Konsumsi Energi Indonesia

advertisement
Artikel ini dimuat di JURNAL ENERGI edisi Juliā€Sept 2010. Konsumsi Energi Indonesia: Seberapa Boros? Oleh: Gamil Abdullah
Yang dimaksud “konsumsi energi” dalam artikel ini adalah jumlah satuan energi primer yang
terpakai. Sedangkan energi primer adalah energi yang terkandung dalam sumber energi yang
langsung disediakan oleh alam dan belum mengalami konversi. Minyak bumi, gas alam, batubara,
panas bumi, tenaga air, tenaga angin, radiasi matahari, ombak laut, dan bahan radioaktif adalah
contoh-contoh sumber energi primer. Listrik, BBM, elpiji untuk memasak, dan jenis-jenis energi
lain yang siap pakai termasuk energi sekunder. Namun perlu dicatat bahwa energi sekunder inipun
asalnya dari energi primer yang mengalami proses konversi. BBM berasal dari minyak bumi. Elpiji
bisa berasal dari minyak bumi, bisa juga dari gas alam. Energi listrik di rumah-rumah asalmuasalnya bisa dari batubara, minyak, gas, panas bumi, tenaga air, atau jenis sumber energi
primer lainnya yang mengalami proses konversi di mesin-mesin pembangkit tenaga listrik.
Karena bentuk asli sumber energi primer yang beragam, maka untuk keperluan studi diperlukan
penyeragaman satuan energi. Dalam bauran energi (energy mix), satuan energi yang digunakan
oleh lembaga kajian bermacam-macam. Ada GJ (giga joule), BOE (barrel of oil equivalent – setara
barel minyak), BTU (British thermal unit), dan TOE (tonne of oil equivalent – setara ton minyak).
Pada artikel ini saya menggunakan satuan TOE karena sering digunakan oleh International Energy
Agency (IEA) – sebuah badan yang berada di bawah naungan kelompok negara OECD. Satu TOE
didefinisikan sebagai berat (atau lebih tepatnya massa) suatu sumber energi primer yang
kandungan energinya setara dengan kalori yang dihasilkan dari hasil pembakaran satu ton minyak
mentah. 1 TOE nilai kalorinya sekitar 42 GJ.
Indonesia diklaim oleh berbagai pengamat dan lembaga kajian – baik dalam maupun luar negeri –
sebagai negara yang sangat boros energi. Tapi betulkah demikian? Jika memang boros, seberapa
boros jika dibandingkan negara-negara lain? Atau, apakah klaim “sangat boros energi” tersebut
dapat dikatakan seratus persen benar? Akan kita tinjau tolak ukur tingkat efisiensi energi dari sisi
elastisitas dan intensitas energi, Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi, dan dari analisa singkat
Kurva “S” pertumbuhan kebutuhan energi.
Elastisitas dan Intensitas Energi
Menurut data dari BP Statistical Review of World Energy 2009, konsumsi energi primer tahunan
Amerika Serikat, Jepang, dan Indonesia di tahun 2008 masing-masing besarnya 2299 juta, 507,5
juta, dan 124,4 juta TOE. Dengan jumlah penduduk AS, Jepang, dan Indonesia masing-masing
sekitar 306 juta, 127 juta, dan 225 juta jiwa berarti konsumsi energi per kapita di ketiga negara
Page | 1 tersebut besarnya 7,51 TOE, 4 TOE, dan 0,55 TOE dalam setahun. Sepintas terlihat di antara ketiga
negara tersebut Indonesia merupakan negara yang paling efisien konsumsi energinya karena
energi per kapita-nya terendah.
Ternyata konsumsi energi per kapita bukanlah tolak ukur untuk menentukan tingkat efisiensi
energi. Para ahli menggunakan parameter elastisitas dan intensitas energi untuk mengukur
sejauh mana tingkat efisiensi sebuah negara dalam mengkonsumsi energi. Elastisitas energi
adalah persentase pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai
persentase tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Sedangkan intensitas energi
adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan domestik bruto
(GDP) sebesar 1 juta dollar AS.
Menurut riset yang yang dilakukan oleh PT Energy Management Indonesia (EMI), angka elastisitas
energi di Indonesia mencapai 1,84. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1%
saja, maka pasokan energi harus naik 1,84%. Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia katakanlah
6%, maka diperlukan tambahan pasokan energi sebesar 11%. Masih menurut EMI, dengan angka
elastisitas tersebut Indonesia termasuk negara paling boros energi di ASEAN. Indonesia cukup
tertinggal dalam hal konservasi dan penghematan energi. Negara tetangga lain di bawah angka
tersebut. Malaysia, misalnya, angka elastisitasnya 1,69. Thailand 1,16, Singapura 1,1. Vietnam
bahkan juga di bawah angka elastisitas Indonesia. Jepang, angka elastisitasnya hanya 0,1. Untuk
beberapa negara Eropa, angka elastisitas energinya malah minus. Artinya, saat ekonomi tumbuh,
laju konsumsi energinya justru menurun. Ini menunjukkan upaya konservasi dan diversifikasi
energi berjalan sangat baik.
Dari sisi angka intensitas energi, untuk meningkatkan GDP sebesar 1 juta dollas AS Indonesia
membutuhkan tambahan energi sebesar 482 TOE. Sementara rata-rata intensitas energi lima
negara tetangga di kawasan ASEAN hanya sekitar 358 TOE. Bahkan angka intensitas energi Jepang
hanya 92 TOE.
Tingginya angka elastisitas dan intensitas energi menurut banyak kalangan mengindikasikan
rendahnya daya saing industri kita karena terjadi inefisiensi energi. Mengacu pada Perpres No.
5/2006, tahun 2025 nanti Pemerintah menargetkan angka elastisitas energi Indonesia turun di
bawah 1 melalui berbagai upaya konservasi, efisiensi, dan diversifikasi energi.
Energi dalam Aktivitas Ekonomi
Sebagian besar aktivitas yang sering kita saksikan atau kita lakukan sendiri dalam kehidupan
sehari-hari pada dasarnya adalah aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi, baik langsung maupun
tidak langsung. Untuk melakukan sebuah aktivitas tentunya diperlukan input agar aktivitas
tersebut dapat berlangsung. Input aktivitas ekonomi adalah berbagai sumber daya seperti energi,
sumber daya finansial, kapital (peralatan dan mesin-mesin), ilmu pengetahuan dan teknologi,
sumber daya manusia, dan berbagai sumber daya lainnya.
Page | 2 Sedangkan output aktivitas ekonomi berupa tingkat kemakmuran yang dihasilkan. Hal ini
tercermin dari berbagai indikator ekonomi − baik yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif −
seperti pendapatan per kapita (GDP per kapita), indeks pembangunan manusia, tingkat
kompetisi (competitiveness), tingkat pengangguran, daya beli, dan indikator ekonomi lainnya.
Di antara berbagai input aktivitas ekonomi, energi sebetulnya merupakan elemen yang paling
dominan. Banyak yang tidak menyadari bahwa setiap aktivitas, setiap gerakan, dan setiap transaksi
membutuhkan energi − baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika kita pergi ke kantor
atau berbelanja dengan menggunakan kendaraan bermotor, itu artinya kita memanfaatkan energi
gerak kendaraan dari hasil proses pembakaran bahan bakar di dalam blok mesin kendaraan.
Lampu penerangan, alat pendingin ruangan, dan alat-alat listrik lainnya yang kita gunakan seharihari di rumah juga mengkonsumsi energi. Berbagai transaksi elektronik lewat mesin ATM, jaringan
komputer, bahkan lewat telpon genggam juga menggunakan energi − ada yang diambil langsung
dari sumber listrik, ada yang tersimpan dalam baterai. Manusia sendiri mampu berpikir dan
melakukan aktivitas karena memiliki cukup energi yang tersimpan dalam tubuh melalui asupan
makanan yang dicerna oleh sistem metabolisme yang kompleks.
Sumber daya lain yang juga merupakan input aktivitas ekonomi seperti mesin-mesin juga
menggunakan energi untuk menggerakkannya. Bahkan sebagian dari sumberdaya finansial
digunakan untuk membeli energi. Pendek kata, kehidupan sehari-hari takkan pernah lepas dari
energi.
Pendapatan domestik bruto atau GDP (Gross Domestic Product) merupakan indikator ekonomi
yang sifatnya dapat diukur langsung secara kuantitatif. Inilah yang sering dijadikan tolak ukur
kemakmuran sebuah negara. Semakin besar GDP per kapita suatu negara, makin makmur negara
itu. Makanya tidak heran jika negara-negara maju menempati peringkat papan atas dalam hal
pendapatan per kapitanya.
Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi
Karena dari sisi elastisitas dan intensitas energi Indonesia diklaim sebagai negara yang sangat
boros energi, dan mengingat peranan energi yang sangat dominan sebagai sumber daya input
Page | 3 dalam aktivitas ekonomi, maka mari kita lihat cara memperhitungkan tingkat efisiensi energi dari
sebuah sudut pandang lain, yaitu dengan cara membandingkan pendapatan per kapita
terhadap konsumsi energi per kapita. Atau singkatnya Rasio GDP terhadap Konsumsi
Energi. Ini secara matematis menyatakan berapa pendapatan ekonomi yang dihasilkan dari setiap
unit energi yang dikonsumsi.
Saya melakukan exercise terhadap 13 negara: Amerika Serikat, Inggeris (UK), Switzerland,
Norwegia, Jepang, Korea Selatan, China, India, Singapura, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan
Malaysia. Data GDP nominal saya ambil dari www.en.wikipedia.org. Sedangkan data konsumsi
energi primer saya ambil dari BP Statistical Review of World Energy June 2009. Mekipun BP tidak
memasukkan panas bumi, energi matahari, energi angin, dan beberapa energi terbarukan lainnya
dalam statistik energi primernya, namun jika hanya untuk meng-exercise ketiga belas negara
tersebut datanya masih cukup memadai. Data GDP dan Konsumsi energi primer tahun 2008 untuk
ketiga belas negara saya tampilkan dalam bentuk tabel.
Lalu rasio GDP terhadap konsumsi energi saya urutkan dari besar ke kecil dan saya tampilkan
dalam bar chart. Satuan Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi adalah US Dollar per TOE.
Artinya berapa dollar Amerika Serikat yang dapat dihasilkan (sebagai output aktivitas ekonomi)
untuk setiap TOE energi yang dikonsumsi sebuah negara.
Page | 4 Dari ketiga belas negara, ternyata Switzerland yang paling efisien konsumsi energinya; katakanlah
demikian jika Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi ini bisa dijadikan sebagai tolak ukur tingkat
efisiensi energi. Switzerland, negara yang hidup dari industri jasa, dalam setiap TOE energi yang
dikonsumsinya bisa menghasilkan pendapatan US$ 17 ribu lebih. Amerika Serikat, negara adidaya
yang sering jadi rujukan negara-negara lain, hanya menghasilkan US$ 6281 per TOE, lebih rendah
dari Filipina yang menghasilkan US$ 6676 per TOE. Indonesia menghasilkan US$ 4114 dalam
setiap TOE energi yang dikonsumsi.
China ternyata paling tidak efisien konsumsi energinya dari 13 negara yang saya exercise. China
hanya menghasilkan US$ 2447 dari setiap TOE energi yang dikonsumsinya. Filipina yang paling
tinggi di antara sesama negara ASEAN. Memang biasanya terbatasnya ketersediaan sumber daya
energi domestik (banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan energi) dapat
menstimulasi sebuah negara menjadi lebih efisien dalam mengkonsumsi energi. Apalagi di
Filipina, sepengetahuan saya, tidak ada kebijakan subsidi energi seperti di Indonesia.
Akan halnya Indonesia sendiri, jika dibandingkan sesama negara ASEAN selain Filipina, posisi
Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Thailand, dan Singapura. Bahkan lebih baik dari Korea
Selatan, India, dan China. Memang rasio GDP terhadap konsumsi energi belum tentu secara
langsung mencerminkan tingkat kemakmuran sebuah negara. Malaysia, Korea Selatan, Singapura,
Thailand, dan China memiliki GDP per kapita lebih tinggi dari Indonesia, walau rasio GDP terhadp
konsumsi energi mereka lebih rendah. Namun, paling tidak, seberapa efisien konsumsi energi
sebuah negara bisa dilihat dari perspektif lain, tidak semata berdasarkan parameter elastisitas dan
intensitas energi.
Page | 5 Kurva “S” Pertumbuhan Kebutuhan Energi
Metode Kurva “S” merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk memonitor progres
sebuah proyek. Cara yang sama dapat diterapkan untuk hal-hal lain, termasuk menganalisa evolusi
pertumbuhan kebutuhan energi sebuah negara. Saya membagi Kurva “S” pertumbuhan energi ke
dalam empat fase, yaitu fase pra-industrialisasi, fase pembangunan (industrialisasi), fase
ekuilibrium, dan fase lanjutan.
Fase pra-industrialisasi adalah periode ketika sebuah negara belum mengalami industrialisasi atau
belum begitu intensif melakukan pembangunan fisik. Pada fase ini tentunya kebutuhan akan
energi relatif kecil. Untuk Indonesia dapat dikatakan fase ini terjadi antara tahun 1945 sampai
1970. Fase pembangunan (industrialisasi) adalah periode dimana industrialisasi sangat intensif
sehingga memacu pertumbuhan ekonomi dan selanjutnya menyebabkan kebutuhan energi
meningkat pesat. Indonesia saat ini berada di fase kedua ini.
Fase ekuilibrium adalah periode dimana supply-demand energi sebuah negara sudah mencapai
titik keseimbangan, yaitu ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan
berbagai kebutuhan nasionalnya, sehingga pertambahan kebutuhan energinya sangat rendah.
Untuk fase selanjutnya tergantung lagi pada kondisi sebuah negara. Apakah ada industrialisasi
lanjutan atau tidak. Di fase lanjutan ini permintaan energi bisa naik, stagnan, atau turun
tergantung keberhasilan manajemen energi negara tersebut dalam melakukan konservasi, efisiensi,
dan diversifikasi energi.
Bahwa bangsa kita masih berbudaya tidak efisien, sehingga memicu terjadinya pemborosan energi,
dengan sportif kita mesti mengakui. Tetapi sebetulnya besarnya angka elastisitas energi bukanlah
karena budaya tidak efisien semata, melainkan lebih karena didorong oleh beberapa faktor berikut:
Page | 6 •
Supply-demand energi di Indonesia belum mencapai titik ekuilibrium. Contohnya saja di
sub sektor energi listrik, akhir tahun 2009 rasio elektrifikasi nasional baru mencapai
sekitar 65% - masih jauh di bawah 100%; artinya rata-rata di seluruh wilayah Indonesia
masih ada 35 dari 100 rumah tangga yang belum dialiri listrik.
•
Pertumbuhan industri dan pemukiman yang pesat memerlukan tambahan pasokan energi
yang besar untuk mengimbanginya.
•
Jika dilihat dari mapping konsumsi energi per kapita yang dirilis oleh IEA dalam World
Energy Outlook 2008, Indonesia termasuk dalam range terendah, bahkan lebih rendah
dari beberapa negara ASEAN. Ini mengindikasikan bahwa permintaan energi di Indonesia
memang akan meningkat terus.
•
Pasca diterpa krisis moneter 1998 beberapa sektor pembangunan di Indonesia sempat
kehilangan momentum. Tentunya banyak langkah pemerintah yang sifatnya “tancap gas”
untuk mengejar berbagai proses pembangunan yang pernah tertunda. Energi adalah salah
satu sektor yang sempat kehilangan momentum pembangunan.
Berdasarkan butir-butir di atas, Indonesia memang masih membutuhkan banyak tambahan
pasokan energi dari tahun ke tahun sebelum mencapai titik ekuilibrium. Sedangkan negara-negara
maju yang rasio elektrifikasinya sudah 100% dan supply-demand energinya sudah mencapai titik
ekuilibrium, ditambah dengan budaya efisien, angka elastisitas energinya sangat rendah, bahkan
ada yang negatif.
Dari analisa singkat Kurva “S” ini saya mengatakan bahwa tidak fair jika menentukan boros atau
tidaknya konsumsi energi hanya berdasarkan angka elastisitas dan intensitas. Mesti dilihat kondisi
sebuah negara terkait tingkat kemajuannya. Ketika industri dan ekonominya sedang tumbuh pesat,
maka kebutuhan energinya akan meningkat secara signifikan. Ketika negara tersebut sudah mapan
dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, angka elastisitas energinya akan
rendah. Meskipun demikian, himbauan untuk melakukan penghematan dan diversifikasi energi
wajib kita dukung demi generasi anak cucu sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Sumber energi yang tersedia di alam bukanlah tidak
terbatas. Oleh karena itu manusia mesti pandai mengelolanya secara arif.
Penutup
Sesuatu yang secara “tidak sengaja” saya temukan ketika membuat artikel ini adalah bahwa GDP
nominal Indonesia yang menurut data IMF pada tahun 2008 mencapai US$ 511,8 miliar
menempatkan Indonesia sebagai negara yang masuk 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Meskipun
“masuk 20 besar” ini masih menuai kritik dari berbagai kalangan karena pertumbuhan ekonomi
Indonesia sebetulnya hingga saat ini masih didukung oleh berbagai keunggulan komparatif (bukan
kompetitif) seperti jumlah penduduk yang banyak (Nomor 4 di dunia), perdagangan luar negeri
yang masih mengandalkan komoditi primer berbasiskan sumber daya alam, upah tenaga kerja
Page | 7 yang tergolong murah, serta “pasar empuk” bagi para investor global. Amerika Serikat dengan
GDP nominal US$ 14,44 triliun tetap berada di peringkat teratas. China di tahun 2008 dengan
GDP nominal US$ 4,9 triliun berada di peringkat ketiga di bawah Jepang yang GDP-nya US$ 4,91
triliun. Di tahun 2009, menurut berbagai sumber, China telah menempati urutan kedua sebagai
negara dengan kekuatan ekonomi terbesar.
Hal yang dapat disimpulkan dari kajian singkat ini adalah bahwa tingkat efisiensi konsumsi energi
Indonesia tidaklah terlalu jelek. Andai sikap hidup efisien dapat lebih membudaya sebagai “way of
life” bangsa, tentu efisiensi energi masih bisa ditingkatkan lagi. Apalagi jika pengelolaan energi
dilakukan dengan baik dan benar.
Dengan semua carut marut tata kelola pemerintahan yang ada seperti kasus cicak-buaya, makelar
kasus, makelar proyek, penggelapan pajak, adanya sel-sel mewah dalam penjara, dan skor indeks
persepsi korupsi yang masih berada di kuartil bawah masih bisa menempatkan Indonesia sebagai
negara yang masuk dalam kelompok 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Maka sebetulnya
Indonesia memiliki peluang dan potensi – tidak sekedar mimpi – untuk bisa menjadi negara yang
paling tidak masuk dalam kelompok sepuluh besar kekuatan ekonomi dunia dalam satu dasawarsa
mendatang.
Sindrom “negara gagal” akan sirna jika Indonesia segera melakukan lompatan kuantum untuk
memperbaiki skor indeks tata kelola pemerintahannya agar paling tidak berada di kuartil ketiga
(skor di atas 70). Selain memperbaiki tata kelola pemerintahan, segenap komponen bangsa juga
mesti bersatu-padu. Jangan seperti sekarang, nyaris setiap hari kita disuguhi berita saling bertikai.
Pertikaian internal akan melemahkan ketahanan dan pertahanan nasional. {eof}
DISCLAIMER: Artikel ini merupakan hasil kajian dan pendapat pribadi penulis. Tidak dimaksudkan untuk mencerminkan pendapat atau kebijakan instansi tempat penulis bekerja. Tentang Penulis: Gamil Abdullah berpengalaman kerja lebih dari 20 tahun di
bidang industri hulu migas, panas bumi, dan industri penunjang migas.
Menyandang gelar Sarjana Teknik Perminyakan (1989) dan Magister Teknik Studi
Pembangunan (2005) – keduanya dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Di
samping masih aktif bekerja di instansi yang menangani sektor hulu migas,
penulis adalah seorang pembelajar yang tertarik dengan isu-isu energi, tata kelola
pemerintahan, dan industri penunjang migas. Tulisan-tulisan tentang opini
pribadinya dapat diakses di http://www.gamil-opinion.blogspot.com.
********* ga *********
Page | 8 
Download