BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 50% penduduk

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lebih dari 50% penduduk dunia tergantung pada beras sebagai
sumber kalori utama. Di Indonesia, konsumsi dari kelompok padi-padian
masih dominan baik di kota maupun di desa. Kenyataannya berdasarkan hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), konsumsi padi-padian masih
sebesar 60,7%-63,9% dari total ketersediaan bahan pangan. Bahkan, rata-rata
konsumsi beras di Indonesia mencapai 130 kilogram per kapita per tahun atau
lebih dari dua kali lipat konsumsi rata-rata dunia, dimana rata-rata konsumsi
beras dunia hanya 60 kilogram per kapita per tahun (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 2013). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(2014), Indonesia tercatat telah mengimpor 60,79 ribu ton beras dari sejumlah
negara sepanjang kuartal 2014 dengan nilai impor beras tiga bulan pertama di
2014 mencapai US$ 26,87 juta. Paradigma pangan hanya disimbolkan dengan
beras semata adalah merupakan inti permasalahannya. Bukan hanya itu,
dengan karakteristik beras yang memiliki indeks glikemik tergolong tinggi
(>70) dapat berpotensi menyebabkan beberapa penyakit seperti diabetes
mellitus, penyakit jantung dan sindrom metabolik lainnya (Kristanto dkk,
2014). Hal ini mendorong pencarian sumber pangan pokok selain beras
(kelompok padi-padian) sebagai upaya diversifikasi pangan non beras yang
difokuskan pada sumber daya lokal. Salah satu sumber daya lokal yang
memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah kacang-kacangan.
Kacang-kacangan merupakan salah satu sumber gizi yang cukup
murah. Kacang-kacangan atau legum kaya akan kandungan karbohidrat,
rendah lemak, tinggi konsentrasi asam lemak tak jenuh, tinggi serat, serta
dapat menurunkan kolesterol. Indonesia merupakan salah satu negara yang
kaya akan tanaman polong-polongan seperti komak, kratok, koro wedus, koro
benguk, buncis, dan koro pedang. Tanaman koro-koroan tersebut mudah
dibudidayakan dan produktivitas biji keringnya cukup tinggi sekitar 800-900
1
kg/ha pada lahan kering dan kurang lebih 1.700 kg/ha apabila lahan diberi
pengairan (Robert, 1985 dalam Windrati dkk, 2010). Pada tahun 2010-2011
tercatat dari lahan seluas 24 Ha di 12 kabupaten di Jawa Tengah telah
menghasilkan 216 ton koro pedang setiap panen (Kabupaten Blora,
Banjarnegara, Temanggung, Pati, Kebumen, Purbalingga, Boyolali, Batang,
Cilacap, Banyumas, Magelang, dan Jepara) (Dakornas, 2012 dalam
Wahjuningsih dan Wyati, 2013).
Koro pedang merupakan salah satu jenis koro-koroan yang dapat
digunakan sebagai sumber protein nabati dengan kandungan karbohidrat
sebesar 55% dan protein 24% (Windrati dkk, 2010). Di Jawa Tengah, koro
pedang dimanfaatkan untuk bahan pembuatan tempe. Ekstrak biji koro
pedang dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan mencegah kanker (Laksono,
2015). Koro pedang juga dapat diolah menjadi beberapa produk pangan
seperti tepung koro pedang serta produk olahannya seperti cake, cookies dan
produk bakery lainnya, nugget koro pedang, kerupuk koro pedang, dan tempe
koro pedang (Wahjuningsih dan Wyati, 2013). Secara tradisional di Indonesia
tanaman koro pedang dapat digunakan untuk pupuk hijau dan polong
mudanya digunakan untuk sayur (dimasak seperti irisan buncis) (Sutrisno,
2012). Dari hasil penelitian, adanya komposisi kimia yang cukup besar yaitu
kandungan karbohidrat dan protein membuka peluang baru untuk
memanfaatkan koro pedang sebagai bahan baku produk protein rich flour
(PRF) atau tepung kaya protein (Windrati dkk, 2010).
Pati legum memiliki sifat lambat dicerna, mempunyai indeks glikemik
rendah, dan dapat difermentasi di usus besar sehingga menghasilkan asam
lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA) yang sangat
menguntungkan bagi kesehatan kolon (Sandhu dan Lim, 2008 dalam
Ratnaningsih dan Marsono, 2013). Secara umum pati alami memiliki
kekurangan yang sering menghambat aplikasinya dalam proses pengolahan
pangan, yaitu kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi.
Dalam proses gelatinisasi pati, biasanya akan terjadi penurunan kekentalan
atau viskositas suspensi pati dengan meningkatnya suhu pemanasan. Apabila
2
dalam proses pengolahan digunakan suhu tinggi (misalnya pati alami
digunakan sebagai pengental dalam produk pangan yang diproses sterilisasi)
maka akan dihasilkan kekentalan produk yang tidak sesuai. Oleh karena itu,
pati alami sering dimodifikasi untuk menghasilkan pati dengan karakteristik
produk pangan yang diinginkan (Kusnandar, 2010).
Ada berbagai metode modifikasi pati, yaitu secara fisik dan kimia.
Modifikasi secara fisika dapat dilakukan dengan cara heat moisture treatment
(HMT) pada berbagai level, annealing, shear stress (dengan gesekan pada
suatu lempengan), freezing in liquid nitrogen, radiasi, dan lain-lain.
Modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan dengan asetilasi, esterifikasi,
cross linking, grafting, dekomposisi asam, hidrolisa dengan menggunakan
enzim, dan oksidasi. Modifikasi pati menggunakan Heat Moisture Treatment
(HMT) telah dilaporkan meningkatkan ketahanannya terhadap panas,
perlakuan mekanis dan pH asam (Taggart, 2004 dalam Syamsir dkk, 2012)
dengan
meningkatkan
suhu
gelatinisasi
dan
menurunkan
kapasitas
pembengkakan granula (Jacobs dan Delcour, 1998). Berdasarkan hasil
penelitian dari Adebowale et al. (2005), pengujian kapasitas pembentukan gel
yang dilakukan pada pemanasan suhu 80oC dengan variasi modifikasi kadar
air HMT menunjukkan adanya ketahanan pembentukan gel dengan semakin
meningkatnya kadar air modifikasi.
Heat moisture treatment (HMT) adalah proses pemanasan pati pada
suhu tinggi di atas suhu gelatinisasi dalam kondisi semi kering, yaitu tingkat
kadar air yang lebih rendah dari kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya
proses gelatinisasi. Kadar air yang disyaratkan untuk proses HMT adalah 1830% dan suhu yang digunakan adalah 100oC (Lorenz dan Kulp, 1981 dalam
Ramadhan, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Adebowale dan
Lawal (2005), digunakan variasi kadar air modifikasi yaitu 18, 21, 24, dan
27% serta suhu pemanasan 100oC selama 16 jam. Penelitian tersebut
memiliki dugaan bahwa modifikasi dengan HMT akan meningkatkan suhu
gelatinisasi, perubahan pola difraksi sinar X, swelling power dan kelarutan,
serta
perubahan
kapasitas
pembentukan
3
gel.
Dan
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi dengan heat moisture treatment
memberikan perubahan pada sifat fisik dan kimia pati koro pedang; berperan
dalam meningkatkan kapasitas pembentukan gel pada pati; dan memperkecil
kemampuan pati untuk mengalami re-kristalisasi gel. Oleh karena itu, pada
penelitian ini digunakan variasi kadar air modifikasi yaitu 27% dan 30%
untuk mengetahui pengaruh lebih lanjut pada karakteristik fisik dan kimia
pati koro pedang pada kadar air modifikasi yang lebih tinggi lagi. Modifikasi
pati dengan teknik HMT dapat merusak bentuk granula pati hingga terbentuk
lubang di bagian permukaannya. Proses pemanasan pati dan keberadaan air
saat HMT berlangsung mengakibatkan area amorphous pati mengembang,
kemudian menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakan dan
pelelehan area berkristal granula pati, serta menghasilkan bentuk granula pati
yang lebih stabil terhadap panas (Manuel, 1996 dalam Ramadhan 2009).
Sampai saat ini, penelitian modifikasi pati dengan HMT telah banyak
dilakukan, diantaranya pati sorghum varietas merah dan putih termodifikasi
heat moisture treatment (HMT) untuk produk bihun berkualitas; karakteristik
pati biji durian yang dimodifikasi dengan heat moisture treatment (HMT);
pengaruh dari HMT terhadap sifat fisik edible film dari pati kacang merah;
pembuatan bihun instan dari pati empat varietas ubi jalar yang dimodifikasi
dengan heat moisture treatment (Haryani dkk, 2015; Sumarlin dkk, 2012;
Krisna, 2011; Lase, 2012).
Kajian mengenai sifat fisik dan kimia pati termodifikasi heat moisture
treatment (HMT) pada pati koro pedang belum pernah dilakukan. Penelitian
seperti ini diperlukan untuk menjadikan pati koro pedang termodifikasi
sebagai salah satu ingredien produk pangan fungsional dan meningkatkan
nilai tambah koro pedang sebagai produk lokal. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik fisik dan kimia pati koro pedang (Canavalia
ensiformis) dengan perlakuan modifikasi fisik menggunakan Heat Moisture
Treatment (HMT).
4
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh modifikasi dengan Heat Moisture Treatment (HMT)
yang menggunakan variasi kadar air (27% dan 30%) pati koro pedang dan
suhu pemanasan (90oC, 100oC, dan 110oC) terhadap karakteristik kimia
(kadar air dan kadar amilosa) dari pati koro pedang (Canavalia
ensiformis)?
2. Bagaimana pengaruh modifikasi dengan Heat Moisture Treatment (HMT)
yang menggunakan variasi kadar air (27% dan 30%) pati koro pedang dan
suhu pemanasan (90oC, 100oC, dan 110oC) terhadap karakteristik fisik
(derajat putih, swelling power, kelarutan, daya serap air, dan amilografi)
dari pati koro pedang (Canavalia ensiformis)?
3. Bagaimana pengaruh modifikasi dengan Heat Moisture Treatment (HMT)
terhadap karakteristik fisik dan kimia pati yang dihasilkan apabila
dibandingkan dengan pati kontrol (alami) dari pati koro pedang
(Canavalia ensiformis)?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh modifikasi dengan Heat Moisture Treatment
(HMT) yang menggunakan variasi kadar air (27% dan 30%) pati koro
pedang dan suhu pemanasan (90oC, 100oC, dan 110oC) terhadap
karakteristik kimia (kadar air dan kadar amilosa) dari pati koro pedang
(Canavalia ensiformis).
2. Untuk mengetahui pengaruh modifikasi dengan Heat Moisture Treatment
(HMT) yang menggunakan variasi kadar air (27% dan 30%) pati koro
pedang dan suhu pemanasan (90oC, 100oC, dan 110oC) terhadap
karakteristik fisik (derajat putih, swelling power, kelarutan, daya serap air,
dan amilografi) dari pati koro pedang (Canavalia ensiformis).
3. Untuk mengetahui pengaruh modifikasi dengan Heat Moisture Treatment
(HMT) terhadap karakteristik fisik dan kimia pati yang dihasilkan apabila
dibandingkan dengan pati kontrol (alami) dari pati koro pedang
(Canavalia ensiformis).
5
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang pengolahan koro pedang (Canavalia
ensiformis) menjadi pati koro pedang (Canavalia ensiformis).
2. Memberikan informasi tentang pengaruh modifikasi dengan Heat
Moisture Treatment (HMT) yang menggunakan variasi kadar air dan suhu
pemanasan terhadap karakteristik fisik kimia pati koro pedang (Canavalia
ensiformis).
3. Memberikan informasi tentang pengaruh modifikasi dengan Heat
Moisture Treatment (HMT) yang menggunakan variasi kadar air dan suhu
pemanasan terhadap karakteristik fisik kimia pati koro pedang (Canavalia
ensiformis) sehingga dapat menghasilkan pati koro pedang (Canavalia
ensiformis) dengan kualitas baik.
4. Memberikan informasi tentang hasil karakterisasi pati koro pedang yang
dimodifikasi dengan Heat Moisture Treatment (HMT) yang nantinya
dapat menjadi pertimbangan dalam pembuatan suatu produk pangan yang
mementingkan faktor karakteristik pati dalam proses pembuatannya.
6
Download