uji daya analgetik senyawa gamavuton menggunakan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir semua orang pernah merasakan nyeri, sekitar 50 juta orang Amerika
terganggu aktivitasnya karena nyeri (Dipiro dkk., 2005). Di Indonesia sendiri
pasien dengan keluhan nyeri merupakan jumlah terbesar dari seluruh pasien yang
mengunjungi fasilitas kesehatan. Pada Mei 2002 di poliklinik penyakit saraf
fakultas kedokteran negeri seluruh Indonesia, tercatat 4.456 pasien dengan
keluhan nyeri dan merupakan 25% dari total pengunjung (Anonim, 2003).
Nyeri akut seperti sakit kepala dan nyeri tertusuk, walau tidak berbahaya
namun sering mengganggu aktivitas penderita sehingga produktivitas dan kualitas
hidupnya menjadi berkurang, nyeri persisten berdampak lebih berat daripada nyeri
akut karena lebih membatasi aktivitas penderita sehingga kualitas hidupnya
semakin memburuk. Tidak heran jika di Inggris mengeluarkan dana sedikitnya
1.632 juta poundsterling pada tahun 1998 hanya untuk meringankan nyeri
persisten seperti nyeri punggung. Yang lebih mengkhawatirkan adalah prevalensi
kejadian meningkat seiring bertambahnya umur (Tunks, 2002), sehingga jika
angka harapan hidup semakin meningkat (semakin banyaknya jumlah manula)
maka jumlah penderita dan jumlah finansial yang dikeluarkan akan semakin
meningkat pula.
Kurkumin tidak menyebabkan ulkus pada lambung usus tikus (Wahyuni,
1999), meskipun sebagian besar obat anti inflamasi non steroid yang
menunjukkan efek samping pada saluran cerna. Namun kurkumin kurang stabil
2
pada pH > 6,5. Gamavuton-0 (GVT-0) merupakan senyawa analog kurkumin yang
lebih stabil dan mempunyai daya antiinflamasi. Dari hasil penelitian Sardjiman
(2000), GVT-0 dilaporkan memiliki daya antiinflamasi pada tikus Wistar yang
diinduksi karagenin dengan ED50 36,6 mg/kgBB (p.o), lebih poten daripada
fenilbutason ( ED50 = 58,8 mb/Kg BB p.o) dan sebanding dengan kurkumin (ED50
= 36 mg/KgBB, peroral), GVT-0 dilaporkan memiliki daya penangkapan radikal
bebas OH (metode Deoksiribosa) dengan ES15 = 21,68 µM lebih poten daripada
kurkumin (ES15 = 25,77 µM) (Yuniarti, 2006). Dari penelitian–penelitian di atas
tampak jelas bahwa modifikasi molekul kurkumin menjadi GVT-0 menyebabkan
adanya perbaikan aktivitas biologisnya. Dari segi produksi, prosedur dan bahan
yang digunakan untuk sintesis GVT-0 relatif lebih sederhana dan jauh lebih
mudah didapat dan murah dibandingkan kurkumin.
Senyawa gamavuton-0 (1,5-bis(4’hidroksi-3’-metoksifenisl)-1,2-pentadien3-on, GVT-0) merupakan salah satu senyawa analog kurkumin. Senyawa ini
mempunyai jembatan rantai karbon yang lebih pendek (pentadienon) daripada
kurkumin (heptadeindion), satu gugus karbonil sama sekali tidak mempunyai
gugus metilen. Senyawa ini dilaporkan mempunyai aktivitas antioksidan dan
antiinflamasi (Sardjiman, 2000). Senyawa GVT-0 mempunyai kerangka 1,5difenil-1,4-pentadien-3-on. Hilangnya gugus metilen dan gugus karbonil menjadi
1,4-pentadien-3-on membuat senyawa ini menjadi senyawa yang lebih stabil
daripada kurkumin, dengan tetap memiliki sifat antioksidatif. Masuda dkk, (1993)
melaporkan bahwa senyawa 1,5-bis(4’hidroksi-3’-metoksifenil)-1,2-pentadien-3on mempunyai daya hambat terhadap autooksidasi asam linoleat yang lebih tinggi
3
dari kurkumin dan mempunyai daya antiinflamasi yang sama dengan kurkumin.
Gambar 1. Struktur senyawa Gamavuton-0
Berdasarkan paparan di atas diketahui bahwa GVT-0 mempunyai aktivitas
sebagai antiinflamasi. Mekanisme kerja antiinflamasi GVT-0 adalah dengan
menghambat pelepasan mediator-mediator inflamasi (seperti bradikinin dan
prostaglandin).
Berdasarkan penelitian Ikawati (2014), Gamavuton-0 sebagai analgetika
akut dan persisten, digunakan metode modified hot plate. Dilaporkan memiliki
ED50 27,69 mg/kg BB.
KMGVT-0 yang merupakan turunan dari kurkumin dan analog dari
gamavuton-0 belum pernah diteliti daya analgetik pada nyeri akut, oleh karena itu
perlu dilakukan uji dengan metode modified hot plate (MHP) untuk mengevaluasi
daya analgetik KMGVT-0 pada nyeri akut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan dalam pengembangan KMGVT-0 sebagai obat analgetik
baru.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah senyawa Kalium mono-gamavuton-0 sebagai analog kurkumin
memiliki aktivitas analgetik akut pada mencit jantan galur BALB/C dengan
metode modified hot plate ?
2. Berapa besar daya analgetik akut dalam persen (%) senyawa Kalium mono-
4
gamavuton-0 sebagai analog kurkumin pada mencit jantan galur BALB/C
dengan metode modified hot plate ?
3. Berapa Nilai ED50 senyawa Kalium mono-gamavuton-0 sebagai analog
kurkumin pada mencit jantan galur BALB/C dengan metode hot plate ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui adanya efek analgetik senyawa KMGVT-0 pada mencit jantan
galur BALB/C menggunakan metode modified hot plate,
2. Mengetahui besar daya analgetik senyawa KMGVT-0 dibandingkan dengan
parasetamol menggunakan metode modified hot plate,
3. Mengetahui
nilai
ED50 senyawa
KMGVT-0 pada aktivitas
analgetik
menggunakan metode modified hot plate.
D. Tinjauan Pustaka
1. Nyeri
Nyeri akan menyebabkan reaksi refleks motorik dan reaksi psikis. Beberapa
kerja motorik timbul secara refleks dari medula spinalis karena impuls nyeri yang
memasuki subs grisea medula spinalis dapat langsung memulai refleks penarikan
diri yang menjauhkan tubuh atau bagian tubuh dari rangsang berbahaya. Reaksi
refleks motorik yang dirangsang oleh nyeri ini bertujuan untuk menghilangkan
rangsang yang menyakitkan tersebut atau disebut sebagai mekanisme bentuk
melindungi diri agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut, sedangkan reaksi psikis
meliputi sedih, cemas, menangis, depresi, dan mual. Reaksi-reaksi ini sangat
5
bervariasi antara satu individu dengan individu lain (Guyton, 1994).
Berdasarkan durasi, nyeri dibagi menjadi :
a. Nyeri akut
Merupakan nyeri ikutan yang terjadi segera setelah tubuh mengalami
luka, nyeri akut ini sangat berguna untuk mengidentifikasi lokasi luka atau
mencegah kerusakan yang lebih berat, meskipun pada kasus perlukaan saraf
pada organ visceral sangat bias dan sulit untuk ditentukan lokasinya.
Sensasi nyeri akut biasanya dapat hilang dengan sendirinya atau
berkurang jika penyebabnya dihilangkan, namun terkadang pada kasus tertentu
(seperti operasi dan trauma) nyeri yang tidak diobati atau atau pengobatan yang
tidak efektif dapat menyebabkan takikardi, peningkatan tekanan darah dan
penurunan kapasitas paru-paru (Koda Kimble dan Young, 2001) sehingga akan
mempengaruhi kenyamanan dan penderita, efek dapat diperburuk oleh rasa
cemas penderita.
b. Nyeri kronis
Merupakan nyeri yang terjadi setelah nyeri akut atau nyeri menetap
yang tidak hilang dengan pengontrol nyeri yang biasanya, sensasi nyeri
berlangsung lebih dari 3 bulan. Penyebab nyeri ini mungkin neurogenik, psikis
atau idiopatik. Tidak seperti nyeri akut, nyeri kronis mungkin tidak ada
manfaatnya bagi penderita, sering kali rasa sakit tetap dirasakan penderita
meskipun penyebabnya sudah dihilangkan. Rasa nyeri dapat bersifat episodik
dan berkelanjutan atau kombinasi keduanya. Seseorang biasa merasakan
sensasi nyerinya konstan atau tiba-tiba terasa sakit pada waktu-waktu tertentu.
6
Nyeri kronis sering kali menyebabkan penurunan kualitas hidup,
keterbatasan fungsional, penurunan spiritual, psikologis dan kenyamanan. Juga
sering menimbulkan gangguan nafsu makan, kurang tidur, bahkan deperesi.
Penderita sering kali merasa tidak pernah bebas dari penyakitnya dan mungkin
akan terus sampai ia meninggal (Koda Kimble dan Young, 2001).
Untuk
mempengaruhi
nyeri
dengan
obat,
terdapat
kemungkinan
kemungkinan berikut (Mutschler, 1991) :
a. Mencegah stabilisasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis
prostaglandin dengan analgetika yang bekerja secara perifer,
b. Mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai
anastesi permukaan atau anastesi inflitrasi,
c. Menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anastesi
konduksi,
d. Meringankan atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat
dengan analgetik yang bekerja pada SSP atau obat narcosis,
e. Mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka
neuroleptika, antidepresan).
(trankuliansia,
7
Psikofarmaka
Otak
Anastesi, analgetik sentral
Sumsum tulang belakang
Saraf
Anastesi konduksi
Anastesi permukaan
Analgetik perifer
Reseptor nyeri
Gambar 2.
Bagan kemungkinan pengaruh macam-macam obat terhadap nyeri (Mutchler,
1991)
Reseptor nyeri hanya dirangsang oleh gradasi panas atau dingin yang
ekstrim, karena itu bersama dengan reseptor dingin dan reseptor hangat
betranggung jawab terhadap terjadinya sensasi “sangat dingin” (freezing cold)
dan sensasi “panas yang menyengat” (burning hot) (Guyton, 1994).
Reseptor dingin dan reseptor hangat terletak tepat di bawah kulit, yakni pada
titik-titik yang berbeda dan terpisah-pisah, dengan diameter perangsangan kirakira 1 mm. serabut saraf A dan serabut saraf C merupakan serabut nyeri. Serabut
saraf C yang tidak bermielin dan lebih kecil dari A sering berperan dalam proses
menghantarkan impuls rangsang mekanis, panas dan kimia. Serabut C juga
berakhir di dorsal Horn, melepaskan neurotransmitter berupa asam amino
glutamat dan aspartat. Selain ini juga melepaskan peptidalain yaitu subtansi P,
8
neurokin A, somatostatin, galakin dan calcitoningene-related peptide (CGRP).
Transmisi impuls melalui serabut C akan menghasilkan nyeri lemah dan rasa
seperti terbakar dan lokasi nyeri susah ditentukan.
2. Analgetika
Analgetika adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay dan Rahadja, 2002). Berdasarkan potensi
kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua
kelompok (Mutschler, 1991) sebagai berikut :
a. Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalang nyeri yang kuat sekali dengan titik
kerja yang terletak di SSP. Mereka umumnya mengurangi kesadaran (sifat
meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia).
Lagipula
mengakibatkan
toleransi
dan
kebiasaan
(habituasi),
serta
ketergantungan fisik dan psikis (“ketagihan, adiksi”) dengan gejala-gejala
abstinensi bila pengobatan dihentikan. Secara kimiawi obat-obat ini dapat
dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
1) Alkaloida candu alamiah dan sintetis, contohnya : morfin, petidin, kodein,
heroin, hidromorfon, hidrokodon dan diamin.
2) Pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari :
a) Petidin dan turunan-turunannya : fentanil dan sufentanil.
b) Metadon
dan
turunan-turunannya
piritramida, dan d-propoksifen.
:
dekstromoramida,
bezritamida,
9
c) Fenantren dan turunannya levorfano, termasuk pula pentazonin. (Tjay dan
Rahardja, 2002)
b. Analgetika perifer (non-narkotik)
Obat-obat
ini
juga
dinamakan
analgetika
perifer,
karena
tidak
mempengaruhi SSP, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan.
Analgetik non narkotik berasal dari golongan antiinflmasi non steroid (AINS)
yang menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Disebut AINS karena sebagai
analgetik, sebagian anggotanya mempunyai efek antiinflamasi dan penurun
panas (antipiretik), dan secara kimiawi bukan steroid. Semua AINS bekerja
mengikat siklooksigenase (COX). COX sendiri berfungsi mengkonvensi asam
arakidonat menjadi prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin yang akan
merangsang timbulnya tanda-tanda inflamasi. AINS diindikasikan untuk nyeri
seperti pada sakit kepala, pencabutan gigi, cedera jaringan, dan nyeri persendian.
Karena dapat menghambat sintesis prostaglandin pada daerah tertentu (Priyanto
2008). Cara kerja AINS dan kortikosteroid dapat dilihat pada gambar 2.
10
Perangsangan (kemis, termis, fisik)
Gangguan membran sel
Fospolipid
Bradikinin
Kortikostreoid
Fospolipase
Asam arakidonat
AINS
lipooksigenase
sikloosigenase
Leukotrin
Prostaglandin
Fagositosis meningkat
Tromboksan
- Permeabilitas vaskuler
- Konstriksi bronkus
- Peningkatan sekresi
Prostasiklin
Modulasi leukosit
Inflamasi
Inflamasi
=
dihambat
Gambar 3. Cara kerja AINS dan kortikosteroid (Priyanto, 2008)
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut :
1) Golongan Salisilat
Salisilat merupakan prototype AINS yang sampai sekarang masih
digunakan. Termasuk salilisilat adalah Na-salisilat, aspirin (asam asetil
11
salisilat), salisilamid, dan metil salililat. Golongan salililat dapat mengiritasi
lapisan mukosa lambung. Orang yang peka terhadap efek ini akan
mengalami mual setelah minum aspirin. Aspirin selain berefek analgetik,
antipiretik dan antiinflmasi, dalam dosis kecil juga berfungsi sebagai
antitrombosis
(antiplatelet).
Pada
dosis
kecil
juga,
aspirin
dapat
menghambat agregasi trombosit (koagulan) (Priyanto, 2008).
2) Asetaminofen
Obat ini bermanfaat untuk analgetik dan antipiretik, contohnya adalah
parasetamol. Efek antipiretiknya terjadi karena langsung mempengaruhi
pusat pengatur panas di hipotalamus. Efek analgetiknya terjadi karena
kemampuan menghambat sintesis prostaglandin di SSP (Priyanto, 2008).
3. Enzim siklooksigenase
Obat-obat analgetik antiinflamasi, terutama yang non steroid bekerja dengan
cara menghambat enzim siklooksigenase (COX), baik COX-1 maupun COX-2.
Sedangkan enzim COX merupakan produk metabolit dari asam arakidonat dan
sangat berperan dalam berbagai bentuk inflamasi baik akut, maupun kronik.
Enzim siklooksigenase (COX) terdiri dari dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2.
Enzim COX-1 merupakan enzim yang bersifat konstitutif, yang artinya
keberadaannya selalu tetap dan tidak dipengaruhi oleh adanya stimulus. Enzim ini
mengkatalisis sintesis prostaglandin yang dibutuhkan oleh tubuh yang normal,
12
termasuk untuk proteksi mukosa lambung, sedangkan COX-2 bersifat indusible,
yang berarti keberadaannya tergantung adanya induksi dari stimulus. Enzim ini
meningkat ekspresinya pada kondisi inflamasi termasuk kanker, dengan demikian
enzim COX-2-lah (bukan COX-1) yang terlibat dalam patofisiologi inflamasi
(Ikawati, 2008).
Penghambatan enzim COX-2 dapat mengurangi pembentukan prostaglandin
sehingga rasa nyeri tidak akan terasa atau tidak timbul. Enzim prostaglandin
memodulasi komponen-komponen inflamasi, senyawa-senyawa prostaglandin
juga terlibat dalam kontrol suhu tubuh, transmisi nyeri, agregasi platelet, dan efekefek lain. Senyawa-senyawa ini tidak disimpan oleh sel, tetapi disintesis dan
dilepaskan sesuai kebutuhan (Janet, 2009).
COX-1 mengkatalisis pembentukan prostaglandin di lambung, ginjal dan
platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal
lambung, ginjal dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya
pada tempat inflamasi, sehingga jika enzim ini terhambat akan mencegah
pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Ganiswarna, 2002).
4. Prostaglandin
Aksi analgetik antipiretik, seperti parasetamol adalah dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer
(jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai antiinflamasi (Dwiprahasto,
1989). Prostaglandin merupakan mediator analgetik atau inflamasi utama yang
13
terlibat dalam kontrol suhu, transmisi nyeri, agregasi platelet. Golongan obat
NSAID menghambat aktivitas enzim COX sehingga konversi asam arakidonat
menjadi endoperoksida pada prostaglandin terganggu sehingga banyak berubah
menjadi hiperoksida dan tidak menghambat leukotrien yang berperan dalam
inflamasi (Ganiswarna, 2002).
Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan. Prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi
mekanik dan kimiawi. Jadi prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia,
kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan
menimbulkan nyeri yang nyata (Wilmana, 1995).
Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang
ditimbulkan oleh efek langsung prostaglandin. Ini menunjukkan bahwa sintesis
prostaglandin yang dihambat oleh golongan obat ini, bukan blokade langsung
(Wilmana,1995). Proses prostaglandin, salah satu mediator rasa nyeri dapat dilihat
pada gambar 3.
14
Kortikosteroid
Fospolipase
AINS
Lipooksigenase
Siklooksigenas
e
=
dihambat
Gambar 3. Biosintesis Prostaglandin (Wilmana, 1995)
5. Parasetamol
Parasetamol merupakan turunan para-aminofenol yang berfungsi sebagai
analgetik-antipiretik. Nama lain dari parasetamol antara lain : acetaminophen,
acetophenum,
para-acetamidophenol,
N-asetil-para-aminofenol,
dan
para
15
hydroxyl-acetanilida (Anonim, 1995). Struktur kimia parasetamol dilihat pada
gambar 4.
Gambar 5. Struktur Senyawa Parasetamol
Parasetamol pertama kali disintesis oleh Morse tahun 1878 dengan daya
analgetik-antipireutik setingkat para-aminofenol. Namun, khasiat tersebut baru
diperkenalkan pada tahun 1893 oleh Von Mering karena pada saat ditemukan,
masih terdapat analgetik-antipireutik pilihan (aspirin, asetanilida, fenasetin),
sehingga pemakaiannya belum dianjurkan (Donatus, 1994).
Penggunaan parasetamol pada pengobatan baru dimulai pada tahun 1950-an,
yakni setelah ditegaskan oleh Gordie pada tahun 1948 dan Axelrod pada tahun
1949 bahwa analgetik terkait merupakan metabolit berkhasiat asetanilida dan
fenasetin dengan parasetamol. Di Amerika, parasetamol mulai beredar pada tahun
1950. Di Inggris, penggunaan parasetamol dimulai sejak 1956 dengan beredarnya
sediaan tunggal panadol. Sejak saat itu, penggunaan parasetamol meningkat
karena diduga lebih aman daripada fenasetin maupun aspirin (Donatus, 1994).
Namun demikian penggunaan parasetamol perlu diperhatikan pula karena
dosis 6-12 g sudah dapat merusak hati. Hal ini disebabkan karena terbentuknya
metabolit toksik dalam hati, yang pada dosis 10 g dapat diikat oleh glutation.
Tetapi pada dosis yang lebih tinggi persediaan akan zat ini telah terpakai
seluruhnya dan terjadi pengikatan pada molekul-molekul makro lainnya dari
sel-sel hati sehingga menyebabkan kerusakan yang irreversible (Tjay dan Rahadja,
16
2002).
Parasetamol berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit,
meleleh pada suhu ± 170o C, pH 5,3-6,5, pKa 9,5. Satu gram larut dalam 70 mL
air, 20 mL air hangat, 10 mL alkohol, 50 mL kloroform, 40 mL gliserin, dan
praktis tidak larut dalam eter. Rumus molekul Parasetamol adalah C8H9NO2
dengan berat molekul 151,16 (Anonim,1995).
Absorbsi parasetamol sangat dipengaruhi oleh kecepatan pengosongan
lambung. Jika kecepatan pengosongan lambung dihambat oleh makanan, penyakit,
atau obat, maka kecepatan absorbsi parasetamol akan menurun. Dalam keadaan
puasa, absorbsi parasetamol sangat cepat dan kadar puncak dalam plasma dicapai
hanya dalam waktu 15-30 menit (Prescot,1980).
Parasetamol mengalami metabolisme fase I menghasilkan metabolit reaktif
elektrofil N-asetil-para-benzokuionimina (NAPQI) karena adanya proses oksidasi
oleh system enzim sitokrom P-450. Metabolit reaktif ini akan mengalami
detoksifikasi secara normal melalui konjugasi dengan glutation hati membentuk
konjugat parasetamol merkapturat. Tetapi jika kandungan glutation hati dapat
dihabiskan atau jika kandungannya dapat berkurang menjadi 20-30% nilai normal,
maka metabolit reaktif tersebut akan berikatan dengan makromol sel hati dan
akibatnya dapat terjadi kematian sel (Donatus, 1994).
Ekskresi parasetamol lewat urin dalam bentuk konjugat glukuronida, sulfat,
asam merkapturat, sistein dan parasetamol utuh. Konjugat sulfat dan glukoronida
diekskresikan dengan cepat kedalam urin. Ekskresi parasetamol bebas kedalam
urin melalui filtrasi glomeruler kemudian mengalami reabsorpsi tubuler (Setiasih,
17
2003). Metabolisme parasetamol dilihat pada gambar 5.
Gambar 6. Metabolisme Parasetamol
5. Kalium mono-gamavuton-0 (KMGVT-0)
Senyawa kalium 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on merupakan
senyawa analog kurkumin sedangkan kurkumin merupakan zat aktif yang terdapat
dalam tanaman marga Curcuma. Beberapa analog kurkumin, yaitu turunan
pentagavumon, turunan heksagamavunon, dan turunan gamavuton telah disintesis
dan dilaporkan memiliki aktivitas anti inflamasi (Sardjiman et al, 2000).
Garam natrium dan kalium dari kurkumin pernah dilaporkan memiliki
aktivitas sebagai anti radang dan penghilang rasa sakit yang lebih poten
dibandingkan kurkumin. Sebagai garam, baik garam natrium maupun garam
kalium dari kurkumin memiliki kelebihan lain yaitu sangat larut di dalam air,
18
sehingga dapat dibuat sediaan cair yang stabil. Sebagai garam dari analog
kurkumin, garam kalium dari 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on diduga
memiliki aktivitas sebagai anti radang dan penghilang rasa sakit yang poten.
Secara ekonomis, produksi senyawa ini diperkirakan cukup murah karena
menggunakan bahan-bahan dasar yang murah dan mudah didapat di Indonesia
karena diproduksi di Indonesia, yaitu vanillin (hasil fermentasi dari biji tanaman
vanili (Vanilia planifolia), aseton, dan kalium hidroksida.
Garam kalium dari 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on yang
dibuat dengan mereaksikan vanillin, aseton, dan kalium hidroksida. Senyawa
tersebut memiliki ciri-ciri berupa : serbuk berwarna merah kecoklatan (merah
bata), tidak berbau dan berasa khas (menebalkan lidah), belum melebur pada suhu
2000C, sangat mudah larut dalam air. Serbuk tersebut mudah dilarutkan dalam air
dan diasamkan akan menjadi serbuk berwarna kuning dengan titik lebur
124-1270C yang tidak larut dalam air, dan jika serbuk kuning tersebut dilakukan
identifikasi dengan kromatografi gas-spektrometri massa didapat waktu retensi
17,076 menit dan m/z ion molekuler 192 (100%).Rumus struktur senyawa
tersebut adalah sebagai berikut :
K+Gambar 7 . Struktur Senyawa KMGVT-0
19
Dari gambar 7. terlihat perbedaan senyawa KMGVT-0 dengan (1,5bis(4’hidroksi-3’-metoksifenisl)-1,2-pentadien-3-on adalah pada penggantian
hidrogen asam dari gugus fenol dengan kalium.
6. Metode Uji Daya Analgetik
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh seberapa
besarnya rasa sakit yang dialami dengan menggunakan hewan uji sehingga dapat
membantu manusia dalam penemuan suatu obat baru. Pembagian metode daya
analgetik berdasarkan jenis analgetik menurut Turner (1965) sebagai berikut :
a. Analgetika Narkotik
1). Metode Jepitan Ekor
Sekelompok tikus diinjeksi senyawa uji dengan dosis tertentu secara
subkutan dan intravena. Tiga puluh tikus kemudian dilakukan jepitan arteri
dari karet tipis dipasang pada pangkal ekor selama 30 menit. Tikus yang
tidak diberi analgetik akan berusaha terus melepaskan diri dari jepitan
tersebut karena rasa sakit yang dirasakan. Respon positif adanya daya
analgetik dapat dicatat jika tidak ada usaha dari tikus untuk melepaskan
diri dari jepitan selama 15 menit (Turner, 1965).
2). Metode Pengukuran Tekanan
Metode ini menggunakan alat untuk mengukur tekanan yang diberikan
pada tikus dengan cara seragam, alat tersebut terdiri dari 2 syringe yang
dihubungkan ujungnya, yang rata-rata bersifat elastis, fleksibel dan
terdapat pipa plastic yang berisi dengan sebuah cairan sisa pipa
dihubungkan dengan manometer. Syringe yang pertama, diletakkan pada
20
posisi vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di
bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari
syringe kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan system hidrolik pada
syringe pertama kemudian dengan ekor tikus. Manometer akan membaca
ketika mencit member respon. Respon tikus pertama adalah meronta-ronta
kemudian akan memberikan tanda kesakitan (Turner, 1965).
3). Metode Potensi Petidin
Pada metode ini dibutuhkan hewan uji dalam jumlah besar. Tiap
kelompok tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3
bagian. Diberi petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50.
Persen analgetik dihitung dengan bantuan metode rangsang panas (Turner,
1965).
4). Metode Pencelupan Air Panas
Pada metode ini, tikus disuntik secara intraperitonial dengan senyawa
uji, kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air panas (580C). Respon tikus
terlihat dari hentakan ekornya yangg menghindari panas (Turner, 1965).
b. Analgetik Golongan Non Narkotik
1). Metode Geliat Rangsang Kimia
Pada metode ini, rangsangan kimia berupa rasa nyeri yang timbul pada
hewan uji karena pemberian zat kimia secara intraperitonial. Zat yg sering
digunakan sebagai induktor rasa nyeri antara lain : asam asetat dan
fenilkuinon. Metode ini cukup peka untuk pengujian analgetik
menggunakan senyawa dengan daya analgetik lemah. Metode ini
21
sederhana, reprodusibel dan hasilnya tidak spesifik. Pemberian senyawa
analgetik akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri sehingga respon
gerakan geliat yang timbul berkurang atau tidak terjadi sama sekali,
frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang
dirasakan. Senyawa pembanding yang sering digunakan dalam metode ini
adalah analgetik non narkotik yaitu asetosal dan sodium asetil asetat. Obat
ini dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri
yang diinduks secara kimia pada hewan uji (Turner, 1965).
2). Metode podolorimeter
Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur daya analgetik.
Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan
listrik untuk mengukur daya analgetik. Alas kandang tikus terbuat dari
kepingan metal yang bisa mengalirkan listrik. Respon ditandai dengan
suara dari tikus tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1
jam (Turner, 1965).
3). Metode Rangsang Panas
Metode ini menggunakan lempeng panas (hot plate) yang terdiri dari
silinder untuk mengendalikan. Hot plate bersuhu antara 50-55o C
dilengkapi dengan pemanas yang berisi campuran yang sebanding antara
aseton dan etilformat yang mendidih. Tikus yang sudah diberi larutan uji
secara subkutan atau peroral, diletakkan pada hot plate yang sudah
disiapkan. Respon tikus dalam bentuk menjilat-jilat telapak kakinya lalu
akan melompat pada silinder. Selang waktu antara pemberian stimulus
22
nyeri dan terjadinya respon, yang disebut waktu reaksi, dapat diperpanjang
oleh pengaruh obat-obat analgetik. Perpanjangan waktu reaksi ini
selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas
analgetik (Turner, 1965).
Metode modified hot plate (MHP) pertama kali diperkenalkan oleh Lavich,
dkk (2005). MHP merupakan metode evaluasi daya analgetik yang simple dan
sensitif untuk mendeteksi hiperalgesia dan analgetik peripheral pada tikus dan
mencit. Metode ini murah dan sangat cocok untuk mengevaluasi nyeri inflamasi
pada hewan yang hiperaktif, seperti mencit dan tikus (Lavich, dkk., 2005).
Metode ini menggabungkan metode hot plate dengan induksi kimia
menggunakan karagenan atau prostaglandin. Setelah penyuntikan karagenan atau
prostaglandin intralantar pada kaki mencit, selanjutnya mencit diletakan pada hot
plate yang dijaga suhunya agar konstan pada 51oC. Respon yang diamati adalah
lamanya waktu latensi yang diperlukan mencit sejak diletakan di atas hot plate
sampai menggetakan (shaking) dan atau mengangkat (lifting) kaki yang disuntik
karagenan (Lavich, dkk., 2005).
Metode MHP dapat digunakan untuk mendeteksi sensasi nyeri yang
disebabkan inflamasi maupun hiperalgesia perifer dan lebih sensitif dibandingkan
classical hargreaves’ test (Lavich, dkk., 2005). Penggunaan karagenan sebagai
induser inflamasi menyebakan terjadinya inflamasi akut pada kaki mencit
sehinggga menyebabkan terjadinya nyeri akut (Portanova dkk., 1996).
23
E. Hipotesis
1. senyawa Kalium mono-gamavuton-0 sebagai analog kurkumin memiliki
aktivitas analgetik akut pada mencit jantan galur BALB/C dengan metode
modified hot plate.
2. Senyawa Kalium mono-gamavuton-0 memiliki persen (%) daya analgetik akut
sebagai analog kurkumin pada mencit jantan galur BALB/C dengan metode
modified hot plate.
3. Senyawa Kalium mono-gamavuton-0 sebagai analog kurkumin memiliki nilai
ED50 pada mencit jantan galur BALB/C dengan metode hot plate.
Download