LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI SISTEM ENDOKRIN, REPRODUKSI, DAN SIRKULASI (DEF 4274T) SEMESTER GENAP DISUSUN OLEH KELOMPOK A3 ANGGOTA : Intan Retno Palupi (135070501111015) Kana Afidatul Husna (135070501111023) Karina Azhari (135070501111017) Maria Catur Natalia (135070500111001) Meylinda Kartika Sari (135070501111019) Mia Nur Diana (135070501111029) Mochtaromi Tri Yanto (135070501111005) Mustaqim Prayogi (135070501111019) Putu Mita Anggraini (135070501111001) Retno Pratiwi (135070500111011) PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA TA 2015/2016 GLAUCOMA 1. DEFINISI Glaucoma merupakan kerusakan yang dialami mata karena adanya kerusakan syaraf optik, dan ditandai dengan menurunnya sensitivitas pandangan dan lapang pandang menurun pula. Kriteria khusus glaucoma adalah peningkatan tekanan intraocular (Intraocular Pressure/ IOP) dimana menjadi patogenesis terjadinya glaucoma. Terdapat dua kriteria glaucoma, yaitu glaucoma sudut terbuka dan glaucoma sudut tertutup. Tipe lainnya dibedakan menjadi primer, sekunder, dan kongenital. Glaucoma primer dan sekunder dapat disebabkan karena kombinasi mekanisme sudut terbuka dan sudut tertutup (Dipiro, et al, 2008). Glaucoma primer adalah glaucoma yang tidak diketahui penyebabnya. Glaucoma primer sudut terbuka (primary open angle glaucoma) biasanya merupakan glaucoma kronis, sedangkan glaucoma primer sudut tertutup (primary angle closure glaucoma) bisa berupa glaucoma sudut tertutup akut atau kronis. Glaucoma sekunder adalah glaucoma yang timbul sebagai akibat dari penyakit mata lain, trauma, pembedahan, penggunaan kortikosterois yang berlebihan atau penyakit sistemik lainnya. Glaucoma kongenital adalah glaucoma yang ditemuka sejak lahir, dan biasanya disebabkan oleh sistem saluran pembuangan di mata tidak berfungsi dengan baik sehingga menyebabkan pembesaran mata bayi. Di samping itu glaucoma dengan kebutaan total disebut juga sebagai glaucoma absolut (Sari, et al, 2016). 2. EPIDEMIOLOGI Glaukoma adalah penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak. DiAmerika Serikat, glaukoma terjadi antara 1 dan 40 kali dari 1000 penduduk tergantungetnisnya. Di Indonesia glaukoma diderita oleh 3% dari total populasi penduduk. Umumnya penderita glaukoma telah berusia lanjut, Pad a usia diatas 50 tahun, tingkat resiko penderitaglaukom a meningkat sekitar 10%. Hampir separuh penderita glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut. Menurut data dari WHO pada tahun kebutaan paling katarak (47,8%), age- related utama galukoma mucular 2002, penyebab di dunia (12,3%), degeneration adalah uveitis(10,2%), (AMD) (8,7%), trakhoma (3,6%), corneal apacity(5,1%), dan diabetic retinopathy (4,8%). Berdasarkan Survei Kesehatan Indera tahun 19931996 , sebesar 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan pravelensi kebutaan akibat glaucoma sebesar 0,20%. Prevalensi glaukoma hasil Jakarta Urban Eye Health Study tahun 2008 adalah glaucoma sudut tertutup sebesar 1,89%, glaukoma primer sudut terbuka 0,48% dan glaukoma sekunder 0,16% atau keseluruhannya 2,53%.Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, responden yang pernah didiagnosis glaukoma oleh tenaga kesehatan sebesar 0,46%, tertinggi diprovinsi DKI Jakarta (1,85%), berturut-turut diikuti Provinsi Aceh (1,28%), Kepulauan Riau (1,265), Sulawesi Tengah (1,21%%), Sumatera Barat (1,14%) dan terendah di Provinsi Riau (0,04) (Depkes RI,2008). Gambar 1. Persentase responden yang pernah didiagnosis glaukoma oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 2008) 3. ETIOLOGI Glaukoma sering terjadi pada umur diatas 40 tahun. Beberapa penyebab terjadi glaukoma antara lain adanya penyakit hipertensi, penyakit diabetes dan penyakit sistemik lainnya, kelainan refraksi berupa miopi dan hipermetropi, selain itu ras tertentu, tekanan bola tinggi, miopi (rabun jauh), hipertensi, migrain atau penyemiptan pembuluh darah otak (sirkulasi buruk), kecelakaan atau operasi pada mata sebelumnya, menggunakan steroid (cortisone) dalam jangka waktu lama (Faradilla,2009). Penyebab glaukoma tergantung pada jenis glukoma yang yang diderita. Tidak semua glaukoma diketahui penyebabnya. Berdasarkan ada atau tidaknya penyebab, glaukoma dibedakan menjadi dua jenis, yaitu glaukoma primer dan glaukoma sekunder. Glaukoma primer yaitu jenis glaukoma yang diturunkan dan tidak diketahui sebabnya, glaukoma sekunder yaitu jenis glaukoma yang tidak diturunkan dan diketahui penyebabnya. Jika dalam satu keluarga diketahui ada yang menderta glukoma primer,maka keluarga terdekat memiliki resiko yang besar untuk menderita glukoma jenis itu juga. Glaukoma sekunder disebabkan oleh banyak hal antara lain: trauma mata, peradangan, diabetes (kencing manis), perdarahan dalam mata, bahkan katarak juga bisa menyebabkan glaukoma. Jika kedua jenis glaukoma ini digabung insidennya, maka penderita glaukoma secara keseluruhan akan lebih banyak daripada yang diestimasi oleh WHO (Oktariana,2012). 4. PATOFISIOLOGI Aqueous Humor di produksi oleh badan siliaris dan mengalir kedalam Camera Oculi Posterior (COP), yang mengalir di antara permukaan iris posterior dan lensa, di sekitar tepi pupil, dan selanjutnya masuk ke Camera Oculi Anterior (COA). Aqueous Humor keluar dari COA pada sudut COA yang dibentuk oleh dasar iris dan kornea perifer, selanjutnya mengalir melalui trabekulum dan masuk ke kanal Schlemm. Melalui collector channels, humor akuos masuk ke dalam vena episklera dan bercampur dengan darah. Tekanan intra okuler (TIO) merupakan keseimbangan antara kecepatan pembentukan Aqueous Humor dengan resistensi aliran kasus keluarnya dari COA.pada sebagian besar kasus gloukoma, lebih banyak disebabkan karena abnormalitas aliran keluar Aqueous Humor dari COA dibandingkan peningkatan produksi Aqueous Humor (Dipiro et al., 2008). Patofisiologi dari glaukoma sudut tertutup dengan block pupil meliputi faktor-faktor yaitu aposisi lensa dan iris yang mengakibatkan pencembungan iris perifer dan predisposisi anatomi mata yang menyebabkan bagian anterior iris perifer menyumbat trabekulum. Patofisiologi glaukoma sudut tertutup tanpa block pupil terjadi melalui penarikan 2 mekanisme anterior dan yaitu posterior. mekanisme Pada penarikan anterior, iris perifer ditarik kearah depan menutup trabekulum karena kontraksi membrane eksudat inflamasi atau serat fibrin. Pada mekanisme penarikan posterior iris perifer mencembung kearah depan karena lensa vitreus atau badan siliaris. Kerusakan saraf optik di POAG dapat terjadi pada berbagai tekanan intraokular, dan laju perkembangan adalah sangat bervariasi. Pasien mungkin menunjukkan tekanan dalam 20 sampai 30 mmHg selama bertahun-tahun sebelum perkembangan penyakit adalah melihat di optik disk atau bidang visual. Itulah sebabnya glaukoma sudut terbuka sering disebut sebagai “sneak thief of sight” (Diwindra, 2009). Patofisiologi pada glaucoma close angel respon melalui mekanisme TIO elevasi di CAG lebih jelas daripada POAG. Dalam CAGterjadi penyumbatan trabecular meshwork . dalam kebanyakan kasus yang membahayakan nilai IOP tinggi (> 40 mm Hg) mengakibatkan kerusakan saraf optik. IOP sangat tinggi (> 60 mm Hg) permanen dapat mengakibatkan bidang kerugian visual dalam hitungan jam hingga hari. Salah satu jenis CAG, yang dikenal sebagai " creeping " sudut tertutup, terjadi pada pasien dengan sudut sempit yang dapat mengakibatkan terus meningkat sehingga drajat penglihatan pasien semakin hari akan semakin berkurang (Dipiro et al., 2008). 5. TERAPI NON-FARMAKOLOG Penatalaksanaan terapi berdasarkan American Academy Of Ophthalmology (2004) 1. Terapi medikamentosa: 1.1. Agen osmotik 1.2. Karbonik anhidrase inhibitor 1.3. Miotik kuat 1.4. Beta-bloker 1.5. Apraklonidin 2. Observasi respon terapi: 2.1. Monitor ketajaman visus, edema kornea, dan ukuran pupil. 2.2. Ukur tekanan intraokular setiap 15 menit. 2.3. Periksa sudut dengan gonioskopi. 3. Parasintesis 4. Bedah Laser: 4.1. Laser iridektomi 4.2 Laser iridoplasti 5. Bedah insisi 5.1. iridektomi bedah insisi 5.2. Trabekulektomi 6. Ekstraksi lensa 7. Tindakan profilaksis 5.1 Observasi respon terapi Merupakan periode penting untuk melihat respon terapi yang dapat menyelamatkan visus penderita, sehingga keputusan harus segera dibuat (paling kurang dalam 2 jam setelah mendapat terapi medika mentosa intensif), untuk tindakan selanjutnya, observasinya meliputi: 1. Monitor ketajaman visus, edema kornea dan ukuran pupil. 2.Ukur tekanan intraokular setiap 15 menit ( yang terbaik dengan tonometer aplanasi). 3.Periksa sudut dengan gonioskopi, terutama apabila tekanan intraokularnya sudah turun dan kornea sudah mulai jernih. Pada masa observasi ini yang dilihat adalah respon terapi. Respon terapi bisa baik, jelek, ataupun sedang. Bila respon terapi baik, maka akan terjadi perbaikan visus, kornea menjadi jernih, pupil kontriksi, tekanan intraokular menurun, dan sudutnya terbuka kembali. Pada keadaan ini dapat dilakukan tindakan selanjutnya dengan laser iridektomi. Jika respon terapinya jelek,akan didapatkan visus yang tetap jelek, kornea tetap edema, pupil dilatasi dan terfiksir, tekanan intraokular tinggi dan sudutnya tetap tertutup.Pada kondisi ini dapat dilakukan tindakan selanjutnya dengan laser iridoplasti. Jika respon terapinya sedang, dimana didapatkan visus sedikit membaik, kornea agak jernih, pupilnya tetap dilatasi, tekanan intraokular tetap tinggi (sekitar 30 mmHg), sudut sedikit terbuka, pada keadaan seperti ini penanganannya menjadi sulit. Pengulangan indentasi gonioskopi dapat dicoba untuk membuka sudut yang telah tertutup. Bila respon terhadap tindakan tersebut berhasil, dapat dilanjutkan dengan laser iridektomi atau alternatif lainnya seperti laser iridoplasti. Sebelumnya diberikan dahulu tetesan gliserin untukmengurangi edema kornea supaya visualisasinya jelas. Pada keadaan edema kornea sulit untuk melakukan tindakan laser, karena power laser terhambat oleh edema kornea sehingga penetrasi laser ke iris tidak efektif pada keadaan ini dan laser iridektomi dapat mengalami kegagalan. Jika penetrasi laser tidak berhasil maka pembukaan sudutyang baik tidak tercapai (American Academy Of Ophthalmology, 2004). Menurut Amra (2007), terdapat beberapa terapi non farmakologi yang dapat diberikan jika nilai IOP pasien masih tinggi antara lain : 5.2 Parasintesis Jika pemakaian terapi medikamentosa secara intensif masih dianggap lambat dalam menurunkan tekanan intraokular ke tingkat yang aman, dan kadang-kadang justru setelah pemberian 2 atau 4 jam masih tetap tinggi. Sekarang ini mulai diperkenalkan cara menurunkan tekanan intraokular yang cepat dengan tehnik parasintesis, seperti yang dilaporkan oleh Lamb DS dkk, tahun 2002, yang merupakan penelitian pendahuluan (pilot study). Pada 10 mata dari 8 pasien dengan glaucoma akut, yang rata-rata tekanan intraokular 66,6 mmHg sebelum tindakan parasintesis. Setelah dilakukan parasintesis dengan mengeluarkan cairan akuos sebanyak 0,05 ml, didapatkan penurunan tekanan intraokular secara cepat yaitu pada 15 menit setelah parasintesis tekanan intraokular menjadi sekitar 17,1 mmHg, setelah 30 menit menjadi 21,7 mmHg, setelah 1 jam 22,7 mmHg, setelah 2 jam atau lebih 20,1 mmHg. Cara ini juga dapat menghilangkan rasa nyeri dengan segera pada pasien. 5.3 Laser Iridektomi Iridektomi glaukoma sudut iridektomi juga diindikasikan tertutup pada dengan diindikasikan keadaan blok untuk pupil, mencegah terjadinya blok pupil pada mata yang beresiko, yang ditetapkan melalui evaluasi gonioskopi. Iridektomi laser juga dilakukan pada serangan glaukoma akut dan pada mata kontra-lateral dengan potensial glaucoma akut. Iridektomi laser tidak dapat dilakukan pada mata dengan rubeosis iridis, karena dapat terjadi perdarahan. Resiko perdarahan juga meningkat pada pasien yang menggunakan anti-koagulan sistemik, seperti aspirin. Argon laser lebih diutamakan pemakaiannya dari pada Nd:YAG laser pada individu yang membutuhkan terapi laser iridektomi. Walaupun laser iridektomi tidak membantu dalam kasus glaukoma sudut tertutup yang bukan disebabkan oleh mekanisme blok pupil, tetapi kadang-kadang laser iridektomi perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya blok-pupil pada pasien dengan sudut bilik mata sempit. Pada glaukoma sudut tertutup akut, sering mengalami kesulitan saat melakukan iridektomi laser karena kornea keruh, sudut bilik mata depan dangkal, pembengkakan iris. Dokter harus berusaha untuk menghentikan serangan akut dengan tindakan medis sebelum melakukan operasi. Sebelum dilakukan laser harus diberikan terapi inisial gliserin topikal untuk memperbaiki edema kornea, agar mudah untuk mempenetrasi kripta iris. Hati-hati pada saat melakukan iridektomi perifer dan jangan terhalang oleh palpebra. Terapi-awal dengan pilokarpin dapat membantu melebarkan dan menipiskan iris. Terapiawal dengan aproklonidin dapat membantu menurunkan tekanan intraokular. Pada umumnya iridektomi menggunakan argon laser, tetapi pada keadaan kongesti, edem dan inflamasi akibat serangan akut, tehnik ini sulit dilakukan. Setelah dilakukan indentasi gonioskopi, kekuatan inisial laser diatur dalam 0,02-0,1 detik, ukuran tembakan 50 µm, dan kekuatan 800-1000 mW. Biasanya tehnik yang digunakan adalah tehnik pewarnaan iris. Komplikasi dari argon laser adalah sinekia posterior, katarak lokal, meningkatnya tekanan intraokular (dapat merusak nervus optikus), iritis, lubang iridektomi lebih cepat tertutup kembali dan terbakarnya kornea dan retina. Argon laser dan Nd:YAG laser sama-sama dapat digunakan untuk iridektomi. Namun, pemakaian Nd:YAG laser lebih disukai. Karena lebih cepat, lebih mudah, dan energi yang dibutuhkan lebih sedikit dari pada argon laser. Lebih lanjut lagi, keefektifan dari Nd:YAG laser ini tidak berpengaruh pada keadaan iris dan lubang iridektomi yang dihasilkan Nd:YAG laser lebih jarang tertutup kembali dari pada argon laser. Setelah indentasi gonioskopi, inisial laser diatur 2-8 mJ. Komplikasi yang dapat terjadi adalah terbakarnya kornea, kapsul anterior lensa robek, perdarahan (biasanya tidak lama), tekanan intraokular meningkat setelah operasi, inflamasi dan lubang iridektomi lambat tertutup kembali. Untuk mencegah kerusakan lensa, operator harus berhati-hati pada saat mempenetrasi Nd:YAG laser ke iris. Lokasi penetrasi harus seperifer mungkin. Perdarahan dapat terjadi di tempat iridektomi, khususnya pada Nd:YAG laser. Pada perdarahan ringan dapat diatasi dengan terapi antikoagulasi. Namun pada pasien yang mengalami kelainan pembekuan darah dapat diatasi dengan argon laser. Karena argon laser dapat membantu proses koagulasi pembuluh darah. Peningkatan tekanan intraocular dapat terjadi setelah operasi, terutama pada pasien LTP, mereka dapat diobati dengan penatalaksanaan LTP. Apabila terjadi Inflammasi maka dapat disembuhkan dengan menggunakan kortikosteroid topikal. Pada umumnya komplikasi yang sering terjadi pada laser iridektomi meliputi kerusakan lokal pada lensa dan kornea, ablasio retina, pendarahan, gangguan visus dan tekanan intraokular meningkat. Kerusakan lensa dapat dihindari dengan cara menghentikan prosedur dan segera penetrasi iris untuk iridektomi lebih ke superior iris perifer. Ablasio retina sangat jarang, tetapi masih ditemukan pada prosedur Nd:YAG laser iridektomi. 5.4 Laser Iridoplasti Merupakan tindakan alternatif jika tekanan intraokular gagal diturunkan secara intensif dengan terapi medika mentosa. Bila tekanan intraokularnya tetap sekitar 40 mmHg, visus jelek, kornea edema dan pupil tetap dilatasi. Pada laser iridoplasti ini pangaturannya berbeda dengan pengaturan pada laser iridektomi. Disini pengaturannya dibuat sesuai untuk membakar berkontraksi, iris sehingga agar iris otot spingter bergeser iris kemudian sudutpun terbuka. Agar laser iridoplasti berhasil maka titik tembakan harus besar, powernya rendah dan waktunya lama. Aturan yang digunakan ukurannya 500 µm (200-500 µm), dengan power 500 mW (400-500 mW), waktunya 0,5 detik (0,3-0,5 detik). Pada penelitian ahli terhadap 20 mata penderita glaukoma akut, dari tekanan intraokular rata-rata sebelum iridoplasti 43,2 mmHg turun menjadi ratarata 17 mmHg, pada 2 jam setelah dilakukan iridoplasti laser. 5.5 Bedah Insisi Iridektomi insisi dilakukan pada pasien yang tidak berhasil dengan tindakan laser iridektomi. Seperti : Pada situasi dengan jelas iris tidak dapat dilihat karena edema kornea, hal ini sering terjadi pada pasien glaukoma akut berat yang berlangsung 4 – 8 minggu. Sudut bilik mata depan dangkal, dengan kontak irido-korneal yang luas. Pasien yang tidak kooperatif. Tidak tersedianya peralatan laser. 5.6 Iridektomi Bedah Insisi Jika iridektomi bedah insisi yang dipilih, maka pupil dibuat semiosis menggunakan miotik mungkin, tetes dengan atau asetilkolin intrakamera. Peritomi superior 3 mm, walaupun beberapa tidak ahli mata memilih melakukan peritomi. Kemudian dilakukan insisi 3 mm pada korneasklera 1 mm di belakang limbus. Insisi dilakukan agar iris prolap. Bibir insisi bagian posterior ditekan, sehingga iris perifer hampir selalu prolapse lewat insisi, dan kemudian dilakukan iridektomi. Bibir insisi bagian posterior ditekan lagi diikuti dengan reposisi pinggir iridektomi. Luka insisi kornea ditutup dengan satu jahitan atau lebih, dan bilik mata depan dibentuk kembali dengan NaCl 0,9% melalui parasintesis. Setelah operasi selesi, fluoresen sering digunakan untuk menetukan ada tidaknya kebocoran pada bekas insisi. Oleh karena kebocoran dapat meningkatkan komplikasi seperti bilik mata depan dangkal. 5.7 Ekstraksi Lensa Apabila blok pupil jelas terlihat berhubungan dengan katarak, ektraksi lensa dapat dipertimbangkan sebagai prosedur utama. Walaupun iridektomi laser dapat menghentikan serangan akut akibat blok pupil, namun operasi katarak baik dilakukan agar lebih aman untuk waktu yang akan datang. 6. TERAPI FARMAKOLOGI 6.1. Agen osmotik Agen ini lebih efektif untuk menurunkan tekanan intra okular, pemberiannya dianjurkan kepada pasien yang tidak mengalami emesis. Pemberian anti emetik dapat membantu mencegah muntah akibat emesis. Agen osmotik oral pada penggunaannya tidak boleh diencerkan dengan cairan atau es, agar osmolaritas dan efisiensinya tidak menurun. Gliserin, dosis efektif 1 - 1,5 gr/kg BB dalam 50% cairan. Dapat menurunkan tekanan intraokular dalam waktu 30-90 menit setelah pemberian, dan dipastikan agen ini bekerja penggunaannya, selama gliserin 5 - dapat 6 jam. Selama menyebabkan hiperglikemia dan dehidrasi. Hati-hati terhadap pasien diabetes dan lansia dengan gagal ginjal serta penyakit kardiovaskular. Karena agen ini sendiri dapat menyebabkan mual dan muntah. Mannitol, merupakan oral osmotik diuretik kuat yang dapat memberikan keuntungan dan aman digunakan pada pasien diabetes karena tidak dimetabolisme. Dosis yang dianjurkan adalah 1 - 2 gram/kgBB dalam 50% cairan. Puncak efek hipotensif kular terlihat dalam 1 - 3 jam dan berakhir dalam 3-5 jam. Bila intoleransi gastrik danmual menghalangi penggunaan agen oral, maka manitol dapat diberikan secara intravena dalam 20% cairan dengan dosis 2 gr/kgBB selama 30 menit. Mannitol dengan berat melekul yang tinggi, akan lebih lambat berpenetrasi pada mata sehingga lebih efektif menurunkan tekanan intraokular. Maksimal penurunan tekanan dijumpai dalam 1 jam setelah pemberian manitol intravena.Ureum intravena, merupakan agen osmotik yang dahulu sering digunakan, mempunyai berat melekul berpenetrasi mannitol yang pada dalam rendah. mata, Urea sehingga menurunkan lebih tidak tekanan cepat seefektif intraokular. Karena agen ini merupakan salah satu alternatif, maka penggunaan urea harus dengan pengawasan yang ketat untuk menghindari komplikasi kardiovaskular. 6.2. Karbonik anhidrase inhibitor Digunakan untuk menurunkan tekanan intraokular yang tinggi, dengan menggunakan dosis maksimal dalam bentuk intravena, oral atau topikal. Asetazolamid,merupakan pilihan yang sangat tepat untuk pengobatan Efeknya dapat darurat pada menurunkan glaukoma tekanan akut. dengan menghambat produksi humour akuos, sehingga sangat berguna untuk menurunkan tekanan intraokular secara cepat, yang digunakan secara oral dan intravena. Asetazolamid dengan dosis inisial 2x250 mg oral, dapat diberikan kepada pasien yang tidak mempunyai komplikasi lambung. Dosis alternatif intravena 500 mg bolus, efektifterhadap pasien nousea. Penambahan dosis maksimal asetazolamid dapat diberikan setelah 46 jam untuk menurunkan tekanan intraokular yang lebih rendah. Karbonik anhidrase inhibitor topikal dapat digunakan sebagai inisial terapi pada pasien emesis. Sekarang diketahui bahwa, karbonik anhidrase inhibitor oral sedikit atau tidak ada sama sekali efek samping sistemik. Menurut pengalaman penulis pemberian karbonik anhidrase inhibitor oral sangat diperlukan dalam pengobatan gloukoma akut. 6.3. Miotik kuat Pilokarpin 2% atau 4% setiap 15 menit sampai 4 kali pemberian sebagai inisial terapi, diindikasikan untuk mencoba menghambat serangan awal gloukoma akut. Penggunaannya ternyata tidak efektif pada serangan yang sudah lebih dari 1-2 jam. Hal ini terjadi karena muskulus spingter pupil sudah iskhemik sehingga tidak dapat merespon terhadap pilokarpin. Pilokarpin diberikan satu tetes setiap 30 menit selama 1-2 jam. Pada umumnya respon pupil negatif terhadap serangan yang telah berlangsung lama sehingga menyebabkan atrofi otot spingter akibat iskhemia. 6.4. Beta bloker Merupakan terapi tambahan yangefektif untuk menangani serangan sudut tertutup. Beta bloker dapat menurunkan tekanan intraokular dengan cara mengurangi produksi humor akuos. Timolol merupakan beta bloker nonselektif dengan aktifitas dan konsentrasi tertinggi di bilik mata belakang yangdicapai dalam waktu 30 – 60 menit setelah pemberian topikal. Beta bloker tetes mata nonselektif sebagai inisial terapi dapat diberikan 2 kali dengan interval setiap 20 menit dan dapat diulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian. 6.5. Apraklonidin Merupakan agen alfa2-agonis yang efektif untuk hipertensi okular, apraklonidin bekerja dengan cara menurunkan produksi akuos memberikan efek pada Apraklonidin 0,5% dan humor dan outflowhumor 1%, keduanya tidak akuos. telah menunjukkan efektifitas yang sama dan rata-rata dapat menurunkan tekanan intraokular 34% setelah 5 jam pemakaian topikal. Apraklonidin dapat digunakan pada pengobatan dengan glaukoma terapi medis akut yang lainnya. dikombinasikan Setelah tekanan intraokular menurun dan miosis pupil telah dicapai, terapi topikal dengan pilokarpin, beta bloker, karbonik anhidrase inhibitor dan apraklonidin dapat diteruskan sampai tindakan operasi dilakukan atau reopening sudut bilik mata. Pemeriksaan ulang gonioskopi harus dilakukan, jika perlu gliserin tetes mata dapat digunakan untuk menjernihkan kornea.Sekarang ini, dilakukan gonioskopi indentasi untuk mendorong akuos dari sentral ke perifer agar sudut yang telah tertutup dapat terbuka kembali. Tehnik ini telah diuji sebagai terapi untuk serangan sudut tertup akut. Meskipun sudut telah sukses membuka kembali dengan gonioskopi indentasi, tetapi tidak dapat menggantikan terapi definitif yaitu: iridektomi perifer. 7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI DOKUMEN FARMASI PASIEN INSTALASI FARMASI RSUD GAGAL TOTAL No. DMK : 12.34.XX MRS : 31 Maret 2015 KRS : Inisial Pasien : Ny. Cita Citaku Umur/BB/Tinggi : 50 th / 54 kg / Alamat : Malang Asuransi : BPJS Keluhan Utama : mata kanan terasa nyeri, merah, pandangan di mata kanan nampak ada area Kepatuhan : Alergi : Merokok/Alkoh tak terlihat Keluhan Tambahan : sering ol : Obat pusing dan mual Diagnosis : primary open angle Tradisional : OTC : - glaucoma OD, katarak OD Riwayat Penyakit : DM (+), HT (+) Riwayat Obat : atenolol 1 dd 50 mg, metformin 3 dd 500 mg PROFIL TERAPI OBAT PASIEN Tanggal Nama Obat Acetazolamide Regimen 4 dd I tab tab 2 dd gtt I Timol 0,5% OD Latanoprost 1 dd gtt I 0,005% OD Atenolol 1 dd 50 31/ 1/ 2/ 3/ 4/ 3 4 4 4 4 √ √ // √ √ // √ √ √ √ √ √ √ √ mg 3 dd 500 Metformin mg Salbutamol 3 dd 2 mg √ √ tab √ √ √ √ √ √ √ √ 2 dd 500 Nabic tab mg PEMERIKSAAN MATA OD 3/60 36 Edema (+) spasme Parameter Visus IOP Palpebra OS 6/15 12 Tenang (+) Keruh grade II Lensa Jernih DATA KLINIK 31/ 1/4 2/4 3/4 4/4 130 120 100 110 110 /80 /80 /70 /70 /70 80 74 82 80 88 24 26 22 18 18 Suhu (37 36, 37, 36, 36, 37, ± 0,5oC) 5 5 5 5 4 Pusing + +↓ - - - Mual + + - - - 3 TD (< 120/80) mmHg Nadi (80100 x/menit) RR (< 20 x/menit) Nyeri + +↓ +↓ - - Sesak + + +↓ +↓ - DATA LABORATORIUM Data Laboratori 31/ 2/ 4/ 4 4 4 7,35-7,45 7,3 7,4 20-26 mEq/L 18 20 Nilai Normal um 3 780 4-10,10 /µl WBC 0 12-17g/dl 12 GDA < 200 mg/dL 190 SGOT 0-35 U/L 16 SGPT 0-37 U/L 18 Scr 0,6-1,2 mg/dL 1,4 BUN 7-20 mg/dL 22 Hb pH HCO3 8. PEMBAHASAN KASUS 8.1 Subjektif Data Identitas Kondisi Pasien MRS : 31 Maret px 2015 KRS : Inisial Pasien : Ny. Cita Citaku Alamat : Malang Uraian Keluhan Asuransi : BPJS mata kanan Keluhan utama terasa merah, pandangan mata nyeri nyeri, karena adanya penghambatan di keluarnya kanan dan tekanan humor intraokular dengan sehingga cepat menimbulkan desakan yang aliran aqueous nampak ada area meningkat tak terlihat disebabkan pada saraf menimbulkan optis nyeri hebat. Keluhan mata memerah disebabkan karena adanya peningkatan intraokular tekanan oleh karena banyaknya cairan sehingga mendesak pembuluh darah pada mata sehingga tekanan darah menjadi meningkat dan vasokonstriksi dan mata memerah. Keluhan pasien keterbatasan pada terkait penglihatan beberapa area merupakan salah satu manifestasi klinik dari glaukoma, dan katarak yang mana protein terdapat pada menyebabkan Keluhan koagulasi lensa dapat keterbatasan dalam melihat. sering pusing dan Kondisi mual dapat terjadi tambahan mual karena beberapa kondisi pasien, diantaranya kondisi glaukoma pada pasien yang dapat menyebabkan gejala mual muntah, hal tersebut terjadi akibat saraf-saraf tertentu di mata mengirimkan suatu sinyal pada pembuluh darah otak untuk menurunkan serotonin kadar juga menyebabkan dapat terjadinya mual. Kondisi mual juga terjadi karena mual pusing glaukoma, klinik dari dimana glaukoma yaitu dan merupakan manifestasi adanya dapat kondisi menyebabkan gangguan halo visual, rainbow yang menyebabkan rasa mual dan pusing. Kondisi mual juga dikarenakan dapat peningkatan BUN pada pasien, hal ini Diagnosis primary angle ditunjukkan pada data laboratorium yang mana kadar BUN meningkat. open Glaukoma sudut terbuka glaucoma primer merupakan neuropati OD, katarak OD optik kronis dengan progresifitas yang perlahanlahan dengan karakteristik adanya ekskavatio syaraf optik, dari gangguan lapang pandangan, hilangnya sel dan akson ganglion retina dan memiliki sudut iridocorneal yang Glaukoma sudut terbuka. terbuka primer ini lebih sering dijumpai pada usia dewasa (Lisegang, et al., 2005). Pada glaukoma sudut terbuka penyebab yang paling sering terjadi adalah peningkatan intraokuli tekanan walaupun pada beberapa kasus tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuli (Lisegang, et al., 2005 ). Peningkatan tekanan intraokuli dapat merusak selsel ganglion retina menyebabkan syaraf dan kerusakan optik sehingga progresifitas glaukoma berlanjut. Katarak dimana pada adalah terjadi serabut keadaan kekeruhan atau bahan lensa di dalam kapsul lensa atau juga patologik suatu lensa keadaan di mana lensa menjadi keruh akibat hidrasi cairan denaturasi lensa protein atau lensa. Katarak disebabkan hidrasi (penambahan cairan lensa),denaturasi lensa, protein proses penuaan (degeneratif). Katarak OD pupil keruh dan ada bayangan coklat Katarak juga manifestasi merupakan klinik pada glaukoma, dimana terdapat istilah chatarac complicata, yang mana terjadi mata dikarenakan pada kondisi glaukoma dapat menyebabkan hidrasi protein pada lensa, sehingga terjadi koagulasi protein pada lensa yang Riwayat penyakit DM dan HT menyebabkan pandangan mata kabur. Diabetes Melitus Hipertensi menjadi dan diperkirakan berperan dalam kerusakkan saraf optik mekanis Melalui keduanya melalui jalur dan vaskular. jalur mekanis, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intraokuler sementara vaskular, melalui jalur keduanya dapat mengakibatkan penurunan tekanan perfusi okuler. Diabetes mellitus merupakan faktor resiko dari glaukoma dimana penderita POAG dengan DM tipe 2 lebih tinggi (7.8 %) dibandingkan tanpa diabetes (3.9 %). Diabetes dapat memprodusi AGE product yang merupakan mana oksidan ssehingga membuat adanya gangguan yaitu komplikasi mikrovaskular yang akan mempengaruhi autoregulasi dari pembuluh darah pada retina dan saraf Penelitian optik. membuktikan adanya kerusakan vaskular tersebut akan mempengaruhi saraf optik yang mana akan merubah optic disk, yang mana akan menimbulkan neuropati glaucomatuos optic. DM eningkatan menyebabkan kadar sorbitol dalam lensa yang lama sangat menyebabkan terjadinya kerusakan yang permanen pada serat dan protein lensa mengakibatkan yang kekeruhan pada lensa. hipertensi dapat merusak pembuluh darah di mata sehingga mereka tidak dapat mengkompensasi perubahan dalam aliran darah ketika tekanan mata meningkat Menurut teori turunnya aliran iskemik, darah di dalam lamina kribrosa akan menyebabkan iskemia dan tidak tercukupinya yangvdiperlukan transport energi untuk aksonal. Iskemik dan transport aksonal akan memacu apoptosis. terjadinya Pada proses iskemik, terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak dapat mengkompensasi perfusi yang terjadi kurang dan resistensi (hambatan) aliran humor akuous pada trabekular meshwork yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis, 1993). HT memiliki resiko 2.61 kali lebih besar untuk mengalami POAG dibandingkan normotensi. penelitian Dalam dibahas hipertensi terhadap glaukoma, darah resiko yaitu yang tekanan tinggi menurunkan akan tekanan diastolik perfusi aliran darah ke mata perbedaan dan adanya antara tekanan diastolik pada arteri dan IOP. Akan tetapi mekanisme yang pasti terjadi adalah penurunan aliran darah ke mata yang menimbulkan keparahan glaukoma. Riwayat atenolol 1 dd 50 Atenolol obat mg metformin 3 antihipertensi dd 500 mg merupakan obat golongan ß- blocker. Atenolol merupakan obat antihipertensi selektif pada reseptor Mekanisme aksi antihipertensi ß1. sebagai adalah memblok reseptor ß1 yang terdapat supaya pada jantung terjadi vasodilatasi yang dipengaruhi penurunan detak oleh jantung. Dosis dewasa diadministrasikan secara 50 sampai 100 mg/hari. Efek samping yang ditimbulkan adalah lelah 13%, bradikardi 8%, mual, muntah diare (McEvoy, 2011). Pasien mengalami riwayat penyakt hipertensi disertai diabetes mellitus, menurut JNC 8, terapi yang dapat diberikan dengan pada pasien riwayat penyakit seperti diatas adalah ACE inhibitor atau calcium channel blocker, atau ARB. Tekanan darah normal berdasarkan JNC 8 adalah < (kurang dari) 140/90. Metformin merupakan obat golongan dapat biguanida menurunkan glukosa darah yang kadar dengan menurunkan produksi gula hepatik. Juga metformin dapat mrnurunkan absorbsi glukosa dan pada pencernaan meningkatkan respon insulin. Pendosisan dilakukan sebagai berikut, dosis awal secara peroral 500 mg sehari 2 kali, ditingkatkan denga 500 mg sehari 3 kali (maksimal dosis 2500 mg/hari dalam dosis terbagi). Efek samping obat yang muncul adalah mual; muntah; diarrhea; anorexia (McEvoy, 2011). Penggunaan metformin berinteraksi dengan asetazolamid (McEvoy, 2011). Riwayat - alergi Riwayat Kepatuhan : - sosial Merokok/Alkohol : Obat Tradisional : OTC : - 8.2 Objektif OD Parame OS URAIAN 3/60 ter Visus 6/15 Pemeriksaan visus digunakan untuk mengetahui keterbatasan lapang pandang pada mata, dimana hasil pemeriksaan pada pasien menunjukkan bahwa pada mata kanan pasien, pasien hanya dapat melihat atau menghitung jari pada jarak 3 meter, sedangkan pada orang normal dapat melihat atau menghitung jari pada jarak 60 meter. Hal ini dikatakan pasien memiliki keterbatasan pandangan melihat sebesar 75 %. Sedangkan pada mata kiri, pasien hanya dapat melihat atau menghitung jari pada jarak 6 meter, sedangkan pada orang normal dapat melihat atau menghitung jari pada jarak 15 36 IOP 12 meter. Pengukuran Intra Pressure digunakan untuk tekanan cairan mengetahui pada Ocular mata yang merupakan awal dari diagnosis glaukoma. Pada mata kanan pasien IOP sebesar 36 mmHg, dimana dalam batas normal adalah < 21 mmHg. Sedangkan pada mata kiri IOP sebesar 12 mmHg, dimana masih dalam rentang Edema Palpebra Tenang normal. Palpebra pasien mengalami (+) edema, yang mana ada tekanan spasm pada mata. e (+) Keruh Lensa Jernih Lensa mata yang keruh grade menunjukkan adanya koagulasi II protein pada lensa mata yang merupakan gejala katarak. DATA KLINIK URAIAN Tekanan darah normal, TD dimana pasien pasien masih dalam mengalami batas riwayat (< penyakt hipertensi disertai diabetes mellitus, 120/80) menurut JNC 8, tekanan darah normal adalah < mmHg (kurang dari) 140/90. Nadi (80-100 Dalam batas normal x/menit) RR tinggi pada 31/3 – 2/4 terjadi karena kondisi sesak pada pasien. Kondisi sesak pada pasien dapat dikarenakan kondisi asidosis yang terjadi pada pasien, dimana pada awal masuk rumah RR (< 20 sakit pasien mengalami sesak, akan tetapi tidak x/menit) ada diagnosis khusus. Suhu (37 ± Dalam batas normal 0,5oC) Kondisi pusing dapat dipengaruhi oleh keadaan pasien, dimana pasien mengalami glaukoma yang menyebabkan penglihatan pasien yang disebut halo rainbow yang menyebabkan pasien Pusing mengalami pusing. Kondisi mual dapat dipengaruhi oleh keadaan pasien, dimana pasien mengalami glaukoma yang menyebabkan penglihatan pasien yang disebut halo rainbow yang menyebabkan pasien mengalami mual. Kondisi mual pada pasien juga dapat disebabkan oleh karena BUN pasien meningkat, yang merupakan penunjuk kadar Mual Nyeri urea dalam darah. Kondisi nyeri pada mata disebakan oleh meningkatnya IOP yang menyebabkan saraf optik mengalami desakan oleh cairan dan mengakibatkan rasa nyeri pada mata. Kondisi sesak pada pasien dapat dikarenakan kondisi asidosis yang terjadi pada pasien, dimana pada awal masuk rumah sakit pasien mengalami Sesak sesak, akan tetapi tidak ada diagnosis khusus. DATA LABORATORIUM Data URAIAN Laboratori um WBC Hb GDA SGOT SGPT Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Tes kreatinin berguna untuk mendiagnosa fungsi ginjal karena nilainya mendekati glomerular filtration rate (GFR). Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot dan fosfokreatinin yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin konstan selama masa otot konstan. Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan fungsi ginjal baik karena gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis, penyumbatan Scr BUN saluran urin, penyakit otot atau dehidrasi akut. BUN adalah produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati. Pada orang normal, ureum dikeluarkan melalui urin. Kadar dalam darah tergantung produksi (tergantung sintesa & asupan protein) dan ekskresi (ginjal 90%,GIT & kulit 10 %). Kadar urea dinyatakan BUN (blood urea nitrogen) atau urea. Fungsi ginjal menurun Asidosis pH Kelainan fungsi ginjal ini dikenal sebagai asidosis tubulus renalis (ATR) atau rhenal tubular acidosis (RTA), yang bisa terjadi pada penderita gagal ginjal atau penderita kelainan yang mempengaruhi kemampuan ginjal untuk HCO3 membuang asam. 8.3 Assesment Kategori Drug Interaction Assesment Problem Metformin dan Acetazolamide berinteraksi secara signifikan, dengan menurunkan kadar bikarbonat keadaan sehingga asidosis dapat memperparah pasien (medscape). Sedangkan metformin tidak dapat dihentikan karena sebagai sehingga pengobatan perlu DM dihentikan pasien yang Acetazolamide. Salbutamol dan timol Antagonisme pada efek mengakibatkan bronkospasme pasien (McEvoy,2011). asma berinteraksi paru berat yang pada Sedangkan pasien sesak maka berbahaya. Acetazolamide dan DM dapat berinteraksi dengan mengganggu kontrol glukosa darah pasien (Lacy et al,2007). Sehingga dapat Dosis dan Regiman memperparah kondisi DM pasien. Untuk terapi POAG seharusnya monoteraphy dengan pilihan utama (first line) prostaglandin analog (latanoprost) atau B-blocker (timolol) (Kimble,2013). Sehingga yang digunakan harusnya latanoprost saja dengan dosis larutan 0.005% 1 tetes (1.5 mcg) pada mata 1x/hari pada malam hari. Karena jika Bblocker mungkin bisa memperparah sesak pasien. Pemberian Natrium bicarbonat pada pasien sudah tepat karena jika pH masih > 7,2. Sedangakan menurut (Dipiro,2008) urgensi pemberian Na bic secara IV untuk asidosis dengan pH < 7,2. Sehingga bisa diatasi dengan Na bic secara oral dengan dosis Per Oral dengan dosis 325 mg hingga 2 gram, terbagi 1 sampai 4 kali/hari (untuk pasien kurang dari < 60 tahun, maksimum dosis 16 g/hari; dan pasien > 60 tahun maksimum dosis 8 g/hari) (Tatro,2003). Pemberian metformin sudah sesuai untuk pengobatan DM pasien 3 dd 500 mg, sudah sesuai dosis dan indikasinya. Pemberian Atenolol (B1 selektif bloker) 1 dd 50 mg untuk hipertensi sudah tepat sesuai indikasi karena tidak memperparah sesak dan asidosis pasien. Namun dengan peningkatan BUN dan adanya SCr renal pasien yang disorder menandakan perlu dilakukan penggantian obat yang renoprotective seperti Ketidaktepa ACE Inhibitor dan ARB. Salbutamol tidak tepat dikarenakan tan indikasi penggunaan baru tanggal 2 april sementara dan Indikasi RR pada tanggal 2 april sudah membaik dan yang sesak tidak diterapi pasien Penggunaan juga sudah acetazolamide berkurang. juga sudah dihentikan. Selain itu pasien memiliki hipertensi sehingga penggunaan salbutamol kurang tepat. Selain itu sesak napas yang dialami pasien mungkin dikarenakan kondisi asidosis untuk yang menyebabkan hiperventilasi kompensasi dan efek samping acetazolamide sehingga mungkin yang perlu dicover adalah kondisi penyebabnya tersebut. Pasien mengluhkan nyeri, pusing dan mual namun tidak diberikan ada mungkin obat-obatan meringankan analgesik terapi simptomatis prn seperti bisa yang dapat pasien seperti parasetamol untuk mengatasi nyeri yang dialami pasien, atau antiemetik seperti domperidon untuk mengatasi mual pasien. Pasien memiliki diagnosis katarak namun tidak ditindak lanjuti, dapat disarankan kepada pasien untuk diberikan obat-obatan Diberikan tetes mata mydriatic,seperti phenylephrine (2,5%) atau tropikamid (0,5%). Dipilih tropikamid dengan MoA Mencegah otot sfingter iris dan otot tubuh ciliary untuk merespon dapat rangsangan kolinergik melancarkan outflow dari sehingga aqueous humor (AAO,2011). Atau mungkin dilakukan Efek operasi. Efek Samping Acetazolamide yang Samping meningkatkan RR dan juga asidosis, dan juga obat insufisiensi ginjal (Lacy et al,2007). Sehingga dapat memperparah kondisi sesak pasien, asidosis pasien dan juga gangguan ginjal pasien. Efek samping atenolol 1-10% pada GI yaitu konstipasi, diare, dan mual (Lacy et al,2007). Sehingga kemungkinan dapat memperparah kondisi mual pasien. Ketidak Penggunaan Acetazolamide kurang tepat tepatan karena banyak mengakibatkan efek yang jenis obat merugikan pada pasien, seperti : berinteraksi dengan metformin yang mengakibatkan penurunan kadar bikarbonat pasien yang dapat memperparah kondisi asidosis pasien, meningkatkan RR yang memperparah sesak pasien, dan menyebabkan insufisiensi ginjal sehingga memperparah renal disorder pasien. Dan selain itu pengobatan dengan Acetazolamide ini biasanya digunakan pada pilihan kedua jika terapi firstline pada POAG tidak merespon. Penggunaan timolol agaknya kurang tepat karena bukan merupakan β-Selektif blocker yang dapat ebrpengaruh terhadap bronkospasm pasien sehingga memperparah kondisi sesak pasien. Dan untuk pengobatan awal POAG, dapat dengan monotherapy dengan first line prostaglandin analog atau βblocker sehingga dipilihkan latanoprost saja. 8.4 Plan Sasaran Dokter Plan - Memberikan saran menggunakan pada latanoprost dokter untuk sejak awal sebagai inisial terapi karena PG analog efektif untuk penanganan pertama dan cenderung aman (Single terapi). - Menyarankan untuk tidak menggunakan beta blocker terlebih dahulu untuk mengatasi kondisi glaucoma, melainkan melihat dahulu efikasi dari terapi tunggal menggunakan latanoprost. - Menyarankan untuk monitoring efektivitas dari latanoprost dan beta blocker terlebih dahulu dan acetazolamide tidak dari menggunakan awal, Penggunaan NaBic disarankan tidak diberikan terlebih dahulu karena pH pasien masih diatas 7 walaupun masuk dalam kategori asiodosis dikarenakan samping asidosis dari ini karena acetazolamide. efek Dengan demikian maka jika acetazolamide belum diberikan maka kondisi asidosis dapat dicegah. Namun jika kondisi ini terjadi maka terapi untuk adidosisnya adalah dengan menggunakan resusittasi cairan terlebih dahulu. Namun jika tidak membaik dan pH dibawah 7 maka perlu pemberian Na Bic. - Disarankan penghentian penggunaan salbutamol karena baru diberikan pada tanggal 2 april, dimana keadaan sesak pasien sudah berkurang sehingga tidak perlu diberikan salbutamol. Dan juga kemungkinan sesak pasien dikarenakan hiperventilasi akobat kompensasi asidosisnya sehingga dengan perbaikan asidosis pasien maka sesaknya akan hilang. - Disarankan untuk pemberian parasetamol dan anti mual seperti domperidon untuk mengatasi kondisi simtomatis pasien jika pasien merasa tidak nyaman, namun penggunaannya hanya pro renata. - Menyarankan untuk katarak pasien jika pasien terganggu Operasi Jika untuk memang melakukan perlu, maka dilakukan pemantauan IOP yang ketat. Keadaan glaucoma pasien harus stabil saat melakukan operasi. Ketika IOP tidak terkontrol dengan baik, atau ada moderat untuk berkembang ke saraf optik dan perubahan bidang visual, ekstraksi katarak gabungan dan trabeculectomy dapat dilakukan (AAO,2011). - Disarankan untuk pergantian obat hipertensi menjadi obat golongan ARB yaitu pemberian Losartan. Dengan dosis yang disarankan yaitu 25-100 mg/hari diberikan dalam 1 hingga 2 dosis terbagi. Tidak ada informasi bahwa pemberian dosis besar akan meningkatkan benefit. Namun jika efektivitas tidak tercapai pada pemberian sekali sehari dapat disarankan untuk melakukan peningkatan dosis atau pemberian 2 kali sehari (McEvoy et al,2011). Perawat - menyarankan pemberian oksigen karena - pasien datang mengeluhkan sesak. Monitoring efek terapi dari latanoprost, sehingga untuk mengetahui perlu pergantion obat atau tidak - Monitoring efek terapi lainnya seperti nilai pH kembali normal, RR normal, keluhan pasien yang meliputi nyeri dan mual dapat teratasi - Pemberian latanoprost malam hari karena tekanan intra ocular bisa tiba-tiba tinggi ketika malam hari Pasien - Monitoring efek samping obat : - Latanoprost :pigmentasi iris, iritasi mata Resusitasi cairan : oedem Losartan :pusing, diare Metformin : gangguan GI Jika gangguan pandangan pasien ingin dikoreksi maka disarankan menggunakan kacamata dibandingkan dengan lensa kontak - Mengedukasi pasien cara pemakaian obat tetes mata sesuai dengan prosedur yang benar . - Untuk DM pasien maka pasien diedukasi untuk menejemen diet pasien dan juga olahraga yang teratur - Untuk hipertensi diedukasi untuk mengurangi asupan garam, hindari makanan yang terlalu banyak lemak agar ttidak timbul penyumbatan darah oleh lemak. pembuluh DAFTAR PUSTAKA AAO. 2011. Cataracts. American Academy of Ophthalmology.USA. Amra, A.A., 2007, Penatalaksanaa Glaukoma Akut, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan. Depkes RI.2008.Situasi dan Analisis Glaucoma.Infodatin:Jakarta Dwindra,Mayenru. 2009. Glaukoma. Fakultas kedokteran universitas Riau : Pekanbaru Dipiro, Joseph T., et Pathophysiologic al. 2008. Pharmacotherapy 7th Approach, Ed, A McGraw-Hill companies.Inc, UK. Garg, Pragati, et al. 2014. A Study on Systemic Risk Factor for Primary Open Angle Glaucoma. International Journal of Life Science and Pharma Glaucoma. Vol 4. Kimble , Coda and Young. 2013. Applied Therapeutic The Clinical Use of Drug. Lippincott Williams &Wilkins, Awolters Kluwer Business. USA Liesegang, et al. 2011. Basic and Clinical Science Course Section 8 :External Disease and Cornea. American Academy of Opthalmology. San Fransisco : 646-671 Lacy, Charles F., et al.2007.Drug Information Handbook : A Comprehensive Healthcare Resource Professional for !7th all Clinicians Edition. and American Pharmacists association-Lexi comp. USA. McEvoy, Gerald K., Elaine K. Snow.,Linda Kester.,Lathy Litvak et al.2011.AHFS Dru Information Essensials. American Society of Health-System Pharmacists.Maryland Nova Faradilla.2009.Glaukoma dan Katarak Senelis.Faculty of Medicine.University of Riau.Pekanbaru. Sari, Ellysabet Dian Yunivita dan Muhammad Aditya. 2016. Glaukoma Akut dengan Katarak Imatur Okuli Dekstra et Sinistra. J Medula Unila. Vol 4(3): 46-51. Tatro, David S., Larry R. Borgsdofr., et al.2003. A to Z Drug Facts. Facts and Comparisons. Virna Dwi Oktariana.Gaukoma. http://www.lkc.or.id/wp- content/uploads/2012/03/GLAUKOMA.pdf.