1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia sains dan teknologi yang begitu pesat menyebabkan
perkembangan riset ilmiah yang sangat maju. Salah satunya dalam hal sintesis obat.
Saat ini banyak bermunculan riset yang tujuannya mensintesis suatu senyawa, baik
berupa senyawa yang sudah ada di alam namun disintesis agar tersedia dalam
jumlah yang lebih banyak, maupun senyawa baru yang belum pernah ada. Senyawa
baru tersebut disintesis untuk memenuhi suatu tujuan tertentu yang tidak dapat
dipenuhi sebelumnya oleh senyawa yang ada di alam saat ini. Selain itu, sintesis
senyawa baik dari bahan alam ataupun dari senyawa kimia dilakukan sebagai
alternatif cara untuk memperoleh senyawa yang bermanfaat sebagai obat. Dengan
sintesis akan diperoleh senyawa yang diinginkan, senyawa baru, ataupun senyawa
penting seperti vitamin, kinina, penisilin, prostaglandin, dan senyawa lain yang
tidak cukup banyak tersedia di alam secara lebih praktis (Pine, et al., 1988).
Kebanyakan ide sintesis suatu senyawa berasal dari bahan alam.
Kurkumin merupakan suatu senyawa alam yang banyak dijadikan sasaran
sintesis. Kurkumin merupakan salah satu dari isolat tanaman Curcuma sp. (Matsuda
et al., 1992 ; Van der Goot, 1997). Dari beberapa hasil penelitian mengenai
kurkumin, didapat bahwa kurkumin terbukti memiliki aktivitas yang luas sebagai
antiinflamasi (Arora et al., 1971), antibakteri (Negi et al., 1999), antiviral
(Mazumber et al., 1995),
1
2
antifungal (Apisariyakul et al., 1995), antitumor (Kawamori et al., 1999),
antispasmodik (Itthipanichpong, 2003) dan hepatoprotektor (Park et al., 2000).
Oleh karena itu, kurkumin merupakan senyawa yang sangat potensial untuk
dijadikan alternatif obat baru yang berasal dari alam. Namun dalam penggunaannya
(bila dikonsumsi secara per oral) hanya sedikit kurkumin yang dapat masuk ke
aliran sistemik (Ravindranath et al, 1982). Kenyataan ini menyebabkan dosis
kurkumin yang harus diberikan bila akan digunakan secara per oral jumlahnya
cukup besar yakni antara 20-80 mg/kg BB pada pemakainnya (Jurenka, 2009).
Dosis yang besar ini tentu saja tidaklah praktis dan efisien untuk dikonsumsi. Oleh
karena itu, muncul pemikiran untuk mensintesis senyawa analog kurkumin untuk
mengatasi permasalahan diatas. Disamping itu, dengan adanya sintesis tersebut
diharapkan bisa didapat senyawa yang lebih poten, aman, dan stabil.
Dilatar belakangi oleh hal-hal di atas, maka dilakukan sintesis senyawa
PGV-0 (Pentagamavunon-0), yang merupakan senyawa analog kurkumin. PGV-0
merupakan analog kurkumin yang disintesis untuk meningkatkan stabilitas dan
aktivitas dari senyawa tersebut. PGV-0 disintesis dengan mereaksikan antara
siklopentanon dengan vanilin melalui reaksi kondensasi dengan menggunakan
katalis asam (Sardjiman, 2000). Namun ternyata pensintesisan senyawa PGV-0
tidak cukup baik untuk mengatasi problema yang timbul. Meskipun berdasarkan
penelitian aktivitas antioksidan (Sardjiman, et al, 1997), (Da’i, 1998; Rianto,
1998), aktivitas antiinflamasi (Sardjiman, 2000), (Tim Molnas Fakultas Farmasi
UGM, 2001) melalui penghambatan enzim Siklooksigenase (Sardjiman, 2000),
(Tim Molnas Fakultas Farmasi UGM, 2001), dan aktivitas sitotoksik (Nurrochmad,
3
2001) PGV-0 lebih baik daripada kurkumin, namun nasib PGV-0 di dalam tubuh
juga sama dengan nasib kurkumin di dalam tubuh, yakni cepat hilang dari peredaran
darah dan profil kadarnya berfluktuasi terutama dengan pemberian oral (Hakim et
al., 2004). Hal ini mendorong gagasan baru untuk mensintesis senyawa lain, yakni
THPGV-0 (Tetra Hidro Pentagamavunon-0), yang merupakan bentuk metabolit
aktif dari PGV-0. THPGV-0 sendiri dapat disintesis dari menghidrogenasi
(mereduksi) senyawa PGV-0 menggunakan katalis logam Pd/C 10% (Ritmaleni
dan Simbara, 2010). Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa aktivitas antibakteri
(Ritmaleni, 2013), (Mintaryanti, 2010), antijamur (Utama, 2012), serta antioksidan
(Ritmaleni dan Simbara, 2010) THPGV-0 lebih baik dari PGV-0. Hal inilah yang
menunjukkan bahwa aktivitas atau efek yang ditimbulkan oleh senyawa hasil
reduksi analog kurkumin lebih baik dibandingkan dengan senyawa kurkumin itu
sendiri.
Keberhasilan dan peningkatan aktivitas yang didapat dari sintesis THPGV0 inilah yang mendorong untuk dilakukannya sintesis senyawa analog lainnya, yaitu
THB7 [2,5-bis-(4-trifluorometil-benzil)-siklopentanon], yang diturunkan dari
senyawa B7 [2,5-bis-(4-trifluorometil-benzilidin)-siklopentanon] yang telah
berhasil disintesis Sardjiman (2000) sebelumnya. Dengan menjadikan reaksi
reduksi PGV-0 untuk mendapatkan THPGV-0 sebagai dasar, dirancanglah seri
sintesis senyawa analog lainnya. Sama seperti manfaat yang didapat dari
pensintesisan THPGV-0 sebelumnya, diharapkan sintesis ini juga berhasil
mendapat senyawa-senyawa yang lebih stabil dengan aktivitas yang lebih baik
4
dibanding kurkumin dan analognya sebagai terobosan obat baru yang baik dan
berkualitas untuk masa kini.
B. Rumusan Masalah
THPGV-0 telah berhasil disintesis dengan menghidrogenasi PGV-0, suatu
senyawa analog kurkumin dengan menggunakan katalis Pd/C 10% mol pada
tekanan 1 atm. Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa analog kurkumin dapat
dibuat dalam bentuk tereduksinya (tetrahidro). Berdasarkan hal tersebut, maka
rumusan masalah pada skripsi ini adalah apakah senyawa THB7 dapat disintesis
dari senyawa B7 melalui reaksi hidrogenasi katalitik dengan katalis Pd/C 10%?
C. Tujuan Penelitian
Mensintesis senyawa analog THC yaitu THB7 dari senyawa B7 melalui reaksi
hidrogenasi katalitik dengan katalis Pd/C 10%.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah menghasilkan seri analog senyawa
Tetrahidrokurkumin (THC) lain yang lebih stabil dan lebih baik aktivitasnya
sehingga didapat alternatif-alternatif senyawa sebagai obat baru yang poten dan
berkualitas.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Kurkumin dan Analognya
a.
Kurkumin
Kurkumin merupakan salah satu dari isolat tanaman Curcuma sp. (Matsuda
et al., 1992 ; Van der Goot, 1997). Kurkumin pertama kali ditemukan pada tahun
1815 oleh Vogel dan Felletier (Van der Goot, 1997). Kurkumin dapat ditemukan
pada rimpang kunyit dimana rimpang kunyit mengandung kurkuminoid sekitar
10%, kurkumin 1-5%, dan sisanya terdiri atas demetoksikurkumin dan
bisdemetoksikurkumin (Stahl, 1985). Dalam masyarakat, rimpang kunyit dan
temulawak sudah biasa digunakan sebagai pengobatan tradisional yang turun
temurun. Beberapa penelitian juga telah membuktikan berbagai macam aktivitas
yang dimiliki kurkumin seperti yang sudah diuraikan di depan. Berdasarkan hal
tersebut, kurkumin sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai alternatif pengobatan
untuk masa kini. Namun dalam pemanfaatan berbagai aktivitasnya sebagai tren
pengobatan modern, kurkumin masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
sukar larut dalam air sehingga memiliki bioavailabilitas yang rendah, seperti yang
telah diuraikan sebelumnya.
O
H3CO
HO
O
OCH3
OH
Gambar 1. Struktur Senyawa Kurkumin (Sardjiman, 2000)
b. Tetrahidrokurkumin
Tetrahidrokurkumin (THC) merupakan senyawa polifenol yang mempunyai
gugus fungsi parahidroksi dan keton (Sabinsa Corporation, 2000). THC diturunkan
6
dari kurkumin dengan mereduksi ikatan rangkap yang ada dalam struktur kurkumin.
Hasil reduksi ikatan rangkap tersebut menghasilkan THC yang tidak berwarna,
berbeda dengan kurkumin yang berwarna kuning. THC merupakan metabolit utama
dari kurkumin secara in vivo (Pan et al., 1999).
Pada saat penyerapan usus halus, kurkumin cepat sekali berubah bentuk
menjadi metabolitnya yang lebih mudah diserap, yaitu THC (Osawa et al., 1995, ;
Ravindranath et al., 1980). THC lebih mudah diabsorbsi dari gastrointestinal
dibanding kurkumin. Efek THC secara in vivo juga lebih besar daripada kurkumin
(Okada et al., 2001). Berdasarkan penelitian Sabinsa Corporation (2000) dan Okada
et al. (2001), didapat aktivitas THC sebagai antikanker dan antioksidan lebih baik
daripada kurkumin. Hal ini menunjukkan bahwa THC juga berpotensi
dikembangkan sebagai model obat baru, yang lebih baik daripada kurkumin dan
analognya.
O
H3CO
HO
O
OCH3
OH
Gambar 2. Struktur Tetrahidrokurkumin (THC) (Ritmaleni dan Simbara, 2010)
c. Pentagamavunon-0
Pentagamavunon-0 merupakan senyawa analog kurkumin yang diperoleh
dari modifikasi kurkumin dimana gugus b diketon pada kurkumin diubah menjadi
analog monoketon serta penghilangan gugus metilen aktifnya (Sardjiman et al.,
1997). Tujuan pensintesisan PGV-0 adalah untuk menghasilkan suatu senyawa
yang lebih poten dan memiliki aktivitas yang lebih baik daripada kurkumin. Seperti
7
yang telah disebutkan tadi di depan, aktivitas PGV-0 diketahui lebih baik daripada
kurkumin. Namun sayangnya, PGV-0 masih memiliki kekurangan yang sama
dengan kurkumin, yaitu ketersediaan hayatinya dalam plasma yang rendah. Sama
hal nya dengan kurkumin, profil kadar PGV-0 dalam darah sulit dideteksi dan
bersifat fluktuatif terutama dengan pemberian oral serta cepat hilang dari peredaran
darah. (Hakim et al., 2004).
O
H3CO
HO
OCH3
OH
Gambar 3. Struktur PGV-0 (Sardjiman et al., 1997)
d. Tetrahidropentagamavunon-0
Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) atau 2,5-bis-(4‫׳‬-hidroksi-3‫׳‬metoksi-benzil)-siklopentanon merupakan bentuk metabolit aktif dari PGV-0 atau
Pentagamavunon-0
[2,5-bis-(4‫׳‬-hidroksi-3‫׳‬-metoksi-benzilidin)-siklopenanon].
THPGV-0 dapat disintesis melalui hidrogenasi PGV-0 dengan menggunakan
katalis Pd/C (Paladium on Carbon) sebanyak 10% dan gas H2 pada suhu kamar
(Ritmaleni dan Simbara, 2010).
THPGV-0 memiliki aktivitas yang lebih poten dibanding PGV-0. Simbara
(2009) menyatakan bahwa THPGV-0 memiliki aktivitas antioksidan yang lebih
baik daripada PGV-0, sedangkan Mintaryanti (2010) melaporkan bahwa aktivitas
antibakterinya juga lebih baik daripada PGV-0. Sehingga dengan hal ini diharapkan
bahwa THPGV-0 dapat menjadi salah satu alternatif obat baru yang lebih stabil dan
poten dibandingkan dengan PGV-0 serta kurkumin.
8
O
H3CO
OCH3
HO
OH
Gambar 4. Struktur THPGV-0 (Ritmaleni dan Simbara, 2010)
e.
Senyawa Kode B7
Sardjiman (2000) telah berhasil mensintesis beraneka ragam analog
kurkumin. Salah satunya adalah senyawa yang diberi kode B7, dengan nama
IUPAC 2,5-bis-(4-trifluorometil-benzilidin)-siklopentanon. B7 dibuat dengan
mereaksikan 7 mL (0,05 mol) 4-trifluorometilbenzaldehid dan 2,2 mL (0,025 mol)
siklopentanon pada suhu kamar dengan pelarut metanol sebanyak 37,5 mL. Dari
penelitian tersebut diperoleh rendemen crude product B7 sebesar 9,13 gr (92,2%)
dan ditetapkan titik lebur senyawa B7 sebesar 193-1950C. Disamping itu B7 telah
diteliti aktivitasnya, diantaranya adalah kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif (Bacillus Subtilis dan Streptococcus
pneumoniae), serta dapat dikembangkan sebagai anti candida (Candida albicans)
ke depan (Sardjiman, 2000).
O
F3C
CF3
Gambar 5. Struktur Senyawa B7 (Sardjiman, 2000)
9
2. Sintesis THB7
a. Reaksi Hidrogenasi
Hidrogenasi merupakan reaksi kimia reduksi yang menghasilkan
penambahan atom H (hidrogen), biasanya untuk senyawa organik yang tak jenuh.
Proses ini berupa penambahan atom hidrogen ke dalam ikatan rangkap dari suatu
molekul menggunakan katalis. Hidrogen juga dapat menghidrogenasi ikatan
rangkap tiga (Hudlicky, 1996).
Reaksi hidrogenasi bersifat eksotermis, namun reaksi ini tidak berjalan
spontan karena energi pengaktifan yang sangat tinggi. Pemanasan tidak dapat
mensuplai energi yang cukup untuk membawa molekul ke keadaan transisi, namun
reaksi dapat berjalan lancar apabila ditambah suatu katalis (Fessenden dan
Fessenden,1986).
Pada reaksi hidrogenasi, diasumsikan molekul alkena teradsorpsi secara
horizontal ke bidang reaksi diikuti terbentuknya kompleks π dengan situs aktif, atau
putusnya ikatan π diikuti terbentuknya dua ikatan σ dengan situs aktif. Atom-atom
hidrogen teradsorpsi kemudian menyerang naik dari permukaan ke sisi teradsorpsi
dari ikatan rangkap (Smith, 1999).
Hidrogenasi alkena tidak dapat dilakukan pada suhu kamar tanpa
menggunakan katalis. Penggunaan katalis sering kali dibutuhkan, karena reaksi
hidrogenasi memiliki energi aktivasi yang tinggi. Katalis yang biasa digunakan
adalah jenis katalis logam. Katalis logam memungkinkan reaksi dapat berlangsung
pada suhu kamar dengan mekanisme penurunan energi aktivasi. Hal-hal yang perlu
10
diperhatikan dalam reaksi hidrogenasi antara lain kecepatan reaksi, struktur katalis
dan kondisi reaksi (Silverman, 1992).
b. Katalis Paladium
Paladium (Pd) merupakan jenis logam halus berwarna putih keperakan
mirip dengan platinum. Paladium memiliki titik lebur yang paling rendah diantara
logam grup platinum lainnya serta paling lunak sehingga aman untuk digunakan.
Paladium termasuk logam grup platinum (Platinum Group Metals/PGMs), yang
terdiri dari logam Platinum (Pt), Paladium (Pd), Rhodium (Rh), Ruthenium (Ru),
Iridium (Ir), dan Osmium (Os). Paladium tidak larut dalam air (Aldrich, 1996).
Proses reaksi yang menggunakan Paladium dapat dilakukan pada kondisi ruang dan
menghasilkan jumlah rendemen yang tinggi dalam level stereo-, regio-, dan
kemoselektivitas yang baik (Tsuji, 2003).
Katalis Paladium on Carbon (Pd/C) dapat digunakan untuk hidrogenasi
gugus alkena, aldehid, keton, halida, gugus nitro, azida, oksim, serta nitril.
Hidrogenasi gugus-gugus tersebut dengan katalis Pd/C hampir semua dapat
dilakukan pada tekanan 1 atm, kecuali untuk gugus oksim dan nitril
(Sastrohamidjojo dan Pranowo, 2009)
c. Pelarut
Sebagian besar reaksi kimia terjadi dalam bentuk larutan, sehingga pelarut
dapat mempengaruhi jalannya reaksi. Interaksi antara molekul pelarut (solven) dan
molekul terlarut (solut) dapat memodifikasi aktivitas dan energi bebas sehingga
dapat mempengaruhi reaktivitas molekul (Gandjar dan Rohman, 2007).
11
Pelarut dapat dibedakan menjadi:
1) Pelarut polar
a) Pelarut polar protik
Pelarut yang mempunyai proton yang mudah lepas dan biasanya berikatan
dengan atom O, N, dan S. Golongan ini mempunyai momen dipol yang besar serta
mampu melakukan ikatan hidrogen. Contoh pelarut ini ialah alkohol, amina, asam
karboksilat, dan air.
b) Pelarut polar aprotik
Adalah pelarut yang memiliki momen dipol yang besar dan kemampuan
donor proton, namun tidak memiliki proton asam. Contohnya adalah
dimetilsulfosuksida, alkil sianida, tetrahidrofuran, etil asetat, keton, dan amin
sekunder.
2) Pelarut non polar
Merupakan pelarut yang mempunyai momen dipol yang lemah, tidak punya
proton asam, kemampuan donor maupun akseptor. Pelarut non polar memiliki gaya
intramolekuler yang lemah. Contohnya adalah hidrokarbon, halokarbon, dan eter
(Isaac, 1998).
3. Analisis Hasil Sintesis dengan Kromatografi
Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase
diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) (Gandjar dan Rohman,
2007). Kromatografi saat ini banyak digunakan untuk memisahkan dan
12
mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks, baik itu organik
maupun anorganik. Campuran yang akan dipisahkan dilewatkan pada suatu fase
diam oleh pergerakan fase gerak. Pada saat inilah terjadi pemisahan. Proses
pemindahan solut dari fase gerak ke fase diam disebut sorpsi. Sedangkan proses
sebaliknya (pemindahan solut dari fase diam ke fase gerak) disebut dengan
desorpsi. Kedua proses ini terjadi secara terus menerus selama pemisahan
kromatografi, karena sistem pemisahan pada kromatografi merupakan sistem yang
berada dalam kesetimbangan dinamis.
Pada penelitian ini, digunakan dua macam kromatografi untuk tujuan yang
berbeda, yakni :
1) Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Merupakan salah satu kromatografi planar. Terdiri dari 2 bagian, yakni fase
diam dan fase gerak. Fase diam yang digunakan merupakan penjerap berukuran
kecil dengan diameter berkisar 10-30 µm, yang dilapiskan secara seragam pada
permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat alumunium,
ataupun plat plastik. Sedangkan fase gerak, yang biasa disebut sebagai pelarut
pengembang, akan bergerak sepanjang fase diam baik karena pengaruh kapiler (fase
gerak akan bergerak naik pada fase diam, disebut pengembangan secara menaik
atau ascending), atau karena pengaruh gaya gravitasi (fase gerak akan bergerak
turun pada fase diam, disebut pengembangan secara menurun atau descending).
Pemilihan fase diam dan fase gerak yang akan digunakan untuk pemisahan
tergantung pada karakter senyawa yang akan dipisahkan (Gandjar, Rohman, 2007)
13
Pada saat pengembangan inilah terjadi pemisahan. Komponen yang akan
dipisahkan dilarutkan dalam suatu pelarut, lalu ditotolkan pada permukaan fase
diam. Fase diam kemudian dimasukkan dalam bejana elusi yang telah dijenuhi dan
berisi fase gerak. Fase gerak akan merambat pada fase diam dari bawah, kemudian
akan membawa komponen yang akan dipisahkan bergerak melewati fase diam. Saat
melewati fase diam ini, komponen dipisahkan berdasarkan mekanisme pemisahan,
yakni adsorbsi atau partisi. Pemisahan secara adsorbsi terjadi karena adanya ikatan
yang kuat dengan fase diam. Sedangkan pemisahan secara partisi terjadi
berdasarkan kelarutan relatif solut antara fase diam dengan fase gerak sehingga
solut akan terdistribusi pada kedua fase tersebut. Komponen yang dipisahkan akan
terpisah senyawa-senyawa penyusunnya berdasarkan interaksinya antara fase diam
dengan fase gerak. Senyawa yang berhasil dipisahkan akan membentuk bercak pada
fase diam (Gandjar, Rohman, 2007).
Pada bercak yang diperoleh, dapat dilakukan analisis kualitatif atau analisis
kuantitatif. Analisis kualitatif ditujukan untuk mengidentifikasi senyawa apa saja
yang menyusun komponen, yang berhasil dipisahkan. Dengan mengidentifikasi
komponen senyawa, dapat diketahui pula kemurnian dari senyawa tersebut.
Analisis kualitatif dapat dilakukan dengan melihat harga faktor Retardasi Solut
(Rf), yang menyatakan seberapa jauh migrasi komponen terbawa fase gerak.
Semakin jauh migrasinya, semakin besar harga Rf yang menandakan bahwa
komponen tidak terlalu diikat atau ditahan oleh fase diam dan mudah terbawa fase
gerak.
14
𝑅𝑓 =
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑆𝑜𝑙𝑢𝑡
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝐹𝑎𝑠𝑒 𝐺𝑒𝑟𝑎𝑘
Sedangkan analisis kuantitatif ditujukan untuk menetapkan kadar senyawa
yang terkandung pada bercak tersebut, baik secara densitometri, maupun dengan
mengerok bercak lalu ditetepakan kadar dengan metode analisis yang lain, misal
spektrofotometri (Gandjar, Rohman, 2007)
2) Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLT Preparatif)
KLT preparatif merupakan metode pemisahan dengan cara yang mirip
dengan sistem KLT biasanya. Fase diam dilapiskan pada penyangga yang berupa
plat gelas, dengan ketebalan hingga 1 mm (Harborne, 1987). Campuran yang akan
dipisahkan dilarutkan terlebih dahulu, lalu ditotolkan pada fase diam dalam bentuk
pita. Kemudian plat dimasukkan dalam bejana tertutup rapat yang telah dijenuhkan
dengan fase gerak sebelumnya, dan dielusi. Pemisahan senyawa terjadi selama
perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985).
Senyawa yang dipisahkan dapat diperoleh kembali dengan mengerok fase
diam yang ada pada plat, sesuai jalur pemisahannya. Lalu fase diam dilarutkan
dalam pelarut yang sesuai agar senyawa dapat terpisah dari larutannya (Harborne,
1987). Pendeteksian bercak pada kormatografi ini dilakukan dengan metode nondekstruktif, kemudian dapat dilanjutkan dengan analisis yang lain setelah setelah
bercak dikerok (Gandjar, Rohman, 2007).
15
4. Elusidasi Struktur
a. Mass Spectrometry (MS)
Spektroskopi Massa (MS) merupakan teknik analisis kuantitatif yang
memberikan informasi tentang berat molekul (BM) suau senyawa organik yang
dianalisis. Dalam suatu Spektroskopi Massa, sebuah senyawa organik dalam fase
gas diionisasi lebih dahulu sebelum sampai ke detektor (Sastrohamidjojo, 2001).
MS tidak didasarkan pada penyerapan energi oleh suatu molekul seperti
halnya pada teknik spektroskopi lainya. Spektrum massa menunjukkan rekaman
massa fragmen-fragmen yang bermuatan (biasanya bermuatan positif) melawan
konsentrasi relatifnya masing-masing. Kelimpahan ion (abundance) ditunjukkan
dengan intensitas puncak-puncak massa yang besar kecilnya tergantung stabilitas
ion tersebut. Interpretasi spektrum massa memberikan informasi puncak ion
molekul yang merupakan bobot molekul senyawa tersebut dan fragmentasi yang
terjadi. Ion molekul biasanya terletak di sebelah paling kanan spektra massa.
Puncak ion molekul selain menunjukkan berat molekul juga menunjukkan tipe atau
jenis senyawa, dilihat dari intensitas puncaknya. Jenis fragmentasi yang akan terjadi
dari suatu molekul dapat diprediksikan dan fragmen yang terjadi dapat digunakan
untuk merujuk molekul senyawa asal. Pencarian fragmen yang biasanya lepas dapat
menggunakan pustaka (Silverstein dan Webster, 1997).
Untuk mengidentifikasi senyawa campuran, instrumen MS
sering
digabungkan dengan instrumen lain untuk pemisahan senyawa campuran, misal
Kromatografi Gas (Gass Chromatography/GC). GC dapat digunakan untuk melihat
kemurnian suatu senyawa, yang ditunjukkan oleh puncak yang terdeteksi oleh
16
kromatogram. Bila hanya satu puncak yang terdeteksi selain puncak pelarut yang
digunakan, maka dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut murni. Gabungan antara
instrumen GC dengan MS yang akan digunakan pada penelitian inilah yang disebut
sebagai GC-MS. GC-MS sangat penting dalam identifikasi dan kuantifikasi
senyawa organik volatil. GC-MS dapat digunakan untuk determinasi dari berat
molekul suatu senyawa yang tidak diketahui dalam campuran yang kompleks
(Mulja dan Suharman, 1995).
b. Gass Chromatography (GC)
Gass Chromatography (GC) atau Kromatografi Gas (KG) merupakan
metode yang dinamis untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa yang mudah
menguap dalam suatu campuran. Kegunaan umum GC adalah untuk melakukan
pemisahan dinamis dan identifikasi semua jenis senyawa organik yang volatil serta
analisis kualitatif dan kuantitatif suatu senyawa dalam campuran. GC dapat bersifat
dekstruktif atau non-dekstruktif tergantung pada detektor yang digunakan (Gandjar
dan Rohman, 2007).
Solut-solut yang mudah menguap serta termostabil (tahan panas) bermigrasi
melalui kolom yang mengandung fase diam, dengan kecepatan yang tergantung
pada rasio distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan
peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut tersebut
dengan fase diam. Pada prinsipnya, pemisahan secara GC didasarkan pada titik
didih suatu senyawa dikurangi semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut
dengan fase diam. Fase diam dapat berbentuk cairan maupun padatan. Sedangkan
17
fase gerak yang digunakan pada GC berupa gas, yang biasa disebut gas pembawa.
Gas ini akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya mencapai
detektor. Suhu yang digunakan pada GC merupakan faktor yang penting.
Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya kisaran 50-350o C) bertujuan untuk
menjamin bahwa solut akan menguap sehingga akan cepat terelusi (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Kolom merupakan komponen sentral dalam GC, karena kolom merupakan
tempat terjadinya pemisahan dimana di dalam kolom tersebut terdapat fase diam.
Sedangkan gas pembawa tidak berpengaruh pada selektivitas.
Ada 2 jenis GC, yakni:
1) Liquid-Gass Chromatography (LGC)
Fase diam yang digunakan berupa cairan yang diikatkan pada suatu pendukung
sehingga solut akan terlarut dalam fase diam.
Mekanisme sorpsi-nya adalah partisi.
2) Solid-Gass Chromatography (SGC)
Fase diam berupa padatan (kadang-kadang polimerik). Mekanisme sorpsinya adalah adsorpsi (Gandjar dan Rohman, 2007).
c. Spektroskopi Inframerah (Infra Red,IR)
Spektroskopi inframerah (Infra Red/IR) merupakan teknik analisis yang
didasarkan pada vibrasi dari atom-atom dalam suatu molekul. Spektrum ini didapat
dengan memaparkan radiasi inframerah melewati sampel. Energi yang dimiliki
18
puncak-puncak akan muncul dalam spektrum absorpsi, dan energi tersebut
sebanding dengan frekuensi vibrasi dalam molekul sampel (Stuart, 2004).
Penggunaan spektrum infamerah untuk penentuan struktur senyawa organik
biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4 nm-2,5 µm). Daerah dibawah 650 cm-1 disebut
daerah inframerah jauh dan daerah diatas 4000 cm -1 disebut inframerah dekat.
Absorbsi energi radian pada daerah ini menyebabkan terjadinya transisi vibrasional
pada molekul senyawa organik dan anorganik sehingga terciptalah spektrum
absorpsi (Sastrohamidjojo, 2001).
Inti atom yang terikat secara kovalen mengalam vibrasi (osilasi). Ketika
molekul mengabsorbsi radiasi inframerah, molekul menyerap energi yang
menyebabkan terjadinya peningkatan amplitudo vibrasi dari atom-atom yang
terikat di dalamnya. Molekul kemudian mengalami sebuah keadaan vibrasional
tereksitasi (Fessenden & Fessenden, 1986).
Spektra IR merupakan gambaran pita serapan yang spesifik dari gugusgugus fungsional yang dimiliki suatu senyawa. Interaksi gugus ini dengan atom
yang mengelilinginya dapat menandai spektra untuk tiap senyawa. Untuk analisis
kualitatif, ada tidaknya serapan pada frekuensi tertentu merupakan penanda
keberadaan suatu gugus fungsional tertentu (Sastrohamidjojo, 2001).
Analisis spektra IR digunakan untuk menentukan gugus fungsional dalam
senyawa unknown, serta mengidentifikasi komponen dengan mencocokkan spektra
yang belum diketahui dengan spektra reference. Untuk interpretasi spektra senyawa
19
unknown, yang menjadi fokus utama adalah menentukan ada tidaknya beberapa
gugus fungsional utama (Pavia et al., 2001)
d. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton-1 ( 1H-NMR / Nuclear Magnetic
Resonance)
Inti dari atom tertentu bila dipapar oleh suatu medan magnet eksternal yang
kuat akan menunjukkan reaksi yang kuat. Isotop-isotop tersebut adalah isotop
dengan jumlah proton ganjil dan/atau jumlah neutron ganjil. Hal ini disebabkan
karena isotop-isotop tersebut memiliki medan magnet inti bukan nol (Macomber,
1998). Saat suatu jenis inti atom ditempatkan dalam medan magnet eksternal,
momen magnetik dari masing-masing inti atom akan mengatur dirinya sendiri
menjadi beberapa orientasi spin yang berbeda (Fessenden & Fessenden, 1986).
Pada saat isotop ditempatkan dalam medan magnet, terjadi dua orientasi
spin yaitu paralel (searah dengan medan magnet eksternal) dan antiparalel
(berlawanan arah dengan medan magnet eksternal). Keadaan paralel memiliki
tingkat energi yang rendah, sedangkan keadaan antiparalel sebaliknya. Apabila
atom tersebut dipapar dengan gelombang radio, isotop-isotop pada keadaan paralel
akan menyerap energi sehingga berubah orientasi menjadi antiparalel. Peristiwa ini
disebut sebagai resonansi magnetik inti (nuclear magnetic resonance) (Fessenden
& Fessenden, 1986).
Energi yang diserap atom untuk beresonansi dicatat oleh spektrometer. Dari
spektrometer, sinyal diproses sehingga didapat spektrum yang kemudian digunakan
untuk memprediksikan struktur molekul (Fessenden & Fessenden, 1986).
20
Pada resonansi magnet proton, perbedaan resonansi antara proton yang satu
dengan proton yang lain sangat kecil, sehingga sulit untuk mengukur secara tepat
frekuensi resonansi untuk setiap proton. Untuk itu, digunakanlah suatu senyawa
standar dalam sampel yang akan dianalisis, yakni Tetrametilsilan [(CH3)4Si], yang
sering disebut juga dengan TMS. Selain itu, perlu diukur pula frekuensi setiap
proton secara relatif terhadap frekuensi resonansi dari proton-proton senyawa
standar. Pengukuran yang tidak tergantung medan ini disebut pergeseran kimia (δ)
(Sudjadi, 1983).
Spektra 1H-NMR memberikan informasi penting mengenai:
 Geseran kimia (chemical shift, δ) yang menunjukkan bermacam-macam
lingkungan kimia yang berbeda dari proton-proton.
 Integrasi yang menunjukkan jumlah relatif proton-proton yang ada dalam
lingkungan kimia.
 Spin-spin coupling yang menunjukkan hubungan posisi antara inti-inti yang
saling berinteraksi (Fatah, 2000).
e. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Karbon-13 (13C-NMR/ Nuclear
Magnetic Resonance)
Isotop
12
C tidak memiliki sifat magnetik karena nomor atom dan nomor
massa yang dimiliki genap. Namun, isotop
13
C memiliki sifat magnetik atau
mempunyai spin dan momen magnetik yang rendah (resonansi atom 13C 6000 kali
lebih kecil dibanding atom H) (Pavia et al., 2001). Isotop 1H dan 13C memiliki dua
orientasi spin (2 x 1/2 +1). Jumlah orientasi spin ini tergantung pada bilangan spin
21
yang dirumuskan 2I + 1, dimana bilangan spin masing-masing atom belum tentu
sama. Misal 1H,
13
C,
19
F, dan
31
P mempunyai I=1/2 sedangkan
14
N dan 2H
mempunyai nilai I = 1 (Macomber, 1998; Sudjadi, 1983).
Spektroskopi
13
C-NMR berbeda dengan spektroskopi 1H-NMR, parameter
yang digunakan hanyalah pergeseran kimia (chemical shift).
𝑃𝑒𝑟𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛 𝐾𝑖𝑚𝑖𝑎 (𝑝𝑝𝑚) =
𝑃𝑒𝑟𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 (𝐻𝑧)
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑆𝑝𝑒𝑘𝑡𝑟𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 (𝑀𝐻𝑧)
Integral tidak reliabel dan tidak menunjukkan jumlah relatif dari atom
karbon yang menghasilkan sinyal tersebut. Spin-spin antar karbon yang
bersebelahan atau berdekatan sangat jarang karena kelimpahan atom
13
C yang
bersebelahan relatif kecil. Atom 13C mengalami interaksi spin-spin dengan atom H
yang diikatnya (Pavia et al., 2001).
Dengan melihat harga geseran kimianya, dapat diketahui jenis atom karbon
sesuai hibridisasinya, yakni sp, sp2, atau sp3. Selain itu, dapat diperkirakan pula
gugus fungsional yang terikat pada atom karbon tersebut. Dengan demikian,
spektrum 13C-NMR dapat memberikan informasi mengenai kerangka atom karbon
dari suatu senyawa (Pavia et al., 2001).
f. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Dua Dimensi ( 1H-13C HMQC /
Heteronuclear Multiple Quantum Coherence)
Spektroskopi HMQC merupakan suatu analisis untuk mendeteksi kopling
proton yang secara langsung terikat pada atom karbon. Spektra ini menampilkan
1
H-NMR sebagai absis (sumbu x) dan
22
13
C-NMR sebagai ordinat (sumbu y). Korelasi antara atom H pada suatu senyawa
dengan atom karbon yang mengikatnya diperoleh dengan menarik garis lurus antara
sinyal puncak 1H-NMR dengan sinyal puncak 13C-NMR hingga bertemu pada suatu
titik yang menunjukkan adanya kopling antara kedua inti tersebut (Silverstein et.
al, 1997).
g. DEPT (Distortionless Enhancement by Polarization Transfer)
Spektroskopi DEPT merupakan spektroskopi NMR yang menampilkan
atom-atom karbon yang mengikat atom hidrogen tertentu. Perbedaanya dengan
spektroskopi 13C-NMR adalah DEPT menampilkan karbon-karbon yang mengikat
hidrogen saja pada geseran kimia (δ) tertentu, sedangkan pada spektra
13
C-NMR
ditampilkan semua atom karbon, baik yang mengikat hidrogen maupun tidak. Pada
spektra DEPT, karbon metin (C-H) dan karbon metil (CH3) akan muncul sebagai
puncak positif, sedangkan karbon metilen (CH2) muncul sebagai puncak yang
terbalik (inverted peak) (Pavia et.al, 2001).
Dengan membandingkan spektra DEPT dan spektra 13C-NMR, maka dapat
diketahui atom karbon pada posisi manakah yang merupakan karbon kuartener,
dimana karbon tersebut tidak mengikat hidrogen sehingga puncaknya hanya akan
muncul di spektra
(Pavia et.al, 2001).
13
C-NMR saja sedangkan pada spektra DEPT tidak muncul
23
F. Landasan Teori
Saat ini, telah banyak sintesis analog kurkumin untuk mengatasi
permasalahan bioavailabilitas dari kurkumin seperti PGV-0, PGV-1, dan
sebagainya. Namun karena senyawa hasil sintesis tersebut masih memiliki
kelemahan yang sama dengan kurkumin, dikembangkan lagi sintesis bentuk
terhidrogenasi analog kurkumin untuk dapat mengatasi kelemahan tersebut.
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa aktivitas dari bentuk terhidrogenasi analog
kurkumin memberikan bioavailabilitas dan efek yang lebih baik. Hal ini mendorong
semakin banyak sintesis bentuk terhidrogenasi (tereduksi) analog kurkumin
lainnya.
24
Tabel I. Rendemen Hasil Sintesis Bentuk Terhidrogenasi Analog Kurkumin
Starting material
Target Material
Rendemen
Sumber
PGV-0
THPGV-0
25%
(Ritmaleni dan
Simbara, 2010)
PGV-1
THPGV-1
18%
(Andhini, 2012)
C7
THC-7
27,53%
(Abimantranahita,
2014)
HGV-5
THHGV-5
23,03%
(Wibowo, 2013)
HGV-7
THHGV-7
19,21%
(Praditya, 2014)
Berdasarkan tabel diatas, dapat dibuktikan bahwa berbagai macam senyawa
Tetra Hidro (bentuk terhidrogenasi) dari analog kurkumin berhasil disintesis
dengan rendemen yang bervariasi. Dari sini dapat diasumsikan bahwa dengan
menerapkan reaksi sintesis senyawa yang disebutkan dalam tabel 1, maka dapat
pula disintesis senyawa Tetra Hidro dari analog kurkumin lainnya dalam penelitian
ini.
G. Hipotesis
Senyawa THB7 dapat disintesis dari senyawa melalui reaksi hidrogenasi
katalitik dengan katalis Pd/C 10% mol.
25
Reaksi hidrogenasi B7:
O
F3C
CF3
B7
H2, Pd/C, 1atm
O
F3C
THB7
Gambar 6. Skema Sintesis THB7
CF3
Download