bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Cadangan dan produksi bahan bakar minyak bumi (fosil) di Indonesia
mengalami penurunan 10% setiap tahunnya sedangkan tingkat konsumsi minyak
rata-rata naik 6% per tahun. Permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini yaitu
produksi bahan bakar minyak bumi tidak dapat mengimbangi besarnya konsumsi
bahan bakar minyak, sehingga Indonesia melakukan impor minyak untuk
memenuhi kebutuhan setiap tahunnya. Hal ini disebabkan tidak adanya
perkembangan produksi yang signifikan pada kilang minyak dan tidak
ditemukannya sumur minyak baru. Sebagai solusi permasalahan tersebut perlu
digunakan diversifikasi energi selain minyak bumi. Salah satu diversifikasi energi
tersebut yaitu dengan menggunakan biodiesel dan alkohol sebagai sumber bahan
bakar (Kuncahyo, 2013).
Penggunaan bahan bakar minyak bumi (fosil) seperti solar dalam mesin
diesel menghasilkan gas NO x yang cukup tinggi dan juga menghasilkan asap
jelaga yang berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Padahal
seperti yang telah kita ketahui mesin diesel merupakan alat yang sangat
diperlukan dalam kehidupan manusia. Mesin diesel banyak digunakan dalam
transportasi publik, pembangkit listrik, mesin dengan kinerja berat, peralatan
industri dan pertanian. Mesin diesel merupakan mesin yang memiliki konversi
bahan bakar efisien, output tenaga yang besar, kapasitas torsi yang tinggi, dan
daya tahan tinggi bila dibandingkan dengan mesin berbahan bakar bensin. Oleh
karena itu penggunaan biodiesel dan alkohol sebagai bahan bakar mesin diesel
diharapkan dapat menggantikan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil
sebagai bahan bakar mesin diesel sehingga gas buang yang dihasilkan oleh mesin
diesel menjadi lebih bersih dan tidak berbahaya bagi lingkungan.
Peningkatan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar juga
berdampak pada meningkatnya emisi gas yang berasal dari pembakaran. Bahan
bakar fosil dianggap sebagai sumber energi yang tidak ramah lingkungan karena
dapat menimbulkan polusi akibat emisi pembakaran. Polusi yang ditimbulkan
oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak
langsung terhadap derajat kesehatan manusia. Polusi langsung dapat berupa gasgas berbahaya seperti CO, NOx , UHC (unburn hydrocarbon), dan juga unsur
metalik seperti timbal (Pb), sedangkan polusi tidak langsung dapat berupa ledakan
jumlah molekul CO 2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming
Potential). Oleh karena itu pemanfaatan bahan dasar sebagai sumber energi yang
dapat menghasilkan bahan bakar alternatif terbarukan sangat diperlukan. Beberapa
negara memusatkan perhatian pada pengembangan sumber bahan bakar alternatif
yang terbarukan, biodegradable, dan tidak beracun (Hansen dkk., 2009).
Biodiesel memiliki angka cetane yang rendah bila dibandingkan dengan
solar sehingga perlu ditambahkan zat aditif untuk meningkatkan angka cetane
biodisel agar dapat menjadi bahan bakar yang baik bagi mesin diesel. Angka
cetane merupakan indikator kualitas pengapian (ignition) pada bahan bakar dan
menunjukkan lamanya tenggang waktu pengapian (ignition delay) bahan bakar
pada mesin. Bahan bakar dengan angka cetane yang rendah akan menghasilkan
emisi pembakaran yang tinggi dan tenggang waktu pengapian (ignition delay)
yang lama. Peningkatan angka cetane dapat mengurangi ignition delay dan emisi
bahan bakar. Peningkatan angka cetane dapat dilakukan dengan meningkatkan
jumlah rantai karbon (Yasin dkk., 2013).
Senyawa alkohol banyak digunakan sebagai campuran bahan bakar diesel.
Metanol dan etanol merupakan alkohol rantai pendek yang banyak digunakan
sebagai campuran solar untuk bahan bakar diesel. Campuran etanol sebagai aditif
bahan bakar mesin diesel dapat mengurangi emisi CO dan UHC (unburn
hydrocarbon). Namun penggunaan alkohol rantai pendek dapat menimbulkan
masalah pada mesin diesel karena angka cetane yang rendah, auto-ignition yang
rendah, tingginya panas penguapan, rendahnya nilai kalor dan rendahnya
lubricating properties, sehingga membatasi penggunaan alkohol tersebut untuk
mesin diesel (Campos-Fernández dkk., 2012). Beberapa teknik seperti pengasapan
alkohol, dual- injeksi, pencampuran alkohol-solar, dan emulsi alkohol-solar telah
digunakan untuk mengatasi keterbatasan alkohol sebagai aditif bahan bakar mesin
diesel (Ozsezen dkk., 2011).
Alkohol dengan rantai lebih panjang banyak dipilih oleh para peneliti
karena densitas energi yang lebih tinggi, angka cetane yang lebih tinggi dan lebih
stabil ketika dicampurkan dengan biodiesel atau solar dibandingkan dengan
alkohol rantai pendek. Meningkatnya panjang rantai karbon juga meningkatkan
kualitas pembakaran dari molekul alkohol. Alkohol rantai panjang merujuk pada
alkohol dengan rantai karbon lurus yang mengandung empat atau lebih atom
karbon seperti butanol (C 4 ), heksanol (C 6 ), oktanol (C 8 ), dodekanol (C 10 ), phytol
(C20 ) dan seterusnya. Alkohol dengan rantai panjang dan alkohol yang memiliki
berat molekul besar memiliki sifat kurang higroskopik sehingga tidak korosif
terhadap mesin kendaraan (Siwale dkk., 2013).
Pencampuran alkohol-biodiesel sebagai bahan bakar akan menghasilkan
bahan bakar yang memiliki angka cetane yang rendah. Biodiesel memiliki angka
cetane yang lebih rendah dibandingkan dengan solar dan alkohol sendiri memiliki
angka cetane yang rendah, sehingga bahan bakar yang dihasilkan tersebut kurang
ideal untuk digunakan sebagai bahan bakar diesel. Oleh karena itu senyawa
alkohol tersebut perlu diubah menjadi senyawa lain yang memiliki angka cetane
yang tinggi, sehingga pencampuran senyawa tersebut dengan biodiesel dapat
menaikkan angka cetane yang dimiliki biodiesel. Salah satu senyawa dengan
angka cetane tinggi yang dapat diperoleh dari alkohol yaitu senyawa asetal.
Asetal dapat digunakan sebagai bahan bakar atau digunakan sebagai
campuran bahan bakar alternatif untuk menaikkan angka cetane bahan bakar
alternatif tersebut (booster) sehingga nilai cetane dari suatu bahan bakar yang
tadinya rendah dapat meningkat. Pembuatan senyawa asetal dari reaksi dehidrasi
alkohol dilakukan pada suhu tinggi dengan bantuan katalis logam.
Logam- logam yang sering digunakan sebagai katalis adalah jenis logam
transisi yang memiliki orbital d belum penuh (Ali dkk., 2014). Logam transisi
dapat berperan sebagai penyedia situs asam Lewis dalam katalis, sehingga apabila
logam transisi digunakan sebagai logam yang diembankan dalam material berpori
akan
meningkatkan keasaman
material tersebut (Daryoso
dkk.,
2012).
Kekurangan dari katalis logam ini adalah dapat terjadi penggumpalan komponen
aktif logam ketika proses katalitik berlangsung, akibatnya umur katalis menjadi
lebih pendek. Masalah tersebut dapat diatasi dengan mengembankan katalis logam
pada bahan pendukung seperti silika-alumina, alumina, atau karbon aktif sehingga
umur katalis bertambah.
Katalis logam biasanya diembankan pada suatu padatan pengemban
(support), sehingga diperlukan pemilihan padatan pengemban yang optimum.
Pada katalis heterogen, yaitu berupa logam yang dideposisikan pada suatu padatan
pendukung, jenis padatan pendukung akan mempengaruhi sifat dan kinerja
katalis. Pada saat memilih suatu katalis heterogen terimpregnasi untuk suatu
proses, sebaiknya diperhatikan jenis padatan pendukung yang akan digunakan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu stabilitas pengemban, luas
permukaan pengemban, harga atau nilai ekonomis, interaksi pengemba n dengan
logam yang dideposisikan, dan sifat inert pengemban (Lestari, 2012).
Kobalt (Co) merupakan unsur transisi dari golongan VIII B periode IV
yang merupakan katalis yang aktif karena memiliki orbital d yang belum terisi
penuh sehingga katalis Co dapat digunakan untuk reaksi hidrogenasi terutama
hidrogenasi nitril dan aldoxime menjadi amina primer (Augustine, 1996). Kobalt
dalam bidang industri diaplikasikan sebagai katalis pada proses hidrotreating dan
desulfurisasi untuk minyak dan gas. Kobalt dalam bentuk kobalt asetat digunakan
sebagai katalis homogen untuk produksi asam tereptalik dan dimetiltereptalik
yang digunakan dalam industri plastik. Kobalt juga digunakan sebagai katalis
untuk produksi alkohol dan aldehid.
Karbon aktif dapat digunakan sebagai pengemban katalis karena karbon
aktif inert dan stabil dalam suasana asam maupun suasana basa. Selain murah,
apabila katalis sudah tidak digunakan (setelah terdeaktivasi), maka katalis yang
termasuk logam berbahaya atau beracun ini dapat diperoleh kembali dengan cara
mudah yaitu dibakar dengan suhu tinggi dan logam yang tersisa di elektrolisis
sehingga tidak akan mencemari lingkungan. Bahan baku yang dapat dibuat
menjadi karbon aktif adalah semua bahan yang mengandung karbon, baik yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun barang tambang. Dari berbagai
bahan tersebut bila dibandingkan maka karbon aktif yang terbuat dari tempurung
kelapa merupakan bahan terbaik yang dapat dibuat menjadi karbon aktif. Karena
karbon aktif dari tempurung kelapa memiliki mikropori yang banyak, kadar abu
yang rendah, dan reaktivitas yang tinggi (Subadra dkk., 2005)..
Falah dan Triyono (2010) telah melakukan konversi n-butanol dan npentanol dengan katalis Cu/karbon aktif pada suhu 200 °C untuk menghasilkan
senyawa alkena dan dalam reaksi ini disebutkan apabila waktu singgung reaktan
ditingkatkan sehingga waktu kontak reaksi lebih lama maka akan dihasilkan
produk samping yang lain.
Pada penelitian ini digunakan logam kobalt (Co) sebagai situs aktif katalis
yang diembankan pada karbon aktif dan digunakan suhu tinggi yaitu pada suhu
400 sampai 600 °C untuk proses dehidrasi alkohol primer menjadi senyawa asetal.
Logam kobalt digunakan karena memiliki aktivitas katalitik yang baik sebagai
katalis dan diharapkan dapat digunakan sebagai katalis untuk proses dehidrasi
senyawa n-butanol menjadi senyawa asetalnya. Dengan menggunakan rentang
suhu yang lebih tinggi dan variasi berbagai variabel yang diperkirakan dapat
mempengaruhi reaksi dehidrasi tersebut seperti berat katalis dan laju alir gas
diharapkan didapatkan senyawa produk yaitu senyawa asetal dengan persentase
yang tinggi dan diketahui kondisi optimum untuk reaksi dehidrasi tersebut.
Modifikasi karbon aktif yang digunakan sebagai pengemban katalis logam
kobalt bertujuan untuk menguji aktivitas katalis heterogen tersebut dalam reaksi
dehidrasi
n-butanol
menghasilkan
produk
asetal
yaitu
senyawa
1,1-
dibutoksibutana yang memiliki angka cetane tinggi sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai senyawa peningkat angka cetane (booster) untuk biodiesel yang masih
memiliki angka cetane yang rendah.
I.2
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Membuat katalis heterogen kobalt yang diembankan pada karbon aktif
dengan metode impregnasi basah.
2.
Menguji aktivitas katalis Co/karbon aktif untuk dehidrasi senyawa n-butanol
menjadi senyawa 1,1-dibutoksibutana dengan variasi jumlah katalis,
temperatur serta laju alir gas dan menentukan kondisi optimum untuk reaksi
dehidrasi tersebut.
I.3
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu untuk mempelajari sintesis senyawa asetal
yang memiliki angka cetane tinggi yaitu senyawa 1,1-dibutoksibutana dari nbutanol. Senyawa asetal dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin diesel,
sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam membuat
bahan bakar terbarukan maupun sebagai bahan bakar peningkat angka cetane atau
booster untuk bahan bakar terbarukan seperti biodiesel yang masih memiliki
angka cetane yang rendah.
Bahan bakar yang memiliki angka oktan maupun angka cetane yang tinggi
sangat baik bila dipandang dari segi lingkungan karena angka oktan maupun
cetane yang tinggi menunjukkan pembakaran sempurna untuk bahan bakar
tersebut akan lebih mudah terjadi. Pembakaran yang sempurna akan mengurangi
emisi gas karbon monoksida (CO), UHC (unburn hydrocarbon) dan gas
berbahaya lainnya yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan berbahaya
untuk lingkungan.
Download