BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Rematik Penyakit rematik meliputi cakupan luas dari penyakit yang dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan jaringan lunak (Soumya, 2011). Penyakit rematik dapat digolongkan kepada 2 bagian, yang pertama diuraikan sebagai penyakit jaringan ikat karena ia mengefek rangka pendukung (supporting framework) tubuh dan organ-organ internalnya. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah osteoartritis, gout, dan fibromialgia. Golongan yang kedua pula dikenali sebagai penyakit autoimun karena ia terjadi apabila sistem imun yang biasanya memproteksi tubuh dari infeksi dan penyakit, mulai merusakkan jaringan-jaringan tubuh yang sehat. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah rheumatoid artritis, spondiloartritis, lupus eritematosus sistemik dan skleroderma. (NIAMS, 2008) 2.1.1. Osteoartritis Osteoartritis (OA) merupakan suatu penyakit yang berkembang dengan perlahan tetapi merupakan penyakit aktif degenerasi kartilago artikular yang berhubungan dengan simptom-simptom seperti nyeri sendi, kekakuan, dan keterbatasan pergerakkan (Dubey, S., & Adebajo, A., 2008). OA membutuhkan pertimbangan dari 3 area yang bertumpang tindih, yaitu, perubahan patologis, ciriciri radiologi dan konsekwensi klinis. Secara patologis, terjadi perubahan dalam struktur kartilago, secara radilogi, terdapat osteofit dan terjadi penyempitan ruang sendi, dan secara klinis pula terjadi ketidakmampuan dan nyeri. (Kumar, P., & Clark, M., 2005) OA dapat terjadi pada semua sendi dalam tubuh, tetapi paling sering terjadi di pinggul, lutut, dan sendi-sendi pada tangan, dan kaki. Universitas Sumatera Utara Epidemiologi OA merupakan penyakit dengan prevalensi yang tertinggi dalam kelompok masyarakat kita dan penyebab kedua tersering dalam ketidakmampuan pada orang tua di negara-negara barat. Prevalensi OA meningkat dengan usia karena kondisi yang tidak reversible. Pada usia kurang dari 45 tahun, laki-laki lebih rentan kena penyakit ini jika dibandingkan dengan wanita, tetapi wanita lebih rentan kena OA pada usia lebih dari 55 tahun. Pada dekad seterusnya, didapati kasus OA akan semakin meningkat akibat daripada peningkatan orang usia lanjut, obesitas, dan kurangnya kebiasaan berolahraga. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008). Etiologi OA primer penyebabnya tidak diketahui. OA sekunder pula penyebabnya adalah karena kerusakan sendi yang ada sebelumnya (artritis rematik, gout, artritis sepsis, penyakit Paget, spondiloartropati seronegatif), penyakit metabolik (kondrokalsinosis, hemokromatosis bawaan, akromegali) dan penyakit sistemik (hemofilia, hemoglobinopati, neuropati). (Kumar, P., & Clark, M., 2005) Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang sering dapat dilihat adalah, nyeri sendi, kekakuan sendi selepas tidak bergerak (terutamanya pada waktu pagi), sendi yang tidak stabil, kehilangan fungsi, kelembutan pada sendi (joint tenderness), krepitus pada pergerakkan, pergerakkan terbatas, tahap inflamasi yang bervariasi, dan pembengkakan tulang. (Kumar, P., & Clark, M., 2005) Diagnosis Diagnosis OA biasanya berdasarkan tanda-tanda klinis dan radiogafi. Pada tahap awal, radiografinya bisa normal tetapi penyempitan ruang sendi tampak nyata apabila kartilago artikuler semakin menghilang. Selain itu, karakteristik yang dapat diketemui adalah sklerosis tulang subkondral, kista subkondral, dan osteofitosis. Universitas Sumatera Utara Tetapi, biasanya dapat ditemukan perbedaan yang besar diantara tingkat keparahan radiografi, tingkat keparahan simptom, dan abilitas fungsional. Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak digunakan untuk mendiagnosa OA, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu untuk menentukan penyebab OA sekunder. Oleh karena OA primer bukan sistemik, laju endap darah, serum kimia, dan urinalisis adalah normal. Analisa cairan sinovial dapat membantu menyingkirkan kemungkinan lain seperti gout atau artritis sepsis. Pemeriksaan MRI dan ultrasonografi tidak digunakan untuk mendiagnosa OA ataupun untuk pemantauan perkembangan penyakit. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006) Penatalaksanaan Tujuan utama dalam penatalaksanaan OA adalah untuk mengurangkan nyeri, memperbaiki mobilitas, dan meminimalkan disabilitas. Pada penderita dengan OA ringan, proteksi sendi dan pengambilan analgesik sekali-kali menjadi cukup; tetapi untuk pasien dengan OA berat, gabungan terapi non-farmakologi dan suplemen analgesik dan/atau obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) adalah lebih sesuai. Walau bagaimanapun, terapi non-farmakologis merupakan penatalaksanaan yang paling penting, malah lebih penting dari terapi dengan obat-obatan. Non-farmakologi Secara non-farmakologi, tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengurangkan beban pada sendi (memperbaiki postur tubuh yang salah, beban berlebihan pada sendi yang terlibat harus dihindarkan, pasien OA pinggul/lutut harus hindarkan berdiri lama, berlutut dan jongkok, dan istirahat secukupnya tanpa imobilisasi total). Selain itu, dilakukan modalitas termis dengan aplikasi panas pada sendi OA atau mandi dengan air hangat. Pasien juga disuruh berolahraga. Untuk OA pada ekstremitas bawah, dilakukan olahraga sedang 3 hari per minggu. Seterunya diberikan edukasi pada pasien (edukasi tentang manejemen diri, motivasi, nasehat tentang olahraga, rekomendasi untuk mengurangkan beban pada Universitas Sumatera Utara sendi yang terlibat). Operasi artroskopi pula dilakukan jika tidak ada manfaat daripada terapi farmakologi. Farmakologi Obat yang sering diresepkan untuk pasien OA adalah OAINS untuk mengurangkan nyeri dan memperbaiki mobilitas dalam OA, N-Acetyl-PAminophenol (APAP) sebagai anlagesik untuk nyeri OA ringan sampai sedang (efektivitas sama seperti OAINS), dan inhibitor selektif COX-2 jika terjadi efek samping gastrointestinal dengan penggunaan OAINS. Injeksi glukokortikoid diinjeksi intra/ periartikuler untuk kelegaan simptomatis untuk beberapa minggu hingga bulan. Opiod diberikan pada nyeri OA akut. Diberi opioid lemah (kodein peroral) jika APAP atau OAINS tidak memberikan manfaat dan dapat juga digunakan untuk nyeri OA kronis. Rubefacient/Capsaicin merupakan obat topical pada sendi dan otot yang nyeri yang memberikan bahang local. Operasi ortopedik yaitu operasi penggantian sendi dilakukan pada OA tahap lanjut dimana terapi agresif gagal. Selain itu, bisa juga dilakukan artoplasti sendi total atau osteotomi. Regenerasi kartilago adalah perbaikan kartilago dengan sel mesenchymal (efektivitas belum dibuktikan). (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006) 2.1.2. Reumatoid Artritis Reumatoid artritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun dimana etiologinya tidak diketahui dan biasanya mengefek sendi kecil dan besar. (Dubey, S., & Adebajo, A., 2008). Epidemiologi Kira-kira 20% dari pasien, onset RA adalah akut. Beberapa pasien akan rasa tidak enak untuk beberapa bulan, tetapi yang lain mengalami disabilitas yang parah. Remisi spontan bisa terjadi, tetapi jika penyakit berlanjutan lebih dari 2 tahun, maka remisi spontan tidak bisa terjadi. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008). Universitas Sumatera Utara Etiologi RA mungkin merupakan suatu manifestasi dari respon terhadap suatu agen infeksi dalam individu yang rentan terkena secara genetik (genetically susceptible host). Agen-agen yang mungkin menjadi penyebab adalah Mycoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus, parvovirus, dan rubella. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006) Manifestasi Klinis Tanda-tanda kardinal pada penyakit RA adalah nyeri, pembengkakan, kekakuan pagi (biasanya lebih dari satu jam), hangat, kemerahan, dan keterbatasan fungsi. Tanda-tanda tambahan pula adalah malaise, kelelahan, nodul rheumatoid, dan nyeri pada waktu malam. Apabila penyakit RA ini berlanjutan, tanda-tanda sinovitis kronis menjadi lebih dominan. Sinovitis kronis dengan proliferasi sinovial atenden dan efusi sendi dapat membawa kepada instabilitas sendi. Pada masa yang sama, pannus destruktif memusnahkan kartilago dan tulang subkondral yang menyebabkan terjadinya deformitas sendi. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008). Diagnosis RA didiagnosis berdasarkan kombinasi dari penyajian sendi yang terlibat, karakteristik kekakuan sendi pada pagi hari, adanya faktor darah artritis, serta temuan nodul reumatoid dan perubahan radiografi (sinar-X). Dalam RA, sendi kecil tangan, pergelangan tangan, kaki, dan lutut biasanya meradang dalam distribusi simetris. Deteksi nodul reumatoid pula paling sering sekitar siku dan jari. Antibodi abnormal yang disebut “faktor rematik”, dapat ditemukan pada 80% pasien. Antibodi lain yang disebut “antibodi citrulline” dan “antibodi antinuklear” (ANA) juga sering ditemukan pada orang dengan RA. Biasanya tes darah yang dilakukan adalah laju sedimentasi (Tingkat sed). Tingkat sed biasanya lambat selama remisi. Tes darah lain yang digunakan adalah untuk mengukur tingkat hadir peradangan dalam tubuh dengan protein C-reaktif . Tes darah juga dapat mengungkapkan anemia, karena anemia adalah umum di RA, terutama karena Universitas Sumatera Utara peradangan kronis. Apabila penyakit berlanjutan sinar-X dapat memperlihatkan erosi tulang yang khas dari RA pada sendi. (Shiel, W.C., 2010) Penatalaksanaan Pengobatan yang optimal adalah kombinasi obat, istirahat, latihan penguatan sendi, perlindungan sendi, dan edukasi pasien (dan keluarga). Obat yang digunakan untuk mengobati RA ada 2 jenis, yaitu obat lini pertama yang cepat bertindak seperti aspirin dan kortison (kortikosteroid) digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan. Obat lini kedua yang lambat bertindak (juga disebut sebagai disease-modifying antirheumatic drugs atau DMARDs) seperti emas, metotrexete, dan hidrokloroquine, dapat mempromosikan remisi penyakit dan mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif. (Shiel, W.C., 2010) 2.1.3. Spondiloartritis Spondiloartritis (atau spondiloartropati) adalah nama keseluruhan suatu penyakit rematik dengan peradangan yang dapat mempengaruhi tulang belakang dan sendi, ligamen dan tendon. Penyakit tersebut dapat menyebabkan kelelahan dan nyeri atau kekakuan di punggung, leher, tangan, lutut, dan pergelangan kaki serta peradangan mata, kulit, paru-paru, dan katup jantung. Penyakit yang termasuk dalam spondiloartritis dapat mencakup, ankilosing spondilitis, reaktif artritis, artritis psoriatis dan spondilitis psoriasis, dan artritis atau spondilitis yang berkaitan dengan penyakit inflamasi usus, kolitis ulseratif dan Crohn's disease. (Reveille, J.D., 2010) Epidemiologi Spondiloartritis cenderung berdampak mereka yang remaja dan 20-an, dan pria muda dua sampai tiga kali lebih sering daripada wanita muda. Anggota keluarga pasien dengan spondiloartritis mempunyai risiko tertinggi tertular penyakit ini, terutama mereka dengan gen HLA. (Reveille, J.D., 2010) Universitas Sumatera Utara Etiologi Penyebab pasti spondiloartritis tidak diketahui. Namun, para peneliti menunjukkan bahwa faktor keturunan memainkan peranan penting karena penyakit ini cenderung terjadi lebih sering pada anggota keluarga pasien yang mempunyai spondiloartritis. Orang yang biasanya terdampak penyakit ini mempunyai penanda genetik umum yang disebut HLA-B27, yang terjadi pada sekitar tujuh persen dari populasi. Infeksi seperti klamidia (yang dapat menyebabkan uretritis atau rasa terbakar saat buang air kecil) dan bakteri yang menyebabkan disentri usus (seperti salmonella, shigella, dll), bisa memicu beberapa jenis artritis reaktif yang merupakan bentuk spondiloartritis. (Reveille, J.D., 2010) Manifestasi Klinis Penyakit ini bermula dengan nyeri pinggul atau nyeri punggung bawah yang tidak menetap dan memburuk di malam hari, di pagi hari, atau setelah tidak aktif. Nyeri punggung tersebut mungkin mulai pada sendi sakroiliaka (antara panggul dan tulang belakang) dan melibatkan semua atau sebagian tulang belakang. Nyeri dapat hilang dengan membungkuk dan pasien mungkin tidak dapat mengembangkan dada sepenuhnya karena keterlibatan sendi antara tulang rusuk. Gejala spesifik termasuk, pembungkukkan yang kronis untuk meredakan gejala, peradangan mata, kelelahan, tumit kaki sakit, nyeri dan kekakuan pinggang, rasa sakit dan bengkak pada sendi bahu, lutut, dan pergelangan kaki, kehilangan nafsu makan, sakit leher, dan demam. (Reveille, J.D., 2010) Diagnosis Diagnosa dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada nyeri punggung yang terinflamasi atau artritis sendi kaki karena ia berbeda dari artritis jenis lain seperti RA. Pengujian tambahan seperti sinar-X dari sendi sakroiliaka dan tulang belakang dapat mengkonfirmasi kehadiran spondilitis. Jika gejala dan tandatanda menunjukkan spondiloartritis, dokter juga akan memeriksa keberadaan gen HLA-B27. (Reveille, J.D., 2010) Universitas Sumatera Utara Penatalaksanaan Seperti berbagai bentuk artritis, terapi fisik dan olahraga rekreasi minimal 30 menit per hari secara signifikan dapat memperbaiki rasa sakit dan kekakuan. Latihan tambahan untuk punggung setidaknya lima hari per minggu juga akan memperbaiki rasa sakit dan fungsi pada pasien dengan ankilosing spondilitis. Ada banyak pilihan pengobatan untuk spondiloartropati, dimulai dengan OAINS seperti naproxen, diklofenak, ibuprofen atau indometasin yang diberikan pada gejala awal penyakit. DMARD seperti sulfasalazine dan methotrexate telah terbukti efektif dalam mengobati artritis di lengan atau kaki, tetapi tidak untuk artritis tulang belakang atau sendi sakroiliaka. Suntikan obat depo-steroid ke dalam sendi atau selubung tendon sering digunakan oleh dokter untuk mengurangi gejalagejala flare lokal. Antibiotika seperti siprofloksasin, diberikan selama tiga bulan saja, segera setelah bermulanya penyakit, mungkin memiliki efek yang menguntungkan pada prognosis artritis reaktif, terutama bila dipicu oleh Chlamydia trachomatis, tapi bukan untuk spondiloartritis jenis lain. TNF alfa bloker telah terbukti cukup efektif dalam mengobati kedua-dua gejala sendi perifer dan tulang belakang dari spondiloartritis, serta masalah lain seperti psoriasis dan peradangan usus. Ada tiga jenis yaitu, infliximab, etanercept, dan adalimumab. Oleh karena efek samping antiTNF, OAINS dan terapi DMARD dicoba terlebih dahulu. Bagi mereka dengan ankilosing spondilitis, penggantian panggul total adalah yang paling umum. Fusi bedah tulang belakang mungkin diperlukan jika fungsi tulang belakang atau fungsi saraf terganggu. Osteotomi pula adalah koreksi bedah dari deformitas tulang belakang yang dapat terjadi dengan ankilosing spondilitis. (Reveille, J.D., 2010) 2.1.4. Gout Gout adalah penyakit yang berhasil dari kelebihan asam urat dalam tubuh. Kelebihan asam urat ini mengarah pada pembentukan kristal kecil asam urat yang terakumulasi di jaringan tubuh, terutama sendi. Ketika kristal membentuk pada Universitas Sumatera Utara sendi, ia menyebabkan serangan berulang dari peradangan sendi (artritis). Biasanya endapan kristal asam urat terjadi dalam cairan sendi (cairan sinovial) dan lapisan sendi (lapisan sinovial). Gout dianggap sebagai penyakit kronis dan progresif. Gout kronis juga bisa menyebabkan endapan gumpalan keras asam urat dalam jaringan, khususnya di dan sekitar sendi dan dapat menyebabkan kerusakan sendi, penurunan fungsi ginjal, dan batu ginjal (nefrolisiasis). Epidemiologi Lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Hal ini terutama menyerang pria setelah pubertas, dengan usia puncak 75. Pada wanita, serangan gout biasanya terjadi setelah menopause. Banyak pasien dengan hyperuricemia tidak mengembangkan gout (hyperuricemia asimtomatik), sementara beberapa pasien dengan serangan gout berulang mempunyai kadar asam urat darah yang normal atau rendah. Di antara penduduk laki-laki di Amerika Serikat, sekitar 10% memiliki hyperuricemia. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang benarbenar akan mengembangkan gout. Etiologi Penyakit gout sering berhubungan dengan kelainan yang diwarisi dalam kemampuan tubuh untuk memproses asam urat. Asam urat merupakan produk rincian purin yang merupakan bagian dari makanan yang kita makan. Kelainan dalam menangani asam urat dapat menyebabkan serangan artritis yang menyakitkan (serangan gout), batu ginjal, dan penyumbatan pada penyaringan tubulus ginjal dengan kristal asam urat, menyebabkan gagal ginjal. Manifestasi klinis Sendi kecil di pangkal jempol kaki adalah situs yang paling umum dari serangan artritis gout akut yang disebut sebagai podagra. Sendi lain yang umumnya terkena termasuk pergelangan kaki, lutut, pergelangan tangan, jari, dan siku. Serangan gout akut ditandai dengan onset yang cepat dengan nyeri di sendi yang Universitas Sumatera Utara terkena diikuti oleh kehangatan, pembengkakan, perubahan warna kemerahan, dan kelembutan. Pasien dapat mengembangkan demam dengan serangan gout akut. Serangan-serangan yang menyakitkan biasanya mereda dalam beberapa jam ke hari, dengan atau tanpa pengobatan. Kebanyakan pasien dengan gout akan mengalami serangan berulang dari arthritis selama bertahun-tahun. Dalam kronis (tophaceous) gout, massa nodular kristal asam urat (tofi) mengendap di daerah jaringan lunak tubuh yang berbeda. Meskipun yang paling sering ditemukan sebagai nodul keras di sekitar jari-jari, di ujung siku, di telinga, dan sekitar jempol kaki, nodul tofi dapat muncul di mana saja di tubuh. Ketika tofi muncul di jaringan, kondisi gout mewakili kelebihan beban asam urat dalam tubuh. Diagnosis Gout dicurigai ketika pasien melaporkan riwayat serangan artritis yang menyakitkan, terutama di dasar jari-jari kaki. Gout biasanya menyerang satu sendi pada satu waktu, sementara kondisi artritis lainnya, seperti lupus sistemik dan reumatoid artritis, biasanya menyerang sendi secara bersamaan. Tes yang paling diandalkan untuk gout adalah penemuan kristal asam urat dalam sampel dari cairan sendi yang diperoleh melalui aspirasi sendi (arthrocentesis). Diagnosis gout juga dapat dibuat dengan menemukan kristal-kristal asam urat dari bahan diaspirasi dari nodular tofi. Sinar-X kadang-kadang bisa membantu dan bisa menunjukkan pengendapan tofi-kristal dan kerusakan tulang sebagai akibat serangan berulang dari peradangan. Sinar-X juga dapat membantu untuk memantau dampak gout kronis pada sendi. Penatalaksanaan Menjaga asupan cairan yang cukup membantu mencegah serangan gout akut dan menurunkan resiko pembentukan batu ginjal pada pasien dengan gout. Pengurangan konsumsi alkohol, penurunan berat badan, perubahan pola makan dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah (mengurangi hiperurisemia). Alkohol memiliki dua dampak utama yang memperburuk gout, Universitas Sumatera Utara yaitu dengan menghambat ekskresi asam urat dari ginjal serta dengan menyebabkan dehidrasi, yang keduanya memberikan kontribusi pada pengendapan kristal asam urat pada sendi dengan mengefek metabolisme asam urat. Ada tiga aspek untuk pengobatan asam urat dengan obat-obatan. Pertama, penghilang rasa sakit seperti asetaminofen (Tylenol) atau analgesik lain yang lebih kuat digunakan untuk mengatasi rasa sakit. Kedua, agen anti-inflamasi seperti OAINS, colchicine , dan kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan sendi. Akhirnya, obat dipertimbangkan untuk mengelola kekacauan metabolisme kronis yang menyebabkan hiperurisemia dan asam urat. Probenesid (Benemid) dan sulfinpirazone (Anturane) adalah obat-obat yang biasa digunakan untuk mengurangi kadar asam urat darah dengan meningkatkan ekskresi asam urat ke dalam urin. Tetapi, obat penurun asam urat seperti alopurinol dan febuxostat umumnya tidak dimulai pada pasien yang mengalami serangan akut gout karena dapat memperburuk peradangan akut. Obat intravena baru yang digunakan untuk menurunkan kadar asam urat darah pada pasien tertentu dengan gout kronis adalah pegylated uricase. Obat infus ini harus dipertimbangkan hanya untuk pasien-pasien dengan gout yang telah gagal pengobatan dengan obat-obat penurunan asam urat konvensional karena dapat menyebabkan reaksi anafilaksis dan reaksi infus. (Shiel, W.C., 2010) 2.1.5. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) Lupus adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan akut dan kronis dari berbagai jaringan tubuh. Orang dengan lupus memproduksi antibodi abnormal dalam darah mereka yang menargetkan jaringan dalam tubuh mereka sendiri daripada agen infeksi asing. Karena antibodi dan sel-sel yang menyertai peradangan dapat mempengaruhi jaringan di mana saja di tubuh, lupus memiliki potensi untuk mempengaruhi berbagai area. Lupus dapat menyebabkan penyakit hati, kulit, sistem paru-paru, ginjal, sendi, dan/atau sistem saraf. Ketika hanya kulit yang terlibat, kondisi ini disebut dermatitis lupus atau lupus eritematosus kulit. Suatu bentuk dermatitis lupus yang dapat diisolasi ke kulit, tanpa penyakit internal Universitas Sumatera Utara disebut lupus discoid. Ketika organ-organ internal yang terlibat, kondisi ini disebut sebagai LES. (Shiel, W.C., 2010) Epidemiologi Baik lupus diskoid dan sistemik adalah lebih umum pada wanita dibanding pria (sekitar delapan kali lebih umum). Penyakit ini dapat mempengaruhi semua umur namun paling sering dimulai 20-45 tahun.Statistik menunjukkan bahwa lupus agak lebih sering pada Amerika Afrika dan orang-orang keturunan Cina dan Jepang. (Shiel, W.C., 2010) Etiologi Alasan yang tepat untuk autoimun yang abnormal yang menyebabkan lupus masih belum diketahui. Tetapi diduga gen yang diwariskan, virus, sinar ultraviolet, dan obat tertentu mungkin memainkan peran. Beberapa ilmuwan percaya bahwa sistem imun pada lupus lebih mudah distimulasi oleh faktor eksternal seperti virus atau sinar ultraviolet. Kadang-kadang, gejala lupus dapat dipercepat atau diperburuk hanya dengan periode singkat paparan sinar matahari. Hal ini juga diketahui bahwa beberapa wanita dengan LES dapat mengalami perburukan gejala sebelum mereka menstruasi. Fenomena ini, bersama dengan dominasi LES pada wanita, menyarankan bahwa hormon-hormon wanita memainkan peran penting dalam ekspresi dari LES. Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bukti bahwa suatu kunci kegagalan enzim untuk membuang sel-sel mati dapat berkontribusi pada pengembangan LES. Enzim DNase1, umumnya mengeliminasi apa yang disebut “sampah DNA” dan puing-puing sel-sel lainnya dengan menjadikannya fragmenfragmen kecil untuk memudahkan pembuangan. Jadi, mutasi genetik dalam gen yang dapat mengganggu pembuangan limbah selular tubuh mungkin terlibat dalam permulaan dari LES. (Shiel, W.C., 2010) Universitas Sumatera Utara Manifestasi klinis Hampir semua orang dengan LES mempunyai nyeri sendi dan bengkak. Beberapa pasien mengembangkan artritis. Sering sendi yang terkena adalah jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Gejala umum lainnya termasuk nyeri dada saat mengambil napas dalam, kelelahan, demam tanpa penyebab lain, ketidaknyamanan, kegelisahan, atau perasaan sakit (malaise), rambut rontok, sensitivitas terhadap sinar matahari, pembesaran kelenjar getah bening, dan ruam kulit yang tampak seperti "kupu-kupu" pada pipi dan jembatan hidung mempengaruhi sekitar setengah dari orang dengan LES. Ruam ini semakin memburuk di sinar matahari juga dapat meluas. Gejala lain tergantung pada bagian tubuh apa yang terkena. Jika otak dan sistem saraf yang terkena maka gejalanya adalah sakit kepala, kelainan kognitif, parastesia atau nyeri di lengan atau kaki, perubahan kepribadian, psikosis, risiko stroke, kejang, dan permasalahan penglihatan. Jika saluran pencernaan, nyeri perut, mual, dan muntah. Pada jantung, irama jantung akan menjadi abnormal (aritmia). LES pada ginjal meyebabkan darah dalam urin. Jika pada paru-paru, batuk darah dan kesulitan bernafas akan terjadi. Pada kulit, warna kulit merata dan jari-jari berubah warna saat dingin (fenomena Raynaud’s). (Borigini, M.J., 2010) Diagnosis Diagnosis LES adalah berdasarkan pada ciri khas dari penyakit. Pasien harus ada paling tidak 4 dari 11 ciri khas dari penyakit. Biasanya akan diauskultasi untuk mendengarkan suara heart friction rub atau pleural friction rub. Selain itu, ujian neurologis juga akan dilakukan. Tes yang digunakan untuk mendiagnosa LES dapat meliputi tes antibodi (ANA panel, Anti-double strand (ds) DNA, Antiphospholipid antibody, dan Anti-Smith antibody), dan CBC (complete blood count) untuk menunjukkan jumlah sel darah putih, hemoglobin, atau platelet. Selain itu, sinar-X dada untuk menunjukkan pleuritis atau perikarditis. Juga dilakukan biopsy ginjal dan pemeriksaan urin untuk menunjukkan darah atau protein dalam urin. (Borigini, M.J., 2010) Universitas Sumatera Utara Penatalaksanaan Tidak ada obat untuk LES tetapi pengobatan ditujukan untuk mengontrol gejala berdasarkan gejala individual. Penyakit ringan yang melibatkan ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis tidak memerlukan terapi banyak. Biasanya OAINS digunakan untuk mengobati rematik dan pleuritis. Krim kortikosteroid digunakan untuk mengobati ruam kulit. Obat antimalaria (hidroksiklorokuin) dan kortikosteroid dosis rendah kadang-kadang digunakan untuk gejala kulit dan artritis. Kortikosteroid atau obat untuk mengurangi respon sistem kekebalan tubuh mungkin diresepkan untuk mengontrol gejala lain. Obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) digunakan untuk mengobati orang yang tidak merespon dengan baik terhadap kortikosteroid, atau yang tidak dapat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid tanpa gejala mereka semakin buruk. Secara non farmakologi, pasien disuruh memakai pakaian pelindung, kacamata hitam, dan tabir matahari ketika di bawah sinar matahari. (Borigini, M.J., 2010) 2.1.6. Fibromialgia Fibromialgia dikarakteristikan dengan nyeri muskuloskeletal kronis, kekakuan, parastesia, gangguan tidur dan cepat lelah yang terdistribusi dengan luas dan simetris. Fibromialgia mengefek wanita dengan rasio 9 dibanding 1. Penyakit ini ditemukan pada kebanyakkan negara, kebanyakkan suku, dan di semua jenis iklim. Penyakit ini didiagnosis dengan riwayat nyeri muskuloskeletal yang ada paling tidak selama 3 bulan dan mempunyai kelembutan atau nyeri pada 11 daripada 18 area kelembutan sewaktu palpasi digital dilakukan. Langkah awal dalam penatalaksanaan adalah untuk memperbaiki kualitas tidur pasien. Kemudian depresi dan anxietas diobati dengan serotonin/ norepinephrine reuptake inhibitor. Terapi lain seperti hipnoterapi dan manegemen stress turut membantu pasien. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006) Universitas Sumatera Utara 2.1.7. Skleroderma Skleroderma merupakan penyakit kronis multisistem dimana etiologinya masih belum diketahui. Secara klinis, dikarakteristikkan dengan penebalan kulit yang disebabkan oleh akumulasi jaringan ikat dan abnormalitas struktur dan fungsional pada organ viseral, termasuk saluran pencernaan, paru-paru, jantung, dan ginjal. Antara manifestasi klinis yang terdapat pada penyakit ini adalah fenomenon Raynaud, penebalan kulit, kalsinosis subkutan, artralgias, miopati, dismotilitas esofageal, fibrosis pulmonal, gagal jantung kongestif, dan krisis renal. Penyakit skleroderma mempunyai distribusi di seluruh dunia dan mengefek semua suku kaum. Onset bagi penyakit ini biasanya pada masa anak-anak dan pria usia muda. Insidensi semakin meningkat pada usia lanjut, dimana puncak maksimumnya ada pada usia 30-50 tahun. Wanita, secara keseluruhan terkena penyakit ini 3 kali lebih sering jika dibanding dengan pria. Penyakit ini biasanya didiagnosis berdasarkan gejala-gejalanya. Pada beberapa pasien, monoklonal IgG dapat dideteksi. Selain itu, biopsi juga turut dilakukan untuk membedakan dengan penyakit rematik lain. Walaupun penyakit ini tidak dapat disembuhkan, penanganan organ-organ yang terlibat dapat mengurangkan simptom-simptom dan memperbaiki fungsi. Efek terapi obat untuk penyakit ini, menjadi susah untuk dievaluasi karena penyebabnya yang bervariasi dan keparahan penyakit yang berbeda. Pasien dengan skleroderma kutan yang terbatas, mempunyai prognosis yang baik, tetapi prognosis pada pasien tahap awal menjadi susah untuk diprediksi. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006) 2.2. Fungsi Fisik Fungsi fisik merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dengan kewaspadaan dan semangat, tanpa kelelahan dan dengan cadangan energi yang cukup untuk memenuhi keadaan darurat. (Mosby, 2004) Manakala status fungsional mengacu pada tingkat kinerja pasien dalam aktivitas hidup seharihari. Meskipun status fungsional jelas sangat penting untuk pasien dan profesional kesehatan, ia tidak dinilai dengan tes laboratorium, radiografi, dan prosedur Universitas Sumatera Utara pencitraan lain maka belum pernah diukur secara formal dalam pengaturan perawatan medis tradisional. Pada dekad terakhir ini, beberapa instrumen kuesioner telah dipelajari secara ekstensif untuk menilai status fungsional pasien dalam penelitian klinis, uji klinis, dan praktek klinis. Pengembangan kuesioner ini adalah berdasarkan pada metode ilmiah dan menyediakan pengetahuan baru tentang kondisi jangka panjang berbagai penyakit rematik. Persyaratan metodologi yang dibutuhkan dalam suatu kuesioner status fungsional meliputi evaluasi kuantitatif terhadap tingkat basis fungsi pasien untuk perbandingan dari waktu ke waktu dalam uji klinis atau praktek klinis, diskriminasi antara individu (atau kelompok) sesuai dengan komponen yang diberikan atau kriteria status fungsional, dan prediksi dari suatu tingkat fungsional berikutnya pada pasien berisiko untuk kompromi fungsional di masa depan. Kuesioner status fungsional berhubungan baik dengan titik akhir evaluasi tradisional dalam penyakit rematik, seperti menghitung sendi, temuan radiografi, dan hasil laboratorium. Selain itu, kuesioner dapat memberikan informasi yang berguna mengenai sejumlah gejala klinis yang penting yang telah sulit atau tidak mungkin untuk diukur dengan langkah-langkah tradisional. Ini meliputi: a. Dokumentasi dan prediksi penurunan fungsional jangka panjang dan disabilitas kerja yang terkait dengan penyakit rematik. b. Prediksi mortalitas pada pasien dengan reumatoid artritis, termasuk identifikasi pasien dengan proyeksi survival 5-tahun pada kisaran 50%, seperti pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan neoplastik. c. Identifikasi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pasien dengan penyakit rematik. d. Deteksi perubahan status klinis pada pasien yang terdaftar dalam uji klinis, yang sama efektitivitasnya dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium. Meskipun penggunaan kuesioner ini telah sebagian besar terbatas pada penelitian klinis, self-reported questionnaires menunjukkan manfaat dalam penilaian dan pemantauan pasien dalam evaluasi rutin sebagai tambahan berarti untuk evaluasi pasien. Universitas Sumatera Utara Beberapa kuesioner telah dikembangkan untuk mengukur berbagai aspek status fungsional pada pasien dengan penyakit rematik. Antaranya adalah, Health Assessment Questionnaire (HAQ), Modified Health Assessment Questionnaire (MHAQ), Arthritis Impact Measurement Scale (AIMS), MACTAR Patient Preference Disability Questionnaire, dan lain-lain lagi. (Pincus, T., & MacKenzie, R., 2000) 2.2.1. Keterbatasan Fungsi Fisik Keterbatsan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas hariannya dengan kewaspadaan, tanpa kelelahan, dan energi yang secukupnya. 2.2.2. Keterbatasan Fungsi Fisik pada Penderita Rematik Ahli rematologi mengklasifikasikan status fungsional pasien rematik sebagai berikut: a. Kelas I: benar-benar mampu melakukan kegiatan biasa hidup sehari-hari b. Kelas II: mampu melakukan perawatan diri sendiri biasa dan kegiatan kerja tapi terbatas pada kegiatan di luar pekerjaan (misalnya olahraga bermain, pekerjaan rumah tangga) c. Kelas III: mampu melakukan kegiatan mandiri perawatan biasa tapi terbatas pada pekerjaan dan kegiatan lain d. Kelas IV: terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa, pekerjaan, dan kegiatan lainnya Keterbatasan fungsi fisik yang biasanya terjadi pada penderita penyakit rematik adalah pada hal-hal seperti berjalan 1 atau 2 kilometer, menaik 1 atau 2 tangga, membuka penutup botol yang belum dibuka, membersihkan rumah, bekerja di kebun, mengangkat barang-barang yang berat, mencuci rambut, berdiri dari suatu kerusi yang tegak lurus, turun dari tempat tidur, mengangkat segelas air yang terisi penuh, mengeringkan badan selepas mandi dan lain-lain lagi. (Wolfe, F., Michaud, K., and Pincus, T., 2004) Universitas Sumatera Utara