1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor) produksi penting bagi kaum petani untuk melakukan proses produksi. Dalam konteks ini, tanah dimaknai sebagi material penopang aktivitas kehidupan petani (Tjondronegoro, 1999). Secara sosio-kultural, tanah menjadi bagian dari entitas kultural masyarakat. Saat ini, fungsi tanah justru mengalami pergeseran berdasarkan nilai lahan yang dikandung. Pengalihfungsian ini dalam prakteknya membawa sejumlah implikasi di tengah masyarakat. Salah satu fungsi tanah yang mengalami alih fungsi seperti kawasan pertambangan. Kawasan pertambangan, perkebunan, serta kawasan kehutanan selain menggantikan fungsi tanah pertanian juga menuntut perluasan lahan serta penguatan izin yang diberikan oleh Pemerintah. Akibat dari adanya alih fungsi ini menuntut masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan dan pergeseran pola hidup terlebih apabila penetrasi kapital dilakukan di wilayah dekat dengan mata pencaharian masyarakat. Keadaan ini kemudian memiliki dinamika agraria yang bisa saja berjalan harmonis. Kebanyakan dari yang terjadi di Indonesia justru tidak demikian. Tidak hanya merubah tatanan struktur agraria, terjadi pula ketimpangan dalam hal pengelolaan lahan, saling klaim antar subjek agraria, kepentingan yang berbeda, serta tertutupnya akses masyarakat atas sumberdaya yang biasa mereka gunakan sebelum datangnya hegemoni modal besar menuntut masyarakat untuk tersingkir dari wilayah hidupnya. 2 Dualisme fungsi tanah yang semula terkonsentrasi di sektor pertanian kemudian beralih menjadi sektor yang awalnya dianggap asing oleh masyarakat. Respon yang ditujukan juga beragam yang setidaknya mewarnai dinamika agraria di kawasan tersebut. Dinamika agraria ini kemudian dapat ditelaah dari pola produksi lahan yang mengalami pasang surut model pengelolaan atau bahkan berubahnya tatanan struktur agraria. Tidak hanya itu, dinamika agraria akibat adanya dualisme fungsi tanah juga dapat berimplikasi pada adanya saling overlapping klaim. Masyarakat yang telah lama tinggal di daerah sekaligus mengalami dampak langsung dari adanya alih fungsi lahan tentu saja akan lebih cepat bereaksi dan merasa memiliki hak yang sama untuk akses terhadap fungsi lahan yang baru. Kondisi yang mengakumulasi ini dapat berbuntut ketidakseimbangan dan memicu terjadinya konflik. Seperti yang telah diketahui, persoalan agraria di Indonesia dari masa ke masa kental diwarnai oleh kecenderungan semakin terkonsentrasinya kepemilikan lahan di tangan sebagian kecil orang dimana terdapat segelintir pengusaha yang bisa mendapatkan konsesi hingga jutaan hektar. Hal ini dapat memicu tumbuhnya eskalasi yang berujung pada konflik. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) (Setiawan, 2004), terdapat 1.753 kasus sengketa agraria dengan 1.189.482 KK korban konflik agraria sepanjang tahun 1970-2001. Beberapa kasus diantaranya disebabkan oleh perkebunan, sarana umum, perumahan, kehutanan, kawasan industri, bendungan, pariwisata, pertambagan, sarana militer, konservasi, pertambakan, sarana militer, konservasi, pertambakan, sarana pemerintahan, perairan, transmigrasi, dan lainnya. 3 Lahirnya Undang-Undang Pokok Kehutanan, Pertambangan dan Penanaman Modal Nasional maupun Asing merupakan bukti konkrit kebijakan agraria yang berpihak pada kepentingan swasta (modal). Kebijakan ini dalam prakteksnya menjadi salah satu penyebab dominan terjadinya konflik agraria. Hingga saat ini eskalasi konflik agraria, baik di sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, kelautan, dan kehutanan tetap terjadi bahkan menunjukkan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Konflik terbesar terjadi di sektor perkebunan dan pertambangan. Yang banyak terjadi adalah sub-ordinasi kepentingan masyarakat, baik petani, pekebun, nelayan maupun masyarakat adat dan lokal, oleh kepentingan pemerintah dan swasta. Inilah hal mendasar dari fenomena konflik berkepanjangan yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Bahwa gambaran struktur agraria dan implikasi logis yang terjadi tepat digambarkan sebagai dinamika agraria di kawasan tertentu. Tidak terkecuali yang terjadi dengan masyarakat Kampung Pongkor. Pada masa sebelum pertambangan masuk, masyarakat hidup dengan mengusahakan lahan pertaniannya. Namun kedatangan PT A di Kampung Pongkor, dalam perkembangannya, merubah tatanan pola hidup masyarakat yang semula bertani beralih ke pertambangan. Dinamika agraria terjadi ketika warga mulai mengenal pertambangan. Akumulasi keadaan yang tidak seimbang ini berujung pada beberapa kali terlibat bentrokan dengan masyarakat sekitar kawasan tambang. Konflik kian masif akibat adanya ketimpangan perbedaan kepentingan dalam memmanfaatkan sumber agraria yang sama. Konflik umumnya terjadi dengan masyarakat yang berprofesi sebagai Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) atau biasa disebut gurandil dengan pihak perusahaan. 4 Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai dinamika agraria yang terjadi di sekitar kawasan pertambangan. Konteksnya adalah memahami sejauhmana dinamika sosio-historis masyarakat, respon atas masuknya pertambangan emas dan implikasinya terhadap sektor pertanian, dan sebab ketimpangan yang terjadi yang berujung pada konflik agraria. 1.2 Rumusan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, lebih spesifik penelitian ini hendak menjawab beberapa pertanyaan mengenai: 1. Bagaimana struktur agraria di kawasan pertambangan emas Pongkor? 2. Bagaimana respon masyarakat tani terhadap masuknya pertambangan emas? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi respon masyarakat tani terhadap masuknya pertambangan emas? 4. Bagaimana dampak yang terjadi akibat masuknya pertambangan emas? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk menggambarkan dan memahami struktur agraria di lokasi penelitian. Pemetaan ini diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai kondisi masyarakat Pongkor. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai sejarah prosesual terjadinya dinamika agraria di lokasi penelitian. Mengidentifikasi berbagai respon yang dilakukan oleh masyarakat menyikapi masuknya pertambangan emas di kawasan mereka. Upaya identifikasi 5 ini didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi berbagai respon yang ditimbulkan oleh masyarakat tani. Mengidentifikasi beberapa akar permasalahan seperti misalnya tertutupnya akses masyarakat, banyaknya klaim antar subjek agraria, apa dan siapa kepentingan dan aktor yang berkaitan dengan terjadinya konflik serta apa saja penyebab terjadinya konflik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman kontekstual mengenai rangkaian besar dari dinamika agraria yang terjadi di satu tempat yang terjadi sekarang sebagai rangkaian proses dinamika yang sudah terjadi pada waktu-waktu sebelumnya. 1.4 Kegunaan Penelitian Bagi masyarakat, khususnya masyarakat di Kampung Pongkor yang berada di wilayah yang mengalami proses pergeseran sekaligus perubahan agraria diharapkan dapat menambah pemahaman bagaimana proses dari dinamika yang terjadi. Hal ini dikaitkan dengan aspek yang mempengaruhi seperti proses konflik antar subjek agraria dengan kepentingan antar subjeknya. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk menambah studi literatur sekaligus menambah ilmu pengetahuan kajian agraria bagi peneliti lain yang memiliki konsern yang sama. Studi ini kemudian dilanjutkan dengan melihat akar masalah yang terjadi dilihat dari sisi dinamika struktur agraria yang terjadi. Bagi pemerintah dan swasta (PT A), informasi dan data dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan ilmiah dalam melakukan pengkajian terhadap kondisi perubahan dan pergeseran yang terjadi. Informasi analitis dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai cara pandang alternatif dalam melihat permasalahan 6 konflik agraria sebagai ekses dari dinamika yang terjadi di lokasi penelitian. Dengan hal tersebut diharapkan, upaya dan proses penyelesaian konflik agraria dapat diatasi dan bermanfaat bagi seluruh elemen yang berkepentingan di wilayah konflik.