81 INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI PSEUDOFERTILISASI Abstrak Induksi partenogenesis menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma telah dilakukan pada tanaman Dianthus chinensis. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan tanaman haploid melalui pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. Percobaan pseudofertilisasi dilakukan dua kali. Pada percobaan pertama, dosis iradiasi sinar gamma 100 Gy diaplikasikan pada serbuk sari dua genotipe dari spesies Dianthus chinensis Dchi-11 dan D.chi-13. Ovari hasil pseudofertilisasi dipanen pada umur 10-14 hari. Penyelamatan embrio hasil pseudofertilisasi ditanam di dua media uji yaitu media M8 (MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin + 60 g L-1 sukrosa) dan media M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin + 20 g L-1 sukrosa). Pada percobaan kedua, tiga level dosis iradiasi sinar gamma 100, 200 dan 300 Gy diaplikasikan pada serbuk sari genotipe Dchi-11. Penyelamatan embrio menggunakan media MS + 0.057 µM NAA + 2,22 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin + 30% sukrosa. Embrio yang berhasil tumbuh disubkultur di media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis 100 Gy merupakan dosis minimum untuk menonaktifkan serbuk sari dan menginduksi partenogenesis. Semua media uji untuk penyelamatan embrio dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan embrio. Penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diradiasi 100 – 200 Gy dapat menginduksi partenogenesis Dianthus sp. menghasilkan tujuh tanaman haploid (PF69.1; PF69.2; C11; D231; D9.1; D9.2 dan D19.1). Frekuensi tanaman haploid yang diperoleh adalah 5,1 tanaman haploid dari 100 persilangan. Pseudofertilisasi menghasilkan putatif mutan dwarf pada D9.1 dan D231 serta mutan abnormalitas pembungaan. Tanaman haploid ganda langsung dapat digunakan sebagai tetua persilangan untuk mendapatkan tanaman hibrida F1. Kata kunci: Dianthus chinensis, tanaman haploid, partenogenesis, iradiasi serbuk sari 82 HAPLOID PLANTS INDUCTION OF Dianthus chinensis TROUGH PSEUDOFERTILIZATION Abstract Parthenogenesis induce by irradiated pollen was ivestigated for the Dianthus chinensis. The objective of this study was to obtain haploid plants through pseudofertilization with irradiated pollen. Pseudofertilization consists of two unit experiment. The first experiment was 100 Gy gamma ray dose applicated on two genotipes (Dchi-11 and D.chi-13) of Dianthus chinensis pollen. Ovari obtained from pseudofertilization were harvested 10-14 days after pseudofertilization. Embryos were rescued on two medium of M8 (MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mM proline + 60 g L-1 sucrose) and M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mM proline + 20 g L-1 sucrose). The second experiment was three level dose of gamma irradiated pollen (100, 200 and 300 Gy) applicated on Dchi-11 pollen. Embryos rescued on MS medium supplemented with 0.057 µM NAA + 2,22 µM BA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mM proline + 30% sucrose. Enlarged embryos were subcultured in free MS medium. Result showed that 100 Gy dose was minimum dose to inactivate pollen inducing artificial parthenognetic. All medium tested could be used to emerged embryo growth. Pollination using 100-200 Gy gamma irradiated pollen dose can induce Dianthus chinensis parthenogenesis produce five haploid plants (PF69.1; PF69.2; C11; D231; D9.1; D9.2 dan D19.1). Frequency haploid plant as 5,1 haploid plants from 100 crossing. Putative mutant dwarf of D9.1 and D231 were obtained from pseudofertilization. Haploid plant could be used for parent to obtain hybrid F1. Key words: Dianthus chinensis, haploid plant, parthenogenesis, irradiated pollen 83 Pendahuluan Spesies-spesies tanaman Dianthus yang lebih dikenal dengan tanaman anyelir (carnation) beradaptasi di daerah pegunungan Alpine di Eropa dan Asia, serta ditemukan pula di daerah Mideterranean. Tanaman ini pada umumnya adalah tanaman diploid (2n = 2x = 30). Bentuk tetraploidnya juga telah ditemukan, sedang tanaman triploidnya diproduksi untuk tujuan komersial, tetapi sebagian besar tanaman ini adalah aneuploid (Brooks, 1960). Ketersediaan kultivar anyelir di pasar pada umumnya adalah tanaman diploid (Galbally & Galbally, 1997). Menurut Sparnaaij dan Koehorst-van Putten (1990) spesiesspesies komersial seperti D. barbatus, D. japonicus, D. chienensis dan D. superbus merupakan spesies-spesies yang sering digunakan untuk transfer karakter kegenjahan ke tanaman anyelir. Dianthus chinensis merupakan spesies yang paling adaptif baik pada hari pendek dan hari panjang serta paling genjah diantara spesies yang lain. Potensi untuk mendapatkan tanaman haploid dengan frekuensi yang tinggi dari kultur serbuk sari yang belum masak dan kultur ovul yang tidak diserbuk telah banyak diteliti. Teknik lain untuk mendapatkan tanaman haploid adalah parthenogenesis. Partenogenesis merupakan sel telur yang berkembang menjadi embrio tanpa fertilisasi (Kasha dan Maluczynski 2003). Partenogenesis dapat dilakukan melalui pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dan digunakan untuk penyerbukan. Pseudofertilisasi dengan memanfaatkan serbuk sari yang diradiasi diikuti dengan penyelamatan embrio telah banyak diterapkan pada beberapa tanaman buah-buahan yaitu plum (Peixe et al. 2000), kiwi (Chalak and Legave, 1997), Melon (Katoh et al. 1993), jeruk (Bermejo et al. 2011), sedangkan pada tanaman hias telah dilakukan pada primula (Carraro et al. 1990), bunga matahari (Todorova et al. 2004), mawar (Meynet et al. 1994), anyelir (Dianthus caryophillus) (Sato et al. 2000; Dolcet-Sanjuan et al. 2001) dan tanaman lain seperti kapas (Aslam, 2000; Savaskan, 2002). Pada buah-buahan banyak menghasilkan buah tanpa biji (partenokarpi) yang disebabkan oleh embrio yang mengalami degenerasi (Sugiyama et al. 2002). Pada tanaman apel tanaman haploid berhasil diregenerasi setelah diserbuk dengan polen yang diiradiasi sinar gamma pada level dosis 200 – 500 Gy diikuti dengan penyelamatan embrio pada umur 2-3 bulan setelah penyerbukan dengan media MS (Zhang et al. 1991). 84 Sementara pada tanaman mawar dosis 500 Gy merupakan dosis yang minimum untuk menginduksi parthenogenesis (Meynet et al. 1994). Pada tanaman melon dosis yang diperlukan adalah 300 Gy sinar Gamma. Pada tanaman anyelir, Sato et al. (2000) menggunakan dosis iradiasi 100 Krad sinar X. Sementara DolcetSanjuan et al. (2001) menggunakan dosis iradiasi 1000 Gy sinar gamma untuk mendapatkan tanaman yang tahan Fusarium oxysporum. Penelitian Sato et al (2000) dengan perlakuan iradiasi sinar X 100 kRad pada serbuk sari sebagai donor polen menghasilkan 300 ovari yang berhasil ditanam, tetapi hanya 55 ovari yang berhasil tumbuh dan beregenerasi. Dari 55 ovari yang beregenerasi tersebut, 1 regeneran adalah haploid, sementara 54 regeneran lainnya bersegregasi pada generasi selfing selanjutnya. Sementara dosis iradiasi sinar X 200 Gy diperoleh 100 ovari, tetapi hanya 1 ovari saja yang tumbuh, dan tidak bersegregasi pada generasi selfing selanjutnya. Dari hasil penelitian Sato et a.l (2000) ini, menunjukkan bahwa penggunaan sinar X kurang efektif untuk menonaktifkan perkecambahan serbuk sari, sehingga pada percobaan 1 ini digunakan sinar gamma untuk menggantikan sinar X. Tujuan penelitian adalah mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang dapat menonaktifkan serbuk sari untuk pseudofertilisasi dan mendapatkan tanaman haploid melalui penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan tanaman hias, Cipanas dan Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Hias, Segunung dengan ketinggian tempat 1100 m dpl mulai April 2011 sampai Juli 2012. Penelitian terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama bertujuan untuk mendapatkan media yang sesuai untuk penyelamatan embrio. Percobaan ke dua merupakan pengembangan hasil percobaan pertama dengan meningkatkan dosis perlakuan iradiasi. Penelitian terdiri atas dua percobaan (1) Pseudofertilisasi dengan dosis 100 Gy (2) Pseudofertilisasi dengan dosis 0, 50, 100, 200, 300 Gy Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100 Gy Pada percobaan ini dicari donor ovul dan serbuk sari yang sesuai untuk mendapatkan tanaman haploid. Bahan tanaman untuk donor ovul menggunakan 85 spesies Dianthus chinensis D-chi11, Dchi-14 dan D-chi15 koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias. Donor serbuk sari diambil dari spesies Dianthus chinensis D.chi13 dan D.chi14 yang telah berumur 6 bulan. Tanaman ditanam di pot ukuran 17 cm dengan media tanaman campuran humus daun bambu:arang sekam: pupuk kandang = 2:1:1. Prosedur Pelaksanaan Koleksi serbuk sari, iradiasi dan penyerbukan Serbuk sari diambil dari kuncup bunga berukuran 1,8 cm pada tahap T8 (umur 11 hari) dikumpulkan dalam cawan petri dan diiradiasi menggunakan sinar gamma pada alat Gamma chamber 4000 A (CAIRT-BATAN, Indonesia) dengan laju dosis 80 kRad/jam per April 2011. Dosis yang digunakan adalah dosis tunggal 100 Gy. Setelah diiradiasi, sampel serbuk sari diuji aktivitasnya dengan menumbuhkannya pada larutan sukrosa 15% pada suhu inkubasi 25 oC, selama 24 jam serta dengan pewarnaan aceto-orcein. Kemudian diamati di bawah mikroskop untuk memastikan bahwa serbuk sari tidak aktif. Serbuk sari yang tidak aktif dilihat dari ketidak mampuannya berkecambah setelah 24 jam. Satu hari sebelum penyerbukan, bunga betina reseptif diemaskulasi kemudian ditutup dengan kertas untuk menghindari penyerbukan dari serbuk sari yang tidak diinginkan. Penyerbukan dilakukan dengan menempelkan serbuk sari yang telah diradiasi pada kepala putik dan ditutup kembali dengan kantong kertas. Penyelamatan embrio Buah dipetik pada umur 10 hari sampai 14 hari setelah penyerbukan. Buah dibersihkan dengan akuades steril, kemudian diikuti sterilisasi alkohol 96% selama 10 detik kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Buah yang telah steril dibelah dan embrio muda yang membengkak ditanam pada media. Media yang diuji ialah media M8 = MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa (Sato et al. 2000), dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999). Dua media tersebut dimodifikasi dengan penambahan 2,7 mM L-glutamin + 0,9 mM L-prolin. Kultur embrio muda diinkubasi dalam ruang dengan suhu 25 oC dengan penyinaran 16 jam tiap hari dengan intensitas cahaya 1000 – 1700 lux. Embrio yang tumbuh menjadi tanaman kemudian disubkultur pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Pengamatan 86 dilakukan terhadap jumlah persilangan, jumlah ovari yang dipanen, jumlah ovari gugur, jumlah ovari yang diselamatkan, jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata, dan jumlah kromosom yang diambil pada meristem pucuk. Evaluasi Ploidi Evaluasi tingkat ploidi awal tanaman dilakukan dengan menghitung jumlah kloroplas dalam sel penjaga stomata pada daun yang telah membuka sempurna (daun ke 3 – 5). Lapisan daun bagian bawah dikupas dan ditempatkan pada gelas preparat, ditambah beberapa tetes aquades, dan ditutup dengan gelas penutup, kemudian diperiksa di bawah mikroskop pada perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40. Penghitungan jumlah kromosom dilakukan di Puslitbang Biologi LIPI menggunakan potongan meristem. Potongan tersebut direndam dalam larutan 0,002 M 8-Hydroxyquinolin selama 3-5 jam pada suhu 4 oC, kemudian dibilas dengan akuades, dan difiksasi dalam 45% asam asetat selama 10 menit. Potongan pucuk (meristem) dimasukkan pada campuran larutan1 N HCl dan 45% asam asetat dengan perbandingan 1:3 pada air dengan suhu 60 oC selama 1-5 menit, dan diwarnai dengan aceto-orcein 2%, dilakukan squashing kemudian di amati di bawah mikroskop. Verifikasi tingkat ploidi dilakukan dengan menggunakan alat flow cytometer PARTEC CCA untuk PF35.1, PF42, dan PF79 yang dilakukan di Balai Besar Biogen dengan membuat suspensi dari potongan daun muda sekitar 1 cm2 yang dilarutkan dengan 1 ml buffer ekstraksi. Suspensi disaring menggunakan mikrofilter 0.2 µm, dimasukkan dalam Cuvet dan diwarnai dengan 4,6-diamidino2-phenylindole (DAPI). Cuvet dimasukkan pada alat flow cytometer yang telah dioptimasi menggunakan suspensi kontrol diploid Dianthus chinensis Dchi-11. Penentuan ploidi juga dilakukan dengan alat flow cytometer CyFlow® space di Pusat Penelitian Biologi LIPI, menggunakan buffer PI, untuk PF35.1 dan PF89. Penentuan plodi PF69.1 dan PF69.2 dilakukan di East West Seed Indonesia menggunakan buffer Ewindo. Analisis isozim Analisis dengan isozim dilakukan untuk melihat adanya keragaman hasil pseudofertilisasi. Bahan tanaman menggunakan daun yang masih segar (100 – 200 g). Daun tersebut digunting halus dimasukkan ke dalam mortar yang telah diberi pasir kuarsa, dengan menambahkan buffer pengekstrak sebanyak 0,5 ml, 87 kemudian digerus sampai halus. Selanjutnya kertas saring yang ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan dimasukkan dalam mortar untuk menyerap cairan sel daun yang telah hancur. Kertas saring yang telah menyerap cairan sel dari setiap sampel dibersihkan untuk kemudian disisipkan pada gel yang telah dilubangi. Elektroforesis dilakukan dalam ruangan atau lemari es pada suhu antara 5 – 10 oC. Elektroforesis awal selama 30 menit pada 100 volt dan dielektroforesis tetap pada 150 atau 200 watt selama 3 sampai 4 jam. Setelah selesai elektroforesis gel dibelah menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalan) pada posisi horizontal. Kertas saring sebelumnya dikeluarkan dari lubang-lubang. Lembaran gel dimasukkan dalam nampan, kemudian diberi pewarna esterase (EST) dan peroksidase (PER). Nampan selanjutnya ditutup dengan aluminium foil diinkubasi pada suhu ruang sampai muncul pita-pita pada gel yang cukup jelas. Pewarna esterase (EST) mengandung 100 m Sodium fosfat pH 7 (100 ml), 1-Naftil asetat (50 mg), 2- Naftil asetat (5 mg), dan Aseton (100 mg). Pewarna peroksidase (PER) mengandung 50 mM Natrium asetat pH 5 (0,5 ml), 3-Amino-9etilkarbason (100 ml), CaCl2 (50 mg), H2O2 3% (50 mg), Aseton/N,N-Dimethylformamid (5 ml). Setelah pewarnaan gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian difiksasi dengan 50% gliserol ; 50% etanol. Kemudian gel didokumentasi. Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan berbagai macam dosis sinar gamma 0, 50, 100, 200 dan 300 Gy Bahan tanaman menggunakan Dianthus chinensis D.chi-11 (hasil terbaik pada percobaan 1 koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias sebagai donor ovul. Serbuk sari dambil dari Dianthus chinensis D.chi-14 yang banyak menghasilkan serbuk sari. Prosedur Pelaksanaan Koleksi serbuk sari, iradiasi dan penyerbukan Kuncup bunga dari serbuk sari Dchi-14 pada tahap T8 (11 hari setelah inisiasi bunga) dikumpulkan dalam cawan petri dan diiradiasi menggunakan sinar gamma pada dosis 50, 100, 200, dan 300 Gy pada alat Gamma chamber 4000 A (CAIRT-BATAN, Indonesia) dengan laju dosis 1 kRad/48 detik pada tanggal 23 Agustus 2011. Sebagai kontrol adalah serbuk sari tanpa diiradiasi. Sampel dari serbuk sari yang diiradiasi setiap dosis diamati aktivitasnya setelah dikecambahkan pada larutan sukrosa 15% pada suhu inkubasi 25 oC, selama 24 88 jam. Kemudian dihitung persentase serbuk sari yang berkecambah dalam satu bidang pandang. Penghitungan dilakukan pada enam bidang pandang sebagai ulangan. Kuncup bunga dari donor ovul di emaskulasi satu hari sebelum penyerbukan dan disungkup dengan kandung kertas untuk menghindari serbuk sari dari bunga lain. Penyerbukan dilakukan dengan menempelkan serbuk sari yang telah diradiasi pada kepala putik dan ditutup kembali dengan kantong kertas. Penyerbukan dengan serbuk sari tanpa diiradiasi digunakan sebagai kontrol. Penyelamatan embrio Buah dipanen pada umur dua minggu setelah penyerbukan. Buah dibersihkan dengan akuades steril, kemudian diikuti sterilisasi dengan alkohol 96% selama 2 detik kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Buah yang telah steril dibelah dan embrio muda ditanam pada media. Buah yang telah steril dikultur pada media MS + 0.057 µM NAA + 2,22 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin and 30% sukrosa. Kultur embrio muda diinkubasi dalam ruang dengan suhu 25 oC dengan penyinaran 16 jam tiap hari dengan intensitas cahaya 1000 – 1700 lux. Embrio yang tumbuh menjadi tanaman kemudian disubkultur pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Plantlet yang telah berakar kemudian diaklimatisasi pada kondisi luar dengan media coco peat steril. Evaluasi Ploidi Pemeriksaan ploidi awal secara tidak langsung menggunakan penghitungan jumlah kloropas pada sel penjaga stomata dengan analisis flow cytometry. Analisis ploidi ini dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong menggunakan alat CyFlow® space (Partec GmbH yang dilengkapi dengan diode pumped solid-state laser 920 mW) pada panjang gelombang 488 nm and laser diode pada panjang gelombang 638 nm (25 mW). Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam Petri discs yang berisi 500 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 50 µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan PI (Propidium Iodide) dan Rnase (2 ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 – 60 menit sebelum dianalisis dalam flow cytometry. Sebagai kontrol (diploid) digunakan daun muda dari Dianthus chinensis D.chi-11. 89 Hasil Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gaam pada dosis 100 Gy Efek iradiasi pada perkecambahan serbuk sari terlihat bahwa serbuk sari yang diiradiasi pada dosis iradiasi 100 Gy menghambat perkecambahan serbuk sari (Gambar 31C) dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak di iradiasi. Serbuk sari yang tidak diiradiasi mampu berkecambah sempurna (Gambar 31A,B). Selain itu pada dosis 100 Gy kemampuan menyerap pewarna aceto-orcein berkurang (Gambar 31E) dibandingkan dengan kontrol yang mampu menyerap pewarna aceto-orcein secara intensif (Gambar 31D). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk sari non aktif pada dosis iradiasi 100 Gy. A B C D E Gambar 31. Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkan pada larutan sukrosa 15%. (A dan B) serbuk sari tanpa diiradiasi, berkecambah (C) serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy (D) penyerapan pewarna aceto-orcein yang kuat dari serbuk sari kontrol, (E) penyerapan warna aceto-orcein yang lemah dari sebuk sari yang diradiasi pada dosis 100 Gy, Bar = 10 µM. Buah hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi, dipanen mulai umur 10 sampai 21 hari. Buah yang dipanen adalah buah yang berwarna hijau, sedangkan buah berwarna coklat menandakan buah tersebut telah gugur. Dari hasil observasi diperoleh bahwa umur 14 hari merupakan umur maksimal buah dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Dari sebanyak 123 persilangan yang telah dilakukan, 77 buah (62 %) dapat dipanen, 46 buah (38%) buah gugur (berwarna coklat). Dari 77 buah yang dipanen hanya 41 buah diteruskan untuk di kultur. Perlakuan iradiasi pada serbuk sari untuk penyerbukan mampu menginduksi partenogenesis dan diperoleh tujuh poros bunga (karpel) yang membawa biji belum masak yang selanjutnya ditanam di media penyelamatan embrio. Biji Dianthus chinensis dalam kondisi masak berwarna hitam. Jumlah poros bunga yang membawa biji yang ditanam di media M8 sebanyak 21 dan di 90 media M10 sebanyak 20. Hasil penyelamatan embrio ini diperoleh 7 karpel (0,13%) yang berisi 10 biji belum masak dan berhasil ditanam (Tabel 15). Tabel 15. Pengaruh media terhadap jumlah buah yang berhasil tumbuh dari ovari hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma Media Jumlah karpel yang ditanam Jumlah ovari yang tumbuh pada berbagai pseudofertilisasi ♂Serbuk sari Dchi-14 ♂Serbuk sari Dchi-13 ♀Dchi-11 ♀Dchi-15 ♀Dchi-15 ♀Dchi-14 M8 21 16 (4)* 1 (1)* 1 3 M10 20 17 (2)* 3 0 0 Keterangan : *) angka di dalam kurung adalah embrio yang berhasil tumbuh M8=MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa Embrio mulai tumbuh menjadi tunas pada minggu ke 4 setelah kultur. Selanjutnya ovari yang ditanam diberi kode PF03, PF35, PF42, PF69, PF74, PF79, dan PF89. PF 35, PF69 dan PF74 menghasilkan dua embrio, sedangkan yang lain hanya satu embrio. Pada pertumbuhan selanjutnya PF03 mati dan PF74 terkontaminasi. Enam embrio yang tersisa dapat tumbuh langsung menjadi tunas, sedangkan embrio dari PF89 yang dipanen umur 10 hari terinduksi menjadi kalus. (Gambar 32). A D B E C F G Gambar 32. Embrio yang berhasil tumbuh dari enam ovari hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. (A) PF35.1 (B) PF42 (C) PF69.1 (D) PF69.2 (E) PF74 (F) PF79 dan (G) PF89. Bar = 0,5 cm 91 Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa kedua media perkecambahan M8 dan M10 dapat digunakan sebagai media penyelamatan embrio. Namun M8 menghasilkan persentase tumbuh embrio yang lebih tinggi dibanding M10. Jumlah sukrosa M8 lebih tinggi dan menggunakan auksin NAA sedang media M10 menggunakan auksin 2,4-D. Hal yang sama juga terjadi pada mawar (Meynet et al. 1994) bahwa embrio dapat berkecambah di semua media uji dan tidak ada pengaruh penggunaan hormon yang berbeda-beda. Namun sebagian besar regeneran mengalami vitrifikasi. Embrio yang berhasil tumbuh pada media M8 dan M10 pada umumnya berasal dari pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari Dchi-14 (Tabel 16). Tidak ada satupun donor serbuk sari berasal dari Dchi-13 yang berhasil mendorong pembentukan embrio pada Dchi-14 dan Dchi-15. Tabel 16. Jumlah embrio yang tumbuh dari setiap ovari hasil pseudofertilisasi Kode ovari PF03 PF35 PF42 PF69 PF74 PF79 PF89 Betina Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-15 Donor polen Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Media M8 M8 M8 M8 M8 M10 M10 Jumlah embrio tumbuh 1+ 2# 1 2 2* 1 1 Keterangan: *) terkontaminasi +) planlet mati #) 1 embrio mati M8=MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa Evaluasi tingkat ploidy Dari total 10 embrio yang telah tumbuh terdapat 4 embrio terkontaminasi dan mati yaitu 1 embrio dari PF03, 1 embrio dari PF35 dan 2 embrio dari PF74. Genotipe PF35-1, PF42, PF69-1, PF69-2, PF79 dan PF89 dilanjutkan untuk evaluasi ploidi. Berdasarkan analisis jumlah kandungan kloropas pada sel penjaga stomata diperoleh 4 genotipe yang diduga haploid yaitu PF035-1, PF42, PF 69-1 dan PF79, sedang dua genotipe yaitu PF69-2 dan PF89 belum dapat dianalisis, karena belum membentuk daun (Tabel 17). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yuan et al. (2009) bahwa jumlah kloroplas bervariasi pada genotipe yang sama dengan kisaran jumlah kloropas antara 9-24 pada genotipe yang diduga haploid (Gambar 33A-E) dan 19-36 pada genotipe diploid (kontrol) (Gambar 33F). Empat genotipe yang diduga haploid dilanjutkan dengan analisis jumlah kromosom. 92 Tabel 17. Rata-rata dan kisaran jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata enam genotipe Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi dengan polen yang diiradiasi sinar gamma Genotipe PF035.1 PF042 PF069.1 PF079 Kontrol 1 Kontrol 2 Jumlah stomata yang diamati 77 144 47 21 116 34 Rata-rata jumlah kloroplas 15,88 ± 2,47 14,42 ± 1,79 13,51 ± 2,45 15,57 ± 2,18 26,00 ± 3,08 25,00 ± 2,19 Kisaran jumlah kloroplas 17 - 24 9 - 18 9 - 18 10 - 18 19 - 36 21 - 31 Gambar 33. Kloroplas dalam sel penjaga stomata tanaman Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi: (A) PF035.1, (B) PF042, (C) PF069.1, (D) PF69.2, (E) PF79, dan (F) diploid (kontrol) Bar =10 µm; Kromosom (G) PF35.1, (H) PF 42, (I) PF69.1, (J) PF79, (K) kontrol. Bar = 1 µm Analisis kromosom sangat sulit dilakukan pada akar yang berasal dari planlet in vitro, sehingga analisis jumlah kromosom menggunakan jaringan meristem pada planlet. Berdasarkan analisis jumlah kromosom menggunakan meristem pucuk planlet diketahui bahwa empat genotipe memiliki jumlah kromosom 15 (PF35.1, PF69.1, PF69.1 dan PF79) dan jumlah kromosom 30 (PF42 dan kontrol) (Gambar 33G-K). Pada PF79 terdapat kemungkinan telah terjadi penggandaan kromosom secara spontan. (Gambar 34). Namun hasil analisis kromosom ini juga masih meragukan. Untuk memperjelas analisis ploidi ini dilakukan analisis flow cytometri. 93 Gambar 34. Kromosom tanaman PF79 hasil pseudofertilisasi: terdapat dua sel dengan jumlah kromosom berlainan. Jumlah kromosom 30 (panah hitam), jumlah kromosom 15 (panah merah) Analisis dengan Flow cytometer diperoleh bahwa PF69.1 dan PF69.2 adalah haploid (Gambar 35). Pada histogram itu pula dapat dibuktikan adanya kemungkinan penggandaan spontan, terlihat adanya peak (puncak) 4C. Analisis dengan flow cytometer pada PF 35.1, PF42, PF79 dan PF89 menunjukkan bahwa tanaman-tanaman tersebut adalah diploid (Gambar 36 dan 37). A B C Gambar 35. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF69.1 dan PF69.2 hasil pseudofertilisasi: (A) Kontrol diploid, (B) PF69-1 dan (C) PF69-2 94 File: Anyelir Kontrol Date: 17-02-2012 Time: 09:12:43 Particles: 7401 Acq.-Time: 254 s partec CyFlow 200 A Kontrol diploid 160 2C counts 120 80 4C 40 0 0 200 File: Anyelir PF89 Date: 17-02-2012 Time: 09:22:58 400 FL1 -326 s Particles: 8452 Acq.-Time: 600 800 1000 partec CyFlow 200 B PF89 160 2C counts 120 80 4C 40 0 0 200 400 FL1 - 600 800 1000 Gambar 36. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF89 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol diploid, (B) PF89 diploid A Kontrol B PF35.1 Gambar 37. Histogram DNA hasil analisis flow cytometry pada tanaman PF35.1 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol; (B) PF 35.1 Setelah aklimatisasi, dari enam genotipe hasil pseudofertilisasi hanya 3 genotipe (PF42, PF69.1 dan PF69.2) yang berbunga (Gambar 38). Genotipe PF42 morfologi daun dan bunga yang sangat berbeda dengan donor ovul dan serbuk 95 sarinya. PF42 memiliki corak berbintik putih yang merata pada petal dengan warna petal sama dengan donor ovul. Perbedaan juga terjadi pada bentuk dan ukuran daun, tipe batang yang lebih roset dibanding dua sumber atau donor ovul dan serbuk sari. PF42 kemungkinan mengalami mutasi selama proses penyelamatan embrio secara in vitro. PF69.1 memiliki warna daun kekuningan, kemungkinan karena terjadi gangguan pada klorofil. Waktu berbunga tanaman ini sangat lama (11 bulan), dan bunga tidak memiliki antera. PF69.2 memiliki pertumbuhan vegetatif normal, tetapi bunga tidak memiliki antera. Dari hasil ini terlihat bahwa perbedaan antara diploid dengan haploid yang utama adalah bagian bunga. Tanaman diploid memiliki antera, sedangkan tanaman haploid tidak memiliki antera (Gambar 38L, M). . Gambar 38. Pertumbuhan planlet in vitro dan tanaman hasil pseudofertilisasi. (A) kontrol, (B) PF35-1, (C) PF42, (D) PF69-1 (E) PF69-2, (F) PF79 (G) Tanaman hasil pseudofertilisasi umur 3 bulan setelah aklimatisasi, (H) tanaman PF42, (I) tanaman PF69.1, (J) tanaman PF69.2, (K) bunga PF42, (L) bunga PF69.1, (M) bunga PF69.2 PF35.1, PF79, PF89 memiliki pertumbuhan vegetatif roset dan tidak berbunga. PF79 dan PF89 memiliki daun yang tipis, dan peka terhadap busuk akar. Untuk mengetahui asal-usul dari PF35.1, PF42, PF79, dan PF89, maka dilakukan analisis isoenzim dan hasilnya disajikan pada Gambar 39. Analisis isozim Analisis isozim dilakukan dengan mengambil sampel daun PF35.1, PF 42, PF79, dan PF89. Tanaman donor ovul Dchi-11, donor serbuk sari Dchi-14 dan 96 salah satu keturunan hasil persilangan kedua donor tersebut (151) digunakan sebagai kontrol. Tanaman haploid akan memiliki pita yang sama atau lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman donor betina dan tidak ada pita yang berasal dari donor serbuk sari. Pita yang terbentuk pada isozim merupakan hasil reaksi enzimatik dari substrat dengan enzim yang diamati. Hasil analisis isozim dengan sistem enzim esterase (EST) diperoleh bahwa PF35.1 dan PF89 memiliki pita yang sama dengan induk betina Dchi-11. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan PF35.1 dan PF89 berasal dari perkembangan bagian dari sel donor betina, namun dua pita yang sama ini juga dimiliki oleh donor jantan Dchi-14. PF 79 berbeda satu pita dari donor ovulnya (pita tidak ada). Dua pita yang lain memiliki pita sama dengan donor ovul dan donor serbuk sari, namun dengan sistem enzim peroksidase (PER) PF79 memiliki pita sama dengan donor betina, dan tidak memiliki satu pita (Gambar 39, tanda anak panah). Hasil ini masih meragukan sehingga perlu diuji melalui segregasi turuannya melalui selfing. Namun karena tanaman ini berbentuk roset dan tidak berbunga, sehingga tidak dapat diuji segregasinya. PF42 memiliki satu pita yang sama sekali berbeda dari Dchi-11 dan Dchi-14 baik pada sistem enzim esterase dan peroksidase, menunjukkan bahwa PF42 mengalami mutasi. Hasil selfing dari PF42 memiliki keragaman yang tinggi pada bentuk daun, warna daun, dan bunga (40), sehingga memberikan indikasi PF42 adalah diploid. A B Gambar 39. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) esterase (EST) dan (B) peroksidase (PER) pada tanaman hasil pseudofertilisasi PF35.1, PF42, PF79 dan PF89 menggunakan serbuk sari yang diiradiasi sinar gamma 100 Gy Dari sistem enzim peroksidase terdapat satu pita spesifik yang hanya dimiliki oleh donor jantan dan tanaman F1 (Gambar 39B, tanda panah) dan tidak 97 dimiliki PF35.1, PF79 dan PF79. Hasil sistem enzim peroksidase ini menunjukkan bahwa kemungkinan PF35.1, PF79 dan PF89 berasal dari donor betina Dchi11. Gambar 40. PF42 dan progeni hasil penyerbukan sendiri tanaman PF42 hasil pseudofertilisasi. (A) bunga PF42, (B-L) bunga progeni hasil selfing PF42. (M) keragaman pertumbuhan PF42 Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan berbagai macam dosis sinar gamma 0, 50, 100, 200 dan 300 Gy Pengujian aktivitas serbuk sari Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh dosis iradiasi. Makin meningkat dosis irradiasi sinar gamma, perkecambahan serbuk sari semakin menurun dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak diiradiasi (Gambar 41). Laju perkecambahan serbuk sari kontrol (serbuk sari tidak diiradiasi) rata-rata adalah 79,28%. laju perkecambahan rata-rata yang diamati pada serbuk sari yang Persentase perkecambahan diiradiasi dengan dosis 50 Gy adalah 10,34%. 100 79,28 80 60 40 10,34 20 0 -20 0 100 200 dosis iradiasi(Gy) 300 Gambar 41. Persentase perkecambahan serbuk sari D. chinensis Dchi-14, 24 jam setelah iradiasi sinar gamma. Hasil ini menunjukkan bahwa pada dosis 50 Gy serbuk sari tidak dapat digunakan sebagai donor, karena masih terdapat peluang serbuk sari untuk menyerbuki sel telur. Tingkat dosis iradiasi 100 – 300 Gy mampu menonaktifkan serbuk sari, sehingga dapat digunakan sebagai donor serbuk sari. 98 Pemanenan buah Semua buah dipanen pada umur dua minggu setelah penyerbukan. Dari 104 buah yang diserbuki, hanya dapat dipanen 53 buah. Buah gugur pada perlakuan serbuk sari yang diiradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa iradiasi) (Gambar 42). Keguguran buah kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan tabung polen mencapai kantong embrio. Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi pada gugurnya buah secara morfologi terlihat dari keringnya buah pembentukan buah (5) yang dimulai pada satu minggu setelah penyerbukan. 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 100,00 66,67 0,00 100,00 43,24 40,54 200,00 300,00 Dosis iradiasi (Gy) Gambar 42. Persentase pembentukan buah pada D. chinensis yang diserbuki dengan serbuk sari yang diradiasi dengan berbagai dosis sinar gamma. Buah gugur terjadi setelah dua minggu perlakuan pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 – 300 Gy. Jumlah total embrio yang membesar tidak dipengaruhi oleh dosis iradiasi. Pada Tabel 18 terlihat bahwa pada dosis 200 Gy memiliki rata-rata jumlah embrio yang terbentuk per buah yang tertinggi. Namun jumlah embrio yang membesar tidak selalu mampu untuk tumbuh dan berkecambah (Tabel 19). Tabel 18. Jumlah dan karakteristik buah yang dipanen dan biji yang diperoleh setelah penyerbukan D. chinensis Dchi-11 dengan serbuk sari D. chinensis Dchi-14 yang diradiasi dengan sinar gamma. Dosis iradiasi (Gy) 0 100 200 300 Jumlah Jumlah bunga yang diserbuki 6 24 37 37 104 Jumlah buah yang dipanen 6 16 16 15 53 Rata-rata panjang buah (cm) 1,45 ± 0,28 1,28 ± 0,05 1,33 ± 0,06 1,25 ± 0,11 Rata-rata diameter buah (cm) 0,45 ± 0,14 0,29 ± 0,10 0,37 ± 0,06 0,43 ± 0,04 Total embrio 60 55 89 74 Rata-rata embrio yang terbentuk/buah 10,0 3,4 5,6 4,9 278 Keterangan: rata-rata embrio yang terbentuk dihitung dari total embrio/jumlah jumlah buah yang dipanen 99 Tabel 19. Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap perkecambahan biji dan kualitas planlet setelah 4 bulan dan 7 bulan hasil pseudofertilisasi Dosis (Gy) Jumlah embrio 0 100 200 300 Jumlah 60 55 89 74 278 Embrio berkecambah jumlah % 15 14 22 7 58 25,00 23,64 23,60 9,46 Setelah 4 bulan Planlet normal 15 8 13 3 39 Setelah 7 bulan Planlet abnormal 0 6 9 4 19 Planlet normal 15 5 13 2 35 Planlet abnormal 0 9 9 5 23 Keterangan: plantlet normal dan abnormal dihitung dari jumlah embrio yang berkecambah Rata-rata embrio yang terbentuk dari hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma 100 – 300 Gy menurun dibandingkan dengan kontrol (Tabel 18). Pengaruh lain akibat irradiasi ialah menurunnya persentase perkecambahan pada dosis 100 - 300 Gy, tetapi tidak ada perbedaan antara dosis 100 dan 200 Gy (Tabel 19). Persentase planlet normal dengan perlakuan pada dosis 100 (57%) dan 200 (59%) mendekati setengah dari kontrol (50%). Dari hasil ini, maka dapat digunakan untuk menentukan dosis 50% planlet abnorma (%)l (Gambar 43). 120 y = 0,267x + 17,18 R² = 0,762 100 80 7 bulan 4 bulan 60 40 y = 0,168x + 11,31 R² = 0,747 20 0 0 100 200 300 400 Dosis iradiasi (Gy) Gambar 43. Grafik hubungan antara dosis iradiasi sinar gamma terhadap persentase abnormal planlet D. chinensis setelah 4 bulan dan 7 bulan. Abnormalitas dosis 50 mirip dengan penentuan LD50 (Lethal dosis 50) yang digunakan untuk menentukan batas maksimum dosis iradiasi yang untuk mendapatkan mutan maksimum. Kemudian kisaran dosis ini dikaitkan dengan dosis irradiasi yang menghasilkan tanaman haploid yang maksimal, sehingga dari dua waktu penentuan dosis abnormalitas dosis 50% dapat ditentukan waktu penghitungan abnormalitas dosis 50% yang tepat. Pada penelitian ini diduga 100 bahwa tanaman haploid mendekati tanaman abnormal, sehingga dosis untuk mendapatkan tanaman haploid yang maksimal berada dibawah AD50. AD50 Dianthus chinensis hasil penelitian ini adalah 230,30 Gy (setelah 4 bulan) dan 122,92 Gy (setelah 7 bulan). Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi terhadap plantlet in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas langsung keluar dari ovul, dan hanya satu embrio yang membentuk kalus yaitu pada dosis irradiasi 100 Gy (C5). Pembentukan tunas yang terjadi adalah 1 tunas per ovul. Beberapa plantlet yang dihasilkan dari penyerbukan dengan polen yang diiradiasi menunjukkan fenotipe abnormal. Bentuk-bentuk abnormal pada umumnya yaitu pada bagian daun dan batang (Gambar 44). Gambar 44. Planlet hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100-300 Gy. (A-C) planlet abnormal hasil pseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gamma pada dosis 300 Gy (DG) planlet normal hasil pseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gamma pada dosis 100-200 Gy. Planlet normal hasil dari penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan dosis 100 – 300 Gy pertumbuhannya sama dengan kontrol tetapi laju pertumbuhannya agak lambat. Beberapa planlet ini memiliki fenotipe yang 101 berbeda dengan kontrol. Pada saat daun pertama muncul, semua organ, daun tangkai daun dan cabang memiliki ukuran yang lebih kecil (Gambar 44B) dibandingkan dengan kontrol (Gambar 44A). Tiga planlet C18.2, C21.4 dan E30C memiliki daun variegata (Gambar 44C). Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi terhadap tingkat ploidi Dari hasil percobaan 1 diketahui bahwa, pertumbuhan planlet yang kecil dan lambat merupakan karakteristik tanaman haploid. Maka untuk planlet-plantlet dengan pertumbuhan lambat ini, sebelum dilakukan multiplikasi, planlet diamati jumlah kloroplasnya. Jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata tanaman yang diduga haploid kurang lebih setengah dari tanaman diploid. (Gambar 45D-G). B A D E F C G H Gambar 45. Pertumbuhan planlet normal dan planlet yang diduga haploid, bentuk daun variegata serta jumlah kloroplas di sel penjaga stomata. (A) tanaman kontrol diploid, (B) plantlet yang diduga haploid, (C) daun variegata E30C, (D) jumlah kloroplas sel penjaga stomata C11, (E) D9.1, (F) D9.2, (G) D19.1 dan (H) kontrol Kloroplas pada sel penjaga stomata lima sampel planlet dihitung jumlahnya dan diperoleh rata-rata memiliki jumlah kloroplas berkisar antara 10 – 20. Analisis flowcytometer menggunakan tanaman standar atau kontrol D. chinensis “D-chi11” (tanaman donor) yang memiliki tingkat ploidi diploid. Hasil analisis menunjukkan bahwa planlet yang diduga haploid berdasarkan jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata sejalan dengan analisis flow cytometer. Lima sampel haploid yang diuji semuanya haploid (Gambar 46, 47). Hasil ini sama dengan perbobaan 1. Dari hasil ini dapat dibuktikan bahwa jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata dapat digunakan untuk menduga tingkat ploidi D. chinensis. 102 Gambar 46. Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer pada tanaman D9.2 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol diploid Dchi-11; (B) haploid D9.2 dari serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 200 Gy. Gambar 47. Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer pada tanaman C11, D9.1, D19.1, D231: (A) kontrol diploid Dchi-11; (B) C11 hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy; (C-E) berturut-turut haploid D9.1, D9.2, D19.1 dan D231 hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 200 Gy 103 Hasil analisis dengan Flow cytometer diketahui bahwa 5 genotipe haploid tersebut mengandung campuran ploidi haploid dan diploid yang ditunjukkan adanya peak atau puncak 4C pada tanaman haploid. Dosis iradiasi 200 Gy menghasilkan jumlah tanaman haploid yang lebih banyak dibandingkan dengan polen yang diiradiasi sinar gamma. Aklimatisasi hasil pseudofertilisasi Hasil pseudofertilisasi sebagian besar sudah dapat diaklimatisasi dan hasilnya disajikan pada Tabel 20. Dari pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diradiasi dengan dosis sinar Gamma 100 Gy diperoleh 7 tanaman, dosis 200 Gy 13 tanaman dan 300 Gy diperoleh 3 tanaman yang normal. Dari total 23 tanaman hasil pseudofertilisasi 16 tanaman sudah berbunga, 7 tanaman belum/tidak berbunga. Dari 23 tanaman yang dapat diaklimatisasi, empat sampel haploid (hasil analisis dengan flow cytometer) semua sudah berbunga (Gambar 48). Tabel 20. Hasil aklimatisasi 23 regeneran hasil pseudofertilisasi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Kode genotipe C7.1 C7.2 C11 C13.1 C18.1 C18.2 C21.4# D231 D7.1 D7.2 D6.2 D9.1 D9.2 D13.1 D14.1 D15.1 D15.2 D19.1 D37B.2# D37B.5# E30C# E37B.6# E30d.1 Tanaman berbunga/tidak berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga tidak berbunga tidak berbunga tidak berbunga berbunga berbunga berbunga tidak berbunga berbunga berbunga berbunga tidak berbunga tidak berbunga tidak berbunga berbunga berbunga Jumlah tanaman 1 1 1 6 2 1 4 2 1 3 1 1 1 3 2 4 3 3 1 1 1 1 1 Keterangan Haploid ganda* ** Daun variegata Daun variegata Haploid* Haploid ganda* ** Haploid* Haploid Ganda** Daun variegata Keterangan: * hasil analisis dengan flow cytometer ** terjadi penggandaan spontan secara in vivo # pseudofertilisasi dilakukan 2 hari setelah iradiasi dengan sinar Gamma 104 Bunga berukuran kecil tidak memiliki serbuk sari yang merupakan salah satu ciri tanaman haploid. Haploid ganda terjadi pada D19.1 yang menghasilkan bunga yang normal dan warna bunga yang (mendekati warna donor betina). Untuk membuktikan bahwa D19.1 merupakan haploid ganda dilakukan penyerbukan sendiri D19.1, dan hasilnya dapat diperoleh biji normal tetapi mengalami depresi inbreeding. Biji-biji tersebut hanya tumbuh 30% dengan pertumbuhan yang sangat lambat. Jumlah kloroplas D19.1 pada saat kondisi haploid berkisar antara 10-14, sedang setelah terjadi penggandaan spontan berkisar 20-22. A B E F C G D H Gambar 48. Empat genotipe haploid dan haploid ganda hasil pseudofertilisasi yang sudah berbunga (A,E) C11, hasil pseudofertilisasi dengan dosis sinar gamma 100 Gy, (B,F) D9.1 hasil pseudofertilisasi dengan dosis sinar gamma 200 Gy, (C,G) D9.2 hasil pseudofertilisasi dengan dosis sinar gamma 200 Gy, (D,H) D19.1 hasil pseudofertilisasi dengan dosis sinar gamma 200 Gy Pada percobaan pseudofertilisasi ke 2 ini juga ditemukan abnormalitas pembungaan. Mutan tersebut memiliki struktur seperti daun di tempat organorgan pembungaan menghasilkan kelopak ganda (Gambar 49A). Pada perkembangan selanjutnya terjadi pertumbuhan bunga yang normal, dan kasus ini semua terjadi pada satu tanaman yaitu E30d-1. Diduga tanaman berada pada kondisi peralihan dari tanaman haploid menjadi tanaman haploid ganda. 105 Gambar 49. Tanaman hasil pseudofertilisasi E30d-1, hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirdiasi dengan sinar gamma 300 Gy. (A) mutan yang memiliki struktur seperti daun di tempat organ-organ pembungaan. (B) abnormalitas dalam bentuk chimera terdiri atas bunga normal dan tidak normal. Anak panah merah = bunga tanpa antera, anak panah kuning = bunga normal, anak panah putih = bunga transisi dengan antera tidak lengkap. Hasil pseudofertilisasi masih terdapat tanaman-tanaman putatif haploid dan haploid ganda yang belum dianalisis ploidinya seperti, C18.1, D15.2, E37B.6 dan lainnya (Gambar 50). Warna bunga tanaman tersebut berkisar dari warna putih sampai pink kemerahan. Gambar 50. Bunga dari tanaman donor dan bunga dari tanaman hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100-200 Gy. (A) bunga tanaman donor ♀, (B) bunga tanaman donor ♂, (C-G) bunga dari tanaman yang diserbuki dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100 Gy, (I-L) bunga dari tanaman yang diserbuki dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100 Gy . 106 Pembahasan Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan dosis 100 Gy Hasil penelitian pseudofertilisasi Dianthus chinensis menggunakan sinar gamma pada dosis 100 Gy dapat menonaktifkan serbuk sari. Akibat dari serbuk sari yang non aktif menyebabkan buah gugur setelah 2 minggu, ditandai dengan berubahnya warna ovari dari warna hijau menjadi coklat. Buah harus dipanen sebelum umur 2 minggu. Hasil penelitian Sato et al. (2000), menggunakan donor betina Dianthus caryophyllus yang diiradiasi dengan sinar X pada level dosis 100 kRad, serbuk sari mampu berkecambah di dalam tabung polen dan dapat mencapai stilus. Pembengkakan buah terjadi satu minggu setelah penyerbukan, tetapi ovari akan mengalami aborsi pada umur 4 minggu, sehingga harus dikultur pada umur 2- 3 minggu setelah penyerbukan. Pada percobaan ini dari 123 persilangan semu (pseudofertilisasi) yang dilakukan diperoleh dua tanaman haploid yaitu PF69.1 dan PF69.2. Pseudofertilisasi PF 69.1 memiliki daun berwarna kekuningan, dengan umur berbunga yang lambat. Persentase tanaman haploid yang diperoleh pada penelitian ini lebih banyak jika dibandingkan dengan yang diperoleh Sato et al (2000) dengan hasil 1 tanaman haploid ganda dari 300 pseudofertilisasi dan Dolcetsanjuan et al. (2001) dengan hasil 3 tanaman haploid dari 1650 pseudofertilisasi. Tanaman yang dihasilkan dari biji hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi merupakan hasil dari tidak lengkapnya transmisi genom jantan (Peixe et al. 2000). Menurut Sestili dan Ficcadenti (1996), iradiasi pada tingkat yang rendah hanya merusak sebagian inti sel generatif serbuk sari saja, sehingga masih mampu berfusi dengan sel telur. Pada tanaman apel setelah penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi menghasilkan biji yang mengandung endosperm saja atau endosperm dan embrio. Pada dosis tertentu ada kemungkinan inti sperma tunggal masih ada dalam tabung sari sehingga mampu membuahi sel telur atau berfusi dengan inti polar (Nicoll et al. 1987). Jika hanya menghasilkan endosperm saja dipastikan tanaman adalah triploid, sedang jika menghasilkan embrio dan endosperm dipastikan diploid, tetapi dapat memunculkan mutan karena adanya transmisi gen dari tetua paternal. Hal ini terjadi pada hasil penelitian ini (PF42 dan PF89) yang level ploidinya adalah diploid. 107 Persentase terbentuknya embrio tertinggi menjadi tanaman adalah pada umur embrio 14 HSP (24%). Hasil penelitian Sato et al. (2000) umur 3 minggu merupakan umur maksimal ovari yang dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Pada penelitian ini hasil yang diperoleh berbeda. Pada persilangan normal, 3 minggu setelah penyerbukan buah telah masak ditandai dengan berubahnya warna embrio dari putih menjadi hitam, sehingga panen buah dilakukan maksimal umur dua minggu untuk menghindari kehilangan materi. Perbedaan ini disebabkan oleh penggunaan materi induk betina yang digunakan. Pada penelitian Sato et al. (2000) yang menggunakan Dianthus caryophyllus sebagai penerima serbuk sari, memiliki umur berbunga yang lebih lama. Tanaman kontrol yang dipanen satu minggu HSP hanya satu ovul yang mampu tumbuh. Hasil ini menunjukkan bahwa umur satu minggu buah masih terlalu muda untuk berkembang menjadi tanaman. Buah umur satu minggu biji belum masak dan berwarna putih, pada akhirnya embrio berubah menjadi coklat seperti biji masak. Sejalan dengan pendapat Bohanec (2009) dan Musial et al. (2005) bahwa proses pemasakan kantong embrio berlanjut selama kultur in vitro. Perlakuan iradiasi pada serbuk sari menyebabkan DNA kromosom rusak, sehingga embrio yang dihasilkan dari serbuk sari ini hanya mengandung kromosom dari sel telur. Pada saat terbentuk embrio, kromosom dari serbuk sari yang diiradiasi ada kemungkinan dapat bergabung dengan kromosom dari sel telur, tetapi pada perkembangan embrio selanjutnya, kromosom ini dapat hilang selama proses mitosis (Suharsono et al., 2009). Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan berbagai macam dosis sinar gamma 0 Gy, 50 Gy, 100 Gy, 200 Gy dan 300 Gy Haploid pada Dianthus chinensis telah diperoleh melalui induksi partenogenesis melalui persilangan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. Dibandingkan dengan percobaan 1 dengan menggunakan spesies genotipe yang sama, pada percobaan kedua ini menggunakan metode yang sama, tetapi menggunakan laju dosis yang diperlebar sampai 300 Gy untuk mengetahui batas atas dari perlakuan dosis iradiasi. Pada percobaan 1 serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma 100 Gy hanya menonaktifkan perkecambahan serbuk sari saja, tetapi kemungkinan serbuk sari pulih dari paparan sinar radiasi gamma masih ada. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya tanaman variegata 108 (PF42), dan dua tanaman lain yaitu PF35.1 dan PF79 tidak berbunga. Hasil konfirmasi ploidi tanaman-tanaman ini adalah diploid. Hasil ini memberikan indikasi bahwa pada dosis 100 Gy walaupun seluruh serbuk sari telah non aktif, tetapi terdapat kemungkinan serbuk sari pulih kembali. Maka percobaan ke 2 ini dilakukan dengan meningkatkan dosis iradiasinya. Pada semua dosis 100 – 300 Gy dapat diperoleh tanaman, tetapi peningkatan laju dosis akan menurunkan persentase perkembangan genotipe normal dan meningkatkan genotipe yang abnormal. Meskipun pada dosis iradiasi 300 Gy diperoleh tanaman, tetapi tanaman haploid tidak diperoleh. Genotipe pada dosis 300 Gy ini tumbuh abnormal dan mati pada tahap perkembangan selanjutnya. Menurut Vassileva-Dryanovska (1966), embrio haploid dapat dihasilkan melalui dua cara berbeda. Pertama terkait dengan stimulasi inti induk betina untuk membelah melalui piknotisasi dari kromatin induk jantan. Kedua fertilisasi dari inti sel telur dirusak oleh sperma, kromatid sesudah itu tereliminasi dalam sitoplasma. Tabung serbuk sari memiliki kemampuan untuk tumbuh ke dalam kantong embrio meskipun pada level dosis yang tinggi. Fenomena ini secara teori dapat diinterpretasikan sebagai RNA dan protein RNA (banyak terdapat dalam sitoplasma serbuk sari) yang lebih tahan terhadap paparan iradiasi dari pada DNA (banyak terdapat pada inti generatif). Perlakuan dengan dosis iradiasi tinggi (300 Gy) menghasilkan abnormalitas tanaman yang tinggi, laju kematian yang tinggi serta lambatnya pertumbuhan tanaman. Pada percobaan ke dua ini ditemukan dua tanaman haploid (D231 dan D9.1) yang memiliki tipe pertumbuhan abnormal yang kerdil (dwarf). Dosis sinar gamma 200 Gy pada penelitian ini diperoleh jumlah tanaman hidup dan tanaman haploid yang lebih banyak dibandingkan dengan dosis 100 Gy. Fenomena ini dikenal dengan nama “Hertwig effect” (Pandey and Phung 1982). Rendahnya pembentukan biji biasa terjadi setelah iradiasi serbuk sari dan mencerminkan kegagalan fertilisasi (Nicoll et al. 1987). Rendahnya perkecambahan biji terjadi karena aborsi pada kantong embrio (Chalak and Legave 1997). Fenomena yang terjadi pada pseudofertilisasi Menurut Sato et al. (2000) studi pseudofertilisasi tanaman asal kultur ovul memiliki tiga potensi sumber atau asal usul hasil pseudofertilisasi disamping fertilisasi ovul yang sebenarnya. Potensi pertama adalah dari sel somatik tanaman 109 induk betina, yang berarti tanaman yang telah beregenerasi pasti identik dengan tanaman induk betina. Pada penelitian pseudofertilisasi ini tujuh tanaman haploid hasil percobaan 1 dan 2 secara morfologi berbeda dengan tanaman induk (donor ovul dan serbuk sari) dan tanaman kontrol (persilangan normal). Potensi kedua adalah fertilisasi ovul dengan serbuk sari yang aktif terhindar dari iradiasi sinar Gamma sehingga karakter dominan dari donor serbuk sari pasti terekspresi dalam tanaman. Pada penelitian ini warna bunga dari donor serbuk sari Dchi-14 adalah ungu dengan warna merah melingkar dan tanaman induk betina Dchi-11 adalah pink. Hasil persilangan keduanya memiliki karakter warna bunga yang dominan dari tetua jantan. Hasil percobaan 1 kedua tanaman haploid masing-masing berwarna pink keputihan dan salmon, sedangkan percobaan ke 2 diperoleh lima tanaman haploid dengan kisaran warna putih sampai pink dan tidak ada cirri-ciri warna bunga dari tanaman donor serbuk sari (Dchi-14). Karena warna dasar bunga tanaman haploid tidak sama dengan tetua jantan, maka pada percobaan ini bukan mengikuti potensi kedua. Potensi ketiga adalah ovul yang di serbuki sendiri dengan serbuk sari tanaman akan bervariasi karena materi tanaman sangat heterosigus dan turunan S1 akan bersegregasi dengan banyak karakter. Untuk membuktikan potensi ketiga ini, dicontohkan PF42 hasil percobaan 1. Penyerbukan sendiri yang dilakukan pada PF42 (berdaun variegata) menghasilkan keturunan normal yang bersegrasi baik bentuk daun maupun bentuk dan corak bunga. Daun variegata juga bersegrasi antara variegata dan daun normal. Secara teori daun variegata terkait dengan perkembangan klorofil pada tanaman yang dikendalikan secara maternal, karena klorofil terdapat dalam plastida. Daun variegata juga ditemukan lagi pada percobaan 2 yaitu C18.2, C21.4, dan E30C . Pada percobaan ke 2 ditemukan genotipe hasil pseudofertilisasi dengan bunga yang berwarna putih, menunjukkan bahwa warna putih merupakan warna dengan kendali resesif, karena warna putih selalu tertutupi dan jarang muncul dalam persilangan kecuali dua gamet jantan dan betina yang membawa karakter resesif ada bersama-sama. Pada percobaan 1 dan 2, hasil pemeriksaan kromosom, sel-sel haploid ada bersama-sama dengan sel-sel diploid dalam meristerm tanaman diploid. Hasil ini memberikan indikasi adanya penggandaan kromosom spontan dapat terjadi. Hasil ini dibuktikan dari analisis flow cytometer yang terdeteksi adanya dua ploidi yaitu haploid dan haploid ganda dalam satu tanaman, sehingga hasil ini menjelaskan 110 adanya penggandaan kromosom spontan pada tanaman haploid Dianthus chinensis. Hasil penelitian ini sama dengan yang terjadi pada penelitian Sato et al (2000) di mana terjadi penggandaan kromosom spontan pada hasil pseudofertilisasi, Fu et al. (2008) juga menemukan adanya penggandaan spontan pada tanaman D. chinensis hasil kultur antera. Meskipun tanaman haploid diperoleh dari kultur ovul pseudofertilisasi tidak terlalu tinggi, tetapi metode pseudofertilisasi ini menawarkan potensi parthenogenesis in vitro yang potensial pada tanaman D. chinensis. Simpulan 1. Penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diradiasi 100 – 200 Gy dapat menginduksi partenogenesis Dianthus sp. menghasilkan tujuh tanaman haploid (PF69.1, PF69.2, C11, D9.1, D9.2, D19.1 dan D231). 2. Frekuensi tanaman haploid yang diperoleh pada percobaan ke dua adalah 5,1%. 3. Diperoleh putative mutan abnormalitas pembungaan dwarf pada D9.1 dan D231 serta mutan