26 | Opini RABU, 4 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Strategi Menghadapi Krisis Energi Nasional Oleh Muhammad Subekti Peneliti Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) H INGGA saat ini Indonesia masih menghadapi krisis energi. Setiap tahun pasokan energi listrik tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Akibat yang dirasakan, di banyak tempat pemadaman bergilir terus terjadi. Hal itu kontradiksi dengan kebijakan pemerintah yang masih mengekspor sumber energi gas dan batu bara. Permintaan energi listrik tumbuh sekitar 6,8% per tahun, untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga penduduk Indonesia yang tumbuh lebih dari 1%. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk Indonesia adalah 119,2 juta jiwa (pada 1971), 147,5 juta jiwa (1980), 179,4 juta jiwa (1990), dan 206,2 juta jiwa (2000), dan pada tahun ini sudah mencapai 238 juta jiwa. Pada garis tren yang sama, jumlah penduduk Indonesia bisa mencapai 285 juta jiwa pada 2025 dan 360 juta jiwa pada 2050. Di sisi lain, PLN juga berusaha meningkatkan rasio elektrifikasi dari 65% pada 2010 menjadi mendekati 100% pada 2045. Peningkatan rasio elektrifikasi tersebut harus dilakukan melalui sambungan baru pelanggan PLN dan pemanfaatan energi setempat untuk daerah terpencil. Kebutuhan kapasitas pembangkit listrik 2010 dengan estimasi terbaik adalah 34 Gwe akan meningkat terus menjadi 94 Gwe pada 2025 dan 409 Gwe pada 2050. Estimasi pesimistis mereduksi kebutuhan kapasitas pembangkit listrik menjadi 71 Gwe pada 2025 dan 239 Gwe pada 2050, berdasarkan pertumbuhan energi nasional 5%. Ketersediaan energi fosil Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah produksi minyak bumi kita cenderung menurun sehingga Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak terutama untuk memenuhi kebutuhan transportasi. Harga minyak bumi untuk pembangkit listrik sangat mahal dan cenderung naik. Bahkan setiap saat itu bisa meroket karena cadangan Indonesia dan dunia terus berkurang. Minyak bumi Indonesia diperkirakan akan habis sebelum 2025. Kementerian ESDM berusaha memperlambat laju penurunan produksi minyak bumi pada 2011 dari 12% Energi nuklir dan energi terbarukan Setelah melihat estimasi baik permintaan terbaik maupun pesimistis dan ketersediaan sumber energi fosil, peningkatan kebutuhan energi listrik nasional akan bisa diatasi sampai 2025. Setelah itu, tantangan lebih berat akan datang pada saat kondisi buruk produksi batu bara tidak bisa naik dan malah berkurang. Untuk mengatasi hal ini, jauh sebelum kondisi buruk terjadi, pemerintah perlu melakukan penelitian, pengembangan, dan demonstrasi (PPD) energi nuklir dan energi terbarukan (ET). Pasalnya pada masa mendatang diperlukan pembangkit listrik ET dalam jumlah besar sehingga strategi PPD perlu segera dipastikan untuk mengatasi masalah ketersediaan energi listrik nasional dalam mendukung usaha peningkatan perekonomian nasional. Polemik energi nuklir memerlukan waktu yang panjang untuk diselesaikan sehingga target operasi PLTN bisa diundur sampai 2025-2030. PPD energi terbarukan perlu segera direalisasikan terutama sumber energi geotermal, matahari, dan bayu. Target kebutuhan kapasitas energi listrik 2025 akan lebih mudah dipenuhi daripada 2050. Meskipun sumber energi geotermal, matahari, dan bayu dikembangkan secara maksimal, total kapasitas ketiga energi tersebut ditambah sumber energi air dan energi hanya bisa mencapai sekitar 80 Gwe. Padahal estimasi terbaik sumber energi batu bara dan gas hanya sekitar 80 Gwe. Artinya hampir sama sehingga total kapasitas menjadi 160 Gwe pada 2050. Estimasi terbaik ini belum bisa memenuhi estimasi terburuk permintaan kapasitas energi listrik nasional sehingga diperlukan sumber energi nuklir sebesar paling tidak 40 Gwe. Kebutuhan kapasitas PLTN total 40 Gwe sulit direalisasikan selama polemik energi nuklir belum selesai. Bangsa ini memerlukan gotong royong semua energi yang dimiliki, untuk mewujudkan peningkatan perekonomian nasional secara terus-menerus, paling tidak sampai 2050. Media harus terus menggonggong, bila perlu, menggigit penguasa yang berupaya menutup skandal Bank Century dan melemahkan KPK. Media harus menggonggong dan menggigit penguasa manakala penguasa gagal membuktikan penghentian pemadaman listrik secara bergilir, mengurangi angka kemiskinan, mengatasi masalah kemacetan di Jakarta, mengungkap rekening bermasalah pejabat tinggi, menindak pengusaha pengemplang pajak, dan menghukum aparatur negara yang korup. Dalam kasus-kasus yang melawan kepentingan demokrasi, misalnya pemberantasan korupsi, media tidak an sich menempatkan diri sebagai wasit yang adil, tetapi harus memihak kepentingan publik. Kasus Prita Mulyasari dan dua pimpinan KPK (Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah) merupakan contoh keberhasilan media memperjuangkan kepentingan publik. Meskipun kasus Bibit dan Chandra masih dalam proses hukum, paling tidak kontrol kuat media akan membuat penguasa berpikir panjang untuk melakukan abuse of power. Media mesti menghindarkan diri dari kecenderungan menjadi corong politisi, perpanjangan tangan, serta devil’s advocate pemerintah. Cater (dalam Sparrow 1999) mengkritik media Amerika Serikat yang mengambil posisi sebagai cabang keempat dari pemerintah. Media dikooptasi secara halus oleh para spin doctors Gedung Putih melalui mekanisme TV pool, embedded, siaran pers, dan penentuan media yang mendapat hak wawancara dengan presiden. Praktik TV pool menjelang jatuhnya rezim Soeharto pada 1998 juga merupakan bukti bentuk-bentuk pelemahan pers oleh spin doctors. Praktik pelemahan terhadap pers juga masih terjadi di era reformasi, melalui program blocking time, penunjukan pemilik media pada posisi strategis (Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN), temu presiden dengan pimpinan dan pemilik media, pemberian proyek pemerintah (pemuatan iklan) kepada media tertentu. Contoh-contoh di atas tidak membebaskan media dari praktik--yang paling tidak oleh Presiden Yudhoyono--menegasikan fungsi ideal media sebagai bark dog yang objektif dan mengabdi pada kepentingan publik. Karena Presiden tidak eksplisit menunjuk hidung media yang dinilainya subjektif, saya hanya mengonstatir bahwasanya media, secara esensial, tidak terbebas sama sekali dari beberapa kekuatan yang memengaruhinya. Mcquail (2005) mengatakan media dipengaruhi pemilik, pemasang iklan, kekuatan penekan, dan gatekeeper seperti pemimpin redaksi. Bahkan Altschull secara gamblang mengatakan isi media banyak ditentukan oleh siapa yang menjadi penyandang dana media tersebut. Seberapa jauh pengaruh pemilik terhadap kebijakan editorial, dan konten sebuah media sangat bergantung pada karakter pemiliknya. Oleh karenanya, menjadi masuk akal apabila muncul kekhawatiran media dijadikan alat untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak tertentu. Kekhawatiran tersebut seyogianya disikapi sebagai autokritik bagi media untuk terus meningkatkan mutunya. Sama halnya, Presiden juga harus memaknai pemberitaan media dengan jernih dan legowo demi perbaikan mutu pemerintahannya. Dalam cara pandang semacam ini, tidak perlu dipersoalkan berapa lama durasi yang dihabiskan media untuk mengkritik pemerintah, akan tetapi mengambil manfaat dari kritik tersebut. Apabila media menyalahgunakan fungsinya untuk kepentingan politik tertentu, sudah ada produk hukum dan kode etik yang dapat digunakan untuk menjewer media. Tukar pikiran dengan praktisi media juga merupakan salah satu bentuk komunikasi politik yang efektif. Tentu saja, tukar pikiran ini mesti berlangsung dalam kultur egaliter, jauh dari penonjolan superioritas kekuasaan. Tukar pikiran juga diarahkan untuk saling memperkuat posisi. Harus ditumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah harus kuat agar sanggup mewujudkan amanah yang diberikan rakyat. Itulah cara paling jitu memperkuat legitimasi di mata publik. Begitu pula dengan media. Media harus dibantu untuk menjadi kuat. Hanya dengan itu, media berani konsisten menggonggong dan menggigit apabila penyelenggara negara berlaku korup, tidak memiliki strategi yang jelas, serta lamban dalam mengeksekusi berbagai persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. produksi batu bara hanya 60,3 tahun. Umur produksi gas alam juga tidak jauh dari batu bara, yaitu 59 tahun berdasarkan status 2008 mencapai 170 tscf (trillion standard cubic feed – satuan volume gas) dan produksi per tahun mencapai 2,87 tscf. Meskipun ditemukan cadangan baru, produksi puncak minyak bumi dan gas tidak bisa ditingkatkan setelah 2010. Bahkan kecenderungannya akan menurun sampai habis. Bila produksi batu bara diting- PATA AREADI menjadi 3% dengan optimalisasi lapangan yang ada dan pengembangan lapangan baru. Indonesia masih beruntung memiliki sumber energi lain, yaitu gas dan batu bara. Cadangan batu bara saat ini sebesar 19,3 miliar ton dengan target produksi 2010 adalah 320 juta ton. Apabila produksi batu bara stabil dan cadangan baru batu bara lapisan dalam sulit diambil, umur katkan untuk menggantikan sumber energi minyak bumi dan gas, puncak produksi diperkirakan terjadi sebelum 2040. Kemudian produksi akan menurun 6%-10% per tahun sampai habis pada 2080. SBY Kuat versus Media Kuat Oleh Claudius V Boekan Mahasiswa S-2 Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia P PARTISIPASI OPINI Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105 (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP). RESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mengawali pekan ini dengan lontaran kritik pedas kepada media. Menurut Presiden, ada media menghabiskan durasi dua jam untuk mengangkat sisi buruk kebijakan pemerintah. Presiden juga meminta agar masyarakat tidak terpengaruh oleh pemberitaan semacam itu. Kritik Presiden Yudhoyono ini tak pelak memunculkan pro dan kontra. Ada yang sependapat dengan SBY, namun ada pula yang menilai SBY terlalu berlebihan. Karena Presiden tidak secara spesifik menyebut isi berita dan media mana yang melansir berita tersebut. Perspektif demokrasi menempatkan demokrasi, negara, dan media dalam pola relasi yang saling membutuhkan demi tercapainya tujuan negara. Demokrasi menyediakan sistem dan regulasi. Penguasa mendapat legitimasi politik melalui proses demokratis untuk mengelola negara. Sementara media membutuhkan demokrasi agar fungsi media bisa dijalankan dengan bebas untuk mengontrol penguasa sekaligus meningkatkan mutu demokrasi. Schudson (1996) mengemukakan beberapa prinsip utama yang diperankan media dalam demokrasi, yaitu menyediakan informasi yang lengkap dan adil kepada masyarakat untuk dijadikan pedoman pengambilan keputusan, menyediakan informasi yang relevan sehingga masyarakat mampu memahami konstelasi politik, menjadi artikulasi dari berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat, mewakili kepentingan publik serta berbicara atas nama publik sehingga bisa menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah. Media memang harus menjadi kekuatan penyeimbang penguasa karena dua alasan. Pertama, sejatinya penguasa cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaannya, sehingga perlu dikontrol terus-menerus oleh media. Kedua, secara esensial media merupakan produk konsensus demokrasi yang memiliki Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryopratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hutabarat Kepala Divisi Pemberitaan: Usman Kansong Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahjudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar, Ade Alawi, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto legitimasi untuk memantau kekuasaan. Oleh karena itu, sudah seharusnya media memiliki power untuk berani mengontrol penguasa. Relasi media-penguasa Relasi media-penguasa digambarkan Littlejohn (2005) dalan empat model. Pertama, high power source versus high power media. Penguasa dan media sama-sama memiliki pengaruh yang kuat. Bila penguasa dan media menjalin aliansi yang saling menguntungkan, ada kemungkinan terjadi reduksi kontrol media atas penyalahgunaan kekuasaan. Sebaliknya, jika media mengambil posisi berseberangan dengan penguasa, fungsi kontrol berjalan optimal. Media dan penguasa akan bertarung untuk memengaruhi publik demi mengegolkan agendanya. Pada tataran ini, publik menjadi kekuatan determinan untuk memilih. Kedua, high power source versus low power media. Pada model ini, penguasa berada pada posisi superior sehingga media terkooptasi dan menjadi apa yang disebut Sparrow sebagai lap dog (anjing peliharaan). Pola relasi semacam ini menjadi ciri dominan pada era Soeharto. Ketiga, low power source versus high power media. Media berada pada posisi yang kuat, sedangkan penguasa lemah. Media memainkan agendanya sendiri tanpa terpengaruh oleh agenda penguasa. Keempat, low power source versus low power media. Model ini mengasumsikan bahwa negara dan media sama-sama lemah sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya dengan efektif. Bark dog Dari gambaran di atas, pola relasi ideal dalam konteks demokrasi adalah penguasa dan media harus sama-sama kuat sehingga sanggup menjalankan tugas masing-masing dengan efektif. Namun, relasi penguasa dan media harus ditempatkan dalam kerangka kepentingan publik. Artinya, media benar-benar objektif dalam melakukan kontrol terhadap penguasa. Dalam istilah Sparrow (1999), media mesti menjadi bark dog, anjing penyerang yang menggonggong dan menggigit penguasa yang melanggar prinsip demokrasi. Redaktur: Agus Mulyawan, Agus Wahyu Kristianto, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Fitriana Siregar, Gantyo Koespradono, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Lintang Rowe, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surachman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Anton Kustedja, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugrah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Handi Andrian, Heni Rahayu, Heru Prihmantoro, Heryadi, Hillarius U. Gani, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Jajang Sumantri, Jerome Eugene, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnu Broto, Kennorton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rina Garmina, Ririn Radiawati Kusuma, Rini Widuri Ragillia, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalati Yani, Tutus Subronto, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Silaban, M. Syaifullah, Nurtjahyadi, Panji Arimurti, Prita Daneswari, Rani Nuraini, Ricky Julian, Widjokongko, Wisnu Arto Subari. PUBLISHING Asisten Kepala Divisi: Jessica Huwae Staf: Adeste Adipriyanti, Regina Panontongan, Sem Sahala Purba CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston King Manajer Produksi: Bambang Sumarsono Deputi Manajer Produksi: Asnan Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Sujiyono Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto Perwakilan Bandung: Aji Sukaryo (022) 4210500; Medan: A Masduki Kadiro (061) 4514945; Padang: Yondri (0751) 811464; Pekanbaru: Ferry Mustanto (0761) 856647; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Arief Ibnu (0251) 8349985, Denpasar: Pieter Sahertian (0361) 239210, Lampung: Muharis (0721) 773888; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 7497289; Palembang: Andi Hendriansyah (0711)317526, Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Reke-ning Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindonesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN