tumor trakeobronkial

advertisement
REFERAT ONKOLOGI
TUMOR TRAKEOBRONKIAL
Oleh
Bekti Darmastuti
131421110001
Pembimbing :
Dindy Samiadi, dr, MD, SpTHT-KL (K) FAAOHNS
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI
TRAKEOBRONKIAL ........................................................................... 4
2.1. Embriologi Trakeobronkial ............................................................. 4
2.2. Anatomi Trakea ............................................................................... 6
2.2.1. Persarafan ............................................................................ 8
2.2.2. Vaskularisasi ........................................................................ 9
2.2.3. Sistem Limfatik ................................................................. 13
2.3. Anatomi Bronkus........................................................................... 13
2.4. Fisiologi Trakeobronkial ............................................................... 14
BAB III PATOLOGI, IMAGING, DAN DIAGNOSTIK ENDOSKOPI
TUMOR TRAKEOBRONKIAL ......................................................... 16
3.1 Patologi Tumor Trakeobronkial ........................................................ 16
3.1.1 Tumor Primer ............................................................................ 16
3.1.1.1 Tumor Jinak Epitel ....................................................... 16
3.1.1.2 Tumor Jinak Mesenkim ................................................ 18
3.1.1.3 Tumor Ganas ................................................................ 19
3.1.1.4 Tumor Ganas Mesenkim............................................... 26
3.1.2 Tumor Ganas Sekunder ............................................................ 27
3.1.2.1 Invasi Lokal .................................................................. 27
3.1.2.2 Metastase ...................................................................... 27
3.2 Diagnostik Endoskopi ....................................................................... 28
3.3 Imaging Trakeobronkial.................................................................... 32
i
BAB IV TERAPI TUMOR TRAKEOBRONKIAL ........................................ 36
4.1 Manajemen Jalan Nafas Awal ......................................................... 36
4.2 Manajemen Bedah Definitif .............................................................. 37
4.3 Radioterapi ........................................................................................ 45
4.4 Kemoterapi ........................................................................................ 46
4.5 Prognosis ........................................................................................... 47
BAB V SIMPULAN ............................................................................................ 48
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 50
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Anatomi trakea .............................................................................................. 7
Gambar 2. 2 Hubungan trakea dengan struktur disekitarnya .............................................. 9
Gambar 2. 3 Vaskularisasi trakea, dari sebelah kiri .......................................................... 10
Gambar 2. 4 Vaskularisasi trakea, dari sebelah kanan ...................................................... 11
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 3. 1 Klasifikasi tumor trakeobronkial4 .................................................................. 17
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Usia harapan hidup di Indonesia yang semakin meningkat, berakibat
meningkatnya kemungkinan ditemukan berbagai penyakit keganasan dan
degeneratif. Salah satunya adalah keganasan didaerah kepala leher, yaitu tumor
trakeobronkial. Kanker kepala dan leher merupakan 5% dari seluruh keganasan
pada tubuh manusia, dan kejadian tumor ganas trakeobronkial sangat jarang.
Pada tahun 1961, Richard Meade mencatat, "Tumor ganas trakea adalah
keganasan yang agak jarang, dan ketika ditemukan, biasanya tidak sepenuhnya
bisa dioperasi. Pada kasus yang jarang, lesi begitu lokal bahwa terlibat trakea
dapat direseksi, dan dengan mobilisasi, ujung dapat dibawa bersama-sama. Hal ini
jarang
benar
dan
ahli
bedah
dihadapkan
dengan
masalah
apa yang harus dilakukan setelah reseksi trakea. Pada tahun 1960 terbukti menjadi
satu dekade ketika kemajuan dalam operasi trakea berkembang cepat. Demikian
pada tahun 1990 reseksi tumor trakea meningkat mencapai 63% untuk karsinoma
skuamosa, 75% untuk karsinoma kistik adenoid, dan 90% untuk tumor lainnya.1
Tumor ganas trakea jarang terjadi,. jumlahnya hanya 1% dari semua
keganasan, tetapi dampak pada individu umumnya berat. Sehubungan dengan
insiden infeksi,. tumor ini juga jarang dilaporkan, tidak lengkap diagnosisnya,
dan
terobati karena kelangkaan tersebut. Kurangnya pelaporan kasus,
pengalaman pembedahan yang terbatas, dan sifat lesi yang relatif sporadis.1,4
1
2
Secara umum tumor diklasifikasikan sebagai jinak, tumor primer dan tumor
sekunder. Karena tumor ini menempati
saluran napas utama, sifatnya yang
membesar, sehingga mempunyai dampak dan potensi kenaikan kematian. Stridor,
hemoptisis, dan sesak nafas adalah gejala yang paling umum, banyak pasien
datang membutuhkan manajemen jalan napas akut. Manajemen jalan nafas yang
gegabah dapat memicu obstruksi jalan nafas dan berpotensi mengganggu
manajemen bedah definitif berikutnya.2 Gambaran karsinoma sel skuamosa
merupakan jenis primer tumor laring yang terbanyak 60%.1,2
Tumor trakea cenderung menyebabkan gejala progresif dari beberapa bulan
sampai tahun karena sifatnya tumbuh lambat, mereka
sering menyebabkan
diagnosis akurat yang tertunda. Gaissert et al. mengulas 270 kasus sel skuamosa
dan adenoid kistik karsinoma trakea dan karina, dengan rata-rata durasi gejala
adalah 12,2 bulan. Durasi gejala lebih panjang pada karsinoma kistik adenoid dan
pada tumor yang dapat dioperasi (reseksi karsinoma kistik adenoid 18,3 bulan,
reseksi skuamosa karsinoma sel 4,54 bulan, cystic adenoid karsinoma yang
operable 23,7 bulan, karsinoma sel skuamosa yang operable 7.58 bulan). Gejala
klinis sangat tergantung pada sejauh mana obstruksi jalan nafas dan jenis tumor.
Dyspnea on effort atau gangguan fonasi adalah gejala utama ketika tumor
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan. Jika lesi ulseratif dan iritasi
mukosa parah menyebabkan batuk kronis dan hemoptisis. Gejala yang umum
mengi, stridor, suara serak, kesulitan membersihkan sekret, dan sesak, Kadang
infeksi juga ditemui. Presentasi klinis mungkin berbeda dengan jenis tumor pada
pasien dengan squamous karsinoma sel, hemoptisis menjadi gejala utama. Mengi
3
dan dyspnea mendominasi pada mereka dengan karsinoma kistik adenoid. Mengi
juga sering salah didiagnosis sebagai asma refraktor sehingga hanya diberikan
terapi. Penggunaan berkepanjangan kortikosteroid sistemik umum diberikan,
bahkan pasien menjadi sekunder cushing pada presentasi klinisnya.2 Sampai saat
ini penyebab pasti tumor trakea belum diketahui secara pasti.1,2
Masyarakat Indonesia yang tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan
rendah kurang memperhatikan kesehatan dan kurang memanfaatkan sarana
kesehatan yang ada dengan alasan faktor ekonomi. Hal inilah yang mengakibatkan
kebanyakan pasien dari kelompok tumor ganas trakea ini datang pada stadium
lanjut yang mengakibatkan tingginya angka kematian. Oleh sebab itu pada referat
ini akan dibahas mengenai tumor trakeobronkial beserta penatalaksanaannya.
BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI TRAKEOBRONKIAL
2.1.
EMBRIOLOGI TRAKEOBRONKIAL
Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif.
Pada saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal
groove tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak
disebelah posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan
lengkung ke IV daripada lengkung ke III.6,7
Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi
dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi
lapisan epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama
mengalami rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini,
misalnya fistula trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah
menjadi esofagus dan bagian laringotrakeal.6,7
Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak
diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk
celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya
hipobrachial eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan
tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan
pada perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk
tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago
kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang
4
5
kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 – 10,
lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk
lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan
menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis
palsu terbentuk antara minggu ke 8 – 9.6,7
Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan
selanjutnya, sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 –
16 mm). Otot-otot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika,
krikoaritenoid posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari
mesoderm lengkung brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M.
Krikotiroid berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N.
Laringeus Superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial
dan dipersarafi oleh N. Hipoglosus.7 Tulang hyoid akan mengalami penulangan
pada enam tempat, dimulai pada saat lahir dan lengkap selelah 2 tahun. Katilago
tiroid akan mulai mengalami penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai
pada tepi inferior. Kartilago krikoid mulai usia 25 sampai 30 tahun inkomplit,
begitu pula dengan aritenoid.6,7
6
2.2.
ANATOMI TRAKEA
Ukuran panjang trakea pada laki-laki dewasa kira-kira 11,8 cm (kisaran 10
sampai 13 cm) dari
batas bawah kartilago krikoid sampai puncak carina,
bervariasi sesuai dengan tinggi pasien. Biasanya dengan panjang tersebut terdiri
dari 18-22 kartilago, hampir dua cincin per cm. 1 cincin kartilago kemungkinan
bisa tidak lengkap atau bifida. Bronkus utama kanan lebih vertikal, sedangkan
sebelah kiri adalah selalu lebih horisontal sehubungan dengan trakea. Sudut antara
bronkus dan trakea cukup beragam. Pada bayi, sudut subcarina antara bronkus
adalah lebih lebar dan bronkus lebih melintang. Posisi trakea pada setiap individu
bervariasi sehubungan dengan posisi leher fleksi leher dan ekstensi, serta
dipengaruhi dengan respirasi dan proses menelan, dan usia, kelengkungan tulang
belakang, diameter anteroposterior toraks.
Pada orang dewasa, lumen trakea
sering kasar bulat telur. Cincin trakea biasanya berbentuk C, dengan dinding
membran posterior menghubungkan lengan "C". Seorang pria kecil atau wanita,
bahkan jika obesitas, tetap akan memiliki trakea panjang pendek dan sempit
diameter. Sebuah tabung berlebihan lebar dapat menghasilkan erosi subglottic dan
stenosis konsekuen.1
Pada awalnya trakea berbentuk agak corong, namun perbedaan antara daerah
di subcricoid dan carina secara bertahap berkurang, pertama berbentuk silinder
dan kemudian semakin dewasa berbentuk bulat telur. Setelah usia 14 tahun, trakea
wanita umumnya berhenti tumbuh sedangkan trakea laki-laki terus memperbesar
secara cross section tapi tidak bertambah panjang. Pada masa muda, dinding
trakea lateral cukup elastic. Fleksibilitas dan elastisitas menjadi lebih terbatas
7
pada usia lanjut, terutama ketika terjadi kalsifikasi pada tulang rawan. Mukosa
trakea erat kaitannya pada permukaan bagian dalam dari tulang rawan. Keduanya
tidak mudah dibedah terpisah. Mukosa meliputi dinding membran otot posterior
juga. Mukosa saluran pernapasan terdiri dari epitel bersilia semu epitel kolumnar.
Sel goblet juga didapatkan.1
Gambar 2. 1 Anatomi trakea
Hubungan anatomi.
Trakea normal dilihat dari anteroposterior terletak di garis tengah, yang
menghubungkan laring dengan karina. Di sisi lateral, bagaimanapun, trakea
dimiringkan, miring dari anterior, posisi hampir subkutan hanya di bawah laring
ke posterior satu di tingkat carina, di mana letak esofagus dekat dengan tulang
belakang. Meskipun ada variasi tiap individu, sudut ini dari vertikal secara
bertahap meningkat dengan usia. Esofagus berhubungan dekat dengan trakea.
Kerongkongan dimulai pada tingkat krikoid posterior, melekat padanya dengan
selempang otot cricopharyngeus. Karena letak esofagus sedikit ke kiri, margin
8
kanan posterior trakea terletak di anterior vertebra. Arteri tiroid inferior memasok
bagian bawah kelenjar tiroid dan mensuplai darah dari trakea bagian atas.1
2.2.1. PERSARAFAN
Menurut ahli bedah trakea nervus laringeus superior sangat penting diketahui
sehubungan dengan prosedur rilis laring dan tiroidektomi. Cabang eksternal
terletak di dalam dan sejajar dengan arteri laringeus superior dan menginervasi
otot krikotiroid kmudian bercabang ke faring konstriktor inferior. Cabang internal
masuk ke dalam membran thyrohyoid bersama arteri laringeus superior. Ini
menginervasi mukosa laring dan proteksi reflex pada larynx.1
Nervus rekuren laringeus berjalan berbeda pada sisi kanan dan kiri. Nervus
rekuren laringeus sebelah kiri berasal dari nervus vagus di bawah lengkungan
aorta dan terletak dekat dengan jalur trakeoesofageal. Nervus rekuren laringeus
kanan berjalan tepat bersama arteri subklavia dan dekat jalur trakeoesofageal
dengan posisi yang lebih lateral. Nervus rekuren laringeus kanan sering berjalan
melewati arteri tiroid inferior sedangkan sebelah kiri sering terletak di posterior
arteri tiroid inferior kiri. Kedua nervus ini berjalan memasuki laring antara krikoid
dan kartilago tiroid ke dalam sampai kornu inferior kartilago tiroid, di balik
artikulasi tiroid dan kartilago krikoid, untuk menginervasi otot-otot intrinsik
laring. Cabang kecil berjalanan ke trakea, otot trachea, esofagus, dan otot
konstriktor inferior, termasuk otot krikofaring.1
Nervus laringeus inferior kiri bisa menjadi nonrecurrent sehubungan dengan
lengkungan aorta kanan dan kiri yang menyimpang arteri retroesophageal
9
subklavia. Kejadian diperkirakan 0.63% di sebelah kanan dan 0,04% pada sebelah
kiri. Vena brakiosefalika kiri terletak anterior terhadap bidang pretracheal. Arteri
brakiosefalika menyilang midtrachea dari titik asalnya dari arkus aorta. Pada
anak-anak, letak arteri lebih tinggi dan kadang ditemui di bagian bawah leher.
Pada orang dewasa muda juga, arteri ini melintasi trakea di dasar leher bahkan
dengan posisi ekstensi leher. Jadi pada dewasa muda, sebagian besar trakea dan
arteri brakiosefalika akan naik pada ekstensi leher.1
Gambar 2. 2 Hubungan trakea dengan struktur disekitarnya
2.2.2. VASKULARISASI
Sebelum operasi trakea berkembang, penjelasan rinci tentang suplai darah
arteri trakea tidak diketahui secara jelas. Suplai darah dari trakea berasal dari
arteri tiroid inferior dalam variable pola. Suplai darah memasuki trakea melalui
pedikel jaringan lateral segmental sepanjang trakea. Setengah bagian atas trakea
10
disuplai oleh tiga cabang trakeoesofagus dari arteri tiroid inferior. Cabang pertama
mensuply bagian trakea paling rendah tanpa atau kontribusi kecil ke esofagus.
Cabang kedua mensuply bagian tengah trakea, dan ketiga bagian atas. Semua
cabang ini mensuplai darah esofagus. Cabang trakea juga melewati anterior atau
posterior pada nervus recurrent laringeus atau keduanya. Polanya bervariasi, dan
mungkin hanya ada satu atau dua arteri. Bagian trakea paling rendah bukan
disuplai oleh cabang yang berasal dari arteri subklavia. Arteri tiroid superior tidak
memberikan cabang langsung ke trakea, tetapi beranastomosis dengan arteri tiroid
inferior dan mensuplai darah yang berjalan dari isthmus tiroid ke dinding trakea
sekitarnya.
Gambar 2. 3 Vaskularisasi trakea, dari sebelah kiri
11
Gambar 2. 4 Vaskularisasi trakea, dari sebelah kanan
Arteri bronchial mensuplai darah karina dan trakea paling bawah. Cabang
anterior dari arteri bronkial superior berasal dari sisi kanan aorta posterior.
Cabang ini biasanya berjalan ke proksimal bronkus utama kiri ke carina anterior.
Itu pokok dan posterior cabang ini melewati di belakang esofagus ke bronkus
utama kanan. Satu cabang ini mungkin timbul dari arteri interkostalis tertinggi.
Arteri bronkial tengah sekitar aspek medial bronkus kiri dan anastomosis di karina
dengan arteri bronkial superior atau kapal trakea yang lebih tinggi. Arteri
bronchial inferior muncul untuk mensuplai terutama bronkial kiri. Bronkus utama
kiri yang paling sering diberikan oleh dua cabang aorta sisi kiri. Pola arteri
bronkial adalah sangat bervariasi. Jumlah suplai darah trakea bagian tengah dan
bawah merupakan variasi dari Sistem brakiosefalika-subklavia yaitu dari arteri
intercostal tertinggi, arteri subklavia, arteri intertoraks kanan, dan arteri
brakiosefalika. Hanya jalur lateral trakeoesofageal, pembuluh utama membagi
menjadi cabang trakea dan esophagus. Cabang-cabang trakea langsung melewati
12
dinding trakea dan bercabang ke atas dan kebawah dan lebih dari meluas ke
beberapa cincin. Cabang-cabang halus berhubungan dengan cabang pembuluh
segmental berikutnya, baik ke atas dan ke bawah. Membentuk serangkaian
anastomosis memanjang halus di dinding trakea. Arteri intercartilaginous
melintang memperpanjang jauh ke dalam trakea dinding dan beranastomosis
dengan sisi yang berlawanan di garis tengah. Cabang intercartilaginous kecil titik
posterior dan mengakhiri di membran dinding trakea. Dinding membran posterior
trakea juga disediakan cabang kedua dari pembuluh darah primer esophagus yang
merupakan percabangan dari arteri trakeoesofageal. Kartilago trakea menerima
suplai darah dari pleksus submukosa saja. Pengalaman klinis, bagaimanapun
untuk meminimalkan diseksi keliling trakea pada pasien, dengan tujuan
membebaskan tidak melebihi dari 1 atau 2 cm dari trakea atas atau di bawah
sebuah line. Diseksi kelenjar getah bening mediastinum pada tumor trakea harus
terbatas pada kelenjar getah bening yang berbatasan langsung ke segmen yang
akan direseksi, untuk menghindari devascularization. Seorang ahli bedah harus
berhati-hati mengahadapi situasi yang sangat langka di mana reseksi trakea secara
melingkar tampak mudah dilakukan bersamaan dengan esophagectomy. Nekrosis
pada trakea juga dapat terjadi karena arteri trakeoesofageal terganggu akibat
esophagectomy.1
13
2.2.3. SISTEM LIMFATIK
Sistem drainase limfatik trakea sedikit. Kelenjar getah bening primer trakea
adalah pretracheal, paratrakeal, dan subcarina. Drainase kelenjar getah bening dari
sepanjang trakea dimana kelenjar getah bening paratrakeal kanan lebih rendah
yang berjalan ke torak melakukan perjalanan sepanjang jalannya bersama vena
azygos. Kemudian menuju kelenjar getah bening bronkial superior dari bagian
bawah trakea langsung ke saluran mediastinal torak atau lengkungan saluran
melalui rantai berulang kiri. Alternatif jalur lain adalah untuk lengkungan simpul
aorta dan sepanjang lengkungan. Kelenjar limfe bifurkasio trakea keluar melalui
saluran aksesorius pada kedua sisi esofagus ke saluran mediastinum toraks. Dari
pengamatan klinis metastasis kelenjar limfe peritracheal, pretracheal, dan
subcarinal, terutama dari tumor primer kistik skuamosa dan adenoid trakea,
menunjukkan bahwa sel-sel kanker paling sering mencapai pembuluh limfe
terdekat dari tumor. Meskipun diseksi kelenjar getah bening telah dilakukan tetapi
kekambuhan pada sebagian kasus dapat terjadi. Bagaimanapun, perlu dicatat
bahwa iradiasi mediastinum harus diberikan secara rutin pasca operasi. 1
2.3.
ANATOMI BRONKUS
Bronkus terbentuk dari dua belahan trakea pada ketinggian kira-kira vertebra
torakalis ke 5, mempunyai struktur yang serupa dengan trakea
dan dilapisi
oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping
ke arah tampuk paru. Bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar, lebih vertikal
14
daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan
sebuah cabang utama lewat di bawah arteri yang disebut bronkus lobus bawah.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan
di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang
yang berjalan ke lobus atas dan bawah.1
2.4.
FISIOLOGI TRAKEOBRONKIAL
Fungsi traktus trakeobronkhial yaitu: (Jackson C, Jackson CL 1950; Stell
PM,Evan CC 1994)
1. Ventilasi
Traktus trakeobronkhial berguna untuk pasase udara (konduksi) setelah dari
hidung-faring-laring sampai ke bronkus terminalis dan langsung ke bronkus
respiratorius, tempat terjadinya pertukaran udara. Duktus alveolaris dan alveolus
terbuka ke bronkus respiratorius.
2. Drainase sekret dari paru ke traktus trakeobronkhial kemudian ke faring
dilakukan oleh mekanisme gerakan silia (ciliary wafting), batuk (tussive
squeeze) dan hembusan mendehem (bechic blast).
3.
Daya perlindungan paru
Mekanisme perlindungan paru dan bronkus dilakukan oleh :
a. Mukus, yang berasal dari sel goblet yang menjaga supaya selaput lendir trakea
dan bronkus selalu basah dan licin. Sekret berupa mukus membentuk palut lendir
(mucous blanket) untuk menangkap partikel debu dan mikroorganisme yang
15
teraspirasi. Sekret bergerak ke arah laring dan faring oleh mekanisme silia dan
batuk.
b. Mekanisme mukosiliar
Pada yang bernafas melalui hidung, partikel debu dan mikroorganisme telah
disaring di hidung dan nasofaring tetapi bila bernafas melalui mulut penyaringan
itu belum terlaksana. Di laring dan trakea mukosa diliputi oleh epitel torak
bersilia, kecuali di pita suara. Epitel torak bersilia diliputi oleh palut lendir tipis.
Gerak silia yang efektif, tergantung pada komposisi dan viskositas mukus.
Kekeringan menyebabkan degenerasi dan kerusakan silia, demikian juga pada
perubahan panas dan perubahan pH.
c. Kontraksi otot bronkus.
Bila terdapat udara yang merangsang masuk ke dalam traktus trakeobronkhial ,
maka akan terjadi kontraksi otot bronkus, sehingga lumen menyempit. Kontraksi
otot bronkus juga disebabkan reflek nasobronkial, bila ada stimulasi pada selaput
lendir hidung akan terjadi reflek yang menyebabkan kontraksi otot bronkus yaitu
reflek batuk. Timbul karena rangsangan pada ujung nervus vagus yang ada pada
lapisan epitel.
d. Makrofag alveolar. Mikroorganisme yang terdapat di dalam alveolus akan diserang
oleh makrofag yang terdapat dalam alveolus.
4. Mengatur keseimbangan kardiovaskular.
5. Mengatur tekanan intrapulmonal.
6. Mengatur tekanan CO2 dalam darah.
BAB III
PATOLOGI, IMAGING, DAN DIAGNOSTIK ENDOSKOPI TUMOR
TRAKEOBRONKIAL
3.1 Patologi Tumor Trakeobronkial
Angka kejadian tumor trakea sangat jarang, dengan angka kejadian
keseluruhan dari 0,2 per 100.000 orang per tahun, dimana 80% dari neoplasma
adalah tumor ganas primer yang paling sering berasal dari jaringan epitel atau
kelenjar trakea.1 Karsinoma sel skuamosa dan kistik adenoid karsinoma adalah
yang paling sering terjadi. Kedua karsinoma ini dilaporkan mewakili antara dua
pertiga dan tiga perempat dari tumor ganas trakea. Angka kejadian tumor trakea
pada laki laki dan perempuan sama tetapi sel skuamosa karsinoma pada laki-laki
dua kali lebih sering daripada wanita. Kejadian karsinoma kistik adenoid antara
laki-laki dan perempuan juga sama. Riwayat merokok dikaitkan dengan kejadian
karsinom sel skuamosa tetapi tidak dengan kistik adenoid karsinoma.1
3.1.1 Tumor Primer
Tumor primer dibedakan menjadi jinak dan ganas.
3.1.1.1 Tumor Jinak Epitel
Tumor jinak trakea sangat langka, jumlahnya 10% dari tumor trakea.1,4 90 %
dari tumor yang ditemui pada kelompok usia pediatrik adalah jinak. Sebagian
besar tumor jinak lesinya beragam mayoritas lesi tidak memiliki fitur karakteristik
16
17
tersendiri.
Tabel 3. 1 Klasifikasi tumor trakeobronkial4
Papilloma
Papilloma adalah infeksi dari Human Papilloma Virus (HPV). Papilloma bisa
terjadi secara tunggal atau beberapa, bentuk tumor tidak teratur yang biasanya
timbul dari pita suara sejati. Tumor ini paling sering melibatkan permukaan
superior pita suara dan jarang terjadi pada supraglottis dan subglottis. Papiloma
lebih sering terdapat pada anak-anak, dan biasanya bersifat multiple.
18
Papiloma pada dewasa lebih sering bersifat tunggal, tapi dapat berubah
menjadi suatu keganasan. Perubahan kearah keganasan lebih sering pada
papiloma dengan sub tipe 6 dan 11.3
Adenoma
Merupakan tumor yang tumbuh dari glandula seromusin yang jarang
ditemui. Gejalanya sangat minimal sampai tumor tersebut menyebabkan
obstruksi saluran nafas. 3
Myoepitelial Tumor
Diperkiarakan tumor ini berasal dari neurogenik. Dapat mengenai semua usia
dan lebih banyak mengenai pria. Lesi biasanya kecil, bertangkai dan berwarna
abu-abu. Mukosa menunjukan adanya hyperplasia pseudoepiteliomatosa.3
3.1.1.2 Tumor Jinak Mesenkim
Lipoma
Merupakan
tumor
yang
berasal
dari
jaringan
l emak.
Secara
makroskopis tumor ini berwarna terang , berkapsul, dan berlobus. Secara
makroskopis lipoma merupakan tumor yang terdiri dari sel-sel lemak dalam
berbagai ukuran dan stroma fibroventrikuler. 2
Neurofibroma
Neurofibroma merupakan tumor yang jarang didapatkan, berasal dari sel
19
Schwan.2
Chondroma
Chondroma merupakan lesi yang tumbuh lambat dan terdiri dari
kertilago hyalin. Lebih banyak mengenai wanita bila dibandingkan
dengan wanita. Perasaan penuh ditenggorokan. Pemeriksaan laryngoskopi
menunjukan adanya tumor dengan mukosa yang halus, lembut, bulat atau
nodular. Pemeriksaan pilihan untuk saat ini adalah dengan menggunakan CTScan. Chondroma dari thyroid, krikoid atau kartilago trakea dapat mencul
sebagai massa yang keras. Kalsifikasi biasanya dapat dilihat dari pemeriksaan
radiografi.2
Hemangioma
Hemangioma merupakan tumor jinak dari pembuluh darah dan sering
muncul sebagai lesi kutaneus yang melibatkan daerah wajah dan leher.
Hemangioma yang mengenai jalan nafas dapat dibagi menjadi du a
macam yaitu bentuk neonatal dan dewasa. Hemangima pada orang
dewasa dapat berawal dari glottis atau supraglotis. Cenderung untuk
membentuk massa submukosal yang diskret.2
3.1.1.3 Tumor Ganas
Meskipun sangat jarang, tumor primer trakea lebih sering ditemukan daripada
tumor jinak. Karsinoma sel skuamosa adalah tumor ganas trakea yang paling
sering (50%), diikuti oleh adenoid karsinoma kistik (30%) dan adenokarsinoma
20
(10%). Tumor ganas yang jarang ditemui lainnya antara lain karsinoma
mucoepidermoid,
karsinoma
differentiated,
karsinoma
small
cell,
dan
karsinosarcoma.1,4
Kejadian tumor trakeobronkial kurang dari 0,4% dari semua tumor di tubuh.
Karsinoma trakeobronkial banyak mengenai laki – laki dibandingkan dengan
perempuan (5 : 1). Dimana terbanyak pada kelompok perokok bila dibandingkan
dengan yang bukan perokok. Seiring berkembangnya waktu kebiasaan meokok
tidak hanya dimiliki oleh laki – laki saja, tetapi banyak juga wanita memiliki
kebiasaan ini sehingga insidensinya mengalami peningkatan.
ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi dari tumor ganas trakea belum banyak diketahui secara
pasti, Berikut di bawah ini akan diuraikan etiologi dari tumor ganas kepala dan
leher didarah jalan nafas:
Merokok
Merokok tembakau merupakan faktor resiko yang paling sering untuk
terjadinya tumor trakeobronkial, makin banyak merokok resiko makin besar dan
di daerah tempat merokok 5 sampai 35 kali lebih banyak dari daerah bukan tempat
merokok. Ethyl nitrit didapatkan sebagai bahan karsinogen pada asap rokok.
Merokok lebih dari 40 batang sigaret perhari mortalitas 15/100.000 sedangkan
pada yang bukan perokok 0,6/100.000.
21
Berat ringannya perokok dibagi atas perokok ringan bila merokok 20 batang
rokok sigaret perhari, perokok sedang 20 – 39 batang rokok dan 40 batang rokok
atau lebih perhari lebih dari 20 tahun. 8
Scanlon FF mendapatkan perokok sigaret non filter paling sering sebagai
penyebab keganasan. Pemaparan asap tembakau terutama sigaret menyebabkan
metaplasia dan perubahan kearah keganasan. Tembakau dan alcohol dapat
merusak permukaan mukosa laring dimana sel pada lapisan ini harus tumbuh
cepat untuk mengadakan perbaikan kerusakan sel. Kedua factor resiko tersebut
merusak DNA yang menimbulkan perubahan sel menjadi tumor. 8
Perokok pasif atau sekunder adalah orang sekitar orang yang sedang merokok
dimana sama – sama menerima iritasi dan toxin seperti karbon monosida, nikotin,
hydrogen
sianida,
dan
ammonia
sama
dengan
karsinogen
seperti
benzene,nitrosamine, vinil khlorida, arsenic dan hidrokarbon. Selama merokok
nicotine dengan cepat diabsorbsi ke dalam darah menuju ke otak menyebabkan
efek adiktif. 8
Alkohol
Alkohol dapat menyebabkan iritasi pada mukosa, kerusakan hepar,
imunokompetensi menurun, sebagai kofaktor perubahan nitrit menjadi ntrosamine
dan mempermudah absorbs karsinogen. Pemakaian kombinasi dengan tembakau
akan lebih meningkatkan resiko terjadinya keganasan. Efek tembakau dan alcohol
saling sinergis.
22
Radiasi
Irradiasi telah lama diketahui sebagai karsinogenik. Adanya tumor yang
diinduksi radiasi (radiation-induced tumor) pernah dilaporkan yaitu sebanyak 2
kasus karsinoma squamosa.
Pekerjaan
Faktor pekerjaan sebagai penyebab terjadinya karsinoma daerah trakea
dipengaruhi dengan adanya konsumsi rokok dan kebiasaan minum alkohol.
Beberapa peneliti mendapatkan pada sekelompok orang yang pekerjaannya
berhubungan dengan debu kayu, asap cat, nikel terdapat peningkatan karsinoma
trakeobronkial daripada kelompok lainnya.
Faktor – faktor lain
Beberapa peneliti mendapatkan infeksi papiloma virus, refluks gastroesofageal
dan keadaan imunosupresi berpengaruh untuk terjadinya karsinoma laring.
Infeksi virus Human Papilloma yang awalnya pertumbuhan benign dapat
menjadi maligna pada waktu kemudian. Penderita infeksi virus 25% dapat
menjadi karsinoma trakeobronkial, dimana virus menginvasi sel hidup untuk
reproduksi dengan menempel pada reseptor permukaan sel target. Setelah masuk
sel terjadi integrasi material genetic dengan host yang dengan mekanisme tertentu
dapat menjadi kanker dan secara tidak langsung hal ini terjadi melalui proses
imunodefisiensi.
23
PATOFISIOLOGI
Suatu karsinoma adalah suatu pertumbuhan yang tidak terkendali dengan
jaringan yang tidak teratur sehingga meluas tanpa batas mengganggu fungsi organ
dan m embaha yakan n yawa mahluk tersebut . Pada sel normal
terdapat kesetimbangan antara sinyal – sinyal yang menstimulasi dan
menginhibisi pertumbuhan yang diregulasi dengan cermat sehingga pembelahan
sel hanya bila diperlukan. Pada sel tumor proses ini tergang gu sehingga
pembelahan sel berlangsung terus menerus. Proses pembelahan adalah
pengendalian sel melalui siklus sel dimana melibatkan berbagai kejadian
yang menghasilkan duplikasi DNA dan pembelahan sel. Pada sel tumor
mutasi gen – gen yang mengkontrol siklus sel menghasilkan sel – sel yang
mengandung DNA rusak. Kerusakan DNA dapat menyebabkan penata ulang
kromosom dan transmisi DNA yang rusak. Onkogen merupakan protein dasar
berfungsi dalam regulasi pembelahan sel dalam keadaan normal. Terdapat dua
kelompok gen yang berperanan dalam timbulnya kanker berupa kelompok gen
yang terlibat dalam pengendalian kontrol positif (proto-onkogen ) dan negatif
(tumor supresor ) pada siklus sel. Proto-onkogen mempunyai potensi tinggi
untuk menyebabkan terjadinya kanker sedangkan supresor gen yang
menghambat proliferasi sel. Gen supresor tumor banyak mendapat perhatian
adalah p53, mutasi pada gen ini paling banyak ditemukan pada kanker manusia
menghasilkan protein abnormal yang dapat mengikat protein produk gen
p 53 normal dan menghambat fungsinya sebagai penghambat proliferasi sel
24
Mutasi pada titik mutasi gen p53 terdapat 45 % pada karsinoma sel squamous
kepala –leher.8
Sel normal dapat mengadopsi fenotipe karsinoma dengan pengaruh gen set
kanker atau virus tumor genetik sebaliknya set kanker dapat kembali
menjadi fenotipe normal setelah gene yang mengalami transformasi maligna
diperbaiki.
Pemaparan lingkungan yang mengandung bahan – bahan karsinogenik dapat
merusak molekul DNA. Tiap rantai DNA mengandung ribuan gene
merupakan urutan unit spesi ik merupakan kode infonnasi untuk sintesa protein.
Urutan DNA merupakan lokasi target untuk mutagen spesifik seperti asap
tembakau
mengandung
nitropolycyclic
aromatic
hydrocarbon
membentuk 7 methyl guanine dan 4 aminobiphenyl pada nukleotida guanine
memberikan tipe dan gambaran karsinoma. Dengan ditemukan gen
yang berperanan pada perkembangan kanker memungkinkan penggunaan
elemen genetik dan produknya sebagai target untuk pencegahan dan pengobatan.
Terapi strategic berdasarkan asam nukleat untuk pengobatan kanker disebut terapi
gene.
Insidensi yang tinggi mutasi p 5 3 pada penderita tumor yang
merokok dan peminum dibandingkan dengan yang tidak merokok dan
peminum.
25
Tumor ganas Epitel
Squamous Cell Carcinoma
Karsinoma
sel
skuamosa
merupakan
tumor
dengan
kecenderungan
pertumbuhannya eksopitik dan kecenderungan untuk menyebar ke mediastinum.
Karsinoma sel skuamosa ditemukan pada banyak pasien tumor laring, paru-paru,
dan esophagus. CT berguna dalam menunjukkan tumor primer dan luasnya yang
berdekatan dengan trakea dan mediastinum, serta terkait adenopati dalam
mediastinum dan hilus.3
Adenoid Cystic Carcinoma
Karsinoma kistik adenoid cenderung tumbuh endofitik ke dalam submukosa
trakea dan bronkus. Pada radiograf, CT scan dan MRI trakea tampak menebal
dengan penampilan nodular halus, hal ini terkait dengan penyempitan lumen.
Tumor dapat meluas ke jaringan lunak yang berdekatan dengan leher dan
mediastinum yang digambarkan pada CT atau MRI sebagai ekstensi ke dalam
lemak mediastinum sekitarnya. Metastase kelenjar getah bening regional di leher
dan mediastinum yang pertama akan terlibat. Dalam perkembangan penyakit
metastase hematogen ke paru-paru, tulang, dan hati dapat terjadi. 3
Adenocarcinoma
Tumor karsinoid adalah tumor neuroendokrin yang berasal dari sel Kulchitsky.
Tumor karsinoid khas ini merupakan subtipe tumor yang lebih agresif terbagi
menjadi tumor karsinoid atipikal dan karsinoma sel kecil sangat ganas. Karsinoma
26
ini biasanya terjadi pada dekade kelima dan keenam dan cenderung muncul pada
bronkus pusat, paru-paru perifer (10%), dan jarang di trakea. Tumor ini cenderung
halus, didefinisikan dengan baik, massanya bulat tampak sebagai sebuah nodular,
dan biasanya didapatkan atelektasis, pneumonia distal, dan atau bronkiektasis
bahkan kadang menyebabkan obstruksi bronkus. Tumor karsinoid atipikal
cenderung hadir dalam dekade keenam dan dekade ketujuh, dan memiliki
kecenderungan untuk bermetastasis. 3
Mucoepidermoid Carcinoma
Tumor mucoepidermoid adalah tumor yang sangat jarang dari trakea, bronkus
pusat, dan paru-paru. Temuan radiografi tampak massa jaringan lunak pada jalan
napas pusat yang besar, tanpa karakteristik yang khas untuk dibedakan massa dari
tumor lain.3
Tumor ganas epitel lainnya adalah Large Cell Undifferentiated Carcinoma,
Carcinoma ex-pleomorphic Adenoma, neuroendocrine Tumor.3,4
3.1.1.4 Tumor Ganas Mesenkim
Tumor mesenkim jarang dilaporkan terjadi pada trakea, dan cenderung terjadi
pada orang dewasa muda. Di antaranya adalah Fibrosarcoma, leiomyosarcoma,
chondrosarcoma,
hemangioendotheliosarcoma,
dan
limfoma.
Selain
chondrosarcomas, tidak ada karakteristik khusus yang dapat digunakan untuk
membedakan tumor mesenchymal dari keganasan lainnya.2
27
Tumor ganas mesenkim diantaranya adalah Chondrosarcoma, Melanoma
Maligna, Lymphoma Maligna, Leiomyosarcoma, Spindle Cell Carcinoma,
Malignant Fibrous Hystiocitoma.2,4
3.1.2 Tumor Ganas Sekunder
3.1.2.1 Invasi Lokal
Tumor ganas sekunder pada trakeobronkial sangat jarang dan biasanya terjadi
akibat penyebaran secara hematogen atau invasi langsung dari keganasan paru
paru, laring, esophagus, kelenjar tiroid dan mediastinum.1,4
Karsinoma, terutama tipe papiler dan jenis folikuler yang timbul dari kelenjar
tiroid, dapat menginvasi laring dan trakea sampai dengan 5%. Trakea juga dapat
diserang oleh tumor esofagus dan paru-paru. Penggambaran tumor ini paling baik
dilakukan dengan CT dan MRI.1,4
3.1.2.2 Metastase
Metastasis tumor dari trakea telah dilaporkan dan yang paling sering adalah
kanker payudara, kanker colon, dan melanoma maligna. Metastasis dari
karsinoma sel ginjal, tumor kelenjar adrenal, dan kanker testis juga telah
dilaporkan. Sama halnya dengan penyakit metastasis, prognosisnya adalah jelek
dan dianjurkan dengan pengobatan paliatif.2
28
3.2 Diagnostik Endoskopi
Laringoskopi dan bronkoskopi diperlukan untuk menilai lesi saluran napas.
Esophagoscopy juga diperlukan jika lesi adalah tumor yang mungkin melibatkan
esofagus, jika ada fistula, atau ada kecurigaan patologi esofagus.
Laringoskopi
Prosedur ini dilakukan untuk menentukan apakah ada kelainan di laring, baik
sebagai perluasan atau kelainan selain di trakea, dan juga untuk menilai fungsi
glottis. Penilaian fungsi laring dengan pemeriksaan dengan laringoskopi atau
bronkoskopi fleksibel. Pasien sadar dapat bekerja sama dalam manuver yang
diperlukan untuk menunjukkan apakah pita suara bergerak normal.
Jika pasien memiliki kelainan baik di laring maupun trakea, sangat penting
untuk menentukan baik lesi awal, dalam rangka untuk merencanakan pengobatan
yang efektif. Umumnya, laring non-neoplastik harus diperbaiki atau dikelola
sebagai prosedur laring awal sebelum lesi trakea diobati dengan pembedahan.
Kadangkala dibutuhkan trakeostomi bersamaan untuk keselamatan, Pemeriksaan
laringoskopi sangat penting pada pasien dengan trauma pada saluran udara bagian
atas. Banyak pasien dengan postintubasi mengalami stenosis trakea. Kelumpuhan
pita suara juga dapat terjadi pada pasien ini dengan atau tanpa riwayat
rekonstruksi trakea sebelum atau cedera langsung ke laring. Kelumpuhan pita
suara juga terjadi dengan neoplasma trakea primer atau sekunder.1,4
29
Bronkoskopi
Untuk lesi trakea, bronkoskopi memiliki dua tujuan. Yang pertama adalah
untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dari jenis dan luasnya lesi. Yang kedua
adalah untuk mengobati obstruksi, jika ada, mampu memberikan jalan napas yang
adekuat untuk reseksi segera, untuk memungkinkan penundaan untuk studi lebih
lanjut atau pengobatan sebelum reseksi, atau untuk pengobatan non operasi yang
aman seperti stenting atau iradiasi. Untuk tujuan pertama, diutamakan dengan
bronkoskopi rigid. Untuk tujuan terapeutik, instrument yang kaku sangat penting.
Hal ini memberikan penggambaran yang tepat dari luasnya glotis dan cedera
subglottic dari lesion. Pengukuran jarak trakea antara besar landmark normal dan
patologis yang lebih akurat menggunakan bronkoskop rigid. Selain itu
bronkoskopi rigid mampu mengontrol lebih baik dari jalan napas.
Bronkoskopi fleksibel berguna untuk visualisasi dan untuk manuver diagnostic
seperti biopsi, menyikat, dan aspirasi. Hal ini terutama berguna untuk penentuan
posisi yang tepat dari tabung endotrakeal, membimbing kateter atau stent untuk
lokalisasi intraoperatif lesi, dan untuk pemeriksaan anastomosis baru. Biasanya,
pemeriksaan radiologis jalan napas mendahului bronkoskopi.
Pemeriksaan endoskopi definitif paling baik dilakukan di bawah anestesi
umum dengan instrumen yang rigid, dan paling sering segera sebelum operasi
bedah untuk memperbaiki lesi. Hal ini untuk menghindari bahaya obstruksi
selama pemeriksaan diagnostik dan menghindari anestesi kedua. Diagnosis
histologis definitif dapat diperoleh sebelum reseksi dan diperoleh dari dari biopsi
melalui bronkoskopi rigid.
30
Bronkoskopi, sebagai prosedur terpisah sebelum operasi, dapat dibenarkan di
mana lesi terutama kompleks dan memerlukan perencanaan khusus, di mana
reparatif atau operasi ekstirpasi tampaknya sangat tidak mungkin, jika pasien akan
memerlukan waktu lama persiapan untuk operasi, atau jika bagian beku tidak
mungkin untuk menentukan jenis atau tingkat tumor yang tidak biasa.
Bronkoskopi terapi untuk obstruksi dapat menjadi prosedur kritis.
Dalam mengevaluasi karsinoma bronkogenik yang menyerang bronkus utama
atau carina, juga ditunda mediastinoscopy kecuali diperlukan untuk reseksi
carinal. Jika harus dilakukan bersamaan dengan bronkoskopi kaku, laringoskopi
dilakukan terlebih dahulu, hampir selalu di bawah anestesi umum. Dimana
kompleksitas laring diduga atau di mana ada kemungkinan bahwa laring sebuah
Prosedur bedah harus dilakukan pada saat pemeriksaan, atau lambat sebagai
independen tapi sebelumnya prosedur, seorang otolaringologis harus hadir.
Seringkali, otolaryngologis berkonsultasi dengan bedah torak untuk meneliti
pasiensebelumnya, dan sudah dilakukan laringoskopi indirek atau fleksibel.
Bronkoskopi rigid memerlukan anestesi umum, yang dapat diberikan secara
aman bahkan dalam menghadapi obstruksi jalan nafas yang berat. Banyak teknik
telah dijelaskan untuk pengelolaan anestesi bronkoskopi kaku di bawah anestesi
umum, termasuk jet ventilasi. Ujung bronchoscopes ini miring dengan ujung
bulat, dan lebih mudah untuk memperkenalkan melalui stenosis ketat atau
melewati tumor daripada tips sekop seperti instrumen Storz, yang juga dapat
meningkatkan flap mukosa. Storz Hopkins teleskop dengan adaptor ditempatkan
di atas ujung terbuka dari bronkoskop kaku untuk memberikan segel dan
31
memungkinkan ventilasi. Bahkan jika pasien memiliki trakeostomi yang sudah
ada sebelumnya, pemeriksaan bronkoskopi yang dimulai melalui mulut, melewati
laring dan melalui glotis sampai distal sebagai mudah diizinkan. Ini memberikan
gambaran anatomi seluruh saluran napas dan pengukuran yang lebih tepat pada
panjang lesi dan struktur yang normal. Informasi yang diinginkan tentang laring
termasuk 1) status kedua struktur dan fungsi dari glotis, termasuk pita suara,
arytenoids, dan anterior dan posterior komisura; dan 2) diameter saluran napas,
cacat, stenosis, peradangan, edema, atau keterlibatan tumor laring subglottic ke
batas inferior dari kartilago krikoid. Setelah laring telah memeriksa sepenuhnya,
bronkoskop
dilewatkan
distal,
mengamati
konfigurasi
trachea
dalam
anteroposterior dan arah lateral untuk kelainan dalam tulang rawan. Dinding
membran bersifat halus. Mukosa diperiksa apakah ada peradangan, mudah
berdarah atau terjadi peningkatan vaskularisasi, dan lesi mukosa. Pemeriksaan
bronkoskopi lengkap sampai tingkat segmental sangat penting pada pasien dengan
kanker sel skuamosa trakea, karena mereka mungkin memiliki lesi sel skuamosa
bersamaan pada saluran aerodigestive. Sebuah bronkoskop fleksibel mudah
melewati teleskopik "adapter" melalui bronkoskop kaku untuk menyelesaikan
penilaian distal segmental dari bronkus. Ahli endoscopist harus akrab dengan
variasi normal dan abnormal dari trakea. 1
32
3.3 Imaging Trakeobronkial
Radiografi
Rontgen soft tissue leher merupakan pemeriksaan radiologis rutin laring dan
trakea yang terdiri dari anteroposterior (AP) dan lateral. Tampilan lateral leher
diperoleh dengan kepala sedikit hiperekstensi untuk membawa laring dan trakea
bagian atas naik dari posisi retrosternal. Tampilan lateral ini memberikan
informasi yang berguna tentang dasar lidah, daerah vallecula, tiroid dan kartilago
krikoid, struktur intralaringeal (termasuk epiglotis, lipatan aryepiglottik,
arytenoid, pita suara palsu, ventrikel, pita suara sejati, dan ruang subglotis),
dinding faring posterior, dan jaringan lunak precervikal. Tampilan anteroposterior
memberikan tampilan frontal laring dan trakea yang diperoleh dengan
menggunakan highkilovoltage sebuah Teknik (120 kV) dan menempatkan filter
tembaga 1 mm di depan tube. Tampilan ini memberikan gambaran seluruh jalan
napas dari tulang hyoid ke bifurkasio trakea dan bronkus utama.9
Rontgen torak merupakan skrining tradisional trakea. Tampilan Posteroanterior
(PA) dan lateral dada secara rutin digunakan. Gambaran leher bagian distal dan
bagian intratoraks trakea terlihat pada kedua pandangan.
Fluoroskopi
Dalam rangka untuk menilai dinamika laring dan trakea, fluoroskopi yang
tepat adalah dalam posisi duduk. Sebuah pengetahuan mendalam tentang anatomi
radiologik biasa pada laring dan perubahan fungsional yang dihadapi selama
manuver fonasi yang berbeda merupakan prasyarat. Penilaian gerak pita suara
33
penting dalam pementasan tumor ganas laring. Fiksasi pita suara atau kelumpuhan
pita suara akibat penyebab lain (misalnya, karsinoma tiroid, kanker paru-paru
dengan ekstensi mediastinum, aneurisma aorta, atau trauma iatrogenik) dapat
dinilai dengan mudah dengan fonasi manuver seperti "E" dan inspirasi. 1
Dalam penilaian lesi laring dan trakea serviks, parameter radiologis berikut
harus ditentukan: 1) lokasi, luasnya, ukuran, dan kepadatan lesi; 2) definisi
margin, adanya kalsifikasi, tingkat kompromi nafas, kelainan tulang rawan
termasuk destruksi, dan invasi struktur sekitar; 3) distensibility sinus piriformis
dan ventrikel; 4) mobilitas dari pita suara asli dan palsu; 5) kemiringan laring; 6)
massa ekstralaryngeal; 7) kalsifikasi; dan 8) adanya kantung berisi udara. Hal ini
sangat berguna dalam mempelajari laring bayi dalam pada tampilan frontal, untuk
penilaian pita suara dan ruang subglottis yang dicurigai patologi di wilayah ini
(misalnya, hemangioma, kista, atau stenosis subglotis). 1
Barium Esophagogram
Barium esophagogram merupakan komponen penting dalam memfollow up
lesi kongenital dan didapat, karena hubungan anatomi yang berdekatan antara
esofagus dengan laring, trakea, carina, dan bronkus utama. Esophagogram dapat
memberikan petunjuk keganasan laring atau tumor trakea dan dalam
mengidentifikasi tumor primer esofagus yang mungkin menyerang trakea. Adanya
fistula trakea dapat diketahui oleh esophagogram. 1
34
Computed Tomography
CT scan adalah teknik pemeriksaan yang lebih disukai untuk mengevaluasi laring,
trakea, dan bronkus utama. Helical CT scan dapat meningkatkan kualitas
pencitraan CT saluran nafas. Sebagai perbandingan, CT scan konvensional
menggunakan waktu scanning yang lama dan memperoleh potongan aksial
individu terpisah selama individu bernafas. Kualitas dua dimensi (2-D) dan tiga
dimensi (3-D) diformat ulang sehingga nyata membaik. Generasi terbaru
multidetector heliks CT scanner menggunakan array multidetector, yang
meningkatkan kecepatan pemindaian. Dengan multidetector heliks CT, gambar
kualitas tinggi dapat diperoleh secara rutin tanpa perencanaan calon atau
rescanning pasien. Meskipun penggunaan kontras intravena tidak perlu untuk
menilai jalan nafas utama, disarankan untuk mengevaluasi sejauh mana
mediastinum yang berdekatan tumor dan adenopati atau untuk menilai
mediastinum yang berdekatan struktur pembuluh darah atau massa yang dapat
menghambat jalan napas. CT scan jalan napas secara rutin diperoleh pada akhirinspirasi selama tarikan nafas.1,9
FDG PET features (fluorine 18 fluorodeoxyglucose positron emission
tomography)
Pencitraan lain yang penggunaannya meningkat dalam menangani diagnostic
dari variasi tumor trakeobronkial adalah fluorine 18 fluorodeoxyglucose (FDG)
positron emission tomography (PET) dimana mampu memberikan informasi
metabolic dari tumor.Telah diketahui bahwa FDG PET sangat membantu dalam
35
membedakan keganasan dari tumor jinak paru-paru, meskipun keganasan dengan
aktivitas metabolic rendah seperti tumor karsinoid dapat sering misinterpretasikan
sebagai tumor jinak pada pemeriksaan FDG PET.1,9
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas lain yang digunakan
untuk mengevaluasi radiologis laring dan trachea. Keuntungan besar dari MRI
dari CT adalah akuisisi koronal, miring, dan sagital bagian yang menunjukkan
segmen panjang atau seluruh panjang trakea. MRI dapat memvisualisasikan laring
dan struktur trakea dengan sangat detail dalam potongan melintang, sagital, dan
koronal. Struktur anatomi normal dapat dibedakan atas dasar intensitas sinyal
yang berbeda. 1
MRI dapat digunakan dalam menilai stenosis trakea dan tumor paratrakeal
lainnya yang menekan trakea. MRI adalah metode yang disukai untuk
mengevaluasi kelainan paratrakeal pada anak-anak karena tidak tidak melibatkan
radiasi pengion, dan sangat berguna dalam mempelajari cincin vaskular, sling, dan
pembuluh melebar yang memampatkan trakea. MRI merupakan modalitas pilihan
dalam mengevaluasi
pasien dengan massa
paratrakeal,
yang memiliki
kontraindikasi terhadap bahan kontras iodinasi yang digunakan untuk CT scan.
Gadolinium, agen kontras MRI, dapat diberikan secara aman kepada pasien
tersebut.
BAB IV
TERAPI TUMOR TRAKEOBRONKIAL
4.1 Manajemen Jalan Nafas Awal
Untuk tumor trakea, bronkoskopi merupakan pilihan andalan dalam
manajemen jalan napas awal dan diagnosis. Jika jalan napas stabil, bronkoskopi
elektif dapat diatur. Namun, pada pasien dengan obstruksi jalan napas akut,
bronkoskopi segera diperlukan untuk menstabilkan napas.
Bronkoskopi
memungkinkan estimasi akurat dari kelangsungan hidup jangka panjang setelah
reseksi karsinoma sel skuamosa dan cystic adenoid tumor trakea dan karina.
Bronkoskopi dapat menentukan lokasi tumor yang tepat, panjang keterlibatan
trakea dan kedekatannya dengan struktur anatomi dapat ditentukan. Diagnosis
histologis diperoleh saat bronkoskopi awal. Untuk tumor trakea proksimal,
bronkoskopi kaku lebih disukai daripada bronkoskopi fleksibel karena
kemampuannya pada ventilasi selama evaluasi. Fleksibel bronkoskopi dapat
memberikan informasi tambahan mengenai lebih distal saluran udara. Pasien
kadang-kadang mampu mentolerir signifikan obstruksi (75% atau lebih), tetapi
dapat mengkompensasi cepat dengan pada peningkatan sekresi atau peradangan.
Bronkoskopi dapat membantu menstabilkan jalan napas dengan melebarkan
segmen stenosis, dan debulking tumor dapat dilakukan. Bronkoskopi fleksibel
saja bisa berbahaya, berpotensi menyebabkan edema dan perdarahan yang dapat
memicu lengkap saluran udara obstruksi. Sebuah bronkoskop kaku memiliki
36
37
kemampuan untuk tamponade pendarahan saat melewati lokasi obstruksi untuk
ventilasi. Intervensi darurat melalui saluran napas bedah bisa menyulitkan
tergantung pada lokasi tumor. Tracheostomy yang gegabah dapat membuat
reseksi trakea berikutnya dan rekonstruksi lebih sulit. Jika tracheostomy dapat
dengan aman dilakukan distal lesi, itu dapat dibenarkan.4,11
Selain menstabilkan jalan napas, terapi bronkoskopi dapat mempersiapkan dan
mengoptimalkan pasien untuk operasi ja;an nafas. Peradangan yang berdekatan
dengan lesi dapat ekstensi submukosa ganas atau perubahan reaktif jinak.4,11
4.2 Manajemen Bedah Definitif
Reseksi Trakea
Reseksi trakea dan reanastamosis adalah pengobatan yang disukai untuk
sebagian besar baik tumor jinak dan ganas trakea. Kemampuan untuk melakukan
manajemen ini disukai didasarkan atas pasien, tumor, dan ahli bedah terkait.
Peningkatan (BMI) dan leher yang tebal dan pendek menjadi hambatan eksekusi
dari reseksi trakea dan reanastamosis. Pada kelompok pasien ini, mobilisasi trakea
inferior dan superior bisa terbatas, dan akses ke segmen trakea yang terdapat
tumor mungkin tidak dapat dicapai hanya melalui pendekatan dari leher. Pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik memerlukan intubasi dan lebih rentan
terhadap batuk eksaserbasi yang dapat memberikan beban tambahan pada
perbaikan trakea. Pasien yang menderita diabetes mellitus atau sebaliknya
immunocompromised memiliki kesulitan dalam penyembuhan luka, terutama
dengan reseksi segmen yang berada di bawah ketegangan. Faktor tumor penting
38
dalam pengambilan keputusan. Panjang segmen yang akan membutuhkan reseksi
untuk margin yang memadai merupakan salah satu faktor kunci dalam penentuan
pengobatan. Reseksi segmental lebih besar dari 4 cm atau enam cincin trakea
mewakili kondisi di mana perbaikan trakea bawah meningkatkan ketegangan dan
dehiscence. Ekstensi submukosa, esofagus. mediastinum, dan trakea atensif atau
bronkial
mungkin memerlukan gabungan prosedur cervicothoracic atau
pengobatan non operasi. Reseksi tracheobrondrial harus dikelola dengan
pendekatan multidisiplin antara otolaryngologist dan bedah torak. Prematur
trakeotomi dalam pengamanan jalan nafas dapat membuat jaringan parut
tambahan dan berpotensi menbentuk jaringan lunak leher dan upaya reseksi
pembedahan selanjutnya lebih sulit.11
Pengalaman seorang ahli bedah sangat diperlukan. Pengalaman kasus dengan
trakea stenosis jinak,
laryngectomy, dan reseksi trakea meningkatkan
kepercayaan diri dan kemampuan ahli bedah untuk mengelola lesi ini. Kerjasama
antara otolaryngologis dan ahli bedah toraks memungkinkan untuk pemilihan
pasien, prosedur seleksi dan pelaksanaan teknis kasus rumit. Patensi jalan napas
merupakan tujuan mendasar dalam pengelolaan pasien dengan neoplasma trakea,
reseksi dapat ditawarkan dalam menghadapi tumor primer trakea baik dengan
penyakit metastasis regional atau jauh sebagai serta karena tumor yang metastasis
ke trakea. Lesi yang melibatkan lebih dari 4 cm atau lebih besar dari enam cincin
trakea mungkin tidak memenuhi persyaratan untuk reseksi, faktor pasien yang
mempengaruhi keputusan ini mencakup kondisi klinis, kemampuan secara
memadai memobilisasi saluran pernapasan bagian atas, dan pengalaman dari tim
39
bedah dan pengelolaan komplikasinya. Luas penyakit ekstratrakea di mediastinum
melibatkan esofagus, pembuluh mediastinal, dan ruang prevertebral merupakan
kasus di mana reseksi trakea merupakan kontraindikasi dari trakeostomi. Langkah
reseksi standar didasarkan atas memadai evaluasi bronchoscopic dari jalan napas,
pencitraan trakea dan leher dan mediastinum serta struktur terkait, konfirmasi
patologis, seleksi tim bedah, persiapan anestesi dan rencana pengelolaan, dan
akhirnya pelaksanaan prosedur.
Langkah-langkah dari prosedur reseksi trakea adalah sebagai berikut:
Insisi leher secara transversal pada titik tengah antara sternum notch dan batas
inferior dari kartilago krikoid sebagai landmark yang dapat teraba. Pada kasus
yang luas atau kasus-kasus di mana leher dan diseksi luas mediastinum atau dekat
dengan arteri innominate baik leher dan dada harus disiapkan steril. Sayatan
melintang leher dapat dihubungkan dengan mudah dengan sayatan dada secara
vertikal untuk penambahan median sternotomi (total atau sebagian). Setelah
persiapan dan sayatan kulit dibuat, langkah-langkah dari reseksi trakea dengan
perbaikan primer adalah sebagai berikut:
1.
Elevasikan subfascia, flap supramuscular diatas strap muscle dan otot-otot
sternomastoid sternal kepala baik superior dan inferior ke ruang
suprasternal.
2.
Pisahkan strap muscle dari kartilago tiroid ke sternum dan klavikularis asal
dari otot. Retraksi luka dengan menggunakan retraktor, selastis-stays, atau
jahitan.
40
3.
Eksposure trakea untuk mengantisipasi ekstensi extratracheal. Sebagai
contoh, tiroidektomi mungkin diperlukan jika reseksi sedang dilakukan
karena kanker tiroid yang dibedakan dengan fokus invasi trakea. Pada kasus
primer endoluminal neoplasma trakea, isthmus tiroid harus diperhatikan
dengan cermat, dan lobus tiroid dimobilisasi ke lateral.
4.
Identifikasi nervus rekuren laringeus tidak dilakukan secara rutin, meskipun
identifikasi saraf mungkin diperlukan untuk prosedur adjunctive seperti
tiroidektomi. limfadenektomi pusat atau prosedur cricotracheal. Pemantauan
berulang saraf dapat membantu dalam menjaga integritas saraf dan
pemantauan kondisi saraf selama retraksi; tidak ada bukti saat ini bahwa
pemantauan saraf meningkatkan keamanan nervus rekuren laringeus laring
dalam prosedur ini.
5.
Mobilisasi trakea. Trakea harus hati-hati dimobilisasi dari krikoid untuk 2-3
cincin di bawah margin rendah ketika reseksi. Mobilisasi segmen reseksi
harus melingkar. Reseksi luar yaitu segmen inferior. perawatan harus
dilakukan mobilisasi anterior dan posterior
6.
Mayoritas mobilisasi terjadi dari bagian bawah untuk menghindari lesi
trakea
7.
Mobilisasi dapat memberikan 1-2 cm panjang tambahan. Hal ini termasuk
infrastruktur atau rilis otot suprahyoid, yang berlaku memungkinkan untuk
peregangan atau pemanjangan membran thyrohyoid.
8.
Tim anestesi dan ruang operasi harus diberitahu untuk menghilangkan
gulungan bahu yang
41
9.
Sudah ditempatkan dan menempatkan kepala dari netral ke posisi tertekuk.
10. Penutupan trakea harus dilakukan dengan jahitan reabsorbable. Bisa
menggunakan jahitan vicryl 3.0 berlapis polyglactin. Jahitan posterior
ditempatkan pertama Menempatkan jahitan melalui tabung endotrakeal
memungkinkan untuk itu ditarik dan diambil dengan aman tanpa disengaja
ekstubasi. Semua jahitan posterior dari posisi pukul 3 dan 9 trakea harus
ditempatkan sebelum mengikat jahitan. Jahitan ini kemudian diikat berurutan,
sedangkan asisten bedah menghilangkan ketegangan dari ujung proksimal
dan distal dari trakea. Jahitan anterior kemudian ditempatkan ekstraluminal
sekitar satu trakea cincin inferior atau kartilago krikoid superior. Masingmasing jahitan terganggu dan harus dibuang tapi tidak diikat. Setelah semua
jahitan anterior ditempatkan, kemudian diikat. (lebih disukai mengikat
dengan tangan untuk memantau ketegangan daripada instrumen mengikat);
sementara asisten bedah menghilangkan ketegangan dari proksimal dan
segmen distal trakea.
11. Buttressing ex: jahitan permanen traluminal (yaitu, 3-0 prolene atau nilon)
dari cincin trakea atau tulang rawan laring atas dan di bawah dasar trakea
dalam rangka untuk lebih menghilangkan ketegangan penutupan. Hal ini
tidak selalu layak, dan perawatan harus dilakukan supaya tidak merobek
trakea atau laring.
12. Luka kemudian di irigasi, dan hemostasis adalah dievaluas. Dokter bedah
harus meminta anestesi untuk melakukan valsalva atau tekanan positif
ventilasi dengan manset endotrakeal.
42
13. drain bisa ditempatkan atau mungkin tidak ditempatkan tergantung dari ahli
bedah menilai kondisi luka.
14. Strap muscle ditutup.
15. Jaringan subkutan dan kulit ditutup.
16. Sebuah retensi stitch besar ("Grillo stitch") dapat ditempatkan dari kulit
rahang bawah dan periosteum ke sternum kulit dan periosteum dengan kepala
pasien dalam posisi tertekuk untuk menjaga kepala dalam posisi ini pada
periode pasca operasi untuk mengurangi ketegangan pada perbaikan trakea.
17. Pasien kemudian dapat diekstubasi ketika sudah terjaga dan mampu
melindungi jalan napas. Hal ini harus dilakukan dalam ruang operasi dengan
anestesi dan ahli bedah hadir untuk menghindari hal yang tak diinginkan jika
airway obstruksi dan reintubation berikutnya atau manajemen pembedahan
laindiperlukan.
18. Pada prosedur lama, seperti reseksi cricotracheal, tracheostomy untuk
perbaikan mungkin dilakukan jika patensi laring diragukan
19. Jika prosedur telah lama atau diduga adanya edema jalan napas, intubasi lebih
24 jam ekstubasi bisa dilakukan. Pada periode pasca operasi, beberapa
potensi masalah harus secara aktif dimonitor dan dikelola. Komplikasi minor
luka seperti hematoma, seroma, atau infeksi luka adalah jarang, namun
mereka dapat menjadi besar komplikasi jika ada luka trachea. Sebelumnya
gangguan trakea dapat bermanifestasi dengan crepitance luka. leher
diperpanjang dan crepitance dada. dan dalam bentuk yang paling ekstrim,
pneumomediastinum
dan
pneumothorax.
Ini
mungkin
memerlukan
43
pembukaan luka dengan penempatan drain, perbaikan trakea atau
tracheostomy. Komplikasi akhir bisa terjadi setelah luka infeksi dan mungkin
memerlukan insisi dan drainase dan kemungkinan penempatan tracheostomy
tergantung pada tingkat keparahan luka dan kondisi jalan napas. Kondisi
paling serius kedua adalah timbul jaringan granulasi trakea. Suture granulasi
granuloma terjadi pada garis jahitan mungkin memerlukan bronkoskopi dan
penghapusan baik secara mekanis atau dengan Laser dengan kemungkinan
tambahan berarti seperti dilatasi, injeksi steroid, atau aplikasi topikal zat
seperti mitomycin-c. Dalam kasus yang parah, penempatan stent atau
tracheotomy dipertimbangkan. Tanpa reseksi bedah survival jangka panjang
untuk Tumor ganas trakea suram.4
Resection Cricotracheal
Reseksi Cricotracheal cocok untuk dipilih tumor laring subglotis serta ekstensi
proksimal dari tumor trakea primer. Hal ini paling sering diterapkan untuk tumor
subglottic yang mungkin memiliki ekstensi trakea, misalnya. chondrosarcomas
yang timbul dari krikoid kartilago. Kontraindikasi reseksi cricotracheal adalah
keterlibatan pita suara sejati dan / atau arytenoid. Ekstensi tumor ekstensi ke luar
saluran napas yang melibatkan pembuluh darah mediastinal atau fasia prevertebral
merupakan kontraindikasi tambahan. Eksekusi reseksi cricotracheal mirip dengan
reseksi trakea dalam hal eksposur dan tindakan pencegahan mengenai panjang
reseksi. Sebagai tambahan, semua atau sebagian dari krikoid dihilangkan.
Penghapusan dari krikoid anterior relatif mudah. Perawatan harus diambil dalam
44
menghilangkan krikoid posterior untuk menghindari reseksi atau kerusakan
kartilago arytenoid dan untuk menghindari masuknya ke esofagus. Penutupan
dilakukan dengan menjahit keliling trakea ke mucosal dan pada tulang rawan
tiroid superior.
Peran limfadenektomi pada tumor trakea primer masih kontroversial. Jika
terlibat, kelenjar paratrakeal dioperasi dan node mediastinum harus dihilangkan.
Metastasis
kelenjar
getah
bening
tampaknya
tidak
berdampak
negatif
mempengaruhi prognosis; Namun, lebih dari 80% pasien dengan patologis
kelenjar getah bening positif menerima terapi radiasi adjuvant selain reseksi.4
Debulking dan Stent Tumor
Debulking adalah terapi awal diagnostik dan sementara. Manajemen mungkin
mendahului intervensi non-bedah lainnya seperti terapi radiasi. Debulking dapat
terjadi dengan removal mekanik, ablasi laser, dan cryoablation. Stent dapat
dilakukan
denganbersamaan biopsi atau prosedur debulking sebelum reseksi
definitif atau sebagai sarana paliatif dari obstruksi jalan napas. Stent dapat
ditempatkan dengan menggunakan bronkoskopi fleksibel untuk stent berbasis
logam atau bronkoskopi kaku untuk logam atau polimer plastik lainnya stent.
Selain itu. Komplikasi yang terjadi pada sebagian besar penggunaan stent adalah
plugging mukosa, perpindahan stent, pembentukan jaringan granulasi, dan erosi.
Penting untuk menekankan bahwa meskipun stent digunakan untuk pengelolaan
jalan napas pasien dengan tumor trakea, dengan atau tanpa adjuvant terapi seperti
radiasi, ketika reseksi tumor lengkap, manajemen ini disukai karena patensi jalan
napas jangka panjang lebih baik. 4
45
4.3 Radioterapi
Terapi radiasi dapat digunakan baik sebagai terapi primer atau modalitas
tambahan pada pengobatan neoplasma trakea. Radiasi dapat disampaikan melalui
sinar eksternal atau teknik brachytherapy. Dalam seri besar, lebih dari 50% pasien
menerima radiasi di samping manajemen bedah definitive. Indikasi untuk terapi
radiasi sinar eksternal adjuvant mencakup margin bedah yang positif, highgrade
histopatologi, keterlibatan limfatik, perineural invasi, dan invasi yang memanjang
di luar jalan nafas. Terapi radiasi pancaran eksternal dapat diberikan untuk
neoplasma jalan napas menggunakan berbagai sumber energi dan teknik.
Tomotherapy hypofractionated memungkinkan untuk threedimensional mencakup
risiko bedah reseksi dan dapat membatasi dosis ke esofagus dan sekitarnya yaitu
trakea, paru-paru, dan mediastinum. Serta dapat mengurangi efek samping dari
radiasi. Iradiasi primer sinar eksternal dapat diterapkan sebagai terapi utama pada
pasien yang tidak cocok untuk reseksi bedah. Terapi radiasi dapat disampaikan
dengan elektron atau neutron. Fraksinasi Ideal dan dosis belum ditetapkan. Cepat
neutron terapi sinar iradiasi untuk adenoid karsinoma kistik dalam dosis rata-rata
19,2 Gy menawarkan aktuaria 5 tahun kelangsungan hidup secara keseluruhan
dari 54% dengan atau tanpa endobronkial meningkatkan brachytherapy dengan
192 iridium. Neutron mungkin unggul dari elektron, dalam hal ini kanker kelenjar
ludah. Terapi radiasi neutron tidak tersedia secara luas, tetapi tidak berbeda secara
signifikan dengan elektron dengan meningkatkan brachytherapy endobronkial.
Iradiasi sinar eksternal juga memainkan peran dalam meningkatkan kontrol
locoregional pada pasien dengan kanker tiroid yang berdiferensiasi baik. Namun
46
reseksi segmental dan reanastamosis dari jalan napas mungkin memberikan
kontrol yang baik pada kanker tiroid berdiferensiasi baik. Dalam keterlibatan
umum, endoluminal atau ketebalan penuh
jalan napas oleh kanker tiroid
berdiferensiasi baik harus dikelola dengan reseksi segmental dari jalan napas atau
laryngectomy dan penambahan terapi adjuvant penyinaran. Brachytherapy
endobronkial dapat diberikan sebagai dorongan untuk iradiasi sinar eksternal
seperti dibahas di atas atau dapat digunakan sebagai modalitas paliatif untuk
membatasi pertumbuhan tumor endoluminal di keganasan trakea. 4
4.4 Kemoterapi
Kemoterapi dimaksudkan untuk memusnahkan sel kanker dan anak sebarnya.
Sifat kerjanya tidak selektif sehingga sel-sel normalpun akan terganggu. Untuk
mengurangi efek samping yang terjadi dan meningkatkan hasilnya dapat diberikan
kombinasi sitostatika yang bekerja secara sinergik.
Peran kemoterapi baik adjuvan maupun paliatif, dalam pengelolaan keganasan
trakea didefinisikan buruk. Tidak seperti kanker laring, tidak ada hasil uji coba
klinis multicenter yang mendefinisikan peran radiasi dikombinasikan dan
kemoterapi untuk perbaikan organ. Pada kasus tumor nonoperable atau neoplasma
agresif tertentu seperti skuamosa basaloid kanker trakea, pemberian kemoterapi
bersamaan dengan terapi radiasi mungkin merupakan manajemen yang bisa
dilakukan.4
47
4.5 Prognosis
Prognosis tumor ganas trakea ditentukan oleh lokasi tumor pada trakea, tipe
histopatologi, adanya metastasis dan terapi.
BAB V
SIMPULAN
 Tumor trakebronkial baik jinak maupun ganas sangat jarang didapatkan,
angka kejadiannnya kurang dari 0,4% dari seluruh tumor di tubuh.
 Pada biopsi awal, penggunaan endoskopik secara hati-hati membantu
membangun jalan nafas dan diagnosis.
 Sebelum manajemen definitif pemeriksaan dengan CT MRI atau PET-CT
dapat membantu dalam menentukan luasnya penyakit, metastase kelenjar
getah bening, atau perluasan tumor di luar jalan napas.
 Reseksi segmental pada saluran napas diutamakan hanya untuk
manajemen nonsurgical atau endoskopi saja
 Reseksi yang lebih luas seperti reseksi cricotrakeal, reseksi laryngotrakeal
dengan trakeostoma mediastinum. dan reseksi trakeocarinal diperlukan
untuk tumor yang berkembang.
 Terapi radiasi adjuvan sangat membantu dalam mengurangi kekambuhan
locoregional tumor ganas trakea yang memiliki margin reseksi positif,
highgrade histopatologi, keterlibatan limfatik, dan invasi perineural.
 Pada pasien tumor yang nonoperable, debulking endoskopik dengan laser,
frekuensi radio ablasi, atau krioterapi atau dengan cara mekanis dan
penempatan stent napas dapat membantu dalam terapi paliatif dan
perlindungan jalan nafas.
48
49
 Radiasi sinar eksternal baik dengan elektron atau neutron, bersama dengan
brachyterapy endobronkial dapat digunakan dalam pengobatan tumor
ganas trakea yang operable.
 Peran kemoterapi, terutama dalam kombinasi dengan radioterapi, adalah
muncul, tetapi buruk ditandai.
 Karsinoma sel skuamosa adalah gambaran histopatologi dominan dan
agresif dengan sering metastasis ke kelenjar getah bening.
 Karsinoma kistik Adenoid juga relatif umum terjadi dan kurang agresif
dari karsinoma sel skuamosa dan lebih mungkin untuk menunjukkan
penyebaran perineural dan hematogen.
 Sekelompok tumor pada trakea, dengan biopsi akurat dan diagnosis sangat
tepat penting untuk menentukan manajemen berikutnya.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Behesti J, Mark EJ. Anatomy, Physiology, Patology, Method of
Diagnostic. In: Grillo HC, ed. Surgery of the trachea and bronchi.
Hamilton, Canada: Decker. 2004; 39-61.
2. Behesti J, Mark EJ. Mesenchymal tumor of the trachea. In: Grillo HC, ed.
Surgery of the trachea and bronchi. Hamilton, Canada: Decker. 2004; 8697.
3. Behesti J, Mark EJ. Epithelial tumor of the trachea. In: Grillo HC, ed.
Surgery of the trachea and bronchi. Hamilton, Canada: Decker. 2004; 7385.
4. Bailey BJ. Tumor Trachea. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th
edition. Chapter 126. p1920. Lippincott Williams & Wilkins. 2014.
5. Lee, K.J. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. Ninth
edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2008:
6. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In: Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 13th edition . Philadelphia, Lea & Febiger. 2003
7. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otolaryngology. Thieme. 2006. Bab 712.
8. Frederick O. Stephens. Basic of Oncology. p9-22. Springer. 2009
50
51
9. Chang Min Park, Jin Mo Goo, Hyun Fu Lee. Tumors in the
Tracheobronchial Tree: CT and FDG PET Features. Radiographics.
rsnajnls. Org. 2009
10. Hoerbelt R, Padberg W. Prymary Tracheal Tumors of the Neck and
mediastinum: resection and reconstruction procedures. Chirurg 2011;
82(2):125-133
11. Hornings I, Gaissert Ha, et al. Clinical Aspects and treatment of primary
tracheal malignancies. Acta Otolaryngology 2010;130(7);763-772
12. Honings J, Verhagen AF, et al. Undertreatment of tracheal carcinoma;
multidisciplinary audit of epidemiologic data. Ann Surg Oncol
2009;16(2)246-253.
13. Navin Bhambini, Jayesh Gori. Adenoid Cystic Carcinoma of trachea: A
rare tumor managed by diode laser and tracheal resection. Int J. Case Rep
Images 2014;5(10):680-684.
14. Henning A. Gaissert, Eugene J. Mark. Tracheobronchial Gland Tumors.
Massachussetts General Hospital. 2006
15. Hemant Shah, Louise Garbe. Benign Tumors of the Tracheobronchial
Tree. CHEST 1995;107;1744-51.
16. Aikaterini Papadopoulou, Marios Froudarakis. Tracheal Cancer Treated
with a short course of external and endoluminal radio-chemotherapy. J
Contomp Brachythor 2010. 2,4. 160-162
17. Wood DE. Management of malignant tracheobronchial obstruction. Surg
clin North Am 2002;82;621-642.
Download