BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA A. Hasil Penelitian

advertisement
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Hasil Penelitian
Pada penelitian ini peneliti mengambil subjek sebanyak 20 orang, yakni
terdiri dari 7 orang Ulama, 7 orang pemilik usaha salon ataupun yang bertindak
sebagai pegawai serta 6 orang perempuan yang dicukur alisnya yang berada di
kota Palangka Raya untuk dijadikan sebagai key informan dalam pengambilan
data di lapangan dengan uraian sebagai berikut:
1. Persepsi Ulama di kota Palangka Raya Tentang Hukum Mencukur Alis.
a. Subjek I
Nama
: ZA
Umur
: 52 Tahun
Alamat
: Jl. RTA. Milono KM. 6,4 Komplek Marina Permai
Pendidikan
: Pesantren Darussalam
Pada tanggal 28 Juni 2013, penulis pergi mengunjungi rumah ZA dan
penulis bertemu dengan beliau disana, beliau adalah Ulama yang sangat
dikenal oleh masyarakat kota Palangka Raya, selain sebagai Ketua
Majelis Ulama kota Palangka Raya, beliau adalah juga sebagai tenaga
pengajar di yayasan pendidikan Darul Ulum dan memilki 15 pengajian
69
70
yang tersebar di kota Palangka Raya. Berikut adalah hasil wawancara
dengan ZA tentang hukum mencukur aliss:
“Kalau masalah mencukur alis ini sudah merata dimana-mana
dilakukan oleh kaum perempuan, tidak pandang yang muda ataupun
tua, yang di desa apalagi yang di perkotaan, sudah biasa dengan
kegiatan mencukur alis. Secara agama berhias diri untuk suami itu
boleh-boleh saja, bagus, bahkan dianjurkan membuat suami senang
melihat istrinya. Kita kembalikan ke mencukur alis, jika dicukur
sebatas untuk dirapikan itu dibolehkan saja, tapi jangan sampai kening
itu dihabiskan dan itu yang tidak diperbolehkan dalam hadis yang
dimaksud berikut:
، ِ ‫ اﺻِ ﻼَت‬،َ ‫َﺎت ِْﻮ‬
‫ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ‬
‫اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ‬
َ ‫ اﻟْﻮ َ و‬:ُ َ‫ﻗَﺎل‬
‫ َ اﷲ‬،‫اﷲِﻦ‬
َ ‫ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ‬
... ،‫ و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ‬،ِ‫ﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ‬
“Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato
dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata
(hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah
ciptaan Allah Swt... “(H.R. Muslim)”.
Sebagian Ulama memang ada yang tidak membolehkan sama sekali,
artinya ini Ulama yang ketat sekali, tapi ada juga yang membolehkan
mencukur alis. Kalau kita memilih menengahi pendapat yang sudah
ada, yakni mencukur alis itu dibolehkan bagi yang sudah bersuami
dengan catatan mengantongi izin dari suaminya, lagi pula kan
mencukur alis termasuk menjaga kebersihan, karena fungsinya untuk
merapikan sesuai hadis Rasulullah Saw:
...‫اﻟط ﱡ ﮭُور ُﺷ َطﻹ ْ ْر ُ ِ ﯾﻣ َﺎن ِ ا‬
…
“…..Suci itu adalah separuh dari iman…”
Kemudian, bersih itu sangat disukai oleh Allah Swt, sebagaimana
dalam firman-Nya berikut:
71
    ...
  
“….Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
   ...

“Dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih”.
Dalam sebuah hadis juga dikatakan bahwa Allah Swt menyukai
keindahan, sebagaimana hadis berikut:
َ‫ِنﱠ اﻟﻠﱠﻪ َ ﲨَ ِ ﻴﻞ ٌ ﳛُ ِﺐﱡ اﳉْ َ ﻤ َ ﺎل‬
“Sesungguhnya Allah Swt itu Maha Indah dan menyukai keindahan”.
Jadi kita kaitkan hukum kebolehannya kepada hadis dan ayat-ayat
Alquran tentang kebersihan tadi. Kemudian tidak apa-apa bila pergi ke
salon, asalkan salon yang baik, dalam artian salon yang tidak
bertentangan dengan hukum syara yang berlaku, misalnya pegawainya
adalah perempuan juga, tempatnya tidak terlihat oleh laki-laki yang
bukan mahramnya, kemudian juga tidak melakukan hal-hal yang
dilarang agama saat di salon intinya seperti itu. Kalau masalah anak
muda yang belum bersuami mencukur alis, itu tergantung pada niatnya
masing-masing, untuk apa dan untuk siapa dia berhias, jadi semua
perbuatan manusia itu tergantung pada niatnya masing-masing seperti
dalam hadis Rasulullah Saw:
ُ‫ﻤِ ﻌْﺖ‬: ََ‫َﺎل‬
‫ْﻣِ ﻨِ ﻴْﻦ َ أَﺑِﻲ ْ ﺣ َ ﻔْﺺٍ ﻋُﻤ َ ﺮ َ ﺑْ ﻦِ اﻟْﺨَ ﻄﱠﺎبِ ر َﺿِ ﻲ َ اﷲ ﻋَ ﻨْﻪُ ﻗ ﺳ‬
‫ﺑِﺎﻟﻨـﱢ ﻴﱠﺎتِ و َ إِ ﻧﱠﻤ َ ﺎ ﻟِ ﻜُﻞﱢ اﻣ ْ ﺮِيء ٍ ﻣ َ ﺎ‬
)) :ُ‫ﻠﱠﻢ َﺎل‬
َ ‫َﻋْﻤ‬
َ ‫َﻴْﻪَِ ﺎواَﻷﺳ‬
‫ر َﺳُ ﻮ ْ لَ اﷲ ﺻَ ﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَ ﻠإِ ﻧﱠﻤ‬
... ‫ﻧـَﻮ َ ى‬
72
“Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
‘Sesungguhnya amal perbuatan membutuhkan niat. Dan setiap orang
akan dibalas sesuai dengan niatnya…”.
Kalau menurut adat suku Banjar memang benar adanya bahwa
mencukur alis adalah tanda melapas bujang95, orang-orang tua zaman
dulu memang melakukannya sebagai bagian dari adat dan saya ingat
itu dari saya kecil, tapi kalau di bawa ke zaman modern sekarang ini,
sepertinya bukan adat lagi, tetapi memang sudah menjadi kebiasaan
dan sudah merata terjadi di masyarakat seperti yang saya ungkapkan
pada awal pembiaraan”. 96
b. Subjek II
Nama
: GR
Umur
: 39 Tahun
Alamat
: Jl. Akasia Ujung No. 26
Pendidika
: S1
Pada tanggal 15 Juli 2013, penulis menemui subjek GR seusai mengisi
kuliah subuh di mesjid Darussa’adah, sebab beliau sulit ditemui karena
memiliki jadwal yang padat sehingga hanya ada kesempatan bertemu
95
Bahasa Banjar yang jika diartikan ke Bahasa Indonesia sebuah adat atau kegiatan orang
suku Banjar yang mana jika telah mencukur alis artinya berpindah status dari perawan menjadi
bersuami.
96
Wib.
Wawancara dan observasi dengan ZA, Tanggal 28 Juni 2013 di rumah ZA, Pukul 07.30
73
beliau pada waktu tersebut. Berikut hasil wawancara dengan GR tentang
persepsi beliau terhadap hukum mencukur alis:
“Mencukur alis menurut Imam Syafi’i dan Ulama masyhur sepakat
mengharamkan bagi yang belum bersuami, yang sudah bersuami maka
mendapat hukum sunnah dengan catatan untuk kebahagiaan suaminya,
karena mempercantik diri adalah bahagian dari kesunnahan supaya
suami lebih mencintai dan menjadikan keluarganya sakinah mawaddah
warahmah. Kalau misalnya orang yang mau menikah mencukur alis
itu bahagian dari rangkaian untuk pelaksanaan pernikahan maka
hukumnya boleh karena sudah diyakini akan menikah, yang sama
sekali tidak dibolehkan itu tidak ada tujuan menikah, hanya untuk
mempercantik diri dengan harapan laki-laki akan tertarik dengan dia
lalu akan mengundang maksiat karena bukan muhrimnya.
Dalam hadis larangan mencukur alis itu antara orang mencukur alis
dan yang minta dicukur alis itu kedua-duanya dilaknat oleh Allah Swt,
dan otomatis mereka yang bekerja disalon dalam laknat Allah Swt,
sama dengan orang yang mentato, Allah Swt dan Rasulullah Saw
melaknat orang yang mentato dan orang yang minta ditatokan sama
dengan orang yang mencukur alis dan orang yang minta dicukur
alisnya. Sebagaimana bunyi hadis berikut:
، ِ ‫ اﺻِ ﻼَت‬،َ ‫َﺎت ِْﻮ‬
‫ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ‬
‫اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ‬
َ ‫ اﻟْﻮ َ و‬:ُ َ‫ﻗَﺎل‬
‫ َ اﷲ‬،‫اﷲِﻦ‬
َ ‫ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ‬
... ،‫ و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ‬،ِ‫ﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ‬
“Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato
dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata
(hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah
ciptaan Allah Swt… “(H.R. Muslim)”.
Sekarang lebih modern lagi ada yang namanya menanam atau sulam
alis itu sama dengan alis palsu dan hukumnya sama dengan memasang
rambut palsu maka hukumnya haram. Bagi pegawai salon yang
mencukurkan alis bagi orang yang hendak menikah, maka hukumnya
boleh saja karena membantu pelaksanaan untuk acara akad nikah”.97
97
Wawancara dan observasi dengan GR, Tanggal 15 Juli 2013 di Masjid Darussa’adah, Pukul:
05.30 Wib.
74
c. Subjek III
Nama
: MN
Umur
: 50 Tahun
Alamat
: Jl. Cilik Riwut Km 2
Pendidikan
: Pesantren Darussalam
Pada tanggal 18 Juli 2013, penulis pergi mengunjungi MN ke
kediaman beliau namun tidak bertemu dengan MN, menurut kerabat MN
beliau sedang istrirahat dan tidak bisa diganggu karena sakit kepala,
akhirnya penulis datang kembali ke rumah MN pada tangga 23 Juli dan
berhasil bertemu dengan beliau. Berikut adalah hasil wawancara dengan
MN:
“Masalah hukum mencukur alis itu menurut hadis yang terdapat Kitab
Riyadhus Shalihin. Hadis yang dibahas dalam buku tersbut sebagai
berikut:
، ِ ‫ اﺻِ ﻼَت‬،َ ‫َﺎت ِْﻮ‬
‫ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ‬
‫اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ‬
َُ ‫اﷲ‬
‫ﻦ اَﻟْﻮ َ و‬: ََ‫ﻗَﺎل‬
‫ ﻟَﻌ‬، ِ‫ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ اﷲ‬
... ،‫ و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ‬،ِ‫ﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ‬
“Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato
dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata
(hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah
ciptaan Allah Swt……. “(H.R. Muslim)”.
75
Hukum tidak bisa dirubah, bagaimana caranya supaya tidak terkena
hukum, tetap ke salon itu baik tapi jangan sampai melanggar agama,
sama dengan orang yang memasang pacar dikepala atau dirambut,
kalau hitam itu dalam hadis tidak boleh, padahal bukan menggunakan
pacarnya yang tidak boleh tapi memakai warna hitamnya yang tidak
boleh, kalau kuning tidak jadi massalah atau warna lainnya juga
dibolehkan asalkan jangan warna hitam tadi. Kalau hukum sudah
sepakat bahwa mencukur alis itu haram hukumnya. Tapi dalam
kenyataannya hukum ini kalah dengan tradisi atau kebiasan yang
terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya gigi yang dipapar
itupun tidak diperbolehkan karena menyakiti diri sendiri. Sebagaimana
juga dibahas dalam hadis tadi.
Hukum mencukur alis itu baik sebagian ataupun keseluruhan itu tetap
hukumnya haram, pokoknya tidak boleh dicukur-cukur, intinya tidak
perlu diapa-apakan. Sama jika diqiyaskan dengan hukum mewarnai
rambut tadi dengan warna hitam Nabi Muhammad Saw melarang,
rupanya kalau manusia berpenampilan segar itu lupa akan datangnya
kiamat kecil yakni kematian yang sudah pasti dirasakan oleh setiap
manusia dan setiap makhluk yang bernyawa, sebagaimana dalam
Alquran Q.S. Al-Imran : 185 yang berbunyi sebagai berikut:
....     
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati...”.
Artinya dengan adanya uban yang memutih di kepala kita masingmasing mengingatkan kematian, sebab jika berwarna hitam terus
seakan-akan melupakan yang namanya kematian tadi.
Kemudian hukum bagi yang bekerja disalon maka, dia juga termasuk
dalam laknat Allah Swt karena terlibat dalam perbuatan maksiat
artinya memberi jalan atau memberi peluang untuk orang lain berbuat
yang tidak diridahi Allah Swt dengan menyediakan jasa mencukur
alis, pekerjaannya halal saja tapi dampak dari pekerjaannya yang
haram karena memiliki andil juga dalam perbuatan maksiat itu, artinya
yang berserikat dalam perbuatan itu juga terkena dosanya. Kemudian
bagi seorang isteri yang mencukur alis demi kepentingan
menyenangkan suami itu hukumnya tetap haram, artinya menghias diri
76
itu sesuai dengan yang diridhai oleh hukum Allah Swt, jadi dijalurkan
satu benar pada hukum Allah Swt dan disalurkan kepada sesuatu yang
disunnahkan atau disukai oleh suami tadi”.98
d. Subjek IV
Nama
: MA
Umur
: 37 Tahun
Alamat
: Jl. Ramin
Pendidikan
: S1
Pada tanggal 29 Juni 2013, penulis mendatangi rumah kediaman MA,
namum tidak bertemu dengan beliau, menurut Ibu MA, MA jarang berada
di rumah karena sibuk dengan kegiatan di mana-mana, sehingga sulit jika
ingin bertemu MA di rumah. Ibu MA menyarankan untuk menelpon saja,
karena MA tidak bisa dipastikan kapan berada di rumah. Kemudian pada
tanggal 30 Juli 2013, penulis berhasil bertemu dengan MA di masjid
Riyadhus Shalihin seusai MA mengisi jadwal kuliah subuh. Berikut hasil
wawancara dengan MA mengenai hukum mencukur alis:
“Mencukur alis sampai selesai artinya sampai gundul habis itu jelas
hukumnya haram apapun alasannya, sesuai dengan hadis yang
melarangnya berikut:
98
Wawancara dan observasi dengan MN, Tanggal 18 Juli 2013 di Kediaman MN, Pukul:
08.00 Wib.
77
، ِ ‫ اﺻِ ﻼَت‬،َ ‫َﺎت ِْﻮ‬
‫ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ‬
‫اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ‬
َ ‫ اﻟْﻮ َ و‬:ُ َ‫ﻗَﺎل‬
‫ َ اﷲ‬،‫اﷲِﻦ‬
َ ‫ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ‬
...،‫ و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ‬،ِ‫ﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ‬
“Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato
dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata
(hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah
ciptaan Allah Swt……. “(H.R. Muslim)”.
Sedangkan merapikan itu beda dengan mencukur, kalau mencukur itu
habis sama sekali lalu dipakai tulis kening itu haram, tapi kalau
merapikan dan niatnya lagi untuk suami itu tidak haram, artinya suami
senang melihat alis rapi lalu niatnya adalahnya untuk menyenangkan
hati suami itu ada yang membolehkan sebagian Ulama tapi kalau
mencukur sama sekali apapun alasannya tetap hukumnya haram.
Sedikit banyaknya alis yang dicukur itu tergantung adat, orang kawin
biasanya ku lihat lebih dari separo alisnya yang hilang, kalau lebih dari
separo itu berarti banyak dan hanya sedikit yang tersisa berarti
mencukur.
Kalau niat untuk suami tidak jadi masalah, yang namanya mencukur
alis ini sudah booming99 sudah dimana-mana orang melakukannya,
dan rata-rata perempuan itu 99 % alisnya dicukur dan itu seakan-akan
tidak berdosa lagi, karena sudah terbiasa dan menjadi hal yang biasa
karena apapun yang sudah terbiasa dilakukan itu akan melemahkan
hukum itu sendiri walaupun sudah jelas haram. Karena sudah menjadi
kebiasaan seakan-akan boleh dilakukan padahal jelas haram
hukumnya. Kalau sebatas merapikan itu tidak jadi masalah, tapi kalau
merapikan sampai gundul habis sama saja dengan mencukur dan
hukumnya haram”.100
e. Subjek V
Nama
99
Segala sesuatu yang sedang ramai dilakukan banyak orang.
100
Wib.
: AIA
Wawancara dengan MA, Tanggal 30 Juli 2013 di Masjid Riyadhus Shalihin, Pukul 05.30
78
Umur
: 63 Tahun
Alamat
: Jl. Elang No. 14, Palangka Raya
Pendidikan
: SARMUD SYARI’AH
Pada tanggal 09 Agustus 2013, penulis mengunjungi AIA di kediaman
beliau dan bertemu langsung dengan AIA. Berikut hasil wawancara
dengan IR tentang bagaimana persepsi beliau terhadap hukum mencukur
alis:
“Dari penjelasan dalam kitab Riyadhus Shalihin, sudah jelas sekali
bahwa yang namanya mencukur alis itu tidak diperbolehkan dalam
ajaran Islam, karena disitu ada kata-kata “Allah melaknat” dan dari
penjelasan hadisnya pun dikatakan bahwasanya perbuatan tersebut
memang tidak boleh dilakukan dan tidak terdapat pendapat lain yang
menyatakan boleh atau perbedaan pendapat pun tidak ada sama,
artinya Ulama sepakat bahwa haram hukumnya mencukur alis dengan
alasan apapun. Karena dikaitkan dengan larangan merubah sesuatu
dari ciptaan Allah Swt, dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan
diperbolehkan yang namanya merubah ciptaan Allah Swt, baik
menambah apalagi mengurangi bentuk yang sudah ada. Sebagaimana
bunyi hadis:
، ِ ‫ اﺻِ ﻼَت‬،َ ‫َﺎت ِْﻮ‬
‫ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ‬
‫اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ‬
َ ‫ اﻟْﻮ َ و‬:ُ َ‫ﻗَﺎل‬
‫ َ اﷲ‬،‫اﷲِﻦ‬
َ ‫ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ‬
... ،‫ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ‬،َ ‫ﺎت ِو‬
،ِ‫ﻨَﻤﱢﺼ َْ ﻦ‬
‫ﺎتﻟ ِْﻤ ُ ﺘﻟِـَﻠْﺤ ُ ﺴ‬
‫ﻔَ ﻠﱢﺠ َو َ ا‬
“Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato
dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata
(hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah
ciptaan Allah Swt.... “(H.R. Muslim)”.
Jadi, menurut saya mencukur alis memang tidak boleh dilakukan,
apalagi dengan tujuan hanya untuk kecantikan semata, ini memang
79
sudah ketentuan Allah Swt, sebagai hamba kita tidak boleh merubah
hukum yang memang sudah ada ketetapannya, kalau
kita
melanggarnya berarti kita mendustakan hukum Allah Swt. Seandainya
memang benar ada perbedaan pendapat tentang hal ini, mungkin saya
bisa menyatakan pendapat saya seperti apalagi menyikapi
problematika yang berkembang di masyarakat tentang banyaknya
masyarakat yang mencukur alisnya pada zaman sekarang ini, tapi
karena dalam kitab ini tidak adanya perbedaan pendapat sama sekali,
berarti memang sudah kesepakatan Ulama terdahalu dan merekapun
taat terhadap hukum Allah Swt dengan tidak meributkan hukum
mencukur alis ini, hanya saja sekarang hal ini sudah menjadi
permasalahan kontemporer sehingga mungkin ada yang berani
menyatakan hukumnya boleh atau bagaimana segala macam, ada yang
berpendapat bahwa kalau bersuami jika dapat izin suami maka seorang
istri boleh mencukur alisnya berarti suami menjerumuskan istri kepada
perbuatan yang dilarang agama.
Menurut saya pribadi, saya tetap mengikuti pendapat Ulama terdahulu
bahwa haram hukumnya mencukur alis apalagi ditujukan untuk
kecantikan semata. Lagi pula menurut saya jikalau perempuan itu
tidak dicukur alisnya tidak sampai menimbulkan hal-hal yang
berbahaya bagi dirinya, tidak sampai wajah menjadi rusak segala
macam atau mendapat hinaan dan sebagainya, artinya memang tidak
kewajiban seorang yang akan menikah alisnya harus dicukur”.101
f. Subjek VI
101
Nama
: MH
Umur
: 42 Tahun
Alamat
: Jl. Pinus Komplek Mahoni Lestari II.
Pekerjaan
: S1
Wawancara dan obeservasi dengan AIA, Tanggal 09 Agustus 2013 di Kediaman AIA,
Pukul 16.30 Wib.
80
Pada tanggal 10 Agustus 2013, penulis mengunjungi rumah MH dan
bertemu dengan beliau. Berikut adalah pendapat MH mengenai hukum
mencukur alis:
“Kalau menurut aku hadis yang menjelaskan masalah mencukur alis
ini terdapat dalam hadis Bukhari-Muslim, artinya hadisnya shahih, jadi
ada Ulama-ulama yang kuat, mereka melihat secara tekstual atau
literlek, sehingga ketika suatu hadis berbicara tentang laknat Allah Swt
sama dengan hukumnya haram dan mereka tidak mau lagi melihat
alasan apa dibalik itu, artinya kalau sudah haram tetap haram karena
sudah jelas ada kalimat “Laknat Allah Swt” tadi. Kenapa Allah Swt
sampai melaknat itu, karena ada kekhawatiran adanya pentasyabuhan,
artinya perempuan menyerupai laki-laki jika mencukur alis.
Menurut aku kalau sebatas merapikan atau dikarenakan
menyenangkan hati suami, bukan bermaksd menghilangkan ciptaan
Allah Swt boleh-boleh saja dan tidak haram hukumnya, tetapi kalau
tujuannya lain itu yang tidak boleh, intinya menurut aku tergantung
niat masing-masing untuk apa dan untuk siapa dia mencukur alis.
Melihat yang terjadi di masyarakat bahwa biasanya pengantin
mencukur alisnya, maka minimal hukumnya makruh menurut aku
pribadi, karena kalau ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama
tentang suatu hukum, kalau tidak haram maka minimal makruh
hukumnya. Jadi aku tidak mengaharamkan dan tidak membolehkan
secara pasti. Tapi kalau sempat minta izin dengan suami untuk
merapikan atau dirpaikan bukan dicukur habis hukumnya boleh.
Pendapat Ulama yang mengharamkan itu jikalau dicukur habis apalagi
sampai dicabut bahkan sampai ditato itu yang sepakat hukumnya
haram. Dilihat dari asbabul wurudnya, kemungkinan hukum bergeser
dari awalnya, sebab pada zaman jahiliyah dulu menurut pemahaman
aku, kenapa Allah Swt sampai menurunkan hadis dengan kalimat yang
langsung melaknat kepada orang yang mencukur alis dan mentato
segalanya adalah karena dulu itu perempuan-perempuan suka
mencukur alisnya sampai habis dan pergi ke tempat-tempat maksiat
untuk menarik memikat laki-laki, tapi kita bawa ke zaman sekarang
bahwa perempuan mencukur alisnya tidak sampai habis dan bukan
untuk pergi ke tempat maksiat tetapi pergi ke acara pernikahan
melangsungkan pernikahan dan pengajian yang notabenenya adalah
81
kegiatan bersifat positif, maka hukumnya menjadi boleh. Sama halnya
dengan hadis tentang larangan memberi salam kepada orang kafir pada
masa Rasulullah Saw, menurut Quraish Shihab hukumnya tidak boleh
memberi salam kepada orang kafir adalah karena dahulu kita
berperang dengan orang kafir, tapi sekarang zaman dan situasinya
berbeda di mana pada masa kini kita hidup berdampingan secara aman
dan damai dengan orang kafir, maka hukumnya tidak lagi menjadi
haram, artinya hukum telah bergeser mengikuti zaman.
Intinya aku sepakat dengan Ulama bahwa jika mencukur sampai habis
atau hingga gundul tetap hukumnya haram, tetapi jika mendapat izin
suami atau sebatas merapikan dan meratakan hukumnya boleh saja dan
tergantung niat masing-masing orang”.102
g. Subjek VII
Nama
: ABA
Umur
: 68 Tahun
Alamat
: Jl. Pinus Ujung
Pendidikan
: PGA dan Pesantren
Pada tanggal 08 Agustus 2013 penulis berbincang-bincang dengan
ABA di kediaman ABA tentang masalah yang terjadi di masyarakat,
kebanyakan orang yang akan melangsungkan pernikahan ataupun hanya
sebatas berdandan itu rata-rata alisnya bercukur. Berikut adalah hasil
wawancara dengan ABA yang penulis lakukan berhasil dapatkan :
“Berdasarkan pembahasan yang terdapat di dalam kitab Riyadhus
Shalihin, bahwa mencukur alis itu hukumnya haram karena sudah ada
hadis yang melarang secara tegas dan jelas tentang perbuatan tersebut.
Dalam kitab Fiqih Wanita juga disebutkan bahwa perbuatan itu
dilarang. Di dalam kedua kitab tersebut tidak ada dikatakan tentang
102
17.00 Wib.
Wawancara dan observasi dengan MH, Tanggal 10 Agustus 2013 di kediaman MH, Pukul :
82
perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap hadis yang
dimaksud berikut:
، ِ ‫ اﺻِ ﻼَت‬،َ ‫َﺎت ِْﻮ‬
‫ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ‬
‫اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ‬
َ ‫ اﻟْﻮ َ و‬:ُ َ‫ﻗَﺎل‬
‫ َ اﷲ‬،‫اﷲِﻦ‬
َ ‫ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ‬
... ،‫ و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ‬،ِ‫ﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ‬
“Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato
dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata
(hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah
ciptaan Allah Swt……. “(H.R. Muslim)”.
Artinya bahwa Ulama terdahulu sepakat kalau mencukur alis itu
hukumnya haram. Tetapi zaman sekarang ini yang namanya mencukur
alis sudah menjadi kebiasaan di masyarakat sehingga mengakibatkan
hukum itu kalah dengan kebiasaan. Menurut saya mencukur alis itu
hukumnya haram apapun alasannya.103
2. Pendapat Perempuan di kota Palangka Raya tentang Hukum Mencukur
Alis (Perempuan yang Pernah Mencukur Alisnya dan Pegawai Salon)
a.
Subjek VIII
Nama
: YN
Umur
: 28 Tahun
Alamat
: Jl. Pilau
Pendidikan
: SMK
Pada tanggal 05 Agustus 2013, penulis mendatangi YN di Salonnya
dan langsung bertemu YN yang sedang melayani pelanggannya. Berikut
103
Wawancara dan observasi dengan ABA, Tanggal 08 Agustus 2013 di kediaman ABA,
Pukul : 16.15 WIB.
83
hasil wawancara dengan YN tentang alasan dilakukannya cukur alis di
salonnya:
“Tujuan mencukur alis supaya wajahnya cantik, kan biasanya antara
orang biasa dengan penganten beda mukanya karena sudah dirias.
Kalau menurut adat banjar supaya wangas atau kelihatan bungas pada
saat acara pernikahannya, biasanya pelangggan yang mencukur alis
adalah ibu-ibu atau yang sudah menikah biasanya yang muda-muda
juga mencukur alis, artinya tidak terbatas pada orang yang hanya ingin
menikah saja.
Masalah hukum ini kebebasan masing-masing orang kan, pernah ay
mendengar katanya tidak boleh mencukur alis, tapi kalo sedikit
perasaanku boleh ja, kalau yang sudah menikah pasti tujuannya
mempercantik diri untuk suami, kalau yang belum menikah niatnya
kurang tau juga lah, mungkin untuk laki-laki yang lain.
Biasanya kami mencukurnya sedikit saja, istilahnya sebatas merapikan
saja kalau yang dikerik sampai habis belum pernah kami lakukan.
Kalau menurut orang banjar biasanya mencukur alis hanya sebagai
adat melapas bujang. Adat masing-masing tergantung orangnya
mungkin ada bacaan khususnya, tapi saya kurang tahu”.104
b. Subjek IX
Nama
: NS
Umur
: 18 Tahun
Alamat
: Jl. Pinus
Pendidikan
: SMK
Pada tanggal 05 Agustus 2013, penulis mendantangi salon Nufus dan
bertemu dengan pemilik salon yakni ibu dari NS, namun karena beliau
sibuk bersiap akan berangkat ke suatu acara, maka penulis disuruh
melakukan hanya wawancara dengan anak beliau yakni NS. Berikut hasil
104
08.00 Wib.
Wawancara dan observasi dengan YN, Tanggal 05 agustus 2013 di Salon Ceria, Pukul:
84
wawancara yang penulis lakukan dengan NS tentang hukum mencukur
alis:
“Salon ini melayani jasa mencukur alis, biasanya yang datang ke sini
bebas, ada yang muslim ada yang kristen. Selain melayani jasa
perawatan kecantikan, salon ini juga melayani tata rias pengantin,
biasanya orang yang hendak menikah memang dicukur alisnya, tapi
tergantung masing-masing orang, ada yang mau dicukur alisnya ada
juga yang tidak mau, jadi kami melakukan sesuai dengan permintaan
orang. Karena memang kalau yang muslim ada juga yang fanatik
dengan agama dia minta agar alisnya tidak dicukur pada saat dirias,
tidak jarang menemui orang yang seperti itu, baru-baru ini juga ada
yang tidak mau alisnya dicukur padahal alisnya lebat sekali dan sulit
didandani, tapi yaa karena sudah kemauan orangnya begitu, kita tidak
bisa memaksa juga dan akhirnya riasannya biasa-biasa saja. Jadi
sebelum dirias biasanya kami tanya dulu apa boleh dirapikan atau
tidak alis yang bersangkutan.
Masalah hukum mencukur alis ini, kebetulan saya juga dulu sekolah di
Madrasah, jadi pernah tahu dan diajarin bahwa hukumnya tidak boleh,
tapi kalau dalam hal tata rias pengantin inikan membentuk hasil rias
yang bagus itu dari alisnya, kalau alisnya bagus wajahnya akan terlihat
sempurna, tapi kalau alisnya tidak bagus, tidak rapi maka akan terlihat
kurang cantik.
Dalam adat orang banjar memang ada biasanya kegiatan mencukur alis
dan katanya ada bacaan tertentu, tapi saya kurang tahu apa bacabacaannya, pokoknya supaya terlihat wangas105 kata orang banjar
kalau dalam bahasa Indonesia supaya terlihat berseri. Kami mencukur
alisnya paling diujung-ujung saja dan belum pernah mencukur sampai
habis. Tujuan dicukur alis itu untuk mempercantik diri saja, Tetatpi
juga supaya alisnya agak berbentuk”.106
105
Bahasa Banjar artinya terlihat lebih cantik dari biasanya.
106
Wawancara dan observasi dengan NS, Tanggal 05 Agustus 2013 di Salon Nufus Pukul:
07.00 Wib.
85
c.
Subjek X
Nama
: RA
Umur
: 25 Tahun
Alamat
: Jl. Tilung Induk
Pendidikan
: SMK
Pada tanggal 25 Juli 2013, penulis mendatangi RA di rumah kediaman
mertuanya setelah shalat tarawih, sebab dari pagi hingga sore RA sibuk
bekerja di salon, sehingga malam hari baru bisa ditemui. RA adalah
perempuan yang di satu sisi RA sebagai pegawai salon dan sisi lain RA
juga adalah salah seorang perempuan yang mencukur alisnya untuk
kecantikan. Berikut hasil wawancara dengan RA mengenai hukum
mencukur alis:
“Di salon tempat saya bekerja itu biasanya kebanyakan melayani make
up untuk para undangan pengantin dan memang mencukur alis itu
kemauan mereka sendiri. Biar tidak berias, yang datang sekedar ingin
mencukur alis juga banyak yang merapikan alis juga ada, intinya
tergantung permintaan mereka yang datang ke salon kami. Memang
ada sebagian orang yang tidak mau dicukur alisnya yaitu yang belum
kawin, tapi kebanyakan ibu-ibu atau yang sudah menikah biasanya
minta alisnya dirapikan. Memang pernah mendengar tentang hukum
mencukur alis, tapi kurang tahu hukumnya gimana. Menurut aku
pribadi boleh-boleh aja mencukur alis selagi banyak orang yang
melakukannya, biasanya ibu-ibu haji masih ada juga yang becukur
alisnya, jadi tetap jalan terus mencukur alisnya. Kecuali memang
sudah tidak ada lagi yang mencukur alis, baru saya tidak
melakukannya lagi, sudah biasa dari sebelum kawin saya juga
mencukur alis, seperti menjadi ketagihan, kalau sudah mencobai sekali
pasti ke depannya mau mencukur alis lagi. Kalau alis itu dicukur
ataupun dibentuk kelihatan bagus secara fisik. Kalau menurut orang
banjar perempuan yang belum kawin jangan mencukur alis, tapi kalau
yang sudah kawin boleh saja mencukur alis dan tujuan alis dicukur
86
supaya kelihatan wangas107nya dalam artian terpancar auranya,
nampak berseri-seri pada saat resepsi pernikahannya. Zaman sekarang
tidak memandang yang hendak kawin atau tidak, soalnya sudah
menjadi kebiasaan banyak orang yang belum kawin, anak-anak SMA
sudah banyak yang mencukur alis”.108
d.
Subjek XI
Nama
: TS
Umur
: 45 Tahun
Alamat
: Jl. Mahir Mahar
Pendidikan
: Sekolah Tata Rias
Pada tanggal 18 Juli 2013, penulis mengunjugi salon desty yang
sekalian rumah (ruko) TS, namun penulis tidak bertemu dengan TS karena
menurut keterangan dari anak TS beliau sedang keluar, namun beberapa
jam kemudian TS kembali dan bersedia diwawancarai, berikut adalah
hasil wawancara penulis dengan TS:
“Kalau untuk merias penganten biasanya memang selalu aku cukur
alisnya, supaya bisa dibentuk dan gampang dirias, tapi kalau yang
sebatas datang ke salon ingin mencukur alisnya juga dilayani. Dalam
hal mencukur alis untuk penganten tidak sampai habis juga
dicukurnya, paling tidak dirapikan untuk dibentuk saja dan hal ini
memang termasuk dalam aturan tata rias penganten, artinya memang
dianjurkan alis itu dibentuk agar terlihat rapi dan cantik supaya tampil
beda dengan orang yang belum menikah.
Kalau masalah hukumnya, memang ada yang mengatakan tidak boleh,
tapi mau bagaimana lagi, mencukur alis ini sudah menjadi aturan dan
107
Bahasa Banjar artinya terlihat lebih cantik dari biasanya.
108
Wawancara dan observasi dengan RA, Tanggal 25 Juli 2013 di Kediaman RA, Pukul :
21.00 Wib.
87
kebiasaan masyarakat itu sendiri, jadi susah untuk dihilangkan. Karena
titik paling penting dalam tata rias adalah bagian alis orang, kalau
seorang pengaten alisnya itu tidak mau dicukur, tidak mau dirapikan
sama saja tidak ada bedanya dengan orang biasa, akhirnya
dandanannya biasa-biasa saja, seperti bukan orang yang lagi nikahan,
kalau begitu lebih baik merias diri sendiri saja tidak perlu perias
penganten segala. Seorang perempuan akan terlihat cantik dari hasil
riasan alisnya, biarpun dia memakai make up mahal ataupun yang
bagus, tapi kalau orangnya biasa-biasa saja dan alisnya juga tidak
dibentuk, percuma saja dirias, karena kurang terlihat cantik jadinya.
Lagi pula kalau misalnya perias penganten tidak diperbolehkan
mencukurkan alis dengan alasan adanya hukum agama yang melarang,
harusnya tidak boleh aja sekalian bulu-bulu halus yang ada diwajah
dihilangkan, karena kan katanya melanggar hukum. Tapi memang
sulitkan zaman sekarang ini, kadang hukum agama bisa kalah dengan
adat yang ada di masyarakat. Jadi menurut aku boleh saja alisnya
dicukur untuk dirapikan, supaya menghasilkan riasan wajah yang
bagus dan tampil beda saat acara pernikahan penganten tersebut”.109
e.
Subjek XII
Nama
: MT
Umur
: 62 Tahun
Alamat
: Jl. Dr. Murdjani
Pendidikan
: Sekolah Khusus Tata Rias
Pada tanggal 07 Juli 2013, penulis mendatangi salon rizky namun
tidak bertemu dengan MT, menurut keterangan dari suaminya MT sedang
ke pasar dan baru berangkat, akhirnya penulis pulang. Pada tanggal 13 Juli
2013 penulis kembali mengunjungi salon rizky dan berhasil bertemu
109
Wib.
Wawancara dan observasi dengan TS, Tanggal 18 Juli 2013 di Salon Desty, Pukul : 09.30
88
dengan MT, berikut adalah hasil wawancara oenulis dengan MT tentang
mencukur alis:
“Kalau salon biasanya membolehkan alis itu dicabut, padahal kalau
dicabutkan alisnya akan lama tumbuhnya selain tidak boleh juga
berbahaya kalau terkena urat mata bisa menyebabkan mata kabur, lalu
diarahkan ke hukum Islam menghilangkan alis itu tidak
diperbolehkan, karena memang ada ayat yang melarangnya. Jadi kalau
ingin bagus alis itu dipotong, kalau mau terlihat cantik. Istilahnya
dicukur agar terbentuk alisnya dan terlihat cantik dan beda lalu
akhirnya make up jadi tinggi dan riasannya bagus. Pernah juga saya
menemui perempuan berjubah, dia tidak mau alisnya dicukur, tamu
undangan pisah antara laki-laki dan perempuan, tidak boleh pakai
musik, yaa ini tergantung pada masing-masing orang ja, kalau
agamanya yang kuat memang tidak mau alisnya dicukur, bahkan bagi
laki-laki yang melarang istrinya mencukur alis, jujur saya acungkan
jempol karena sudah menjalan perintah agama. Kalau aku jujur ja
dicukur alisku ni, supaya bagus dan suamiku senang melihat
dandananku, kata suamiku kelihatan lebih muda aku ni. Jadi boleh ja
mencukur alis tu menurut aku”.110
f.
Subjek XIII
Nama
: BA
Umur
: 43 Tahun
Alamat
: Jl. Rindang Banua
Pendidikan
: Sekolah Khusus Tata Rias
Pada tanggal 06 Juli 2013, penulis berkunjung ke kediaman BA,
kebetulan BA berada dirumah dan baru selesai mengerjakan shalat ashar.
Penulis langsung memberikan beberapa pertanyaan seputar penelitian
110
Wib.
Wawancara dan observasi dengan MT, Tanggal 07 Juli 2013 di Salon Rizky, Pukul: 10.00
89
penulis tentang hukm mencukur alis dan berikut adalah hasil wawancara
penulis dengan BA:
“Setiap merias memang selalu dicukur alisnya, dengan tujuan tampak
beda pada acara pernikahan si penganten. Menurut saya kalau sebatas
merapikan saja itu tidak apa-apa, tapi jika dicabut atau dikerik habis
itu baru yang haram, karena merupakan perbuatan merubah ciptaan
Allah Swt, apalagi sampai dilapis dengan tato segala atau pakai obatobatan yang berbahaya setelah alisnya dikerika habis, itu yang tidak
diperbolehkan. Jadi kalau hanya sebatas merapikan sedikit saja yang
kami lakukan pada calon penganten itu biasa-biasa saja menurut kami.
Memang ada beda pendapat yang mengatakan tentang hukum
mencukur alis ini, ada yang memang mengharamkan. Kadang-kadang
memang ada juga orang minta rias dengan saya tapi alisnya tidak perlu
dicukur, yaa tergantun permintaan mereka saja, saya tidak berani juga
langsung mencukur alis tanpa persetujuan yang dirias tersebut. Pada
zaman sekarang kenyataan yang ada kan tidak hanya orang yang mau
nikah saja yang melakukan cukur alis, tapi anak-anak muda
perempuan juga banyak yang melakukan cukur alis ini. Jadi semuanya
tergantung pada niatnya masing-masing saja”.111
g. Subjek XIV
Nama
: NN
Umur
: 40 Tahun
Alamat
: Jl. Mendawai IV
Pendidikan
: Sekolah Khusus Tata Rias
Pada tanggal 19 Juni 2013, penulis mendatangi kediaman NN dan
berhasil bertemu serta mewawancarai NN, berikut adalah hasil wawancara
yang penulis lakukan:
111
15.30 Wib.
Wawancara dan observasi dengan BA, Tanggal 06 Juli 2013 di kediaman BA, Pukul :
90
“Masalah mencukur alis ini sudah lumrah terjadi di masyarakat dan
bukan hal yang tabu lagi, bahkan tidak hanya di sini saja
dipermasalahkan, tapi seluruh Indonesia jua memperdebatkannya.
Sebelum merias aku selalu menanyakan kepada orang yang akan dirias
wajahnya, apakah boleh alisnya dicukur atau tidak, jadi tidak
sembarang asal potong alis orang. Apabila dia mau dicukur, kami
lakukan, tapi kalau tidak mau dicukur juga kami turuti, karena semua
tergantung pengguna jasa salon kami. Terkadang kami menjadi
kambing hitam saat yang kami lakukan bertentangan dengan hukum
agama, misalnya yaitu mencukur alis, karena ada sebagian yang
membolehkan dan adapula yang mengharamkannya, kami
menghormati itu semua, maka dari itu tidak sembarang potong alis
orang, tetapi ditanyakan terlebih dahulu, lagipula kami tidak
mencukurnya sampai habis, hanya sebatas memotong sedikit untuk
merapikan lalu dibentuk sehingga alis itu menjadi lebih bagus dan
tertata agar make up yang dipakai sesuai dengan wajah si penganten
tadi.
Berbicara masalah bagaimana hukum mencukur alis ini, kami
serahkan kepada masing-masing diri, kalau menurut kami kalau hanya
memotong sedikit itu tidak apa-apa asalkan jangan sampai dikerik
habis seperti sekarang yang sedang tren yakni sulam alis. Jika kegiatan
mencukur alis ini dikaitkan dengan adat yang terjadi di masyarakat,
saya rasa tidak terlalu sesuai lagi, sebab zaman sekarang mencukur alis
itu tidak sebatas dilakukan saat hendak melangsungkan pernikahan
seperti pada zaman dahulu lagi, tetapi lebih kepada kebiasan yang
lumrah dilakukan oleh masyarakat modern, selain itu kegiatan
mencukur alis tidak hanya dilakukan oleh yang hendak menikah tapi
juga dilakukan oleh anak-anak muda dewasa ini, jadi tidak cocok lagi
jika disangkut pautkan dengan adat”.112
h. Subjek XV
112
16.00 Wib.
Nama
: AA
Umur
: 22 Tahun
Alamat
: Jl. Wisata II
Wawancara dan observasi dengan NN, Tanggal 19 Juni 2013 di kediaman NN, Pukul :
91
Pendidikan
: MAN Model
Pada tanggal 15 Juni 2013, penulis mengunjungi AA ke kediamannya
sesudah shalat ashar, sebab dari pagi sampai jam 2 siang AA bekerja dan
baru bisa ditemui sekitar sore sampai malam, berikut adalah hasil
wawancara dengan AA:
“Setahu aku tujuan mencukur alis tu untuk mempercantik diri,
semalam waktu mau nikah alisku dicukur oleh periasnya, katanya
supaya mudah dibentuk alisnya, sudah 2x alisku ini dicukur, khusus
untuk acara nikahan saja, kalau sehari-hari sih tidak dicukur segala.
Selain itu tida dicukur sampai habis, hanya sebagiannya, sehabis
dicukur biasanya lama baru tumbuh sekitar 2 mingguan, sebenarnya
aku rasa kurang bagus juga setelah dicukur, mungkin karena tidak
terbiasa saja akunya dan aku sebenarnya tidak mau juga kemaren
alisku dicukur, tapi tuntutan dari make up riasan pengantin dan
sebagai kebiasaan pada lazimnya yang terjadi di masyarakat kami.
Kalau masalah hukum tentang larangan mencukur alis, aku belum
pernah mendengarnya, jadi mau saja aku kemaren alisnya dicukur oleh
perias penganten, seandainya aku memang tahu bahwa itu dilarang
dalam ajaran Islam tentu aku tidak melakukannya, karena kan kalau
melakukan berarti melanggar hukum Allah Swt”.113
i.
113
16.30 Wib.
Subjek XVI
Nama
: SH
Umur
: 50 Tahun
Alamat
: Jl. Pantung
Pendidikan
: SD
Wawancara dan observasi dengan AA, Tanggal 15 Juni 2013 di kediaman AA, Pukul :
92
Pada tanggal 20 Juni 2013, penulis mendatangi ke kediaman SH
sesudah shalat subuh, sebab pada waktu ada kerabat SH yang sedang
dirias untuk melangsungkan pernikahan pada hari itu, berhubung
penganten adalah seorang tuna wicara , maka SH lah yang mewakili untuk
diwawancarai, berikut adalah hasil wawancara penulis dengan SH:
“Kalau mencukur alis gunanya untuk mempercantik diri. Bagi yang
ingin menikah berarti tanda ampih bujang114 kalau menurut orang
Banjar atau biasanya disebut orang tradisi (adat). Biasanya mencukur
alis ini sewaktu ada acara saja, yaaa seperti acara pernikahan ini saja.
Kegiatan mencukur alis diluar keperluan untuk menikah biasanya
hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melanjutkan mencukur alis
sesudah pernikahan sampai seterusnya. Menurut keluarga kami boleh
mencukur alis hanya sekali saja, yakni waktu ingin menikah saja,
selain itu tidak juga di cukur sampai habis, hanya sedikit saja istilah
orang banjar syaratnya saja dan untuk sementara ada acara pernikahan
saja. Kalau masalah hukum agamanya, keluarga kami memang tahu
dari ceramah agama yang disampaikan oleh ustad-ustad di pengajian
bahwa ada hukum yang melarang mencukur alis, tapi kalau menurut
kami jika hanya sebatas merapikan dan hanya dibuang sedikit saja
alisnya tidak apa-apa, lain halnnya jika dikerik sampai habis, disulam
atau ditato itu yang tidak diperbolehkan dalam hukum Islam”.115
j.
Subjek XVII
Nama
: EI
Umur
: 25 Tahun
Alamat
: Jl. Dr. Murdjani
Pendidikan
: S1
114
Bahasa Banjar : Sudah tidak perawan (dalam artian telah besuami).
115
Wawancara dan observasi dengan SH, Tanggal 20 Juni 2013 di kediaman SH, Pukul :
05.40 Wib.
93
Pada tanggal 24 Juni 2013, penulis mengunjungi rumah EI. Penulis
memilih EI sebagai salah satu subjek penelitian, sebab EI baru saja
menikah beberapa waktu yang lalu dan EI mencukur alisnya. Berikut
adalah hasil wawancara penulis dengan EI:
“Sewaktu saya mau menikah kemaren alis saya memang dicukur oleh
perias penganten yang saya sewa, sebenarnya saya tidak ingin dicukur
alisnya, karena saya tahu bahwa dalam ajaran agama Islam perbuatan
itu dilarang dalam sebuah hadis, tapi apa boleh buat saya nurut saja
waktu disuruh alisnya dicukur, beliau tidak meminta izin terlebih
dahulu dan akhirnya saya pasrah saja, yaaaa sekali seumur hidup saja
bisik saya dalam hati, sebatas untuk acara nikahan saya ini. Kemaren
waktu dicukur itu banyak sekali, seingat saya lebih dari setengah alis
saya yang hilang, sampai sekarang saya merasa menyesal juga kenapa
tidak minta agar tidak dicukur alis saya, terlebih lagi saya mendapat
teguran dari keluarga saya karena melakukan cukur alis ini, tapi mau
bagaimana lagi sudah terlanjur, ibaratnya nasi sudah menjadi bubur.
Tapi ini yang pertama dan terakhir saya mencukur alis, selanjutnya
tidak akan saya lakukan lagi”.116
k. Subjek XVIII
Nama
: HH
Umur
: 28 Tahun
Alamat
: Jl. Jati Indah
Pendidikan
: SMA
Pada tanggal 05 Agustus 2013, penulis mengunjungi kediaman HH,
namun tidak bertemu dengan yang bersangkutan, karena menurut
keterangan dari orang tuanya HH pulang kampung ke martapura.
116
Wib.
Wawancara dan observasi dengan EI, Tanggal 24 Juni 2013 di kediaman EI, Pukul : 14.00
94
Kemudian penulis melakukan wawancara melalui handphone. Berikut
adalah hasil wawancara dengan HH:
“Kalau saya pribadi memang sudah sering melakukan cukur alis,
biasanya saya sebentar saja ke salon untuk mencukur alis dan
biayanyapun murah saja, sebab jika dilakukan sendiri pasti sulit, jadi
lebih baik ke salon sebentar untuk merapikannya kebetulan juga saya
punya teman yang memiliki salon dan tempatnya tidak terlalu jauh
dari rumah saya. Tujuan saya mencukur alis yaa untuk tampil cantik,
alis saya jadi rapi dan bagus dilhat oleh suami intinya untuk
menyenangkan suami saya, kalau ditanya sering, yaaa lumayan sering,
karena kalau sudah mulai kurang baik dilihat atau tumbuhnya tidak
teratur, maka saya cukur ke salon.
Kalau bicara masalah hukumnya saya kurang tahu, kalau menurut saya
jika hanya merapikan alis kemudian dibuang sedikit saja itu tidak apaapa”.117
B. Pembahasan dan Analisis
1. Persepsi Ulama di kota Palangka Raya tentang Hukum Mencukur Alis
Mencukur alis bagi perempuan, khususnya di kota Palangka Raya bukan
hanya menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat, tetapi juga sebagai
bagian dalam ilmu Tata Rias Wajah sehingga bukan hal yang jarang untuk
ditemui. Hal ini apabila dilihat dari segi hukum Islam sebagaimana dikatakan
oleh Ulama di kota Palangka Raya pada umumnya merupakan hal yang
dilarang jika mencukur alisnya sampai habis, karena merupakan perbuatan
merubah ciptaan Allah Swt, sebagaimana dalam Alquran dijelaskan melalui
surah berikut:
117
Wawancara dan observasi dengan HH, Tanggal 05 Agustus 2013 melalui telepon seluler,
Pukul : 09.00 Wib.
95



    





    







118

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.119
Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa setan akan selalu menggoda
manusia dan berusaha untuk menjerumuskannya ke jalan yang sesat sehingga
mendapat azab dari Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt berikut:
  …
    
     
120
118
  
Ar-Rum [30] : 30.
119
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, Jakarta: Maghfirah Pustaka,
2006, h. 407.
120
An-Nisaa [4] : 119.
96
“Dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benarbenar mereka merubahnya ". barangsiapa yang menjadikan syaitan
menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita
kerugian yang nyata”.121
Kedua ayat Alquran tadi menjelaskan larangan merubah bentuk ciptaan
Allah Swt secara umum. Dalam memahami suatu hukum, hendaknya kita
menggunakan metode-metode yang telah banyak digunakan oleh para
mujtahid dan Ulama terdahulu untuk menemukan makna nas tentang suatu
hukum. Dalam kajian memahami hukum Islam terdapat beberapa pendekatan,
yakni pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh subjek penelitian yang
penulis jadikan sebagai sample penelitian, ternyata Ulama di kota Palangka
Raya berbeda pendapat dalam memandang hukum mencukur alis yang sering
dilakukan masyarakat ini, yakni ada dua golongan sebagai berikut:
a. Golongan Ulama Kontekstual di kota Palangka Raya
Setiap orang memiliki pendapat dan cara pandang berbeda-beda
terhadap segala sesuatu yang terjadi disekitarnya, oleh karena itu begitu
ulama menyikapi menanggapi peristiwa yang terjadi dimasyarakat. Ulama
kontekstual yang dimaksud adalah Ulama yang menyatakan pendapat
121
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 97.
97
tentang suatu hukum dengan cara melihat teks nash dengan realitas.122
Realitas tersebut meliputi realitas alam (realitas kauniyyah), realitas
sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima`iyyah) maupun realitas budaya
(thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan konteks "sebagai dua
sumber kajian" berada dalam satu wilayah yang saling berkaitan.123
Empat orang subjek penelitian yakni ZA, MA, GR dan MH, menyatakan
bahwa mereka sepakat jika menghilangkan alis dengan cara mencukur
sampai habis atau gundul itu hukumnya haram sesuai dengan hadis
berikut:
، ِ ‫ و َ اﻟْﻮ َ اﺻِ ﻼَت‬، ِ ‫َ اﻟْﻤ ُ ﺴ ْ ﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ َﺎت‬:‫ِ ﻗَﺎلَو‬،‫َﺎت‬
ِ‫ﻋَﻦُْ اﻟْﻮﻋََﺒ ْاﴰﺪِِ اﷲ‬
‫ﻌ َ ﻦ َ اﷲ‬
َ‫ﺰﱠﻓـَﺒ َ ﺎخَ ذَﻟِﻚ‬،‫ﻞﱠ‬
َ‫اﷲَِ ﻋ‬
‫ و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َو َ ﺟ‬،ِ‫ُ ﺘـَ ﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ‬
: ْ ‫ ﻓـَﻘَ ﺎﻟَﺖ‬، ، ُ ‫ ﻓَﺄَﺗـَﺘْﻪ‬، َ‫ ﺗـَﻘْ ﺮ َ أُ ﻗـُﺮ ْ آن‬:ْ‫ﻛَﺎﻧَﺖ ﺎ‬
ََ‫ﻘَ ﺎلُ ﳍ‬، َُ ‫ب‬
‫ ﻳـ‬،ْ ٍ‫ﺪ‬
‫َﲎ ِﻳـ َ أﻌَﺳْ َﻘُﻮ‬
‫َ أَةً ﻣِ ﻦ ْ ﺑ أُمﱡ‬
، ِ ‫ و َ اﻟْﻤ ُ ﺘـَ ﻨَﻤﱢﺼ َ ﺎت‬، ِ ‫ِ َﺎت ِ و َ اﻟ ﺑـْﻤَُ ﻠَﺴ ْ ﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ َﺎت ِ ؟ و َ اﻟْﻮ َ اﺻِ ﻼَت‬
َ ‫ْﻌ َ ﻦ ُ ﻣ َ ﻦ ْ ﻟَﻌ َ ﻦ‬:‫ﺎلَ أَﻟ‬
َ‫ﺎﱃَﱄ؟ ِﻓ ْـَﻘَ ﻻ‬
‫ـَﻌ َﻣ َ ﺎ‬
َ ‫ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴوَْ اﻦِﻟ اْﻤﻟ ُْﻤ ﺘُـَﻐَﻔَﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﺗو‬
‫ـَﺮ َ أْت ُ ﻣ َ ﺎ‬
: ‫َﺖ ْﻗ‬
ْ‫َﻘَﺪ‬
‫ و َ ﻫُ ﻮ َ ﰱ ِ ﻛِ ﺘَﺎبِ اﷲِ ﺗـَﻌ َ ﺎﱃَ ؟ ﻟﻗَﺎﻟ‬، َ ‫ﻋَ ﻠَﻴ ْ ﻪِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ‬
‫ ﰒُﱠ‬، ِ‫ْﺗِ ﻴ ْ ﻪِ ﻟَﻘَﺪْ و َ ﺟ َ ﺪْ ﺗِ ﻴ ْ ﻪ‬:‫ﺎلَأ‬
َ ‫ِ ﻓ ﻗـَﻘَـَﺮ‬،‫ﻛُﻨْﺖ‬
َُ‫ﺪْ ﺟﺗُﻪ‬
َ ‫َﺌِﻦﺎ!ْو‬
ِ‫ﻒ‬
َ ‫ﻓَﻤ‬
‫اﷲِ َ ﻟ‬
‫َﲔ ْ َ ﻟَﻮ ْ ﺣ َ ﻲ ْ اﻟْﻤ ُو َﺼ ْ ﺤ‬
َ ‫ َى ﺑـ َ ﻌ ْﺾ‬:‫َﺖ ْأَر‬
‫إِﱏﱢ‬
‫ﻗَﺎﻟ‬
(‫ﺬُو ْ) ﻩ ُ و َ ﻣ َ ﺎ ﻧـَﻬ َ ﺎﻛُﻢ ْ ﻋَ ﻨْﻪ ُ ﻓَﺎْﺗـَﻬ ُ ﻮ ْ ا‬
َ‫ـَﺮ َ أ‬
ُ‫ﻓَﺨ‬
‫ﺮﱠﺳ ُ ﻮ ْ لُ ﻗ‬
‫ﻣ َ ﺎ‬: َ‫ ﻓـَﻘَ ﺎل‬، ْ ‫ﻠَﺖﺮ َْﺟ َ ﺖ‬
َ‫ ﻓَﺪَﰒُﱠﺧَﺧ‬،‫ﻠِﻰ ﻓَﺎﻧْﻈُﺮِي‬
: َ‫ﻗَﺎل‬
ُ‫ﻓَﺎدْﺧ‬
، َ‫ﻫَ ﺬَا ﻋَ ﻠَﻰ اﻣ ْ ﺮ َ أَﺗِﻚ‬
.‫ ﺎﻛَﺎﻧَﺖ ْ ﻣ َ ﻌ َ ﻨَﺎ‬:َ ‫ﻛَﺎنَﺎلَﻣ‬
َ‫ ﻓـَﻘ‬، ُْ‫ْﺖَﻮ‬
‫ ﻟ‬:‫َﺖَ ْأَﻳ‬
‫ـَﻘَ ﺎﻟ ر‬
َ ‫ر َ أَﻳ ْﺖ ِ ؟ ﻓ ﻣ‬
122
123
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, h. 26.
http://alimtiaz.wordpress.com/2012/04/14/bayani-sebagai-sebuah-epistemologi-ilmudalam-islam/ (Diunduh Minggu 06 Oktober 2013 Pukul: 20.05 Wib).
98
“Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat
tato dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis
mata (hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan
merubah ciptaan Allah Swt. Hadis ini kemudian didengar oleh
seorang perempuan dari Bani Asad, biasa dipanggil Ummu Ya’kub
yang saat itu sedang membaca Alquran. Dia pun mendatangi
Abdullah dan bertanya , “Aku mendengar kabar bahwa kamu
melaknat orang yang membuat tato, orang yang minta dibuatkan
tato, orang yang menyambung rambutnya, orang yang mencabut
alis matanya, orang yang merenggangkan giginya utntuk
keindahan, dan orang yang merubah ciptaan Allah?”
Dia Menjawab, “Bagaimana aku tidak melaknat orang yang
telah dilaknati Rasulullah Saw dan itu dinyatakan dalam
Alquran?”
Ummu Ya’qub berkata, “Aku Telah banyak membaca Alquran
tetapi aku tidak menemukan (penjelasan hal itu)? ”Dia menjawab,
“Demi Allah, Jika kamu membacanya secara lebih teliti maka kamu
akan mendapatkannya yaitu: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…” (Qs. Al Hasyr [59]:7.
Ummu Ya’qub berkata, “Aku melihat hal itu ada pada istrimu.
”Dia menjawab, “Masuk dan lihatlah. ”Ummu Ya’qub pun masuk,
kemudian keluar lagi. Abdullah lalu bertanya, “Apa yang kamu
lihat? ”Ummu Ya’qub berkata, “Aku tidak melihatnya (melakukan
hal yang dilarang).” Abdullah berkata, “Jika dia (istri saya)
melakukan hal itu maka dia tidak akan bersamaku. “(H.R.
Muslim)”.124
Dalam hadis di atas memang dituliskan secara jelas bahwa
mencukur alis itu dilarang dengan adanya kata “Laknat Allah Swt”.
Tetapi karena ladang ibadah seorang istri adalah suami, dari sini maka
hendaknya apa yang dia lakukan pada dirinya adalah semata-mata demi
suami termasuk berhias dan mempercantik diri, jika niat istri dalam
124
Imam Abu Husein Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Juz III,
Terj. Adib Bisri Musthofa dkk, Jakarta: CV. Asy-Syifa, 1993, h. 923-924.
99
berhias adalah demi suami maka hal tersebut bernilai ibadah, di samping
itu istri tidak akan memperlihatkan perhiasan dirinya kepada orang lain,
karena dia memang berhias hanya untuk suami semata bukan untuk orang
lain. Dalam menyikapi hadis dan menyatakan pendapatnya masingmasing, dapat dilihat bahwa hadis tentang larangan mencukur alis tidak
serta merta mutlak haram, tetapi masih bisa dikaji lebih mendalam
melihat kepada keadaan yang dikaitkan dengan nash-nash lain.
Sebagaimana yang diungkapkan ZA bahwa mencukur alis itu
dibolehkan bagi yang sudah bersuami dengan catatan mengantongi izin
dari suaminya dan mencukur alis termasuk salah satu perbuatan menjaga
kebersihan, karena fungsinya untuk merapikan sesuai hadis Rasulullah
Saw:
... ِ ‫اﻹ ْر ُ ِ ﯾﻣ َﺎن‬
ْ ‫اﻟط ﱡ ﮭُور ُﺷ َط‬
…
“…..Suci itu adalah separuh dari iman…”
Dari pendapat yang dikemukakan, ZA menggunakan metode
kontekstual dalam memahami hukum islam, yakni beliau melihat hukum
melalui teks dan realitas yang ada dengan menggabungkan keduanya
dengan kata lain menalar secara kontekstual,
artinya memang
mengharamkan jika digundul habis, namun menjadi boleh dengan melihat
keadaan, yakni bagi seorang perempuan yang telah bersuami. Beliau
100
menyikapi suatu hukum yang terkandung dalam suatu hadis tentang
larangan mencukur alis dikaitkan dengan realitas bahwa mencukur alis
yang dilakukan oleh masyarakat di kota Palangka Raya masih belum
sampai kepada perbuatan haram seperti apa yang dimaksud merubah
ciptaan Allah Swt. Dalam mengeluarkan pendapatnya ZA mengaitkan
dengan ayat dan hadis-hadis tentang kebersihan sebagaimana yang telah
penulis sampaikan di awal bab ini sesuai dengan hasil wawancara dengan
ZA, jadi ZA tidak hanya melihat dari satu ayat atau nash saja untuk
menyatakan persepsinya terhadap suatu hukum dan disesuaikan dengan
keadaan suatu masyarakat tertentu. Kemudian ZA juga mengungkapkan
bahwa sebenarnya mencukur alis sudah dilakukan oleh masyarakat
terdahulu sebagai bagian dari adat, ZA menyikapi hal tersebut sebagai
suatu warisan yang memang melekat pada diri masyarakat tertentu,
selama tidak mencukur sampai habis, maka tidak apa-apa, karena segala
sesuatu dalam bentuk adat yang baik maka bisa dijadikan pertimbangan
hukum juga, sebagaimana kaidah ushul fikih berikut:
ُ ◌‫ﳏَُﻜﱠﻤ َ ﺔ‬
ُ ‫اﻟ ْﻌ َ ﺎد َ ة‬
“Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum”.125
125
Ibid., h. 9.
101
Kemudian pendapat GR mengenai hukum mencukur alis, beliau
mengikuti pendapat Ulama terdahulu, yakni hukumnya haram jika belum
bersuami, yakni hanya untuk mempercantik diri ditujukan kepada yang
bukan mahramnya, tetapi hukumnya menjadi sunnah bagi yang telah
bersuami, serta jika memang mencukur alis digunakan sebagai bagian
dari prosesi untuk melaksanakan pernikahan hukumnya juga boleh. Hal
ini didasarkan kepada hadis yang membahas tentang bolehnya seorang
istri berhias demi menyenangkan suami yang hukumnya sunnah jika
membahagiakan suami. Dari pendapat GR ini dapat dilhat bahwa GR juga
menggunakan pola pikir burhani dalam memahami suatu hukum dengan
lebih melihat kepada teks hadis dengan realitas keadaan masyarakat,
artinya hadis yang diterima tidak langsung dipahami keharaman secara
mutlak, tetapi disesuaikan dengan melihat keadaan dan perbuatan yang
dilakukan oleh masyarakat, dengan demikian GR mengannggap
kebiasaan perempuan mencukur alis itu hukumnya boleh. Jadi mencukur
alis sebatas merapikan dan mempercantik diri untuk menyenangkan
suami hukumnya boleh, bahkan menjadi sunnah. Kemudian GR juga
melihat kepada manfaat dari mencukur alisnya seorang istri guna
membahagiakan suami, yang mana bertujuan agar terciptanya rumah
tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Sedangkan pendapat MA yang telah diungkapkan sebelumnya
bahwa dia menyikapi hadis tentang hukum mencukur alis dikaitkan
102
dengan kebiasaan masyarakat di kota Palangka Raya, yakni menggunakan
pola pikir burhani juga dengan melihat teks hadis dan keadaan
masyarakat di kota Palangka Raya sendiri bahwasanya mencukur alis
sudah menjadi kebiasaan dan dia membolehkan asal jangan sampai
mencukur lebih dari setengah alis yang dimiliki, artinya masih ada batas
maksimal dan minimumnya, yakni menetapkan hukum sesuai dengan
batas perbuatan. Jadi batas maksimalnya alis seseorang boleh dicukur
adalah kurang dari setengah alis, sedangkan batas minimalnya adalah
sekedar merapikan artinya hanya mencukur sedikit saja, yakni beberapa
helai alis saja, sehingga tidak terlihat seperti alis yang sudah dicukur.
Kemudian yang terakhir adalah pendapat dari MH, beliau
menyatakan bahwa mencukur alis jika sebatas merapikan hukumnya
boleh, dalam hal ini MH mendasarkan kepada hadis tentang bahwa
sunnah hukumnya membuat senang hati suami dengan cara seorang isteri
menghias diri sebaik mungkin dihadapan suaminya. Dilihat dari
pendapatnya, dapat dipahami bahwa pola pikir yang digunakan oleh MH
adalah metode burhani, yakni memahami teks dan realitas yang terjadi di
masyarakat.
MH
juga
mengungkapkan
bahwa
sesuai
dengan
perkembangan zaman suatu hukum bisa bergeser dengan adanya kejadian
yang terjadi sesuai dengan zamannya masing-masing. Menurut MH
bahwa asbabul wurud tentang hadis yang melarang mencukur alis pada
masa jahiliyah adalah karena pada waktu itu perempuan mencukur
103
alisnya untuk memikat lawan jenis dengan pergi ke tempat-tempat
maksiat serta juga dikhawatirkan jika mencukur alis akan menjadi mirip
dengan laki-laki, sehingga muncullah larangan mengikuti ajaran kaum
jahiliyah secara historis. Sedangkan zaman sekarang orang mencukur alis
dilakukan untuk acara pernikahan yang memang acara tersebut adalah
kegiatan yang baik serta jika dalam acara pernikahan tidak terlihat seperti
laki-laki, artinya jelas memang perempuan. Kemudian zaman sekarang
ibu-ibu mencukur alisnya untuk hadir di acara yang baik, yakni majelis
ta’lim, pengajian dan arisan-arisan. Lebih lanjut menurut MH seandainya
seorang perempuan yang belum resmi menikah atau baru akan
melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat, jika dia telah meminta
izin kepada calon suaminya untuk mencukur alisnya maka juga
dihukumkan boleh sebab ada tujuan atau ada i’tikad baik dan ataupun
sudah pasti akan terlaksana pernikahan antara keduanya. Menurut MH
sebagai seorang suami, sebaiknya memberikan izin kepada si isteri jika ia
hendak mencukur alisnya, agar si istri tidak mendapat dosa karena
melanggar hukum Allah Swt dan suami juga bahagia melihat isterinya
tampil cantik dengan alis yang dirapikan sedikit. Perempuan dan laki-laki
diciptakan berpasang-pasangan agar bisa saling mengasihi dan saling
menyayangi. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Ar-Ruum [30] :
21 berikut:
104



   


  
    


126

 
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.127
Jadi jika seorang perempuan mencukur alisnya dengan tujuan untuk
merapikan, maka hukumnya boleh asalkan dengan catatan si perempuan
memiliki suami dan memperoleh izin dari suaminya untuk melakukan
cukur alis tadi. Sebab menurut mereka kenapa hal ini hukumnya menjadi
boleh karena perbuatan mencukur alis yang dilakukan oleh si perempuan
dengan tujuan menyenangkan hati suaminya dirumah bukan untuk
mempercantik diri agar memikat laki-laki lain selain suaminya. Mereka
126
Q.S. Ar-Ruum [30] : 21.
127
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 406.
105
mendasarkan kebolehan ini pada sebuah hadis yang artinya sebagai
berikut :
“Pada suatu hari dia berkunjung kepada Aisyah RA. Istri Abu Ishak
itu adalah seorang perempuan yang suka berhias. Dia berkata
kepada Aisyah, “Apakah seorang perempuan boleh mencabut bulu
disekitar keningnya demi suaminya?” Aisyah menjawab,
“Bersihkanlah dirimu dari hal-hal yang mengganggumu
semampumu.”
Dari penjelasan ke empat subjek di atas, penulis menarik
kesimpulan bahwa mencukur alis itu hukumnya boleh asalkan jangan
sampai mencukur atau menggundul alis tersebut sampai habis yang
kemudian diganti dengan pensil alis, apalagi jika mentato alis otomatis
hukumnya haram. Kemudian hukumnya sunnah bagi seorang perempuan
yang telah bersuami jika dia mencukur alis hendaknya diniatkan
mempercantik diri untuk menyenangkan suami dan dengan catatan
memperoleh izin dari suami.
b. Golongan Ulama Tekstual di kota Palangka Raya
Bayani (explanatory) secara etimologis mempunyai pengertian
penjelasan,
pernyataan,
dan
atau
ketetapan.
Sedangkan
secara
terminologis bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan
atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara
langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
106
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. 128
Metode bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang
terkandung dalam nash, namun sifatnya zhanni. Ijtihad disini hanya
memberikan penjelasan hukum yang pastu dari dalil nash itu.129 Dari
penjelasan tentang metode bayani, dapat ditarik kesimpulan bahwa
lapangan atau bahan penting ini adalah teks (nash), yakni Alquran dan
Hadis.
Tiga orang subjek penelitian yakni MN, AIA dan ABA menyatakan
bahwa mencukur alis itu hukumnya haram apapun alasan yang melatar
belakangi seorang perempuan mencukur alisnya tersebut. Dapat diihat
bahwa pendapat dari golongan Ulama berikut berbeda dengan golongan
Ulama sebelumnya yang mana mereka membolehkan alis perempuan
dicukur dengan catatan hanya sebatas merapikan dan ditujukan untuk
suami. Ketiga subjek ini menyatakan hukumnya tetap haram baik sedikit
apalagi banyak mencukur alisnya, karena menurut mereka perbuatan
tersebut sudah jelas-jelas merubah ciptaan Allah Swt sebagaimana firman
Allah Swt:
128
http://alimtiaz.wordpress.com/2012/04/14/bayani-sebagai-sebuah-epistemologi-ilmudalam-islam/ (Diunduh Minggu 06 Oktober 2013 Pukul: 20.05 Wib).
129
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 26.
107



…






130





 
“Dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka merubahnya ". barangsiapa yang menjadikan
syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia
menderita kerugian yang nyata”.131
Lebih lanjut lagi, MN menerangkan bahwa kita sebagai manusia
hendaklah taat pada atauran yang telah Allah Swt agar tetap berada pada
jalan yang benar, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt Q.S. AdzDzariyat [51] : 56 berikut:
   
  
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”.
Apa yang ada di dunia ini hanya sementara dan setan akan selalu
menggoda manusia untuk melakukan hal yang dilarang-Nya sampai
130
An-Nisaa [4] : 119.
131
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 97.
108
manusia itu tunduk pada perintah setan dan akhirnya berserikat
melakukan dosa-dosa, dalam sebuah ayat Allah Swt menerangkan tentang
sedikit saja manusia melanggar aturan Allah Swt berarti telah berserikat
dengan setan. Melihat dari pendapat golongan yang kedua ini bahwa
mereka menggunakan metode bayani, yakni memahami ayat atau hadis
tentang suatu hukum secara tekstual, artinya apa yang memang sudah
ditetapkan oleh Allah Swt ataupun Rasulullah Saw, maka itulah yang
dijadikan dasar hukum tanpa perlu mencari penalaran lebih lanjut untuk
mengungkap makna dari ayat atau hadis tersebut atau tanpa mengaitkan
dengan realitas yang terjadi di masyarakat sesuai dengan zaman masingmasing, seperti zaman sekarang ini.
2. Pendapat Perempuan di kota Palangka Raya tentang Hukum Mencukur
Alis (Perempuan yang Pernah Mencukur Alisnya dan Pegawai Salon)
Dalam skripsi ini, yang menjadi subjek utamanya adalah perempuan di
kota Palangka Raya, sehingga sangat penting untuk mengetahui alasan mereka
melakukan cukur alis dewasa ini. Oleh karena itu penulis juga mewawancarai
pegawai salon atau pemilik salon serta perempuan yang hendak menikah
ataupun yang pernah melakukan cukur alis guna menyenangkan suami.
Mereka memiliki alasan yang sama dalam memberikan penjelasan kenapa
melakukan kegiatan mencukur alis. Dalam hal ini TS menyatakan bahwa
alasan dia mencukur alis perempuan yang akan menikah adalah karena
109
mencukur alis adalah salah satu bagian dalam aturan Ilmu Tata Rias Wajah,
sehingga jika tidak cukur alisnya akan sulit untuk mendandani atau merias
wajah seseorang.132 Hal serupa juga dikemukakan oleh MT, BM, YN, NN,
RA serta NS, mereka menuturkan begitulah aturan yang digunakan dalam hal
periasan wajah yang didapat dari buku Ilmu Tata Rias Wajah dan Seminar
Kecantikan Nasional. Lebih lanjut mereka semua beralasan bahwa mereka
mencukur alis itu tidak sampai habis, hanya mencukurnya sedikit dan
sebagian besar mereka memang pernah mendengar bahwa ada sebuah ayat
dalam agama Islam yang melarang mencukur alis, tapi mereka menganggap
perbuatan yang mereka lakukan masih boleh-boleh saja. Berbeda halnya jika
mencukur alis sampai habis, dari tempat yang berbeda mereka sepakat bahwa
jika mencukur alis lalu diganti dengan tulis kening atau bahkan ditato segala
macam baru mereka katakan sebagai perbuatan yang dilarang dalam agama.
Dari penjelasan tentang alasan mereka ini, dapat dilihat bahwa yang
mereka lakukan hanya merapikan alis seseorang, tidak mencukurnya sampai
habis maka boleh-boleh saja dan apa yang mereka lakukan adalah membantu
perempuan untuk tampil lebih cantik, karena mencukur alis tidak mungkin
bisa dilakukan sendirian. Ditambahkan lagi oleh MT, jika mencukur alis
sampai habis apalagi dengan cara mencabutnya, maka akan berbahaya bagi
132
Wib.
Wawancara dan observasi dengan TS. Tanggal 18 Juli 2013 di Salon Desty, Pukul : 09.30
110
urat mata artinya menyakiti diri.133 Artinya para pemilik salonpun masih
memikirkan tentang akibat dan hukumnya dimata agama. Dalam ilmu
kesehatan pun mencukur alis sampai habis itu dilarang karena akan berbahaya
bagi diri manusia, sebab rambut alis berfungsi membantu menjaga
kelembaban yang keluar dari mata ketika seseorang berkeringat atau terkena
air hujan. Meskipun alis yang dimiliki seseorang tipis, ia tetap bisa melakukan
fungsinya dengan baik. Jadi Jika seseorang tidak memiliki alis atau
mencukurnya hingga habis dan diganti dengan tato akan membuat kondisinya
sedikit lebih sulit. Hal ini karena tidak ada yang menahan keringat atau air
hujan yang turun di wajah, padahal di dalam keringat terdapat kandungan
garam yang bisa menimbulkan iritasi pada mata sehingga menimbulkan
sensasi perih.134 Sungguh Islam adalah agama yang sangat melindungi dan
memikirkan tentang kemashlatan umat manusia di dunia dengan tidak
membiarkan melakukan perbuatan yang membahayakan diri. Hal ini sesuai
dengan kaidah fikih:
ُ‫أَﻟﻀﱠﺮ َ ر ُ ﻳـ ُ ﺰ َ ال‬
133
Wawancara dan observasi dengan MT, Tanggal 07 Juli 2013 di Salon Rizky, Pukul : 10.00
Wib.
134
http://health.detik.com/read/2011/01/05/082459/1539407/766/bahaya-mencukur-habis-alismata?l771108bcj Vera Farah Bararah – detikHealth, (Diunduh Rabu 11 September 2013, Pukul 20.05
Wib).
111
“Kemudhratan harus dihilangkan”.135
Kemudian para pegawai atau pemilik salon tidak sembarangan mencukur
alis orang yang akan melangsungkan pernikahan, tetapi meminta izin terebih
dahulu sehingga masih ada rasa saling mengahargai tentang rasa
keberagamaan satu dengan yang lainnya, artinya semua tergantung kebebasan
dan niat masing-masing orang untuk mencukur ataupun tidak dicukur alisnya.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih :
‫اﻷ ُﻣ ُﻮ ْ ر ُ ﺑ ِﻤ َ ﻘ َﺎﺻ ِ ﺪ ِ ھَﺎ‬
“Semua perkara itu tergantung pada tujuannya”. 136
Selanjutnya adalah pendapat dari perempuan yang pernah mencukur
alisnya, mereka meiliki alasan dan pendapat yang berbeda-beda kenapa
mencukur alis, seperti SH mengatakan bahwa mencukur adalah bagian dari
adat yang telah mereka lakukan sejak turun-temurun. Segala sesuatu yang
berkaitan dengan adat terkadang bisa menjadi sandaran hukum asalkan berasal
dari adat kebiasaan yang baik dan tidak melanggar aturan agama.
Sebagaimana bunyi kaidah fikih berikut:
135
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, h. 16.
136
Ibid,.
112
ُ‫ﳏَُﻜﱠﻤ َ ﺔ‬
ُ ‫اﻟ ْﻌ َ ﺎد َ ة‬
“Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum”.137
Sedangkan RA dan HH, mengaku bahwa mereka mencukur alis dalam
artian merapikannya adalah dengan tujuan untuk menyenangkan suami, tidak
ada niat untuk yang lainnya, artinya berdandan dan berhias dirinya mereka
diperuntukkan kepada suami masing-masing. Menyenangkan suami adalah
perbuatan yang baik, bahkan disunnahkan bagi perempuan untuk selalu
menyenangkan suami agar tercipta keluarga yang sakinah138, mawaddah139,
dan rahmah140.
137
Ibid., h. 9.
138
Sakinah secara harfiah berarti tenang atau tentram. Lihat Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam
Perspektif Islam (Studi terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di
Kota Padang), Cet. 1, Padang: Kementerian Agama RI, 2011, h. 64. Lihat juga Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, Cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 980.
Serta lihat pula Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Cet. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h.
201. Kata sakinah berarti ketenangan dan merupakan antonim dari kata kegoncangan. Sakinah bukan
sekedar apa yang terlihat pada ketenangan lahir seperti yang tercermin pada kecerahan raut wajah,
karena hal tersebut bisa muncul akibat keluguan, ketidaktahuan, atau karena kebodohan. Sakinah
terlihat pada kecerahan raut muka yang disertai dengan kelapangan dada dan budi bahasa yang halus
karena adanya ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati, serta bergabungnya
kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat. Lihat M.Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, Cet. 5,
Jakarta: Lentera Hati, 2007, h. 80-82.
139
Mawadah berasal dari kata al-waddu yang berarti cinta atau mencintai sesuatu. Ahsin
Sakha Muhammad sebagaimana dikutip oleh Ufatmi mengatakan bahwa mawadah lebih kepada cinta
yang bersifat fisik, yakni ketentraman dalam hubungan biologis. Lihat Ulfatmi, Keluarga Sakinah
dalam Perspektif Islam (Studi terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan
Perkawinan di Kota Padang), Cet. 1, Padang: Kementerian Agama RI, h. 65. Mawadah adalah jenis
cinta membara, perasaan cinta dan kasih sayang yang menggebu kepada pasangannya. Mawadah
adalah perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangannya, atau muncul karena
adanya sebab-sebab yang bercorak fisik. Seperti cinta yang muncul karena kecantikan, ketampanan,
kemolekan dan kemulusan fisik, atau muncul karena harta benda, kedudukan, pangkat, dan lain
113
Sebagian lagi yakni EI dan AA mengatakan bahwa mereka mencukur alis
hanya sebatas mengikuti aturan main dari periasnya, yakni dari pihak salon
sendiri, artinya memang bukan kemauan mutlak dari EI dan AA, ditambahkan
oleh AA bahwa dia kurang mengetahui tentang adanya larangan mencukur
alis ini. Dalam agama Islam segala perbuatan yang dilakukan tanpa sengaja
dan tidak tahu hukumnya, maka dimaafkan, yakni tidak mendapat dosa jika
melakukannya, karena dalam ketidak tahuan. Hal ini sesuai dengan firmanNya dalam Alquran berikut:
   …






 … 
sebagainya. Lihat Halaqoh TDJ, 2012, Makna dan Ciri Keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah,
http://halaqohtdj.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html, (Diunduh 13
September 2013 Pukul 20:15 Wib).
140
Rahmah berarti kasih sayang. Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap
berkorban untuk menafkahi dan melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih
condong pada sifat qolbiyah atau suasana batin yang terimplementasikan pada wujud kasih sayang,
seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, serta rasa rela berkorban, yang
terpancar dari cahaya iman. Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat
melangsungkan pernikahan adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta
bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Lihat Samsul Afandi, 2010, “Tips Merajut
Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah”, http://annajib.wordpress.com/2010/04/10/keluargasakinah-mawaddah-wa-rahmah/, (Diunduh 13 September 2013 Pukul 20:00 Wib). Lihat juga
Daryanto S. S., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo, 1998, h. 462.
114
“…Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu…”.141
Sedangkan EI mengaku mengetahui bahwa ada larangan mencukur alis,
tetapi ia tidak bisa menolak saat perias mencukur alisnya, karena tidak ada
minta izin terlebih dahulu, dari penjelasan EI dapat dilihat bahwa ia juga tidak
sengaja melakukannya.
Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan
Ulama dalam menyikapi atau mengeluarkan pendapat memang lumrah terjadi
dan tidak bisa dipungkiri. Perbedaan pendapat tidak terjadi sekarang saja,
tetapi juga terjadi pada zaman dahulu. Oleh karena itu hendaknya saling
menghormati perbedaan pendapat yang ada, sebab setiap orang memiliki cara
dan pendapatnya masing-masing dalam melihat suatu permasalahan hukum
yang ada.
Dalam hal kecenderungan pendapat, penulis memilih kepada pendapat
Ulama kontekstual, yakni menetapkan pendapat dengan cara menggabungkan
antara teks dan realitas yang mana Ulama kontekstual di kota Palangka Raya
menyatakan boleh hukumnya mencukur alis bagi perempuan yang telah
bersuami dengan catatan memperoleh izin dari suami serta tidak mencukur
alis tersebut sampai habis, artinya hanya sebatas merapikan saja.
141
Q.S. Al-Ahzab [33] : 05.
115
Selanjutnya pendapat perempuan di kota Palangka Raya tentang
hukum mencukur alis (baik yang biasa mencukur alis maupun yang dicukur)
terdapat berbagai macam alasan kenapa mereka mencukurkan alis dan kenapa
mau dicukur alisnya. Dari semua subjek, yakni perias penganten dan pemilik
salon pada intinya menyatakan bahwa mencukur alis hukumnya boleh, karena
hanya sebatas merapikan dan tidak dicukur sampai habis. Selain itu mencukur
alis adalah bagian dari Ilmu Tata Rias Wajah guna mempercantik penampilan
dan mengahasilkan riasan wajah yang bagus.
Kemudian dari pihak perempuan yang dicukur alisnya juga terdapat
pendapat yang bervariatif, ada yang beralasan sebagai bagian dari adat
istiadat, mengikuti arahan atau aturan dari perias wajah, kebiasaan dari muda
dan atau untuk menyenangkan suami. Mengenai pendapat perempuan yang
dicukur alisnya tentang hukum mencukur alis itu sendiri, ada yang
menyatakan boleh karena untuk mempercantik penampilan ataupun untuk
menyenangkan suami, ada juga yang tahu bahwa hukumnya tidak boleh, ada
pula yang sama sekali tidak tahu.
Dari penjelasan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku ataupun
kebiasaan yang berkembang dimasyarakat semua itu tergantung kebebasan
dan niat masing-masing orang. Manusia memiliki hak untuk berbuat dan
bertanggung jawab terhadap resiko dalam setiap perbuatannya di dunia ini.
Manusia juga memiliki akal, yang mana dengan akal tersebut manusia dapat
berpikir secara mendalam untuk memahami nash-nash Allah Swt. Begitu pula
116
dengan hadis tentang larangan mencukur alis ini, hendaknya dikaji secara
mendalam lagi tentang makna dan bagaimana pengaplikasiannya di zaman
sekarang ini, dalam artian setidaknya mencoba berijtihad, sebab pahala dari
berijtihad adalah apabia benar maka mendapat 2 pahala, tetapi jika salah maka
mendapat 1 pahala, artinya tidak ada yang sia-sia di mata Allah Swt jika
setiap manusia ingin berusaha. Turunnya hadis di tengah-tengah umat muslim
tentu saja tidak lepas dari asbabul wurudnya, sehingga memungkinkan adanya
pergeseran hukum dari haram menjadi boleh berdasarkan perbedaan waktu,
keadaan, tempat dan zaman.
117
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab terdahulu
maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari tujuh subjek Ulama yang penulis teliti, empat di antaranya sepakat
bahwa jika mencukur alis sampai habis hukumnya haram, tetapi jika sebatas
merapikan dan niatnya seorang istri berdandan atau berhias untuk
menyenangkan suami, maka hukumnya menjadi boleh bahkan salah satu
Ulama menyatakan sunnah, karena menyenangkan suami adalah perbuatan
yang dianjurkan dalam hadis. Keempat subjek tersebut ialah ZA, GR, MA
dan MH. Sedangkan tiga subjek Ulama lainnya yaitu MN, AIA dan ABA
menyatakan bahwa mencukur alis adalah perbuatan yang dilarang dan
hukumnya adalah haram, karena segala bentuk ciptaan Allah Swt tidak boleh
ditambah atau dikurangi, akan tetapi tetap pada bentuk aslinya.
2. Adapun pendapat dan alasan perempuan, baik yang berperan mencukur alis
ataupun yang dicukurkan alisnya dari masing-masing subjek cukup
bervariatif: TS, MT, BA, NN, RA, YN dan NS sebagaimana sesuai dengan
profesi atau pekerjaan, mereka melakukan cukur alis karena memang sudah
menjadi prosedur dalam Ilmu Tata Rias wajah yang mereka pelajari dan
mereka sepakat hukumnya boleh. Selanjutnya dari pihak perempuan yang
118
pernah mencukur alis pun juga bermacam-macam alasan: SH melakukannya
sebagai bagian dari adat istiadat sekali seumur hidup saat menjelang
pernikahan, AA dan EI mengaku mengikuti aturan perias pengantin bukan
dari keinginan mereka sendiri untuk mencukur alis, sedangkan RA mengaku
mencukur alis karena sudah menjadi kebiasaan pribadi sejak muda dan
sebelum menikah, kemudian HH untuk menyenangkan suami. Menurut SH,
RA dan MT mencukur alis hukumnya boleh-boleh saja, sedangkan EI
mengatakan haram, kemudian AA dan HH mengaku kurang tahu bahkan
tidak tahu tentang hukum mencukur alis.
B. Saran
Saran yang penulis kemukakan dalam pembahasan mengenai persepsi
Ulama dan perempuan di kota Palangka Raya tentang hukum mencukur alis
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Ulama kiranya dapat sering memberikan ceramah-ceramah kepada
perempuan tentang perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan
oleh perempuan, kenapa di titik beratkan kepada perempuan, karena
kebanyakan dari pihak perempuan lah yang sering mengikuti arus modernisasi
terutama dalam hal berhias dewasa ini.
2. Bagi para perempuan (khususnya yang telah bersuami), jika ingin mencukur
alis, sebaiknya meminta izin terlebih dahulu kepada suami dan jangan sampai
mencukurnya sampai habis, karena dalam ilmu kesehatan mencukur alis
119
sampai habis itu akan mendatangkan kemudharatan atau berbahaya bagi diri
manusia itu sendiri.
3. Bagi perempuan yang belum bersuami, hendaknya jangan mencukur alisnya,
karena lebih baik menjaga diri dan berhati-hati agar tidak melanggar hukum
Allah Swt.
120
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdus Salam Thawilah, Syaikh Abdul Wahhab, Fiqh al-Albisah wa al-Zinah, Terj.
Saefudin Zuhri, Jakarta: Almahira, 2007.
Abu Syuqqah, Abdul Halim Mahmud, Tahrir Al-Mar’ah fi Ashri Al-Risalah Juz IV,
Terj. Mudzakir Abdussalam, Bandung: Mizan, 1998.
Al Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud, Terj. Abd. Mufid
Ihsan dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Al-Barry, M. D. J, Kamus Ilmiah Kontemporer, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
Al-Bugha, Musthafa Dib, Syarah Riyadhush Shalihin Imam an-Nawawi Jilid 3,
Jakarta: Gema Insani, 2010.
Al-Ghazali, Imam, Ihya Ulumiddin Jilid 1, Terj. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy
Syifa’, 2003.
Al-Husainan, Khalid, Aktsar Min 1000 Jawab lil Mar’ah, Terj, Muhammad Isa
Anshory dan Afifatuz Zahiro, Solo: Media Zikir, 2008.
Al-Islami, Abdul Hamid Kisyik Al-Mukhtar, Bina’ Al-Usrah Al-Muslimah:
Mausu’ah Al-Zuwaj Al-Islami, Terj. Ida Nursida, Bandung: Al-Bayan,
1995.
An-Nawawi, Iman, Syarah Shahih Muslim (3), Terj. Wawan Djunaedi Soffandi,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Al-Qardhawi, Yusuf, Hadyu al-Islam: Fatawa Mu’adhirah, Terj. H.M.H. al-Hamid
al-Husaini, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000.
, Halal dan Haram Dalam Islam, Terj. H. Mu’ammal Hamidy, Surabaya:
PT. Bina Ilmu Offset, 2003.
Ath-Thabari, Abu Ja’Far Muhammad bin Jarir, Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al
Qur’an, Terj. Misbah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
121
An-Naisaburi, Imam Abu Husein Mslim bin Hajjaj Al-Qusyariri, Shahih Muslim Juz
III, Terj. Adib Bisri Musthofa dkk, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993.
Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Rawa’i‘il-Bayan Tafsirul-’Ayatil-Ahkami MinalQur’an, terj. Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan dengan judul
Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Jilid 2, Cet. 4, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2003.
Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, Palangka Raya daam angka 2012,
Palangka Raya: Badan Statistik Kota Palangka Raya, 2012.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003.
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahan, Maghfirah Pustaka, 2006.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta, 1993.
Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007.
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam (ringkas), Terj. Ghufron A. Mas’adi, Edisi 1, Cet 3,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Hafizh Ramadhan, The Colour Of Women: Mengungkap Misteri Wanita, Terj.
Kamran As’ad Irsyady (STP Sabda), Jakarta: Amzah, 2007.
Jalaluddin, Haji, Fiqh Remaja, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
MAFA, Abu Mujadiddul Islam dan Laliatus Sa’adah, Memahami Aurat dan Wanita,
Tnp Kota Penerbit: Lumbung Insani, 2011.
Mardjoned, Ramlan, KH. Hasan Basri 70 Tahun Fungsi Ulama dan Peranan Masjid,
Jakarta: Media Da’wah, 1990.
Milles dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UIP, 1992.
Muhammad, Afif, Islam “Mazhab” Masa Depan Menuju Islam Non-Sekterian,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Muhammad Al-Jamal, Ibrahim, Fiqih Wanita, terj. Anshori Umar Sitanggal,
Semarang: CV. Asy Syifa.
122
Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, Terj. M. Abdul Ghofur, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, Cet Ke-13, 2004.
Moeleong, Lexy, J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000.
Muslim, Imam Abu Husein bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Juz
III, Terj. Adib Bisri Musthofa dengan judul Terjemah Shahih Muslim
Jilid 3, Semarang: CV. Asy-Syifa’.
M. Z, Labib, Koleksi Hadits Nabi yang disepakati (Mutafaqun ‘Alaih) Bukhari dan
Muslim, Cet Pertama, Jawa Timur: Yayasan “Amanah”, 1997.
Mz, Labib dan Aqis Bil Qisthi, Risalah Fiqih Wanita “Menyingkap Tuntas
Permasalahan Wanita dalam Hukum Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits Serta Pendapata Para Fuqoha, Surabaya: Bintang Usaha Jaya,
2005.
Nurliana, Aina skripsi, Aurat dan Pakaian Wanita Dalam Perspektif Pemikiran
Syaikh ‘Abdul Wahab ‘Abdussalam Thawilah dan Quraish Shihab,
Palangka Raya Tahun 2011.
Qadir, Abdul, Data-Data Penelitian Kualitatif, Palangka Raya: Tanpa Penerbit, 1999.
Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999.
Rozak, H. A dan H. Rais Lathief, Terjemah Hadits Shahih Muslim Jilid 1, Cet ke-V,
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984.
S. S, Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo, 1998.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid
2, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 11,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
, Pengantin Al-Qur’an, Cet. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
123
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid, Shahih Fiqh As-Sunnah wa Adillatuhu wa
taudhih madzahib Al’Immah, Cet 2, Terj. Khairul Amru Harahap, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.
Salim, Amr Abdul Mun’im, Tsalatsuna nahyan syar’iyan lin-nisa’, Cet 1, Terj.
Amrozi M. Rais, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Subagyo, P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta 2010.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Syari’ah skripsi Hukum Mencukur Alis Bagi Wanita Untuk Kepentingan Berhias
Menurut Yusuf Qhardawi (Studi Kasus Di Kelurahan Bandar Selamat
Kec Medan tembung) Medan, Sumatra Utara, 2006.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009.
Sya’rawi, Muhammad Mutawwali, Fikih Wanita: Mengupas Keseharian Wanita Dari
Masalah Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Palangka Raya: STAIN Palangka Raya, 2007
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Delta Pamungkas, 1997.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Cet. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 2002.
Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Studi terhadap pasangan yang
Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di Kota Padang), Cet. 1,
Padang: Kementerian Agama RI, 2011.
Utsman, Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Cet. 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
124
Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Aktual: Jawaban tuntas masalah kontemporer, Jakarta: Gema
Insani Press, 2003.
Widi, Restu Kartiko, Asas Metodologi Penelitian (Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah
demi Langkah Pelaksanaan Penelitian), Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Yanggo, Hj. Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta Selatan:
Ghalia Indonesia, 2010.
, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, Bandung:
Angkasa, 2005.
Zakaria, Abu Maryam bin, Akthaa’ Taqa’u fiiha An-Nisaa’, Cet 1, Terj. Rifa’I
Usman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Elektronik:
Afandi, Samsul, 2010, “Tips Merajut Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah”,
dalam
http://annajib.wordpress.com/2010/04/10/keluarga-sakinahmawaddah-wa-rahmah/, (Diunduh 13 September 2013 Pukul 20:00 Wib.
Anik Faujiyah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama Mojokerto
Tentang Pewarnaan Rambut dalam http://digilib.sunan-ampel.ac.id
(Diunduh Sabtu 20 April 2013, Pukul: 19.15 Wib).
Ayi
Setia Budi, Definisi Persepsi dalam http://id.shvoong.com/socialsciences/psychology/1837978-definisi-persepsi/ (Diunduh Rabu 27 Feb
2013, Pukul: 21.57 Wib).
Dewi Kofsoh, Hadis-Hadis Tentang Tato (Telaah Ma’a<ni< al-Hadi<s) dalam
http://digilib.uin-suka.ac.id (Diunduh Kamis 18 April 2013, Pukul 19.15
Wib).
Faisal choir, Hukum Mencukur Alis Mata dan Menyambung Rambut dalam
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/02/hukum-mencukur-alis-mata-danmenyambung-rambut.html,. (Diunduh Minggu 21 April 2013, Pukul:
12.22 Wib).
http://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/13/02/19/mige9y-ingin-merapikanalis-bolehkah (Diunduh Minggu 21 April 2013, Pukul: 12.23 Wib).
125
Ika Istiawati , Analisis Hukum Islam Terhadap Jasa Suntik Hidung Dan Bedah
Hidung (Rhinoplasty) Di Salon Cantik Di Surabaya” dalam
http://digilib.sunan-ampel.ac.id (Diunduh Sabtu 20 April 2013, Pukul:
19.15 Wib).
Mustofiyah, Analisis Fatwa Yusuf Qardhawi Tentang Keharaman Wanita Berhias
Dengan Rambut Palsu dalam http://library.walisongo.ac.id (Diunduh
Sabtu 20 April 2013, Pukul: 21.03 Wib).
TDJ, Halaqoh, 2012, Makna dan Ciri Keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah,
dalam http://halaqohtdj.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-in-x-nonex.html, (Diunduh 13 September 2013 Pukul 20:15 Wib).
Yusuf Assidiq, Harian Umum Republika Pada Tajuk “Fikih Muslimah” edisi Jum’at
08
Januari
2010
dalam
http://salafytobat.wordpress.com/2011/10/18/fatwa-mufti-mesir-hukummencabutmencukur-bulu-mata-mencukur-kumis-halus-dan jenggot-bagiwanita/ (Diunduh Minggu 21 April 2013, Pukul; 12.42 Wib).
http://health.detik.com/read/2011/01/05/082459/1539407/766/bahaya-mencukurhabis-alis-mata?l771108bcj Vera Farah Bararah – detikHealth, (Diunduh
Rabu 11 September 2013, Pukul 20.05 Wib).
http://alimtiaz.wordpress.com/2012/04/14/bayani-sebagai-sebuah-epistemologi-ilmudalam-islam/ (Diunduh Minggu 06 Oktober 2013 Pukul: 20.05 Wib).
Software Kutub At-Tis’ah (Hadis-Hadis Riwayat 9 Imam).
Software Maktabah Syamilah, Cet 2.
Download