian aliran kepercayaan Budha. Justru di bumi Nusantara ini terjadi asimilasi antara kepercayaan Hindu dan Budha. Secara sederhana dapat saya katakan bahwa pertemuan epos Mahabarata dengan epos Ramayana hanya ditemukan dalam khasanah epos Mahabarata dan Ramayana yang hidup di bumi nusantara. Pada masanya, kerajaan-kerajaan penganut dua aliran kepercayaan tersebut pernah menjadi kekuasaan yang besar pengaruhnya dan memiiki dampak besar pada perkembangan aliran kepercayaan pada kerajaan-kerajaan disekitarnya yang berhasil ditaklukkan maupun yang menjalin hubungan kerjasama pendidikan dan perdagangan. Pada awal abad ke 13 atau ke 14, pengaruh ajaran agama Islam masuk ke bumi Nusantara dengan bukti kemashuran Kerajaan Samudra Pasai yang lokasinya pada masa itu di kota Sabang (saat ini ada dalam wilayah hukum propinsi Daerah Istimewa Aceh). Pengaruh yang berasal dari hubungan perdagangan dengan pedagang dari Gujarat kemudian berkembang mempengaruhi prilaku hidup masyarakat Swarnadwipa hingga Yawadwipa. Di tanah Jawa sendiri Islam berkembang setelah keruntuhan Majapahit dengan berdirinya kesultanan Demak. Pada abad ke 15 melalui proyek kolonialisasi Portugis, ajaran agama Kristen dan Katholik pun masuk ke bumi nusantara melalui kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan). Berbeda dengan tiga agama besar yang masuk melalui proses hubungan dagang dan pendidikan, dua agama terakhir masuk dengan jalan keras yaitu melalui proses penaklukan dan pengkolonisasian daerah-daerah yang dianeksasi. 17 Jadi agama-agama besar yang ada di Indonesia sepenuhnya adalah agama impor, yaitu agama yang ada bukan karena proses perkembangan pemahaman manusia atas keberadaan diri dan alam sekitarnya, tetapi karena keterpengaruhan dengan dunia luar. Kepercayaan asali yang sejatinya hidup di bumi nusantara adalah aliran kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Merujuk pada latar sejarah kehadiran agama-agama di Indonesia, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Bapak Soekarno pada saat menuangkan gagasannya tentang Pancasila dengan silanya yang pertama berbicara tentang Ketuhanan Yang Mahaesa tidak dimaksudkan untuk menisbikan atau mengingkari adanya kelompok masyarakat yang memilih untuk tidak mempercayai keberadaan Tuhan (Atheis) maupun kelompok masyarakat yang memilih untuk tidak mempercayai Agama (Agnostik). Artinya saya hendak mengatakan bahwa keberadaan masyarakat Atheis dan Agnostik di Indonesia masih diakomodasi oleh dasar falsafah Pancasila yang telah menjadi konsensus nasional. 3. Alasan memilih untuk menjadi seorang yang tidak beragama Menurut Agus, Dalam tulisannya di sebuah forum intelektual, dunia Barat tampaknya masih terus dilanda krisis teologi yang serius. Di Amerika, prosentase orang yang tidak percaya Tuhan meningkat menjadi 15% sejak tahun 1990. Sementara di Inggris – yang konon termasuk kerajaan di Eropa yang religius – 22 % pada tahun 2004 penduduknya tidak percaya pada agama. Agama bagi sebagian orang Barat dipandang bukan menjadi sesuatu hal yang menyejukkan. “Kata agama telah menampilkan gambaran perilaku destruktif atau bahkan menjengkelkan” kata Charles Kimballs. Akhirnya, ateisme pun sekarang menjadi tren orang Barat.Paham ateisme dapat dilacak akarnya pada zaman pencerahan (reneissance) Eropa. Reneissance bagi Barat adalah momentum untuk bangkit, keluar dari zaman kegelapan (The Dark Age). Selama ratusan tahun mereka seakan hidup dalam penjara yang begitu gelap. Copernicus (1473-1543) dan Galileo (1564-1642) dihukum karena pendapatnya tentang teori heliosentris bertentangan dengan Gereja.Gugatan Barat terhadap agamanya juga dipicu oleh 18 kebingungan mereka dalam merumuskan makna religion dan konsep ketuhanan Yesus. Karen Amstrong dalam The Story of God mengatakan Tuhan adalah abstrak dan penjelasan-penjelasan yang ada membosankan. “Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang sulit” kesimpulan Amstrong.Tuhan Yesus pun diragukan eksistensinya. Doktrin Trinitas yang sulit dipecahkan membuat ilmuan Barat bertambah confuse. Bahkan pada titik ekstrim, mereka putus asa mendiskusikan tentang Tuhan dengan mempertanyakan keberadaan Yesus. Groenen dalam Sejarah Dogma Kristologi:Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen menyimpulkan, kemisteriusan Yesus tidak dapat dijangkau akal. Bahkan ia mempertanyakan apakah Yesus itu ada atau tidak.Seorang teolog Kristen, Schleiermacher, secara kritis menyatakan bahwa doktrin Kristen tentang ketuhanan membuat keimanan menjadi rentan terhadap skeptisisme. Ia menggugat adanya tuhan tiga. Menurutnya konsep ini adalah dogma yang tidak masuk akal. Bahkan karena begitu putus asa, Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan telah mati.Menurut Nietzche, kematian Tuhan akan mendatangkan fase sejarah manusia yang lebih baru dan lebih tinggi. Ia menganjurkan agar manusia membebaskan dirinya dari bayang-bayang Tuhan. Manusia, menurut Nietzche, harus menjadi Tuhan agar ia bisa menentukan nasibnya sendiri.Kekecewaan Barat terhadap agamnya bertambah ketika mengingat sejarah kelam otoritas Gereja pada abad pertengahan. Mereka seakan dihantui trauma kekejaman lembaga Inquisisi Gereja. Sebelum zaman Revolusi, Gereja, menurut beberapa sarjana Barat telah menyalah gunakan otoritasnya.Inquisisi adalah institusi Gereja yang sangat kejam menghukum orang-orang heretic dan orang yang menentang hukum Bibel. Sebagai wakil Tuhan di bumi, Gereja berhak menghukum penganut Kristen yang membangkang. Para Pendeta juga berhak mengampuni dosa manusia.Seorang Ilmuan Galileo Galileo dihukum karena menyebarkan teori heliocentric yaitu teori yang menyatakan matahari adalah pusat tata surya. Temuan Galileo ini bertentangan dengan Bibel bahwa bumi adalah pusat tata surya dan berbentuk datar. Karena khawatir iman umat Kristiani tergoyahkan oleh temuan Galileo, maka Galileo dipaksa mencabut pernyataan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Di depan 19 Mahkamah Gereja, Galileo terpaksa menyatakan janji tidak akan mempertahankan dan menyebarkan temuannya tersebut.Nasib Galileo masih mendingan dibanding kaum Kristen heretic. Mereka disiksa dengan sangat kejam. Di dalam ruang Gereja disiapkan tempat khusus untuk penyiksaan. Peter de Rosa, seorang tokoh Gereja, menyebut kekejian institusi Inquisisi sangat luar biasa di luar batas kemanusiaan. Suatu hari pasukan Spanyol menemukan mayat-mayat berlumuran darah dalam keadaan telanjang dan dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Sampai-sampai tentara Spanyol ngeri menyaksikan ruang penyiksaan Inquisisi tersebut.Kekecewaan Barat terhadap agama tidak hanya disebabkan kerancuan konsep ketuhanan dan kekejaman otoritas Gereja. Bibel sebagai kitab suci juga dianggap sumber masalah. Bahasa, isi dan sejarah Bibel mulai diperdebatkan ketika para pengkritik menemukan keganjilan isi Bibel.Sampai kini belum ditemukan naskah asli berbahasa Ibrani atau Aram. Bahasa Injil yang menjadi rujukan penerjemahannya pun bukan bahasa yang digunakan oleh Yesus. Rujukan penerjemahannya adalah berbahasa Greek (Yunani). Injil Perjanjian Baru (The New Testament) ditulis dalam kurun waktu yang sangat panjang, kurang lebih 300 tahun setelah wafatnya Yesus, dan ditulis oleh berbagai pengarang dalam berbagai bahasa dan versi. Pada saat itu tidak kurang dari 40 jenis karangan yang ditulis. Lamanya rentang waktu penulisan ini sangat rawan pemalsuan dan kesalahan.Injil saat ini pun adalah hasil voting Konsili Nicea. Pada tahun 331 M, pasca-Konsili Nicea, di bawah kuasa dan pengawasan Kaisar Roma Konstantin, ditetapkanlah Injil Resmi seperti yang kita kenal sekrang ini. Injil Perjanjian baru itu adalah (Injil Markus, Matius, Lukan dan Yohanes). Injil resmi Kaisar Roma tersebut dinamakan Injil Kanonik, sedangkan Injil-Injil lain dibakar dan dimusnahkanStandar apa yang dipakai Kaisar Roma tersebut untuk menyeleksi berbagai versi Injil, tidak jelas. Hingga kini bahasa Injil asli masih misteri yang tidak bisa dipecahkan. Saat ini ada sekitar 5000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya.Berangkat dari kontroversi ajaran Kristen ini, Barat kemudian memberontak. Agama dianggap sumber masalah. Sebagai konsekuensinya, mereka membuat tembok pemisah antara agama dengan aspek-aspek 20 kehidupan.Lahirlah paham sekularisme, liberalisme dan humanisme. Sekularisme dianggap sebagai solusi dalam menjalani kehidupan orang Barat. Karena dengan sekuler Barat terlepas dari dogma-dogma agama yang mengkungkung kebebasan akal.Segala problematika tidak harus dikembalikan pada agama secara kaku. Manusia yang memiliki akal berhak mengatur kehidupannya sendiri tanpa campur tangan hukum Tuhan. Manusia adalah segalanya. Bahkan paham humanisme mengajak manusia untuk berpaling dari Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan dipandang akan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat.Paham humanisme ini berkembang cukup pesat di Barat. Agama tidak lagi memberi solusi, namun sebalikanya menciptakan problematika yang pelik. Lebih dari itu, keyakinan religius dipandang sebagai faktor yang menciptakan konflik antar manusia. Maka, tidak salah jika seorang ilmuan Barat Jack Nelson Pallymeyer gelisah ketika menyaksikan kekejaman perilaku manusia atas nama Tuhan. Dalam bukunya Is Religion Killing Us ia menyebut Islam, Kristen dan Yahudi telah melakukan kejahan terhadap manusia melalui doktrin kitab sucinya. Pandangan Nelseon ini sebenarnya muncul dari rasa trauma Barat terhadap ajaran Gereja.Paham Sekularisme, Liberalisme dan Humanisme ini pada dasarnya menggiring orang Barat pada ateisme. Arus Liberalisasi dan humanisasi agama, telah memberi peluang orang Barat untuk menafsirkan agama sesuai dengan logikanya. Humanisme adalah aliran filsafat modern yang memberi ruang kebebasa manusia untuk menafsirkan arti Tuhan. Menrurut aliran ini, manusia adalah pusat dari segala hal, bukan Tuhan. Maka, bermain-main dengan agama dan konsep ket-Tuhan-an bukan lagi menjadi keharaman. Bahkan pernah ditemukan seorang Barat mentato pantatnya dengan nama Yesus.Fenomena ateisme telah menjadi tren masyarakat Barat Postmodern. Beberapa laporan menunjukkan Gereja Eropa saat ini semakin sepi. Itu pun diisi dengan orangorang tua. Bahkan karena kosong, sejumlah Gereja di Belanda dijual. Beberapa orang masih mengakui eksistensi Tuhan, tapi menolak untuk beragama.Bagi yang masih memiliki naluri keberagamaan yang kuat, ia lari kepada agama-agama lain yang mengajarkan aspek spiritual. 21 Alasan - alasan menjadi atheis yang terjadi di dunia barat berbeda dengan di Indonesia, orang – orang barat menjadi atheis karena mereka meragukan ke absahan kitab mereka, sehingga mereka banyak melakukan penelitian, pemahaman lebih lanjut terhadap kitab suci. Padahal dalam kitab tersebut sudah dijelaskan, bahwa akal dan pikiran manusia dibatasi. Akal dan pikiran manusia tidak bisa menjangkau pada apa yang di dalam lingkup ketuhanan. Di Indonesia, kebanyakan orang dapat berubah menjadi seorang yang tidak beragama karena kurangnya pemahaman terhadap agama yang ditinggalkannya. Mereka memandang sebuah ajaran agama dari satu sudut pandang mereka saja, setelah itu mereka menilai juga atas dasar pemikiran mereka sendiri, tidak mempertimbangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut, sebagai contoh : a) Saat ini sering terjadi bom bunuh diri yang banyak dilakukan oleh sekelompok orang beragama tertentu, padahal sekelompok orang beragama tersebut juga tidak memahami apa yang sebenarnya diperintahkan oleh tuhannya, mereka (pelaku bom bunuh diri) tidak bisa dianggap sebagai perwakilan sebuah ajaran dari salah satu agama, karena sesungguhnya tidak ada agama yang menuntun umatnya untuk berbuat jahat !, jadi kita tidak bisa menilai , oh, ternyata agama A itu mengajarkan begini, dll. Banyak pendapat – pendapat negatif tentang suatu agama tertentu, dan pengaruh dunia barat, yang seakan dunia barat sedang mengendalikan banyak boneka, seperti terorisme, yang sesungguhnya adalah bentukan dunia barat untuk memojokkan suatu agama tertentu. Secara tidak sadar, kita telah dikendalikan oleh rezim zionis barat. Konspirasi. Banyak bukti – bukti otentik yang menyatakan telah terjadi suatu konspirasi besar di dunia ini. 22 BAB V KESIMPULAN Sosok tuhan dalam diri atheis sesungguhnya tidak pernah benar – benar hilang, walaupun mereka mengaku sebagai atheis, tidak memiliki tuhan, penyusun yakin, bahwa sesungguhnya masih terdapat kebutuhan akan tuhan dalam diri seorang atheis sekalipun. Mereka boleh mengaku sebagai seorang yang tidak bertuhan, itu hak mereka, tapi tidak dapat dipungkiri, kebutuhan akan tuhan adalah kebutuhan alamiah manusia. Mulut boleh asal berbicara, tetapi hati kecil tidak. Manusia dibekali dengan otak dan akal sehat sebagai alat untuk menjalani kehidupan ini. Dengan otaknya, manusia ditantang untuk bisa tetap mempertahankan eksistensinya di dunia ini. Manusia bebas mau mewarnai apa dunia ini. Tentu saka dengan konsekuensi dari diberikannya akal sehat oleh Tuhan. Manusia diberi akal sehat oleh tuhan sebagai penyeimbang dalam mewarnai kehidupan ini. Kita tidak bisa begitu saja menilai sesuatu dari satu sudut pandang saja, kita harus menilai sesuatu tersebut dengan didasari pemahaman mendalam. Begitu juga dengan atheisme, tidak semua orang atheis berperilaku buruk, hanya keimanan mereka terhadap ajaran agama saja yang kurang. 23 REFERENSI Aim Abdul Karim, Drs. M.Pd., Memahami PPKn untuk kelas 1, Bandung: Penerbit Ganesa Exact, 2000. Achmad Yunani. S. Drs., Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bandung: Penerbit Angkasa, 1994. Reny Ratyaningsih, Dra., PPKn untuk SMU kelas I, Penerbit Grafindo Media Pratama, 1999. ______________ ,(2010), http://www.gallerydunia.com ______________ ,(2010), http:// forumotion.net ______________ ,(2010), http:// kompasiana.com/2011/10/02/atheis-indonesiainkonstitusionalkah/ 24