Koruptor, Pengkhianat Bangsa

advertisement
14 | Opini
JUMAT, 26 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA
Koruptor, Pengkhianat Bangsa
Oleh Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP-UI
H
IDUP mewah para
koruptor yang sudah terjerat proses
hukum menjadi
bukti bahwa korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) belum menjadi
bagian dari kesatuan gerak
pemberantasan dan pencegahan penyakit bangsa nomor satu
di Indonesia.
Semakin terkuak bongkahan
puncak gunung es ketika Gayus
melenggang ke Bali dengan
mudah walau sudah menjadi
pesakitan di Mako Brimob Kelapa Dua. Sesuatu yang tidak
mungkin untuk kejahatan lainnya walaupun tidak disebutkan
dalam UU sebagai kejahatan
luar biasa.
Kesimpulannya, belum cukupkah energi untuk menggerakkan proses penyembuhan
penyakit kronis tersebut dari
bumi Indonesia?
Peyorasi kejadian luar
biasa
Riggs (1960) menyimpulkan
adanya budaya formalisme
yang kuat tumbuh dalam tubuh bangsa negara berkembang termasuk Indonesia.
Dalam konsep agama, formalisme itu biasa disebut dengan
istilah munafik, yakni adanya
beda antara yang tertulis dan
kenyataannya dan beda antara
yang terucap dan apa yang
dilakukan.
Ciri-ciri penyakit itu yang
mengkhawatirkan adalah me-
makan potensi positif dari
pihak lain yang belum terpengaruh atau masih lemah derajat formalismenya. Pelakunya, orang munafik, ditandai
keinginannya diterima semua
kalangan dan akhirnya meminta orang lain berperilaku
sama.
Dengan demikian, kemunafikan akan selalu meminta
korban. Oleh karena itu, justru
orang yang baik akan tertelan.
Akhirnya, ketika semua orang
menjadi munafik, orang yang
tidak munafik atau tidak berpaham formalisme malah dianggap aneh.
Hingga saat ini, budaya formalisme menjadi perilaku
bersama bangsa Indonesia.
Dengan demikian, di Indonesia, orang yang tidak formalistis malah dianggap aneh. Oleh
karena itu, jika menganggap
bahwa korupsi itu kejadian
luar biasa betul-betul dijalankan dan diberantas, orang itu
akan dianggap aneh orang
tersebut. Dalam hal ini, tengah
terjadi penyusutan makna
(peyorasi) mengenai korupsi
sebagai kejahatan luar biasa
sejak UU yang mengatur KPK
diberlakukan.
Struktur nilai dan struktur
sosial-politik juga dipahami
bangsa Indonesia tidak mengarah pada kesatuan pemaknaan korupsi sebagai kejahatan
luar biasa. Namun, dalam retorika, diskusi, dalam pemandangan politik semua nampak
sepakat menuliskan dan mengatakan sebagai kejahatan
luar biasa. Namun, pada saat
perwujudan menghilang dan
lenyap sebagai penyakit, terjadi penyusutan yang luar biasa. Itu adalah sebuah
kemunafikan yang nyata
dalam praktik negara
Indonesia. Ada hubungan yang kuat antara
pemberantasan dan
pencegah an perilaku
korupsi bangsa Indonesia dengan kemunafikan
ini.
Suntikan energi
Formalisme di Eropa
ditepis dengan gerakan
struktur yang sangat
kuat dengan memberikan power dan energi
kepada negara untuk
otonom dan menjadi
gerakan kultural yang
masif merasuki rasionalitas masyarakat Eropa.
Telah ratusan tahun ini
menjadi sebuah gerakan
nilai yang terintegrasi
dalam masyarakatnya,
menjadi etika moral
yang berpengaruh.
Kini masyarakat Eropa
menghadapi musuh
yang tidak ringan, yaitu
serangan terhadap celah-celah ketidaklengkapan struktur formal
tersebut. Namun, kemajuan ilmu dan teknologi
mereka manfaatkan untuk
menjadi garda penepis rapuhnya struktur tersebut. Kultur
formalisme sudah lama dikubur di sana. Jangan main-
main dengan orang Barat kalau
sudah berjanji. Buat mereka
janji adalah harga mati dan
merupakan ukuran kredibilitas
seseorang.
Eropa dan negara maju
menghadapi penyakit lain
yang berupa serangan pembangkangan, baik terlihat maupun tidak.
Dalam ekonomi politik di-
atasi dengan amandemen terus-menerus peraturan yang
ada.
Pembangkangan masyarakat
Eropa hanya soal sikap oportunis yang dapat dicegah jika
seperangkat aturannya
diperbaiki karena akan
dipatuhi, kemudian direspons kembali untuk
mencari kelemahannya
begitu berulang sampai
akhir zaman.
Di negara berkembang bukan saja sikap
oportunis, melainkan
juga menghadapi kemunafikan dalam praktek
negara (baca: formalisme) yang menjadi
musuh terlihat, tetapi
tidak mudah ditumpas
karena menyangkut kebiasaan dan perilaku
bersama.
Formalisme itu harus
ditantang dengan gerakan ideologis yang sarat
nilai dan berefek pada
p e r u b a h a n k u l t u r.
Gerakan itu bisa didorong dengan mengembalikan proses penyusutan. Terobosannya adalah menempatkan posisi
ko rup si pada pengkhianatan bangsa.
Pengkhianatan dan
pelakunya (pengkhianat) dalam tradisi Eropa yang didahului kemPATA AREADI
ajuan peradaban Islam
Eropa kini terbangun sede- disematkan yang utama adalah
mikian rupa, wajar jika salah pada orang munafik.
Dengan kata lain, orang
satu rujukan, misalnya North
(1993) mengatakan bahwa pe- yang komitmennya rendah
nyakit-penyakit kekinian di- bahkan yang bertentangan
dengan komitmennya ditempatkan sebagai pengkhianat.
Oleh karenanya dalam manajemen negara bangsa-bangsa
tersebut selalu ditumpas.
Mereka keras memerangi kaum
munafik. Mereka keras mengatasi orang yang komitmennya
rendah bahkan tidak memiliki
komitmen. Koruptor amatlah
tinggi kadarnya sebagai orang
munafik.
Untuk menjadi koruptor
kelas teri harus melewati dulu
atau berlatih dahulu menjadi
orang munafik, apalagi koruptor kelas kakap. Mereka terlatih dan terdidik oleh lingkungan maupun oleh strukturstruktur nilai, sosial-politik
yang ada. Dengan demikian,
pengkhianatan itu terlatih.
Jika kita tempatkan koruptor
itu pengkhianat, besar sekali
energi untuk menumpasnya.
Efeknya juga adalah adanya
gerakan kultural yang bisa
berimbas pada rasionalitas
bangsa. Gerakan itu menjadikan kita menyisakan persoalan
manajemen organisasi negara
hanya pada soal oportunis
manusia.
Soal ini sampai kapan pun
akan hidup hingga akhir zaman sehingga justru dituntut
sistem organisasi negara harus
semakin lengkap. Bahkan sikap
itu juga hidup dalam struktur
organisasi informal.
Dengan begitu, sikap-sikap
tersebut dapat diminimalisasi
sedemikian rupa melalui perbaikan sistem (peraturan perundangan) agar tidak mengganggu efektivitas manajemen
organisasi negara.
ga, termasuk berbagai sistem
politik di dunia. Juga suatu
negara pejabat menjadi ketinggalan karena peningkatan kecerdasan dan kompleksitas
masyarakatnya sendiri.”
diri bahwa merekalah anak
revolusi yang punya nyali.
Namun, rasanya jauh lebih
gampang terjun di media tanpa
mempertimbangkan sisi bisnisnya. Orang-orang pers atau
media massa adalah anak zaman.
Namun, sejauh apa wartawan larut menjadi anak zaman? Sejauh apa pertimbangan bisnis membuatnya lupa
diri? Perhatikan apa yang pernah dikatakan Goenawan
Mohamad: “Maklum, di manamana kita melihat mentalitas
bayaran--orang-orang politik,
birokrat dan pejabat, ahli ilmu,
dan wartawan. Apakah itu
memang sifat bangsa kita?
Saya kira tidak. Saya kira itu
sifat setiap bangsa pada saat
mereka baru saja menyaksikan
hasil-hasil sebuah perekonomian yang bergerak, tapi tak
punya kesempatan untuk
mempersoalkan benar atau
tidaknya mentalitas bayaran
itu.” Walaupun Goenawan
mengatakannya hampir seperempat abad yang lalu,
konsep tersebut terbukti masih
berlaku sampai sekarang.
Singkat kata, wartawanwartawan umumnya, yang
mengelola TV khususnya, bisa
dipuja atau sebaliknya dicela
habis-habisan karena kinerja
mereka dan tergantung pada
kepekaan nurani, nilai-nilai
moral dan kesopanan yang
mengawal mereka; selain
kelincahan berpikir sesuai dengan perkembangan situasi.
Selamat ulang tahun ke-10
Metro TV.
sebutkan dengan jelas sebagai
sikap ‘oportunis’. Yang terlihat
tentu mudah ditumpas, yang
sulit adalah pembangkangan
tidak terlihat. Sebetulnya karena rasionalitas masyarakat
Televisi Cermin Zaman
B
DOK-PRIBADI
Oleh
Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi
Media Group
EBERAPA hari sebelum Metro TV mengudara satu dasawarsa
yang lalu, seorang tokoh pertelevisian Indonesia
bertanya, “Apakah televisi
berita memiliki daya tarik?
Sulit untuk membayangkan.”
Untuk menghindari perdebatan berlarut, pertanyaan itu
dibiarkan mengambang, berlalu tanpa jawaban. Sepuluh
tahun kemudian terbukti, televisi berita adalah anak zaman.
Dia berfungsi mencerdaskan.
Pesan-pesan yang disampaikan
Metro TV memenuhi kebutuhan penonton sasarannya. Yakni
mereka yang menghendaki siaran padat berita dan informasi, sesuai dengan dinamika
kehidupan modern.
Tidak ada masyarakat yang
homogen. Semakin tinggi heterogenitas, semakin banyak
memerlukan pilihan dan pengkhususan pelayanan jasa, termasuk jasa penyebaran informasi. Ini yang terbaca oleh tokoh pers Surya Paloh, yang
idealisme, nyali, dan visinya
mencetuskan gagasan melahirkan TV berita pertama di Indonesia.
Menanggapi banjir
informasi
Dalam era informasi, yang
mencemplungkan masyarakat
dalam banjir informasi, para
pengamat sosial mendapati
ada dua hal yang meminta
perhatian: 1) jenis informasi
yang datang dan 2) jenis
masyarakat penerima informasi. Penerima informasi
memiliki konsep yang berbeda-beda mengenai informasi
yang diserap, sesuai dengan
pendidikan dan pengalaman
masing-masing. Dr Philip Kotler (1931-...), ahli pemasaran,
dalam Social Marketing menyatakan bahwa masyarakat menafsirkan informasi sesuai
dengan keyakinan dan nilainilai yang dianutnya. Selain
itu, ada saja kelompok yang
secara kronis tidak reseptif
terhadap informasi karena
pengetahuan mereka demikian
minim.
Akibatnya, informasi tidak
gampang menyentuh perhatiannya. Respons terhadap informasi meningkat kala dia
merasa pesan yang disampaikan melibatkan kepentingannya, atau sesuai dengan sikapnya. Masyarakat, kata Kotler,
cenderung menolak informasi
yang bertentangan dengan
pendapat atau seleranya. Sebaliknya, dia cenderung menyambut gembira informasi
yang mengenakkan atau sesuai dengan kebutuhan pikiran
dan perasaannya. Tidak mustahil yang diserap hanya yang
bersifat hiburan, ringan, atau
bahkan yang merangsang
naluri rendah. Kenyataan
tersebut mendorong media
elektronik TV umumnya menyuguhkan berbagai jenis
program dalam satu paket siaran, demi menarik sebanyakbanyaknya penonton. Ini pun
suatu pilihan.
Dalam kaitan efek siaransiaran televisi terhadap penonton, Dr Juwono Sudarsono,
yang juga pakar pendidikan
dan komunikasi, pernah mengatakan dalam suatu seminar
bahwa masyarakat yang
mendapat berbagai macam
informasi belum tentu masyarakat yang produktif. Mengutip salah satu edisi majalah
bulanan World Monitor, terbitan Christian Science Publishing Society, Juwono kemudian
memaparkan tentang sebuah
organisasi yang pernah ada di
Amerika, Action for Children
Television (ACT; 1968-1992).
efisien dan cost effective, ACT,
sebelum dibubarkan pada
1992, pernah menuntut agar
anak-anak Amerika pun
dididik dan didayagunakan
dalam arti luas supaya memahami tempat dan kedudukan
Amerika sebagai kekuatan
perekonomian dunia. Dengan
kata lain, orientasi siaran televisi hendaknya diarahkan
bukan terutama pada hiburan,
melainkan pada fungsinya
yang utama, yakni ‘mencerdaskan’ masyarakat.
Wartawan-wartawan umumnya, yang
mengelola TV khususnya, bisa dipuja atau
sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja
mereka dan tergantung pada kepekaan
nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang
mengawal mereka.”
Organisasi tersebut memperjuangkan agar Kongres
Amerika mengupayakan pembaharuan dalam rancangan
program-program televisi
Amerika. Desakan itu diajukan bukan hanya dalam rangka memperbaiki dan membersihkan siaran-siaran untuk
orang-orang dewasa yang
sempat ditonton anak-anak,
melainkan juga dalam usaha
meningkatkan daya saing
Amerika menghadapi perekonomian negara-negara lain.
Karena televisi salah satu
media pendidikan yang paling
Bahwa media diharapkan
mampu mencerdaskan
masyarakat, agaknya umum
disepakati. Betapa besar peran
pengelola yang ada di belakang
media, umum dimengerti. Seperti kata almarhum Dr Soedjatmoko, yang prihatin menghadapi masa depan, dan kami
k u t i p , “ Te r k e m b a n g n y a
masyarakat informasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia,
telah mengakibatkan perubahan sosial yang demikian pesat
dan mendalam sehingga
melampaui kemampuan penyesuaian kebanyakan lemba-
Retrospeksi wartawan
“The press thinks he is Jesus
Christ, but he is not.” Ucapan
yang pernah dilontarkan Jenderal Benny Moerdani (alm)
dalam suatu kelompok diskusi
itu tidak gampang dilupakan.
Bagi wartawan, ucapan itu menyengat, tetapi membuat orang
mawas diri. Apakah wartawan
bersikap gagah-gagahan?
Media massa adalah cermin
zaman. Wartawan mengungkap situasi zaman. Bukan
hanya hasil pembangunan
yang diungkap. Struktur
hubungan sosial pada umumnya, jenis-jenis kekuatan/
kekuasaan yang ada, maupun
pengaruh tekanan-tekanan
institusional dan industri (media) juga diungkap. Media
massa jelas tidak mungkin
berdiri sendiri. Untuk mengenalnya, perlu dikenali proses
operasionalnya, identitas/
peran wartawan-wartawannya
dalam bidang-bidang politik/
ekonomi/budaya dan sosial,
apa sumber-sumber kekuatan
dan bagaimana aturan main
yang dibuatnya maupun yang
dibuat orang lain untuknya.
Di masa-masa sebelum 1966,
idealisme wartawan dianggap
menonjol karena pikiran wartawan belum terpengaruh
pertimbangan bisnis. Generasigenerasi lama sering berbangga
PARTISIPASI OPINI
Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).
Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)
Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad
Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat
Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus
Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana
Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni
Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryopratomo, Toeti Adhitama
Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hutabarat
Kepala Divisi Pemberitaan: Usman Kansong
Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban
Kepala Divisi Artistik, Foto & Produksi: Syahmedi Dean
Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi
Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi
Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar, Ade Alawi,
Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing
Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto
Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi,
Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Fitriana Siregar, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S.
Brahmana, Mochamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy
M. Sibarani, Soelistijono
Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana,
Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy,
Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti,
Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian
Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah,
Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro,
Heryadi, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing,
Jajang Sumantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, Kennorton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza
Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Raja
Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat
Saragih, Sica Harum, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitriah
Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto,
Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum
Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman
(Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang);
Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)
MICOM
Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan
Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami,
Widhoroso
Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita
Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Wisnu Arto Subari
Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles
Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian,
Vicky Gustiawan, Widjokongko
DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)
Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae
Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe
Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian,
Nia Novelia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan
CONTENT ENRICHMENT
Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada
Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara
Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto
ARTISTIK
Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy
Pata Areadi
Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette
Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana,
Hari Syahriar, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir,
Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono,
Permana, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston King
Manajer Produksi: Bambang Sumarsono
Deputi Manajer Produksi: Asnan
PENGEMBANGAN BISNIS
Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri
Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R
Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas
Sujiyono
Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto
Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: M. Isroy
(061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor:
Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Makassar: Bambang
Irianto 081351738384.
Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/
Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021)
5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan
(Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening
Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab.
Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa
Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya
Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021)
5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi)
e-mail: [email protected], Percetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindonesia.com,
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN
MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK
DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN
Download