BAB IV KESIMPULAN Analisis yang dilakukan pada cerpen Jigokuhen, menggunakan teori struktural dan psikologi humanistik Abraham Maslow. Akan tetapi, sebelum dilakukan analisis psikologis dilakukan analisis struktural untuk membantu mengungkapkan tema dan fakta cerita serta keterkaitan antar unsurnya untuk membantu memahami karya secara utuh. Selanjutnya, teori Psikologi Humanistik Abraham Maslow digunakan untuk menganalisis pemenuhan kebutuhan dasar tokoh Yoshihide sehingga dapat ditarik keterkaitannya untuk mengetahui motif tindakan bunuh dirinya. Dari analisis struktural, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Tema mayor yang terkandung dalam cerpen Jigokuhen adalah tema egoik yang ditunjukkan melalui konfik utama dalam cerita, yakni keinginan tokoh Yoshihide untuk mengaktualisasikan dirinya melalui lukisan. Selanjutnya, tema minor dalam cerpen ini adalah tema sosial berupa kasih sayang antara ayah dan putrinya. Adapun dari segi fakta cerita, cerpen Jigokuhen menceritakan tentang kehidupan tokoh Yoshihide dengan mengambil latar pada zaman Nara serta berpusat pada kejadian-kejadian yang terjadi di seputar istana. Terdapat juga tokoh-tokoh tambahan yang turut mempengaruhi jalannya cerita. Tokoh-tokoh tambahan tersebut antara lain pangeran besar, anak perempuan Yoshihide serta tokoh “aku” yang bekerja sebagai pelayan istana sekaligus bertindak sebagai penutur cerita. Adapun 76 77 latar sosial pada zaman ini ditandai dengan adanya perbedaan kelas sosial antara kaum bangsawan dan non bangsawan serta kebiasaan masyarakat yang masih kental dengan unsur tradisional. Dari segi keterkaitan antar struktur, dapat dilihat bahwa tema mayor dan tema minor, yakni mengenai aktualisasi diri melalui lukisan dan kasih sayang antara anak dan ayahnya, berhubungan dengan tokoh dan penokohan yang ditampilkan dalam cerita. Latar waktu dan latar sosial juga berhubungan dengan tema mayor. Hal ini digambarkan melalui perilaku tokoh Yoshihide sebagai pelukis yang gemar meremehkan adat istidat yang pada masa itu dianggap sakral. Selain itu judul cerpen juga terkait erat dengan tema mayor dan minor. Jigokuhen yang diartikan sebagai lukisan neraka terkait dengan tema mayornya, sedangkan ketidak mampuan Yoshihide dalam melindungi anaknya juga terkait dengan tema minor dalam cerita. Melalui analisis psikologi humanistik Abraham Maslow dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar tokoh Yoshihide. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya dapat diketahui bahwa Yoshihide pada akhirnya tidak dapat mengaktualisasikan diri karena terhambat oleh dua kebutuhan yang belum terpenuhi. Yoshihide yang tidak disukai banyak orang, hanya merasakan cinta dan kasih sayang dari anak perempuan semata wayangnya. Semenjak pangeran besar mengangkat anaknya menjadi pelayan istana, Yoshihide menjadi kesepian dan tak lagi merasakan kasih sayang. Kemudian untuk mengusir rasa kesepiannya, ia menyibukkan diri dengan lukisan neraka yang diperintahkan oleh pangeran besar. 78 Meski telah berpisah dengan sang anak, sesekali Yoshihide pergi ke istana untuk menjenguknya. Namun semakin hari, Yoshihide yang semakin disibukkan oleh lukisannya tak pernah lagi mengunjungi sang anak. Tingkah lakunya juga semakin kasar serta semakin tak memperdulikan orang lain. Kemudian, ketika mengalami kebuntuan ide, ia menjadi sering uring-uringan hingga menangis sendiri. Rasa cemas akibat lukisan yang tak kunjung usai serta rasa kesepian akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, memunculkan motivasi bagi Yoshihide untuk mengalihkan diri dengan menyelesaikan lukisan nerakanya. Sejak mengerjakan lukisan neraka tersebut, nampaknya Yoshihide mulai mengabaikan dua kebutuhan dasar yang seharusnya dipenuhinya. Tindakan pengalihan tersebut merupakan usaha pemenuhan Yoshihide terhadap kebutuhan neurotik berupa obsesinya untuk menyelesaikan lukisan neraka. Demi memuaskan kebutuhan neurotik tersebut, Yoshihide rela melakukan apapun untuk memperoleh sketsa lukisan. Ia tega melihat muridnya tersiksa oleh patukan burung hantu yang ganas, kemudian ia tega merantai muridnya yang lain dan tak peduli melihatnya kesakitan. Keadaan tersebut akhirnya memuncak ketika ia membiarkan anaknya tewas terpanggang. Dalam usaha pemenuhan kebutuhan neurotik ini pun, ia menunjukkan gejala-gejala defisiensi moral. Gejala-gejala tersebut ditandai dengan sifatnya yang keras kepala, bertindak sesuka hati, egoisentris, sombong dan gemar menentang peraturan (tidak takut kepada Budha dan dewa-dewi). Sedangkan ciri yang lain, seperti tidak mengenal afeksi dan tidak bertanggung jawab, 79 tercermin melalui perilakunya yang tega melihat orang lain tersiksa hanya demi sebuah lukisan. Gejala-gejala ini menunjukkan bahwa usaha terhadap pemenuhan kebutuhan neurotik semakin menjauhkan Yoshihide dari pribadi yang teraktualisasikan. Berdasarkan poin-poin tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, mempengaruhi motivasi Yoshihide dalam bertindak. Akibat tindakannya yang tega membiarkan anaknya tewas demi sketsa lukisan, membuatnya tak dapat lagi merasakan kasih sayang dari sang anak. Hal ini mengakibatkan Yoshihide kembali mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan memiliki dan cintanya. Selain dirundung rasa kehilangan, ia diliputi rasa bersalah karena gunjingan banyak orang yang menganggapnya sebagai binatang bermuka manusia karena tega membunuh anaknya sendiri. Pada akhirnya, Yoshihide pun kembali mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan akan rasa amannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegagalan yang kembali dialami oleh tokoh Yoshihide dalam memenuhi kebutuhan akan rasa aman serta kebutuhan memiliki dan cinta, mengakibatkan munculnya motivasi pada tokoh Yoshihide untuk mengakhiri hidupnya.