BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stroke 2.1.1. Pengertian Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008). Stroke merupakan trauma neurologik akut yang terjadi sebagai hasil dari proses patologik dan bermanifestasi sebagai perdarahan atau infark otak. Sekitar 80 persen stroke akibat perdarahan otak (Harison, 2000). Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDDO) merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yanng disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008). 2.1.2. Patologi Stroke Penyakit serebrovaskuler disebabkan oleh satu dari beberapa proses patologik yang mengenai pembuluh darah otak. Proses mungkin intrinsik terhadap pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, lipohialinosis, inflamasi, deposisi amiloid, diseksi arterial, malformasi perkembangan, dilatasi aneurisma atau trombosis vena, mula-mula seedikit dan terjadi bila embolus dari jantung atau sirkulasi Universitas Sumatera Utara ekstrakranial tersangkut dalam pembuluh darah intrakranial, diakibatkan oleh penurunan tekanan perfusi atau peningkatan viskositas darah dengan aliran darah serebral tak kuat atau diakibatkan oleh ruptur pembuluh darah pada ruang subaraknoid atau jaringan intraserebral. Stroke merupakan traumaneurologik akut yang terjadi sebagai hasil dari proses patologik ini dan bermanisfestasi sebagai perdarahan atau infark otak. Sekitar 80 persen stroke akibat infark serebral iskemik dan 20 persen akibat perdarahan otak. Faktor resiko primer untuk stroke adalah hipertensi, hiperkolesterolemia dan merokok. Dan paling penting untuk penyakit serebrovaskuler arteriosklerotik, fiblirasi atrial atau infark mutakhir untuk embolisme kardiogenik dan hipertensi untuk perdarahan intraserebral primer. hipertensi juga menyebabkan lipohialinosis, lesi patologik primer stroke lakunar (Harison, 2000). 2.1.3. Klasifikasi Stroke Harison (2000), penyakit serebrovaskular iskemik dibagi menjadi dua kategori luas, trombotik dan embolik. Stroke embolik serebral biasanya terjadi mendadak tetapi dapat timbul dengan gejala yang berfluktuasi. Stroke trombotik terjadi pada 50 sampai 75 persen pasien dengan gejala transien, serangan iskemik transien (TIA) atau stroke minor yang menyebabkan peristiwa lebih menghancurkan. TIA dibagi menjadi tiga tipe, yaitu (1) TIA aliran rendah pembuluh besar, (2) TIA embolik dan (3) TIA pembuluh darah yang melakukan penetrasi kecil atau lakunar. Universitas Sumatera Utara TIA aliran rendah bersifat singkat (beberapa menit sampai beberapa jam), rekuren dan stereotipe. TIA sering dihubungkan dengan lesi aterosklerotik stenotik ketat pada asal arteri karotis internal atau pada bagian intrakranial arteri karotis internal (sifon) bila aliran kolateral dari sirkulus Willis ke tengah ipsilateral atau arteri serebral anterior terganggu. Penyebab penting lain termasuk lesi stenotik aterosklerotik di arteri serebralis sentralis atau pada sambungan arteri basilaris dan vertebralis. TIA embolik ditandai khas oleh episode gejala neurologik fokal yang memanjang (berjam-jam), biasanya tunggal dan diskret. Embolis berasal dari proses patologik dalam arteri, biasanya ekstrakranial atau dari jantung. Jika gejala atau tanda menetap lebih dari 24 jam, stroke iskemik dengan infark terjadi. Namun gejala yang berlangsung kurang dari 24 jam juga dapat dihubungkan dengan infark iskemik. Jika proses patologik primer dianggap merupakan embolik, pencarian cermat untuk sumbernya perlu sebelum terapi untuk mencegah stroke selanjutnya mulai timbul. TIA pembuluh darah penetrasi atau lakunar kadang-kadang terjadi akibat iskemia serebral transien dari stenosis salah satu pembuluh darah penetrasi intraserebral yang timbul dari batang arteri serebral sentral, arteri vertebralis atau basilaris atau sirkulus Willis. Penyumbatan pembuluh darah penetrasi intraserebral kecil ini biasanya akibat lipohialinosis dari hipertensi, tetapi juga dapat timbul dari penyakit ateromatosa pada asalnya. Kadang-kadang stereotipe rekuren terjadi. Universitas Sumatera Utara Muttaqin (2008), merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan yang terjadi disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Perdarahan pada rongga paling sering terjadi akibat ruptur aneurisma, yaitu kelemahan kongenital yang terjadi umumnya pada percabangan sirkulus Willis dan malformasi arteriovenosa (angioma), pembuluh darah yang malformasi juga kongenital yang membesar dan terjadi saat dewasa. Penyebab yang lebih jarang adalah trauma, kelemahan pembuluh darah akibat infeksi, misalnya emboli septik dari endokarditis infektif (aneurisma mikotik) dan koagulopati. Perdarahan intraserebral spontan pada otak disebabkan oleh hipertensi dengan pembentukan mikroaneurisma (aneurisma Charcot-Bouchard), perdarahan tumor, trauma, kelainan darah, gangguan pembuluh darah dengan malformasi arteriovenosa, vaskulitis, amiloidosis (Ginsberg, 2008). 2.1.4. Tanda dan gejala stroke Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder dan aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motorik volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan Universitas Sumatera Utara kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalam ini muncul kembali (biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terkena dapat dilihat. Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut: disartria (kesulitan berbicara), disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya). Stroke juga dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang) dapat terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen. Pada keadaan ini, pasien tidak mampu melihat makanan pada setengah nampan dan hanya setengah ruangan yang terlihat. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Pasien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk Universitas Sumatera Utara mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius. Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah pasien terhadap penyakit karastrofik ini. Masalah psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam dan kurang kerja sama. Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketikdakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal//bedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik dengan kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian kandung kemih. Kadangkadang kontrol sfingter urinarus eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Karena indra kesadaran pasien kabur, inkontinensia urinarus menetap atau retensi urinarius menetap atau retensi urinarius mungkin simtomatik karena kerusakan otak bilateral. Inkontinensia ani dan urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologik luas (Smeltzer & Bare, 2002). Universitas Sumatera Utara 2.1.5. Rehabilitasi pada stroke Wirawan (2009), secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabillitasi yang akan diberikan, yaitu: stroke fase akut ( 2 minggu pertama pasca serangan stroke), stroke fase subakut (antara 2 minggu – 6 bulan pasca stroke) dan stroke fase kronis (diatas 6 bulan pasca stroke). Pada rehabilitasi stroke fase akut, kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam peerawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang dirawat di unit stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembai dalam kehidupan sosialnya di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Pada fase ini memerlukan penanganan spesialistik di rumah sakit. Pada rehabilitasi stroke fase subakut, kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10 %) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan dan sebagian kecil lainnya (sekitar 10 %) pasien pulang dengan gejala yang sangat berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang optimal. Pada fase subakut pasien Universitas Sumatera Utara diharapkan mulai kembali untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistem saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak. Prinsipprinsip Rehabilitasi Stroke: 1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/ beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan. 2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan Universitas Sumatera Utara dan mengaktifkan bagian– bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang baru. 3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dimana pasien masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga” yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien. 4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk Universitas Sumatera Utara dinamik tercapai apabila pasien dapat mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan aktivitas sambil berjalan. 5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan sesering mungkin. 6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-pisahkan. Universitas Sumatera Utara Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan yang ada. Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk: mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring, menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal, mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari, mengembalikan kebugaran fisik dan mental. Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya dimotivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin cepat dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu ditolong oleh keluarga (Wirawan, 2009). Perawatan penderita selepas dari rumah sakit perlu dipersiapkan sejak menjelang pulang ke rumah. Sebelum pasien pulang, perawat atau dokter bersama keuarga sebaiknya mendiskusikan dan mengusahakan tenaga penjaga orang sakit yang telah terlatih yang akan mendampingi atau merawat pasien selama 24 jam di rumah. Contoh-contoh gerakan rehabilitasi pasca stroke di rumah (Rumahorbo, et al, 2014): Universitas Sumatera Utara 1. Posisi berbaring telentang. Tempat tidur datar, kepala dan kedua bahu ditaruh di atas bantal dan pastikan leher pasien tidak tertekuk. Lengan, siku dan pergelangan yang lumpuh dalam posisi lurus diganjal dengan bantal. Telapak tangan yang lumpuh diberi alas bantal. Cegah foot-drop dengan meletakkan gulungan handuk di telapak kaki klien. Untuk menghindari luka tekan (dekubitus) dan mencegah pemendekan otot, lakukan pengaturan atau penggantian posisi tidur setiap 3 jam. Beri pijatan dengan menggunakan minyak kelapa daerah-daerah yang tertekan, seperti punggung, panggul, tulang ekor, mata kaki dan tumit. 2. Posisi berbaring pada sisi yang sehat. Tempat tidur datar, kepala diatur senyaman mungkin. Badan dimiringkan ke posisi yang sehat. Lengan yang lumpuh diposisikan dengan sudut rentang 1000 dari badan dan diberi alas bantal. Siku lengan yang lumpuh diatur dalam posisi tidak tertekuk dan telapak tangan yang lumpuh dalam posisi tengkurap. Pangkal paha dan lutut yang lumpuh ditekuk dan diganjal dengan bantal. 3. Posisi miring ke sisi yang normal. Penolong bediri di samping pasien di sisi tubuh yang sehat. Tekuk lutut yang lumpuh. Kedua tangan pasien diatur dalam posisi saling menggenggam, yaitu posisi jempol tangan yang lumpuh. Bantu pasien untuk miring dengan posisi tangan penolong berada pada bahu dan pinggul yang lumpuh. 4. Posisi miring ke sisi yang lumpuh. Penolong berdiri di samping pasien di sisi tubuh yang lumpuh. Bantu pasien untuk miring dengan posisi tangan kanan Universitas Sumatera Utara menahan lutut sementara tangan kiri penolong menjepit lengan yang lumpuh. Anjurkan pasien untuk memiringkan sisi yang sehat ke arah sisi yang lumpuh. 5. Posisi angkat bokong. Penolong membantu pasien menekuk lutut yang lumpuh. Satu tangan penolong membantu menopang kaki yang lumpuh dengan menahan punggung kaki yang lumpuh di atas tempat tidur sementara tangan yang lain menyusuri pinggang klien bagian bawah. Anjurkan pasien untuk mengangkat dan meletakkan bokongnya. 6. Posisi berbaring ke arah duduk. Penolong berdiri di samping pasien di sisi tubuh yang lumpuh. Miringkan pasien ke arah sisi tubuh yang lumpuh. Miringkan pasien ke arah sisi tubuh yang lumpuh dengan menekuk kedua lututnya. Kemudian tangan kanan penolong menggeser bagian belakang lutut pasien ke tepi tempat tidur sementara tangan kiri penolong menggeser berada di ketiak yang lumpuh. Pada saat yang bersamaan pasien menyangga tubuhnya dengan tangan yang sehat di tepi tempat tidur. Posisi duduk di ranjang. Naikkan kepala tempat tidur 900, letakkan sebuah bantal di antara punggung dan tempat tidur pasien. Posisikan klien duduk 900 dengan kepala tidak bersandar pada tempat tidur. Posisikan lengan di atas meja setinggi perut pasien yang diberi alas bantal. Bila perlu dukung bagian yang lumpuh dengan bantal. 7. Posisi duduk di kursi. Bokong dan panggul tidak miring. Badan dalam keadaan bersandar. Bahu lurus dengan panggul. Telapak kaki menapak di lantai, lengan disangga. Universitas Sumatera Utara 8. Posisi duduk ke arah berdiri Penolong berdiri disamping tubuh klien yang lumpuh. Letakkan kursi tanpa sandaran atau meja setinggi tempat duduk pasien di depannya. Kedua tangan pasien diatur dalam posisi saling menggenggam, yaitu posisi jempol dan telunjuk tangan yang lumpuh. Letakkan kedua tangan pasien dalam posisi lurus ke depan di atas kursi atau meja sambil menganjurkan pasien untuk membungkukkan tubuh dan mengangkat pantat. Penolong membantu pasien dengan posisi satu tangan menahan pinggang yang sehat dan tangan penolong yang lain menahan bagian tubuh yang lumpuh. 9. Posisi berjalan 1. Penolong berdiri di hadapan pasien. Letakkan lengan pasien yang lumpuh pada bahu penolong, sementara tangan penolong yang lain membantu pasien untuk berjalan dengan menitikberatkan tubuh pasien pada pinggul yang sehat. 10. Posisi berjalan 2. Penolong berdiri di samping pasien. Tangan kanan penolong menggenggam tangan pasien yang lumpuh. Lengan penolong yang lain berada pada ketiak pasien yang lumpuh dan mengarah ke dadanya. 11. Latihan gerak sendi. Latihan gerak sendi secara aktif oleh penderita bertujuan untuk memelihara setiap persendian agar tidak timbul nyeri, kaku sendi, dan pengecilan otot. Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan selama latihan: letakkan barang-barang (kacamata, sisir, gelas minuman) dalam jangkauan dan pada sisi yang sehat. Posisikan area penderita yang sehat dekat dengan pusat ruangan. Orientasikan realitas dengan menempatkan kalender dan jam di area yang mudah dilihat. Dampingi penderita selama latihan. Latih anggota gerak Universitas Sumatera Utara yang sehat untuk meningkatkan pergerakan dan kekuatannya. Dukung pasien untuk melakukan latihan pergerakan pada sisi yang sakit. 12. Latihan aktif anggota anggota gerak atas (dilakukan klien sendiri). Kedua tangan klien diatur dalam posisi saling menggenggam, yaitu posisi jempol tangan yang sehat berada di sela jari jempol dan telunjuk tangan yang lumpuh. Anjurkan pasien untuk mengangkat kedua tangannya dan menggerakkan ke arah atas kepala. Kemudian turunkan kembali ke posisi semula. Anjurkan pasien untuk mengangkat kedua tangannya dan menggerakkannya melewati dada ke arah sisi tubuh yang sehat, kemudian kembali lagi keposisi semula. Tangan yang sehat memegang lengan bawah yang lumpuh. Anjurkan pasien untuk mengangkat dan meletakkan kedua tangannya di atas perutnya. Kemudian lakukan gerakan memutar pergelangan tang ke arah dalam dan ke luar. Anjurkan pasien untuk menekuk dan meluruskan jari-jari tangan. Lakukan gerakan di atas sebanyak 8 kali. 13. Latihan aktif anggota gerak bawah (Dilakukan klien sendiri). Anjurkan klien meletakkan kaki yang sehat di bawah lutut yang lumpuh lalu turun sampai punggung kaki yang sehat berada di bawah pergelangan kaki yang lumpuh. Angkat kedua kaki ke atas dengan bantuan kaki yang sehat, kemudian turunkan perlahan-lahan. Anjurkan klien mengangkat kedua kaki dan mengayunkan kedua kakinya sejauh mungkin kearah satu sisi kemudian ke sisi yang lainnya. Lakukan gerakan ini sebanyak 8 kali. Universitas Sumatera Utara 14. Latihan pasif anggota gerak atas (dibantu penolong). Salah satu tangan penolong memegang siku bagian dalam klien yang lumpuh sementara tangan yang lain memegang lengan bawah bagian luar pada lengan yang lumpuh. Pertahankan siku klien yang lumpuh tetap lurus dan gerakkan naik turun. Salah satu tangan penolong memegang lengan bagian dalam pada lengan klien yang lumpuh sedangkan tangan yang lain memegang lengan bawah klien yang lumpuh. Salah satu tangan penolong memegang lengan bawah bagian luar pada lengan klien yang lumpuh sedangkan tangan yang lain mengenggam telapak tangan klien yang lumpuh. Putar pergelangan tangan klien dengan posisi telapak tangan telentang dan telungkup. Salah satu tangan penolong memegang lengan bawah lengan klien yang lumpuh dan tangan yang lain mengenggam telapak tangan klien yang lumpuh. Tekuk pergelangan tangan klien yang lumpuh ke atas dan kebawah. Salah satu tangan penolong memegang pergelangan tangan klien yang lumpuh dan tangan yang lain memegang telapak tangan klien dengan posisi menekuk dan meluruskan jari-jari tangan klien yang lumpuh. Gerakan ini dapat dilakukan sebanyak 8 kaki. 15. Latihan pasif anggota gerak bawah (dibantu penolong). Salah satu tangan penolong memegang lutut klien yang lumpuh sementara tangan yang lain memegang tungkai bawah. Pertahankan lutut tetap lurus sambil menggerakkan kaki klien yang lumpuh naik dan turun. Salah satu tangan penolong memegang bagian belakang lutut klien yang lumpuh dan tangan yang lain memegang tungkai. Lakukan gerakan menekuk dan meluruskan lutut. Salah satu tangan Universitas Sumatera Utara penolong memegang pergelangan kaki klien yang lumpuh dan tangan yang lain memutar pergelangan kaki klien yang lumpuh. Tekuk pergelangan kaki klien yang lumpuh ke atas dan ke bawah. Gerakan ini dapat dilakukan sebanyak 8 kali. 16. Latihan jalan menggunakan tongkat. Anjurkan pasien untuk meletakkan tongkat di depan sisi tubuh yang sehat agak kesamping. Lalu kaki yang lemah melangkah terlebih dahulu dan diikuti kaki yang sehat sambil menitikberatkan tubuh hanya pada tongkat. Ulangi cara berjalan seperti ini untuk berjalan selanjutnya. 17. Latihan naik tangga (dengan penolong). Penolong berdiri di belakang pasien pada sisi tubuh yang lumpuh. Pasien melangkahkan kaki yang sehat terlebih dahulu sementara tangan yang sehat berpegangan di lengan tangga. Setelah itu penolong membantu mengangkat kaki yang lumpuh menuju anak tangga yang sama. 18. Latihan turun tangga (dengan penolong). Penolong berdiri di depan pasien pada sisi tubuh yang lumpuh. Penolong membantu pasien melangkahkan dahulu kaki yang lemah sementara tangan klien yang sehat berpegangan pada lengan tangga. Setelah itu kaki yang sehat melangkah turun ke anak tangga yang sama. 19. Latihan naik dan turun tangga dengan tongkat. Pada saat naik tangga pasien melangkahkan kaki yang sehat terlebih dahulu sementara tangan yang sehat berpegangan pada tongkat yang sudah diletakkan sebelumnya pada anak tangga yang akan dituju. Kemudian kaki yang lemah melangkah naik ke anak tangga yang sama. Saat turun tangga pasien melangkahkan kaki yang lemah terlebih dahulu sementara tanga yang sehat berpegangan pada tongkat yang sudah Universitas Sumatera Utara diletakkan sebelumnya di anak tangga yang akan dituju. Kaki yang sehat melangkah turun ke anak tanggg yang sama. Begitu seterusnya. 20. Latihan naik dan turun tangga tanpa tongkat. Latihan naik tangga tanpa menggunakan tongkat, pasien melangkahkan kaki yang sehat terlebih dahulu sementara tangan yang sehat berpegangan pada lengan tangga. Kaki yang lemah melangkah naik ke anak tangga yang sama. Begitu seterusnya. Saat turun tangga pasien melangkahkan kaki yang lemah terlebih dahulu sementara tangan yang sehat bepegangan pada lengan tangga. Kemudian kaki yang sehat melangkah turun ke anak tangga yang sama. Begitu seterusnya. 21. Membantu pasien makan. Pasien stroke kadang mengalami gangguan menelan, sehingga tidak dapat makan dengan normal. Mudah tersedak, perlu waktu yang lebih lama untuk mengunyah dan menelan, serta mengiler. Untuk memudahkan pasien makan, usahakan makan dalam posisi duduk menyandar. Anjurkan pasien untuk sedikit menunduk dan menengok ke sisi yang lemah ketika menelan. Sendoklah makan dalam suapan kecil atau sedang. Tempatkan pada sisi yang sehat. Bersihkan mulut setelah makan. Mintalah pasien untuk tetap dalam posisi duduk kurang lebih 30 menit setelah selesai makan. 22. Membantu pasien minum. Dehidrasi umum dijumpai pada pasien pasca-stroke. Keengganan untuk buang air terlalu sering bisa menjadi salah satu sebab kurangnya pasien mengkonsumsi air minum. Penyebab lain, pasien kesulitan menelan. Agar tidak terjadi kekurangan cairan tubuh, pastikan agar pasien mengkonsumsi air minum minimal 1,5-2 liter sehari. Bila pasien kesulitan Universitas Sumatera Utara menelan, gunakan sedotan untuk memudahkan. Jagalah jangan sampai pasien tersedak. Wirawan (2009), untuk rehabilitasi stroke fase kronis program latihannya tidak banyak berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang optimal. Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a) Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit, (b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh namun tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang lain. 2.2. Sistem Motorik Sistem motorik bersifat kompleks dan fungsi motor menunjukkan integritas traktus kortikospinal, sistem ekstrapiramida dan fungsi otak. Sebuah impuls motor melintasi dua neuron. Beberapa traktus saraf motorik selain kortikospinal ada di dalam medula spianalis. Beberapa dari traktus itu mewakili jaras sistem Universitas Sumatera Utara ekstrapiramida membentuk hubungan antara sel-sel ujung anterior dan pusat kontrol otonom yang terdapat pada basal ganglia dan serebelum (Smeltzer & Bare, 2002). Setiap serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua kombinasi sel-sel saraf, salah satunya terdapat pada korteks motorik, serabut-serabutnya berada tepat pada traktus piramida atau penyilangan traktus piramida dan serat lainnya berada pada ujung anterior medula spinalis, serat-seratnya berjalan menuju otot. Yang pertama disebut sebagai neuron motorik atas (upper motor neuron) dan yang terakhir disebut sebagai nuron motorik bawah (lower motor neuron). Setiap saraf motorik yang menggerakkan setiap otot merupakan komposisi gabungan ribuan saraf-saraf motorik bawah. Jaras motorik dari otak ke medula spinalis dan juga dari serebrum ke batang otak dibentuk oleh UMN (upper motorik neuron). UMN mulai di dalam korteks pada sisi yang berlawanan di otak menurun melalui kapsul internal, menyilang ke sisi berlawanan di dalam batang otak, menurun melalui traktus kortikospinal dan ujungnya berakhir pada sinaps LMN (lower motor neuron). UMN seluruhnya berada dalam sistem saraf pusat (SSP). LMN menerima impuls di bagian ujung posterior dan berjalan menuju sambungan mioneural. Berbeda dengan UMN, LMN berakhir di dalam otot. Ciri-ciri klinik pada lesi di UMN adalah kehilangan kontrol volunter, peningkatan tonus otot spastisitas otot, tidak ada atrofi otot dan refleksi hiperaktif dan abnormal. Pada lesi LMN adalah kehilangan kontrol volunter, penurunan tonus otot, paralisis flaksid otot, atrofi otot dan tidak ada penurunan refleks. Universitas Sumatera Utara Lesi UMN dapat melibatkan korteks motor, kapsul internal, medula spinalis dan struktur-struktur lain pada otak dimana sistem kortikospinal menuruninya. Jika UMN rusak atau hancur sering menyebabkan stroke, paralisis (kehilangan gerakan yang disadari). Karena pengaruh hambatan dari UMN utuh pada keadaan ini mengalami kerusakan, gerakan refleks (tidak disadari) tidak dihambat. Akibatnya otot tidak atrofi atau menjadi lumpuh, tetapi sebaliknya, tetap lebih tegang secara permanen daripada normal dan menunjukkan paralisis spastik. Paralisis dihubungkan dengan lesi-lesi UMN dan biasanya mempengaruhi seluruh ekstremitas atau separuh bagian tubuh. Spasme kaki hebat dapat terjadi pada pasien-pasien yang mengalami cedera komplit daerah medula spinalis. Adanya spasme disebabkan cedera pada sepanjang lengkung refleks di medula spinalis dan merupakan tanda dari penyakit UMN. Hemiplegia (paralisis satu tangan dan kaki pada sisi tubuh yang sama) adalah salah satu contoh paralisis UMN. Jika terjadi hemoragi, embolus atau trombus dapat merusak serat-serat pada daerah motor di kapsula interna, tangan dan kaki pada sisi yang berlawanan menjadi kaku dan sangat lemah atau lumpuh dan refleks yang berlebihan. Jika kedua kaki lumpuh, kondisi ini disebut paraplegia, paralisis pada keempat ekstremitas disebut quadriplegia atau tetraplegia. Pada individu yang mengalami kerusakan LMN pada satu saraf motor antara otot dan medula spinalis berakibat rusak berat pada jaras ke otot. Akibat dari rusaknya LMN adalah otot menjadi lumpuh dan dan orang tersebut tidak mampu menggerakkan otot. Saraf tidak mengambil peran pada gerakan-gerakan refleks dan Universitas Sumatera Utara otot menjadi lemah dan atrofi karena otot tidak digunakan. Jika pasien mengalami cedera pada batang spinal dan dapat sembuh kembali, maka pasien menggunakan otot-otot penghubung ke bagian medula spinalis. Jika ujung sel-sel motor anterior mengalami kerusakan, sedangkan saraf-saraf pembaharuan kembali menyebabkan otot tidak pernah digunakan lagi. Rentetan kejadian seperti ini terjadi pada poliomielitis anterior. Paralisis flaksid (kelumpuhan dan atrofi) pada otot-otot adalah tanda spesifik pada penyakit LMN (Smeltzer & Bare, 2002). 2.3. Pemeriksaan Neurologis Neurologi adalah suatu ilmu yang mempelajari penyakit dan gangguan pada sistem saraf. Pemeriksaan klinis pada penderita gangguan neurologis akan sangat berharga. Pemeriksaan penderita secara sistematik, logis dan seksama yang dilengkapi dengan keluhan penderita akan meembantu dalam membedakan dan menganalissis gambaran klinis yang diajukan oleh kebanyakan penderita defisit neurologis. Suatu anamnesis lengkap dan telitti ditambah dengan pemeriksaan fisik akan dapat mendiagnosis sekitar 80% kasus (Collins, 1982). Walaupun terdapat beragam prosedur diagnostik modern, tetap tak ada yang dapat menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik (Price & Wilson, 1995). Pada pemeriksaan fisik klien dengan gangguan sistem persarafan secara umum biasanya menggunakan teknik pengkajian per sistem. Pemeriksaan fisik pada sistem persarafan ditujukan terhadap area fungsi utama yaitu: (1) pengkajian tingkat Universitas Sumatera Utara kesadaran, (2) pengkajian fungsi serebral, (3) pengkajian saraf kranial, (4) pengkajian sistem motorik (5) pengkajian respon refleks, (6) pengkajian sistem sensorik (Muttaqin, 2008). Price dan Wilson (1995) mengatakan bahwa pengaturan pemeriksaaan neurologis sangat penting. Mengikuti suatu urutan pemeriksaan tertentu membuat dokter dapat mengevaluasi informasi yang ada dan langsung memeriksa segmen selanjutnya yang belum diperiksa. Urutan pemeriksaan ini mencakup (1) status mental, (2) tingkat kesadaran, (3) fungsi saraf kranial, (4) fungsi motorik, (5) refleks, (6) koordinasi dan gaya berjalan, (7) fungsi sensorik. 2.4. Pengkajian Fungsi Motorik Menurut Ginsberg (2008), fungsi motorik pada angggota gerak harus diperiksa secara berurutan mulai dari pengecilan otot (atrofi), gerakan involunter, tonus, postur, kekuatan otot, koordinasi, refleks dan ditambah dengan observasi pola berjalan dan berdiri pasien. 2.4.1. Pengecilan otot Hilangnya massa otot umumnya kurang terlihat pada penyakit otot primer (miopati) daripada kondisi yang terjadi akibat kerusakan saraf otot (atrofi neurogenik) sebagai akibat dari lesi lower motor neuron (LMN). Pengecilan otot bukan merupakan gambaran lesi upper motor neuron (UMN), walapun inaktivitas jangka panjang juga dapat menyebabkan atrofi. Distribusi atrofi tergantung dari lokasi LMN yang rusak dan apakah kerusakan terdapat pada sel kornu anterior atau distal dari Universitas Sumatera Utara radiks saraf spinal atau saraf perifer itu sendiri. Pola atrofi tertentu terjadi cukup sering pada area yang harus diinspeksi secara rutin (Ginsberg, 2008) 2.4.2. Gerakan involunter Gerakan yang dianggap orang awam sebagai gerakan abnormal ialah gerakan yang timbul tidak sesuai dengan kemauan, tidak dikehendaki dan tidak bertujuan. Oleh karena itu gerakan tersebut dikenal juga sebagai gerakan involuntar. Adapun gerakan involuntar yang sering dijumpai adalah tremor. Tremor dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan yang tidak dikehendaki dan tidak bertujuan yang terdiri dari satu seri gerakan bolak-balik secara ritmik sebagai manifestasi kontraksi berselingan kelompok otot yang fungsinya berlawanan. Istilah awam yang cukup jelas adalah gemetar (Sidharta, 2008). Klasifikasi tremor dapat dibuat menurut frekuensi tremor (tremor cepat/lambat), menurut amplitudonya (tremor halus/kasar), menurut sikap bagian tubuh yang memperlihatkan bagian tubuh yang memperlihatkan tremor (tremor postural/statik/intensional) dan seterusnya. Tetapi pembagian tremor dengan tujuan klinis yang praktis ialah klasifikasi tremor menurut kausanya (tremor fisiologik, tremor esensial heredofamilial, tremor penyakit parkinson, tremor iatrogenik, tremor metabolik dan tremor serebelar). Setiap orang sehat akan menunjukkan tremor sewaktu melakukan gerakan tangkas secara lambat sekali, misalnya menulis lambat, melakukan operasi dimana pembedahan halus harus diakukan dan sebagainya. Tremor tersebut adalah fisiologik. Pada stiap orang akan timbul tremor, bilamana suatu anggota gerak akan ditempatkan Universitas Sumatera Utara dalam posisi yang canggung. Tremor tersebut biasanya pada jari-jari dan tangan dan berfrekuensi 8-12 detik. Tremor esensial heredofamilial ditemukan pada lengan saja. Kedua tungkai jarang terllibat. Tetapi bibir, lidah, kepala dan rahang bawah dapat menunjukkan tremor juga. Karena gemetaran di lidah, rahang bawah dan juga otot-otot pita suara, maka tidak jarang penderita tidak dapat berbicara secara artikular, sehingga kurang dapat dimengerti. Frekuensi tremor ini adalah 8-12 detik, berlangsung terus menerus sewaktu melakukan gerakan tangkas (action tremor atau tremor intensional), hilang dalam sikap istirahat dan beramplitudo tinggi yang bertambah kasar seiring dengan meningkatnya ketegangan muskular. Tremor pada penyakit parkinson memperlihatkan sifat-sifat yang khas. Tremornya adalah terutama tremor sewaktu istirahat, hilang sama sekali kalau hendak memulai melakukan gerakan tangkas, tetapi timbul kembali bilamana gerakan tangkas yang sedang dilakukan sudah pada tahap penghentiaannya. Anggota gerak mengalami tremor adalah lengan, tangan dan jari-jari. Yang mengalami tremor khas adalah jari-jari tangan, yang sering dilukis semantik bagaikan memulung-mulung pil/menggentel-gente pil atau menghitung recehan logam. Frekuensinya adalah 2-7 detik. Tremor iatrogenik dapat timbul karena obat atau karena kepribadian orang sakit sendiri. Banyak penderita menyatakan tidak kuat untuk disuntik. Bilamana ia setengah dipaksa untuk menerima suntikan, tremor dan palpitasi dapat bangkit akibat takut. Universitas Sumatera Utara Tremor metabolik dapat dianggap sebagai tremor yang timbul akibat zat-zat metabolik yang bersifat toksik atau cholinergic. Yang paling umum adalah tremor halus pada falangs-falangs jari tangan karena hipertiroidismus. Tremor halus pada kelopak mata yang tampak kalau kedua mata ditutup dikenal sebagai tanda rosenbach, yang sering dijumpai pada hipertiroidismus dan histeria. Yang terhitung tremor serebelar ialah tremor karena kerusakan pada jaras serebelopetal dan serebelofugal. Tremor rubral, ialah tremor karena lesi jaras dentatorubral. Tremor ini berfrekuensi rendah 3-5/detik, amplitudonya besar, dapat timbul sewaktu istirahat, tetapi paling jelas sewaktu lengan atau tangan memelihara suatu sikap tertentu. Sindroma benedikt memperlihatkan tremor pada satu sisi kontralateral terhadap lesi. Tremor sereberal karena lesi di jaras serebelopetal dan di serebelum sendiri adalah kasar dan berfrekuensi rendah juga, namun berbeda dengan tremor serebelar tersebut di atas karena tremor serebelopetal bersifat terminal, yaitu lebih jelas dan hebat pada akhir gerakan tangkas intensional (Sidharta, 2008) 2.4.3. Tonus Tonus otot dapat didefinisikan secara klinis sebagai tahanan/resistensi yang dideteksi oleh pemeriksa pada gerakan sendi pasif, jadi merupakan peregangan/stretching pasif otot. Resistensi otot tertentu normal pada individu, tetapi dapat meningkat atau menurun akibat penyakit (hipertonia atau hipotonia). Regangan pasif otot akan menginduksi impuls aferen ke medula spinalis, yang kemudian akan mengaktivasi neuron motorik sehingga menyebabkan kontraksi refleks. Refleks inilah yang akan mempertahankan tonus otot normal. Korelasi klinisnya adalah gangguan Universitas Sumatera Utara pada lengkung refleks akibat penyakit, misalnya kerusakan LMN, akan menyebabkan penurunan tonus hipotonia, maka otot akan menjadi flaksid. Sebaliknya, penyakitpenyakit yang mengenai UMN akan menyebabkkan hipertonia atau spastisitas. Ini terjadi bukan karena banyak kerusakan pada eksitasi UMN itu sendiri, tetapi lebih karena disfungsi jalur polisinaptik yang menurun sejalan dengan UMN yang memberikan efek inhibisi pada LMN dan lengkung refleks. Hilangnya inhibisi supraspinal akan mengubah refleks regang menjadi bentuk yang lebih primitif, sehingga tonus meningkat (Ginsberg, 2008). Tonus otot dapat meningkat secara fisiologik karena ketegangan mental. Otot-otot yang hipertonik dalam hal itu ialah otot-otot leher/bahu dan lumbosakral. Dalam kehidupan sehari-hari otot-otot lengan/tangan dan otot-otot tungkai/kaki dapat juga menjadi hipertonik secara fisiologik. Karena ketegangan mental tangan sukar digerakkan untuk menulis dan tungkai sukar dilangkahkan (Sidharta, 2008). Karakteristik hipertonia yang disebabkan oleh kerusakan UMN adalah adanya resistensi yang besar terhadap regangan otot pasif melalui sebagian kisaran gerak sendi, akan tetapi pada titik tertentu resistensi tiba-tiba menghilang (fenomena pisau lipat). Pada pasien dengan lesi UMN ringan, gejala satu-satunya dari lesi tersebut pada ekstremitas atas mungkin hanya merupakan versi mini efek pisau lipat yang dirangsang dengan melakukan supinasi dan pronasi lengan bawah (supinator catch) (Ginsberg, 2008). 2.4.4. Postur Universitas Sumatera Utara Tanda lain lesi UMN ringan pada ekstremitas atas dapat dilihat dengan meluruskan kedua lengan pasien, telapak tangan menghadap atas dan mata ditutup. Sisi yang terkena akan lebih dulu menjalani pronasi kemudian bergerak ke bawah (tanda piramidal atau tanda pronator). Abnormalitas postur dapat pula diakibatkan oleh penyakit ekstrapiramidal (Ginsberg, 2008). 2.4.5. Kekuatan otot Kekuatan otot dinilai secara klinis dengan mengklasifikasikan kemampuan pesan untuk mengkontruksikan otot volunter melawan gravitasi dan melawan tahanan pemeriksa. Skala yang sering digunaka n adalah Medical Research Council Scale, 0 (tidak ada kontraksi), 1 (kedutan otot sedikit kontraksi), 2 (gerakan aktif yang terbatas oleh gravitasi), 3 (gerakan aktif dapat melawan gravitasi), 4 (gerakan aktif dapat melawan gravitasi dan tahanan pemeriksa), 5 (kekuatan normal).Untuk pemeriksaan otot dapat dipilih bagian-bagian otot yang penting, walaupun dapat juga dilakukan pemeriksaan semua otot anggota gerak lain. Pemilihan otot yang diperiksa didasarkan pada informasi dari anamnesis, atau dari bagian lain pemeriksaan fisik (Ginsberg, 2008). 2.4.6. Koordinasi Tes koordinasi anggota gerak dapat memberikan informasi mengenai lokasi lesi pada penyakit sereberal, lesi umumnya terdapat pada hemisfer sereberal pada sisi yang sama (ipsilateral) dengan bagian tubuh yang terkena. Pada ekstremitas atas, tes utama untuk koordinasi adalah tes tunjuk hidung-jari, pasien menggerakkan jari telunjukknya ke belakang dan ke depan dari hidung pasien menuju jari pemeriksa. Universitas Sumatera Utara Pada penyakit sereberal akan terjadi ketidakakuratan (salah tunjuk/past-pointing) karena ketidakmampuan menilai jarak (dismetria). Ketika jari mendekati target, jari dapat semakin bergetar (tremor intensi) (Ginsberg, 2008) Sidharta (2008), gerakan diskoordinatif yang dapat disaksikan pada waktu tangan atau lengan melakukan gerakan voluntar dikenal sebagai asinergia, dismetria, didiadokhokinesia dan gangguan fiksasi postural. Disnergia atau asinergia ialah gangguan kemampuan pasien untuk mengelola otot-otot dan gerakan-gerakan yang biasanya dilaksanakan secara harmonis, sinkhron, menuruti aturan yang tepat dan dengan tenaga yang sesuai. Dengan sifat-sifat gerakan voluntar tersebut itu, maka gerakan voluntar akan memperlihatkan ketangkasan, keluwesan dan kecepatan yang tepat dan sesuai. Dengan test-test di bawah ini gangguan dalam hal ketangkasan, keluwesan dan kecepatan yang tepat dapat disaksikan. Test mengambil gelas air dari meja untuk diminumnya. Orang yang sehat dapat mengambil segelas air dari meja dan dengan mudah ia mengangkat gelas itu untuk disampaikan kepada mulutnya. Tetapi orang dengan gangguan serebelar akan menerjang gelas air untuk mengambilnya dan akan menyampaikan gelas itu tidak tepat pada bibirnya, melainkan pada gigi atau hidungnya. Test-test yang dilakukan untuk mengungkapkan dismetria dapat juga dipakai untuk meneliti disinergia. Dismetria ialah gangguan kemampuan untuk mengelola kecepatan gerakan, kekuatannya dan jangkauannya. Adapun test-test yang digunakan di dalam klinik ialah test telunjuk-hidung, test hidung-telunjuk-hidung, test telunjuktelunjuk. Dalam melakukanya pasien boleh duduk atau berbaring dengan mata Universitas Sumatera Utara terbuka dan ditutup secara bergiliran. Dengan adanya dismetria, maka jari telunjuk tidak mendarat secara luwesa di ujung hidung atau ujung jari telunjuk lainnya, melainkan jatuh menabrak atau menerjang tujuannya (Sidharta, 2008). Dismetria pada kaki dapat diteliti dengan test tumit-lutut-ibu jari kaki. Pasien disuruh menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya, kemudian tumit itu harus meluncurkan dari lutut tungkai lainnya, kemudian tumit itu harus meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui tulang tibia dan akhirnya memanjat dorsum pedis untuk untuk menyentuh ibu jari kaki. Pada penyakit serebelar tumit tidak didaratkan secara luwes di atas lutut, melainkan jatuh di paha atau di samping lutut. Kemudian tumit meluncur secara terhuyung-huyung hendak jatuh ke samping od tibia dan akhirnya tumit dijatuhkan di atas jari-jari kaki dan bukannya didaratkan secara rapi di atas ibu jari kaki. Test ibu jari kaki-jari telunjuk. Pasien disuruh menyentuh jari telunjuk si pemeriksa dengan ibu jari kakinya secara berulang-ulang (Sidharta, 2008). Kemampuan untuk melakukan gerakan cepat secara berselingan dinamakan diadokhokinesia. Gerakan tersebut adalah mempronasi-supinasikan tangan, melakukan dorsofleksi dan volarfleksi di pergelangan tangan secara berselingan seperti kalau menepuk-nepuk paha atau membolak-balikkan tangan di atas paha secara berulang-ulang atau pun menyentuh ujung jari telunjuk dan ujung ibu jari secara berulang-ulang. Kecanggungan dalam melakukan gerakan diadokhokinetik itu dikenall sebagai disdiakhokinesia (Sidharta, 2008). Universitas Sumatera Utara Dalam memelihara suatu sikap orang sehat tidak memerlukan bantuan visual. Tetapi pasien dengan lesi serebelar unilateral memerlukan bantuan mata, karena kalau matanya ditutup akan timbul deviasi sikap anggota gerak di sisi lesi. Gejala ini dapat diungkapkan kalau kedua lengan diluruskan ke depan dengan mata tertutup selama beberapa detik. Lengan pada sisi lesi akan menyimpang ke arah lesi. Dalam posisi tidak mampu untuk kembali ke posisi semula (Sidharta, 2008). 2.4.7. Refleks Metode langsung untuk menilai refleks tendon secara klinis dengan mengetuk tendon otot dengan palu refleks akan meregangkan otot secara pasif dan menginduksi kontraksi refleks otot secara pasif dan meginduksi kontraksi refleks otot. Sama halnya dengan tonus otot, refleks ini dapat meningkat atau menghilang akibat penyakit tertentu (Ginsberg, 2008). Gangguan pada lengkung refleks, misalnya kerusakan LMN, akan menyebabkan penurunan atau menghilangnya refleks ini. Kadang-kadang refleks yang awalnya tidak terlihat dapat kita peroleh dengan meminta pasien untuk mengatupkan giginya (untuk refleks tendon ekstremitas atas) atau mengaitkan jari-jari kedua tangan dan menariknya (manuver Jendrassik, untuk memeriksa refleks tendon ekstremitas bawah) dan pada saat yang sama pemeriksa mengetuk tendon otot. Fenomena ini merupakan penguatan (reinforcement) karena dengan manuver tersebut terjadi peningkatan sensitivitas reseptor regang di seluruh tubuh (Ginsberg, 2008). Smeltzer & Bare (2002), derajat refleks tendon biasanya direpresentasikan secara simbolis dengan 4+ (hiperaktif dengan klonus terus menerus), 3+ (hiperaktif), Universitas Sumatera Utara 2+ (normal), 1+ (hipoaktif), 0 (tidak ada refleks). Refleks bisep didapat melalui peregangan tendon biseps pada saat siku dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji menyokong lengan bawah dengan satu tangan sambil menempatkan jari telunjuk dengan menggunakan palu refleks. Respon normal adalah fleksi pada siku dan kontraksi biseps. Untuk menimbulkan refleks triseps, lengan pasien difleksikan pada siku dan diposisikan di depan dada. Pemeriksa menyokong lengan pasien dan mengidentifikasi tendon trisep dengan mempalpasi 2,5 sampai 5 cm di atas siku. Pemukulan langsung pada tendon normalnya menyebabkan kontraksi otot triseps dan ekstensi siku. Refleks patela ditimbulkan dengan cara mengetuk tendon patela tepat di bawah patela tepat di bawah patela. Pasien dalam keadaan duduk atau tidur telentang. Jika pasien telentang, pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otot. Kontraksi quadriseps dan ekstensi lutut adalah respon normal. Untuk mendapatkan refleks ankle, buat pergelangan kaki dalam keadaan rileks, kaki dalam keadaan dorsi fleksi pada pergelangan kaki dan palu diketuk pada bagian tendon achilles. Refleks normal yang muncul adalah fleksi bagian plantar. Bila terjadi refleks yang sangat hiperaktif maka keadaan ini disebut klonus. Jika kaki dibuat dorsifleksi dengan tibatiba dapat mengakibatkan dua atau tiga kali gerakan sebelum selesai pada posisi istirahat. Kadang-kadang pada penyakit SSP terdapat aktivitas ini dan kaki tidak mampu istirahat dimana tendon menjadi longgar tetapi aktivitas berulang-ulang (Smeltzer & Bare, 2002). Universitas Sumatera Utara 2.4.8. Leher dan batang tubuh Fleksi leher terjadi oleh kontraksi simultan kedua otot sternomastoid yang dipersarafi oleh nervus aksesorius spinalis. Walaupun jarang dapat terjadi kelemahan ekstensi leher sehingga pasien harus menyokong dagu dengan tangan seperti terjadi pada miastenia gravis, polimiositis dan penyakit neuron motorik (Ginsberg, 2008). Kelemahan batang tubuh dapat dinilai dengan meminta pasien bangkit dari posisi tidur ke duduk dengan tangan dilipat di dada tanpa bantuan apapun. Hal ini dapat terjadi sebagai bagian kelemahan proksimal yang lebih umum yang sering terjadi pada penyakit otot primer. Ataksia trunkal umumnya berhubungan dengan kerusakan struktur sebelum bagian tengah (vermis). Keadaan ini dapat menjadi berat sehingga pasien tidak mampu mempertahankan postur duduk yang stabil tanpa bantuan (Ginsberg, 2008). 2.4.9. Pola berjalan dan berdiri Banyak yang dapat dipelajari dengan menilai pasien saat berdiri tanpa bantuan. Pasien yang jatuh jika diminta berdiri dengan mata tertutup kemungkinan mengalami gangguan sensibilitas posisi sendi pada pergelangan kaki (tanda Romberg) (Ginsberg, 2008). Gaya berjalan pasien pasien dengan gangguan serebelar khas. Di dalam klinik dilakukan pemeriksaan dimana pasien berjalan dengan mata tertutup dan mata terbuka. Pasien disuruh: “berjalan menuruti garis yang lurus, berjalan memutari kursi atau meja, lari di tempat, berjalan maju mundur”. Dengan test-test tersebut akan terlihat kesimpangsiuran gerakan berjalan, dimana kecenderungan untuk Universitas Sumatera Utara menyimpang garis atau jatuh ke salah satu sisi dapat disaksikan. Pada lesi unilateral di serebelum kecenderungan untuk jatuh ialah ke sisi lesi. Jika lesi terletak di vermis, badan bergoyang-goyang dan beranggul-anggul sewaktu berdiri diam dan juga sewaktu berjalan (Sidharta, 2008). 2.5. Fugl-Meyer Pengkajian fugl-meyer adalah salah satu pengukuran kerusakan fungsi tubuh pasca stroke yang paling dikenal dan relevan secara klinis (Sullivan et al, 2010). Pengkajian Fugl-Meyer bagian ekstremitas atas yaitu bahu, siku, lengan bawah, pergelangan tangan dan tangan. Ekstremitas bawah yaitu pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki. Aktivitas refleks dikaji pada ekstremitas atas dan bawah diawal dan diakhir pengkajian motorik. Keseimbangan dikaji saat duduk dan berdiri. Sanford et al (1993), pada pengkajian fugl-meyer, setiap pengkajian dinilai dengan tiga skala ordinal (2 poin untuk hal yang dapat dilakukan dengan sempurna, 1 poin untuk hal yang dapat dilakukan sebagian dan 0 untuk hal yang tidak dapat dilakukan). Maksimal skor adalah 100, untuk ekstremitas atas 66 poin, untuk ekstremitas bawah 34 poin (lihat di lampiran 2). Status fungsi motorik dikategorikan menjadi 4 kelas, yaitu 96-99 adalah kategori hemiplegia ringan, 85-95 adalah kategori hemiplegia sedang, 50-84 adalah hemiplegia tampak mencolok/nyata, <50 adalah kategorin hemiplegia berat (Sanford et al, 1993). Universitas Sumatera Utara