BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan yang menarik di bidang ekonomi saat ini adalah di bidang perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang peranannya penting untuk perekonomian negara. Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Setiap Negara memiliki bank sentral yang mengendalikan bank-bank umum yang ada di Negara tersebut. Di Indonesia sendiri Bank Indonesia adalah bank sentral yang mengendalikan bank-bank yang ada di dalam negeri beserta kebijakan-kebijakannya. Perbankan di Indonesia sendiri masih dikategorikan sehat meskipun sering ada gejolak ekonomi yang menimpa seperti salah satunya melemahnya rupiah beberapa tahun terakhir. Kondisi perbankan di Indonesia terakhir pada Juni 2015 dipastikan sehat, memiliki coverage ratio sebesar 10%, Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 20,1% dan Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 88,6%, pertumbuhan kredit masih mencapai 15%-16%. Meskipun perbankan di Indonesia dipastikan masih dalam keadaan sehat, tetap saja masih terdapat beberapa masalah yang tidak dapat dihindari yaitu risiko likuiditas dan risiko kredit. Masalah seperti itu tidak hanya dapat terjadi di Indonesia, namun juga bank-bank selain di Indonesia. Seperti yang telah dipelajari dalam teori ekonomi klasik, bahwa risiko likuiditas sangat berhubungan dekat dengan risiko kredit. Diamond dan Dybvig (1983) menunjukkan bahwa 1 2 struktur aset terkait erat dengan liabilitas bank terutama pada peminjaman default bank dan penarikan dana. Hal tersebut juga berlaku untuk kepentingan laporan neraca keuangan bank, namun juga kepentingan peminjaman dan pembiayaan yang ditunjukkan oleh neraca keuangan. Oleh sebab itu, risiko likuiditas dan kredit perlu dicari tahu apa pengaruhnya bagi stabilitas bank. Untuk mengetahui risiko likuiditas dan kredit yang mempengaruhi stabilitas bank, kita perlu menilik saat krisis keuangan tahun 2008 yang bermula di Amerika Serikat (AS). Banyak lembaga-lembaga keuangan yang mengalami default/ failure atau kegagalan. Hal tersebut dikarenakan risiko likuiditas dan risiko kredit yang terjadi secara bersamaan. Pada waktu itu terjadi tingkat kredit yang tinggi di kalangan masyarakat AS. Masyarakat AS hidup dalam tingkat konsumerisme yang tinggi, di luar batas pendapatan yang diterimanya, seperti belanja dengan kartu kredit. Melihat hal tersebut, banyak kreditur yang memberikan kredit kepada peminjam (borrower) namun dengan rating yang rendah. Salah satu kredit tersebut adalah KPR atau kredit dalam lingkup perumahan. Oleh karena tingginya tingkat kredit yang ada di kalangan masyarakat, piutang perusahaan kepada kreditor perumahan telah digadaikan kepada lebaga pemberi pinjaman, sehingga lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya. Mereka bangkrut karena tidak bisa melunasi hutang-hutang yang telah jatuh tempo. Selain itu kondisi likuiditas perusahaan maupun perbankan mengalami penurunan sehingga hutang pun sulit untuk dibayarkan. Selain itu, krisis tersebut juga dengan cepat merambat ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia. Krisis keuangan di Amerika Serikat yang terjadi pada awal dan pertengahan tahun 2008 tersebut telah menyebabkan 3 menurunnya daya beli masyarakat setempat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen atau penghasil berbagai produk yang selama ini dikonsumsi dan yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena itu, maka sudah tentu menjadi dampak yang serius bagi Negara-negara pengekspor di seluruh dunia, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat. Negara-negara pengekspor barang ke Amerika Serikat menjadi menurun pemasukannya karena barang yang diekspor juga menurun sehingga perusahaan-perusahaan ekspor mengalami kesulitan dalam melunasi hutangnya pada bank. Akibatnya bank-bank di Negara ekspor yang bersangkutan tak heran ikut mengalami masalah salah satunya kredit macet sebagai dampak dari meluasnya krisis keuangan Amerika Serikat. Hal tersebut didukung oleh bukti empiris dan perspektif teoritis yang dikemukakan oleh para ahli perbankan. Kegagalan bank tersebut menimbulkan kerugian materi yang tidak sedikit. Bank-bank yang default pada saat krisis tersebut, umumnya tidak membedakan mana aset likuid dan aset tidak likuid, serta pendanaan jangka pada masing-masingnya. Selain itu bank-bank tersebut juga mengabaikan risiko kredit yang ada pada aset mereka. Meskipun masih berupa bukti alam, hal tersebut membri tanda atau sinyal bahwa risiko likuiditas dan kredit memainkan peran yang penting dalam stabilitas bank, namun bank tidak memperhitungkan hal tersebut dalam manajemen risiko mereka. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia (BI) pernah mengungkapkan data bahwa perbankan Indonesia pada tahun 2008 kredit macet mencapai angka 41,87 triliun. Lalu pada tahun 2012 kredit macet mencapai angka 33,401 triliun. 4 Jumlah tersebut tercatat meningkat sekitar 17,64 % dibandingkan tahun 2011 yang menyentuh angka 28,396 triliun. Dari sekian banyaknya angka kredit macet diatas, persentase yang paling besar berasal dari bank BUMN, yakni 15,4 triliun. Menurut Espahbodi, P (1991) Probability of default merupakan salah satu cara untuk memperkirakan kemungkinan bank akan gagal dengan melihat rasiorasio keuangan dari bank tersebut. Selain itu kemungkinan kegagalan sebuah bank juga mencerminkan adanya risiko likuiditas, risiko kredit, serta kualitas pinjaman yang buruk. Selain itu kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) digunakan sebagai proksi risiko kredit, salah satunya adalah Beck et al (2009). Kemudian Berger Bowman (2013) memproksikan risiko likuiditas dengan caranya sendiri yang nanti akan dijelaskan pada bab tiga. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini berjudul “PENGARUH RISIKO KREDIT DAN RISIKO LIKUIDITAS TERHADAP PROBABILITAS DEFAULT BANK (STUDI PADA BANK UMUM KONVENSIONAL YANG TERDAFTAR DI BEI PERIODE 2009-2013)” 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka peneliti mempunyai rumusan masalah. Rumusan masalah sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimana pengaruh risiko kredit terhadap probabilitas default bank? 1.2.2. Bagaimana pengaruh risiko likuiditas terhadap probabilitas default bank? 5 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti mempunyai tujuan penelitian. Tujuan penelitian sebagai berikut: 1.3.1. Menganalisis pengaruh risiko kredit terhadap probabilitas default bank. 1.3.2. Menganalisis pengaruh risiko likuiditas terhadap probabilitas default bank. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan maka penelitian ini diharapkan memiliki manfaat. Manfaat penelitian sebagai berikut: 1.4.1. Bagi praktisi Penelitian ini diharapkan bisa menjadi pertimbangan praktisi yang berperan di dunia perbankan, dalam menjaga likuiditas aset bank agar bank tersebut tetap dalam kondisi yang sehat dan tidak menggangu proses operasionalnya, serta pada kebijakan prosedur dan pertimbangan dalam pemberian kredit kepada nasabah untuk tidak melupakan adanya risiko kredit. 1.4.2. Bagi akademisi Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan literatur manajemen keuangan di Indonesia khususnya literatur-literatur yang meneliti tentang risiko likuiditas, risiko kredit, dan default bank dan dapat digunakan sebagai acuan pada penelitian selanjutnya. 6 1.4.3. Bagi investor Sebagai bahan masukan untuk memahami kondisi perbankan dan mengetahui informasi kondisi perbankan suatu Negara yang dapat berguna untuk acuan berinvestasi.