i. pendahuluan - IPB Repository

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2008 mencatat bahwa
dalam tiga tahun terakhir produksi perikanan budidaya Indonesia meningkat
secara signifikan sebesar 10,85% per tahun. KKP juga akan memacu produksi
perikanan budidaya tahun 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat 353%
dibandingkan dengan produksi 2009 sebesar 4,78 juta ton. Selain itu, KKP
menetapkan sembilan komoditas perikanan untuk dijadikan produk perikanan
budidaya. Ikan patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) merupakan salah satu
ikan air tawar yang menjadi target KKP. Ikan ini sangat digemari masyarakat
karena memiliki cita rasa yang khas, kandungan protein tinggi, dan dapat
dikonsumsi segar serta bahan olahan. Nilai ekonomis ikan patin sangat tinggi,
ditunjukkan oleh harga induk matang gonad mencapai Rp.250.000,- per ekor,
harga telur Rp.5-7,- per butir, harga benih ¾ inci Rp.60,- per ekor, dan harga
benih ukuran 1 (satu) inci Rp.80,- per ekor (BBPBAT Sukabumi 2012).
Pada tahun 2012, produksi ikan patin Siam ditargetkan mencapai 110.400
ton, sedangkan untuk kebutuhan larva diperkirakan mencapai 410.000.000 ekor.
Untuk memenuhi permintaan ikan patin Siam yang kian meningkat, maka usaha
pembenihan ikan patin Siam membutuhkan teknologi, dan rekayasa sehingga
perkembangan dan pertumbuhan ikan patin menjadi maksimum. Perbaikan
pertumbuhan benih ikan dapat dilakukan menggunakan hormon, seperti prolaktin,
tiroid, dan hormon pertumbuhan (growth hormone/GH). Hormon tiroid juga
mempengaruhi perkembangan, dan metamorfosis ikan. Salah satu jenis hormon
tiroid yang memainkan peranan penting dalam metabolisme dan metamorfosis
ikan adalah hormon tiroksin (T4). Tiroksin merupakan hormon yang terionisasi di
luar sel folikel tiroid atau pada bagian luar membran apikal. Pada folikel, tiroksin
berikatan dengan prohormon tiroglobulin. Djojosoebagio (1996) menyatakan
bahwa hormon tiroid yang mengandung unsur yodium diikat, dan disimpan dalam
folikel.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas hormon tiroksin adalah dosis
dan cara pemberian hormon, lama pencahayaan, kualitas makanan, waktu
pemberian makanan, stres, spesies, dan ukuran ikan (Weatherlay dan Gill 1986).
Menurut Djojosoebagio (1996) hormon tiroksin dapat merangsang laju oksidasi
dalam sel terhadap bahan makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen,
meningkatkan pertumbuhan, dan mempercepat proses metamorfosis. Norfirdaus
(1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan
pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin
konsentrasi 0,1 mg/L. Pada salinitas 1 mg/L dengan dosis T4 0,1 mg/L dapat
merangsang peningkatan panjang, dan berat ikan mas dibanding kontrol, selain itu
juga SR ikan mas umur 8 hari pada dosis 0,01 ppm mencapai 85% (Lam 1985).
Berdasarkan fungsinya tersebut, hormon T4 diharapkan dapat mempercepat
metabolisme, dan metamorfosis larva ikan sehingga dapat melewati masa
kritisnya. Namun demikian dengan mempercepat metabolisme dan metamorfosis
dimungkinkan terjadinya kekerdilan ikan karena energi yang digunakan terfokus
pada metamorfosis ikan. Norfirdaus (1997) melaporkan bahwa perendaman
hormon tiroksin terjadi gejala abnormal seperti kerusakan jaringan, tulang
punggung yang bengkok dan larva tumbuh lambat (kerdil). Sehubungan hal
tersebut, maka dibutuhkan hormon yang lain untuk memacu pertumbuhan ikan
sehingga ikan dapat terdiferensiasi dan tumbuh cepat tanpa adanya masalah
samping. Salah satu hormon yang dapat digunakan dalam memacu pertumbuhan
ikan adalah GH. GH merupakan merupakan salah satu hormon hidrofilik
polipeptida yang tersusun atas asam amino.
Perendaman hormon pertumbuhan bekerja secara osmoregulasi yaitu
rekombinan GH diduga masuk melalui insang, dan disebarkan melalui pembuluh
darah (Gambar 1). Hormon yang masuk pada ikan kemudian dialirkan oleh
peredaran darah, dan akan diserap oleh organ target, seperti hati, paru-paru, ginjal,
dan organ lainnya (Affandi 2002).
Gambar 1. Mekanisme kerja perendaman hormon pertumbuhan.
GH mengatur pertumbuhan tubuh, reproduksi, sistem imun, dan mengatur
tekanan osmosis pada ikan teleostei, serta mengatur metabolisme di antaranya
aktivitas lipolitik, dan anabolisme vertebrata. Kandungan GH dalam tubuh ikan
berkisar antara 0,2-111,2 ng/mL plasma darah (Bjornsson et al. 1988, Takahashi
et al. 1991; Fabridge et al. 1992; Nordgarden et al. 2005).
Penggunaan GH dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu melalui
oral, perendaman, dan penyuntikan. Metode oral dan perendaman merupakan
metode yang relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dalam budidaya. Alimuddin
et al. (2010) telah berhasil membuat protein hormon pertumbuhan rekombinan
(rGH) ikan gurame, ikan mas, dan ikan kerapu kertang. Pemberian rGH yang
berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan meningkatkan bobot 20,94%
(rGH ikan kerapu kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan
gurame) (Lesmana 2010). Acosta et al. (2007) melaporkan perendaman hormon
pertumbuhan dapat meningkatkan bobot ikan nila sebesar 171%.
Perendaman hormon pertumbuhan terhadap ikan gurame juga dapat
meningkatkan bobot ikan gurame sebesar 75% (Putra 2011). Handoyo (2012,
belum dipublikasikan) melaporkan bahwa perendaman benih ikan sidat dalam
larutan
Ephinepelus
Lanceolatus
GH
(ElGH)
12
mg/L
meningkatkan
pertumbuhan sebesar 30%, dan kelangsungan hidup benih ikan sidat diatas 90%,
sedangkan Aminah (2012, belum dipublikasikan) melaporkan bobot ikan sebesar
28%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rentang dosis yang cukup luas,
yaitu antara 3–12 mg/L, sehingga pada penelitian ini dipilih dosis hormon
pertumbuhan ikan kerapu kertang 10 mg/L. Melihat peran hormon tiroksin dan
rGH, serta hasil penelitian sebelumnya, diharapkan hormon ini juga berperan
dalam perkembangan awal dan pertumbuhan larva ikan patin.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas perendaman
hormon tiroksin (T4) dan rekombinan growth hormone (G) terhadap
perkembangan awal, dan pertumbuhan larva ikan patin Siam.
Download