IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis

advertisement
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Deskriptif
4.1.1. Gambaran Umum Laju Inflasi di Indonesia
Laju inflasi tahunan Indonesia selama kurun waktu 2000 hingga 2011
masih menunjukkan fluktuasi seperti pada Gambar 4.1. Rata-rata inflasi tahun
2000-2011 sebesar 8,19 persen. Nilai tertinggi inflasi tahunan terjadi pada tahun
2005 yaitu sebesar 17,11 persen. Hal ini disebabkan oleh peningkatan harga
minyak dunia yang diikuti oleh pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah
dengan menaikkan harga BBM sebanyak dua kali. Kenaikan harga BBM terjadi
pada 1 Maret 2005 dari Rp 1.800 menjadi Rp 2.400 dan pada 1 Oktober 2005 dari
Rp 2.400 menjadi 4.500. Sedangkan, nilai terendah inflasi tahunan terjadi pada
tahun 2009 sebesar 2,78 persen. Pada awal tahun 2009 pemerintah menurunkan
harga BBM dari Rp 5.000 menjadi Rp 4.500.
PERSEN
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
17.11
12.55
9.35
11.06
10.03
5.06
6.4
6.6
6.96
6.59
2.78
3.79
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Gambar 4.1. Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun 2000-2011
Sumber: OECD.Stat (diolah)
38
4.1.2. Gambaran Umum Nilai Tukar Rupiah di Indonesia
Pada tahun 2000 nilai tukar rupiah dibuka dengan nilai Rp 7.425 per US
Dolar. Pada awal tahun 2000 tersebut merupakan kondisi nilai tukar terkuat pada
periode 2000-2011. Namun, sepanjang tahun 2000 nilai tukar rupiah
menunjukkan nilai yang semakin terdepresiasi akibat perkembangan politik dan
keamanan menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2000.
Pada periode 2000-2011, kondisi nilai tukar rupiah terlemah terjadi pada
November 2008 sebesar Rp 12.151 per US Dolar. Kuatnya tekanan terhadap nilai
tukar rupiah ini disebabkan oleh dampak negatif dari krisis finansial global yang
membuat para investor asing menarik dananya dari Indonesia. Terjadinya capital
outflow menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi. Rata-rata nilai tukar rupiah
pada tahun 2000-2011 yaitu Rp 9303 per US Dolar.
RUPIAH
Rp 12.151/ US$
14000
12000
10000
8000
6000
Rp 7.425/ US$
4000
2000
Apr-11
Jul-10
Oct-09
Jan-09
Apr-08
Jul-07
Oct-06
Jan-06
Apr-05
Jul-04
Oct-03
Jan-03
Jul-01
Apr-02
Oct-00
Jan-00
0
Gambar 4.2. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Tahun 2000-2011
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.3. Gambaran Umum Harga Minyak Dunia
Pada periode 2000-2011 harga minyak dunia cenderung mengalami
peningkatan. Rata-rata harga minyak dunia tahun 2000-2011 yaitu 57,10 US
Dolar per barel. Harga minyak dunia terendah periode 2000-2011 terjadi pada
39
Desember 2001 sebesar 19,39 US Dolar per barel. Harga minyak dunia tertinggi
periode 2000-2011 terjadi pada Juni 2008 sebesar 133,88 US Dolar per barel.
160$ / barel
US
133,88 US$/barel
140
120
100
80
60
19,39 US$/barel
40
20
May-11
Sep-10
Jan-10
May-09
Sep-08
Jan-08
May-07
Sep-06
Jan-06
May-05
Sep-04
Jan-04
May-03
Sep-02
Jan-02
May-01
Sep-00
Jan-00
0
Gambar 4.3. Harga Minyak Dunia Tahun 2000-2011
Sumber: EIA (diolah)
4.1.4. Gambaran Umum Harga Pangan Dunia
Pada periode 2000-2011 indeks harga pangan dunia cenderung mengalami
peningkatan. Rata-rata indeks harga pangan dunia tahun 2000-2011 yaitu 152,73.
Indeks harga pangan dunia terendah periode 2000-2011 terjadi pada Mei 2002
sebesar 94,30. Indeks harga pangan dunia tertinggi periode 2000-2011 terjadi
pada Februari 2011 sebesar 263,31.
300
INDEKS
263,31
248,34
250
200
150
100
94,30
50
Gambar 4.4. Indeks Harga Pangan Dunia Tahun 2000-2011
Sumber: FAO (diolah)
Sep-11
Feb-11
Jul-10
Dec-09
May-09
Oct-08
Mar-08
Aug-07
Jan-07
Jun-06
Nov-05
Apr-05
Sep-04
Feb-04
Jul-03
Dec-02
May-02
Oct-01
Mar-01
Jan-00
Aug-00
0
40
4.1.5. Gambaran Umum Jumlah Uang Beredar
Pada tahun 2000-2011 rata-rata jumlah uang beredar Indonesia sebesar Rp
1.507.094 miliar. Pada tahun 2000 hingga tahun 2011 jumlah uang beredar selalu
meningkat. Jumlah uang beredar tahun 2000 sebesar Rp 747.028 miliar. Jumlah
uang beredar tahun 2011 sebesar Rp 2.877.220 miliar. Rata-rata pertumbuhan
uang beredar Indonesia pada tahun 2000-2011 sebesar 13,32 persen. Pertumbuhan
uang beredar terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 4,72 persen. Pertumbuhan
uang beredar tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 19,32 persen.
Tabel 4.1. Jumlah Uang Beredar Indonesia Tahun 2000-2011
Tahun
Jumlah Uang Beredar (Miliar Rupiah)
2000
747.028
844.053
2001
883.908
2002
955.692
2003
1.033.877
2004
1.202.762
2005
1.382.493
2006
1.649.662
2007
1.895.839
2008
2.141.384
2009
2.471.206
2010
2.877.220
2011
Rata-rata
1.507.094
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
Pertumbuhan (persen)
15,6
13
4,72
8,12
8,18
16,33
14,94
19,32
14,92
12,95
15,40
16,42
13,32
4.1.6. Gambaran Umum PDB
Pada tahun 2000-2011 rata-rata PDB Indonesia sebesar Rp 1.847.477
miliar. Pada tahun 2000 hingga tahun 2011 nilai PDB selalu meningkat. PDB
tahun 2000 sebesar Rp 1.323.940,2 miliar. PDB tahun 2011 sebesar Rp. 2.463.242
miliar. Peningkatan PDB setiap tahunnya dapat digunakan untuk melihat
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia
41
pada tahun 2000-2011 sebesar 5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi terendah terjadi
pada tahun 2001 sebesar 3,6 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada
tahun 2011 sebesar 6,5 persen.
Tabel 4.2. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2000-2011
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-rata
PDB (Miliar Rupiah)
1.389.769,9
1.440.405,7
1.505.216,4
1.577.171,3
1.656.516,8
1.750.815,2
1.847.126,7
1.964.327,3
2.082.456,1
2.178.850,4
2.313.838
2.463.242
1.847.477
Pertumbuhan (persen)
4,9
3,6
4,4
4,7
5,1
5,6
5,5
6,4
6
4,6
6,1
6,5
5,2
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.7. Gambaran Umum Suku Bunga
Bank
Indonesia
menggunakan
instrumen
suku
bunga
dalam
mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 2000-2001, suku bunga mengalami
peningkatan hingga mencapai nilai tertinggi sebesar 17,67 persen pada Agustus
2001. Peningkatan suku bunga ini dilakukan guna menekan laju inflasi di akhir
tahun 2000 yang mencapai 9,35 persen. Pada tahun 2002-2003 suku bunga
cenderung menurun. Pada tahun 2004 hingga pertengahan tahun 2005 suku bunga
cenderung stabil pada kisaran 7 persen. Namun, pada akhir 2005 hingga tahun
2006 suku bunga kembali meningkat mencapai 12,75 persen. Hal ini dilakukan
guna menekan laju inflasi yang tinggi akibat kenaikan harga BBM. Pada tahun
2008 suku bunga kembali meningkat pada kisaran 8 persen untuk menekan laju
42
inflasi yang tinggi akibat krisis 2008. Pada tahun 2009-2011 suku bunga
cenderung stabil pada kisaran 6 persen. Suku bunga terendah terjadi pada April
2010 sebesar 6,2 persen. Rata-rata suku bunga pada tahun 2000-2011 sebesar
10,03 persen.
PERSEN
17,67
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Sep-11
Feb-11
Jul-10
Dec-09
May-09
Oct-08
Mar-08
Aug-07
Jan-07
Jun-06
Apr-05
Nov-05
Sep-04
Feb-04
Jul-03
Dec-02
May-02
Oct-01
Mar-01
Aug-00
Jan-00
6,2
Gambar 4.5. Suku Bunga Indonesia Tahun 2000-2011
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.8. Gambaran Umum Pengeluaran Pemerintah
Pada tahun 2000-2011 rata-rata pengeluaran pemerintah Indonesia sebesar
Rp 145.504,7 miliar. Pada tahun 2000 hingga tahun 2011 pengeluaran pemerintah selalu
mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 pengeluaran pemerintah Indonesia sebesar Rp
90.780 miliar. Pada tahun 2011 pengeluaran pemerintah Indonesia sebesar Rp 202.612
miliar. Kenaikan pengeluaran pemerintah tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 15,7
persen. Kenaikan pengeluaran pemerintah terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 0,3
persen. Rata-rata kenaikan pengeluaran pemerintah Indonesia tahun 2000-2011 sebesar
7,56 persen.
43
Tabel 4.3 Konsumsi Pengeluaran Pemerintah Indonesia Tahun 2000-2011
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-rata
Pengeluaran Pemerintah
(Miliar Rupiah)
90.780
97.646
110.334
121.404
126.249
134.626
147.564
153.310
169.297
195.835
196.399
202.612
145.504,7
Pertumbuhan (persen)
6,5
7,5
13
10
4
6,6
9,6
4
10,4
15,7
0,3
3,2
7,56
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.9
Gambaran Umum Inflation Targeting Framework (ITF)
Berlakunya Undang-Undang Nomer 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral
mengenai tujuan Bank Indonesia yang memiliki fokus pada pencapaian dan pemeliharaan
kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari inflasi dan nilai tukar. Awalnya untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dilakukan dengan pengendalian uang
beredar. Namun, beberapa studi BI menyimpulkan strategi kebijakan moneter dengan
pengendalian uang beredar semakin sulit diandalkan. Sehingga, sejak Juli 2005 Bank
Indonesia menerapkan Inflation Targeting Framewok (ITF) di Indonesia. ITF adalah
kerangka kebijakan moneter yang ditandai oleh pemberitahuan kepada masyarakat
mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu, dimana
suku bunga BI rate dijadikan instrumen untuk mencapai dan mengendalikan laju
inflasi yang rendah dan stabil.
Adapun tiga konsep dasar kebijakan moneter dengan kerangka ITF yaitu
forward looking, transparansi, serta akuntabilitas dan kredibilitas. Forward
looking berarti Bank Indonesia bersifat antisipatif dengan memperkirakan
44
pergerakan inflasi ke depan dan memprediksi lag dari pengaruh kebijakan
moneter. Transparansi berarti menunjukkan komitmen Bank Indonesia dalam
mengendalikan inflasi dengan mempublikasikan arah kebijakan moneter kepada
masyarakat/pelaku ekonomi. Dengan adanya publikasi tersebut, maka diharapkan
masyarakat/pelaku ekonomi akan membentuk ekspektasinya sesuai dengan arah
kebijakan moneter yang telah dibuat. Akuntabilitas merupakan tanggung jawab
dari Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Bank Indonesia akan
memberikan laporan mengenai ukuran keberhasilan Bank Indonesia dalam
mencapai target inflasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Akuntabilitas ini pada
akhirnya akan mempengaruhi kredibilitas dari Bank Indonesia dalam menjalakan
tugasnya untuk mengendalikan inflasi.
4.2.
Analisis Ekonometrika
4.2.1.
Uji Pra Estimasi
4.2.1.1. Pengujian Akar-Akar Unit (Unit Root Test)
Sebelum melakukan analisis lebih lanjut, perlu dilakukan uji stasioneritas
terlebih dahulu terhadap data yang digunakan. Tujuan dari uji stasioneritas yaitu
untuk menghindari timbulnya regresi lancung (spurious regression). Selain itu,
data yang tidak stasioner dapat mengakibatkan kurang baiknya model yang di
estimasi (Nachrowi, 2006). Dalam penelitian ini, uji stasioneritas yang digunakan
adalah uji akar unit (Unit Roots Test) dengan menggunakan metode Augmented
Dickey Fuller Test (ADF Test).
Pengujian akar unit data yang dilakukan terhadap seluruh variabel dalam
model penelitian, didasarkan pada Augmented Dickey Fuller test (ADF).
Perhitungannya menggunakan bantuan komputer program Eviews 6.0. Hasil
pengujian dapat dilihat pada tabel berikut :
45
Tabel 4.4. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level.
Variabel
INFLASI
LN_KURS
LN_OILPRICE
LN_FPI
M2GROWTH
LN_PDB
SB
LN_G
DUMMY
ADF
statistik
-9.94284
-3.98827
-3.04007
-1.21062
-2.26318
-2.59945
-1.45073
-0.29323
-1.08076
Nilai Kritis Mc.Kinnon
1 persen
5 persen
10 persen
-3.47647
-2.88169 -2.57759
-3.47681
-2.88183 -2.57767
-4.02398
-3.44178 -3.14547
-3.47714
-2.88198
-2.57775
-3.48043
-2.88341 -2.57851
-4.02849
-3.44396 -3.14676
-3.47681
-2.88183 -2.57767
-3.48004
-2.88324 -2.57842
-3.47647
-2.88168 -2.57759
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak stasioner
Tidak stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Hasil uji akar unit pada tingkat level menunjukkan bahwa hanya variabel
INFLASI dan LN_KURS yang stasioner. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai ADF
statistik yang lebih kecil dari nilai kritis Mc.Kinnon. Variabel LN_KURS
stasioner pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Variabel INFLASI stasioner
pada taraf nyata 5 persen. Sedangkan, variabel lainnya tidak stasioner pada tingkat
level, baik pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Oleh karena itu, pengujian
unit root dilanjutkan pada first differences dikarenakan pada level masih
mengandung akar unit. Dengan mendeferensiasikan masing-masing data hingga
menjadi stasioner. Berdasarkan uji tingkat first differences diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 4.5. Hasil Pengujian Akar Unit pada first differences
Variabel
INFLASI
LN_KURS
LN_OILPRICE
LN_FPI
M2GROWTH
LN_PDB
SB
LN_G
DUMMY
ADF statistik
-8.87809
-10.34520
-9.14114
-6.29091
-8.67219
-5.78284
-5.27523
-5.33953
-11.91638
Nilai Kritis Mc.Kinnon
1 persen
5 persen
10 persen
-3.47855
-2.88259
-2.57807
-3.47681
-2.88183
-2.57767
-4.02398
-3.44178
-3.14547
-3.47681
-2.88183
-2.57767
-3.48043
-2.88341
-2.57851
-4.02849
-3.44396
-3.14676
-3.47681
-2.88183
-2.57767
-3.48004
-2.88324
-2.57842
-3.47681
-2.88183
-2.57767
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
46
Pada pengujian dalam bentuk first differences (Tabel 4.5), semua variabel
yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai ADF statistik lebih kecil dari
nilai kritis Mc.Kinnon pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Seluruh
variabel telah stasioner pada first differences. Dengan demikian, dapat dijelaskan
bahwa seluruh variabel yang diestimasi dalam penelitian ini telah stasioner pada
derajat yang sama, yaitu pada derajat integrasi satu I(1).
4.2.1.2. Uji Lag Optimal
Penentuan lag dalam sebuah sistem VAR merupakan hal yang penting.
Disamping berguna untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel
terhadap variabel lainnya, penentuan lag optimal juga berguna untuk
menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR. Pengujian lag
optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria AIC, SC dan HQ. Adapun
hasil uji lag optimal dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 4.6. Hasil Uji Lag Optimal
Lag
0
1
2
3
4
5
6
7
8
AIC
3.726440
-14.48329
-15.39417
-15.45857
-17.33566
-17.62604
-17.49661
-17.88601
-18.07207*
SC
3.919189
-12.55580*
-11.73193
-10.06159
-10.20394
-8.759576
-6.895403
-5.55006
-4.00138
HQ
3.804768
-13.70001
-13.90593
-13.26537
-14.43751*
-14.02293
-13.18855
-12.87299
-12.3541
Catatan: tanda asterik (*) menunjukkan kandidat selang yang dipilih
Penentuan lag optimal didasarkan adanya tanda asterik (*) pada nilai
AIC, SC dan HQ. Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 8 lag (bulan), lag yang
terdapat tanda * terdapat pada lag ke 8 pada AIC, lag ke 1 pada SC dan lag 4 pada
HQ. Kemudian masing-masing kandidat lag diuji untuk mendapatkan nilai
47
adjusted R2 terbesar. Dari uji coba yang telah dilakukan, maka kandidat lag yang
dipilih adalah lag 1.
4.2.1.3. Hasil Estimasi VAR
Uji lag optimal telah dilakukan, selanjutnya dapat ditulis persamaan umum
model VAR dari inflasi. Model ini nantinya akan digunakan untuk melihat
stabilitas modelnya, sehingga dapat dilakukan langkah selanjutnya, yaitu estimasi
dengan menggunakan model VECM dikarenakan data yang tersedia tidak
stasioner pada first different. Model VAR dituliskan sebagai berikut:
INFLASI t = ∑1𝑖=1 𝛼 LN_KURS
t-1
+ ∑1𝑖=1 𝛽 LN_OILPRICE t-1 + ∑1𝑖=1 𝛾 LN_FPI t-1
+ ∑1𝑖=1 𝜃 M2GROWTH t-1 + ∑1𝑖=1 𝜓 LN_PDB t-1 + ∑1𝑖=1 𝜔 SB t-1 +
∑1𝑖=1 𝛿 LN_G t-1 + ∑1𝑖=1 𝛺 DUMMY
t-1
+ ∑1𝑖=1 𝜌 INFLASI t-1 + ε t
(5.1)
Dimana:
INFLASI
LN_KURS
LN_OILPRICE
LN_FPI
M2GROWTH
LN_PDB
SB
LN_G
DUMMY
: Inflasi
: Logaritma natural dari data nilai tukar
: Logaritma natural dari data harga minyak dunia
: Logaritma natural dari data indeks harga pangan dunia
: Pertumbuhan uang beredar
: Logaritma natural dari data PDB
: Suku Bunga
:Logaritma natural dari data konsumsi pengeluaran
pemerintah
: Dummy Inflation Targeting Framework
4.2.1.4. Uji Stabilitas VAR
Langkah berikutnya adalah menguji stabilitas VAR atau VAR stability
condition check. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari
fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Jika
48
semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika
nilai absolutnya kurang dari 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil.
Tabel 4.7. Hasil Uji Stabilitas VAR
Root
0.998355
Modulus
0.998355
0.946785 - 0.072246i
0.949538
0.946785 + 0.072246i
0.881473 - 0.034562i
0.949538
0.882150
0.881473 + 0.034562i
0.882150
0.776053 - 0.162206i
0.792824
0.776053 + 0.162206i
0.792824
-0.046103 - 0.165155i
0.171469
-0.046103 + 0.165155i
0.171469
Berdasarkan Tabel 4.7, seluruh variabel memiliki modulus lebih kecil dari
satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem VAR stabil. Sehingga
peramalan menggunakan IRF (Impulse Response Function) dan FEVD (Forecast
Error Variance Decompotition) yang akan dihasilkan dianggap valid.
Selanjutnya, mengingat hasil pengujian kestasioneran data didapatkan
hasil bahwa tidak semua data stasioner di tingkat level, maka diperlukan uji
kointegrasi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan data deret waktu
menggunakan estimasi VAR first differences atau dengan VECM.
4.2.1.5. Uji Kointegrasi
Berdasarkan hasil pengujian kestasioneran data menunjukkan bahwa tidak
semua data stasioner di tingkat level. Data yang stasioner pada first differences
kemungkinan besar menggunakan VAR first difference atau VECM. Oleh karena
itu, perlu dilakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi
hubungan jangka panjang antar variabel. Uji ini dilakukan dengan menggunakan
Johansen Trace Statistic test.
49
Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi dan untuk
menentukan pilihan trend yang akan dipakai bisa dilihat dari hasil summary, serta
pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Berdasarkan hasil summary dapat
dilihat bahwa deterministic trend yang tersedia untuk pilihan ini adalah no
intercept or trend (1) yang didasarkan pada adanya tanda bintang pada uji
kointegrasi tersebut. Sehingga, untuk penelitian ini akan digunakan pilihan trend
yang model 1 yaitu no intercept or trend.
Setelah mengetahui pilihan trend yang akan digunakan dan lag optimal
yang akan dipakai, selanjutnya akan dilakukan kointegrasi. Hasil uji tersebut
disajikan dalam tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hasil Uji Kointegrasi (Johansen Trace Statistic test)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05 Critical
Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
At most 7
At most 8
0.586665
0.488002
0.342544
0.162245
0.118310
0.093634
0.067860
0.048978
0.002096
354.4541
228.9975
133.9377
74.38611
49.24800
31.36802
17.40768
7.428984
0.297970
179.5098
143.6691
111.7805
83.93712
60.06141
40.17493
24.27596
12.32090
4.129906
0.0000
0.0000
0.0009
0.2013
0.2908
0.2871
0.2859
0.2844
0.6466
Catatan: tanda asterik (*) menunjukkan adanya kointegrasi pada taraf nyata 5 persen
Hasil uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen Trace Statistic test
menunjukkan bahwa, pada pengujian menggunakan model no intercept no trend
dan lag optimal 1 terdapat tiga persamaan kointegrasi pada taraf 5 persen.
Artinya, terdapat tiga persamaan linear jangka panjang yang dikandung oleh
model. Hal ini diperoleh dengan, membandingkan estimasi Trace Statistic
terhadap nilai kritisnya (critical value), dimana dalam taraf 5 persen ada tiga
persamaan yang nilai critical value lebih kecil dibandingkan dengan Trace
50
Statisticnya. Dengan adanya kointegrasi, hasil estimasi selanjutnya menggunakan
model VECM.
4.2.2. Hasil Estimasi VECM
Setelah diketahui bahwa data yang tidak stasioner tetapi memiliki
hubungan kointegrasi, maka metode yang digunakan adalah VECM. Estimasi
VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) atas
ketidakstabilan hubungan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang.
Berikut adalah hasil estimasi VECM:
Tabel 4.9. Hasil Estimasi VECM
Variabel
[ 1.06200]
[ 0.20518]
[-0.10802]
[ 1.46154]
[-0.70478]
[-0.43874]
[ 1.35337]
[-0.56110]
[-0.43649]
[-8.12627]*
[ 4.19799]*
[ 4.00771]*
LN_FPI(-1)
Koefisien
Jangka Pendek
0.097996
0.424997
-0.095698
4.029277
-0.036771
-3.290634
0.268580
-0.412292
-0.360918
-1.044154
0.772991
0.572028
Jangka Panjang
0.260197
M2GROWTH(-1)
LN_PDB(-1)
SB(-1)
LN_G(-1)
DUMMY(-1)
0.722344
-2.066609
-0.000783
2.377529
-0.835714
[ 5.75683]*
[-2.43034]*
[-0.01754]
[ 2.47665]*
[-2.19615]*
D(INFLASI(-1))
D(LN_KURS(-1))
D(LN_OILPRICE(-1))
D(LN_FPI(-1))
D(M2GROWTH(-1))
D(LN_PDB(-1))
D(SB(-1))
D(LN_G(-1))
D(DUMMY(-1))
CointEq1
CointEq2
CointEq3
T-statistik
[ 0.30798]
Catatan: tanda asterik (*) menunjukkan signifikansi berdasarkan tabel T-statistik pada taraf nyata
5 persen, dimana n>30 dikatakan signifikan jika nilai T-statistik > |1,96|.
51
Tabel diatas merupakan rangkuman hasil analisis VECM untuk melihat
pengaruh dan signifikansi variabel dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada
jangka pendek, inflasi periode sebelumnya, nilai tukar, harga pangan dunia, dan
suku bunga berpengaruh positif, namun tidak signifikan. Sedangkan harga minyak
dunia, uang beredar, PDB, dan pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan
tidak signifikan dalam jangka pendek.
Terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi
pertama (INFLASI) yang secara statistik signifikan. Tanda negatif pada koefisien
menunjukkan nilai dugaan parameter koreksi kesalahan tersebut mampu
melakukan koreksi pada persamaan inflasi dari ketidakseimbangan jangka pendek
menuju keseimbangan jangka panjang. Sehingga, dapat diketahui pengaruh inflasi
periode sebelumnya terhadap inflasi dalam jangka panjang. Inflasi periode
sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi dalam jangka
panjang. Hal ini sesuai teori Kurva Phillips dimana salah satu yang mempengaruhi
inflasi adalah inflasi periode sebelumnya. Ketika terjadi kenaikan pada inflasi saat
ini, maka masyarakat membentuk ekspektasinya bahwa inflasi bulan selanjutnya
akan meningkat. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Susanto (2005) yang
menyatakan bahwa ekspektasi inflasi berpengaruh positif pada inflasi.
Selain itu, terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan
kointegrasi kedua (LN_KURS) dan ketiga (LN_OILPRICE) yang secara statistik
signifikan. Sehingga, dapat diketahui pengaruh nilai tukar dan harga minyak dunia
terhadap inflasi dalam jangka panjang. Pada jangka panjang, nilai tukar
berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi. Hal ini sesuai dengan teori
dimana ketika terjadi depresiasi nilai tukar, maka harga barang impor akan
52
meningkat. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan pada struktur biaya (cost)
sehingga mendorong terjadinya kenaikan harga barang domestik. Pada jangka
panjang, harga minyak dunia juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap
inflasi. Hal ini sesuai dengan teori mark-up. Ketika terjadi kenaikan harga minyak
dunia maka perusahaan akan menaikan mark-up sehingga harga akan naik.
Peningkatan harga minyak akan menyebabkan peningkatan biaya produksi dan
mendorong perusahaan untuk meningkatan harga.
Variabel harga pangan dunia (LN_FPI) berpengaruh positif, namun tidak
signifikan dalam jangka panjang. Pengaruh positif ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Braun (2008) yang menyatakan bahwa pola kenaikan harga
pangan dunia diikuti oleh kenaikan pangan domestik. Pada negara berkembang,
kenaikan harga pada pangan dapat menimbulkan inflasi karena rata-rata konsumsi
pangan menempati porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat.
Variabel pertumbuhan uang beredar (M2GROWTH) berpengaruh positif
dan signifikan dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan teori kuantitas uang.
Ketika terjadi kenaikan uang beredar, maka tingkat suku bunga akan menurun.
Menurunnya suku bunga ini dapat meningkatkan konsumsi dan investasi yang
dapat meningkatkan permintaan agregat. Meningkatnya permintaan agregat dapat
meningkatkan harga sehingga terjadi inflasi.
Variabel PDB (LN_PDB) berpengaruh negatif dan signifikan dalam
jangka panjang. Hal ini tidak sesuai dengan teori. Namun, dapat dijelaskan bahwa
meningkatnya PDB berarti meningkatnya produksi barang/jasa di suatu negara.
Peningkatan produksi dapat meningkatkan supply sehingga dapat menurunkan
harga.
53
Variabel suku bunga (SB) berpengaruh negatif dan signifikan dalam
jangka panjang. Hal ini sesuai dengan teori bahwa suku bunga berpengaruh
negatif terhadap inflasi. Suku bunga merupakan instrumen kebijakan moneter
ketika inflasi tidak sesuai dengan target yang ditetapkan. Ketika inflasi ke
depannya diperkirakan berada diatas target inflasi yang telah ditetapkan, maka
Bank Indonesia akan meningkatkan suku bunga. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat dan diharapkan dapat
menurunkan inflasi sehingga sesuai dengan target yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Variabel pengeluaran pemerintah (LN_G) berpengaruh positif dan
signifikan dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pengeluaran
pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi. Penurunan konsumsi pengeluaran
pemerintah dapat menurunkan permintaan agregat sehingga dapat menurunkan
inflasi.
Inflation Targeting Framework (DUMMY) berpengaruh negatif dan
signifikan dalam jangka panjang. Artinya, setelah adanya ITF ini inflasi
cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan tujuan dilakukannya ITF yaitu untuk
mengendalikan inflasi yang rendah dan stabil.
4.2.3. Analisis Impulse Response Function
4.2.3.1. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi Periode
Sebelumnya
Guncangan laju inflasi periode sebelumnya sebesar satu standar deviasi
pada bulan pertama akan menyebabkan peningkatan pada inflasi sebesar 0,810
persen. Pada bulan kedua respon positif inflasi mengalami penurunan yaitu
54
menjadi 0,088 persen. Pada bulan ketiga dan selanjutnya respon inflasi semakin
menurun. Pada akhirnya respon inflasi terhadap guncangan inflasi periode
sebelumnya mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-18, dimana inflasi
merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,005 persen.
Response of INFLASI to Cholesky
One S.D. INFLASI Innovation
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Gambar 4.6. Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi
4.2.3.2. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Nilai Tukar
Guncangan nilai tukar pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi.
Inflasi baru merespon guncangan nilai tukar pada bulan kedua. Guncangan nilai
tukar sebesar satu standar deviasi pada bulan kedua akan menyebabkan
peningkatan pada inflasi sebesar 0,121 persen. Pada bulan ketiga dan selanjutnya
respon inflasi terhadap guncangan nilai tukar semakin menurun. Pada akhirnya
respon inflasi terhadap guncangan nilai tukar mulai mencapai keseimbangan pada
bulan ke-18, dimana inflasi merespon positif guncangan tersebut pada kisaran
0,026 persen.
55
Response of INFLASI to Cholesky
One S.D. LN_KURS Innovation
.14
.12
.10
.08
.06
.04
.02
.00
5
10
15
20
25
30
35
40
50
45
55
60
Gambar 4.7. Respon Inflasi terhadap Guncangan Nilai Tukar
4.2.3.3. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia
Guncangan harga minyak dunia pada bulan pertama belum direspon oleh
inflasi. Inflasi baru merespon guncangan harga minyak dunia pada bulan kedua.
Guncangan harga minyak dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan kedua
akan menyebabkan peningkatan pada inflasi sebesar 0,032 persen. Pada bulan
ketiga dan keempat respon inflasi terhadap guncangan harga minyak dunia
semakin meningkat menjadi 0,047 persen. Pada bulan kelima dan selanjutnya
respon inflasi terhadap guncangan harga minyak dunia semakin menurun. Pada
akhirnya respon inflasi terhadap guncangan harga minyak dunia mulai mencapai
keseimbangan pada bulan ke-17, dimana inflasi merespon positif guncangan
tersebut pada kisaran 0,035 persen.
Response of INFLASI to Cholesky
One S.D. LN_OILPRICE Innovation
.05
.04
.03
.02
.01
.00
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Gambar 4.8. Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia
56
4.2.3.4. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Pangan Dunia
Guncangan harga pangan dunia pada bulan pertama belum direspon oleh
inflasi. Inflasi baru merespon guncangan harga pangan dunia pada bulan kedua.
Guncangan harga pangan dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan kedua
akan menyebabkan peningkatan pada inflasi sebesar 0,080 persen. Pada bulan
ketiga dan selanjutnya respon inflasi terhadap guncangan harga pangan dunia
semakin menurun hingga. Pada akhirnya respon inflasi terhadap guncangan harga
pangan dunia mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-23, dimana inflasi
merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,005 persen.
Response of INFLASI to Cholesky
One S.D. LN_FPI Innovation
.10
.08
.06
.04
.02
.00
-.02
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Gambar 4.9. Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Pangan Dunia
4.2.3.5. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Uang Beredar
Guncangan uang beredar pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi.
Inflasi baru merespon guncangan uang beredar pada bulan kedua. Guncangan
uang beredar sebesar satu standar deviasi pada bulan kedua akan menyebabkan
peningkatan pada inflasi sebesar 0,175 persen. Pada bulan ketiga dan selanjutnya
respon inflasi terhadap guncangan uang beredar semakin menurun. Pada akhirnya
respon inflasi terhadap guncangan uang beredar mulai mencapai keseimbangan
pada bulan ke-20, dimana inflasi merespon positif guncangan tersebut pada
kisaran 0,001 persen.
57
Response of INFLASI to Cholesky
One S.D. M2GROWTH Innovation
.20
.16
.12
.08
.04
.00
-.04
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Gambar 4.10. Respon Inflasi terhadap Guncangan Uang Beredar
4.2.3.6. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan PDB
Guncangan PDB pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi. Inflasi
baru merespon guncangan PDB pada bulan kedua. Guncangan PDB sebesar satu
standar deviasi pada bulan kedua akan menyebabkan penurunan pada inflasi
sebesar 0,006 persen. Pada bulan ketiga respon negatif inflasi meningkat menjadi
0,123 persen. Pada bulan keempat, respon negatif inflasi terhadap guncangan PDB
semakin menurun. Pada bulan kelima hingga kedelapan respon inflasi menjadi
positif mencapai 0,033 persen. Pada bulan kesembilan dan selanjutnya respon
inflasi semakin menurun. Pada akhirnya respon inflasi terhadap guncangan PDB
mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-30, dimana inflasi merespon negatif
guncangan tersebut pada kisaran 0,007 persen.
Response of INFLASI to Cholesky
One S.D. LN_PDB Innovation
.04
.00
-.04
-.08
-.12
-.16
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Gambar 4.11. Respon Inflasi terhadap Guncangan PDB
58
4.2.3.7. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Suku Bunga
Guncangan suku bunga pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi.
Inflasi baru merespon guncangan suku bunga pada bulan kedua. Guncangan suku
bunga sebesar satu standar deviasi pada bulan kedua akan menyebabkan
peningkatan pada inflasi sebesar 0,076 persen. Pada bulan ketiga dan selanjutnya
respon inflasi semakin menurun. Pada akhirnya respon inflasi terhadap guncangan
suku bunga mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-15, dimana inflasi
merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,016 persen.
Response of INFLASI to Cholesky
One S.D. SB Innovation
.08
.07
.06
.05
.04
.03
.02
.01
.00
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Gambar 4.12. Respon Inflasi terhadap Guncangan Suku Bunga
4.2.3.8. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan PengeluaranPemerintah
Guncangan pengeluaran pemerintah pada bulan pertama belum direspon
oleh inflasi. Inflasi baru merespon guncangan pengeluaran pemerintah pada bulan
kedua. Guncangan pengeluaran pemerintah sebesar satu standar deviasi pada
bulan kedua akan menyebabkan penurunan pada inflasi sebesar 0,008 persen.
Pada bulan ketiga dan keempat respon inflasi terhadap guncangan pengeluaran
pemerintah semakin positif. Pada bulan kelima dan selanjutnya, inflasi kembali
merespon negatif terhadap guncangan pengeluaran pemerintah. Pada akhirnya
59
respon inflasi terhadap guncangan pengeluaran pemerintah mulai mencapai
keseimbangan pada bulan ke-21, dimana inflasi merespon negatif guncangan
tersebut pada kisaran 0,017 persen.
Response of INFLASI to Cholesky
One S.D. LN_G Innovation
.08
.06
.04
.02
.00
-.02
-.04
-.06
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Gambar 4.13. Respon Inflasi terhadap Guncangan Pengeluaran Pemerintah
4.2.4. Analisis Forecast Error Variance Decompotition
FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi masing-masing variabel
terhadap shock (guncangan) yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen
utama yang diamati. Dengan kata lain, FEVD menjelaskan proporsi variabel lain
dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam
kaitannya dengan FEVD maka penelitian ini akan membahas bagaimana kontibusi
berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian dalam
menjelaskan laju inflasi.
Berdasarkan hasil dekomposisi varian (tabel 4.10), dapat disimpulkan
bahwa pada awal periode yaitu di bulan pertama, variabilitas laju inflasi
disebabkan oleh guncangan inflasi periode sebelumnya yakni sebesar 100 persen.
Pada bulan kedua tampak variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas
laju inflasi. Pada tahun pertama (12 bulan) kontribusi inflasi periode sebelumnya
dalam menjelaskan inflasi masih dominan namun berkurang yaitu sebesar 81,68
60
persen. Variabel nilai tukar (LN_KURS) menempati posisi kedua yaitu sebesar
4,34 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi pertumbuhan uang beredar
(M2GROWTH) dan PDB (LN_PDB) yaitu sebesar 3,85 persen dan 3,07 persen.
Sedangkan variabel lain seperti pengeluaran pemerintah, harga minyak dunia,
suku bunga, harga pangan dunia, dan dummy ITF masing-masing sebesar 1,89
persen, 1,75 persen, 1,41 persen, 1,26 persen dan 0,72 persen.
Pada tahun kedua (24 bulan) kontribusi inflasi periode sebelumnya dalam
menjelaskan fluktuasi laju inflasi masih dominan namun berkurang yaitu sebesar
78,57 persen. Variabel nilai tukar (LN_KURS) masih menempati posisi kedua
dimana kontribusi nilai tukar meningkat dari tahun sebelumnya menjadi 5,12
persen. Pada tahun kedua ini kontribusi dari pertumbuhan uang beredar dan PDB
menurun menjadi 3,71 persen dan 3,03 persen. Kontribusi harga minyak dunia
pada tahun kedua ini meningkat menjadi 3,40.
Pada tahun ketiga (36 bulan) kontribusi inflasi periode sebelumnya dalam
menjelaskan fluktuasi laju inflasi masih dominan namun berkurang yaitu sebesar
75,67 persen. Variabel nilai tukar (LN_KURS) masih menempati posisi kedua,
dimana kontribusinya semakin meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar
5,86 persen. Kontribusi harga minyak dunia (LN_OILPRICE) menempati posisi
ketiga, dimana pada tahun ketiga ini kontribusi harga minyak dunia meningkat
menjadi 4,94 persen.
Pada tahun keempat (48 bulan) kontribusi inflasi periode sebelumnya
dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi itu sendiri masih dominan namun
berkurang yaitu sebesar 72,98 persen. Pada tahun keempat ini diikuti oleh
peningkatan kontribusi guncangan nilai tukar (LN_KURS) dan harga minyak
61
dunia (LN_OILPRICE) masing-masing sebesar 6,54 persen dan 6,37 persen.
Selanjutnya diikuti oleh kontribusi uang beredar (M2GROWTH) yang menurun
menjadi 3,45 persen.
Periode jangka panjang yang distimulasikan dalam analisis ini yakni
proyeksi pada tahun kelima (49-60 bulan) kontibusi inflasi periode sebelumnya
dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi masih dominan namun berkurang yaitu
sebesar 70,48 persen. Dalam jangka panjang, variabel berikutnya yang
memengaruhi inflasi yaitu harga minyak dunia (LN_OILPRICE) dan nilai tukar
(LN_KURS) masing-masing sebesar 7,70 persen dan 7,17 persen. Selanjutnya
diikuti oleh uang beredar (M2GROWTH), pengeluaran pemerintah (LN_G), PDB
(LN_PDB), suku bunga (SB), ITF (DUMMY) dan harga pangan dunia (LN_FPI)
masing-masing sebesar 3,33 persen, 3,20 persen, 2,96 persen, 2,54 persen, 1,37
persen dan 1,21 persen.
Hasil variance decompotition menunjukkan bahwa selama lima tahun
kedepan inflasi periode sebelumnya akan memberikan kontribusi terbesar pada
inflasi Indonesia yaitu sebesar 70,48 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekspektasi
inflasi, dimana laju inflasi yang akan datang dipengaruhi nilainya oleh laju inflasi
itu sendiri di masa lampau. Selain itu, penelitian ini juga sesuai dengan Susanto
(2005) yang mengatakan bahwa ekspektasi inflasi merupakan kontribusi terbesar
dalam memengaruhi inflasi di Indonesia.
62
62
Tabel 4.10. Variance Decompotition
Dijelaskan Oleh Guncangan
Variabel Dependen
INFLASI
Periode
INFLASI
LN_KURS
LN_OILPRICE
LN_FPI
M2GROWTH
LN_PDB
SB
LN_G
DUMMY
1
100.0000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
12
81.68067
4.344984
1.752393
1.260343
3.855429
3.078064
1.414890
1.892953
0.720273
24
78.57373
5.127656
3.404359
1.245156
3.710736
3.039830
1.724253
2.271597
0.902682
36
75.67600
5.860804
4.944691
1.234013
3.576317
3.012252
2.018137
2.606454
1.071330
48
72.98790
6.541136
6.373799
1.223555
3.451613
2.986622
2.290631
2.916929
1.227817
60
70.48682
7.174122
7.703467
1.213829
3.335584
2.962766
2.544171
3.205825
1.373417
63
4.3
Implikasi Kebijakan
Pengaruh faktor eksternal tidak terlepas dari karakteristik negara Indonesia
sebagai negara small open economy dimana stabilitas perekonomian domestik
dapat dipengaruhi oleh guncangan perekonomian dunia. Adapun faktor eksternal
seperti nilai tukar, harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang dapat
mempengaruhi inflasi di Indonesia.
Pentingnya pengaruh harga minyak dunia dan harga pangan dunia
dikarenakan Indonesia masih bergantung pada impor minyak dan impor pangan.
Sejak tahun 2003, Indonesia telah mengundurkan diri dari keanggotaan OPEC
(Organization of the Petroleum Exporting Countries) dan menjadi negara
pengimpor minyak. Hal ini dilakukan karena produksi minyak dalam negeri tidak
mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya. Selain itu, menurut Braun (2008)
harga pada pangan dunia dapat menaikkan tekanan secara umum pada inflasi.
Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata
konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat.
Implikasi kebijakan untuk meminimalisir guncangan faktor eksternal ini,
yaitu sebaiknya meningkatkan kemandirian energi dan pangan. Swasembada
energi dapat dilakukan dengan mencari alternatif sumber energi baru yang dapat
diproduksi
dalam
negeri
untuk
memenuhi
kebutuhan
energi
nasional.
Swasembada pangan dapat dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan pangan yang
seoptimal mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan
ketergantungan pada impor pangan.
Pengaruh faktor eksternal lainnya, yaitu nilai tukar. Ketika terjadi
depresiasi nilai tukar maka harga barang impor akan meningkat. Peningkatan
64
harga barang impor ini dapat menyebabkan peningkatan pada struktur biaya (cost)
sehingga mendorong terjadinya kenaikan harga barang domestik. Implikasi
kebijakan yang dapat dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yaitu
melalui kebijakan suku bunga dalam Operasi Pasar Terbuka. Ketika suku bunga
SBI dinaikkan maka masyarakat akan cenderung menukarkan uangnya dengan
surat berharga atau obligasi, karena suku bunga adalah harga uang dimasa depan.
Sehingga jumlah uang beredar di masyarakat berkurang. Apabila uang rupiah
relatif berkurang dibandingkan mata uang asing, maka nilai rupiah akan
cenderung menguat terhadap mata uang asing. Kebijakan pengendalian stabilitas
nilai tukar ini juga berhubungan dengan kebijakan moneter dalam pengendalian
faktor internal.
Pengaruh faktor internal seperti adanya perubahan kebijakan moneter,
kebijakan fiskal dan kebijakan di bidang harga dalam negeri juga dapat
berpengaruh pada inflasi. Menurut teori ekspektasi rasional diasumsikan bahwa
orang-orang memiliki ekspektasi secara rasional. Teori ekspektasi rasional
mengasumsikan bahwa orang-orang secara optimal menggunakan seluruh
informasi, termasuk informasi tentang kebijakan pemerintah sekarang, untuk
meramalkan masa depan. Pengendaliaan ekspektasi inflasi tersebut dapat
dilakukan melalui koordinasi antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan
kebijakan dibidang harga.
Menurut sumber terjadinya inflasi, inflasi dipengaruhi dari sisi permintaan
dan sisi penawaran. Dimana inflasi dari sisi permintaan dapat dipengaruhi oleh
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Sedangkan, inflasi dari sisi penawaran
65
terjadi diluar kendali otoritas moneter seperti volatile food dan administered
prices.
Dari sisi permintaan, kebijakan moneter di Indonesia untuk mengendalikan
inflasi yaitu melalui kerangka kebijakan moneter yang disebut dengan Inflation
Targeting Framework (ITF). Tujuan dari ITF ini yaitu mencapai inflasi yang
rendah dan stabil melalui instrumen suku bunga BI rate. Contohnya, saat krisis
2008 terjadi depresiasi nilai tukar hingga mencapai Rp 12.151 per dollar AS dan
inflasi mencapai 11,06 persen. Bank Indonesia meningkatkan BI rate hingga
mencapai 9,5 persen untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi. Pada tahun
2009 nilai tukar kembali menguat dan inflasi turun mencapai 2,78 persen. Dalam
pengendalian inflasi, Bank Indonesia hanya dapat mengendalikan inflasi dan
menjaga stabilitas nilai tukar dari sektor moneter saja. Sehingga perlu ada kerja
sama yang baik dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi dari sektor lainnya.
Dari sisi permintaan, inflasi juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan fiskal.
Instrumen yang digunakan dalam kebijakan fiskal ini melalui kebijakan defisit
atau surplus anggaran (pendapatan-pengeluaran). Untuk menentukan defisit atau
surplus, dalam penentuan RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
Negara) diperhitungkan asumsi ekonomi makro seperti besarnya inflasi dan nilai
tukar dimasa datang. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi yang baik antara
Bank Indonesia dan Pemerintah dalam menentukan RAPBN. Sehingga kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal dapat berjalan searah sesuai tujuan.
Dari sisi penawaran, inflasi salah satunya dipengaruhi oleh administered
prices yaitu harga barang yang ditentukan oleh pemerintah seperti Tarif Dasar
Listrik dan Harga BBM. Pada pengalaman sebelumnya, kenaikan harga BBM
66
selalu memicu terjadinya inflasi. Pada April 2012 pemerintah mewacanakan akan
meningkatkan harga BBM. Hal ini membuat ekspektasi masyarakat bahwa inflasi
akan naik. Hal ini mengundang tindakan penimbunan BBM, sehingga harga-harga
barang terlanjur naik meskipun harga BBM tidak jadi naik. Sehingga perlu adanya
koordinasi antara pemerintah dalam penetapan kebijakan harga, kebijakan
moneter dan fiskal untuk menjaga ekspektasi inflasi di masyarakat.
Implikasi kebijakan untuk meminimalisir guncangan faktor internal ini,
yaitu sebaiknya perlu adanya koordinasi yang baik antara kebijakan moneter,
kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga dalam mengendalikan inflasi. Hal
ini dikarenakan, Bank Indonesia hanya dapat mengendalikan inflasi dan menjaga
stabilitas nilai tukar dari sektor moneter saja. Sehingga perlu ada kerja sama yang
baik dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi dari sektor lainnya.
Download