Akankah Eforia Kebijakan The Fed Berlanjut?

advertisement
Akankah Eforia Kebijakan The Fed Berlanjut?
24-09-07
Langkah signifikan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menurunkan suku bunga utamanya yang
dikenal dengan sebutan Fed Fund Rate (18/9), dari 5,25 persen menjadi 4,75 persen, telah direspons
eforia di seluruh dunia. Harga-harga saham mengalami pembalikan arah (rebound) setelah terpuruk
cukup dalam.
Di New York, indeks Dow Jones kembali ke level tinggi 13.700-an, sedangkan di Jakarta, indeks harga
saham gabungan (IHSG) melejit ke level 2.300-an, sesudah sempat terpuruk ke 1.900 ketika kepanikan
subprime mortgage. Angka ini berarti sudah kembali mendekati level tertingginya, 2.400-an.
Tindakan The Fed ini tergolong berani karena dilakukan justru ketika harga minyak sedang memecahkan
rekor dunia baru di level 82 dollar AS per barrel. Dalam kondisi sekarang, tidak ada orang yang berani
memastikan bahwa harga minyak tidak akan menembus 100 dollar AS per barrel. Kalaupun tidak tahun
ini, mungkin tahun depan. Ini semata-mata hanya soal waktu.
Masalahnya, di tengah ancaman inflasi, apakah The Fed akan berani meneruskan penurunan suku
bunganya? Bagaimana implikasinya bagi kita?
Suku bunga vs harga minyak
Persoalan utama perekonomian AS sekarang adalah suku bunga yang terlalu tinggi. Sebelumnya, di era
kepemimpinan Gubernur The Fed Alan Greenspan (Agustus 1987-Januari 2006), suku bunga rendah
merupakan kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada masa empat presiden (Reagan, Bush
senior, Clinton, dan Bush).
Hingga medio 2005, suku bunga utama The Fed hanya 3,25 persen. Pada level ini tak hanya
perekonomian AS masih dapat didorong, tetapi inflasi tinggi juga dapat dihindari.
Situasi mulai berubah ketika harga minyak dunia berubah menjadi liar, tak terkendali, memasuki
semester II-2005. Harga minyak mencapai 78 dollar AS, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
pasokan dan permintaan. Sisi permintaan tinggi dipicu oleh pertumbuhan pesat perekonomian di negara
berkembang yang biasa disebut emerging markets, yang dipimpin oleh China dan India, sedangkan
pasokan tersendat karena kian sulit melakukan eksplorasi terhadap ladang-ladang minyak baru dan
faktor bencana alam di sumur-sumur minyak strategis.
Karena itu, suku bunga pun terpaksa dinaikkan, setahap demi setahap. Puncak suku bunga tertinggi
terjadi mulai Juni 2006, di level 5,25 persen, ketika pemimpin The Fed sudah berpindah ke Ben
Bernanke. Suku bunga setinggi ini bertahan sampai 15 bulan, hingga 18 September 2007.
Dampak dari suku bunga tinggi atau kebijakan uang ketat ini adalah mendorong terjadinya kredit macet.
Ketika hal ini menimpa kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage), terjadilah respons kepanikan di
pasar surat berharga yang berbasiskan kredit ini. Padahal, sebenarnya subprime mortgage ini hanya 15
persen dari semua kredit perumahan (mortgage loans) di AS, yang diperkirakan mencapai 10 triliun dollar
AS. Masalah ini menjadi kepanikan besar karena subprime mortgage dan derivasinya memang sedang
menjadi instrumen yang tumbuh sangat cepat (S Agarwal dan CT Ho, "Comparing the Prime and
Subprime Mortgage Markets", Chicago Fed Letter 241, The Federal Reserve Bank of Chicago, Agustus
2007).
Separuh dari kredit perumahan disekuritisasikan (diderivasikan menjadi surat-surat berharga), dan
diperjualbelikan di antara kelompok-kelompok investor, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan investor
institusional lainnya. Jumlah yang ditransaksikan mencapai 5,8 triliun dollar AS (IMF, Global Financial
Stability Report, Washington DC, 2007).
Di luar insiden ini, sebenarnya perekonomian AS sedang mengindikasikan tren positif. Melemahnya
dollar AS telah membantu kinerja ekspor sehingga defisit perdagangannya "hanya" 352,7 miliar dollar AS
pada semester I-2007. Memang ada masalah dengan belanja pemerintah yang membengkak, tetapi
situasi fiskal ini dinilai masih di jalur yang benar. Defisit APBN 2007 diperkirakan hanya 3,1 persen, atau
turun dari 3,3 persen pada 2006 (Bank Pembangunan Asia, Asian Development Outlook 2007).
Karena itu, yang diperlukan perekonomian AS memang penurunan suku bunga agar membantu kredit
macet perumahan untuk lancar kembali, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana dulu
di era Greenspan, meskipun di AS juga muncul kritik bahwa sesungguhnya Greenspan sendiri ikut andil
bersalah karena di eranya The Fed selalu mengedepankan kebijakan suku bunga rendah. Begitu timbul
guncangan yang memaksa suku bunga harus tinggi, perekonomian AS kurang mampu menyesuaikan diri
(wawancara Greenspan dengan Newsweek, "The Oracle Reveals All", 24/9/2007).
Kini, masalahnya, apakah penurunan suku bunga bisa berlanjut, padahal inflasi terancam naik akibat
tingginya harga minyak?
Tampaknya, ya. Ketika terjepit dilema ini, tampaknya Pemerintah AS akan memilih "mengorbankan"
inflasi, daripada membiarkan kepanikan subprime mortgage berlanjut dan berkembang liar, yang bisa
menjerumuskan seluruh dunia ke jurang resesi yang dalam. Inflasi di AS diperkirakan 3,5 persen.
Implikasi bagi Indonesia
Sebagaimana AS, Indonesia pun terperangkap pada jebakan yang agak mirip. Kini Bank Indonesia (BI)
dihadapkan pada pilihan: mau menurunkan suku bunga atau menekan inflasi. Jika ingin membantu
pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi 6,3 persen (2007) dan 6,8 persen (2008), pilihannya adalah
menurunkan suku bunga. Namun, sesuai tugasnya untuk mengawal inflasi, BI perlu menahan suku
bunga agar inflasi rendah.
Data inflasi kita Januari-Agustus 2007 mencapai 3,58 persen. Pemerintah menargetkan inflasi tahun
kalender 2007 adalah 6 persen. Namun, agaknya target ini terlalu ambisius. Kinerja inflasi bulanan kita
dalam dua bulan terakhir adalah 0,72 persen (Juli) dan 0,75 persen (Agustus). Mengingat masih ada
peristiwa puasa, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru yang berpotensi inflasi, target inflasi 6,5 persen
tampaknya lebih realistis.
Penurunan suku bunga masih menjadi keniscayaan meskipun ruangnya terbatas dan waktunya harus
tepat. Apabila BI membiarkan suku bunga tetap, bisa menyebabkan masuknya modal asing. Tambahan
modal asing jangka pendek saat ini tidak terlalu urgen karena kita sudah cukup nyaman dengan kurs
rupiah Rp 9.100 per dollar AS, serta cadangan devisa 52 miliar dollar AS. Karena itu, penurunan suku
bunga menjadi hal yang perlu.
Sikap yang paling rendah risikonya adalah menunggu, apakah eforia The Fed hanya bersifat sesaat
ataukah bisa terjaga hingga bulan depan? Jika inflasi bulan September masih 0,75 persen, dan kita
masih waswas terhadap inflasi Oktober, penurunan BI Rate baru bisa dilakukan awal November. Itu pun
dengan laju yang konservatif, dari 8,25 menjadi 8 persen.
A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI
Download