BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles, maka dari itu penyakit ini menjadi salah satu masalah kesehatan di negara-negara subtropis dan tropis seperti di Indonesia. Umumnya di negaranegara berkembang sanitasi masih kurang diperhatikan, salah satunya tidak memiliki tempat penampungan atau pembuangan air yang cukup, sehingga menyebabkan air menggenang dan dapat dijadikan sebagai tempat ideal nyamuk untuk bertelur. Malaria tetap menjadi penyakit infeksi parasit yang paling merusak kesehatan manusia didunia yang berdampak lebih dari 500 juta orang terjangkit dan 1 – 3 juta di antaranya meninggal dunia (Sachs dan Malaney, 2002). Berdasarkan The World Malarial Report, tercatat 219 juta kasus malaria dengan 660.000 kematian di dunia yang terjadi pada tahun 2010 dan Indonesia merupakan salah satu dari 104 negara yang termasuk negara endemis malaria (Anonim, 2012). Data profil kesehatan provinsi Kalimantan Barat tahun 2011 menunjukkan bahwa Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah endemis malaria. Berdasarkan rekapitulasi kabupaten/kota tahun 2011 terdapat 36.233 kasus malaria klinis dan 44.977 kasus positif malaria sehingga diperoleh API (Annual Parasite Incidence) sebesar 10,04 per seribu penduduk (Anonimb, 2012). European Commision (2002) menyatakan bahwa penyakit tersebut tidak hanya menyerang daerah subtropis di seluruh dunia. Selain itu menurut Reisberg (1994) kematian banyak terjadi pada negara-negara yang menjadi daerah endemik malaria, antara lain negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, India, Meksiko, Haiti, Amerika Tengah, dan negara-negara Afrika. Kebanyakan kasus malaria dan kematian disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium (khususnya P.falciparum) telah dilaporkan oleh beberapa Negara mengalami resisten terhadap klorokuin, antimalaria komersial 1 2 saat ini (Wilson dan Gisvold,1982). Selain itu masalah yang serius adalah ditemukannya efek samping dari obat tersebut, misalnya amodiakuanin dan kombinasi dari sulfonamida/pirimetamin (Peters, 1987). Terobosan besar yang telah dilakukan selama dekade terakhir ini adalah penemuan artemisinin oleh para peneliti Cina. Pengobatan kombinasi artemisinin untuk P. Falciparum yang saat ini digunakan sebagai obat antimalaria yang bisa diterima untuk digunakan secara luas terhadap semua parasit malaria yang resisten terhadap klorokuin. Namun, parasit yang resisten terhadap artemisinin baru saja telah ditemukan di Kamboja (Maude dkk., 2009). Munculnya parasit Plasmodium yang resisten terhadap obatobatan menyebabkan penyakit malaria semakin luas penyebarannya. Faktor penyebab penyakit malaria yaitu jenis nyamuk Anopheles yang diketahui telah resisten terhadap insektisida sehingga jumlah kasus malaria terjadi dibeberapa negara tropis mengalami peningkatan. Obat malaria yang ada umumnya sintesis dan tidak jarang menimbulkan efek samping seperti gangguan penglihatan, pencernaan, dan sakit kepala (Levine, 1995). Adanya penyebaran parasit yang resisten terhadap obat antimalaria yang begitu cepat dan luas serta keterbatasan jumlah obat menyebabkan banyak peneliti berusaha menemukan senyawa baru antimalaria. Senyawa bioaktif yang terkandung dalam biota laut tidak bertulang belakang (invertebrata) seperti spons, koral lunak, dan moluska menjadi fokus utama penelitian. Biota-biota tersebut diperkirakan mengandung senyawa aktif yang lebih beragam dibandingkan dengan biota-biota darat. Beberapa tahun terakhir ini peneliti kimia dan farmasi memperlihatkan perhatian pada spons laut karena keberadaan senyawa bahan alam yang dikandung dari pada jenis organisme lain. Sekitar 10.000 metabolit berhasil diisolasi dari berbagai organisme laut dimana sekitar 37% berasal dari hasil isolasi jenis spons, 21% dari coelenterata, 18% dari mikroorganisme, 9% dari jenis alga, dan sebagian kecil dari jenis moluska (Shanmugaraju dkk., 2013). Senyawa bahan alam ini banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan harganya sangat mahal dalam katalog hasil laboratorium (Pronzato dkk., 1999). Spons merupakan salah satu biota penyusun terumbu karang dengan potensi bioaktif yang belum banyak dimanfaatkan. Hewan laut ini mengandung 3 senyawa aktif dengan keberagaman struktur dan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Murniasih dan Satari, 1999). Jumlah senyawa hasil isolasi dari spons sebanyak 3500 jenis senyawa dari 475 spesies, yaitu Calcarea dan Demospongiae (Van Soest dan Braekman, 1999). Uji toksisitas merupakan salah satu langkah pertama yang dapat dilakukan untuk memantau senyawa bioaktif dalam suatu organisme. Diharapkan senyawa bioaktif yang bersifat toksik tersebut juga bersifat toksik terhadap Plasmodium, namun ada resiko dapat bersifat toksik terhadap sel inangnya pula. Ekstrak metabolit sekunder dari spons mengandung senyawa bioaktif yang diketahui mempunyai sifat aktivitas seperti sitotoksik dan antitumor (Kobayashi dan Rachmaniar, 1999), antivirus (Munro dkk., 1989), anti HIV dan antiinflamasi, antifungi (Muliani dkk., 1998), antileukimia (Soediro, 1999), penghambat aktivitas enzim (Van Soest dan Braekman,1999). Selain sebagai sumber senyawa hasil alam, spons juga memiliki manfaat yang lain, contohnya sebagai indikator biologi untuk pemantauan pencemaran laut (Amir, 1991), indikator dalam interaksi komunitas (Bergquist, 1978) dan sebagai hewan penting untuk akuarium laut (Riseley, 1971). Spons Theonella sp. merupakan salah satu genus spons yang telah diketahui memiliki berbagai macam struktur metabolit sekunder yang dapat dipelajari. Spons ini juga memiliki aktivitas biologis yang bermacam-macam antara lain sebagai antikanker, inhibitor HIV, antifungi, dan penghambat protease, sedangkan sebagai antimalaria belum banyak diketahui. Akibat adanya resistensi parasit Plasmodium khususnya Plasmodium falciparum terhadap senyawa antimalaria yang telah dikenal sebelumnya seperti klorokuin dan artemisinin, maka perlu dilakukan penelitian terkait senyawa antimalaria yang termutakhir. Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan juga didukung kenyataan bahwa laut Indonesia memiliki hamparan terumbu karang terluas di dunia, yaitu 51.020 km2 atau sekitar 17,95% dari luas seluruh terumbu karang di dunia menjadikan potensi bahan spons laut Indonesia sangat melimpah 4 (Marraskuranto, 2011). Menurut De Voogd, dkk. (2006) telah ditemukan 199 spesies spons dari sekitar 2000 spesies yang diperkirakan terdapat di kepulauan spermonde. Pulau Barrang Lompo terletak di kepulauan Spermonde, Sulawesi selatan, yang merupakan salah satu pulau dengan populasi spons terbesar di kepulauan tersebut. Melalui sumber hasil alam kelautan yang masih banyak belum tereksplor, maka dilakukanlah penelitian senyawa antimalaria dengan sumber spons laut yang keberadaannya melimpah di Perairan Indonesia terutama kawasan Sulawesi Selatan yang masih terjaga kealamiannya dan terkenal akan kekayaan hayati lautnya. Diharapkan senyawa bioaktif dari spons Theonella sp. yang berasal dari perairan Barrang Lompo, Sulawesi Selatan ini akan diperoleh senyawa antimalaria baru yang memiliki efek antimalaria terhadap Plasmodium. I.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian iniadalah untuk : 1. Mengidentifikasi senyawa dari ekstrak spons Theonella sp. dari kawasan perairan Barrang Lompo, Sulawesi Selatan menggunakan LC-HRESIMS. 2. Menguji toksisitas dan aktivitas antimalaria senyawa dari spons Theonella sp. dari kawasan perairan Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. I.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah : 1. Memberikan informasi dan wawasan ilmiah bagi masyarakat luas tentang manfaat spons Theonella sp. dari kawasan perairan Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. 2. Memberikan informasi mengenai potensi senyawa dalam spons Theonella sp. sebagai penuntun pembuatan obat baru berkaitan dengan senyawa antimalaria baru.