Kebablasan Soal Century

advertisement
Kebablasan Soal Century
http://www.tempo.co/read/opiniKT/2011/12/30/1729/Kebablasan-Soal-Century
Kamis, 29 Desember 2011 | 04:59 WIB
Semua orang tentu setuju kasus bailout Bank Century dibongkar tuntas. Tapi keinginan
sebagian politikus Senayan menyewa auditor internasional amatlah berlebihan. Sikap ini sama
saja dengan tidak mempercayai audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan
pengusutan lembaga penegak hukum.
Manuver kebablasan itu muncul setelah BPK dianggap tidak serius mengungkap aliran dana
talangan Bank Century Rp 6,7 triliun. Hasil audit forensik ini tidak berbeda jauh dengan hasil
laporan investigasi BPK pada 2009. Hanya, kali ini audit lebih berfokus pada sejumlah sasaran,
antara lain transaksi surat berharga, pemberian kredit, transaksi letter of credit, dan
transaksi kas valas.
BPK memang mengungkap beberapa transaksi aneh. Misalnya aliran dana ke saudara ipar
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama periode 2006-2009. Juga ada aliran dana Rp 100
miliar ke perusahaan yang menerbitkan sebuah harian nasional. Hanya, BPK belum menemukan
hubungan antara aliran dana tersebut dan kasus Bank Century.
Bila hasil audit itu dinilai belum cukup, orang tak habis pikir temuan seperti apa yang dicari oleh
politikus Senayan. DPR sendiri bahkan telah mengusut kasus Century lewat pembentukan
panitia angket. Penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, juga telah
menanganinya. Pemilik bank ini dan sejumlah orang yang terlibat dalam kejahatan perbankan
pun sudah dihukum.
Boleh jadi, sebagian anggota DPR tetap mengincar Menteri Keuangan waktu itu, Sri Mulyani,
dan Gubernur Bank Indonesia saat itu, Boediono. Kita tahu kasus Bank Century ini bermula dari
keputusan pemerintah memberikan dana talangan karena bank tersebut dinilai tidak sehat dan
membahayakan dunia perbankan.
Politikus kemudian berupaya mengungkap kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang di
balik keputusan ini karena banyak nasabah yang diuntungkan. Masalahnya, dalam penyelidikan
kalangan Senayan itu tidak ditemukan bukti bahwa pejabat pembuat kebijakan tersebut
mendapat keuntungan, apalagi menerima suap. Begitu pula dalam hasil penyelidikan KPK dan
audit forensik BPK terbaru.
Boleh saja politikus Senayan kecewa terhadap hasil audit BPK. Tapi mereka semestinya tetap
menghargai hasil kerja lembaga tinggi ini. Lagi pula, bukankah DPR sendiri yang dulu
memintanya melakukan audit forensik? Sikap tidak percaya kepada BPK juga tampak aneh
lantaran DPR-lah yang selama ini menentukan para pemimpin lembaga ini.
Begitu pula sikap politikus yang berlebihan dalam “menggoreng” kasus Century. Muncul kesan
bahwa mereka tidak percaya kepada proses penegakan hukum, termasuk yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi. Manuver seperti ini menggelikan lantaran DPR pula yang selama
ini memilih pemimpin KPK.
Kenapa anggota DPR sulit bersikap konsisten? Melakukan manuver politik tidaklah dilarang.
Hanya, masyarakat justru sulit menerima jika politikus cenderung melecehkan akal sehat.
Kalangan politikus seolah sengaja menjadikan kasus Century sebagai komoditas politik, dan
bukan penyelesaian secara hukum.
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/kasus-century-bakal-meledak-di-2012/
29.12.2011 10:11
Kasus Century Bakal “Meledak” di 2012
Penulis : Bambang Soesatyo*
Potret penegakan hukum 2011 masih sangat mengecewakan. Masih banyak terjadi
penjungkirbalikan fakta untuk membantah kebenaran dalam setiap kasus hukum.
Tahap demi tahap penyidikan, penyelidikan, hingga peradilan bahkan identik sandiwara. Ini
karena “kebenaran” dan “keadilan” versi kekuasaan dan uang suap sudah dirumuskan, bahkan
sebelum peradilan itu dimulai.
Tengok saja kasus Century. Publik tentu merasa geli menyikapi kebuntuan proses hukum
Skandal Bank Century. Ketua KSSK mengaku hanya bersedia bertanggung jawab atas sekitar Rp
680 miliar lebih dana talangan.
Kalau jumlah yang dicairkan sampai Rp 6,7 triliun, bukankah angka itu sudah menunjukkan
adanya penyimpangan dalam bailout dan valid sebagai bukti? Kalau dikatakan belum ada bukti,
itu jelas kebohongan.
Hasil audit forensik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengecewakan. Laporan audit
forensik BPK yang akan diserahkan ke DPR, Jumat (23/12), tidak memuat hal baru dan jauh dari
harapan. Tekanan kekuasaan berhasil mereduksi audit forensik tersebut.
Laporan BPK tidak beda jauh dengan laporan audit investigasi BPK yang pertama. Tidak ada
pengungkapan aliran data detail yang kita harapkan dengan berbagai alasan. BPK hanya
mengungkap ada aliran dana ke PT MNP, penerbit koran partai tertentu pada periode
2006-2009 senilai Rp 100,95 miliar.
Auditor forensik yang menangani audit lanjutan kasus Bank Century juga diduga telah
membohongi publik. Pemimpin BPK mengatakan penanggung jawab audit investigasi lanjutan
mempunyai sertifikat CFE, ternyata tidak. Auditor Forensik BPK itu adalah I Nyoman Wara,
Novy Gregory Antonius Palenkahu, dan Harry Purwaka.
Di kasus lain, publik dibuat tercengang ketika menyimak isi dakwaan terhadap aktor utama
kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin.
Dakwaan itu memperlihatkan adanya penjungkirbalikan fakta pengakuan Nazaruddin. Nama
elite partai politik dan seorang menteri yang keterlibatannya telah berulang kali diteriakkan
Nazaruddin sama sekali tidak disebut-sebut dalam dakwaan itu.
Dalam kasus mafia pajak, upaya membohongi publik praktis gagal total. Eksistensi mafia pajak
berawal dari pengungkapan oleh seorang pejabat tinggi Polri. Karena disebut mafia, publik
langsung mendeskripsikan kasus ini sebagai organisasi kejahatan dengan spesialisasi
penggelapan atau pencurian pajak negara.
Organisasi mafia mempunyai anggota banyak dengan jaringan luas. Ketika Gayus Tambunan
akhirnya berhasil dibawa pulang ke Jakarta oleh (katanya) Satgas Pemberantasan Mafia Hukum
(PMH), publik membayangkan Gayus yang eselon bawah di Direktorat Jenderal Pajak akan
menyebut sejumlah nama.
Gayus memang melakukannya. Tetapi dalam proses penanganan kasusnya kemudian, penyidikan
dan penyelidikan hanya fokus pada kasus Gayus, tidak menyentuh kasus penggelapan pajak
lainnya, seperti dugaan manipulasi restitusi Wilmar Group, Asian Agrie, Ramayana Group, dan
lain-lain yang pernah diperiksa Panitia Kerja (Panja) DPR.
Lagi-lagi, penegak hukum menghindar dari kewajibannya memeriksa sosok-sosok penting yang
diduga terlibat kejahatan.
DPR kemudian menggagas Hak Angket mafia pajak. Aneh bin ajaib, justru pemerintah dan
partai pemerintah berupaya menggagalkan Hak Angket tersebut, sehingga 151 perusahaan
kakap yang diduga “bermain” pajak menjadi bebas.
Penanganan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) pun sama menggelikan. Fakta
dijungkirbalikkan sehingga justru yang melaporkan menjadi tersangka. Mantan panitera
pengganti MK Zaenal Arifin Hoesein ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Sementara
Andi Nurpati yang diduga memalsukan justru dilindungi. Publik melihat ada kejanggalan.
Jangan Hanya “Perang-perangan”
Kasus yang menjadi perhatian publik hingga kini adalah suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Tanpa pernah mendengar keterangan dari pihak
yang melakukan suap, sejumlah orang divonis bersalah dan dipenjarakan.
Setiap kali ditanyakan siapa penyuap sesungguhnya dan kapan akan ditangkap, penegak hukum
hanya bisa berdalih. Setelah sekian lama, baru sekarang terbuka kemungkinan untuk
mengungkap sosok pemberi suap dalam kasus ini. Pulangnya Nunun akan mengungkap kotak
pandora itu.
Menjelang tutup tahun 2011 ini, Jakarta dikejutkan oleh terungkapnya kasus kekerasan di
Mesuji. Proses penanganan tragedi Mesuji terasa janggal.
Kalau terjadi pelanggaran HAM berat di Mesuji pada April dan November 2011, mengapa
Jakarta (pemerintah pusat) harus dibuat terkejut beberapa bulan kemudian? Tidakkah berarti
ada SOP yang dilanggar pihak berwenang di daerah kejadian?
Tragedi Mesuji terasa janggal karena tidak menimbulkan heboh segera setelah terjadinya
peristiwa. Ini menjadi heboh setelah korban dan keluarga korban bersusah payah mencari
akses di Jakarta untuk mengadukan nasib mereka ke Komisi III DPR.
Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang
dilaporkan kepada Komisi III DPR. Kedua, ada pihak yang berupaya menyederhanakan kasus.
Ketiga, ada upaya menutup-nutupi tragedi ini.
Tragedi Mesuji terjadi pada April 2011. Kalau tragedi itu baru menjadi cerita yang
menghebohkan di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, itu adalah rentang waktu yang
sangat panjang untuk mengungkap tragedi kemanusiaan. Ini jelas tidak wajar.
Bandingkan dengan keadaan di Papua. Dalam hitungan menit, aparat yang tertembak penyerang
tak dikenal segera menjadi berita berskala nasional. Dengan begitu, dalam kasus Mesuji, patut
diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi tragedi ini. Apalagi, warga setempat mengaku
selalui dihantui rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman.
Bagaimana dengan 2012? Menurut saya, ke depan hampir tidak ada celah untuk terjadinya
situasi hukum yang kondusif. Imbas politik sandera yang diterapkan Pemerintahan
SBY-Boediono sejak 2009 pasti akan terus mewarnai tahun depan. Tetap akan ada
tarik-menarik kepentingan elite. Kasus korupsi besar yang terjadi tidak akan terselesaikan
dengan baik.
Sikap ambigu dari SBY yang selalu menggembor-gemborkan penegakan hukum, tetapi pada
kenyataannya tidak memposisikan diri sebagai panglima untuk pemberantasan korupsi, akan
terus terjadi. Dinamika hukum yang terkesan saling sandera tetap dibiarkan, sebagai bentuk
usaha lari dari tanggung jawab.
Tak aneh bila kemudian kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di 2011 akan terus menjadi batu
sandungan pemerintahan SBY di 2012. Menurut saya, kasus Century di tahun depan akan
“meledak” menjadi lebih besar.
Kekecewaan penanganan kasus Century dan hasil audit forensik BPK yang jauh panggang dari api,
akan berujung pada Hak Menyatakan Pendapat. Bila itu terjadi bukan tak mungkin kegaduhan
politik akan mengiringi pergantian pemerintahan SBY dengan pemerintahan baru.
Belum terlambat untuk memperbaiki penegakan hukum dan mengembalikan kepercayaan rakyat.
Itu dapat dimulai dengan mengungkap kasus-kasus besar yang hingga kini masih mengendap di
institusi penegak hukum, termasuk di KPK. Jika penegak hukum berhasil mengungkap kasus itu,
yang lainnya juga akan terungkap.
Kita berharap pemimpin KPK yang baru bisa menunjukkan keberanian melawan segala bentuk
tekanan dan intervensi yang dilancarkan kekuatan-kekuatan tertentu. Jika harapan publik itu
tidak direalisasikan, pemimpin KPK yang baru harus merealisasikan janjinya untuk
mengundurkan diri.
SBY juga harus menunjukkan kemauan politik untuk tidak diskriminatif lagi dalam penegakan
hukum. Kalau perilaku pemimpin masih tetap “sontoloyo”, agenda penegakan hukum pasti terus
karut marut. Tekad presiden dalam perang melawan korupsi pun tetap dibaca publik sebagai
“perang-perangan” melawan korupsi.
*Penulis adalah Inisiator Hak Angket Century, anggota Komisi III DPR
Download