Chapter II

advertisement
BAB II
URAIAN TEORITIS`
A. Penelitian Terdahulu
Sari (2007) dengan judul “Pengaruh Brand Equity Pasta Gigi Pepsodent
Terhadap Loyalitas Pelanggan (Studi Kasus Pada Asrama Putri USU
Medan)”. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa variabel bebas (X1, X2, X4)
yaitu kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived quality),
dan loyalitas merek (brand loyalty) berpengaruh positif
terhadap loyalitas
pelanggan pasta gigi pepsodent di asrama putri USU Medan, sementara X3 yaitu
asosiasi merek (brand association) berpengaruh negatif. Berdasarkan koefisien
determinasi (R2) maka variabel kesadaran merek (brand awareness), persepsi
kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association), dan loyalitas
merek (brand koyalty) mempengaruhi loyalitas pelanggan pasta gigi pepsodent di
asrama putri sebesar 63,6 % dan sisanya 36,4 % dipengaruhi oleh faktor lain yang
tidak termasuk dalam penelitian tersebut.
Manurung (2007) dengan judul “Pengaruh Brand Equity Teh Botol Sosro
Terhadap Keputusan Pembelian Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan”. Dari penelitian ini diperoleh hasil
bahwa variabel bebas ekuitas merek (brand equity), yaitu brand awareness (X1)
dan brand association (X2) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat
(keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan), sedangkan perceived
20
quality (X3) dan brand loyalty (X4) secara parsial berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel terikat (keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan).
Pengaruh yang ditimbulkan oleh variabel bebas X3 dan X4 adalah pengaruh yang
positif. Sementara untuk variabel yang lebih dominan mempengaruhi keputusan
pembelian mahasiswa F-KG USU Medan adalah variabel brand loyalty (X4).
Berdasarkan uji F hitung, variabel brand awareness (X1), brand association (X2),
perceived quality (X3), brand loyalty (X4) secara bersama-sama berpengaruh
positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU
Medan.
Saragih (2008) dengan judul ”Pengaruh Ekuitas Merek (Brand Equity) Tas
Sophie Martin Terhadap Kesediaan Membayar Harga Premium (Studi
Kasus pada BC Rosida Medan)”. Dari penelitian ini diperoleh bahwa Ekuitas
Merek (Brand Equity) tas Sophie Martin berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap kesediaan membayar harga premium pada BC (Business Centre) Rosida
Medan sebesar 34,2 % dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini, seperti: inovasi produk, nilai yang ditawarkan kepada
konsumen (value proposition), kepribadian merek (brand personality), serta
asosiasi organisasi (organizational associations). Variabel asosiasi merek (brand
association) berpengaruh paling dominan terhadap kesediaan membayar harga
premium pada BC (Business Centre) Rosida Medan sedangkan variabel kesadaran
merek (brand awareness) tidak mempengaruhi kesediaan membayar harga
premium pada BC (Business Centre) Rosida Medan.
B. Harga
1. Pengertian Harga
”Dalam arti sempit, harga (price) adalah jumlah yang ditagihkan atas suatu
produk atau jasa. Lebih luas lagi, harga adalah jumlah semua nilai yang diberikan
oleh pelanggan untuk mendapatkan keuntungan dari memiliki atau menggunakan
suatu produk atau jasa” (Kotler dan Armstrong, 2008:345).
Suharno dan Sutarso (2010:178) menyatakan bahwa: ”harga adalah sejumlah
uang yang dibayarkan untuk memperoleh produk yang diinginkan. Dalam
pengertian yang lebih luas harga adalah sejumlah pengorbanan yang diperlukan
untuk mendapatkan suatu produk”.
2. Persepsi Harga
Perilaku konsumen sangat mempengaruhi evaluasi dan penilaian terhadap
harga dari suatu produk yang dilakukan oleh konsumen. Perilaku pembelian
konsumen dipengaruhi oleh empat aspek utama (Suharno dan Sutarso, 2010:83),
yaitu: ”faktor budaya (kebudayaan dan kelas sosial), faktor sosial (kelompok,
keluarga, peran dan status), faktor pribadi (usia dan tahapan dalam siklus hidup,
pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup dan kepribadian serta konsep diri), dan
faktor psikologis (motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan dan sikap)”.
Sedangkan pengertian persepsi adalah ”proses yang digunakan oleh seorang
individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan
informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti” (Sunarto,
2006:94). Penilaian terhadap harga suatu produk dikatakan mahal, murah atau
biasa saja dari setiap individu tidaklah harus sama, karena tergantung dari persepsi
individu yang dilatarbelakangi oleh lingkungan kehidupan dan kondisi individu.
Menurut (Alma 2010:178), adakalanya konsumen tidak peka atau tidak peduli
dengan perbedaan harga yang dilancarkan oleh produsen, biar mahal tapi dibeli
juga. Hal ini terjadi karena berbagai alasan seperti:
a) Barangnya unik, langka, bergengsi mempunyai nilai seni tertentu yang
diminati oleh orang-orang tertentu pula.
b) Produk tersebut tidak ada penggantinya.
c) Konsumennya adalah orang-orang berpenghasilan tinggi atau dalam
membeli produk tersebut akan menciptakan suatu prestise.
d) Harga beli barang tersebut, dibayarkan oleh orang lain, jadi tinggal
pilih saja, barang-barang yang harganya mahal.
e) Penggunaan produk merupakan pelengkap barang yang sudah dibeli
sebelumnya.
f) Persediaan barang semakin menipis dipasar, jadi terpaksa harus dibeli.
3. Persepsi Harga Terhadap Kualitas
Harga mempunyai kontribusi terhadap kualitas sehingga harga dan persepsi
kualitas mempunyai hubungan yang positif, yaitu semakin mahal harga suatu
produk tersebut maka akan mencerminkan kualitas produk.
Konsumen menggunakan harga sebagai indikator kualitas (Nagle dan Holden,
dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002), sebagai berikut:
a. Konsumen percaya ada perbedaan kualitas di antara berbagai merek
dalam suatu produk kategori.
b. Konsumen percaya kualitas yang rendah dapat membawa resiko yang
lebih besar.
c. Konsumen tidak memiliki informasi lain kecuali merek terkenal
sebagai referensi dalam mengevaluasi kualitas sebelum melakukan
pembelian.
4. Persepsi Harga Terhadap Nilai
“Persepsi nilai adalah evaluasi menyeluruh dari kegunaan suatu produk yang
didasari oleh persepsi konsumen terhadap sejumlah manfaat yang akan diterima
dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan atau secara umum di pikiran
konsumen value dikenal dengan istilah “value for money”, “best value”, dan “you
get what you pay for” (Morris dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002).
Menurut Zeithaml dan Bitner (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002),
pengertian harga terhadap nilai dari sisi konsumen dapat dikelompokkan menjadi
empat, yaitu:
a. Value is low price
Kelompok konsumen yang menganggap bahwa harga murah
merupakan value yang paling penting buat mereka sedangkan kualitas
sebagai value dengan tingkat kepentingan yang lebih rendah. Strategi
harga yang harus dilakukan adalah:
1) Odd Pricing
Odd Pricing adalah menggunakan harga yang tidak biasa
digunakan umum, misal diskon 81 %.
2) Synchro Pricing
Synchro Pricing adalah memberikan harga dengan faktor-faktor
pembeda yang menyebabkan sensitivitas harga meningkat, misal:
place, timing, quantity.
3) Penetration Pricing
Penetration Pricing adalah menetapkan harga rendah terutama
pada saat introduction untuk menstimulasi konsumen melakukan
trial.
4) Discounting
Discounting
adalah
memberikan
potongan
harga
untuk
menciptakan sensitivitas terhadap harga sehingga tercipta
pembelian.
b. Value is whatever I want in a product or services
Bagi konsumen dalam kelompok ini, value diartikan sebagai manfaat,
kualitas yang diterima bukan semata harga saja atau value adalah
sesuatu yang dapat memuaskan keinginan. Strategi harga yang dapat
dilakukan:
1) Prestige Pricing
Prestige Pricing merupakan penetapan harga premium untuk
menjaga image sebagai produk dengan kualitas yang sangat baik
dan memberikan image yang berbeda bagi yang memiliki atau
menggunakan merek.
2) Skimming Pricing
Skimming Pricing adalah menetapkan harga yang lebih tinggi
dari rata-rata kesediaan untuk membayar, umumnya pada saat
produk tersebut dalam tahap perkenalan. Produk tersebut
mempunyai nilai lebih dibandingkan produk sebelumnya serta
didukung dengan biaya promosi yang tinggi.
c. Value is the quality I get for the price I pay
Konsumen pada kelompok ini mempertimbangkan value adalah
sesuatu manfaat/ kualitas yang diterima sesuai dengan besaran harga
yang dibayarkan. Adapun pendekatan harga yang dapat dilakukan
adalah:
1) Value Pricing
Value Pricing adalah menciptakan value lebih dari aspek manfaat
atau besaran yang dapat dibandingkan dengan harga itu sendiri,
biasanya dengan strategi bundling.
2) Market Segmentation Pricing
Market Segmentation Pricing adalah memberikan harga berbedabeda sesuai dengan segmen yang didasari value yang diterima.
d. Value is what I get what I give
Konsumen menilai value berdasarkan besarnya manfaat yang diterima
dibandingkan dengan pengorbanan yang dikeluarkan baik dalam
bentuk besarnya uang yang dikeluarkan, waktu dan usahanya.
Pendekatan harga yang dapat dilakukan:
1) Price Framing
Price Framing adalah memberikan tarif yang berbeda-beda
sesuai dengan pembagian kelompok berdasarkan besarnya
manfaat yang diterima.
2) Price Bundling
Price Bundling adalah memberikan harga untuk dua jasa/ produk
yang saling komplemen.
Kotler (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002) menyimpulkan bahwa
konsumen dalam menerima suatu value atau nilai dari suatu harga sangat
dipengaruhi oleh:
a. Konteks
Kesediaan konsumen untuk berkorban dengan membayar harga yang
lebih mahal, dibandingkan kehilangan nilai lain yang lebih penting
pada saat itu, sehingga dapat dikatakan value produk tersebut sangat
tinggi.
b. Ketersediaan Informasi
Konsumen akan mendapatkan value atas produk karena memiliki
infomasi yang banyak dan lengkap.
c. Asosiasi
Upaya peningkatan value dari suatu produk dengan cara menaikkan
harga, produsen harus memperhatikan asosiasi konsumen terhadap
pengalaman
5.
yang dimiliki selama ini.
Harga Premium
Srinivasan dan Chan Su Park (dalam Simamora, 2003:55) menilai, ”harga
premium sebagai perbedaan harga maksimal antara merek yang paling disukai
dengan merek yang paling tidak disukai, yang dapat diterima konsumen”.
”Sebagai gambaran, konsumen rela membeli air mineral merek Aqua
dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga air mineral bermerek Ades,
Dua Tang, Vit, dan lain-lain, padahal bila merek produk tersebut
ditanggalkan dan berbagai merek air mineral tersebut disajikan dalam
gelas yang seragam, konsumen sulit membedakan produk-produk tersebut.
Kesediaan konsumen untuk membayar dengan harga lebih tinggi untuk
merek Aqua menunjukkan penghargaan
mereka yang “lebih” kepada
merek Aqua tersebut dibandingkan kepada para pesaingnya” (Simamora
2003:55).
”Harga premium dapat menjadi satu-satunya pengukuran ekuitas merek yang
tersedia, karena pengukuran ini langsung menangkap konsumen yang loyal
dengan cara yang relevan. Jika konsumen loyal, secara logis mereka akan bersedia
untuk membayar lebih tinggi (harga premium). Jika mereka tidak bersedia
membayar lebih tinggi, tingkat loyalitas mereka rendah” (Durianto, et.al,
2004:19).
C. Merek
1. Pengertian Merek
Merek adalah suatu tanda atau simbol yang memberikan identitas suatu
barang atau jasa tertentu yang dapat berupa kata-kata, gambar atau kombinasi
keduanya yang diharapkan mampu mengidentifikasi barang atau jasa dari
seseorang, penjual atau sekelompok penjual, dan diharapkan akan membedakan
barang atau jasa dari produk pesing. (Kotler dan Keller, 2009:332) mendefinisikan
bahwa: “merek adalah produk atau jasa penambah dimensi yang dengan cara
tertentu mendiferensiasikannya dari produk atau jasa lain yang dirancang untuk
memuaskan kebutuhan yang sama”.
(Ferrinadewi, 2008:138) menyatakan bahwa :
Merek erat kaitannya dengan alam pikiran manusia yang meliputi semua
yang eksis dalam pikiran konsumen terhadap merek seperti perasaan,
pengalaman, citra, persepsi, keyakinan, sikap, sehingga dapat dikatakan
merek adalah sesuatu yang sifatnya imaterial. Merek merubah atau
mentransformasi
hal yang sifatnya berwujud (intangible) menjadi
sesuatu yang bernilai. Proses transformasi ini sepenuhnya menjadi
wewenang konsumen untuk melanjutkan atau menghentikannya.
Kotler (dalam Alma, 2009:157) menyatakan ada enam arti dari merek yaitu :
1. Attributes, ada sesuatu atribut yang melekat pada suatu mereka
misalnya barang mahal, mutu bagus, tahan lama, tidak luntur dan
sebagainya.
2. Benefit, kata attribute diartikan sebagai functional dan emotional
benefit. Istilah tahan lama dapat dikatakan functional benefit,
sedangkan barang mahal ini, dapat diartikan sebagai emotional
benefit, yang penting barang tersebut biar mahal tapi sangat
menguntungkan.
3. Value, barang mahal memiliki nilai tinggi bagi pengguna, karena
dapat menaikkan gengsi/prestise, kenyamanan,dan keselamatan.
4. Culture, ini masalah budaya yang terkesan, terkenal, efisien, dan
selalu membeli barang berkualitas tinggi.
5. Personality, memperlihatkan atau member kesan kepribadian tertentu.
6. User, memberi kesan bahwa mayoritas pemakai produk tersebut
adalah orang dari kelas sosial tertentu.
2. Tujuan dan Manfaat Pemberian Merek
Pemberian merek pada suatu produk dimaksudkan untuk beberapa alasan,
yaitu:
1) Untuk mengidentifikasi barang atau jasa guna mempermudah dalam
penanganan atau mencari jejak produk yang dipasarkan.
2) Melindungi produk yang unik dari kemungkinan ditiru pesaing.
3) Untuk
menekankan
mutu
tertentu
yang
ditawarkan
dan
untuk
mempermudah konsumen menemukan produk tersebut kembali.
4) Sebagai landasan untuk mengadakan diferensiasi harga.
Menurut (Alma 2009:149), ada lima tujuan pemberian merek, yaitu:
1. Pengusaha menjamin konsumen bahwa barang yang dibeli sungguh
berasal dari perusahaannya. Ini adalah untuk meyakinkan pihak
konsumen membeli suatu barang dari merek dan perusahaan yang
dikehendakinya, yang cocok dengan seleranya, keinginannya dan juga
kemampuannya.
2. Perusahaan menjamin mutu barang. Dengan adanya merek ini
perusahaan menjamin mutu bahwa barang yang dikeluarkannya
berkualitas baik, sehingga dalam barang tersebut selain ada merek,
juga disebutkan peringatan-peringatan seperti apabila dalam jenis ini
tidak ada tanda tangan ini maka itu adalah palsu dan lain-lain.
3. Pengusaha memberi nama pada merek barangnya supaya mudah
diingat dan disebut sehingga konsumen dapat menyebutkan mereknya
saja.
4. Meningkatkan ekuitas merek, yang memungkinkan memperoleh
margin lebih tinggi, member kemudahan dalam mempertahankan
kesetiaan konsumen.
5. Memberi motivasi pada saluran distribusi, karena barang dengan
merek terkenal akan cepat laku, dan mudah disalurkan serta mudah
penanganannya.
Meskipun merek adalah nama atau tanda, akan tetapi merek mempunyai arti
yang penting dalam pemasaran, karena merek sangat efektif sebagai alat untuk
meningkatkan atau mempertahankan jumlah penjualan. Hal ini dapat diharapkan
apabila konsumen memperoleh kepuasan dari produk tertentu, sehingga dengan
pemberian merek, konsumen dapat mencari dan membeli produk yang
diinginkannya tersebut, karena selalu diingat oleh konsumen. Apabila merek telah
dikenal oleh konsumen, maka dapat diharapkan konsumen mempunyai preferensi
atas merek (brand preference) produk tersebut. Sedangkan para produsen
menggunakan merek untuk meyakinkan para konsumen bahwa suatu merek
tertentu
menunjukkan
standar
kualitas/mutu
tertentu,
dengan
demikian,
diharapkan dapat diperoleh jumlah penjualan dan penguasaan pasar yang stabildan
jika mungkin dapat lebih besar. Selain itu, merek yang digunakan untuk
membedakan produk tersebut dengan produk saingan yang ada, karena seorang
konsumen yang ingin membeli suatu produk akan selalu mencoba mengenali cirriciri dari produk tersebut. Sehingga hal ini menunjukkan dua manfaat, yaitu:
1) Memberikan identifikasi terhadap suatu produk, sehingga para konsumen
mengenal merek dagang yang berbeda dengan produk lain.
2) Untuk menarik calon pembeli.
3. Membangun merek yang kuat
Suharno dan Sutarso (2010:165) menyatakan bahwa membangun merek yang
kuat dan sukses di pasar, memerlukan serangkaian aktivitas yang harus dilalui,
yaitu:
1. Menentukan penggunaan merek. Hampir semua produk yang
dipasarkan saat ini memiliki identitas atau merek. Sekalipun tidak
secara sempurna mencerminkan sebuah merek, namun fungsi merek
sudah dipergunakan secara meluas. Pemasar perlu menentukan akan
menggunakan merek atau tidak adalah keputusan penting yang harus
dilakukan oleh pemasar. Faktor penentu keputusan pemilihan ini akan
tergantung kepada manfaat yang ingin dicapai dari penggunaan merek
dan pengorbanan yang dilakukan. Dengan merek, produk akan mudah
diidentifikasi dan ditelusur, memberikan perlindungan hokum bagi
produsen, memungkinkan terbentuknya sekelompok pembeli yang
loyal, dan merek akan memberikan manfaat bagi masyarakat akan
konsisten dan meningkatnya kualitas produk.
2. Memilih nama merek. Isu penting dalam pemilihan nama merek adalah
bagaimana memilih nama merek yang mampu menerangkan manfaat
produk, mudah diucapkan dan diingat, berbeda, dapat diperluas dan
mudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Penentuan nama ini, perlu
memperhatikan aspek sosial dan budaya konsumen, khususnya dalam
kaitan dengan bahasa. Perlu dihindari istilah merek yang berkonotasi
negative dan atau sudah ada sebelumnya. Beberapa produk pinggiran
memanfaatkan nama besar merek tertentu untuk mendapatkan asosiasi
yang kuat. Nasional agar diasosiasikan dengan National, produsen
elektronik terkenal.
3. Menentukan sponsor merek. Sponsor merek adalah dengan siapakah
merek diasosiasikan terkait dengan pemilik merek. Pemasar memiliki
empat pilihan sponsor, yaitu:
a. Merek produsen atau merek nasional, yaitu menjual produk di
bawah nama merek produsennya sendiri.
b.
Merek pribadi, yaitu merek yang diciptakan dan dimiliki oleh
pengecer sebuah produk atau jasa.
c.
Merek berlisensi, yaitu menggunakan merek lisensi dari pihak
lain.
d. Merek bersama, adalah praktik mengunakan nama merek
terkenal dari dua perusahaan berbeda untuk produk yang sama.
4. Mengembangkan merek. Perusahaan mempunyai empat pilihan dalam
mengembangkan merek, yaitu sebagai berikut di bawah ini:
a. Perluasan lini, memperluas nama merek yang sudah ada menjadi
bentuk, warna, ukuran, bahan, atau rasa baru dari kategori produk
yang ada.
b.
Perluasan merek, memperluas nama merek yang sudah ada
menjadi kategori produk baru.
c.
Multimerek, yaitu menawarkan merek baru untuk kategori
produk yang sama.
d.
Merek baru, yaitu membuat merek baru untuk kategori produk
baru.
5. Reposisi Merek.
Pemasar pada satu waktu perlu melakukan reposisi merek, dari posisi
merek dengan image, citra atau personalitas tertentu, ke dalam posisi
yang lain. Perubahan ini, seringkali dikarenakan oleh karena merek
kurang berkembang dan perlu ditingkatkan produktivitasnya, oleh
karena posisi yang diambil telah banyak, sehingga kurang ada
pembeda, atau terjadi pergeseran konsumen yang mengakibatkan
penurunan permintaan.
D. Ekuitas Merek (Brand Equity)
1. Pengertian Ekuitas Merek
Aaker (dalam Ferrinadewi, 2008:168), mendefinisikan bahwa: “brand
equity atau ekuitas merek sebagai sejumlah asset dan kewajiban yang
berhubungan dengan merek, namanya dan symbol, yang menambah atau
mengurangi nilai produk atau jasa bagi perusahaan atau bagi pelanggannya”.
Peter dan Olson (dalam Simamora, 2003: 49) melihat bahwa:
Ekuitas merek memberikan nilai kepada perusahaan dan konsumen.
Berdasarkan
perspektif
perusahaan,
ekuitas
merek
memberikan
keuntungan, aliran kas dan pangsa pasar yang lebih tinggi. Sedangkan dari
perspektif konsumen, ekuitas merek terkait dengan sikap merek positif dan
kuat yang didasarkan pada arti dan keyakinan positif dan jelas tentang
merek dalam memori. Sikap merupakan bagian penting ekuitas merek.
Merek yang memiliki ekuitas berarti disikapi secara positif oleh
konsumen.
Simamora (2003:48) menyatakan bahwa: ”ekuitas merek juga mempengaruhi
rasa percaya diri konsumen dalam mengambil keputusan pembelian baik itu
karena pengalaman masa lalu dalam menggunakannya maupun kedekatan dengan
merek dan aneka karakteristiknya”.
Suharno dan Sutarso (2010:164) menyatakan bahwa:
Ekuitas merek adalah nilai dari merek berdasarkan tingkat di mana merek
memiliki konsumen loyal, memberikan kualitas yang tinggi, memiliki
asosiasi yang kuat, dan memiliki aset lain yang ada dalam merek. Merek
dengan ekuitas tinggi tertentu akan dicari banyak konsumen, bahkan
mereka mau berkorban lebih dari biasanya. Pasar mudah mengingat akan
merek tersebut dan memiliki citra dan asosiasi positif. Orang merasa
bangga menggunakan merek tersebut. Jika ini terjadi maka produk akan
memiliki pembeli potensial yang tinggi, yang berarti permintaannya
tinggi.
2. Manfaat Ekuitas Merek
Manfaat dari ekuitas merek dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1) Memberikan nilai kepada konsumen.
Dimensi ekuitas merek pada umumnya menambahkan atau mengurangi
nilai bagi para konsumen.
a) Dimensi-dimensi ini bisa membantu mereka menafsirkan, memproses,
dan menyimpan informasi dalam jumlah yang besar mengenai produk
dan merek.
b) Ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya diri konsumen
dalam mengambil keputusan pembelian (baik itu karena pengalaman
masa lalu dalam menggunakan maupun kedekatan dengan merek dan
aneka karakteristiknya).
c) Yang lebih penting nantinya adalah kenyataan bahwa kesan kualitas
dan asosiasi merek bisa menguatkan kepuasan konsumen dengan
pengalaman menggunakannya.
2) Memberikan nilai kepada perusahaan.
a) Ekuitas merek menguatkan program memikat para konsumen baru atau
merangkul kembali konsumen lama.
b) Ekuitas merek biasanya akan memungkinkan margin yang lebih tinggi
dengan memungkinkan harga optimum (premium pricing) dan
mengurangi ketergantungan pada promosi. Jelasnya, sebuah merek
yang memiliki kelemahan dalam ekuitas merek harus menginvestasikan
lebih banyak untuk aktivitas promosi.
c) Ekuitas merek bisa memberikan landasan untuk pertumbuhan lewat
perluasan merek.
d) Ekuitas merek bisa memberikan dorongan dalam saluran distribusi.
Produk yang memiliki ekuitas merek yang kuat akan mendapatkan
keuntungan dalam urusan penempatan barang di toko-toko swalayan
dan kerjasama dalam menerapkan program-program pemasaran.
e) Ekuitas merek memberikan keuntungan kompetitif yang sering
menghadirkan rintangan yang nyata bagi kompetitor.
3. Dimensi Ekuitas Merek
Aaker (dalam Rangkuti, 2004:39) mengategorikan ekuitas merek (brand equity)
menjadi empat aset utama, yakni:
a. Kesadaran Merek (Brand Awareness)
Kesadaran merek (brand awareness) merupakan kesanggupan seorang
calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu
merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran
merek dapat menjadi penentu dalam beberapa kategori dan biasanya
mempunyai peranan kunci dalam ekuitas merek (brand equity).
Kesadaran merek juga mempengaruhi persepsi dan tingkah laku.
Kesadaran merek merupakan key of brand asset atau kunci pembuka
untuk masuk ke elemen lainnya. Jadi jika kesadaran itu sangat rendah
maka hampir dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga rendah.
b. Persepsi Kualitas (Perceived Quality)
Persepsi kualitas (perceived quality) merupakan persepsi pelanggan
terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa
layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan. Terdapat lima
keuntungan persepsi kualitas, yaitu:
1. Alasan Untuk Membeli
Persepsi kualitas mempengaruhi merek-merek mana yang harus
dipertimbangkan dan selanjutnya mempengaruhi merek apa yang
akan dipilih.
2. Diferensiasi
Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam
dimensi kesan kualitas.
3. Harga Optimum (Premium Price)
Memberikan
pilihan-pilihan
di
dalam
optimum (premium price).
4. Meningkatkan Minat Para Distributor
Membantu dalam perluasan distribusi.
menetapkan
harga
5. Perluasan Merek
Persepsi kualitas dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan
berbagai perluasan merek, yaitu dengan menggunakan merek
tertentu untuk masuk ke dalam kategori produk baru.
c. Asosiasi Merek (Brand Association)
Asosiasi merek (brand association) merupakan segala hal yang
berkaitan dengan ingatan mengenai merek. Asosiasi itu tidak hanya
eksis, namun juga memiliki suatu tingkat kekuatan. Keterkaitan pada
suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman
atau penampakan untuk mengkomunikasikannya. Berbagai asosiasi yang
diingat konsumen dapat dirangkai sehingga menbentuk citra tentang
merek atau brand image didalam benak konsumen.
d. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Loyalitas Merek (brand loyalty) merupakan ukuran dari kesetiaan
konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari
ekuitas merek (brand equity) yang menjadi gagasan sentral dalam
pemasaran, karena hal ini merupakan satu ukuran keterkaitan seorang
pelanggan pada sebuah merek.
4. Model Ekuitas Merek
a. Penilai Aset Merek (Brand Asset Valuater).Young dan Rubicam (Y & R)
(dalam Kotler dan Keller, 2009:337), agen iklan global ternama mengembangkan
satu model ekuitas merek (brand equity) yang dinamakan Brand Asset Valuator
(BAV). Mereka mengatakan bahwa:
Untuk mengetahui nilai ekuitas merek (brand equity), ada empat hal utama
yang diukur, yaitu:
•
Diferensiasi
(Differentiation),
yaitu
ukuran
seberapa
berbeda
(distinctive) suatu merek dibanding merek lainnya.
•
Relevansi (Relevance), yaitu relevansi merek dengan konsumen.
Apakah merek memiliki arti?. Apakah merek cocok secara personal?.
•
Kebanggaan
(Esteem),
yaitu
ukuran
tentang
apakah
merek
memperoleh penghargaan yang tinggi dan dianggap sebagai yang
terbaik di kelasnya.
•
Pengetahuan (Knowledge), yaitu ukuran tentang pemahaman mengenai
merek.
b. Model Aaker.
Aaker (dalam Kotler dan Keller, 2009:339), memandang bahwa: “ekuitas
merek sebagai satu perangkat dari lima kategori aset dan liabilitas merek yang
berkaitan dengan merek yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan
sebuah produk atau layanan kepada perusahaan dan/atau kepada pelanggan
perusahaan”.
Aaker (dalam Kotler dan Keller, 2009:339), melihat identitas merek terdiri dari
dua belas dimensi yang terorganisasikan di sekitar empat perspektif:
•
Merek sebagai produk (lingkup produk, atribut produk, mutu/nilai,
manfaat, pengguna, negara asal).
•
Merek sebagai organisasi (atribut organisasi, local versus global).
•
Merek sebagai pribadi (kepribadian merek, hubungan merekpelanggan).
•
Merek sebagai simbol (citra dan warisan merek).
E. Proses Pengambilan Keputusan
Perusahaan harus mencoba memahami pelanggannya dalam mengambil
keputusan pembelian suatu produk. Proses pengambilan keputusan membeli
konsumen pada umumnya terdiri dari lima tahap, yaitu:
1. Pengenalan masalah
Proses pembelian dimulai ketika konsumen mengetahui masalah atau
kebutuhannya yang diikuti oleh rangsangan internal maupun eksternal, misalnya
adanya pemberitahuan dari temannya bahwa suatu produk bagus atau berkualitas.
Disini pemasar harus dapat mengidentifikasi keadaan yang dapat memicu
kebutuhan dan mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan dari beberapa
konsumen sehingga dapat menyusun strategi pemasaranuntuk memikat konsumen
tersebut.
2. Pencarian informasi
Pada proses ini konsumen akan mencari informasi mengenai produk untuk
memenuhi kebutuhannya baik melalui teman, keluarga maupun kenalannya
sehingga dalam hal ini pemasar harus memperhatikan sumber-sumber informasi
yang menjadi acuan konsumen, mengidentifikasi, dan mengevaluasi informasi
tersebut. Mereka harus mengetahui pendapat konsumen mengenai suatu merek
dan mengidentifikasi merek-merek lain dalam perangkat pilihannya. Hal ini akan
membantu perusahaan mempersiapkan komunikasi yang efektif dengan pasar
sasaran.
3. Evaluasi alternatif
Konsumen akan memberikan pandangan yang berbeda-beda terhadap produk
yang memiliki atribut dan kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan
manfaat untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai contoh, konsumen akan
mengevaluasi dua produk yang berbeda tingkat harganya dengan memilih apakah
produk dengan harga tinggi memiliki atribut atau manfaat yang lebih banyak dan
berkualitas daripada produk dengan harga yang rendah.
4. Keputusan Pembelian
Menurut Kotler dan Keller (2009:242), keputuan konsumen untuk
memodifikasi, menunda, atau menghindari
keputusan pembelian
sangat
dipengaruhi oleh risiko yang dipikirkan. Ada berbagai macam jenis risiko yang
bisa dirasakan konsumen dalam membeli dan mengonsumsi sebuah produk, yaitu
• Risiko fungsional – produk tidak berkinerja sesuai harapan.
• Risiko fisik – produk menimbulkan ancaman terhadap kesejahteraan atau
kesehatan fisisk dari pengguna atau orang lain.
• Risiko fungsional – produk tidak bernilai sesuai harga yang dibayar.
• Risiko sosial – produk menimbulkan rasa malu terhadap orang lain.
• Risiko Psikologis – produk memengaruhi kesejahteraan mental dari
pengguna
• Risiko waktu – kegagalan produk mengakibatkan biaya peluang karena
menemukan produk lain yang memuaskan.
5. Perilaku Pasca Pembelian
Setelah
melakukan
pembelian,
konsumen
mungkin
akan
mengalami
ketidakpuasan atau ketidaksesuaian terhadap produk yang dibeli. Konsumen akan
selalu mencari informasi yang sesuai dengan ketidakpuasan tersebut. Kepuasan
dan ketidakpuasan akan memengaruhi perilaku konsumen selanjutnya sehingga
pemasar disini harus tetap memantau kepuasan pasca pembelian, tindakan
konsumen, dan pemakaian produk pasca pembelian konsumen.
Download