BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Customer Experiential Marketing
Schmitt (2003) menjelaskan Customer Experience Management yang
disingkat menjadi CEM secara singkat sebagai proses secara strategis dalam
memanajemeni pengalaman seutuhnya dari seorang konsumen dengan sebuah produk
atau sebuah perusahaan.
Ide CEM sendiri lebih dari sekedar Customer Relationship Management
(CRM). CEM akan berkoneksi dengan setiap detil ‘titik sentuh’ atau touch point dan
mengarah kepada integrasi elemen-elemen yang berbeda dari pengalaman konsumen.
Sebelum dan sesudah pembelian, CEM menyajikan nilai untuk konsumen dengan
menghantarkan informasi, layanan dan interaksi yang akan menghasilkan sekumpulan
pengalaman. Pada akhirnya, hal ini akan menciptakan kesetiaan konsumen dan
menambah nilai bagi perusahaan (Schmitt, 2003).
Namun dengan berkembangnya pengalaman ekonomi/economy experience
orang-orang kini mulai mencari cara dan metode baru dari pengalaman. Karenanya
ada sebuah kesempatan bagi perusahaan yang menapaki pengalaman ini dengan
menambahkan
dan
mengkombinasikan
komponen
dari
entertainment, the educational, the escapist dan the esthethic.
14
pengalaman:
the
15
Lebih lanjut Schmitt (2003) menjelaskan bahwa CEM juga merupakan
pendekatan integratif dengan perusahaan. Melihat ke dalam dan juga di luar
organisasi. Dengan keterlibatan karyawan yang akan mempengaruhi persepsi
konsumen terhadap perusahaan.
Banyak para pengambil keputusan dan para eksekutif di bidang pemasaran
memutar otak untuk mencari strategi dan metode terbaik untuk meningkatkan
layanannya dalam bentuk pemberian pengalaman yang dapat diingat sepanjang waktu
oleh para pelanggannya. Disediakannya buffet untuk hidangan pembuka/salad dan
hidangan penutup pada restoran, tidak lain bertujuan untuk mengijinkan pelanggan
terlibat dalam kegiatan penghidangan dan melakukannya sendiri sesuai dengan
keinginan pelanggan atas hidangan pembuka dan hidangan penutupnya.
Penjelasan berikutnya akan lebih menekankan kepada aspek CEM sebagai
sebuah interaksi pengalaman konsumen dengan produk dibandingkan kepada
perusahaan itu sendiri. Aspek-aspek yang dijelaskan sehubungan dengan penjelasan
Pine dan Gilmore (1999) sehubungan dengan empat konsep lain dari keterlibatan
konsumen/experiential activities:
II.1.1. The Entertainment
Pine dan Gilmore (1999) menegaskan bahwa pengalaman tidak hanya dapat
dijelaskan sebagai menghibur/entertaining konsumen, namun lebih kepada
melibatkan mereka. Entertainment memang menjadi bentuk tertua dari pengalaman
16
namun juga yang paling banyak dikembangkan, dan kini menjadi bentuk yang paling
umum dan paling populer. Entertainment secara pasif diserap melalui indera/senses.
Penambahan kenyamanan perangkat furniture, kursi untuk tamu kecil/balita
serta warna-warna yang menarik hati dan mengantarkan pelanggan restoran untuk
dapat menikmati suasana di dalamnya dan membuat mereka nyaman untuk berlamalama di dalamnya bukanlah tidak dengan suatu tujuan tertentu. Harapan bahwa
pelanggan terhibur dengan suasana dan atmosphere di dalam restoran serta
memberikan pengalaman yang berkesan adalah tujuan dari para pemasar. Sehingga
pelanggan akan kembali dan berkunjung secara rutin, merupakan ‘efek samping’ dari
kenyamanan yang diberikan.
Efek musik latar serta keramahtamahan dari karyawan juga tidak luput dari
pemikiran para eksekutif di bidang layanan hospitality termasuk restoran.
Kesemuanya dilakukan tidak lain karena menghibur pelanggan dan memberikan
pengalaman yang berkesan selama kunjungan mereka di restoran adalah obsesi dari
semua pemasar.
II.1.2. The Educational
Sebagaimana halnya dengan pengalaman entertainment, dengan pendidikan
akan memberikan pengalaman bagi para tamu untuk menyerap peristiwa. Tidak
seperti entertainment, bagaimanapun pendidikan melibatkan partisipasi aktif dari
individual. Pada aspek ini, orang akan secara aktif melibatkan pikirannya (untuk
pendidikan intelektual) dan/atau tubuhnya (untuk pelatihan fisik).
17
Bagi pengunjung anak-anak, pola belajar dengan cara latihan dan
mengkreasikan semua otot-ototnya merupakan hal yang paling diminati. Setiap arena
bermain perlu dilengkapi dengan pengalaman pembelajaran yang beragam, meliputi
konsep matematika pada play-house, mapping skill, dan bahkan prinsip dari fisika
pada water table (Pine & Gillmore, 1999).
II.1.3. The Escapist
Bentuk lain dari manajemen pengalaman bagi konsumen adalah the escapist
untuk penyampaian yang penuh kenangan/memorable encounters. Bentuk ini
menawarkan keterlibatan yang lebih mendalam dari entertainment atau pengalaman
education. Pada kenyataannya, bentuk ini adalah kutub lawan dari pengalaman
entertainment murni. Para tamu dari pengalaman the escapist ini secara penuh akan
mendalaminya, dengan keterlibatan secara aktif sebagai partisipan aktif.
Contoh dari lingkungan yang secara inti adalah escapist adalah theme parks,
headset dengan virtual reality, chat rooms atau kursi bergerak dalam bioskop/motionbased attraction.
II.1.4. The Esthethic
Bentuk keempat dari manajemen pengalaman adalah the esthetic. Di beberapa
bentuk pengalaman lainnya, para individu melibatkan dirinya ke dalam sebuah
peristiwa atau lingkungan akan tetapi mereka sendiri hanya merasakan sedikit atau
bahkan tidak terpengaruh ke dalamnya, meninggalkan lingkungan (tetapi tidak
18
dirinya sendiri) secara esensial, tidak tersentuh. Pengalaman esthethic meliputi berdiri
di Grand Canyon, mengunjungi sebuah galeri atau musium seni. Ketika tamu
mengambilalih pada pengalaman educational, mereka bisa belajar, ketika tamu
mengalami pengalaman escapist mereka melakukan dari pengalaman. Sedangkan
entertainment, kata yang tepat adalah merasakan – pengambilalihan pengalaman
esthetic – adalah hanya ingin berada disana.
Pada sebuah restoran hutan hujan, contohnya, para penikmat makan malam
akan merasakan kabut turun, air terjun yang bergemericik dan bahkan cahaya kilat
dan gemuruh petir. Mereka juga menikmati burung-burung tropis nyata dan ikan juga
kupu-kupu buatan, laba-laba, gorilla dan jika kita lihat lebih dekat, bayi buaya.
Pada kerangka CEM, Schmitt (2003) menjelaskan bahwa terdapat 5 urutan
dari kerangka CEM, yaitu: (1) menganalisa dunia pengalaman pelanggan/experiential
world of the customers, (2) membangun pola pengalaman/experiential platform, (3)
mendesain pengalaman merek/brand experience, (4) menstrukturkan interaksi
pelanggan/customer
interface
dan
(5)
pelibatan
inovasi
yang
berkelanjutan/continuous innovation.
Langkah kerangka CEM tersebut dapat dilakukan secara paralel ataupun
secara simultan, serta dapat dimungkinkan bahwa urutan yang dilakukan tidak
berurutan sebagaimana dituliskan di atas. Schmitt (2003) mengatakan bahwa urutan
yang ia tuliskan di atas hanya berdasarkan pada urutan termudah yang dilakukan,
sehingga kadang kala prioritas atau kebutuhan akan merubah urutan tersebut, sesuai
dengan situasi dan keadaan dari para pelaku pemasaran sendiri.
19
Namun demikian, sebelum CEM dilakukan, maka obyektif harus ditentukan
terlebih dahulu. Schmitt memberikan bantuan obyektif yang secara normatif dapat
diukur, sehingga bisa dinilai sebagai obyektif yang baik, yaitu: (1) tujuan/obyektif
harus bisa diukur (seperti: nilai kepuasan atau kesetiaan dapat meningkat pada angka
prosentase tertentu, penambahan jumlah pelanggan baru, dan sebagainya), dan (2)
model realisasi dari CEM perlu dibuat agar bisa mendukung tujuan kuantitatif
sebagaimana yang dituliskan pada tujuan no. 1.
Lebih lanjut, Schmitt memberikan pengarahan atas area aplikasi dari CEM ini,
yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.
Application Areas of the CEM Framework
Segmentation & Targeting
Innovation
Positioning
Service
Branding
20
Sebagaimana yang dapat dilihat dari gambar 1. di atas bahwa terdapat 5 area
yang dapat diaplikasikan untuk CEM, yaitu inovasi, segmentasi dan targeting,
positioning, branding dan layanan.
Namun, fokus pada group field project kali ini, area yang akan menjadi
perhatian utama aplikasi CEM adalah pada area branding, karenanya, penjelasan
selanjutnya akan memasuki pada koridor brand yang lebih tepatnya adalah brand
identity.
II.2. Brand Identity
Ketika orang-orang berbicara mengenai brand, mereka kerap berbicara
mengenai brand identity (Heer, 2003). Perbedaan antara brand identity dan brand
image memang harus diklarifikasi sebelum memasuki teori spesifik yang berkaitan
dengan brand identity. Identity didefinisikan sebagai cara suatu perusahaan
merasakan dan memandang brandnya. Suatu perbedaan dapat saja terjadi antara
identity yang ingin disampaikan oleh perusahaan dengan identity yang telah
dikomunikasikan secara aktual. Perbedaan ini dapat terjadi karena beberapa alasan.
Sedangkan image adalah cara pelanggan memandang suatu perusahaan. Kita dapat
membedakan antara keinginan dan kenyataan. Perusahaan menginginkan pelangganpelangan merasakan dan memandang brandnya dengan suatu cara tertentu, hal ini
didefinisikan sebagai image yang diharapkan atau diinginkan (intended image).
Actual image adalah bagaimana pelanggan merasakan dan memandang suatu brand
secara aktual (Gillemo dan Rijksen, 2000).
21
Lebih lanjut lagi, dikatakan oleh Temporal (2001) bahwa salah satu aktivitas
kunci dalam branding adalah penciptaan identity bagi sebuah produk, layanan atau
perusahaan – untuk menunjukkan personalitasnya. Misalnya, sebuah produk dapat
diberi ‘pakaian secara fisik’ atau yang kita sebut sebagai packaging, memiliki gaya
bicara yang berbeda melalui bunyi dan suara yang digunakan dalam iklannya, dan
karakteristik spesifik lainnya seperti reliabilitas. Semua ini terangkum dalam apa
yang kita sebut sebagai identity dimana identity ini merupakan totalitas dari apa yang
ditawarkan. Sama halnya dengan orang, identity dari sebuah tempat, negara, produk,
layanan dan perusahaan juga mengandung suatu kekuatan, unsur, karakter,
performansi dan kualitas-kualitas lainnya. Tujuan pemberian identity (termasuk
namanya) kepada sebuah brand adalah agar orang-orang menyenangi mereka dan
melihat mereka sebagai sesuatu yang unik.
Meskipun brand image adalah penting, tetapi justru identity yang seharusnya
membawa dan mengendalikan brand dan bahwa identity atau personality dari brand
lah yang menentukan kekonsistensian dan umur panjang dari sebuah brand
(Temporal, 2001). Banyak perusahaan yang tergoda dengan hasil penelitian brand
image untuk mengubah brand identity mereka, padahal brand identity dan nilai yang
terkandung di dalamnya yang menentukan brand. Brand image adalah bagaimana
suatu brand dipandang oleh masyarakat. Jika brand image dan brand identity tidak
sesuai, perusahaan harus bersiap untuk mengubah image-nya, bukan identity-nya.
Selanjutnya, Temporal (2001) menyimpulkan bahwa image adalah pandangan pasar
terhadap produk secara komplit dan pengalaman konsumen dengan brand lah yang
menciptakan image bagi brand itu sendiri. Brand image seharusnya mencerminkan
22
dan menunjukkan personalitas brand itu sendiri dan brand image dapat saja berbeda
dengan identity yang dimiliki oleh sebuah brand seperti yang kita inginkan. Image
merupakan persepsi orang-orang, sedangkan identity adalah apa yang kita ingin
sampaikan kepada orang-orang. Perbedaan antara identity dan image disebut
‘perception gap’.
Hermawan (2004) menyatakan bahwa brand identity adalah identitas yang
diharapkan marketer yang melekat pada brand, sedangkan brand image adalah
totalitas asosiasi yang terkait dengan suatu brand berdasarkan persepsi konsumen.
Dalam dunia yang ideal seharusnya tidak terdapat perbedaan antara identity dan
image, keinginan dan aktual. Dalam kenyataannya, brand identity dan brand image
tidak selalu sama. Dan perbedaan-perbedaan tertentu terjadi karena banyak alasan
(Gillemo dan Rijksen, 2000).
Heer (2003) mengatakan brand identity dapat mempengaruhi brand image
karena brand identity merupakan salah satu faktor yang digunakan konsumen untuk
membentuk kesan terhadap suatu brand, bahkan tanpa ada pengalaman langsung
dengan brand yang bersangkutan. Masih menurut Heer (2003), brand identity adalah
mengenai apa yang kita informasikan kepada orang lain, bagaimana cara kita
mengkarakterisasikan, membungkus dan memposisikan penawaran kita. Semua yang
berkaitan dengan brand harus dapat menarik perhatian, memberi harapan, membuat
orang terkesan, dimana hal-hal itulah yang disebut brand identity. Nama, logo,
slogan, iklan, cara penyajian dan lainnya harus dipilih dengan sungguh-sungguh dan
teliti untuk dijadikan suatu brand yang khusus.
23
Gillemo dan Rijksen (2000) yang mengutip Aaker menyatakan bahwa brand
identity merupakan rangkaian asosiasi brand yang unik dimana ahli strategi brand
bercita-cita untuk menciptakan atau memelihara. Asosiasi-asosiasi ini menghadirkan
apa yang diwakili oleh brand dan menyiratkan sebuah janji dari perusahaan kepada
pelanggan. Asosiasi diadakan untuk memberikan petunjuk, tujuan dan arti bagi suatu
brand. Identity harus menciptakan hubungan antara brand dengan pelanggan,
memberikan pelanggan pengertian yang spesifik mengenai nilai-nilai yang terdapat
pada brand.
Brand identity adalah penting karena ia menyediakan informasi bagi
konsumen dalam membuat penentuan apakah mereka akan membeli suatu produk
atau layanan tertentu dan apa yang mereka harapkan berdasarkan pengalaman yang
pernah mereka alami (Heer, 2003). Brand identity berisikan rangkaian corak, nama,
penampilan dan metode promosi yang dikomunikasikan ke publik melalui brand. Jika
brand identity yang ingin disampaikan samar-samar, tidak jelas, berantakan dan tidak
dikenal dekat oleh konsumen, maka konsumen akan segan dan tidak tertarik untuk
mengambil risiko atas waktu dan uang mereka.
Gillemo dan Rijksen (2000) menyetujui bahwa membangun sebuah brand
yang kokoh menjadi semakin penting dalam rangka bersaing di area global. Nilai
dapat dicapai dengan mengembangkan konsep brand. Untuk mencapai kekuatan
brand yang maksimum, cakupan brand identity harus luas, bukannya sempit, fokus
juga harus strategis bukan statis, dan fokus terhadap kreasi brand secara internal
harus sebaik eksternal. Posisi brand dapat berubah tanpa mengubah identity atau
proporsi nilai. Dengan berfokus pada bagian-bagian brand identity dan komunikasi
24
yang berbeda-beda maka penempatan posisi brand akan berubah, tetapi identity
secara keseluruhan akan tetap sama.
Aaker (dalam Gillemo dan Rijksen, 2000) menyimpulkan bahwa brand
identity yang terbatas dan tidak efektif sering merupakan akibat dari fokus yang tidak
sesuai dimana terlalu banyak penekanan yang dimasukkan ke dalam brand image,
brand position dan peran eksternal brand yang sudah ada. Kunci untuk membangun
sebuah brand identity yang kuat adalah memperluas konsep brand dengan
mengikutsertakan dimensi dan perspektif lainnya.
Menurut Schmitt dan Simonson (dalam Witkowski dan Ma, 2003), corporate
identity dan brand identity meliputi empat elemen utama yang semuanya
berhubungan dengan perasaan dan estetika, yaitu:
II.2.1 Property
Beberapa pendapat yang dikutip dari Witkowski dan Ma (2003), elemenelemen identity yang spesifik sangat berbeda-beda antar industri dan tipe model bisnis
yang satu dengan yang lainnya, dan dari perusahaan induk hingga brand-nya yang
berbeda-beda. Dalam kasus perusahaan fast food, sebagai pokok dari studi ini,
properties dari suatu restoran fast food adalah: bagian muka restoran, rencana warna
dan dekor, pengaturan pemesanan indoor, pencahayaan area makan, fasilitas toilet.
Lebih lanjut Berg dan Kreiner, Hine (dalam Witkowski dan Ma, 2003) mencontohkan
bangunan/elemen property dapat dipertimbangkan sebagai jenis bungkusan/elemen
presentation bagi penawaran core product-service. Seperti layanan sebagai
25
‘pembungkus’ dari barang yang dibeli, bangunan bagai bungkusan, melindungi dan
mengidentifikasi serta mempromosikan layanan yang ada di dalamnya.
II.2.2. Product
Berbagai pendapat yang dikutip oleh Witkowski dan Ma (2003) mengenai
product bagi fast food adalah: nama-nama menu dan deskripsi, ukuran porsi,
tampilan, bau dan rasa makanan, kandungan, nutrisi dan keseimbangan makanan
(cemilan, makanan lengkap). Namun, lebih lanjut jika dilihat dari jenis industrinya,
fast food merupakan industri dimana perusahaan tidak hanya menyajikan produk
barang saja, tetapi juga jasa (Kotler, 2006). Sebagaimana yang dapat digambarkan
dibawah ini:
Gambar 2.
Mix Product and Service
Pure
Product
Product
supported by
services
hybrid
Service
Supported by
Product
Pure
Service
II.2.3. Presentation
Dijelaskan dari Witkowski dan Ma (2003) yang mengutip dari beberapa
pendapat para peneliti dibidang industri fast food bahwa pengaturan ruang dalam toko
26
(nampan, alat-alat makan dan minum, serbet/tisu) serta bungkusan yang dibawa
pulang adalah bagian dari presentation. Disamping itu, penampilan karyawan,
efisiensi dan kesopanannya serta tata krama yang diberikan oleh para karyawan juga
ikut melengkapi presentation dari industri penyaji makanan cepat saji. Sekali lagi,
bukti bahwa fast food tidak hanya menyajikan makanan saja tampak pada aspek
presentation guna mendukung brand identity-nya, mengingat bahwa penampilan
karyawan dan sikap dari karyawan terhadap para pelanggannya masuk dalam atribut
presentation ini.
II.2.4. Publication
Elemen lain dari brand identity ini dijelaskan oleh Witkowski dan Ma (2003)
untuk industri fast food sebagai iklan, web page, outdoor signage, in-store
promotions dan karakter penjualan. Elemen
pendukung
ini
perlu
dijaga
kekonsistensiannya dengan elemen-elemen lainnya sebagaimana dijelaskan lebih
dahulu. Elemen ini mempunyai efek penting yang harus mampu mengajak bahkan
membujuk orang-orang yang melihat aspek publikasi ini menjadi tertarik untuk
datang, mampir dan mencoba produk yang ditawarkan di dalamnya.
Aspek komunikasi yang tepat disini menjadi pedoman penting dalam
menyiapkan publikasi dari outlet fast food yang dipublikasikan. Daya tarik dan gaya
komunikasinya perlu disiapkan secara hati-hati dan tepat agar sesuai dengan
konsumen yang ditargetkannya.
27
Dari keempat elemen yang telah dijelaskan di atas, masing-masing
komponennya memiliki hubungan yang erat dengan perasaan dan estetika yang
substansial, seperti warna, pencahayaan, bau, rasa dan desain grafis yang
mempengaruhi apa yang dirasakan pelanggan.
Schmitt dan Pan pada tahun 1994 telah mempelajari berbagai brand identity
di seluruh daerah Asia Pasifik. Mereka mendefinisikan pengetahuan mengenai brand
sebagai brand awareness, tepatnya brand recall dan brand recognition, brand image
dan brand association seperti kualitas. Mereka memperhatikan bahwa sebuah nama
brand dapat diterima disebuah pasar Asia, tetapi tidak di pasar lainnya. Menurut
laporan hasil studi mereka, faktor estetika juga penting dalam menetapkan image dan
identity yang tepat. Sebuah tampilan yang menarik berkaitan dengan sentuhan dan
rasa yang diberikan produk sampai dengan detil-detilnya. Warna memiliki makna
yang berbeda-beda dan faktor estetika diperlukan dan biasanya dipertimbangkan bagi
asosiasi orang-orang Cina. Sebagai contoh, pada budaya Cina, merah melambangkan
keberuntungan dan merupakan warna yang disukai, putih melambangkan kematian.
Sementara bagi orang Amerika, biru merupakan warna favorit karena dianggap
sebagai warna yang cool.
Keller (2001) mengatakan bahwa meraih brand identity yang baik dan positif
perlu menciptakan brand salience dengan pelanggan. Brand salience berkaitan
dengan aspek-aspek brand awareness, kemampuan pelanggan untuk mengingat dan
mengenali suatu brand. Dua kriteria brand identity untuk mencerminkan brand
awareness adalah depth dan breadth. Depth mengacu pada seberapa mudahnya
pelanggan dapat mengingat dan mengenali suatu brand. Breadth mengacu pada
28
kondisi cakupan pembelian dan konsumsi dimana suatu brand selalu diingat. Brand
tidak hanya harus menjadi ‘top of mind’ dan memiliki ‘mind share’ yang cukup,
tetapi brand juga harus dilakukan dan ditempatkan pada waktu dan tempat yang tepat.
II.3. Customer Satisfaction
Menurut McQuitty, Finn dan Wiley (2000), customer satisfaction merupakan
topik yang terkenal dalam marketing sejak Cardozo (1965). Literatur yang terkait
dapat dibagi menjadi tiga kategori yang luas, yaitu: (1) menyelidiki hubungan antara
ekspektasi konsumen dan penilaian performansi, (2) menentukan awal mula suatu
kepuasan, dan (3) mengevaluasi konsekuensi dari kepuasan konsumen terhadap
keputusan pembelian, penjualan dan profitabilitas perusahaan.
Lovelock and Wright (2002) mengemukakan customer satisfaction sebagai
pernyataan perasaan, reaksi yang terjadi setelah melakukan pembelian dan hasilnya
meliputi: marah, mengecewakan, menjengkelkan, netral, menyenangkan dan sangat
menyenangkan.
Sedangkan Oliver dikutip dari Zeithaml and Bitner (2003) mendefinisikannya
sebagai tanggapan terhadap pemenuhan atas kebutuhan konsumen, sebuah
pertimbangan atau pendapat berkenaan dengan sifat atau ciri-ciri produk atau service
memberikan tingkat konsumsi yang menyenangkan, berkenaan dengan masalah
pemenuhan kebutuhan.
29
Kotler (2003) mengemukakan bahwa apakah pembeli puas setelah melakukan
pembelian, keadaan tersebut tergantung atas kinerja (performance) penawarannya
dalam hubungannya dengan expectations pembeli. Secara umum customer
satisfaction adalah suatu perasaan yang menyenangkan atau kekecewaan bagi orang
sebagai hasil membandingkan antara kinerja produk atau service yang diterima,
digunakan, dialami atau dirasakan (outcome) dalam hubungannya dengan
expectations. Apabila kinerja lebih rendah daripada expectations, konsumen akan
merasa tidak puas. Apabila kinerja sesuai dengan expectations, konsumen akan
merasa puas. Apabila kinerja melebihi expectations, konsumen akan merasa sangat
puas atau sangat mengembirakan hati.
Sedangkan Zeithaml et al. (2006) berpendapat bahwa customer satisfaction
adalah evaluasi konsumen terhadap produk atau service berkenaan dengan apakah
produk atau service telah memenuhi kebutuhan dan expectations-nya. Kegagalan
untuk memenuhi kebutuhan dan harapannya atas produk atau service diasumsikan
hasilnya akan mengecewakan (dissatisfaction).
Lebih lanjut lagi, Lovelock dan Wright (2002) mengemukakan bahwa service
quality dan customer satisfaction konsep yang saling berhubungan, namun keduanya
tidak persis sama. Banyak peneliti meyakini bahwa persepsi konsumen mengenai
quality adalah berdasarkan kepentingan jangka panjang, evaluasi cognitive atas
service delivery perusahaan. Sedangkan customer satisfaction adalah reaksi perasaan
konsumen dalam jangka pendek terhadap pengalaman service spesifik yang diterima,
digunakan, dialami atau dirasakan.
30
Mendukung apa yang dikatakan Lovelock dan Wright (2002), Zeithaml et al.
(2003) mengemukakan bahwa service quality adalah pemusatan evaluasi yang
merefleksikan customer’s perception of elements service, seperti interaction quality,
physical environment quality dan outcome quality. Elements of service pada giliran
selanjutnya dievaluasi didasarkan atas specific service quality dimensions: reliability,
assurance, responsiveness, empathy and tangibles. Satisfaction dipengaruhi oleh
perception of service quality; product quality, dan price serta situational factors dan
personal factors.
II.4. Repeat Buying
Pembelian berulang merupakan indikator yang umum digunakan untuk
melihat kesetiaan pelanggan (customer loyalty), dimana hal ini menjadi salah satu
sumber kekuatan utama suatu perusahaan untuk bisa bersaing dengan pesaing
mereka. Sangatlah baik jika suatu perusahaan dapat mempertahankan tingkat loyalitas
pelanggan karena bukan hanya akan menghasilkan kekuatan bersaing yang luar biasa,
tetapi juga mendorong semangat dan produktifitas karyawan. Di sisi lain, peralihan
pelanggan secara terus-menerus akan memberikan dampak negatif pada kinerja
perusahaan jasa. Reichfeld dan Sasser pada tahun 1990 (dalam Johnson, Hermann
dan Huber; 2006) menyatakan bahwa 5 % penurunan peralihan pelanggan berarti
25% – 85% peningkatan keuntungan, tergantung pada industrinya. Dengan demikian
mengembangkan dan mempertahankan loyalitas pelanggan atau membangun
31
kerjasama jangka panjang dengan pelanggan adalah kunci keberhasilan dan
pertumbuhan perusahaan jasa maupun barang.
Lee dan Cunningham (2001) melaporkan penelitiannya yang membahas
tentang pendekatan biaya-manfaat (cost/benefit) untuk memahami “service loyalty”.
Asumsi dasar yang menggarisbawahi pendekatan ini adalah keinginan pelanggan
untuk memakai kembali perusahaan jasa dapat dipertimbangkan dari analisis
perbandingan antara cost dan benefit dan hubungan dengan pelanggan/perusahaan
jasa tersebut. Pengukuran dan masalah manajemen atas komponen “benefit” dalam
“service quality” sudah banyak dipelajari, namun permasalahan manajemen dan
pengukuran komponen “cost” belum tergarap secara baik.
Menurut Sirdeshmukh, Singh dan Sabol (2002) mengatakan customer loyalty
sebagai tingkah laku yang ditunjukkan oleh pelanggan itu sendiri, dimana tingkah
laku tersebut mengarah pada motivasi untuk memelihara hubungan dengan
perusahaan, termasuk keinginan yang tinggi untuk mengadakan pembelian kembali,
ucapan-ucapan yang positif mengenai perusahaan .
Faktor lain yang mempengaruhi customer loyalty adalah sikap kesetiaan.
Brian & Cadogan (2000), membuktikan bahwa sikap kesetiaan pada perusahaan
sangat mirip dengan hubungan komitmen. Selain itu Brian & Cadogan (2000) juga
menemukan bahwa kepercayaan pada perusahaan merupakan faktor penentu pada
hubungan antara perusahaan dan pelanggan. Dengan kata lain kepercayaan
merupakan bukti dasar dari kesetiaan. Selain itu kesetiaan juga didapat dari persepsi
konsumen mengenai kualitas service yang baik, karena service yang baik akan
mempengaruhi kesetiaan.
32
Brian & Cadogan (2000) mengutip dari Azjen & Fishbein membuktikan
bahwa sikap dan tingkah laku akan konsisten di setiap waktu dan sikap merupakan
prediksi dari pada tingkah laku. Terlebih lagi bahwa keberadaan merek merupakan
komponen yang tak terpisahkan dalam membangun merek yang terkenal (Dyson et al
dalam Brian & Cadogan, 2000). Nama perusahaan yang terkenal dan simbol-simbol
perusahaan akan dapat mempengaruhi nilai suatu produk. Sedangkan Morgan dan
Hunt yang dikutip oleh Brian & Cadogan (2000) mengatakan bahwa customer loyalty
sangat berhubungan erat dengan konsep komitmen, analisa tersebut menyimpulkan
bahwa ada hubungan langsung. Selain itu kepercayaan juga mempunyai pengaruh
langsung pada loyalty behaviors, semakin besar kepercayaan konsumen pada
produsen, makin besar nilai hubungan, dan makin besar pula kemungkinan untuk
tetap memilih produk yang sama dan penjual yang sama (Ramsey dan Sohi, dalam
Brian dan Cadogan, 2000).
Hal ini didukung pula oleh Sirdeshmukh, Singh dan Sabol (2002) yang
mengutip dari Gwinner, Gremler, dan Bitner yang mengatakan bahwa kepercayaan
juga mempengaruhi customer loyalty dengan memberikan pengaruh atau pandanganpandangan pada pelanggan mengenai nilai-nilai.
Mengembangkan kesetiaan pelanggan berarti meningkatkan pendapatan
perusahaan walaupun seringkali memerlukan banyak pengeluaran, seperti yang
diungkapkan oleh Kotler (2003) bahwa mengembangkan lebih banyak konsumen
yang loyal atau setia akan meningkatkan pendapatan atau revenue, bagaimanapun
juga, perusahaan tetap harus membangun dan menggunakan waktunya lebih banyak
lagi untuk menciptakan kesetiaan konsumen atau customer loyalty.
33
Berry dan Parasuraman (dalam Zeithaml et al., 2006) dalam area relationship
marketing menyatakan bahwa “hubungan dibangun pada pondasi commitment yang
saling menguntungkan“. Dengan demikian konsumen menjadi loyal terhadap merek.
Sheth dan Partaviyar (dalam Sirdesmukh et al., 2002) mendefinisikan loyalitas merek
sebagai “commitment terhadap suatu merek tertentu” yang timbul dari sikap positif
tertentu. Pada mulanya loyalitas dilihat sebagai pembeli yang berulang. Namun,
sebagaimana area perilaku konsumen semakin tumbuh, para peneliti menyadari
bahwa, pembeli yang berulang bukanlah bukti yang cukup dari loyalitas merek dan
ukuran-ukuran seperti pola pembelian melibatkan banyak “loyalitas palsu”.
Download