BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Jati Jati (Tectona Grandis

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kayu Jati
Jati (Tectona Grandis Linn. F) adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu
tinggi dan sampai sekarang masih menjadi komoditas mewah yang banyak
diminati masyarakat walaupun harga jualnya mahal. Berikut ini taksonomi dan
tatanama dari kayu jati :
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Verbenales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Spesies
: Tectona grandis
Jati memiliki tekstur kayu agak kasar dengan serat lurus. Kulit jati berwarna abuabu kecoklatan. Sementara itu, batang bagian tengah (teras) berwarna coklat muda
dan bagian dalam (galih) berwarna coklat kemerahan. Permukaan kayu jati relatif
licin dan memiliki corak yang estetis (Mawardi, P. 2012).
Sejak abad ke-9, tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan
subtropika telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kayu kualitas tinggi dan
bernilai jual tinggi. Jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan
memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan
mampu bertahan sampai 500 tahun (Suryana, Y. 2001).
Secara umum, kayu jati termasuk ke dalam kelas kuat II-III dan kelas awet
II. Ciri fisik lainnya dari kayu jati sebagai berikut :
-
Berat jenis 0,62-0,75
-
Keteguhan patah 800-1200 kg/cm2 dengan penyusutan kering tanur 2,85,2%
-
Keteguhan lentur statik 718 kg/cm2
-
Keteguhan tekan sejajar dengan arah serat maksimum 550 kg/cm2
-
Daya resistensi tinggi terhadap serangan jamur dan rayap karena terdapat
zat ekstraktif tectoquinon atau metil antraqinon. Semakin tua umur jati,
semakin kecil risiko terserang jamur dan rayap.
Sementara itu, ciri kimia kayu jati diantaranya kadar selulosa 47,5%;
lignin 29,9%; pentosan 14,4%; abu 1,4%; silika 0,4%; dan nilai kalori 5,081
kal/gram (Mawardi, P. 2012). Menurut data statistik dari Departemen Kehutanan
(2004), pada tahun 2003 produksi log Indonesia mencapai 10.086.217,06 m3 yang
berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri dan hutan rakyat. Perkembangan
industri perkayuan yang pesat tentunya juga menimbulkan hasil samping berupa
limbah. Dalam proses pengolahan kayu hanya sekitar 60-70% dari komoditi kayu
yang diolah menjadi produk, dengan limbah sisa kayu dan serbuk gergajiannya
mencapai jumlah kurang lebih 30-40% (Darmaji, dkk. 1998) atau sekitar 3,034,03 juta m3 untuk tahun 2003.
2.2
Polimer
Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang
sederhana. Nama ini diturunkan dari bahasa Yunani poly, yang berarti “banyak”,
dan mer, yang berarti “bagian”. Kata polimer pertama kali digunakan oleh
kimiawan Swedia Berzelius pada tahun 1833. Sepanjang abad 19 para kimiawan
bekerja dengan makromolekul tanpa memiliki suatu pengertian yang jelas
mengenai strukturnya (Stevens, M. P. 2001).
Polimer tinggi adalah molekul yang mempunyai massa molekul besar.
Polimer tinggi terdapat di alam (benda hidup, baik binatang maupun tumbuhan,
mengandung sejumlah besar bahan polimer) dan dapat juga disintesis di
laboratorium (Cowd, M. A. 1991).
Polimer umumnya diklasifikasikan menjadi 3, yaitu elastomer, serat, dan
plastik. Elastomer mempunyai perpanjangan yang sangat cepat yang bisa
mencapai 1000% atau lebih. Serat mempunyai modulus awal yang tinggi. Sifat
mekanik dari serat sintetik komersil tidak banyak berubah dalam range temperatur
antara -50°C dan sekitar 150°C. Plastik mempunyai modulus tegang pertengahan
(Rudin, A. 1998).
2.3
Lignin
Lignin adalah suatu produk alami yang dihasilkan oleh semua tumbuhan berkayu
yang merupakan komponen kimia dan morfologi ciri dari jaringan tumbuhan
tingkat tinggi (Dumanauw, J. F. 1992). Pada tahun 1838, Payen mereaksikan
HNO3 pekat dengan kayu, hasilnya adalah residu padat dan berserat yang disebut
selulosa (meskipun ada juga polisakarida lain). Bagian terlarut yang lebih tinggi
kadar karbonnya, oleh Schulze pada tahun 1865 disebut lignin. Pada tahun 1897,
Klason mempelajari lignosulfonat (lignin produk pabrik pulp sulfit), dan
menyimpulkan bahwa lignin terdiri dari fenilpropana (Achmadi, S. S. 1990).
Lignin secara universal terdistribusi pada semua jaringan kayu, dimana
lignin menambah kekuatan dan stabilitas dinding sel. Lignin mempunyai struktur
yang sangat kompleks, polimer, dan merupakan suatu jaringan aromatik yang
tidak larut dalam air (Sastrohamidjojo, H. 1996).
Penyelidikan lignin didasarkan pada isolasi ligninnya, misalnya lignin
kayu-giling (milled wood lignin, MWL), lignin hasil degradasi oksidatif, reduksi,
hidrolisis, asam atau basa. Selanjutnya dilakukan identifikasi produk reaksi
dengan teknik kromatografi dan spektroskopi (Achmadi, S. S. 1990).
H2COH
HCOR
HCOH
H2COH
H2COH
H3CO
HCOR
CH
O
H2COH
OH
HCOH
OCH3
HCOH
CH
HOH2C
CH
O
CH
CH
H2COH
HC
CH
CH
HC
HO
H2COH
HCOH
OCH3
H3CO
O
HC
O
HCOH
HCOH
O
OCH3
H2COH
H2COH
OCH3
HC
HC
O
HCOH
H2COH
O
H3CO
HC
O
H3CO
HCOH
O
HC
H2COH
CH
HC
HCOH
C
OH
OH
O
H3CO
HC
CH
CH3O
CH2
OCH3
H2COH
H2COH
H3CO
O
H2C
HCOH
H2COH
O
O
CHO
CH
H2COH
H3CO
CH
OCH3
O
O
H3CO
Gambar 2.1 Struktur lignin (Adler. 1977)
O
Lignin adalah bahan polimer alam kedua terbanyak setelah selulosa,
membuat kayu keras dan mampu menahan stress mekanik. Lignin berada dengan
polisakarida kayu, seperti selulosa dan hemiselulosa yang mempunyai afinitas
yang kuat terhadap molekul air (hidrofobik) dan berfungsi mengontrol penyerapan
air oleh kayu. Lignin merupakan perekat alam, suatu polimer kompleks penyusun
kayu.
Jumlah dan sifat lignin kayu sangat bervariasi bergantung pada jenis kayu,
kayu daun jarum (soft wood) atau kayu daun lebar (hard wood), lingkaran usia
kayu. Kayu daun tropis mempunyai kandungan lignin lebih tinggi dibandingkan
dengan kayu dari daerah temperatur sedang. Kandungan lignin kayu jarum
bervariasi antara 24-33% dan kayu daun tropis 26-35%. Dalam tanaman bukan
kayu kandungan lignin umumnya antara 12-17%.
Lignin merupakan senyawa polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit
fenil propana yang diikat dengan C-O-C dan C-C (Judoamidjojo, dkk. 1989).
Molekul lignin memiliki derajat polimerisasi tinggi. Oleh karena ukuran dan
strukturnya yang tiga dimensi bisa memungkinkan lignin berfungsi sebagai semen
atau lem bagi kayu yang dapat mengikat serat dan memberikan kekerasan struktur
serat. Bagian tengah lamela pada sel kayu, sebagian besar terdiri dari lignin,
berikatan dengan sel-sel lain dan menambah kekuatan struktur kayu. Selain itu,
dinding sel kayu juga mengandung lignin (Muzzie, M. D. 2006).
Lignin kayu mengandung unit guasilpropana (G) dan siringilpropana (S),
dengan rasio perbandingan G/S 4:1 sampai 1:2, dan dalam jumlah yang kecil
terdapat hidroksifenilpropana (H) (Walker, J. C. F. 2006).
OH
OH
OCH3
OH
p-coumaryl
p-hydroxyphenyl (H)
OCH3
CH3O
OH
OH
sinapyl
coniferyl
OCH3
OH
OH
OH
guaiasyl (G)
CH3O
OCH3
OH
syringyl(S)
Gambar 2.2 Unit penyusun lignin (Lewis and Etsuo. 1990)
Biosintesis lignin dimulai dengan turunan glukosa yang berasal dari proses
fotosintesis, yang mana akan dikonversi menjadi asam sikhimat yang berperan
penting pada jalannya metabolisme (Fengel and Wegner. 1995).
Lignin mempunyai gugus fungsi antara lain metoksil, hidroksil fenolik,
hidroksil non fenolik, karbonil, eter, dan karboksilat. Gugus hidroksil fenolik ini
sangat mempengaruhi stabilitas warna putih pulp. Hal ini karena kemampuannya
memecah ikatan eter yang dibantu oleh katalis basa dan degradasi oksidatif lignin.
Reaktivitas kimiawi lignin sangat dipengaruhi kandungan hidroksil fenolik (Supri.
2000).
Unit dasar senyawa lignin berasal dari fenilpropana yakni terdiri dari
sebuah cincin benzena dengan enam atom karbon yang pada salah satu sisinya
melekat tiga atom karbon berantai lurus. Dan ada pula gugus metoksil (H3CO-)
yang banyak melekat pada cincin aromatik lignin. Namun beberapa dari gugus
tersebut terpisah selama proses pulping kraft (Harkin, J. M. 1969).
Berat molekul lignin diperkirakan sangat tinggi, tetapi karena proses
pemisahan dari selulosa tak terelakkan lagi menyebabkan degradasi, untuk
menyatakan berapa besar tingginya adalah hal yang tidak mungkin. Karena lignin
mengandung cincin aktif
benzena dalam jumlah yang besar, lignin yang
terdegradasi akan bereaksi dengan cepat (Stevens, M. P. 2001). Lignin merupakan
termoplastik alam yang akan menjadi lunak pada suhu yang lebih tinggi dan akan
keras kembali apabila menjadi dingin (Haygreen dan Bowyer. 1996).
2.4
Poliuretan
Poliuretan merupakan bahan polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus
fungsi uretan (-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus fungsi uretan
dihasilkan dari reaksi antara senyawa yang mengandung gugus hidroksil (-OH)
dengan senyawa yang mengandung gugus isosianat (-NCO). Berdasarkan
jenisnya, poliuretan dapat berupa termoplastik atau termoset yang merupakan
produk reaksi isosianat polifungsi dan alkohol polihidroksi atau poliester tertentu.
Kemudian ketahanan terhadap air, bahan kimia, ozon sampai radiasi dan cuaca
juga cukup baik (Hartomo, A. J. 1992).
Polimer termoset mempunyai kekuatan yang tinggi, ketahanan terhadap
kelembaban, cukup kaku, dan memiliki kemampuan jangka pembebanan yang
lama tanpa mengalami perubahan bentuk. Jenis perekat yang tergolong kategori
polimer ini adalah fenol, resorsinol, melamin, isosianat, urea, dan epoksi (Vick, C.
B. 1999).
2.4.1
Komponen Pembentuk Poliuretan
2.4.1.1 Isosianat
Isosianat merupakan komponen dasar utama dari polimer poliuretan. Isosianat
merupakan sumber gugus N=C=O (NCO) yang bisa bereaksi dengan gugus
hidroksil dari poliol, air, dan pengcrosslink dalam pembentukan busa (Li, Y.
2012).
Isosianat
aromatik
komersil
yang
paling
penting
adalah
toluenediisocyanate (TDI), diphenylmethane diisocyanate (MDI), dan naphtalene
diisocyanate (NDI).
CH3
NCO
CH3
NCO
OCN
NCO
(ii)
(i)
Gambar 2.3 Struktur (i) 2,4-TDI, (ii) 2,6-TDI (Kricheldorf, H. R. 2005)
2.4.1.2 Poliol
Komponen dasar kedua dari polimer poliuretan adalah poliol. Poliol polieter
(polipropilen glikol dan triol) mempunyai berat molekul antara 400 dan 10000
yang mendominasi teknologi busa. Busa biasanya dibuat dengan triol, yang
membentuk produk crosslink dengan diisosianat, sedangkan diol mendominasi
dalam teknologi elastomer. Poliol polipropilen oksida (PPO), yang juga disebut
polipropilen glikol (PPG) lebih murah dibandingkan poliol lain. Struktur PPG
digambarkan sebagai berikut :
H
O
HC
CH3
H2C
n
O
R
O
CH2
CH
O
n
CH3
Gambar 2.4 Struktur PPG (Kricheldorf, H. R. 2005)
H
Poliol sintetis dibagi menjadi dua jenis yaitu poliol poliester dan poliol
polieter (Sparrow, D. 1990). Poliol yang digunakan dalam pembentukan rigid PU
foam mempunyai bilangan hidroksil yang tinggi (berat KOH dalam miligram
yang akan menetralkan asam dari 1 gram poliol) antara 300 dan 800 mg KOH/g
(Ionescu, M. 2005). Poliol untuk busa uretan adalah senyawa polimer dengan
sedikitnya dua gugus hidroksil (Ashida, K. 2007).
2.4.1.3 Bahan Pengembang (blowing agent)
Bahan pengembang (blowing agent) untuk pembuatan busa poliuretan terbagi dua
yaitu
blowing
agent
fisika,
misalnya
gas-gas
(udara,
nitrogen
atau
karbondioksida) yang oleh tekanan larut dalam polimernya; dan blowing agent
kimia yang terurai oleh pemanasan untuk melepaskan gas, misalnya cairan bertitik
didih rendah seperti metil klorida, aseton, dan CFCl3(Stevens, M. P. 2001).
Blowing agent konvensional adalah air, yang merupakan sumber hidrogen aktif.
Untuk kontrol yang lebih baik dalam proses foaming, air destilasi atau deionisasi
digunakan sebagai blowing agent oleh pabrik busa (Youn et al. 2007).
2.4.2
Kegunaan Poliuretan
Poliuretan memiliki banyak kegunaan, diantaranya sekitar 70% digunakan sebagai
busa, bahan elastomer, lem, dan pelapis. Busa poliuretan yang elastis digunakan
sebagai isolator, termasuk panel pelindung, kain pelapis, tempat tidur, dan spon,
sedangkan busa yang keras digunakan dalam panel konstruksi terisolasi,
pengemasan barang lunak dan untuk furnitur ringan (Stevens, M. P. 2001).
2.5
Busa Poliuretan (polyurethane foam)
Busa (foam) didefinisikan sebagai substansi yang dibentuk dengan menjebak
gelembung gas di dalam cairan atau padatan. Busa poliuretan diklasifikasikan ke
dalam tiga tipe, yaitu flexible foam, rigid foam, dan semi rigid foam.
Perbedaan sifat fisik dari tiga tipe polyurethane foamtersebut berdasarkan
pada perbedaan berat molekul fungsionalitas poliol dan fungsionalitas isosianat.
Berdasarkan struktur selnya, foam dibedakan menjadi dua, yaitu closed cell (sel
tertutup) dan opened cell (sel terbuka). Foam dengan struktur closed cell
merupakan jenis rigid foam sedangkan foam dengan struktur opened cell adalah
flexible foam(Cheremisinoff, N. P. 1989). Klasifikasi dari busa poliuretan dapat
dilihat dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Busa Poliuretan
Polyol
OH No.
OH equivalent No.
Functionality
Elastic Modulus at 23°C
MPa
Lb/in2
(Ashida, K. 2007)
2.6
Rigid foam
350-560
160-100
3.0-8.0
Semirigid foam
100-200
560-280
3.0-3.5
Flexible foam
5.6-70
10,000-800
2.0-3.1
>700
>100,000
700-70
100,000-10,000
<70
<10,000
Tawas
Persenyawaan aluminium sulfat (Al2(SO4)3) atau sering disebut tawas adalah
suatu jenis koagulan yang sangat populer secara luas digunakan, sudah dikenal
bangsa Mesir pada awal tahun 2000 SM. Alum atau tawas sebagai penjernih air
mulai diproduksi oleh pabrik pada awal abad 15. Alum atau tawas merupakan
bahan koagulan yang paling banyak digunakan, karena bahan ini paling ekonomis
(murah), mudah didapatkan di pasaran, serta mudah penyimpanannya (Budi, S. S.
2006).
Tawas atau alum berada dalam bentuk batuan, serbuk, atau cairan. Massa
jenis alum adalah 480 kg/m3 dengan kadar air 11-17%. Alum dilarutkan dalam air
dengan kadar 3-7% (5% rata-rata) untuk pembubuhan. Kadar maksimum aplikasi
12-15%. Aluminium sulfat memerlukan alkalinitas (seperti kalsium bikarbonat)
dalam air agar terbentuk flok :
Al2(SO4)3.18H2O + 3Ca(HCO3)2 → 2Al(OH)3 + CaSO4 + 18H2O + 6CO2
CaSO4 + Na2CO3 → CaCO3 + Na2SO4
Bila alkalinitas alamnya kurang, perlu dilakukan penambahan Ca(OH)2 :
Al2(SO4)3.18H2O + 3Ca(OH)2 → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 18H2O
Alternatif lain adalah penambahan NaCO3 yang relatif lebih mahal (Al-layla,
A.M. 1998).
Saryati, dkk (2002) telah meneliti tentang komposit tawas, arang aktif, dan
zeolit untuk memperbaiki kualitas air. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa komposit tawas, arang aktif, dan zeolit mempunyai
kemampuan menurunkan kekeruhan air lebih besar daripada komponenkomponennya. Komposit ini menurunkan kekeruhan, bilangan permanganat, dan
jumlah bakteri Coli dalam air.
Diketahui bahwa zat terlarut yang terkandung di dalam air akan
mengalami
proses
pengendapan
secara
sempurna
apabila
koagulan
(tawas/Al2(SO4)3) yang ditambahkan dalam dosis/jumlah yang tepat. Telah
dilakukan uji jar test yang menghasilkan grafik Hubungan Dosis (mg/L) dengan
Kekeruhan (NTU) dan diperoleh 65 mg/L koagulan (tawas/Al2(SO4)3) yang
diperlukan dalam tiap 1 liter air baku (Haslindah dan Zulkifli. 2012). Sementara
itu, Ramadhani (2013) telah meneliti tentang Perbandingan Efektivitas Tepung
Biji Kelor (Moringa oleifera lamk), Poly Aluminium Chloride (PAC), dan Tawas
sebagai Koagulan untuk Air Jernih dan diperoleh kesimpulan bahwa tawas
mampu menurunkan turbiditas sebesar 93,44%, kadar warna sebesar 87,55%, dan
TSS (Total Suspended Solid) 93,366%.
2.7
Air Payau
Air payau (estuaria) adalah daerah semi tertutup yang mempunyai hubungan
bebas dengan lautan dan di dalamnya terjadi percampuran antara air laut dan air
tawar yang berasal baik dari air hujan maupun air tawar yang berasal dari aliran
sungai.
2.7.1
Karakteristik Air Payau
Sumber air payau yang biasa digunakan adalah berasal dari air tanah, air tanah ini
menjadi salin atau berasa asin karena intrusi air laut atau merupakan akuifer air
payau alami. Air permukaan yang payau jarang dipergunakan tetapi mungkin
dapat terjadi secara alami. Air payau dapat memiliki range kadar TDS yang cukup
panjang yakni 1000-10.000 mg/L dan secara tipikal terkarakterisasi oleh
kandungan karbon organik rendah dan partikulat rendah ataupun kontaminan
koloid. Beberapa komponen yang terdapat dalam air payau seperti boron dan
silika memiliki konsentrasi yang bervariasi dan dapat memiliki nilai yang
beragam dari satu sumber dengan sumber lainnya (Greenlee et al. 2009).
2.8
Air Bersih
Pengertian air bersih berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaaan Air Minum,
pada BAB 1, Pasal 1, Ayat 1 : Air baku untuk air minum rumah tangga, yang
selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air
permukaan, cekungan air tanah, dan atau air hujan yang memenuhi baku mutu
tertentu sebagai air baku untuk air minum.
2.8.1
Syarat Air Bersih
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam sistem penyediaan air bersih adalah
persyaratan kualitatif. Syarat kualitatif adalah persyaratan yang menggambarkan
kualitas dari air baku (air bersih). Persyaratan ini meliputi syarat fisik, kimia,
biologis dan radiologis.
1.
Kejernihan dan karakteristik alirannya
2.
Rasa, dalam air yang bersih (fisik) tidak terdapat seperti rasa asin, manis,
pahit, dan asam. Begitu pula terhadap bau.
3.
Turbiditas, merupakan suatu ukuran yang menyatakan sampai seberapa jauh
cahaya mampu menembus air.
4.
Temperatur
5.
pH air permukaan biasanya berkisar antara 6,5-9,0 dan pada kisaran tersebut
air bersih masih layak untuk diminum (dimasak).
6.
Salinitas (zat padat total), didefinisikan sebagai total padatan dalam air
setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida
diganti dengan klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi.
7.
Kelarutan oksigen atmosfer dalam air segar/tawar berkisar dari 14,6 mg/liter
pada suhu 0°C hingga 7,1 mg/liter pada suhu 35°C pada tekanan 1 atmosfer.
8.
BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen (mg/L) yang diperlukan oleh
bakteri untuk mendekomposisikan bahan organik (hingga stabil) pada kondisi
aerobik.
9.
Suspended solid (SS) adalah padatan yang terkandung dalam air dan bukan
merupakan larutan.
10. Nitrogen (N)
11. Senyawa toksik
12. Zat organik
13. CO2 agresif
14. Kesadahan adalah sifat air yang disebabkan oleh air karena adanya ion-ion
(kation) logam valensi.
15. Kalsium (Ca)
16. Besi (Fe)
17. Tembaga (Cu)
18. Seng (Zn)
19. Chlorida (Cl)
20. Fluorida (F)
21. Nitrit (NO2-)
22. Konduktivitas atau daya hantar (panas)
23. Pesistivitas
24. PTT atau TDS (kemampuan air bersih untuk menghantarkan arus listrik)
2.8.2
Kualitas Air Bersih
Syarat dari air bersih, secara terperinci telah diatur pada Permenkes RI No.
492/Menkes/Per/IV/2010, dimana pada peraturan tersebut kualitas air bersih
khususnya air minum diatur berdasarkan nilai kandungan maksimum dari
parameter-parameter yang berhubungan langsung dengan kesehatan seperti
parameter mikrobiologi dan kimia anorganik dan parameter yang tidak
berhubungan langsung dengan kesehatan seperti parameter fisik dan kimiawi
(Lampiran 11).
Kualitas
perairan
merupakan
alat
praktis
untuk
menduga
dan
mengevaluasi terjadinya perubahan lingkungan. Kualitas suatu perairan
dinyatakan baik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai
peruntukkannya, seperti bahan baku air minum, keperluan industri, pertanian,
perikanan, dan rekreasi (Saeni, M. S. 1991).
Menurut Hadisubroto (1989), ada beberapa petunjuk yang digunakan
untuk menjelaskan adanya pencemaran dan parameter kualitas air adalah :
a.
Temperatur
Temperatur air dapat mempengaruhi kehidupan biota air yaitu melalui
pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air. Pada lapisan atas, kelarutan O2
lebih tinggi dibandingkan kelarutan O2 pada lapisan bawah yang temperaturnya
lebih rendah (Achmad, R. 2004).
b.
Dissolved Oxygen (DO)
Pada temperatur kamar, jumlah oksigen terlarut dalam air adalah sekitar 8
mg/L. Pada air yang terkena pencemaran, produksi oksigen melalui fotosintesis
dan oksigen terlarut dari udara dapat menjenuhkan air dengan oksigen
(Hadisubroto, T. 1989).
Tabel 2.2 Hubungan DO dengan Kualitas Air
Kualitas air
Baik
Sedikit tercemar
Tercemar sedang
Sangat tercemar
(Hadisubroto, T. 1989)
c.
O2(mg/L)
13,5 – 15
11,25 – 13,5
7,5 – 11,25
< 7,5
Kekeruhan dan Warna
Kekeruhan dan warna adalah bentuk cemaran yang paling mudah dikenali
dalam air. Pengaruh utama dari kekeruhan adalah terjadinya penurunan penetrasi
cahaya matahari secara tajam. Penurunan ini akan mengakibatkan aktivitas
fotosintesis dari fitoplankton menurun (Koessoebiono. 1979). Kekeruhan
disebabkan oleh partikel terlarut di dalam air yang ukurannya berkisar antara 0.01
– 10 mm. Suatu badan air jika kekeruhannya tinggi maka menunjukkan
banyaknya zat organik dan anorganik yang ada pada air tersebut (Risdianto, D.
2007).
d.
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH berkisar antara 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan memiliki pH
netral apabila memiliki nilai pH = 7, sedangkan nilai pH > 7 menunjukkan larutan
memiliki sifat basa, dan nilai pH < 7 menunjukkan sifat asam. Penambahan
senyawa ion H+ terlarut dari suatu asam akan mendesak kesetimbangan ke kiri
(ion OH- akan diikat oleh H+ membentuk air), akibatnya terjadi kelebihan ion
hidrogen dan meningkatkan konsentrasi asam (Effendi, H. 2003).
e.
Kontaminasi Mikrobiologi
Ada batas-batas kandungan mikrobiologi pada air yang kita minum sehingga
masih dapat diterima sistem kekebalan tubuh manusia. Tapi jika melebihi batas
tersebut, cemaran ini bisa sangat membahayakan bagi manusia (Sihombing, D. T.
H. 2000).
2.9 Karakterisasi Polimer
2.9.1
Fourier Transform Infrared (FT-IR)
Dalam teknik spektroskopi inframerah, sampel molekul disinari dengan radiasi
inframerah dengan bilangan gelombang tertentu. Beberapa bilangan gelombang
radiasi yang sesuai dengan frekuensi vibrasi akan diserap dan radiasi yang
diteruskan diamati dengan suatu detektor fotolistrik (Wirjosentono, B. 1995).
Spektroskopi inframerah bermanfaat untuk kajian mikrostruktur maupun gugus
fungsi dalam polimer. Komposisi kopolimer olefin, gugus nitril, hidroksi sampai
ketidakjenuhan dapat diungkapkan (Hartomo, A. J. 1995).
Kelebihan-kelebihan dari FT-IR mencakup ukuran sampel yang kecil,
perkembangan spektrum yang cepat, dan dilengkapi komputer yang terdedikasi
sehingga memiliki kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum.
FT-IR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar dalam penelitianpenelitian struktur polimer karena spektrum-spektrum bisa di-scan, disimpan dan
ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini akan memudahkan penelitian
reaksi-reaksi polimer seperti degradasi dan ikat silang (Stevens, M. P. 2001).
Pada era modern ini, radiasi inframerah digolongkan atas empat daerah
yang dapat dilihat dari tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Penggolongan Daerah Radiasi Inframerah
No
1
2
3
4
Daerah Inframerah
Dekat
Pertengahan
Jauh
Terpakai untuk analisis
instrumental
Rentang
Rentang
panjang
bilangan
gelombang (λ) gelombang (ύ)
dalam µm
cm-1
0,78-2,5
13000-4000
2,5-50
4000-200
50-1000
200-10
2,5-15
4000-670
Rentang
frekuensi (ν)
Hz
3,8-1,2(1014)
1,2-0,06(1014)
6,0-0,3(1012)
1,2-0,2(1014)
Disamping untuk maksud tujuan analisis kuantitatif, spektrofotometri inframerah
ditujukan untuk maksud penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisa
kualitatif (Mulja, M. 1995).
Molekul polimer dikenal dengan karakteristik rantai yang terdiri dari
sejumlah satuan ulangan. Secara teori spektrum inframerah bahan polimer akan
tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur kimia satuan ulangannya.
Akan tetapi berbeda dengan senyawa berbobot molekul rendah yang murni
(Wirjosentono, B. 1995). Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus
fungsi dalam sebuah spektrum inframerah merupakan petunjuk pasti bahwa
beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula
tidak adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah
spektrum inframerah berarti bahwa gugus fungsi yang menyerap pada daerah
tersebut tidak ada (Pine, S. 1988).
2.9.2
Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM) dalam hal bahwa
suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan
sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda.
Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang
memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra
dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi
(Stevens, M. P. 2001).
SEM merupakan teknik yang digunakan untuk mempelajari permukaan
sampel dan material yang tebal. Berkas elektron berenergi tinggi digunakan
sehingga memberikan keuntungan resolusi yang lebih baik karena radiasi
elektronnya memiliki panjang gelombang yang sangat pendek (Gupta et al. 2010).
2.9.3
Analisa Permeabilitas Busa Poliuretan
Analisa permeabilitas sebenarnya umum digunakan untuk membran, namun bisa
juga digunakan untuk busa poliuretan yang difungsikan sebagai membran. Proses
pemisahan dengan membran dapat terjadi karena adanya perbedaan ukuran pori,
bentuk, serta struktur kimianya. Membran demikian biasa disebut sebagai
membran semipermeabel, artinya dapat menahan spesi tertentu, tetapi dapat
melewatkan spesi yang lainnya. Fasa campuran yang akan dipisahkan disebut
umpan (feed), dan fasa hasil pemisahan disebut permeat (permeate). Sifat-sifat
membran perlu dikarakterisasi, yang meliputi efisiensi serta mikrostrukturnya.
Permeabilitas merupakan ukuran kecepatan dari suatu spesi untuk
melewati membran. Sifat ini dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran pori, tekanan
yang diberikan, serta ketebalan membran. Permeabilitas dinyatakan sebagai suatu
besaran fluks dan dilambangkan dengan J, yang didefinisikan sebagai jumlah
volume permeat yang melewati satu satuan luas membran dalam satuan waktu
tertentu dengan adanya gaya penggerak berupa tekanan.
Fluks =
jumlah volume permeat
luas membran x waktu x tekanan
(1)
Download