kitab REPUBLIKA ● AHAD, 30 JANUARI 2011 B9 Ta’wil Mukhtalaf Al-Hadits Menepis Kontradiksi Antarhadis IBNU QUTAIBAH MENYEBUTKAN BEBERAPA HADIS YANG DIPERGUNAKAN OLEH BERBAGAI SEKTE DAN ALIRAN SEBAGAI DASAR PEMIKIRAN MEREKA. Oleh Nashih Nashrullah erkembangan ilmu keislaman pada abad pertengahan—era kejayaan peradaban Islam— mempunyai andil besar terhadap munculnya varian pemikiran dan sekte dalam Islam. Ragam pemikiran itu kerap menjadikan hadis sebagai pijakan pemikiran dan legitimasi ideologi. Tak sedikit sekte yang terjebak dalam penafsiran hadis yang bias. Bias terhadap ideologi dan bias kepada kepentingan mereka. Padahal, tak semua hadis dikaji secara cermat dan integral. Sering kali hadis tersebut dipilih secara selektif dan ditafsirkan agar memperkuat asumsi sekte tersebut. Fenomana itu tergambar jelas ketika hadis yang diriwayatkan dalam konteks yang sama meski berbeda riwayat, terkesan saling menegasikan satu dengan yang lain. Berangkat dari fakta tersebut, para ulama memandang perlu menuliskan sebuah karya untuk menjelaskan hadis-hadis yang dikesankan saling kontradiktif, baik dengan Alquran maupun Sunah. Di sisi lain, para ulama juga perlu menguraikan hadis-hadis yang dipersoalkan karena mengandung multitafsir. Kajian yang membahas tentang hadis-hadis itu dikenal dengan istilah ta’wil mukhtalaf Al-Hadits. Adalah Muhammad bin Idris As-Syafi’i atau lebih sering dikenal As-Syafii didaulat sebagai tokoh pertama yang menulis tentang kontradiksi hadis. Buah pemikirannya tersebut tertuang P dalam kitab yang bertajuk Ikhtilaf Al-Hadits. Disusul kemudian oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainuri yang mengarang kitab berjudul Ta’wil Mukhtalaf Al-Hadits. Jika dibandingkan dengan kitab di bidang serupa yang ditulis oleh Imam As-Syafi’i, kitab karangan Ibnu Qutaibah memiliki sejumlah kekurangan, antara lain, minimnya penyertaan sanad akibat inkonsistensi Ibnu Qutaibah dalam penulisan. Padahal, sanad tersebut memiliki peranan yang amat penting. Banyak riwayat yang tidak hanya alfa menyertakan para perawi, bahkan nama sahabat sekalipun sebagai perawi utama sering kali tidak disebutkan. Poin lain yang menjadi catatan adalah penukilan kisah-kisah bani Israil (israilliyyat) merujuk kitab-kitab umat terdahulu. Beberapa kali, Ibnu Qutaibah juga mengutip teks dari Kitab Injil untuk memperkuat uraiannya walaupun sebenarnya terdapat teks hadis sahih yang bisa dipergunakan. Hal ini tak lain karena penguasaan Ibnu Qutaibah atas israililyyat yang cukup mumpuni. Barangkali, kecenderungan mempelajari dan menguasai referensi berbagai aliran memicu reaksi dan kritik sejumlah pihak. Berbagai tuduhan miring pernah ditujukan kepada Ibnu Qutaibah. Dia pernah dikritisi oleh Abu Bakar Al Baihaqi lantaran pendapat-pendapat yang dilontarkannya cenderung dekat dengan perspektif AlKaramiyyah. Ad-Daruquthni pun turut menyebutnya sebagai pemikir yang condong kepada pemikiran tasybih atau menyerupakan Allah dengan makhluknya, terutama dalam kaitan masalah sifat. Akan tetapi, oleh sebagian kalangan tuduhan tersebut dianggap tidak benar. Justru Ibnu Qutaibah adalah sosok seorang ulama yang konsisten terhadap paham ahlus sunnah wal jamaah. Ad Dzhabi, misalnya, secara tegas menyatakan bahwa apa yang disangkakan kepada Ibnu Qutaibah salah kaprah sekalipun benar bisa jadi memang itu fitnah yang mengada-ada. Satu hal lagi yang menjadi catatan dari karya Ibnu Qutaibah adalah improvisasi bahasan yang terlampau meluas, bahkan Oleh Nashih Nashrullah Buang Hajat, Bolehkah Membelakangi Kiblat? bnu Qutaibah menguraikan berbagai macam hadis tentang beragam persoalan mulai dari akidah, kisah penciptaan, ibadah, thaharah (bersuci), hingga muamalat. Dalam persoalan thaharah, misalnya, terdapat dua hadis yang diduga saling bertentangan terkait hukum menghadap kiblat saat membuang hajat besar ataupun kecil. Hadis yang pertama menyatakan larangan menghadap kiblat sewaktu membuang hajat dikutip oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Salman Al Farisi itu bunyinya cukup tegas memakai kata nahy (larangan), “Janganlah kalian I cenderung keluar dari subtansi dan pokok bahasan. Dalam mukadimah, contohnya— meskipun sangat bermanfaat—tetapi uraian yang disampaikan terlewat panjang. Hanya untuk memulakan sebuah kitab, Ibnu Qutaibah menghabiskan sebanyak 86 halaman sendiri dari total keseluruhan halaman kitabnya. Ibnu Qutaibah menyebutkan beberapa hadis yang dipergunakan oleh berbagai sekte dan aliran sebagai dasar pemikiran mereka. Mulai dari Khawarij, Murjiah, Qodariyah, dan lain sebagainya. Sebut saja, misalnya, Ibnu Qutaibah menyebutkan hadis yang dijadikan dasar Khawarij untuk meligitimasi pemikiran mereka tentang otoritas hukum secara mutlak hanya pada Allah. Selain itu, ideologinya keluar dari mayoritas umat Islam kala itu dan menempuh kekerasan bagi pihak yang berseberangan pandangan Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Tsauban dan terdapat dalam beberapa buku hadis di antaranya Al Ausath karangan Ath-Thabrani. Hadis itu berbunyi, “Letakkanlah pedang kalian di pundak, kemudian hancurkanlah lahan hijau mereka.” Hadis lainnya yang disitir Khawarij adalah hadis riwayat Bukhari-Muslim yang menyatakan akan bertahan dari umat Muhammad sekelompok orang yang teguh memegang yang hak dan tidak terpengaruh oleh perbedaan pandang mereka yang berseberangan. Jika dikorelasikan dengan inti pembahasan kitab itu, yakni memaparkan dan mencari benang merah antarhadis yang dikesankan kontradiktif agaknya kurang tepat sasaran. Barangkali Ibnu Qutaibah hendak memberikan gambaran tentang latar belakang penulisan karyanya itu. Bisa jadi benar karena secara jelas Ibnu Qutaibah menceritakan motif dan sebab yang menggerakkannya mengarang kitab Ta’wil Mukhtalaf Al-Hadits. Dipaparkan Ibnu Qutaibah, tujuan penulisan kitab bukan dimaksudkan untuk membantah pendapat kaum zindiq ataupun pendusta ayat-ayat Allah. Fokus utama Ibnu Qutaibah adalah memberikan bantahan kepada kalangan yang menuduh makna hadis saling kontradiksi dan tidak konsisten. Hadis-hadis tersebut tidak bisa diterima oleh logika dan akal sehat. “Telah aku kaji pernyataan para ahli kalam dan aku temukan mereka mengatakan tentang Allah sesuatu yang tidak mereka ketahui, mereka sebarkan kepada manusia apa yang tidak mereka kuasai,” ujar Ibnu Qutaibah dalam mukadimah kitabnya. Terlepas dari catatan-catatan penting tersebut, kitab yang ditulis Ibnu Qutaibah adalah persembahan berharga bagi bidang studi kajian hadis, terutama memberikan penjelasan tentang ragam hadis yang dikonotasikan saling bertentangan satu sama lain. Ibnu Shalah menilai kontribusi Ibnu Qutaibah dalam disiplin ilmu hadis itu sangat berharga. Betapa tidak, kehadiran kitab itu sangat tepat sebab saat itu belum ada ahli hadis yang mempunyai kemampuan dan kompetensi sempurna untuk melakukan kajian seperti itu secara ilmiah dan metodologis. Kehadiran kitab itu juga dinilai tepat lantaran kajian hadis belum mencapai puncak kematangan seperti masa Khatib Al Bahgdadi atau Ibnu Shalah. Tak heran jika persembahan Ibnu Qutaibah itu mendapat posisi tersendiri sebagai rujukan penting mendalami hadis. ■ ed: heri ruslan TAHTA AIDILLA menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil.” Sedangkan hadis kedua yang diriwayatkan oleh Aisyah menegaskan hal yang berbeda. Disebutkan bahwasanya Rasulullah pernah diberi tahu bahwa sekelompok orang tampak kurang suka dan merasa kesulitan dengan larangan membelakangi kiblat ketika membuang hajat. Lalu Rasulullah menyuruh mereka untuk berada di toilet dan barulah menghadap kiblat. Riwayat ini dinulik oleh Ahmad bin Hanbal. Selanjutnya, dari kedua hadis tadi manakah yang dibenarkan antara menghadap dan membelakangi kiblat sewaktu membuang hajat? Menurut Ibnu Qutaibah, prinsipnya mudah saja menepis asumsi kedua hadis saling berseberangan itu. Jika memperhatikan teks, kedua hadis mengisyaratkan kemungkinan memakai nasikh dan mansukh untuk menghilangkan kesan kontradiksi. Terlihat jelas dengan bentuk larangan dan perintah. Artinya, jika ada sebuah larangan kemudian muncul setelah itu perintah, secara otomatis bisa saja larangan tersebut tidak berlaku. Tapi persoalannya, dalam konteks hadis ini nasikh dan mansukh tidak bisa dipergunakan. Lantas bagaimana menyatukan kedua teks itu? Berdasarkan analisis Ibnu Qutaibah, kedua teks tidak saling menegasikan dengan metode mengelaborasikan (aljam’u). Yang dimaksudkan dalam hadis pertama sebenarnya adalah larangan menghadap kiblat jika buang hajat di tanah lapang dan terbuka seperti di gurun ataupun lapangan. Sebab, kebiasaan yang sering dilakukan oleh para sahabat pada masa itu apabila singgah dari perjalanan, sebagian menghadap kiblat guna menunaikan shalat, sedangkan sebagian lain mengarah ke arah sama, tetapi bukan untuk shalat, melainkan membuang hajat. Untuk itu, Rasulullah melarang mereka untuk menghormati kiblat dan menghargai kedudukan shalat. Hadis kedua mengutarakan bahwa sejumlah sahabat mengira larangan tersebut berlaku pula saat berada di perumahan atau tempat yang tertutup lainnya. Karenanya, Rasulullah hendak mengajarkan dan memberi tahu mereka bahwa selama mereka berada di tempat tertutup, tidak masalah membuang hajat sambil menghadap ke arah kiblat. ■ ed: heri ruslan