Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PERANGKAT PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Yossi Niken Respati FH Universitas Pelita Harapan Karawaci [email protected] Abstract Environmental Management is one of the efforts to preserve and maintain the quality and supporting capacity of the environment. Act No. 32 of 2009 regarding Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Environmental Protection and Management) states that the purpose of environmental management is to protect humans and other living creatures from the threat of destruction and environmental pollution. Destruction and environmental pollution is a negative impact of business activities conducted by persons or companies. A company has a responsibility towards the environment and community. Article 74 Act No. 40 of 2007 regarding Perusahaan Terbatas (Limited Companies) mentions that corporate social responsibility is mandatory for such companies. Corporate social responsibility is an effort by the company to help and maintain the environment. Keywords: Corporate Social Responsibility, Environment, Environmental Management A. Pendahuluan Kewajiban untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia tidak hanya merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah, namun juga masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya untuk mencapai kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.1 Interaksi ini terjadi dikarenakan manusia mempunyai hubungan timbal-balik dengan lingkungannya dimana aktivitas manusia mempengaruhi 1 NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, cet 1, (Jakarta: Pancuran Alam, 2006), hal 69 435 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... lingkungannya dan sebaliknya manusia dipengaruhi oleh lingkungannya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah suatu rangkaian upaya terpadu dan sistematis untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan hidup yang bentuk pengelolaan lingkungan hidup itu meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup dan penegakkan hukum.2 Dengan demikian, pengelolaan lingkungan hidup memiliki cakupan yang sangat luas dan memiliki keragaman sifat dan bentuk aktivitas yang berlain-lainan yang melibatkan berbagai macam instansi, dinas, kelembagaan dan kekuasaan yang diberikan mandat untuk mengelola dalam bentuk memanfaatkan, mengurus, mengawasi, dan mengendalikan fungsinya masing-masing yang kesemuanya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda akan tetapi UUPPLH merupakan payung hukum (umbrella provision) bagi semua perangkat peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda tersebut.3 Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup dibutuhkan instrument atau perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang tujuannya adalah untuk mengelola lingkungan hidup untuk mencegah dan mengantisipasi sedini mungkin terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perangkat pengelolaan lingkungan hidup tersebut dilakukan baik sebelum kegiatan usaha dilaksanakan maupun setelah atau pada saat kegiatan usaha dilaksanakan. Seperti diketahui bahwa pelaksanaan kegiatan usaha dilaksanakan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang salah satunya adalah UUPPLH. Namun disamping itu, selain ketundukan 2 Lihat Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto Pasal 1 angka 2 UU No. 30 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 NHT Siahaan, Op.Cit, hal. 70-72 436 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 kepada UUPPLH, pelaku usaha kegiatan yang telah berbentuk badan hukum perseroan terbatas tunduk juga kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT). UUPT tahun 2007 merupakan undang-undang yang diberlakukan untuk mengganti UUPT yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan masyarakat karena perkembangan dunia usaha yang semakin pesat, dan dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan prinsip yang penting bagi dunia usaha yaitu prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Keberlakuan UUPT terbaru tersebut secara keseluruhan ditanggapi dengan baik oleh kalangan dunia usaha, akan tetapi ada satu pasal dalam UUPT tersebut yang menjadi permasalah yaitu Pasal 74. Pasal ini mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) atau biasanya disebut dengan corporate social responsibility (CSR). Pasal 1 butir 3 UUPT memberikan definisi mengenai CSR merupakan sebuah komitmen perseroan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan4, yang dijabarkan lebih lanjut lagi dalam Pasal 74 UUPT yang menyatakan bahwa pemberlakuan dari CSR ini merupakan kewajiban hukum (statutory obligation) bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam dan apabila tidak dilaksanakan akan dikenakan sanksi.5 Kewajiban hukum membuat CSR bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau sumber daya alam merupakan penyeimbangan dari dampak kegiatan usaha yang dilakukan.6 Tujuan utama dari perseroan adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, namun jika usaha memperoleh keuntungan tersebut tidak memperhatikan keadaan ekologi dan lingkungan hidup akan menyebabkan degradasi 4 Lihat Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 5 Lihat Pasal 74 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 6 Gayus Lumbuun, Telaah Hukum Atas Ketentuan Corporate Social Responsibililty Dalam UUPT, Jurnal Hukum Supremasi Vol.1 No.1 Oktober 2007-Maret 2008, hal. 118 437 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... lingkungan yang luar biasa, oleh karena itu pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti dengan pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup oleh para pelaku usaha perseroan.7 Keberlakuan TJSL melalui UUPT memunculkan sikap pro dan kontra dari kalangan dunia usaha. Kalangan yang kontra pada intinya menentang keberlakuan TJSL sebagai kewajiban, karena menganggap kewajiban untuk melaksanakan TJSL akan membebankan biaya operasional perusahaan yang berakibat akan terganggunya iklim usaha dan investasi.8 Disamping itu keberlakuan TJSL dianggap juga tidak adil.9 Sedangkan dari kalangan yang pro mengatakan bahwa keberlakuan TJSL menjadi wajib karena merupakan reaksi dari perilaku perseroan yang cenderung mengabaikan tanggung jawabnya di bidang sosial dan lingkungan, yang sebenarnya sebuah perseroan harus memberikan manfaat dan peduli terhadap kondisi sosial dan lingkungan karena perseroan merupakan bagian dari masyarakat (corporate citizenship).10 Bagi pemerhati lingkungan keberlakuan TJSL menjadi kewajiban dianggap positif selama keberlakuan dari TJSL tersebut dapat menunjang keberlanjutan lingkungan hidup dan mendukung rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dari keseluruhan uraian tersebut, maka permasalahan pokok yang hendak dibahas dalam penulisan ini adalah keterkaitan antara perangkat pengelolaan lingkungan hidup dengan konsep TJSL dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. B. Pengelolaan Lingkungan Hidup Keselarasan hidup antara manusia dengan lingkungan hidup dapat tercapai jika lingkungan hidup dikelola dengan baik. Pengelolaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dapat dilakukan oleh siapa 7 Jackie Ambadar, CSR dalam Praktik di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008) hal. ix-x 8 “Antara Sumbangan dan Paksaan,”http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/ periskop/antara-sumbangan-dan-paksaan-5.html, diakses 25 Februari 2008. 9 Regulasi Setengah Hati, Majalah Bisnis dan CSR, (Jakarta: Oktober, 2007), hal. 64 10 Hidayah Muhallim, CSR dan Politik Ekonomi Kita, http://fajar.co.id/news. php?newsid=4487, diakses tanggal 25 Februari 2008 438 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 saja baik orang-perseorangan atau masyarakat, badan usaha maupun oleh negara.11 Tindakan pengelolaan tersebut merupakan bentuk kesadaran akan arti pentingnya lingkungan hidup bagi kehidupan. Kemampuan mengelola lingkungan hidup dengan baik menentukan arah keberlanjutan pembangunan di suatu daerah atau negara. Salah satu cara untuk mengelola lingkungan hidup dengan membuat instrument peraturan perundangan-undangan yang bersifat pengaturan dan pengawasan (command and control/CAC).12 Instrumen pengaturan di bidang lingkungan hidup harus diikuti dengan sistem pengawasan agar pengelolaan lingkungan hidup dapat berjalan dengan baik. Disamping itu, penaatan terhadap peraturan perundangundangan juga menjamin terlaksananya pengelolaan lingkungan hidup. Instrumen peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dikeluarkan oleh negara dalam hal ini pemerintah yang berwenang. Instrumen peraturan perundang-undangan tersebut merupakan salah satu bentuk kekuasaan negara sebagai pembentuk undang-undang (legislatif) dan juga bentuk campur tangan pemerintah untuk mewujudkan negara hukum kesejahteraan.13 Perwujudan pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen peraturan perundang-undangan memberikan jaminan bahwa lingkungan hidup tetap dapat terpelihara sehingga pembangunan tetap dapat berjalan. Pemerintah yang berwenang baik di tingkat pusat mau daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dalam melakukan tindakan pencegahan dan/atau antisipasi dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan merupakan salah satu bentuk campur tangan pemerintah untuk mewujudkan negara hukum kesejahteraan.14 Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia melalui peraturan perundang-undangan sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda dengan 11 Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia – Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 32-33 12 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 140 13 Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 14-22 14 Ibid, hal. 14-22 439 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... mengeluarkan berbagai macam ordonansi maupun staatblad seperti Ordonansi Gangguan (Hinder-Ordonnantie). Akan tetapi pada saat penjajahan Jepang, peraturang perundang-undangan di bidang lingkungan hidup hampir tidak ada sama sekali, karena pada masa penjajahan Jepang, peraturan perundangundangan lebih ditekankan untuk memperkuat kedudukan penguasaan Jepang di Indonesia.15 Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup untuk mengatur dan mengawasi pengelolaan lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) merupakan kebijakan nasional yang pertama yang mengatur khusus mengenai lingkungan hidup. Undang-undang ini merupakan undang-undang payung (umbrella act) bagi berbagai macam peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Pada tahun 1997, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982. Dalam Berdasarkan pertimbangan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, penggantian tersebut dikarenakan adanya perkembangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diatur dalam UULH sehingga perlu untuk disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pada tahun 2009, UU Nomor 23 Tahun 1997 diganti oleh UndangUndang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-undang ini lahir sebagai bentuk reaksi akan perkembangan lingkungan hidup tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia internasional, dimana dirasakan bahwa telah terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup yang akan mengancam kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya serta juga terjadinya pemanasan global 15 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 57-60 440 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 akibat perubahan iklim yang terjadi seluruh belahan dunia.16 Usaha untuk mencegah dan mengantisipasi akan turunnya kualitas lingkungan hidup dapat dilakukan dengan melaksanakan secara benar seluruh perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang telah ditetapkan baik melalui peraturan perudangan-undangan maupun kebijakan internal kegiatan usaha. Perangkat pengelolaan lingkungan hidup agar berhasil guna secara efektif dan efesien harus dirancang dengan baik. Perancangan terhadap instrumen tersebut dapat dilakukan dengan lima macam pendekatan yaitu:17 (1) Pendekatan atur dan awasi (command and control), (2) pendekatan atur diri sendiri (ADS), (3) pendekatan ekonomi (economic approach), (4) pendekatan perilaku (behaviour approach), (5) pendekatan tekanan publik (public pressure approach). Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang sudah dirancang dengan baik harus mempunyai daya pemberlakuan untuk dilaksanakan. Pemberlakuan perangkat pengelolaan lingkungan hidup dapat sifat memaksa (mandatory) atau sukarela (voluntary). Sifat memaksa dapat terjadi jika perangkat pengelolaan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dengan jelas menyatakannya. Oleh karena itu, apabila terjadi pelanggaran terhadapnya, akan mendapatkan sanksi sesuai yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Perangkat yang bersifat wajib ini sangat erat kaitannya dengan sistem pemberian ijin terutama ijin usaha.18 Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang sifatnya memaksa adalah yang mengatur mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta End of Pipe System yaitu peraturan yang berkaitan dengan sistem pembuangan limbah.19 Sedangkan yang sifatnya sukarela dan 16 Lihat bagian menimbang huruf d dan e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 17 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 140-144 18 Bambang Prabowo Soedarso, Hukum Lingkungan dalam Pembangunan Terlanjutkan (Bunga Rampai), cet.2, (Jakarta: Cintya Press, 2008), hal. 118 19 Ibid. 441 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... jika terjadi pelanggaran terhadapnya, maka sanksi yang diberikan biasanya berupa pengucilan adalah Eco-labeling dan Organization for International Standardization (ISO) dibidang lingkungan.20 Perbedaan sifat pemberlakuan instrument ini didasarkan pada 2 (dua) pemahaman yaitu: (1) bahwa lingkungan dan sumber daya alam itu mempunyai sifat keterbatasan dalam ketersediaannya yang menuntut untuk dilestarikan, dan (2) bahwa setiap kegiatan atau aktivitas manusia mempunyai dampak terhadap lingkungan dan sumber daya baik dalam akibat jangka pendek (short term effect) maupun jangka panjang (long term effect).21 Dampak merupakan sisi negatif dari kemajuan industri, dimana dengan terjadinya dampak negatif yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup akan menambah beban pada daya dukung sumber daya alam dan daya dukung lingkungan. Jadi di satu sisi terjadi ekonomi dan industri semakin bertumbuh, namun di sisi lain terjadi kemunduran pada daya dukung sumber daya alam dan lingkungan.22 Kemunduran tersebut dapat dihambat atau bahkan diberhentikan dengan melalukan upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui instrument-instrument yang tersedia baik itu melalui pengaturan (regeling) atau penetapan (beschiking).23 Pasal 14 UUPPLH menyebutkan ada beberapa instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yaitu: (1) kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), (2) tata ruang, (3) baku mutu lingkungan hidup, (4) kriteria baku perusakan lingkungan hidup, (5) Amdal, (6) UKL-UPL, (7) perizinan, (8) instrumen ekonomi, (9) peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, (10) anggaran berbasis lingkungan hidup, (11) analisis risiko lingkungan hidup, (12) audit lingkungan hidup. Instrument-instrument tersebut ada yang bersifat makro dan mikro jika dilihat dari luas keberlakuan 20 Ibid, hal. 119 21 NHT Siahaan, Hukum Lingkungan – Edisi Revisi, (Jakarta: Pancuran Alam, 2008), hal.187 22 Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya. (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 129-130 23 NHT Siahaan, Op.Cit, hal. 95 442 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 dari instrument tersebut.24 Selain itu, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 UUPPLH juga merupakan pasal yang mengatur mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang kaitannya dengan penataan ruang. Instrumen ini tidak dikenal dalam UULH 1982 dan UUPLH 1997.25 C. Pemangku Kepentingan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat tetapi juga bagi negara dan perusahaan. Kondisi lingkungan hidup yang terjaga dengan baik bukan merupakan kewajiban negara saja untuk melindungi, memelihara atau mengelolanya tetapi merupakan peran serta dan kewajiban segenap pihak.26 Pemangku kepentingan (stakeholder) lingkungan hidup harus menyadari bahwa keberadaan sumber daya alam dan lingkungan itu terbatas. Setiap individu/orang, kelompok dan masyarakat memiliki kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan hidupnya. Oleh karena itu berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Hak tersebut dijamin oleh negara.27 Hak tersebut erat kaitannya dengan kualitas kehidupan manusia, karena dengan lingkungan yang baik terdapat kehidupan yang baik (in the good environment there is the good life chain).28 Hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai HAM memang tidak secara eksplisit muncul, namun gerakan lingkungan biasanya menarik dasar justifikasi hak atas lingkungan berdasarkan Pasal 28 Deklarasi Universal Human Rights. Oleh karena itu, hak tersebut dilindungi dan dijamin pelaksanaannya. 24 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 85-86 25 Ibid. 26 Supriadi, Op.Cit, hal. 21 27 Lihat Penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 28 NHT Siahaan, “Lingkungan Hidup dalam Ayoman HAM Berada Disimpang Prinsip dan Distribusi Hukum”, Jurnal Pemasyarakatan HAM – Ditjen HAM, Vol. II No. 2, Tahun 2003, hal. 34 443 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... Negara sebagai pihak otoritas yang mempunyai kewenangan dalam menjamin hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Produk dari pemerintah adalah kebijakan. Kebijakan (policy) adalah suatu proses yang terdiri dari serangkaian pembuatan keputusan yang sifatnya berkaitan dengan hal-hal yang lebih luas dan banyak aspek, sehingga sumber kebijakan berasal dari banyak pihak dengan berbagai kepentingan dan kewenangan.29 Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rana lingkungan harus memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku di hukum lingkungan yang bertujuan untuk perlindungan, pelestarian atau pengelolaan lingkungan hidup. Kebijakan yang berorientasikan pada lingkungan menjamin akan hadirnya lingkungan yang baik dan sehat, disamping itu juga memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki masyarakat atau individu sebagai subyek hukum.30 Keberadaan perusahaan sebagai pemangku kepentingan lingkungan hidup tidak lepas dari kepentingannya untuk mempertahankan diri (self defense). Hak atas lingkungan yang baik dan sehat adalah HAM di mana perusahaan berkewajiban untuk menghormati dan tidak melanggarnya. Pelanggaran atas hak atas lingkungan yang baik dan sehat oleh korporasi akan menimbulkan reaksi seperti munculnya protes atau gugatan. Dengan demikian perusahaan melalui kegiatan operasionalnya dapat menjamin hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Kondisi lingkungan yang baik dan sehat menjadi sebuah peringatan bagi perusahaan untuk lebih berhati-hati Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bisa berjalan efektif jika ada kemitraan atau kerjasama antara pemangku kepentingan. Kemitraan tersebut bisa dilakukan dengan saling berbagi bukan saling mengawasi dalam melaksanakan kewajiban perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian baik negara, masyarakat dan perusahaan bisa sama-sama mewujudkan lingkungan yang baik dan sehat. 29 Effendy, Kebijakan, hal. 6 30 Maharani Siti Shopia, “Catatan Ketidakadilan Hukum atas Lingkungan”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 18 Tahun IV, April-Juni 2008, hal. 41 444 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 D. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Secara ekonomi pola berpikir manajemen perusahaan dan aktivitasnya bertujuan pada upaya untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan dan tidak terlalu memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan. Pakar ekonomi, Milton Friedman mengatakan bahwa “tugas utama korporasi memang semata-mata mencetak keuntungan, dan sisi tanggung jawab sosialnya sudah tercakup dalam kewajiban korporasi untuk membayar pajak.”31 Perolehan keuntungan oleh perusahaan merupakan tanggung jawab ekonomi (economic responsibility) yang diemban oleh perusahaan, dan perolehan laba yang semakin optimal akan meningkatkan nilai dari suatu perusahaan32. Perusahaan akan melalukan berbagai macam cara atau usaha untuk dapat memperoleh keuntungan, karena jika perusahaan mempunyai keuntungan yang besar, hal tersebut dapat dijadikan kekuatan untuk memperoleh kekuasaan dalam sektor bisnis, dimana kekuatan tersebut bisa melebihi kekuatan suatu negara, sehingga perusahaan bisa mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dimana kebijakan tersebut berpengaruh besar pada kualitas kehidupan masyarakat. Dengan demikian dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan dari badan publik atau pemerintah kepada perusahaan, jika pemerintah tidak mengawasi perusahaan melalui kebijakan-kebijakannya maka akan timbul ketimpangan dalam kesejahteraan dan jika perusahaan mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang berlebihan maka cenderung akan menjadi sangat rentan dalam menghadapi berbagai macam manipulasi, skandal dan penyimpangan yang menunjukkan sikap tidak bertanggungjawab terutama dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan33, seperti contohnya perusahaan memperlakukan para pekerja dan pegawai secara tidak manusiawi dengan memberikan upah dibawah ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau melakukan pencemaran lingkungan yang sangat merugikan komunitas setempat di mana perusahaan tersebut beroperasi. 31 Sofyan Djalil, “Konteks Teoritis dan Praksis Corporate Social Responsibility”, Jurnal Reformasi Ekonomi, Volume 4 Nomor 1, Januari – Desember 2003, hal. 4 32 Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability, cet.1, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal. 3 33 Jimmy Tanaya, Tanggung Jawab Sosial Korporasi, cet.1, (Jakarta: The Business Watch Indonesia, 2004), hal. 2-9 445 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... Agar perusahaan tidak menyimpang dari jalurnya, maka perlu diberikan batasan-batasan bagi perusahaan. Batasan tersebut berbentuk suatu tanggung jawab yang diembankan pada pundak perusahaan yang berujung pada kesadaran perusahaan untuk tidak menyimpang dari jalurnya. Menurut Herbert Spiro, tanggung jawab berarti penyebab (cause), tugas (obligation), serta tanggung gugat (accountability)34. Sebagai penyebab, tanggung jawab berarti keterlibatan dalam menghasilkan sesuatu. Sebagai tugas, tanggung jawab berarti keharusan menjalankan suatu berkenaan dengan posisi tertentu, dan karenanya berkaitan dengan pengertian tanggung gugat, satu pihak harus bisa mempertanggungjawabkan cara serta hasilnya dalam menjalankan tugas sebagai suatu keharusan atau kewajiban. Tanggung jawab perusahaan merupakan kewajiban perusahaan untuk menjalankan tugasnya untuk menghasilkan sesuatu. Menurut Post, secara simultan dan seimbang suatu perusahaan akan menjalankan 3 (tiga) jenis tanggung jawab yaitu:35 a. Tanggung Jawab Ekonomi (Economic Responsibility) Perusahaan dibentuk dengan tujuan untuk menghasilkan laba secara optimal, dimana para pengelola perusahaan berkewajiban untuk mengelola perusahaan untuk menghasilkan laba, yang nantinya laba tersebut akan dibagikan kepada para pemegang saham dan sebagian laba lainnya merupakan saldo laba yang akan meningkatkan nilai dari suatu perusahaan. b. Tanggung Jawab Hukum (Legal Responsibility) Perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya harus mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana perusahaan tersebut berada. c. Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) Perusahaan bertanggungjawab secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas yang bukan dalam bentuk aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang-undangan. 34 Jalal, Hipokrisi Konsep CSR? Tanggapan Untuk Eddie Riyadi penulis Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM pada harian Kompas tanggal 22 Maret 2007. CSR Review, Jakarta, 26 Maret 2007 35 Ismail Solihin, Op.cit., hal. 3-5 446 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 Dasar falsafah dari TJSL yaitu perusahaan juga memikul tanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan tidak hanya pemerintah, karena suatu perusahaan tidak hidup dalam ruang yang hampa dan terisolasi melainkan hidup di dalam dan tumbuh bersama dalam suatu lingkungan dengan masyarakat, dan hidup perusahaan bergantung kepada masyarakat di mana perusahaan itu hidup, khususnya komunitas setempat dan umumnya masyarakat negara di mana perusahaan berlokasi36. Maka, jika perusahaan yang mengedepankan prinsip moral dan etis dan tidak merugikan kelompok masyarakat maka akan memberikan manfaat yang besar tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi perusahaan. Keharusan perusahaan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat dan lingkungannya bukanlah hal yang baru, namun pada awalnya istilah dari TJSL belum dikenal atau belum dipakai. Sejak dari awal perkembangannya, pelaksanaan kegiatan dari TJSL bersifat kesukarelaan (voluntary) dan kedermawaan (charity). Kedermawaan tersebut lahir dari prinsip charity principle37 dimana para pelaku usaha dari suatu perusahaan melakukan aktivitas pemberian derma, hal ini dipicu dari kesadaran pemimpin perusahaan untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat dikarenakan terjadinya ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat sekitarnya serta kegiatan operasional perusahaan yang telah menimbulkan dampak negatif. Kedermawaan yang dilakukan oleh perusahaan diintepretasikan sama dengan kegiatan filantropi38 seperti suatu aksi sosial atau merupakan bentuk kedermawan atau amal (charity), seperti memberikan sumbangan akibat bencana alam, pemberian beasiswa bagi siswa yang kurang mampu, atau aktivitas-aktivitas lainnya, apabila TJSL diindentifikasikan sebagai corporate filanthropy maka tanggung jawab dari perusahaan tersebut hanya sepanjang 36 Sutan Remy Sjahdeini, “Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 Nomor 3 Tahun 2007, hal. 59-60 37 Ismail Solihin, op.cit, hal. 17-18 38 Kegiatan filantropi: dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesame dan memperjuangkan pemerataan social. Filantropi perusahaan dengan sederhana dapat diartikan sebagai derma perusahaan untuk kemanusiaan. 447 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... kegiatan amal tersebut dilaksanakan, jika kegiatan tersebut berakhir maka berakhir pula tanggung jawab perusahaan tersebut39. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan dunia usaha serta dengan adanya dorongan eksternal tuntutan masyarakat dan dorongan internal perusahaan agar perusahaan lebih peduli terhadap lingkungannya, maka kegiatan philantropy tersebut mulai berkembang dan mengarah pada kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya.40 Kepedulian terhadap lingkungan tersebut menimbulkan pergeseran dalam kegiatan kedermawaan perusahaan yang berbentuk filantropi kearah yang lebih luas yaitu pengembangan komunitas (Community Development) yang dirasakan lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat karena memberikan pengetahuan atau ilmu yang bersifat praktis seperti melakukan pengembangan kerjasama, pemberian ketrampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti-plasma dan sebagainya.41 Di dalam dunia korporasi dikenal dengan adanya teori triple bottom line. Menurut John Elkington dalam bukunya berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”, mengembangkan konsep triple bottom line dengan istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Menurut konsep ini jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya maka harus memperhatikan “3P” yaitu: profit, people dan planet, dimana selain kewajibannya untuk memperoleh keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat penuh pada kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam kelestarian lingkungan (planet)42. Melalui konsep ini perusahaan dituntut untuk tidak hanya bertumpu pada aspek ekonomi tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Konsep TJSL pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik 39 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, cet. 1 (Jakarta: Forum Sahabat, Desember 2008), hal. 20-21 40 A.B.Susanto, Corporate Social Responsibility - A Strategic Management Approach, Cet. 1, (Jakarta: The JakartaConsulting Group, 2007), hal. viii 41 Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, cet. 1 (Gresik: Fascho Publishing, April, 2007), hal. 3-6 42 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, op.cit, hal. 33 448 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 sejak hadirnya tulisan Howard Bowen. Tulisan Bowen tersebut mendominasi pemikiran mengenai TJSL pada periode tahun 1950-1960-an. Tulisannya berjudul: “Social Responsibility of the Businessmen” (1953 - Harper and Row, New York). Konsep TJSL yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Singkatnya, konsep TJSL mengandung makna, perusahaan atau pelaku bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan.43 Tahun 1960-an, konsep TJSL yang telah ada diperkuat lagi di masa itu oleh Keith Davis melalui teorinya yang disebut “Iron Law of Responsibility”. Dalam konsepnya tersebut ia berpendapat bahwa tanggung jawab sosial perusahaan akan sejalan dengan kekuatan sosial yang perusahaan miliki, dan jika perusahaan mengabaikan tanggung jawab sosialnya maka akan merosot kekuatan sosial perusahaaan.44 Gaung TJSL semakin terasa dengan diterbitkannya buku “Silent Spring” karangan Rachel Carson yang membahas pertama kalinya tentang persoalan lingkungan dalam tataran global. Karyanya menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian kian luas. Pemikiran korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam The future Capitalism yang ditulis Lester Thurow tahun 1966. Menurutnya, kapitalisme-yang menjadi mainstream saat itu tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang nantinya disebut sustainable society.45 Di era tahun 1970, TJSL dianggap sebagai isu marjinal tetapi kemudian para pebisnis dan pemimpin pemerintahan menyadari sepenuhnya bahwa mustahil membebankan seluruh pemecahan masalah kemiskinan dan 43 Ismail Solihin, op.cit, hal. 16 44 Ismail Solihin, op.cit, hal. 17 45 Yusuf Wibisono, op.cit. hal. 5 449 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... kerusakan lingkungan dipundak pemerintah, sementara di lain sisi, pihak perusahaan punya kekuatan yang hampir sama dengan pemerintah karena kemampuan ekonominya.46. Pada tahun ini dicatat perkembangan yang penting bagi konsep TJSL ketika para pemimpin perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan para peneliti membentuk Committee for Economic Development (CED) pada tahun 1971 yang membuat laporan dengan judul “Social Responsibilities of Business Corporation”, yang menyatakan bahwa pelaku bisnis dituntut untuk lebih banyak memikul tanggung jawab yang lebih luas kepada masyarakat.47 Selain itu pada tahun 1970 juga ditandai dengan munculnya konsep enlighted self interest yang dilahirkan oleh Wallich dan McGowan yang berupaya menyediakan rekonsiliasi antara tujuan sosial dan ekonomi perusahaan dan juga menegaskan bahwa TJSL akan menjadi konsep yang asing jika tidak berhasil menunjukkan dirinya konsisten dengan kepentingan modal.48 Pada dekade tahun 1980-an ditandai dengan maraknya tema kinerja sosial perusahaan (corporate social performance). Hal ini ditandai dengan munculnya artikel dari Archie Carroll yang berjudul: “A Three dimensional Conceptual Model of Corporate Performance (1979). Dengan artikel ini berkembang keyakinan bahwa hubungan antara kinerja sosial perusahaan dan kinerja finansial tidaklah bersifat trade off, tetapi keduanya bisa berjalan beriringan menuju “total social responsibility of business”, yang didalamnya terkandung 4 (empat) tanggung jawab yaitu: tanggung jawab ekonomi, hukum, etis dan diskresionari.49 Perusahaan yang baik diharapkan menghasilkan keuntungan, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, berperilaku etis dalam menjalankan praktek bisnis, dan memberikan keuntungan kepada masyarakat melalui kontribusi-kontribusinya. 46 Eddie Riyadi, Tanggung Jawab Bisnis Terhadap Ham, http://www.elsam.or.id, diunduh tanggal 16 Januari 2008. Sebagaimana dikutip dari Edi Syahputra, Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Masyarakat Lingkungan PTPN IV – (Studi Pada Unit Kebun Dolok ILIR – Kabupaten Simalungun, (Medan: USU, 2008), hal. 15 47 Ismail Solihin, op.cit, hal. 20-21 48 CSR Indonesia, Sejarah dan Masa Depan CSR Menurut Min-Dong Paul Lee, <http:// www.csrindonesia.com>, diakses tanggal 1 Januari 2011 49 CSR Indonesia, Ibid. 450 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 Memasuki periode tahun 1990-an, konsep TJSL dikaitkan dengan teori pemangku kepentingan yang dipopulerkan oleh Edward Freeman. Teori tersebut menegaskan bahwa semakin banyak pemangku kepentingan dalam perusahaan dipuaskan maka perusahaan kemungkinan akan semakin sukses. Teori ini sangat bermanfaat untuk perkembangan TJSL karena TJSL semakin bersifat positif dan manajerial, yang pada perkembangan selanjutnya TJSL mulai dipengaruhi oleh kalangan praktisi bisnis yang akhirnya TJSL menjadi sebuah tradisi baru dalam dunia usaha di banyak negara di dunia.50 Di Indonesia kegiatan TJSL berkembang secara positif seiring dengan perkembangan demokrasi, masyarakat yang semakin kritis, globalisasi dan era pasar bebas. Namun diakui baru sebagian kecil perusahaan yang menerapkan TJSL sebagaimana hasil survey yang dilakukan Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukan bahwa 166 atau 44,25% perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan TJSL, 209 atau 55,75% menyatakan melakukan kegiatan TJSL dalam bentuk kegiatan sebagai berikut: kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan) ,sumbangan kepada lembaga agama (50 perusahaan), sumbangan kepada lembaga sosial (39 perusahaan), danpengembangan komunitas (4 perusahaan). Hasil survey juga menyebutkan bahwa TJSL yang dilakukan perusahaan sangat bergantung pada keinginan pihak manajemen.51 Implementasi TJSL di Indonesia memang belum seperti yang diharapkan, meski beberapa undang-undang (UU) telah mengatur kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, seperti UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. CSR ramai diperdebatkan oleh khususnya para praktisi bisnis dan pemerhati lingkungan di Indonesia ketika Rancangan Undang- Undang tentang Perseroan Terbatas (RUU PT) dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. 50 Ibid, hal. 4 51 Dalam Sukarmi, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate SosialResponsibility) dan Iklim Penanaman Modal di Indonesia, http://www.legalitas.org, diakses tanggal 22 Desember 2010. 451 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... Pro kontra terhadap pengaturan TJSL pada prinsipnya lebih pada upaya perlindungan kepentingan masing-masing pihak. Pada satu sisi pembentuk undang-undang berargumen bahwa TJSL wajib dilakukan oleh perusahaan yang menggunakan sumber daya alam, mengingat dampak sosial dan lingkungan atas operasional perusahaan sangat besar. Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia seperti pencemaran di Teluk Buyat menjadi dasar penguat bagi pembentuk undang-undang untuk mengatur TJSL dalam UU tentang Perseroan Terbatas. Pada sisi lain kalangan pengusaha, khususnya yang tergabung dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berpendapat masalah TJSL merupakan tindakan perusahaan yang bersifat suka rela dan jika diatur dalam UU, terlebih menjadi kewajiban perusahaan, dikhawatirkan akan membebani perusahaan dan menghambat investasi di Indonesia.52 Melalui perdebatan panjang, akhirnya DPR RI dan Pemerintah menyepakati pengaturan TJSL dalam UndangUndang tentang Perseroan Terbatas yang baru sebagai pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Peletakan kewajiban melaksanakan TJSL bagi perseroan yang bergerak di bidang sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) membawa konsekuensi hukum bagi perusahaan dan pemerintah. Bagi perusahaan yang bersangkutan pelaksanaan TJSL menjadi keharusan yang tidak terelakan. Sedangkan bagi pemerintah ada kewajiban menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan lebih lanjut dari tanggung Jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 74 UU PT. E. Kesimpulan Upaya pengelolaan lingkungan hidup bukanlah merupakan tanggung jawab negara semata, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat dan perusahaan. Upaya tersebut bertujuan untuk melestarikan fungsi 52 Corporate Social Responsibility, Kewajiban Sukarela yang Wajib Diatur, http://www. hukumonline.com, diakses tanggal 22 Desember 2010 452 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 lingkungan hidup dan kualitas daya dukung lingkungan hidup agar tetap dapat dipertahankan guna mendukung pemenuhan kebutuhan manusia dan masyarakat. Bentuk dari upaya pengelolaan lingkungan hidup dapat berupa peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sifat keberlakukannya ada yang wajib atau sukarela. Upaya pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah dapat diperkuat oleh dukungan dari perusahaan yang juga melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang berlaku di internal perusahaannya. UUPPLH telah mengatur dan menetapkan instrument pengelolaan lingkungan hidup secara baik, terpadu dan menyeluruh, dimana pengaturannya tidak hanya pada tingkat kegiatan usaha tetapi juga pada tingkat kebijakan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Kesemua instrument tersebut merupakan upaya untuk mencegah dan mengantisipasi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah salah satu bentuk dari instrument pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat wajib. Kewajiban ini bukanlah merupakan beban tambahan bagi perusahaan, melainkan suatu upaya untuk menyadarkan lebih lagi bagi perusahaan akan pentingnya memperhatikan kondisi masyarakat dan lingkungan yang terkena dampak akibat kegiatan usaha perusahaan. Disamping itu, pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan hidup ke tingkat yang lebih baik, sehingga pada akhirnya lingkungan hidup tetap mampu mendukung manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Daftar Pustaka Buku Ambadar, Jackie, CSR dalam Praktik di Indonesia, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008 453 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... Bethan, Syamsuharya, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, Bandung: Alumni, 2008 Erwin, Muhammad, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama, 2008 Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002 Husein, Harum M., Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan, dan Penegakan Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara, 1993 Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Pratama, Yeremia Ardi dan Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, Jakarta: Forum Sahabat, 2008 Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2001 Siahaan, NHT, Hukum Lingkungan Cetakan 1, Jakarta: Pancuran Alam, 2006 ------------------. Hukum Lingkungan Edisi Revisi, Jakarta: Pancuran Alam, 2008 Soedarso, Bambang Prabowo, Hukum Lingkungan dalam Pembangunan Terlanjutkan (Bunga Rampai), Jakarta: Cintya Press, 2008 Solihin, Ismail, Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability, Jakarta: Salemba Empat, 2009 Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Susanto, A.B., Corporate Social Responsibility – A Strategic Management Approach, Jakarta: The Jakarta Consulting Group, 2007 454 Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012 Tanaya, Jimmy, Tanggung Jawab Sosial Korporasi, Jakarta: The Business Watch Indonesia, 2004 Untung, Hendrik Budi. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Wibisono, Yusuf, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, Gresik: Fascho Publishing, 2007 Artikel dan Karya Ilmiah Djalil, Sofyan. “Konteks Teoritis dan Praksis Corporate Social Responsibility”, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 4 Nomor 1 Januari – Desember 2003 Jalal, “Hipokrisi Konsep CRS? Tanggapan Untuk Eddie Riyadi Penulis Tanggung Jawab Bisnis Terhadap HAM”, Kompas, 22 Maret 2007 Lumbuun, Gayus. “Telaah Hukum Atas Ketentuan Corporate Social Responsibility dalam UUPT”, Jurnal Hukum Supremasi Vol. 1 Oktober 2007-Maret 2008 Sjahdeini, Sutan Remy. ”Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 26 No. 3 – Tahun 2007 Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 455 Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat... Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: 42/ MENLH/11/1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan dan Lampirannya. Media Internet Corporate Social Responsibilty, “Kewajiban Sukarela Yang Wajib Diatur”, http://hukumonline.com, diakses tanggal 22 Desember 2010 Corporate Social Responsibilty Indonesia, “Sejarah dan Masa Depan CSR Menurut Min-Dong Paul Lee”, http://www.csrindonesia.com, diakses tanggal 1 Januari 2011 Riyadi, Eddie, “Tanggung Jawab Bisnis Terhadap Ham”, http://www.elsam. or.id, diakses tanggal 16 Januari 2008. Sukarmi, Dalam, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate SosialResponsibility) dan Iklim Penanaman Modal di Indonesia”, http://www.legalitas.org, diakses tanggal 22 Desember 2010 456