2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyamuk Anopheles spp. Nyamuk merupakan bagian dari kelompok serangga dari phylum Arthropoda, kelas Insecta (Hexapoda), ordo Diptera, famili Culicidae, yang paling banyak menimbulkan masalah kesehatan masyarakat. Di Indonesia terdapat sebanyak 457 spesies nyamuk dan dikelompokkan menjadi 18 genus, yang terdiri dari 80 spesies Anopheles, 82 spesies Culex, 125 spesies Aedes, dan 8 spesies Mansonia, sisanya sebagai anggota dari genus yang tidak penting dalam penularan penyakit (O’Connor dan Sopa 1981). Sejauh ini hanya nyamuk Anopheles yang memiliki peranan penting sebagai vektor malaria dan fauna Anopheles baik yang telah dikonfirmasi sebagai vektor maupun diduga sebagai vektor malaria pada setiap wilayah Indonesia menunjukkan perbedaan spesifik. Spesifikasi tersebut dipengaruhi oleh letak geografis Indonesia sebagai daerah kepulauan yang terletak antara benua Asia dan Australia, sehingga sebaran nyamuk mengikuti pola sebaran hewan yang dikelompokkan menjadi daerah oriental dan daerah australasian. Bonne-Webster (1953) menyatakan bahwa garis perbatasan kelompok sebaran Anopheles spp. terletak antara pulau Halmahera, pulau Seram dan Papua. Di bagian barat terdapat garis Weber yang membatasi kepulauan Maluku dengan pulau Sulawesi. Di sebelah barat pulau Sulawesi terdapat garis Wallace yang menuju selatan melalui selat Makassar kemudian menuju selat Lombok. Nyamuk Anopheles di Indonesia Bagian Barat merupakan spesies oriental di antaranya A. aconitus, A. sundaicus, A. subpictus, A. balabacensis, A. minimus A. leucosphyrus, dan A. barbirostris, sedangkan di Indonesia Timur adalah spesies australasian di antaranya A. punctulatus A. farauti, A. koliensis, A. longirostris, dan A. bancrofti. Beberapa spesies oriental ada yang bermigrasi ke wilayah timur sehingga di daerah Papua ditemukan kelompok oriental. Demikian juga beberapa kelompok autralasian bermigrasi ke bagian barat garis Lydekker sehingga di daerah Maluku dapat ditemukan nyamuk spesies oriental maupun spesies australasian Fauna Anopheles di Pulau Jawa sebagaimana hasil penelitian Boewono dan Ristiyanto (2004) di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah antara lain A. aconitus, A. balabacensis, A. maculatus, A. barbirostris, A. flavirostris, dan A. kochi. Di Kabupaten Purworejo ditemukan A. aconitus, A. flavirostris, A. balabacensis, A. barbirostris, A. vagus, A. kochi, A. maculatus dan A. subpictus (Lestari et al. 2007). Di Kabupaten Sukabumi ditemukan A. aconitus, A. maculatus, A. kochi, A. barbirostris, A. vagus dan A. tesselatus (Munif et al. 2007). Di Kabupaten Trenggalek ditemukan A. vagus, A. sundaicus, A. aconitus, A. maculatus, dan A. tesselatus (Mardiana et al. 2002). Spesies Anopheles di wilayah Sumatera seperti di daerah Muaro Jambi ditemukan 10 spesies Anopheles yaitu A. barbirostris, A. vagus, A. nigerrimus, A. aconitus, A. kochi, A. tesselatus, A. indefinitus, A. umbrosus, A. peditaeniatus, dan A. schueffneri (Maloha 2005), sedangkan di Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan ditemukan A. sundaicus, A. barbirostris, A. vagus, A. kochi, A. indefinitus, A. maculatus, A. aconitus dan A. subpictus (Safitri 2009). Nyamuk Anopheles di wilayah Kalimantan khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan diantaranya A. nigerrimus, A. kochi, A. letifer, A. barbirostris, A. maculatus, A. vagus, A. aconitus, dan A. sinensis (Salam 2005), sedangkan di kawasan reintroduksi orang utan, Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah ditemukan A. letifer dan A. umbrosus (Juliawati 2008). Fauna Anopheles di wilayah Sulawesi khususnya di Kabupaten Donggala terdiri atas A. barbirostris, A. barbumbrosus, A. leucosphyrus, A. vagus, A. kochi, A. maculatus, A. nigerrimus, A. tesselatus, A. kochi, dan A. maculatus (Jastal 2005), selain itu terdapat juga A. parengensis A. subpictus, A. aconitus A. indefinitus, dan A. hyrcanus grup (Garjito et al. 2004). Di daerah Maluku ditemukan 10 spesies yaitu A. farauti, A. subpictus, A. vagus, A. maculatus, A. tesselatus, A. kochi, A. aconitus, A. peditaeniatus, A. elegans, dan A. fragilis (Soekirno et al. 1997). Di Papua, komposisi vektor malaria terdiri atas A. farauti, A. punctulatus dan A. koliensis (Benet et al. 2004), sedangkan di daerah Nusa Tenggara khususnya di Kabupaten Sumbawa terdapat spesies A. barbirostris, A. subpictus, A. annularis, A. aconitus, A. compestris, A. vagus, A. umbrosus, A. tesselatus dan A. indefinitus (Soekirno et al. 2006), di Kabupaten Sikka, NTT, fauna Anopheles terdiri atas A. sundaicus, A. barbirostris, A. aconitus, A. subpictus, A. maculatus dan A. vagus (Ompusunggu et al. 1996). Fauna nyamuk Anopheles spp. yang dilaporkan di Indonesia sebanyak 80 spesies dan yang telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria adalah 22 spesies yaitu A. sundaicus, A. aconitus, A. nigerrimus, A. maculatus, A. barbirostis A. sinensis, A. letifer, A. balabacensis, A. punctulatus, A. farauti, A. bancrofti, A. karwari, A. koliensis, A. vagus, A. parengensis, A. umbrosus, A. subpictus, A. longirostris, A. flavirostis, A. minimus, A. leucosphirus (Sukowati 2008 dan Depkes 2007b). Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan nyamuk Anopheles spp. sehingga dapat berperan sebagai vektor antara lain : 1) Kemampuan nyamuk menerima dan mendukung pertumbuhan patogen penyakit, 2) Spesifitas inang vertebrata terhadap patogen penyakit, 3) Mobilitas vektor, 4) Umur vektor, semakin panjang umur nyamuk maka semakin besar kemungkinannya menjadi vektor karena kesempatan hidup patogen menjadi lebih panjang, 5) Frekwensi makan, semakin sering nyamuk mengisap darah maka semakin tinggi potensi penularan, 6) Kepadatan populasi nyamuk yang tinggi, menyebabkan potensi kontak vektor dengan manusia semakin besar, 7) Physiological and behavioral plasticity, kemampuan vektor untuk beradaptasi terhadap pengaruh dari luar tubuh dan pengaruh bahan kimia terutama pestisida (Hardwood & James 1979). Spesies Anopheles yang dikenal dari ciri-ciri morfologi mungkin dapat berperan sebagai vektor malaria, tetapi belum tentu di daerah lainnya. Nyamuk Anopheles dapat disebut sebagai vektor malaria di suatu daerah apabila terbukti positif mengandung sporozoit di dalam kelenjar ludahnya (Depkes 2007b). 2.2 Distribusi Spasial Habitat Perkembangbiakan Anopheles spp. Populasi Anopheles di Indonesia mempunyai keragaman spesies, distribusi, dan bioekologinya. Setiap spesies mempunyai daerah distribusi secara geografi, habitat perkembangbiakan dan ekosistem yang khusus (Sukowati 2008). Distribusi spasial Anopheles spp. meliputi penyebaran berdasarkan wilayah geografis yang dipengaruhi oleh kondisi topografi, ketinggian tempat, kemiringan lereng dan pemanfaatan lahan. Hasil analisis prevalensi malaria menurut ketinggian lokasi di Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa zona risiko tinggi malaria terkonsentrasi di daerah pantai yang banyak terdapat habitat perkembangbiakan nyamuk yaitu sawah, tambak dan lagun sedangkan zona kurang berisiko terkonsentrasi di daerah pegunungan (Wibowo et al. 2008). Penyebaran nyamuk Anopheles sangat luas seperti dilaporkan di Propinsi Madang Pupua Nugini bahwa nyamuk A. farauti memiliki sebaran yang sangat luas dari daerah pesisir sampai dengan pegunungan. Nyamuk A. punctulatus dan A. farauti ditemukan pada ketinggian tempat kurang dari 15 meter dari permukaan laut dan di daerah perbukitan ketinggian antara 15-500 meter dari permukaan laut (Benet et al. 2004). Nyamuk A. farauti merupakan spesies utama wilayah pesisir di Espiritu Santo, Papua Nugini (Daggy 1945). Di daerah perbukitan Manoreh Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, nyamuk A. maculatus, dan A. balabacensis ditemukan pada habitat perkembangbiakan berupa belik, kobakan dan sungai berbatu dengan ketinggian lokas antara 318-400 meter dari permukaan laut (Lestari et al. 2007). Daerah potensial malaria dapat diduga berdasarkan sebaran habitat perkembangbiakan Anopheles spp. menurut penggunaan lahan, sebagaimana dilaporkan oleh Suwito (2007) bahwa tingginya kasus malaria di Kabupaten Bangka disebabkan karena banyaknya habitat perkembangbiakan potensial Anopheles spp. di antaranya sebaran sungai, kolong (bekas galian timah) dan rawa-rawa yang dapat menjadi habitat potensial A. balabacensis, A. aconitus, A. subpictus, A. vagus, A. barbirostris, A. maculatus, A. sundaicus, A. letifer, A. annularis, dan A. minimus. Daerah persawahan berpotensi sebagai habitat vektor A. aconitus, A. subpictus, A. sundaicus, A. barbirostris, A. vagus dan A. annularis, dan sebaran hutan mangrove berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan A. sundaicus, A. subpictus, dan A. aconitus. Hasil penelitian Boewono dan Ristiyanto (2004) di Kabupaten Magelang menunjukkan bahwa distribusi spasial habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles terkait dengan penggunaan lahan perkebunan dengan jenis habitat parit dan sungai. Kejadian malaria di Kabupaten Magelang dipetakan berdasarkan distribusi habitat Anopheles dan dibagi menjadi tiga kategori yaitu zona merah dengan radius 0-100 meter merupakan zona yang sangat berisiko, terdapat 25.81% kasus malaria, zona kuning atau berisiko sedang dengan radius 100-200 meter terdapat 19.35% kasus malaria, sedangkan pada zona hijau dengan kategori kurang berisiko dengan radius 200-300 meter, terdapat 9.67% kasus malaria (Boewono dan Ristiyanto 2004). Pendugaan tingkat intensitas penularan malaria dengan dukungan penginderaan jauh di pegunungan Manoreh (Jateng & DIY) dengan unit analisis lima variabel prediktor lingkungan menunjukkan bahwa suhu udara, kelembaban, kebun campur, pekarangan perumahan dan kepadatan vektor bermakna pengaruhnya terhadap terjadinya kejadian malaria (Achmad et al. 2003). Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Mendrofa (2008) terhadap analisis spasial kasus malaria di Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias yang menunjukkan bahwa jarak lokasi fasilitas kesehatan, penggunaan lahan, curah hujan dan suhu udara tidak berhubungan dengan kejadian malaria, sedangkan kelembaban lingkungan memiliki hubungan yang signifikan. Pemetaan habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles dan kasus malaria merupakan bagian dari program pemberantasan (Depkes 2006), dan teknologi sistem informasi geografi (SIG) telah banyak diaplikasikan karena mempermudah proses pemetaan. Menurut Mardihusodo (1997) SIG dalam bidang kesehatan dapat digunakan untuk 1) Pemetaan sebaran geografis penyakit, 2) Mengetahui kecenderungan penyakit dalam ruang kejadian, 3) Menurunkan kerugian yang dialami penduduk dengan pemetaan serta menstratifikasi faktor-faktor risiko penyakit, 4) Menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dalam pelayanan kesehatan berdasarkan data dari masyarakat dan menilai alokasi sumber daya, 5) Melakukan perencanaan untuk intervensi, 6) Meramalkan terjadinya wabah penyakit, 7) Memudahkan pemantauan penyakit dari waktu ke waktu, 8) Memetakan lingkungan, peralatan dan persediaan dan sumber daya manusia, 9) Memantau kebutuhan tenaga terpusat, dan 10) Penempatan fasilitas kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat. 2.3 Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Nyamuk Anopheles spp. Nyamuk memiliki tahapan perkembangbiakan (metamorfosis) sempurna. Tahapan tersebut terjadi pada dua jenis habitat yaitu habitat akuatik (perairan) sebagai tempat perkembangbiakan pradewasa mulai dari telur, larva sampai menjadi pupa, dan habitat terestrial sebagai tempat hidup nyamuk dewasa. Karakteristik habitat perkembangbiakan pradewasa nyamuk sangat bervariasi tergantung kepada jenis dan daerah sebarannya (Sukowati 2008). Habitat perkembangbiakan nyamuk menurut Rao (1981) dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu (1) Habitat yang bersifat alamiah seperti danau, rawa, genangan air dan (2) Habitat buatan manusia seperti daerah sawah, irigasi, kolam. Sedangkan menurut Russel (1943), dalam Bruce-Chwatt (1985) habitat perkembangbiakan nyamuk diklasifikasikan dalam lima kelompok yaitu 1) Air tawar yang menggenang permanen atau temporal seperti rawa-rawa yang terbuka luas atau daerah rawa yang merupakan bagian dari danau, kolam, genangan air, dan mata air, 2) Kumpulan air tawar yang sifatnya sementara seperti genangan air terbuka di lapangan dan bekas tapak kaki binatang, 3) Air yang mengalir permanen atau semi permanen seperti sungai yang terbuka dengan vegetasi, air yang mengalir dari selokan, 4) Tempat penampungan air alami seperti lubang pada batu, pohon, lubang buatan hewan, dan tempat penampungan air buatan manusia seperti kaleng, ban, tempurung kelapa, dan 5) Air payau seperti rawarawa pasang surut. Beberapa parameter fisik, kimia dan biologis yang mempengaruhi perkembangan larva nyamuk pada habitat di antaranya jenis genangan air, kedalaman, luasan, kecerahan, kecepatan aliran, dasar air, suhu air, salinitas, pH, keberadaan tanaman dan predator larva, diuraikan sebagai berikut : 2.3.1 Suhu Air Pertumbuhan dan kehidupan organisme air dipengaruhi suhu air. Dalam batas-batas tertentu kecepatan pertumbuhan meningkat sejalan dengan naiknya suhu air, sedangkan derajat kelangsungan hidup menurun bila suhu naik (Kordi & Tancung 2007). Suhu air mempengaruhi kelangsungan dan pertumbuhan telur, larva dan pupa nyamuk. Pertumbuhan larva akan lebih optimal pada suhu air yang hangat daripada suhu air yang dingin. Rao (1981) melaporkan bahwa larva nyamuk tidak dapat hidup bertahan pada suhu yang sangat ekstrim tinggi dan kecepatan pertumbuhan larva akan lebih cepat pada suhu air yang lebih panas dan akan lebih lambat pada suhu rendah, sedangkan Muirhead-Thompson dalam Rao (1981) menyatakan bahwa laju tetas telur Anopheles dipengaruhi oleh suhu air pada tempat perindukannya. Semakin tinggi suhu air waktu tetas semakin singkat. WHO (1982) menyatakan bahwa larva nyamuk dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sebarannya dibatasi oleh suhu. Suhu optimum untuk pertumbuhan larva berbeda pada berbagai zona geografi. Di daerah tropis suhu air berkisar antara 23ºC-27ºC. Pada suhu tersebut stadium pradewasa nyamuk akan selesai dalam waktu dua minggu. 2.3.2 Salinitas Air Tingkat salinitas suatu habitat dipengaruhi oleh berubahnya luas genangan air, curah hujan dan aliran air tawar dan evaporasi. Perubahan salinitas selama satu tahun menyebabkan banyak spesies melakukan adaptasi (Mosha & Mutero 1982, dalam Clements 1992). Lincoln (1982), dalam Clements (1992), membagi habitat larva dalam tiga kelompok berdasarkan salinitas yaitu 1) Habitat air tawar jika salinitasnya kurang dari 0,5 atau 0,034 MNaCl, 2) Habitat air payau jika salinitasnya antara air tawar dan air laut (0,55 MNaCl), dan 3) Habitat air asin jika habitat tersebut kaya akan unsur garam. Setiap jenis Anopheles memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda terhadap derajat salinitas. Hasil penelitian di pantai Banyuwangi didapatkan larva A. sundaicus pada seluruh tipe perairan (air tawar-air payau) dengan salinitas 04‰. Pada air tawar A. sundaicus ditemukan bersama-sama dengan A. barbirostris dan A. vagus sedangkan pada air payau A. sundaicus ditemukan bersama dengan A. subpictus (Shinta et al. 2003). Di Kabupaten Trenggalek habitat perkembang-biakan A. sundaicus dan A. vagus adalah lagun dengan tanaman bakau, rumput air dan lumut dengan tingkat salinitas air 9 ‰ (Mardiana et al. 2002). 2.3.3 Derajat Keasaman (pH) Air Derajat keasaman (pH) menunjukkan aktifitas ion hidrogen dalam air. Air murni (H2O) berasosiasi sempurna sehingga memiliki ion H+ dan ion H- dalam konsentrasi yang sama dan dalam keadaan demikian pH air menjadi netral : 7. Semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari hasil respirasi maka pH air akan turun, sebaliknya aktifitas fotosintesis yang banyak menyebabkan pH naik (Kordi & Tancung 2007). membutuhkan ion CO2 pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam kurang baik untuk perkembangbiakan bahkan cenderung mematikan organisme. Pada pH rendah (keasaman yang tinggi) kandungan oksigen terlarut akan berkurang sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun dan menjadi penyebab matinya organisme air (Kordi & Tancung 2007). Swingle (1961), dalam Boyd (1982) membuat klasifikasi pH terhadap kehidupan di air yaitu : (1) pH 6,5-9 : tingkat yang dibutuhkan oleh hewan air untuk bereproduksi, (2) pH 4-6,5 : perkembangan hewan air lambat, (3) pH 4-5 : hewan air tidak bereproduksi, (4) pH 4 : merupakan titik kematian asam, dan (5) pH 11 : merupakan titik kematian basa. pH perairan sebagai habitat larva nyamuk bervariasi dan beberapa jenis nyamuk memiliki kemampuan untuk untuk hidup pada konsentrasi alkali yang tinggi dan kondisi perairan yang asam. Larva A. culicifacies Giles dapat hidup pada kisaran pH 5,4 – 9,8 dan larva A. plumbeus Stephens mampu hidup pada kisaran pH 4,4 – 9,3 (Clements 1992). Pada air sumur atau mata air yang memiliki pH 6-11 ditemukan larva nyamuk A. stephensi Liston dan A. varuna Iyengar. Di alam larva A. farauti ditemukan pada perairan yang memiliki pH 6,8 -7,4 (Lee et al.1987, dalam Bowolaksono 2001). 2.3.4 Kedalaman air Larva nyamuk ditemukan sebagian besar pada habitat air dangkal. Kedalaman air berpengaruh terhadap sumber makanan larva Anopheles spp. dan intensitas cahaya. Peluang yang paling baik untuk kehidupan hewan-hewan air terutama pada perairan dangkal karena mengandung oksigen dan unsur hara cukup tinggi. Pada habitat seperti ini banyak ditemukan hewan-hewan predator misalnya sejenis capung Zygoptera, larva capung (Odonata), kumbang (Gryinidae) dan Peltodytus (Frost 1959, dalam Marsaulina 2002). Larva Anopheles spp. umumnya ditemukan pada perairan dangkal misalnya A. sundaicus pada muara sungai dengan kedalaman air 15 cm, A. vagus dan A. kochi pada kobakan dengan kedalaman air 10 cm (Mardiana et al. 2007). Di persawahan larva A. aconitus didapatkan pada saluran irigasi dengan tinggi permukaan air antara 5-10 cm (Munif et al. 2007). 2.3.5 Luas perairan Nyamuk Anopheles spp. memilih perairan untuk peletakan telurnya tidak berbeda-beda menurut luasan. Faktor-faktor yang mendukung perkembangbiakan menjadi lebih penting misalnya ketersediaan makanan. Oleh karenanya luasan habitat perkembangbiakan Anopheles spp. umumnya tidak terbatas, seperti cekungan batu, bekas tapak kaki, bekas injakan ban mobil, bekas galian tanah yang sempit (kubangan) yang hanya terisi air pada saat terjadi hujan maupun habitat yang luas seperti rawa-rawa, lagun, sungai, tambak, sawah, saluran irigasi, dll. (Depkes 2007b). Penghitungan luas habitat perkembangbiakan Anopheles spp. ditujukan untuk merencanakan kebutuhan pengendalian larva (Depkes 2007c). 2.3.6 Kekeruhan air Kekeruhan air membatasi kemampuan cahaya matahari yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tanaman air. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan biota air. Menurut Kordi & Tancung (2007), kekeruhan air disebabkan oleh banyaknya partikel tanah yang tersuspensi dapat menghambat pertumbuhan organisme karena partikel tanah cenderung menyerap mineral, plankton dan bahan organik. Setiap jenis nyamuk memilih habitat yang berbeda berdasarkan kekeruhan air. Nyamuk Aedes umumnya memilih berkembangbiak pada air jernih, Culex lebih menyenangi air yang kotor dan terpolusi sedangkan beberapa spesies Anopheles dapat hidup pada air jernih maupun keruh misalnya A. maculatus dan A. balabacensis ditemukan pada air keruh (Santoso 2002), A. barbirostris ditemukan pada air keruh maupun jernih (Garjito et al. 2004), sedangkan Chadijah (2005) mendapatkan A. barbirostris pada air yang jernih. 2.3.7 Dasar habitat Nyamuk betina membutuhkan air sebagai media untuk meletakkan telurnya dan berkembangbiak. Setiap jenis nyamuk memiliki perilaku yang berbeda untuk memilih habitat perkembangbiakannya berdasarkan dasar habitat. Nyamuk Aedes aegypti banyak ditemukan pada tempat penampungan air buatan, nyamuk Culex spp. pada genangan air terkontaminasi, sedangkan nyamuk Anopheles spp. lebih menyukai genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah, batu atau lumpur (Depkes 2007c). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa nyamuk Anopheles spp. memiliki dasar habitat yang berbeda-beda. Habitat dengan dasar batu dan tanah lebih di-sukai oleh A. maculatus, A. balabacensis menyukai dasar pasir dan tanah (Santoso 2002). A. subpictus dan A. maculatus ditemukan pada habitat dengan dasar lumpur (Safitri 2009). Larva A. punctulatus dan A. farauti ditemukan pada habitat permanen yaitu aliran sungai dan rawa-rawa, serta habitat sementara antara lain kolam, kobakan disekitar sungai, dan tapak ban (Beebe 2000). 2.3.8 Kecepatan aliran air Habitat perkembangbiakan Anopheles sangat beragam dan setiap jenis Anopheles memiliki kesukaan yang berbeda-beda untuk memilih habitatnya. A. barbirostris menyukai tempat perkembangbiakan dengan air yang statis atau mengalir lambat (Garjito et al. 2004). Larva A. minimus menyenangi aliran deras, A. letifer ditemukan pada air yang tidak mengalir, sedangkan A. maculatus dan A. balabacensis ditemukan pada habitat yang mengalir maupun tidak mengalir (Santoso 2002). Sama dengan A. subpictus yang ditemukan baik pada habitat air tidak mengalir maupun mengalir lambat (Safitri 2009). 2.3.9 Tanaman air Larva Anopheles spp. memanfaatkan keberadaan tanaman air untuk menambatkan diri, serta tempat berlindung dari arus air dan serangan predator. Rao (1981) menyatakan bahwa adanya tanaman air termasuk ganggang pada permukaan air yang mendapat sinar matahari langsung sangat membantu perkembangan larva karena mikrofauna dan mikroflora sebagai bahan makanan larva banyak berkumpul di sekitar tanaman. Keberadaan tanaman air yang mengapung diatas permukaan air berpengaruh terhadap populasi larva Anopheles spp. Kirnowardoyo et al. (1982) menemukan puncak kepadatan larva terjadi sebelum dilakukan pembersihan terhadap tanaman air. Budasih (1993) mengidentifikasi adanya tanaman ganggang Enteromorpha dan Cladophora berpengaruh positif sebagai tempat perlindungan larva dari arus air dan serangan predator sedangkan Lemna sp. yang bergorombol padat di atas permukaan air menyulitkan larva Anopheles spp. untuk mengambil udara. 2.3.10 Predator larva Predator memiliki peranan yang penting dalam menyeimbangkan kepadatan larva nyamuk, sehingga predator larva terutama ikan pemakan jentik dapat dimanfaatkan untuk pengendalian biotik. Efektifitasnya cukup baik seperti yang dilaporkan oleh Mattimu (1989) bahwa ikan mujair (Oreochormis mossambicus) berukuran 4 cm sangat efektif sebagai pemangsa larva A. aconitus. Dalam waktu 24 jam ikan tersebut dapat menghabiskan 478 larva dari 500 larva yang disediakan. Sama dengan hasil penelitian Arifin (1989) menyatakan bahwa ikan gapi (Poecilia reticulata) dapat memangsa larva A. aconitus dengan rata-rata 87 larva perhari dan kemampuannya menurun setelah ditambahkan makanan lain. 2.4 Epidemiologi Malaria Malaria di suatu daerah dapat ditemukan secara autokton, impor, induksi, introduksi atau reintroduksi. Di daerah autokton, siklus hidup parasit malaria dapat berlangsung karena adanya manusia yang rentan, nyamuk sebagai vektor dan adanya parasit. Introduksi malaria timbul karena adanya kasus infeksi malaria yang didapat dari luar. Malaria reintroduksi bila kasus malaria muncul kembali di suatu daerah yang sebelumnya telah dilakukan eradikasi, sedangkan induksi malaria terjadi akibat transfusi darah atau kongenital (Astuty & Pribadi 2008). Peningkatan kasus malaria disebabkan juga oleh masuknya penderita ke daerah yang dijumpai adanya vektor malaria (malariogenic potential) yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu receptivity dan vulnerability. Receptivity adalah adanya vektor malaria dalam jumlah besar dan terdapatnya faktor-faktor ekologis yang memudahkan penularan. Sedangkan vulnerability menunjukkan masuknya penderita atau vektor yang telah terinfeksi pada suatu daerah (Gunawan 2000). Mardihusodo (1997) menyatakan bahwa kejadian malaria melibatkan multifaktor penentu epidemiologis yaitu agent penyakit dan inang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yaitu 1) faktor klimatologis yang terdiri dari curah hujan, suhu udara, dan kelembaban, 2) Faktor biologis yang terdiri dari tumbuhtumbuhan, alam dan sumber makanan, 3) Faktor fisik yang terdiri dari ketinggian, garis lintang, jumlah air dan kualitas air, dan 4) Faktor sosial ekonomi meliputi sanitasi pemukiman, pekerjaan, kemiskinan, pergerakan penduduk, dan perilaku. Penyebaran malaria dipengaruhi oleh interaksi antara empat faktor yaitu 1) parasit malaria, 2) manusia yang rentan, 3) nyamuk sebagai vektor dan 4) faktor lingkungan (Depkes 2003). 2.4.1 Parasit malaria Jenis parasit malaria yang ditemukan pada ada empat spesies yaitu : Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malarie, dan P. ovale. Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropika atau malaria tersiana maligna, banyak ditemukan di wilayah tropis seperti Afrika dan Asia Tenggara. Plasmodium vivax merupakan penyebab malaria tersiana ditemukan di daerah subtropis seperti Korea Selatan, China, Mediterania Timur, Turki, beberapa negara Eropa pada waktu musim panas, Amerika Selatan dan Utara. Di daerah tropik dapat ditemukan di Asia Timur (China, daerah Mekong) dan selatan (Srilanka dan India), Indonesia, Filipina serta wilayah Pasifik seperti Papua Nugini, Kepulauan Salomon dan Vanuatu. Di Indonesia tersebar di seluruh kepulauan dan pada musim kering umumnya di daerah endemi mempunyai frekwensi tertinggi di antara spesies yang lain. Parasit Plasmodium malarie menyebabkan malaria kuartana, ditemukan di daerah tropik, seperti di Afrika bagian barat dan utara, sedangkan di Indonesia di laporkan di Papua Barat, NTT, dan Sumatera Selatan. Plasmodium ovale sebagai penyebab malaria ovale, terutama terdapat di daerah tropik Afrika Barat, Pasifik Barat, dan di Indonesia khususnya di Pulau Owi sebelah selatan Biak, Papua dan di Pulau Timor (Astuty & Pribadi 2008). Plasmodium sebagai penyebab malaria di Indonesia dapat ditemukan sebagai spesies tunggal dalam darah atau campuran antara dua atau tiga spesies (P. falciparum, P. vivax dan P. malarie). 2.4.2 Manusia sebagai inang antara Kerentanan manusia terhadap parasit malaria disebabkan oleh banyak faktor di antaranya ras atau suku bangsa, kurangnya suatu enzim tertentu, kekebalan (imunitas), umur, jenis kelamin dan faktor-faktor sosial ekonomi, pekerjaan, pendidikan, perumahan, dan mobilitas penduduk (Depkes 2003). Vektor dan manusia merupakan dua komponen penting dalam penularan malaria. Nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor malaria adalah inang definitif bagi parasit malaria sedangkan manusia sebagai inang antara dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup parasit (fase gametosit). Keberadaan parasit malaria dalam tubuh manusia menyebabkan gangguan fisiologis dengan berbagai manifestasi klinis (penyakit malaria). 2.4.3 Nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor Penularan parasit malaria oleh nyamuk Anopheles betina dipengaruhi oleh : perilaku mengisap darah, umur nyamuk (longevity), semakin panjang umur nyamuk maka semakin besar potensinya untuk menjadi vektor malaria, kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit, frekwensi mengisap darah, kepadatan populasi dan siklus gonotropik nyamuk (Depkes 2003). Nyamuk Anopheles betina membutuhkan darah untuk pematangan telurnya. Sifat nyamuk Anopheles spp. mengisap darah dapat bersifat antropofilik : lebih suka mengisap darah manusia dan zoofilik : lebih suka mengisap darah hewan. Sifat nyamuk mancari darah hewan sukar ditentukan mengingat beberapa spesies juga menyukai darah manusia seperti yang di laporkan oleh Boewono & Ristiyanto (2004) bahwa A. aconitus dalam mencari mangsa bersitat heterogen, artinya tidak ada selektifitas hospes bagi spesies ini untuk mendapat mangsa sebagai sumber darah. Spesies ini sangat adaptif dan cepat mencari mangsa pengganti, apabila hospes pilihan tidak dijumpai di lingkungan hidupnya. Untuk kepentingan pengendalian vektor, perilaku nyamuk Anopheles mengisap darah berdasarkan tempat perlu diketahui, demikian pula dengan waktu mengisap darah pada malam hari. Perilaku nyamuk dibedakan atas eksofagik (lebih cenderung mengisap darah di luar rumah) dan endofagik (mengisap darah di dalam rumah). Frekwensi kontak vektor yang sering terjadi menjadi satu di antara faktor yang menyebabkan penularan malaria (Hardwood & James 1979). Nyamuk A. sundaicus di daerah pantai Pangandaran, Jawa Barat lebih cenderung kontak dengan manusia di luar rumah daripada di dalam rumah dan puncak kepadatan mengisap darah pada pukul 02.00-03.00 (Situmeang 1991). Di desa Kasimbar, Sulawesi Tengah, A. barbirostris mengisap darah lebih dominan di luar rumah, puncaknya terjadi pada jam 23.00-24.00 (Jastal et al. 2001). 2.4.4 Faktor lingkungan Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik yang terdiri atas suhu udara, kelembaban, curah hujan, dan kecepatan angin. Lingkungan fisik, kimiawi dan biologik perairan sebagai habitat perkembangbiakan Anopheles dan lingkungan sosial budaya masyarakat di daerah potensial penularan malaria. Faktor lingkungan fisik berupa iklim makro dan mikro (cuaca) berpengaruh terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan, umur dan distribusi vektor malaria, Curah hujan mempengaruhi tipe dan jumlah habitat perkembangbiakan, temperatur serta kelembaban nisbi, dan menyebabkan peningkatan atau penurunan kepadatan populasi nyamuk. Peningkatan suhu dan kelembaban nisbi berdampak terhadap pertumbuhan parasit malaria. Pada populasi vektor yang tinggi dan diikuti dengan percepatan pertumbuhan parasit menjadi stadium infektif akan meningkatkan risiko penularan. Bruce-Chwat (1985) menyatakan bahwa faktor yang paling penting dalam penularan malaria adalah suhu dan kelembaban. Kondisi yang terbaik untuk pengembangan plasmodium pada Anopheles spp. dan penularan infeksi adalah temperatur antara 200C-300C. Pada suhu kurang dari 150C bagi Plasmodium vivax, P .malaria, P. ovale dan suhu kurang dari 190C bagi P. falciparum, siklus sporogoni akan tertunda. Parasit malaria dalam tubuh nyamuk akan berhenti berkembang pada temperatur di bawah 160C. Kelembaban mempengaruhi kelangsungan hidup, kebiasaan mengisap darah, dan istirahat dari nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Pada kelembaban yang tinggi nyamuk akan menjadi lebih aktif dan lebih sering mengisap darah (Gunawan 2000). Nyamuk umumnya menyukai kelembaban di atas 60% (Depkes 2007c). Hujan berperan penting dalam epidemiologi malaria karena menyediakan media bagi tahapan akuatik dari daur hidup nyamuk (Depkes 2007c). Perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa memiliki hubungan langsung dengan curah hujan. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada curah hujan dan jumlah hari hujan, sebagaimana dilaporkan oleh Santoso (2002) dalam penelitiannya di Kokap Kulonprogo bahwa fluktuasi kepadatan rata-rata A. maculatus dan A. balabacensis yang berada di sungai dan mata air mempunyai pola yang berlawanan dengan indeks curah hujan, kepadatan populasi rendah pada saat indeks curah hujan tinggi dan sebaliknya. Curah hujan yang berlebihan akan mengubah aliran kecil air menjadi aliran yang deras sehingga banyak larva, pupa dan telur nyamuk akan terbawa arus air. Sebaliknya curah hujan yang rendah menyebabkan genangan air menetap pada suatu lokasi yang dapat menjadi habitat potensial bagi perkembangbiakan larva Anopheles spp.