Analisis Kebutuhan Hutan Kota Untuk Menjaga

advertisement
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Penutupan Lahan
Analisis penutupan lahan bertujuan untuk mengetahui kondisi dan
perubahan penutupan lahan yang ada di Kota Sintang. Dalam penelitian ini ada
dua data Landsat-TM yang digunakan yaitu data Landsat-TM tahun 2001, 2004,
2006 dan 2008, path/row 120/60. Citra landsat ini memiliki resolusi spasial
sebesar 30m dan 7 channel spektral.
Klasifikasi
citra
dilakukan
menggunakan
pendekatan
klasifikasi
‘supervised’ dengan berbasis pada informasi obyek. Pendekatan berbasis obyek
merupakan suatu metode klasifikasi citra digital berdasarkan pada pengelompokan
spektral yang homogen dari piksel. Informasi dari piksel ini memberikan
informasi terhadap obyek yang nyata pada permukaan bumi. Pengelompokan
piksel ini disebut sebagai segment citra, yang mengandung beberapa informasi
spektral seperti luas, keliling dan kedekatan informasi spektral (neighbourhood
relationship). Gabungan dari informasi spektral ini dapat digunakan untuk
mengelompokkan tutupan lahan dan jenis vegetasi pada citra satelit. Kegiatan ini
dibantu dengan kegiatan pengecekan lapangan (ground check) untuk memperoleh
informasi mengenai keadaan tipe-tipe penutupan lahan di areal penelitian sebagai
acuan dalam proses klasifikasi. Kelas-kelas penutupan lahan yang digunakan
dalam proses klasifikasi citra adalah tubuh air, hutan, kebun campuran,
pemukiman, semak belukar dan lahan terbuka.
(a)
(b)
Gambar 10. Berbagai
kelas penutupan lahan :
(a) hutan,
(b) kebun campuran,
(c) semak belukar,
(d) lahan terbuka
(c)
(d)
Hasil interpretasi pada citra Landsat pada tahun 2001, 2004, 2006 dan
2008 dapat dikatahui bahwa penutupan lahan tahun 2001 didominansi oleh hutan
sebesar 39% dari luas wilayah. Selanjutnya berturut-turut: kebun campuran 28%,
pemukiman 15%, tubuh air 10%, lahan terbuka 6% dan semak belukar 2%.
Sedangkan penutupan lahan untuk tahun 2008 didominasi oleh kebun campuran
sebesar 42% dari luas wilayah, diikuti oleh pemukiman 23%, hutan 17%, tubuh
air 11%, lahan terbuka 4% dan semak belukar 3%.
Tabel 6. Luas penutupan lahan di Kota Sintang
tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008
Jenis Penutupan
2001
ha
%
Tubuh Air
452
10
Hutan
1.805
39
Kebun Campuran 1.263
28
Pemukiman
704
15
Semak Belu kar
110
2
Lahan Terbuka
253
6
Juml ah
4.587 100
Sumber: Hasil Analisis 2009
2004
ha
441
1.160
1.405
826
529
226
4.587
%
10
25
31
18
12
5
100
2006
ha
455
957
1.892
922
120
241
4.587
2008
%
10
21
41
20
3
5
100
ha
500
787
1.916
1.048
130
206
4.587
%
11
17
42
23
3
4
100
Perubahan
2001-2008
ha
%
48
1
-1.018
-22
653
14
344
8
20
1
-47
-2
0
0
2500
2000
Luas (ha)
Tubuh Air
Hutan
1500
Kebun Campuran
1000
Permukiman
Semak Belukar
500
Lahan Terbuka
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Gambar 11. Grafik luas penutupan lahan di Kota Sintang tahun 2001-2008
Tabel 6 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan penutupan lahan dari
tahun 2001 ke tahun 2008. Masing- masing kelas penutupan lahan ada yang
mengalami penurunan luasannya dan ada yang meningkat. Kelas penutupan lahan
berupa hutan mengalami penurunan luas sebesar 1.018 ha dan lahan terbuka
sebesar 47 ha. Sedangkan kebun campuran mengalami peningkatan luas sebesar
653 ha, pemukiman meningkat sebesar 344 ha dan semak belukar sebesar 20 ha.
Analisa lebih lanjut menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk
akan meningkatkan tuntutan akan ruang di kota. Dari Tabel 6 diketahui bahwa
pertambahan permukiman sebesar 344 ha dari tahun 2001 hingga tahun 2008.
Menurut Yunus (2005) untuk memenuhi tuntutan ini maka terjadi perkembangan
keruangan secara spatial centripetal dan centrifugal. Perkembangan spatial
centripetal adalah suatu proses penambahan bangunan-bangunan kekotaan yang
terjadi di bagian dalam kota. Proses ini terjadi pada lahan- lahan masih kosong di
bagian dalam kota, baik pada lahan yang yang terletak di antara bangunanbangunan yang sudah ada, maupun pada lahan- lahan terbuka lainnya.
Sedangkan spatial centrifugal yaitu proses bertambahnya ruang kekotaan
yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan
mengambil tempat di daerah pinggiran kota. Proses ini akan memicu dan memacu
pertambahan luas kota. Pergeseran fungsi yang terjadi di kawasan pinggiran
menyebabkan lahan yang tadinya diperuntukkan sebagai kawasan hutan, daerah
resapan air dan pertanian, berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri
dan kegiatan usaha non pertanian lainnya.
Proporsi luas terbangun dari tahun 2001 hingga tahun 2008 menunjukkan
pertambahan yang linier dengan persamaan Y = 1,121x − 229 dengan
nilai
R2 = 0,989. Pada Gambar 12 dapat dilihat grafik proporsi lahan terbangun di
Kota Sintang tahun 2001-2008.
Persen Luas Terbangun
25
20
15
y = 1,121x - 2229,
R² = 0,989
10
5
0
2000
2002
2004
2006
2008
2010
Tahun
Gambar 12. Grafik proporsi luas terbangun di Kota Sintang tahun 2001-2008
Perkembangan kota yang cepat dapat menimbulkan banyak masalah.
Tingkat populasi tinggi sejalan dengan perkembangan kota yang pesat
menyebabkan eksploitasi alam berlebihan, menciptakan ekologi yang tidak sehat.
Banyak kota berkembang memiliki berbagai pengalaman mengenai masalah
lingkungan seperti penurunan kualitas udara, ketersediaan air bersih, temperatur
udara yang tinggi, peningkatan kebisingan, serta tingkat stress yang tinggi dan
penurunan rasa kebersamaan dalam komunitas (Atmis, Ozden dan Lise, 2007).
Berdasarkan persamaan Y = 1,121x − 229 maka dapat diprediksi pada
tahun keberapa luas lahan terbangun di Kota Sintang mencapai batas maksimal,
yaitu 60% dari luasan kota. Batasan 60% diambil setelah menyisihkan 30% untuk
Ruang Terbuka Hijau dan 10% untuk sungai. Hasil perhitungan luas terbangun di
Kota Sintang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Prediksi luas terbangun di Kota Sintang
Tahun
2010
2020
2030
2040
2042
Luas Terbangun
ha
%
1.111
24
1.625
35
2.139
47
2.653
58
2.756
60
Sumber: Hasil Analisis 2009
Dari Tabel 7 diketahui bahwa luas maksimal lahan terbangun dicapai pada
tahun 2042 dengan luas lahan terbangun seluas 2.756 ha (60% dari luas Kota
Sintang). Perkembangan permukiman di Kota Sintang terjadi di pusat kota dan
pinggiran sungai. Kota Sintang dilewati oleh dua sungai besar yaitu Sungai
Kapuas dan Sungai Melawi. Sintang juga merupakan kota di jalur pelintasan
menuju Kota Kapuas Hulu baik dari jalur sungai maupun jalur darat. Keberadaan
sungai dan jalan mempengaruhi arah perkembangan pemukiman. Menurut Yunus
(2005) jalur transportasi darat maupun sungai yang memanjang telah mengontrol
pertumbuhan pemukiman maupun bangunan non pemukiman sedemikian rupa
sehingga
membentuk
konsentrasi
bangunan
yang
sebaran
keruangan
memanjangnya lebih besar dari pada sebaran melebarnya.
Perubahan luas penutupan lahan dari tahun 2001 hingga tahun 2008 yang
mengalami penurunan yang terbesar terjadi pada penutupan hutan yaitu sebesar
1.018 ha. Petani menggunakan sistem pertanian tebang bakar untuk membuka
areal penanaman baru, kemudian areal tersebut akan ditanami berbagai jenis
tanaman seperti karet, kopi, kakao dan ubi kayu.
Proporsi luas hutan dari tahun 2001 hingga tahun 2008 menunjukkan
penurunan yang linier dengan persamaan Y = -3,121x + 6283 dengan
nilai
R2 = 0,947. Pada Gambar 13 dapat dilihat grafik proporsi lahan hutan di Kota
Persen Luas Hutan
Sintang tahun 2001-2008.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2000
y = -3,121x + 6283,
R² = 0,947
2002
2004
2006
2008
2010
Tahun
Gambar 13. Grafik proporsi luas hutan di Kota Sintang tahun 2001-2008
Berdasarkan persamaan penurunan luas hutan yaitu Y = -3,121x + 6283,
maka diketahui luas hutan untuk tahun 2011 luas hutan yang tersisa adalah 366 ha
dan 213 ha dari luas hutan tersebut adalah Hutan Kota Baning sedangkan sisanya
53 ha adalah hutan yang belum berstatus. Jika tidak melakukan tindakan
pengamanan luas hutan yang ada sekarang maka mulai dari tahun 2012 hingga
2029 hutan yang akan tersisa di Kota Sintang adalah 213 ha saja karena hutan ini
merupakan Hutan Kota Baning yang telah dilindungi Undang-Undang.
Adanya fenomena semakin berkurangnya hutan karena perluasaan lahan
terbangun yang terjadi pada daerah yang mengalami urbanisasi memberikan
konsekwensi logis bahwa semakin besar perubahan daerah resapan air menjadi
penggunaan perkotaan (non-pertanian) memberikan dampak terhadap kerusakan
lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi adalah penurunan jumlah dan
mutu lingkungan diantaranya penurunan mutu dari keberadaan sumberdaya alam
seperti, tanah, tata air dan keanekaragaman hayati. Berkurangnya luasan hutan
memberi pengaruh yang buruk terhadap lingkungan. Menurut Alvey (2006)
kehilangan hutan berarti juga kehilangan kekayaan biodiversitas terutama
tanaman lokal dan fungsi ekologis.
Pembukaan lahan dengan slash-and-burn menyebabkan rusaknya sifat
fisik dan kimia tanah yang diindikasikan oleh kerapatan limbak (bulk density)
tanah tinggi (1,30 mg/m3 ), apalagi jika dilakukan dengan mekanis, stabilitas
agregat tanah rendah (100), dan kapasitas tukar
kation (K TK ) rendah
(11,5 cmol/kg) (Rachman et al., 1997 dalam O nrizal, 2005). Kondisi ini
menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan erosi pada satu sisi, dan
menurunkan infiltasi air hujan ke dalam tanah pada sisi yang lain.
Perambahan hutan dilakukan masyarakat dapat disebabkan karena tekanan
penduduk sehingga banyak penduduk yang tidak mempunyai lahan. Soemarwoto
(2004) menyatakan bahwa kependudukan merupakan penyebab penting kerusakan
dan menyusutnya luas hutan.
Gambar 14. Proses pembukaan lahan hutan dengan proses tebang bakar
Faktor lain adalah tidak terjaminnya hak penguasaan lahan oleh para
penduduk yang terpaksa membuka lahan hutan sehingga mendorong mereka
mencari keuntungan jangka pendek sebanyak-banyaknya (Pemerintah Kabupaten
Sintang, 2008).
Pembangunan berwawasan lingkungan pada dasarnya bertumpu pada
kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan dan kependudukan sehingga perlu
mendapat perhatian secara terintegrasi keseluruh komponen masyarakat, sehingga
segala kegiatan tidak hanya mencari keuntungan ekonomi semata, akan tetapi
lingkungan pun harus terlindungi, dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan tetap
memelihara kelestarian fungsi lingkungan sesuai daya tampung dan daya dukung
untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran manusia.
5.2 Analisis Standar Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota
Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik
kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Lahanlahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan,
kawasan permukiman, kawasan industri, jaringan transportasi (jalan, jembatan,
terminal) serta sarana dan prasarana kota lainnya. Pembangunan kota pada masa
lalu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan
menghilangkan wajah alam.
Analisis standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota bertujuan
untuk mengetahui berapa luas RTH Hutan Kota yang harus dibangun di Kota
Sintang berdasarkan kebijakan pemerintah yaitu melalui Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun
2002 tentang Hutan Kota.
Bentuk RTH yang akan dibangun di sebuah kota harus memperhatikan
tujuan pembangunan dan aspek biogeografis kota. Pada penelitian ini bentuk RTH
yang akan di bangun di Kota Sintang adalah RTH Hutan Kota, karena tujuan dari
pembangunan hutan kota tersebut sebagai pengaman untuk mengkonservasi air
atau daerah tangkapan hujan sehingga ketersediaan air Kota Sintang dapat terjaga.
Dirjen PU (2006) menyatakan bahwa fungsi perlindungan pada hutan kota
memang merupakan bobot nilai tertinggi di dalam kesepakatan assosiasi hutan
kota dunia dibandingkan dengan bagian ruang terbuka kota tipe lainnya.
Dicermati dari aspek biogeografis kota, letak kota yang dekat garis
khatulistiwa menyebabkan suhu udara di kota Sintang cenderung panas. Tercatat
dua tahun terakhir suhu maksimal di Kota Sintang mencapai 33,1o C. Selain itu,
dua buah sungai besar yang membelah tepat di tenggah Kota Sintang memberikan
pengaruh yang besar terhadap kota. Sinar matahari yang jatuh ke permukaan air
akan dipantulkan kembali ke kota. Permukaan air yang luas juga menyebabkan
proses penguapan air tinggi sehingga kelembaban udara kota meningkat. Panas
dan lembab menyebabkan suasana kota tidak nyaman. Pembangunan hutan kota
diharapkan tidak hanya saja sebagai konservasi air dalam tujuan utamanya, namun
juga sebagai pencipta rasa nyaman.
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 menyebutkan bahwa alokasi
hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah
Perkotaan. Pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa standar kebutuhan hutan kota paling
sedikit 10% dari wilayah perkotaan, sehingga luas kebutuhan hutan kota di Kota
Sintang adalah 459 ha.
Standar kebutuhan Ruang
Terbuka Hijau
Hutan Kota
menurut
Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 diatur pada pasal 9 ayat 1, yaitu luas ideal
minimal 20% dari luas kawasan perkotaan. Sehingga luas total kebutuhan hutan
kota di Kota Sintang menurut Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 adalah
seluas 918 ha.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, proporsi
ruang terbuka hijau pada wilayah kota diatur pada Pasal 29 Ayat 1, proporsi ruang
terbuka hijau paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut maka luas Ruang
Terbuka Hijau Hutan Kota untuk Kota Sintang seluas 1.376 ha.
Tabel 8. Proporsi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota
di Kota Sintang menurut kebijakan pemerintah
No
Kelurahan/Desa
Luas
Wilayah (Ha)
PP No. 63
Tahun 2002
Permendagri
No. 1 Tahun
2007
A
1
2
BWK A
Kapuas Kanan Hulu
1.635
164
Kapuas Kanan Hilir
360
36
Sub Jumlah
1.995
200
B
BWK B
1
Tanjung Puri
1.056
106
2
Ladang
336
34
3
Baning Kota
486
49
Sub Jumlah
1.878
188
C
BWK C
1
Kapuas Kiri Hulu
166
17
2
Kapuas Kiri Hilir
548
55
Sub Jumlah
714
71
Total Jumlah
4.587
459
Sumber: Revisi RDTRK Sintang Tahun 2007-2012, Hasil Analisis 2009
UU No. 26
Tahun 2007
327
72
399
491
108
599
211
67
97
376
317
101
146
563
33
110
143
918
50
164
214
1.376
Dari aspek kebijakan diketahui bahwa standar pemerintah tentang luasan
Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota di Perkotaan tidak tetap. Masing- masing
peraturan menetapkan luasan yang berbeda. Menurut Endes (2007) beberapa
keputusan pemerintah tidak tegas menyatakan luasan hutan kota dapat berubah
secara dinamik. Luasan terbesar ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007. Penetapan luasan tersebut bertujuan untuk memenuhi syarat minimal
kebutuhan ruang hijau untuk menjaga keseimbangan lingkungan perkotaan.
5.3 Analisis Rencana Detail Tata Ruang Kota Sintang
Dari kajian RTDR Kota Sintang diketahui bahwa Pemerintah Daerah telah
memiliki komitmen pengalokasian ruang untuk Ruang Terbuka Hijau dan Hutan
Kota. Secara umum, tujuan pengembangan tata ruang Kota Sintang dalam
RDTRK pada masa yang akan datang adalah sebagai berikut :
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup
serta kebijaksanaan pengembangan Kota Sintang.
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya di kawasan perkotaan secara terpadu
3. Terwujudnya keterpaduan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan dengan tetap memperhatikan sumberdaya manusia
4. Terwujudnya pemanfaatan ruang yang sesuai dengan fungsi kawasan dalam
lingkup Kota dan wilayah yang lebih luas.
Pada tingkat Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), rencana
penanganan lingkungan diwujudkan dengan penyempurnaan fungsi Hutan
Baning, mengalokasikan jalur-jalur hijau pada kawasan sempadan sungai, dan
kawasan sempadan jalan.
5.3.1 Penyempurnaan Fungsi Hutan Baning
Kondisi Hutan Baning saat ini akan disempurnakan dan dikembalikan
pada fungsinya semula, yaitu untuk menanggulangi masalah lingkungan kota
(suhu udara, kebisingan, debu, kelembaban udara). Agar lebih memasyarakat
fungsi dan peranan hutan kota untuk penanggulangan masalah lingkungan perlu
penyebarluasan dan publikasi tentang Baning sebagai hutan Kota Sintang, baik
oleh instansi pemerintah maupun swasta sehingga setiap lapisan masyarakat siap
untuk melakukan pembangunan dan pemeliharaan hutan kota.
5.3.2 Jalur Hijau Sempadan Jalan
Kawasan jalur hijau sempadan jalan adalah jalur hijau di sepanjang kanankiri jalan terutama jaringan jalan primer, arteri sekunder dan akses utama ke
kawasan industri. Jalur hijau ini dikembangkan sebagai areal penanaman berbagai
vegetasi termasuk rumput dengan aksen beberapa jenis tanaman hias jenis perdu.
Penanaman karet atau kelapa sawit di tepi luar jalur hijau ini akan sangat
membantu memberikan kesan ciri khas kawasan Sintang. Sedangkan di sisi dalam
dapat dikembangkan berbagai jenis tanaman peneduh lokal lainnya.
Lebar jalur hijau sempadan jalan ini ditetapkan di dalam RTDR Kota
Sintang sebagai berikut:
− Untuk jaringan jalan primer yang menghubungkan Kota Sintang dengan
wilayah eksternal, direncanakan jalur hijau selebar 50 meter di setiap sisi
jalan dihitung dari batas luar ROW jalan.
− Untuk jaringan jalan internal kota (jaringan sekunder) jalur hijau
sempadan jalan ditetapkan 25 meter di setiap sisi jalan arteri sekunder dan
15 meter di setiap sisi jalan kolektor sekunder, dihitung dari batas luar
ROW jalan.
Jalur hijau disepanjang jalan tersebut tersebar di semua BWK. Jenis
tanaman yang disarankan untuk ditanam sepanjang jalan adalah yang memenuhi
kriteria: bertajuk lebar, cabang-cabangnya di atas 2 m, berumur panjang, akarnya
tidak merusak pondasi, tidak menggugurkan daun, berdaun dan bertajuk indah.
Jalur hijau diarahkan berada di sepanjang koridor MT Haryono, Lintas Melawi
dan koridor Tanjung Puri.
5.3.3 Jalur Hijau Sepanjang Sungai
Kawasan Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai,
termasuk sungai buatan, tanah dan saluran irigasi primer yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Di dalam
RDTR Kota Sintang pengelolaan sempadan sungai mengacu kepada Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung.
5.4 Analisis Ketersediaan Air Bersih
Konsumsi air bersih Kota Sintang akan terus meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Sehingga analisis ini bertujuan untuk mengetahui
pemenuhan konsumsi air bersih warga Kota Sintang serta batas kemampuan
dalam penyediaan air bersih. Dari hasil analisis juga akan digunakan untuk
menghitung luas hutan kota yang harus disediakan agar dapat memenuhi
ketersedian air di Kota Sintang.
5.4.1
Kebutuhan Air Bersih
Kebutuhan air rumah tangga atau domestik adalah kebutuhan air untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari- hari. Kebutuhan air rumah tangga
tersebut antara lain:
− Minum
− Memasak
− Mandi, cuci, kakus (MCK).
− Lain- lain seperti cuci mobil, menyiram tanaman dan sebagainya.
Untuk memperkirakan jumlah kebutuhan air domestik saat ini dan di masa
yang akan datang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan
penduduk dan kebutuhan air perkapita. Besarnya konsumsi air dapat mengacu
pada berbagai macam standar yang telah dipublikasikan. Menurut Departemen
Pekerjaan Umum (1998), terdapat tiga kelompok masyarakat berdasarkan
konsumsi air, yaitu golongan sederhana dengan konsumsi air per orang 80
liter/hari, golongan menengah dengan konsumsi air per orang 150 liter/hari, dan
golongan atas dengan konsumsi air per orang 250 liter/hari. Besarnya jumlah air
yang dikonsumsi hanya terbatas pada kebutuhan untuk makan, minum dan MCK.
Untuk mengetahui konsumsi air bersih warga Kota Sintang dilakukan
survey dengan menyebarkan kuisioner. Penentuan jumlah sampel dengan metode
Simple Random Sampling dengan ukuran sampel 90 rumah tangga sebagai
responden. Rekapitulasi hasil perhitungan pemakaian air bersih warga Kota
Sintang dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil survey menunjukkan bahwa rata-rata
kebutuhan air bersih per orang warga Kota Sintang adalah 262 liter/hari.
Jumlah penduduk Kota Sintang pada tahun 2007 adalah 50.803 jiwa. Ratarata pertumbuhan diambil dari kecenderungan pertumbuhan dalam kurun waktu
tujuh tahun terakhir (tahun 2001 s.d. 2007) yaitu sebesar 3,8%. Untuk
memperkirakan jumlah penduduk Kota Sintang menggunakan metode Aritmatik.
Hasil proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan air Kota Sintang dengan
mengasumsikan kebutuhan air per orang 262 liter/hari dan tetap dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Proyeksi kebutuhan air penduduk Kota Sintang hingga tahun 2025
Jumlah Penduduk
Kebutuhan Air
Tahun
(jiwa)
(m3 )
2009
54.438
5.205.906
2010
56.256
5.379.761
2015
65.346
6.249.038
2020
74.436
7.118.315
2025
83.526
7.987.591
Sumber: Hasil Analisis 2009
Dari Tabel 9 diketahui bahwa kebutuhan air bersih Kota Sintang pada
tahun 2009 sebesar 5.205.906 m3 . Kebutuhan air akan terus meningkat sehingga
pada tahun 2025 mencapai 7.987.591 m3 .
5.4.2
Penyediaan Air Bersih
5.4.2.1 Perusahaan Daerah Air Minum
Penyedian air bersih di Kota Sintang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Kota Sintang. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduk,
PDAM Kota Sintang memiliki tiga instalasi pengolahan air. Air baku yang
digunakan adalah air Sungai Kapuas dan air Sungai Melawi dengan kapasitas 121
liter/detik. Jumlah tiga instalasi pengolahan air tersebut disesuaikan dengan tiga
Bagian Wilayah Kota yang memang dibatasi oleh aliran Sungai Melawi dan
Kapuas dan juga jumlah penduduk tiap BWK.
Jumlah sambungan pada tahun 2007 adalah 3.028 sambungan yang dapat
melayani sekitar 18.168 orang. Data operasional PDAM Kota Sintang yang
meliputi kapasitas produksi, distribusi air, penjualan, kebocoran, jumlah
sambungan dan jumlah pelanggan dalam kurun waktu lima tahun terakhir (20032007) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Data operasional PDAM Kota Sintang
(tahun 2003 s/d 2007)
Urai an
2003
3.784,32
- Kapasitas Produksi (ribuan m3 )
3.051,95
- Jumlah Produksi (ribuan m3 )
2.367,00
- Jumlah Distribusi (ribuan m3 )
1.488,00
- Penjualan Air (ribuan m3 )
- Kebocoran Air (ribuan m3 )
879,00
- Tingkat Kebocoran Air (%)
37,14
- Jumlah Pelanggan (sambungan)
7.048
- Jumlah Penduduk terlayani (orang)
43.788
- Penduduk Terlayani (%)
93,24
Sumber: Laporan Kinerja PDAM Kota Sintang, 2008
2004
3.784,32
3.427,61
2.994,37
1.526,24
1.468,13
49,03
6.852
42.898
89,77
Tahun
2005
3.815,86
2.363,10
1.801,24
1.137,30
663,94
36,86
4.588
29.314
60,32
2006
3.815,86
2.639,75
1.775,19
1.146,01
629,18
35,44
3.855
24.164
49,24
2007
3.815,86
2.045,51
1.485,99
1.005,11
480,87
32,36
3.028
18.168
35,76
Dari Tabel 10 diketahui bahwa cakupan pelayanan PDAM Kota Sintang
semakin menurun. Pada tahun 2007 cakupan pelayanan hanya mencapai 35,76%
sedangkan standar rata-rata cakupan pelayanan menurut Kepmendagri 47/1999
adalah 60% sehingga cakupan pelayanan PDAM tergolong masih rendah. Tingkat
kehilangan air PDAM Kota Sintang juga masih tergolong tinggi. Standar
kehilangan air menurut Kepmendagri 47 tahun 1999 adalah 20% sedangkan
tingkat kehilangan air pada tahun 2007 mencapai 32,36%. Kapasitas produksi tiga
tahun terakhir adalah 3.815.856 m3 /tahun dengan rata-rata jumlah produksi tiga
tahun terakhir tersebut sebesar 2.349.450 m3 /tahun.
Gambar 15. Instalasi PDAM
Jumlah sambungan yang semakin menurun karena sebagian masyarakat
Kota Sintang berhenti menjadi pelanggan air PDAM. Faktor penyebabnya karena
air yang diproduksi oleh PDAM tidak jernih dan kualitasnya kurang bagus serta
adanya kekhawatiran pelanggan akan bahan-bahan berbahaya yang terkandung di
dalam air tersebut seperti merkuri.
Pemantauan kualitas air sungai yang dilakukan oleh Bagian Lingkungan
Hidup Setda Kabuaten Sintang (Lampiran 6) dengan frekuensi pengambilan
bervariasi antara dua kali dan satu kali dalam setahun menunjukkan parameter Fe,
BOD, COD dan Fenol yang dipantau tidak memenuhi kriteria mutu air kelas I
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Pemda Kabupaten Sintang, 2008).
Distribusi air yang tidak tersedia sepanjang waktu juga menjadi faktor
penyebabnya karena PDAM Kota Sintang melakukan pergiliran dalam
mengalirkan air ke pelanggannya. Sehingga
masyarakat lebih
memilih
mengusahakan kebutuhan airnya sendiri dengan membuat sumur bor, kolam atau
mengambil langsung dari sungai. Membuat sumur bor dan kolam dianggap
masyarakat lebih praktis dan ketersediaan air bersih yang terjaga.
Gambar 16. Pembuatan sumur bor
5.4.2.2 Potensi Air Tanah
Jumlah atau ketersedian air sangat berkaitan erat dengan iklim terutama
curah hujan dan luas hutan. Kota Sintang merupakan daerah penghujan. Rata-rata
perbulan curah hujan di Kota Sintang sebesar 258,4 mm dengan jumlah rata-rata
hari hujan per bulan sebanyak 19 hari.
Kota Sintang mempunyai kandungan air tanah yang potensial. Ada dua
jenis air tanah di Kota Sintang, yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan. Air
tanah bebas adalah air tanah dari akifer yang hanya sebagian terisi air, terletak
pada suatu dasar yang kedap air dan mempunyai permukaan bebas. Air tanah
tertekan adalah air dari akifer yang sepenuhnya jenuh air, dengan demikian atas
dan bawah dibatasi oleh lapisan yang kedap air. Air tanah bebas banyak
digunakan rumah tangga sedangkan air tanah tertekan banyak dimanfaatkan oleh
perkantoran dan perhotelan.
Hasil pengukuran Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen
Pekerjaan Umum diketahui bahwa potensi air tanah Kota Sintang sebesar
4.279.288 m3 /tahun. Hasil uji analisis air tanah yang dilakukan oleh Bagian
Lingkungan Hidup Setda Kab. Sintang (2008) juga menunjukkan bahwa air tanah
di Kota Sintang memenuhi kreteria Kelas I Mutu Air menurut PP Nomor 82
Tahun 2001. Hasil uji analisis air tanah dapat dilihat pada Lampiran 7.
5.4.2.3 Kemampuan Hutan Menyimpan Air
Sebagian air hujan yang tiba dipermukaan tanah akan masuk ke dalam
tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekukanlekukan permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah rendah, masuk ke
sungai, dan akhirnya ke laut. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah sebelum
menjadi air bawah tanah keluar kembali segera ke sungai sebagai aliran bawah
permukaan (interflow), tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air bawah
tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu
yang lama sebagai aliran air bawah tanah (groundwater flow). Aliran air sangat
tergantung tata guna lahan di permukaan tanah. Adanya hutan dan vegetasi
lainnya dapat menyerap dan menampung air di dalam tanah sehingga dapat
menambah cadangan air tanah (Kodoatie dan Sjarie. 2008).
Pada umumnya, tumbuhan yang mampu menyimpan air dalam tanah
adalah tanaman yang berakar panjang dan berdaun kecil, sehingga dapat
memperkecil penguapan dari daun. Proses transpirasi terjadi namun air tidak
begitu mudah keluar karena mengalami proses metabolisme tertentu. Sehingga
kehilangan air tanah dari tanaman selalu lebih rendah dibandingkan dengan
kehilangan air di lahan terbuka.
Kuantitas air yang tersedia dipengaruhi oleh luasan hutan. Tajuk hutan
menangkap air hujan sehingga hanya sebagian dari air hujan yang sampai ke tanah
dan meresap ke dalamnya. Serasah tumbuhan di lantai hutan menggemburkan
tanah sehingga memperbesar laju peresapan air ke dalam tanah. Dampaknya ada
dua, yaitu memperbesar suplesi air tanah dan mengurangi laju air aliran yang
mengalir dipermukaan tanah.
Hasil penelitian Rauf (2009) membuktikan bahwa lahan hutan secara
konvensional telah berperan sebagai penyerap air (water holding) dalam jumlah
yang sangat besar. Kemampuan penyimpanan air ditunjukkan dengan kemampuan
infiltrasi hutan tersebut. Hasil pengukuran kemampuan infiltrasi pada hutan di
Kota Sintang diketahui sebesar 18 cm/jam. Dengan kemampuan tersebut maka per
hektar lahan hutan di Kota Sintang dapat menyimpan air sebesar 1.800 m3 .
Penurunan luas hutan di Kota Sintang mempengaruhi penurunan cadangan
air. Setiap hektar hutan mempunyai kemampuan menyimpan air sebesar
1.800 m3 . Sehingga dengan persamaan penurunan luas hutan juga dapat diketahui
penuruanan kemampuan
menyimpan
air.
Penurunan kemampuan
hutan
menyimpan air dapat dilihat pada Gambar 17.
3.500.000
Meter Kubik
3.000.000
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
2001
2003
2005
2007 2009
Tahun
2011
2013
2015
Gambar 17. Grafik penurunan kemampuan hutan menyimpan air di Kota Sintang
Pada tahun 2001 luas hutan di Kota Sintang sebesar 1.805 ha, dengan
kemampuan per hektar hutan dapat menyimpan air sebesar 1.800 m3 maka pada
tahun 2001 kemampuan menyimpan air sebesar 3.249.000 m3 . Namun pada
tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan kemampuan menyimpan air akibat dari
luas hutan yang berkurang. Pada tahun 2008 kemampuan menyimpan air sebesar
1.416.600 m3 . Sedangkan mulai pada tahun 2012 luas hutan di Kota Sintang akan
tetap karena yang tersisa hanya Hutan Kota Baning saja yaitu seluas 213 ha,
sehingga kemampuan menyimpan air juga akan tetap yaitu 383.400 m3 .
5.4.3
Selisih Kebutuhan dan Ketersedian Air Bersih
Untuk melihat kamampuan dalam penyedian air bersih maka dapat
dilakukan pembandingan antara jumlah kebutuhan air bersih dengan kemampuan
penyediaan air bersih Kota Sintang. Kemampuan penyediaan air bersih sudah
mencakup air yang diproduksi PDAM, potensi air tanah dan kemampuan hutan
pada kondisi sekarang dalam menyimpan air. Hasil pembandingan antara
kebutuhan dan ketersediaan air bersih dapat dilihat pada Tabel 11 dan
Gambar 18.
Untuk dapat memperkirakan kebutuhan air masyarakat Kota Sintang pada
masa yang akan datang, maka perlu diketahui batasan jumlah penduduk di Kota
Sintang. Batasan tersebut diketahui dengan memperhitungkan tahun terjadinya
batas maksimal laju pertambahan lahan terbangun di Kota Sintang. Berdasarkan
prediksi luas lahan terbangun yang telah dilakukan dengan persamaan
Y = 1,121x − 229 (Tabel 7) diketahui bahwa luas terbangun akan mencapai
puncaknya pada tahun 2042. Pada tahun itu pula diketahui bahwa jumlah
penduduk Kota Sintang akan mencapai 114.432 jiwa.
Tabel 11. Kebutuhan dan ketersedian air bersih di Kota Sintang
Tahun
2010
2019
2020
2025
2030
2040
2042
Jumlah
Penduduk
56.256
72.618
74.436
83.526
92.616
110.796
114.432
Kebutuhan Air
(m3 )
5.379.761
6.944.459
7.118.315
7.987.591
8.856.868
10.595.421
10.943.132
Ketersediaan Air
(m3 )
7.454.938
7.012.138
7.012.138
7.012.138
7.012.138
7.012.138
7.012.138
Selisih
(m3 )
2.075.177
67.679
-106.177
-975.453
-1.844.730
-3.583.283
-3.930.994
Sumber: Hasil Analisis 2009
12.000.000
Meter Kubik
10.000.000
8.000.000
6.000.000
Kebutuhan
4.000.000
Ketersediaan
2.000.000
2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025
Tahun
Gambar 18. Grafik kebutuhan dan ketersedian air bersih di Kota Sintang
Dari Gambar 18. diketahui bahwa antara kebutuhan dan ketersediaan air
bersih akan mencapai titik keseimbangan pada tahun 2019. Pada tahun tersebut
juga merupakan batas maksimal kota dapat menyediakan air bersih untuk 72.618
warganya. Pada tahun 2019 juga dapat diketahui bahwa luas lahan terbangun
sudah mencapai 34% atau 1.573 ha. Sehingga untuk kebutuhan tahun-tahun
berikutnya akan terjadi kekurangan air bersih. Pada tahun 2020 akan terjadi
kekurangan air sebesar 106.177 m3 . Sedangkan tahun 2025, kekurangan air bersih
mencapai 975.453 m3 .
5.5 Analisis Kebutuhan Hutan Kota
Analisis kebutuhan hutan bertujuan untuk menentukan luas hutan yang
harus dibangun dan dijaga untuk menjaga ketersedian air di kota sintang.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan:
‫= ܽܮ‬
ܲ‫݋‬. ‫ ܭ‬ሺ1 + ‫ ݎ‬− ܿ ሻ௧ − ܲ‫ ܯܣ‬− ܲܽ
‫ݖ‬
Analisis ini memerlukan beberapa parameter yang telah dijabarkan pada
sub-sub bagian terdahulu yaitu, jumlah penduduk, tingkat konsumsi air per kapita,
produksi air PDAM, potensi air tanah, dan kemampuan hutan kota menyimpan
air.
Prediksi jumlah penduduk, kebutuhan air bersih dan lahan terbangun di
Kota Sintang hingga tahun 2042 dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Kebutuhan hutan kota di Kota Sintang
Tahun
Juml ah
Penduduk
Konsumsi Air
(m3 )
Luas Lahan
Terbangun
(ha)
2010
2020
2030
2033
2035
2040
2042
56.256
74.436
92.616
98.070
101.706
110.796
114.432
5.379.761
7.118.315
8.856.868
9.378.434
9.726.145
10.595.421
10.943.132
1.111
1.625
2.139
2.293
2.396
2.653
2.756
Sumber: Hasil Analisis 2009
Kebutuhan Hutan
Kota
(ha)
-1.153
59
1.025
1.315
1.508
1.991
2.184
Dari Tabel 12. diketahui bahwa kebutuhan hutan kota mencapai 1.315 ha
atau 30% luas kota pada tahun 2033. Sedangkan pada tahun 2042 kebutuhan hutan
kota sudah mencapai 47 % dari luas kota Kota Sintang yaitu 2.184 ha. Hasil
proyeksi menunjukkan bahwa luas terbangun akan mencapai 60 % luas kota pada
tahun 2042 sehingga ketersedian lahan untuk kebutuhan hutan kota seluas 2.184
ha di tahun 2042 sangat sulit terpenuhi.
Idealnya Hutan Kota harus luas, namun pada kenyataannya untuk
mendapatkan lahan yang luas di kota sangat sulit dan mahal harganya, karena
lahan yang ada juga diperlukan untuk memenuhi berbagai kegiatan kota seperti
perdagangan, pendidikan, pemukiman dan lain sebagainya yang kesemuanya itu
membutuhkan lahan yang luas dan terus meningkat dari tahun ke tahun (Dahlan,
2004).
5.5.1
Potensi Hutan Kota
Tingginya kebutuhan lahan untuk pembangunan kota serta terbatasnya
lahan yang tersedia akan mendorong terjadinya perubahan dalam pemanfaatan dan
penggunaan lahan di Kota Sintang. Pengembangan Kota Sintang akan
meningkatkan nilai ekonomis
lahan melebihi nilai sosialnya,
sehingga
menyebabkan alokasi lahan di perkotaan cenderung untuk kepentingan
pembangunan ekonomi. Sebagai kota yang terus berkembang, pembangunan
lahan untuk perumahan, perdagangan dan jasa di wilayah Kota Sintang akan
meningkat sehingga dikhawatirkan kawasan hutan yang berfungsi ekologis
sebagai daerah penunjang Kota Sintang akan hilang.
Berdasarkan apek kebijakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
diketahui bahwa minimal hutan kota yang harus disediakan di Kota Sintang seluas
1.376 ha. Untuk menjaga dan mengusahakan luas hutan yang lebih besar maka
dapat memeperhatikan beberapa potensi yang dimiliki oleh Kota Sintang saat ini.
5.5.1.1 Hutan Kota Baning
Hutan Kota Baning yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor 405/Kpts-II/99 pada
tanggal 14 Juni 1999 mempunyai luas 213 ha. Kepala Pusat Informasi Kehutanan
(2002) menyatakan bahwa untuk menjaga keberadaan dan kelangsungan fungsi
hutan kota, maka setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan
perubahan dan atau penurunan fungsi hutan kota. Kegiatan-kegiatan tersebut
adalah membakar hutan kota, merambah, menebang, memotong, mengambil dan
memusnahkan tanaman dalam hutan kota tanpa izin pejabat yang berwenang,
membuang
benda-benda
yang
dapat
mengakibatkan
kebakaran
atau
membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota; dan mengerjakan, menggunakan,
atau menduduki hutan kota secara tidak sah.
Namun hutan kota dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Kegiatan dimaksud adalah: pariwisata
alam, rekreasi, olah raga, penelitian dan pengembangan, pendidikan, serta untuk
pelestarian plasma nutfah atau budidaya hasil hutan bukan kayu.
Dari hasil survey beberapa upaya pemerintah Kota Sintang dalam menjaga
hutan kota Baning adalah dengan membangun pagar pemisah yang mengitari
hutan kota Baning. Pembangunan pagar ini dianggap efektif untuk melindungi
kawasan dari pembukaan atau perambahan yang dapat menyebabkan kerusakan
hutan. Pemerintah juga telah membuat jalan berupa gertak kayu untuk menikmati
keindahan hutan dan kesegaran udara. Namun pembangunan jalan ini belum
rampung karena hanya ada satu rute saja dan kondisi jalan juga sudah mulai
rusak.
5.5.1.2 Penetapan Status Hutan yang Tersisa
Hasil analisis citra tahun 2008 menunjukkan bahwa masih tersisa hutan di
Kota Sintang seluas 787 ha atau 17%. Setelah dikurangi dengan luas Hutan Kota
Baning maka masih tersisa 574 ha hutan alami yang sangat potensial untuk
dijadikan Hutan Kota.
Menyadari laju pembukaan hutan yang sangat cepat di Kota Sintang maka
pemerintah harus dapat menekannya dengan cara membuat tata ruang yang
mengatur kawasan terbangun, budidaya dan kawasan lindung. Potensi hutan alami
yang sangat potensial sebesar 574 ha maka yang dapat dilakukan adalah
meningkatkan status kawasan tersebut menjadi hutan kota. Keberadaannya sangat
strategis karena mengelilingi Kota Sintang sehingga dapat berfungsi juga sebagai
buffer kota. Pekerjaan pemerintah menjadi sedikit ringan karena tidak harus
membangun hutan dari awal, pemerintah cukup menetapkan kawasan tersebut
menjadi hutan kota dan mengawasinya. Dengan meningkatkan status kawasan
tersebut menjadi hutan kota diharapkan dapat menjaga dan memenuhi kebutuhan
hutan kota untuk menjaga ketersedian air.
Selain berfungsi sebagai penjaga ketersedian air, hutan alami tersebut juga
memiliki kelebihan dari sisi ekonomi dan ekologis. Sisi ekonominya, biaya untuk
membangun hutan kota menjadi lebih rendah. Sedangkan sisi ekologisnya yaitu
memiliki kekayaan spesies dan genetis, struktur pepohonan yang bervariasi,
habitat serta komunitas flora dan fauna yang terjaga (Gul, Gezer dan Kane, 2006).
5.5.1.3 Sempadan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi
Kota Sintang dilewati oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan
Sungai Melawi. Kedua sungai ini memiliki sempadan sungai yang berpotensi
sebagai lahan Hutan Kota. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sempadan
sungai didefinisikan sebagai kawasan sepanjang kiri dan kanan sungai. Daerah
sempadan mencakup daerah bantaran sungai yaitu bagian dari badan sungai yang
hanya tergenang air pada musim hujan dan daerah sempadan yang berada di luar
bantaran yaitu daerah yang menampung luapan air sungai di musim hujan dan
memiliki kelembaban tanah yang lebih tinggi dibandingkan kelembaban tanah
pada ekosistem daratan.
Kriteria sempadan sungai menurut Pasal 16 Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 32 Tahun 1990 adalah sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri
kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai. Dengan
memanfaatkan sempadan sungai maka diperoleh lahan potensial untuk
pembangunan hutan kota seluas 251 ha.
Hutan kota yang berada pada sempadan sungai berfungsi sebagai
konservasi air disepanjang sungai dalam menjaga mekanisme inflow ke sungai
dan outflow ke air tanah. Proses inflow-outflow tersebut merupakan proses
konservasi hidrolis sungai dan air tanah. Komponen vegetasi sungai secara
hidrolis berfungsi sebagai retensi alamiah sungai. Dengan demikian, air sungai
dapat secara proporsional dihambat lajunya ke hilir. Dampaknya dapat
mengurangi banjir dan erosi disepanjang sungai (Anonim, 2007).
5.5.1.4 Sempadan Jalan
Kawasan sempadan jalan adalah jalur hijau di sepanjang kanan-kiri jalan
terutama jaringan jalan primer dan arteri sekunder. Jalur sempadan ini dapat
digunakan sebagai areal hutan kota yang berfungsi juga sebagai koridor jalan.
Berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kota Sintang tahun 2006 maka hasil
perhitungan pemanfaatan sempadan jalan diperoleh luasan total hutan kota
sebesar 273 ha.
Lebar jalur hijau sempadan jalan yang ditetapkan di dalam Rencana Detail
Tata Ruang Kota Sintang sebagai berikut:
− Untuk jaringan jalan primer yang menghubungkan Kota Sintang dengan
wilayah eksternal, direncanakan jalur hijau selebar 50 meter di setiap sisi
jalan dihitung dari batas luar ROW jalan sehingga diperoleh 81 ha lahan
yang potensial untuk pembangunan hutan kota.
− Untuk jaringan jalan internal kota (jaringan sekunder) jalur hijau
sempadan jalan ditetapkan 25 meter di setiap sisi jalan arteri sekunder,
dihitung dari batas luar ROW jalan sehingga diperoleh 192 ha lahan yang
potensial untuk pembangunan hutan kota.
5.5.1.5 Lahan Terbuka Bekas Tambang
Kota Sintang terdapat beberapa lokasi seperti di Kapuas Kanan Hulu,
Baning Kota dan Tanjung Puri. Bekas kegiatan penambangan emas tersebut sudah
ditinggalkan. Keberadaan lahan ini sangat potensial untuk dikelola pemerintah
agar dapat dikembalikan fungsinya menjadi hutan. Luas total lahan bekas
penambangan emas tersebut adalah 205 ha.
Total luas hutan kota yang dapat disediakan baik yang sudah ada maupun
berupa lahan potensial yang dapat dibangun menjadi hutan kota dapat dilihat pada
Tabel 13.
Tabel 13. Potensi hutan kota di Kota Sintang
No
Potensi Lahan
1
Hutan Kota Baning
2
Hutan alami
3
Sempadan sungai
4
Sempadan jalan
5
Lahan bekas tambang
Total
Luas Kota Sintang 4.587 ha
Luas Lahan
ha
213
574
251
273
205
1.516
Persen
5
13
5
6
4
33
Sumber: Hasil Analisis 2009
Dari Tabel 13 diketahui bahwa luas hutan kota yang dapat disediakan
sekitar 1.516 ha (33%). Sesuai dengan UU No. 26. Tahun 2007, kuota 30% dapat
terpenuhi. Luas hutan kota seluas 1.516 ha dapat menambah persediaan air kota
sebesar 2.728.800 m3 sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan air 101.706
jiwa di tahun 2035. Sedangkan diperkirakan penduduk Kota Sintang akan terus
bertambah dan akan mencapai puncaknya sekitar 114.432 jiwa pada tahun 2042.
Tentunya dengan hanya mengandalkan hutan kota untuk pemenuhan kebutuhan
air hingga tahun 2042 tidak bisa mencukupi.
Selain melakukan penambahan luas hutan kota, pemerintah juga harus
melakukan tindakan lainnya seperti usaha menurunkan angka pertambahan
penduduk serta melakukan perbaikan pengolahan air bersih sehingga tekanan
penduduk terhadap pemanfaatan air tanah dalam jumlah besar dapat dikurangi.
Pembangunan hutan kota bukan satu-satunya cara dalam mengatasi masalah
ketersedian air di Kota Sintang namun dengan mengalokasikan hutan kota dari
sekarang merupakan suatu tindakan preventif terhadap masalah lingkungan
lainnya yang akan timbul seperti pencemaran udara, kebutuhan oksigen dan
tempat melepas lelah bagi masyarakat Kota Sintang. Hal ini sangat perlu karena
Kota Sintang akan terus mengalami perkembangan.
Usaha yang dapat dilakukan selain membangun hutan kota adalah dengan
menurunkan angka pertambahan penduduk lebih kecil dari 3,8%. Pemerintah
Daerah Kota Sintang dapat mempromosikan dan menggiatkan program Keluarga
Berencana sehingga peningkatan jumlah penduduk kota dapat dikendalikan.
Kemampuan kota menyediakan air bersih bagi warganya sesuai dengan
perencanaan adalah sebanyak 101.706 jiwa, sedangkan saat ini penduduk Kota
Sintang diperkirakan 53.960 jiwa. Jika program ini berhasil maka rentang
pemenuhan kebutuhan air bersih dapat diperpanjang.
Pemerintah dapat melakukan perbaikan jaringan untuk memperkecil
tingkat kebocoran. Meningkatan produksi air bersih karena dari kapasitas total
produksi PDAM saat ini berkisar 3.815.856 m3 /tahun, namun produksi air hanya
2.349.450 m3 /tahun. Meningkatkan waktu pengaliran air menjadi 24 jam sehari.
Dengan meningkatnya pelayanan PDAM maka dapat memperkecil penggunaan
air tanah oleh masyarakat.
Pengembangan infrastruktur air bersih di Sintang dapat dikembangkan dari
konsep dan pendekatan yang telah digariskan oleh Ditjen Perkotaan dan Perdesan
Departemen Pekerjaan Umum untuk penyediaan prasarana dasar perkotaan seperti
terlihat pada Tabel 14. dibawah ini.
Tabel 14. Strategi penge mbangan prasarana dasar perkotaan:
Air bersih pada berbagai skala Kota Di Indonesia
Skala Kota
Strategi Pengembangan
Metro + Besar
- Peningkatan pelayanan
- Penambahan sambungan rumah
- Penambahan hidran umum
- Penambahan kapasitas
Sedang + Kecil - Peningkatan pelayanan
- Penambahan sambungan rumah
- Penambahan hidran umum
- Penambahan kapasitas
- Penambahan kran umum
- Penambahan IPA
Sumber: Ditjen Perkotaan dan Perdesaan Dep. Pekerjaan Umum
Dengan melihat pada arahan diatas, maka untuk Kota Sintang yang
termasuk dalam kategori kota kecil mengarah menjadi kota sedang (dalam artian
ukuran penduduk), konsep yang digunakan untuk pengembangan prasarana dasar
air bersih dan sanitasi adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kapasitas dan pelayanan
2. Penambahan sambungan rumah, kran dan hidran umum
3. Penambahan IPA
Untuk mengatasi kelangkaan sumber air dan kurangnya air bersih
(terutama saat musim kemarau), strategi yang perlu ditempuh yaitu :
1. Pencarian atau penelusuran sumber air yang baru (non sungai) untuk
menambah kapasitas produksi sumber air yang ada
2. Pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana air bersih seperti
perluasan daya jangkau pipa air bersih agar dapat menjangkau seluruh
kawasan
3. Pemeliharaan dan operasi instalasi air bersih oleh PDAM untuk
meminimalisasi kebocoran
4. Menjaga dan meningkatkan ketersediaan air dari sumber air yang telah ada
5.5.2
Tipe Hutan Kota
Hutan kota yang akan dibangun di Kota Sintang diarahkan ke hutan kota
berstruktur banyak, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari
pepohonan, semak, liana, epifit, rumput dan jenis tanaman penutup tanah lainnya.
Hutan kota berstruktur banyak paling efektif untuk menanggulangi masalah
lingkungan kota (Irwan, 2005).
Menurut Onrizal (2005) hutan yang me miliki tajuk berlapis dapat
mengurangi daya hancur butiran hujan sehingga laju erosi akan dapat
diminimalisir. Demikian juga halnya dengan keberadaan tumbuhan bawah dan
serasah serta humus yang akan semakin memperbesar kemampuan hutan dalam
menahan air. Oleh karena itu, kandungan air tanah pada hutan akan besar
dan akan dikeluarkan secara perlahan-lahan pada musim kemarau.
Sedangkan tipe-tipe hutan kota yang dapat dibangun disesuaikan dengan
kondisi lahan yang berpotensi sebagai hutan kota. Tipe-tipe hutan kota menurut
Dahlan (2007) adalah:
5.5.2.1 Tipe Pemukiman
Hutan Kota di daerah pemukiman dapat berupa taman dengan komposisi
tanaman pepohonan yang tinggi yang dikombinasikan dengan semak dan
rerumputan. Hutan Kota yang dibangun di daerah pemukiman juga dapat
berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, penahan angin,
dan peredam kebisingan.
Gambar 20. Hutan kota yang berada di pemukiman
(Sumber Dirjen PU, 2006)
5.5.2.2 Tipe Perlindungan
Kota Sintang merupakan kota di tepian dua buah sungai besar. Bangunan
yang ada disepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Melawi merupakan kios-kios
berjualan yang sifatnya semi permanen dan tidak tertata rapi sehingga dengan
pembangunan hutan kota di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Melawi dapat
memberikan keuntungan yaitu meningkatkan keindahan kota dan menghindarkan
area kota dari bahaya erosi serta tanah longsor pada tebing sungai.
Gambar 21. Hutan kota di sempadan sungai
5.5.2.3 Tipe Pengaman
Hutan Kota tipe pengaman berbentuk jalur hijau di sepanjang tepi jalan.
Selain berfungsi sebagai daerah tangkapan air juga berfungsi sebagai penahan
kendaraan yang keluar. Hutan kota disepanjang jalur jalan akan membentuk
koridor sehingga menurut Grey dan Deneke (1978) dalam disain penanaman
pohon tepi jalan, fungsi- fungsi estetik dan prinsip-prinsip seni seperti urutan,
pengulangan, ritme, kesatuan, penekanan, dan skala adalah dasar dari disain
tanaman tepi jalan yang baik. Demikian juga bentuk, ukuran, tekstur dan warna.
Suatu jalan harus memberi kesan yang menyenangkan dari setiap
pergerakan, dimana akan berguna yang menyenangkan bagi pemakai jalan jika
terdapat keharmonisan dan kesatuan dengan karakteristik lanskap yang ada
sehingga fungsional secara fisik dan visual (Simonds, 1983). Tanaman pada
lanskap jalan memiliki peran yang cukup besar. Carpenter, Walker and Lanphear
(1975) mengemukakan bahwa kehadiran tanaman di lingkungan perkotaan
memberikan suasana alami. Daun-daun hijau tanaman dengan berbagai tekstur
dan bayangan yang ditimbulkan oleh pohon menghadirkan kelembutan serta
kesegaran pada areal beraspal. Tanaman juga dapat menetralkan suasana akibat
temperatur yang tinggi, polusi udara serta suasana bising.
Pedoman umum dalam mengkomposisikan tanaman untuk memberi kesan
estetika yang menarik adalah: (1) tanaman disajikan secara massal, (2) disusun
secara kontinyu dan linier di sepanjang jalan, (3) menggunakan berbagai variasi
bentuk tajuk, warna dan ukuran daun, (4) kombinasi antara penutup tanah, perdu
dan pohon, (5) memberi vocal point atau kontras, dan (6) menggunakan display
tanaman khusus pada tempat-tempat tertentu (Deirjen PU, 1996).
Gambar 22. Hutan kota sebagai jalur pengaman jalan
5.5.2.4 Tipe Pelestarian Plasma Nutfah
Hutan konservasi mengandung tujuan untuk
mencegah kerusakan
perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk Hutan Kota yang
memenuhi kriteria ini adalah taman hutan raya. Ada dua sasaran pembangunan
Hutan Kota untuk pelestarian plasma nutfah, yaitu :
1. Sebagai koleksi plasma nutfah, khususnya pengembangan vegetasi secara
ex-situ.
2. Sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang dilindungi atau yang akan
dikembangkan sesuai dengan perkembangan vegetasi.
Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan
di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan
industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi
Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan
dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
Hutan kota dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati
yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan hutan kota dapat
dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal
ini dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu. Hutan kota yang dibangun di
Kota Sintang selain berfungsi sebagai penjaga ketersediaan air juga dapat
diarahkan kepada penyediaan habitat burung dan satwa lainnya.
5.5.2.5 Tipe Rekreasi dan Keindahan
Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan menyegarkan kembali
kondisi yang jenuh dengan kegiatan rutin melalui sajian alam yang indah, segar,
dan penuh ketenangan. Hutan kota yang dibangun diharapkan juga sebagai tempat
masyarakat mengenal alam dan fungsinya sehingga dapat membentuk masyarakat
yang menghargai lingkungan.
5.5.3
Jenis Tanaman
Jenis tanaman tergantung pada fungsi tanaman dan lokasi dimana tanaman
tersebut dapat ditanam. Tanaman yang dipergunakan adalah dari kelompok pohon,
perdu, semak dan penutup tanah. Menurut Dahlan (1992) pemilihan jenis tanaman
untuk perkotaan harus memenuhi kriteria:
1. Faktor edafis yang terdiri dari kecocokan jenis tanah dan pH.
2. Faktor estetika terdiri dari bentuk daun, bunga, buah, percabangan dan tajuk.
3. Faktor iklim yang terdiri dari suhu dan kelembaban.
4. Faktor silvikultur yang terdiri dari benih, bibit dan pemeliharaan.
Jenis tanaman yang digunakan dalam pembangunan hutan kota di Kota
Sintang dipilih jenis tanaman yang mempunyai kemampuan meningkatkan
kandungan air tanah. Jenis tanaman tersebut dicirikan dengan sistem perakaran
tanaman yang dalam dan menyebar serta menghasilkan banyak serasah yang akan
berubah menjadi humus sehingga memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus
bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar. Maka
kadar air tanah hutan akan meningkat. Sistem perakaran dan serasahnya dapat
memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang masuk ke dalam
tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Jika hujan
lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang
lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah.
Tanaman mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Jenis tanaman
ini mempunyai ciri berdaun kecil dan memiliki lapisan lilin pada daunnya.
Menurut Manan (1976) dalam Dahlan (1992) tanaman yang mempunyai daya
evapotranspirasi yang rendah antara lain: cemara laut (Casuarina equisetifolia),
Ficus elastica, karet (Hevea brasiliensis), manggis (Garcinia mangostana),
bungur (Lagerstroemia speciosa), Fragraea fragrans dan kelapa (Cocos
nucifera).
Penggunaan jenis tanaman lokal untuk pembangunan hutan kota lebih
diutamakan karena jenis tanaman lokal memiliki keuntungan yaitu telah
beradaptasi dengan kondisi agroklimat Kota Sintang, penggunaan tanaman lokal
juga berarti telah melakukan pelestarian plasma nutfah serta tanaman lokal
memiliki ciri khas tersendiri yang dapat dijadikan sebagai ciri khas Kota Sintang.
Beberapa jenis tanaman lokal di Kota Sintang adalah: ramin (Gonystilus bancanus
sp), jelutung (Diera lawii), resam (Glyhenis linearis), rengas (Gluta renghas sp),
medang (Litsea firma sp), mentibu (Dacty locladusstenos), perepat (Cambreto
carpus rotundatus), bintangor (Callophyllum inophylum), pulai (Alstonia
schoolaris), dan kempilik (Quercus sp).
Download