BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Jati Jati (Tectona Grandis Linn. F) adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi dan sampai sekarang masih menjadi komoditas mewah yang banyak diminati masyarakat walaupun harga jualnya mahal. Berikut ini taksonomi dan tatanama dari kayu jati : Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona Spesies : Tectona grandis Jati memiliki tekstur kayu agak kasar dengan serat lurus. Kulit jati berwarna abuabu kecoklatan. Sementara itu, batang bagian tengah (teras) berwarna coklat muda dan bagian dalam (galih) berwarna coklat kemerahan. Permukaan kayu jati relatif licin dan memiliki corak yang estetis (Mawardi, P. 2012). Sejak abad ke-9, tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan subtropika telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kayu kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun (Suryana, Y. 2001). Secara umum, kayu jati termasuk ke dalam kelas kuat II-III dan kelas awet II. Ciri fisik lainnya dari kayu jati sebagai berikut : - Berat jenis 0,62-0,75 - Keteguhan patah 800-1200 kg/cm2 dengan penyusutan kering tanur 2,85,2% - Keteguhan lentur statik 718 kg/cm2 - Keteguhan tekan sejajar dengan arah serat maksimum 550 kg/cm2 - Daya resistensi tinggi terhadap serangan jamur dan rayap karena terdapat zat ekstraktif tectoquinon atau metil antraqinon. Semakin tua umur jati, semakin kecil risiko terserang jamur dan rayap. Sementara itu, ciri kimia kayu jati diantaranya kadar selulosa 47,5%; lignin 29,9%; pentosan 14,4%; abu 1,4%; silika 0,4%; dan nilai kalori 5,081 kal/gram (Mawardi, P. 2012). Menurut data statistik dari Departemen Kehutanan (2004), pada tahun 2003 produksi log Indonesia mencapai 10.086.217,06 m3 yang berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri dan hutan rakyat. Perkembangan industri perkayuan yang pesat tentunya juga menimbulkan hasil samping berupa limbah. Dalam proses pengolahan kayu hanya sekitar 60-70% dari komoditi kayu yang diolah menjadi produk, dengan limbah sisa kayu dan serbuk gergajiannya mencapai jumlah kurang lebih 30-40% (Darmaji, dkk. 1998) atau sekitar 3,034,03 juta m3 untuk tahun 2003. 2.2 Polimer Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang sederhana. Nama ini diturunkan dari bahasa Yunani poly, yang berarti “banyak”, dan mer, yang berarti “bagian”. Kata polimer pertama kali digunakan oleh kimiawan Swedia Berzelius pada tahun 1833. Sepanjang abad 19 para kimiawan bekerja dengan makromolekul tanpa memiliki suatu pengertian yang jelas mengenai strukturnya (Stevens, M. P. 2001). Polimer tinggi adalah molekul yang mempunyai massa molekul besar. Polimer tinggi terdapat di alam (benda hidup, baik binatang maupun tumbuhan, mengandung sejumlah besar bahan polimer) dan dapat juga disintesis di laboratorium (Cowd, M. A. 1991). Polimer umumnya diklasifikasikan menjadi 3, yaitu elastomer, serat, dan plastik. Elastomer mempunyai perpanjangan yang sangat cepat yang bisa mencapai 1000% atau lebih. Serat mempunyai modulus awal yang tinggi. Sifat mekanik dari serat sintetik komersil tidak banyak berubah dalam range temperatur antara -50°C dan sekitar 150°C. Plastik mempunyai modulus tegang pertengahan (Rudin, A. 1998). 2.3 Lignin Lignin adalah suatu produk alami yang dihasilkan oleh semua tumbuhan berkayu yang merupakan komponen kimia dan morfologi ciri dari jaringan tumbuhan tingkat tinggi (Dumanauw, J. F. 1992). Pada tahun 1838, Payen mereaksikan HNO3 pekat dengan kayu, hasilnya adalah residu padat dan berserat yang disebut selulosa (meskipun ada juga polisakarida lain). Bagian terlarut yang lebih tinggi kadar karbonnya, oleh Schulze pada tahun 1865 disebut lignin. Pada tahun 1897, Klason mempelajari lignosulfonat (lignin produk pabrik pulp sulfit), dan menyimpulkan bahwa lignin terdiri dari fenilpropana (Achmadi, S. S. 1990). Lignin secara universal terdistribusi pada semua jaringan kayu, dimana lignin menambah kekuatan dan stabilitas dinding sel. Lignin mempunyai struktur yang sangat kompleks, polimer, dan merupakan suatu jaringan aromatik yang tidak larut dalam air (Sastrohamidjojo, H. 1996). Penyelidikan lignin didasarkan pada isolasi ligninnya, misalnya lignin kayu-giling (milled wood lignin, MWL), lignin hasil degradasi oksidatif, reduksi, hidrolisis, asam atau basa. Selanjutnya dilakukan identifikasi produk reaksi dengan teknik kromatografi dan spektroskopi (Achmadi, S. S. 1990). H2COH HCOR HCOH H2COH H2COH H3CO HCOR CH O H2COH OH HCOH OCH3 HCOH CH HOH2C CH O CH CH H2COH HC CH CH HC HO H2COH HCOH OCH3 H3CO O HC O HCOH HCOH O OCH3 H2COH H2COH OCH3 HC HC O HCOH H2COH O H3CO HC O H3CO HCOH O HC H2COH CH HC HCOH C OH OH O H3CO HC CH CH3O CH2 OCH3 H2COH H2COH H3CO O H2C HCOH H2COH O O CHO CH H2COH H3CO CH OCH3 O O H3CO Gambar 2.1 Struktur lignin (Adler. 1977) O Lignin adalah bahan polimer alam kedua terbanyak setelah selulosa, membuat kayu keras dan mampu menahan stress mekanik. Lignin berada dengan polisakarida kayu, seperti selulosa dan hemiselulosa yang mempunyai afinitas yang kuat terhadap molekul air (hidrofobik) dan berfungsi mengontrol penyerapan air oleh kayu. Lignin merupakan perekat alam, suatu polimer kompleks penyusun kayu. Jumlah dan sifat lignin kayu sangat bervariasi bergantung pada jenis kayu, kayu daun jarum (soft wood) atau kayu daun lebar (hard wood), lingkaran usia kayu. Kayu daun tropis mempunyai kandungan lignin lebih tinggi dibandingkan dengan kayu dari daerah temperatur sedang. Kandungan lignin kayu jarum bervariasi antara 24-33% dan kayu daun tropis 26-35%. Dalam tanaman bukan kayu kandungan lignin umumnya antara 12-17%. Lignin merupakan senyawa polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propana yang diikat dengan C-O-C dan C-C (Judoamidjojo, dkk. 1989). Molekul lignin memiliki derajat polimerisasi tinggi. Oleh karena ukuran dan strukturnya yang tiga dimensi bisa memungkinkan lignin berfungsi sebagai semen atau lem bagi kayu yang dapat mengikat serat dan memberikan kekerasan struktur serat. Bagian tengah lamela pada sel kayu, sebagian besar terdiri dari lignin, berikatan dengan sel-sel lain dan menambah kekuatan struktur kayu. Selain itu, dinding sel kayu juga mengandung lignin (Muzzie, M. D. 2006). Lignin kayu mengandung unit guasilpropana (G) dan siringilpropana (S), dengan rasio perbandingan G/S 4:1 sampai 1:2, dan dalam jumlah yang kecil terdapat hidroksifenilpropana (H) (Walker, J. C. F. 2006). OH OH OCH3 OH p-coumaryl p-hydroxyphenyl (H) OCH3 CH3O OH OH sinapyl coniferyl OCH3 OH OH OH guaiasyl (G) CH3O OCH3 OH syringyl(S) Gambar 2.2 Unit penyusun lignin (Lewis and Etsuo. 1990) Biosintesis lignin dimulai dengan turunan glukosa yang berasal dari proses fotosintesis, yang mana akan dikonversi menjadi asam sikhimat yang berperan penting pada jalannya metabolisme (Fengel and Wegner. 1995). Lignin mempunyai gugus fungsi antara lain metoksil, hidroksil fenolik, hidroksil non fenolik, karbonil, eter, dan karboksilat. Gugus hidroksil fenolik ini sangat mempengaruhi stabilitas warna putih pulp. Hal ini karena kemampuannya memecah ikatan eter yang dibantu oleh katalis basa dan degradasi oksidatif lignin. Reaktivitas kimiawi lignin sangat dipengaruhi kandungan hidroksil fenolik (Supri. 2000). Unit dasar senyawa lignin berasal dari fenilpropana yakni terdiri dari sebuah cincin benzena dengan enam atom karbon yang pada salah satu sisinya melekat tiga atom karbon berantai lurus. Dan ada pula gugus metoksil (H3CO-) yang banyak melekat pada cincin aromatik lignin. Namun beberapa dari gugus tersebut terpisah selama proses pulping kraft (Harkin, J. M. 1969). Berat molekul lignin diperkirakan sangat tinggi, tetapi karena proses pemisahan dari selulosa tak terelakkan lagi menyebabkan degradasi, untuk menyatakan berapa besar tingginya adalah hal yang tidak mungkin. Karena lignin mengandung cincin aktif benzena dalam jumlah yang besar, lignin yang terdegradasi akan bereaksi dengan cepat (Stevens, M. P. 2001). Lignin merupakan termoplastik alam yang akan menjadi lunak pada suhu yang lebih tinggi dan akan keras kembali apabila menjadi dingin (Haygreen dan Bowyer. 1996). 2.4 Poliuretan Poliuretan merupakan bahan polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus fungsi uretan (-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus fungsi uretan dihasilkan dari reaksi antara senyawa yang mengandung gugus hidroksil (-OH) dengan senyawa yang mengandung gugus isosianat (-NCO). Berdasarkan jenisnya, poliuretan dapat berupa termoplastik atau termoset yang merupakan produk reaksi isosianat polifungsi dan alkohol polihidroksi atau poliester tertentu. Kemudian ketahanan terhadap air, bahan kimia, ozon sampai radiasi dan cuaca juga cukup baik (Hartomo, A. J. 1992). Polimer termoset mempunyai kekuatan yang tinggi, ketahanan terhadap kelembaban, cukup kaku, dan memiliki kemampuan jangka pembebanan yang lama tanpa mengalami perubahan bentuk. Jenis perekat yang tergolong kategori polimer ini adalah fenol, resorsinol, melamin, isosianat, urea, dan epoksi (Vick, C. B. 1999). 2.4.1 Komponen Pembentuk Poliuretan 2.4.1.1 Isosianat Isosianat merupakan komponen dasar utama dari polimer poliuretan. Isosianat merupakan sumber gugus N=C=O (NCO) yang bisa bereaksi dengan gugus hidroksil dari poliol, air, dan pengcrosslink dalam pembentukan busa (Li, Y. 2012). Isosianat aromatik komersil yang paling penting adalah toluenediisocyanate (TDI), diphenylmethane diisocyanate (MDI), dan naphtalene diisocyanate (NDI). CH3 NCO CH3 NCO OCN NCO (ii) (i) Gambar 2.3 Struktur (i) 2,4-TDI, (ii) 2,6-TDI (Kricheldorf, H. R. 2005) 2.4.1.2 Poliol Komponen dasar kedua dari polimer poliuretan adalah poliol. Poliol polieter (polipropilen glikol dan triol) mempunyai berat molekul antara 400 dan 10000 yang mendominasi teknologi busa. Busa biasanya dibuat dengan triol, yang membentuk produk crosslink dengan diisosianat, sedangkan diol mendominasi dalam teknologi elastomer. Poliol polipropilen oksida (PPO), yang juga disebut polipropilen glikol (PPG) lebih murah dibandingkan poliol lain. Struktur PPG digambarkan sebagai berikut : H O HC CH3 H2C n O R O CH2 CH O n CH3 Gambar 2.4 Struktur PPG (Kricheldorf, H. R. 2005) H Poliol sintetis dibagi menjadi dua jenis yaitu poliol poliester dan poliol polieter (Sparrow, D. 1990). Poliol yang digunakan dalam pembentukan rigid PU foam mempunyai bilangan hidroksil yang tinggi (berat KOH dalam miligram yang akan menetralkan asam dari 1 gram poliol) antara 300 dan 800 mg KOH/g (Ionescu, M. 2005). Poliol untuk busa uretan adalah senyawa polimer dengan sedikitnya dua gugus hidroksil (Ashida, K. 2007). 2.4.1.3 Bahan Pengembang (blowing agent) Bahan pengembang (blowing agent) untuk pembuatan busa poliuretan terbagi dua yaitu blowing agent fisika, misalnya gas-gas (udara, nitrogen atau karbondioksida) yang oleh tekanan larut dalam polimernya; dan blowing agent kimia yang terurai oleh pemanasan untuk melepaskan gas, misalnya cairan bertitik didih rendah seperti metil klorida, aseton, dan CFCl3(Stevens, M. P. 2001). Blowing agent konvensional adalah air, yang merupakan sumber hidrogen aktif. Untuk kontrol yang lebih baik dalam proses foaming, air destilasi atau deionisasi digunakan sebagai blowing agent oleh pabrik busa (Youn et al. 2007). 2.4.2 Kegunaan Poliuretan Poliuretan memiliki banyak kegunaan, diantaranya sekitar 70% digunakan sebagai busa, bahan elastomer, lem, dan pelapis. Busa poliuretan yang elastis digunakan sebagai isolator, termasuk panel pelindung, kain pelapis, tempat tidur, dan spon, sedangkan busa yang keras digunakan dalam panel konstruksi terisolasi, pengemasan barang lunak dan untuk furnitur ringan (Stevens, M. P. 2001). 2.5 Busa Poliuretan (polyurethane foam) Busa (foam) didefinisikan sebagai substansi yang dibentuk dengan menjebak gelembung gas di dalam cairan atau padatan. Busa poliuretan diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu flexible foam, rigid foam, dan semi rigid foam. Perbedaan sifat fisik dari tiga tipe polyurethane foamtersebut berdasarkan pada perbedaan berat molekul fungsionalitas poliol dan fungsionalitas isosianat. Berdasarkan struktur selnya, foam dibedakan menjadi dua, yaitu closed cell (sel tertutup) dan opened cell (sel terbuka). Foam dengan struktur closed cell merupakan jenis rigid foam sedangkan foam dengan struktur opened cell adalah flexible foam(Cheremisinoff, N. P. 1989). Klasifikasi dari busa poliuretan dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Klasifikasi Busa Poliuretan Polyol OH No. OH equivalent No. Functionality Elastic Modulus at 23°C MPa Lb/in2 (Ashida, K. 2007) 2.6 Rigid foam 350-560 160-100 3.0-8.0 Semirigid foam 100-200 560-280 3.0-3.5 Flexible foam 5.6-70 10,000-800 2.0-3.1 >700 >100,000 700-70 100,000-10,000 <70 <10,000 Tawas Persenyawaan aluminium sulfat (Al2(SO4)3) atau sering disebut tawas adalah suatu jenis koagulan yang sangat populer secara luas digunakan, sudah dikenal bangsa Mesir pada awal tahun 2000 SM. Alum atau tawas sebagai penjernih air mulai diproduksi oleh pabrik pada awal abad 15. Alum atau tawas merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan, karena bahan ini paling ekonomis (murah), mudah didapatkan di pasaran, serta mudah penyimpanannya (Budi, S. S. 2006). Tawas atau alum berada dalam bentuk batuan, serbuk, atau cairan. Massa jenis alum adalah 480 kg/m3 dengan kadar air 11-17%. Alum dilarutkan dalam air dengan kadar 3-7% (5% rata-rata) untuk pembubuhan. Kadar maksimum aplikasi 12-15%. Aluminium sulfat memerlukan alkalinitas (seperti kalsium bikarbonat) dalam air agar terbentuk flok : Al2(SO4)3.18H2O + 3Ca(HCO3)2 → 2Al(OH)3 + CaSO4 + 18H2O + 6CO2 CaSO4 + Na2CO3 → CaCO3 + Na2SO4 Bila alkalinitas alamnya kurang, perlu dilakukan penambahan Ca(OH)2 : Al2(SO4)3.18H2O + 3Ca(OH)2 → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 18H2O Alternatif lain adalah penambahan NaCO3 yang relatif lebih mahal (Al-layla, A.M. 1998). Saryati, dkk (2002) telah meneliti tentang komposit tawas, arang aktif, dan zeolit untuk memperbaiki kualitas air. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa komposit tawas, arang aktif, dan zeolit mempunyai kemampuan menurunkan kekeruhan air lebih besar daripada komponenkomponennya. Komposit ini menurunkan kekeruhan, bilangan permanganat, dan jumlah bakteri Coli dalam air. Diketahui bahwa zat terlarut yang terkandung di dalam air akan mengalami proses pengendapan secara sempurna apabila koagulan (tawas/Al2(SO4)3) yang ditambahkan dalam dosis/jumlah yang tepat. Telah dilakukan uji jar test yang menghasilkan grafik Hubungan Dosis (mg/L) dengan Kekeruhan (NTU) dan diperoleh 65 mg/L koagulan (tawas/Al2(SO4)3) yang diperlukan dalam tiap 1 liter air baku (Haslindah dan Zulkifli. 2012). Sementara itu, Ramadhani (2013) telah meneliti tentang Perbandingan Efektivitas Tepung Biji Kelor (Moringa oleifera lamk), Poly Aluminium Chloride (PAC), dan Tawas sebagai Koagulan untuk Air Jernih dan diperoleh kesimpulan bahwa tawas mampu menurunkan turbiditas sebesar 93,44%, kadar warna sebesar 87,55%, dan TSS (Total Suspended Solid) 93,366%. 2.7 Air Payau Air payau (estuaria) adalah daerah semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan lautan dan di dalamnya terjadi percampuran antara air laut dan air tawar yang berasal baik dari air hujan maupun air tawar yang berasal dari aliran sungai. 2.7.1 Karakteristik Air Payau Sumber air payau yang biasa digunakan adalah berasal dari air tanah, air tanah ini menjadi salin atau berasa asin karena intrusi air laut atau merupakan akuifer air payau alami. Air permukaan yang payau jarang dipergunakan tetapi mungkin dapat terjadi secara alami. Air payau dapat memiliki range kadar TDS yang cukup panjang yakni 1000-10.000 mg/L dan secara tipikal terkarakterisasi oleh kandungan karbon organik rendah dan partikulat rendah ataupun kontaminan koloid. Beberapa komponen yang terdapat dalam air payau seperti boron dan silika memiliki konsentrasi yang bervariasi dan dapat memiliki nilai yang beragam dari satu sumber dengan sumber lainnya (Greenlee et al. 2009). 2.8 Air Bersih Pengertian air bersih berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaaan Air Minum, pada BAB 1, Pasal 1, Ayat 1 : Air baku untuk air minum rumah tangga, yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah, dan atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. 2.8.1 Syarat Air Bersih Persyaratan yang harus dipenuhi dalam sistem penyediaan air bersih adalah persyaratan kualitatif. Syarat kualitatif adalah persyaratan yang menggambarkan kualitas dari air baku (air bersih). Persyaratan ini meliputi syarat fisik, kimia, biologis dan radiologis. 1. Kejernihan dan karakteristik alirannya 2. Rasa, dalam air yang bersih (fisik) tidak terdapat seperti rasa asin, manis, pahit, dan asam. Begitu pula terhadap bau. 3. Turbiditas, merupakan suatu ukuran yang menyatakan sampai seberapa jauh cahaya mampu menembus air. 4. Temperatur 5. pH air permukaan biasanya berkisar antara 6,5-9,0 dan pada kisaran tersebut air bersih masih layak untuk diminum (dimasak). 6. Salinitas (zat padat total), didefinisikan sebagai total padatan dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida diganti dengan klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. 7. Kelarutan oksigen atmosfer dalam air segar/tawar berkisar dari 14,6 mg/liter pada suhu 0°C hingga 7,1 mg/liter pada suhu 35°C pada tekanan 1 atmosfer. 8. BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen (mg/L) yang diperlukan oleh bakteri untuk mendekomposisikan bahan organik (hingga stabil) pada kondisi aerobik. 9. Suspended solid (SS) adalah padatan yang terkandung dalam air dan bukan merupakan larutan. 10. Nitrogen (N) 11. Senyawa toksik 12. Zat organik 13. CO2 agresif 14. Kesadahan adalah sifat air yang disebabkan oleh air karena adanya ion-ion (kation) logam valensi. 15. Kalsium (Ca) 16. Besi (Fe) 17. Tembaga (Cu) 18. Seng (Zn) 19. Chlorida (Cl) 20. Fluorida (F) 21. Nitrit (NO2-) 22. Konduktivitas atau daya hantar (panas) 23. Pesistivitas 24. PTT atau TDS (kemampuan air bersih untuk menghantarkan arus listrik) 2.8.2 Kualitas Air Bersih Syarat dari air bersih, secara terperinci telah diatur pada Permenkes RI No. 492/Menkes/Per/IV/2010, dimana pada peraturan tersebut kualitas air bersih khususnya air minum diatur berdasarkan nilai kandungan maksimum dari parameter-parameter yang berhubungan langsung dengan kesehatan seperti parameter mikrobiologi dan kimia anorganik dan parameter yang tidak berhubungan langsung dengan kesehatan seperti parameter fisik dan kimiawi (Lampiran 11). Kualitas perairan merupakan alat praktis untuk menduga dan mengevaluasi terjadinya perubahan lingkungan. Kualitas suatu perairan dinyatakan baik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai peruntukkannya, seperti bahan baku air minum, keperluan industri, pertanian, perikanan, dan rekreasi (Saeni, M. S. 1991). Menurut Hadisubroto (1989), ada beberapa petunjuk yang digunakan untuk menjelaskan adanya pencemaran dan parameter kualitas air adalah : a. Temperatur Temperatur air dapat mempengaruhi kehidupan biota air yaitu melalui pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air. Pada lapisan atas, kelarutan O2 lebih tinggi dibandingkan kelarutan O2 pada lapisan bawah yang temperaturnya lebih rendah (Achmad, R. 2004). b. Dissolved Oxygen (DO) Pada temperatur kamar, jumlah oksigen terlarut dalam air adalah sekitar 8 mg/L. Pada air yang terkena pencemaran, produksi oksigen melalui fotosintesis dan oksigen terlarut dari udara dapat menjenuhkan air dengan oksigen (Hadisubroto, T. 1989). Tabel 2.2 Hubungan DO dengan Kualitas Air Kualitas air Baik Sedikit tercemar Tercemar sedang Sangat tercemar (Hadisubroto, T. 1989) c. O2(mg/L) 13,5 – 15 11,25 – 13,5 7,5 – 11,25 < 7,5 Kekeruhan dan Warna Kekeruhan dan warna adalah bentuk cemaran yang paling mudah dikenali dalam air. Pengaruh utama dari kekeruhan adalah terjadinya penurunan penetrasi cahaya matahari secara tajam. Penurunan ini akan mengakibatkan aktivitas fotosintesis dari fitoplankton menurun (Koessoebiono. 1979). Kekeruhan disebabkan oleh partikel terlarut di dalam air yang ukurannya berkisar antara 0.01 – 10 mm. Suatu badan air jika kekeruhannya tinggi maka menunjukkan banyaknya zat organik dan anorganik yang ada pada air tersebut (Risdianto, D. 2007). d. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH berkisar antara 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan memiliki pH netral apabila memiliki nilai pH = 7, sedangkan nilai pH > 7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa, dan nilai pH < 7 menunjukkan sifat asam. Penambahan senyawa ion H+ terlarut dari suatu asam akan mendesak kesetimbangan ke kiri (ion OH- akan diikat oleh H+ membentuk air), akibatnya terjadi kelebihan ion hidrogen dan meningkatkan konsentrasi asam (Effendi, H. 2003). e. Kontaminasi Mikrobiologi Ada batas-batas kandungan mikrobiologi pada air yang kita minum sehingga masih dapat diterima sistem kekebalan tubuh manusia. Tapi jika melebihi batas tersebut, cemaran ini bisa sangat membahayakan bagi manusia (Sihombing, D. T. H. 2000). 2.9 Karakterisasi Polimer 2.9.1 Fourier Transform Infrared (FT-IR) Dalam teknik spektroskopi inframerah, sampel molekul disinari dengan radiasi inframerah dengan bilangan gelombang tertentu. Beberapa bilangan gelombang radiasi yang sesuai dengan frekuensi vibrasi akan diserap dan radiasi yang diteruskan diamati dengan suatu detektor fotolistrik (Wirjosentono, B. 1995). Spektroskopi inframerah bermanfaat untuk kajian mikrostruktur maupun gugus fungsi dalam polimer. Komposisi kopolimer olefin, gugus nitril, hidroksi sampai ketidakjenuhan dapat diungkapkan (Hartomo, A. J. 1995). Kelebihan-kelebihan dari FT-IR mencakup ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan dilengkapi komputer yang terdedikasi sehingga memiliki kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum. FT-IR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar dalam penelitianpenelitian struktur polimer karena spektrum-spektrum bisa di-scan, disimpan dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini akan memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi dan ikat silang (Stevens, M. P. 2001). Pada era modern ini, radiasi inframerah digolongkan atas empat daerah yang dapat dilihat dari tabel 2.3 berikut. Tabel 2.3 Penggolongan Daerah Radiasi Inframerah No 1 2 3 4 Daerah Inframerah Dekat Pertengahan Jauh Terpakai untuk analisis instrumental Rentang Rentang panjang bilangan gelombang (λ) gelombang (ύ) dalam µm cm-1 0,78-2,5 13000-4000 2,5-50 4000-200 50-1000 200-10 2,5-15 4000-670 Rentang frekuensi (ν) Hz 3,8-1,2(1014) 1,2-0,06(1014) 6,0-0,3(1012) 1,2-0,2(1014) Disamping untuk maksud tujuan analisis kuantitatif, spektrofotometri inframerah ditujukan untuk maksud penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisa kualitatif (Mulja, M. 1995). Molekul polimer dikenal dengan karakteristik rantai yang terdiri dari sejumlah satuan ulangan. Secara teori spektrum inframerah bahan polimer akan tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur kimia satuan ulangannya. Akan tetapi berbeda dengan senyawa berbobot molekul rendah yang murni (Wirjosentono, B. 1995). Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah spektrum inframerah merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula tidak adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah berarti bahwa gugus fungsi yang menyerap pada daerah tersebut tidak ada (Pine, S. 1988). 2.9.2 Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM) dalam hal bahwa suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi (Stevens, M. P. 2001). SEM merupakan teknik yang digunakan untuk mempelajari permukaan sampel dan material yang tebal. Berkas elektron berenergi tinggi digunakan sehingga memberikan keuntungan resolusi yang lebih baik karena radiasi elektronnya memiliki panjang gelombang yang sangat pendek (Gupta et al. 2010). 2.9.3 Analisa Permeabilitas Busa Poliuretan Analisa permeabilitas sebenarnya umum digunakan untuk membran, namun bisa juga digunakan untuk busa poliuretan yang difungsikan sebagai membran. Proses pemisahan dengan membran dapat terjadi karena adanya perbedaan ukuran pori, bentuk, serta struktur kimianya. Membran demikian biasa disebut sebagai membran semipermeabel, artinya dapat menahan spesi tertentu, tetapi dapat melewatkan spesi yang lainnya. Fasa campuran yang akan dipisahkan disebut umpan (feed), dan fasa hasil pemisahan disebut permeat (permeate). Sifat-sifat membran perlu dikarakterisasi, yang meliputi efisiensi serta mikrostrukturnya. Permeabilitas merupakan ukuran kecepatan dari suatu spesi untuk melewati membran. Sifat ini dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran pori, tekanan yang diberikan, serta ketebalan membran. Permeabilitas dinyatakan sebagai suatu besaran fluks dan dilambangkan dengan J, yang didefinisikan sebagai jumlah volume permeat yang melewati satu satuan luas membran dalam satuan waktu tertentu dengan adanya gaya penggerak berupa tekanan. Fluks = jumlah volume permeat luas membran x waktu x tekanan (1)