M. Syarif Hidayatullah : Hidayah Melalui Buku Bilik » Mualaf | Kamis, 3 Desember 2009 22:15 Penulis : Indra Widjaja Nama saya Lauw Sin Hoat, lahir 28 Desember 1949 di Cisalak, Bogor, dari keluarga Tionghoa yang beragama Budha-Konghucu. Sejak kecil saya sudah sering menyaksikan upacara-upacara ritual masyarakat Tionghoa, seperti upacara kematian, nyekar (ziarah) ke kubur para leluhur, dan lain-lain. Dengan logika bocah, saya sering melontarkan pertanyaan kritis kepada mama saya terhadap banyak hal yang menyangkut upacara ritual yang saya anggap tidak masuk akal, seperti memberikan sesajen yang terdiri dari makanan dan buah-buahan ke kubur para leluhur. Konon, menurut mama saya, para leluhur yang sudah mati, juga membutuhkan makanan seperti orang hidup. Tetapi anehnya, setelah beberapa hari saya lihat, tidak satu pun di antara makanan itu yang disentuh alias masih utuh. Setelah saya mencoba mencicipi jeruk yang masih utuh tadi, saya tidak merasakan suatu keanehan. Artinya, jeruk itu tetap tidak berubah. Sejak itu, keraguan yang memang telah lama terpendam, semakin tidak dapat dibendung. Hati saya gelisah, saya ingin mencari kebenaran. Di daerah Cisalak, orangtua saya membuka rumah makan (restoran). Di rumah milik orangtua saya inilah sering datang seorang pendeta yang menjadi pelanggan tetap. Ia memimpin jemaat di Gereja Pantekosta. Kebetulan gereja itu tidak jauh dari restoran orangtua saya. Karena sudah akrab, Pak Pendeta tadi sering mengundang mama saya untuk ikut kebaktian ke gereja. Tapi, karena mama saya sibuk mengurus restoran, beliau tidak sempat mengikutinya. Akhirnya, pak pendeta mengajak saya yang waktu itu baru duduk di kelas satu SMP. Setelah beberapa kali ikut kebaktian, saya pun resmi dibaptis dan menjadi jemaat Geraja Pantekosta. Untuk beberapa saat keresahan saya dapat terobati. Apalagi saya termasuk anggota koor lagu-lagu rohani di Gereja Pantekosta itu, cukup lama sekitar enam tahun. Tapi sejalan dengan bertambahnya usia, pemikiran saya pun makin tajam dan kritis. Semakin mendalami ajaran agama Kristen, saya makin banyak menemukan sesuatu yang saling bertolak belakang. Seperti soal khitan (sunat), misalnya. Dalam Lukas, 2 : 21, tersebutlah, "Dan, ketika genap delapan hari dan ia harus disunatkan, ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut malaikat sebelum ia dikandung ibuNya," tetapi ayat ini dibantah oleh Paulus dalam Galatia, 5 : 2, "Sesungguhnya aku, Paulus, berkata kepadamu : Jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu." Bagi orang yang mau berfikir mendalam, memang akan sulit untuk dapat menerima dua pernyataan (statement) yang berbeda ini. Kesimpulan saya, mengikuti Yesus yang disunat pada umur delapan hari atau mengikuti ucapan Paulus? Pada salah satu Injil disebutkan bahwa Yesus pernah berkata, "Sebarkan Injil di muka bumi." tetapi pada bagian lainnya Yesus justru berkata sebaliknya, "Aku tidak diutus kecuali untuk domba-domba Israel yang tersesat." Sebagai seorang Kristen, logika saya tidak dapat menerima paham Trinitas sebagai konsepsi ketuhanan; Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Figur Isa Almasih dalam Injil sering berubah status dan kedudukan. Kadang-kadang ia disebut Yesus Sang Juru Selamat (rasul) tetapi Yesus juga diyakini sebagai Tuhan. Lukas, 23 : 46, menceritakan saat-saat menjelang kematian Yesus di tiang salib, seperti tertulis, lalu Yesus berseru dengan suara nyaring, "Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu." Dan, sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawaNya. "Kalau Yesus memang Tuhan, mengapa ia memanggil Tuhan Bapa? Kalau begitu Yesus bukan Tuhan," kata saya membatin. Kesaksian saya selama ini bahwa Yesus adalah Tuhan, sirna sudah. Saya semakin meragukan iman Kristen saya sendiri. Dalam keraguan, pada suatu hari, secara kebetulan saya singgah ke sebuah toko buku di daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Pandangan saya segera tertarik melihat sebuah buku yang terpajang di etalase toko dengan judul Muhammad dalam Bibel dan Isa salam Al-Qur'an karangan Prof. Drs. Hasbullah Bakry, SH. Saya segera tertarik, maka saya membeli buku itu. Buku itu ternyata amat menarik. Saya seperti mendapatkan sesuatu yang selama ini sedang saya cari. Misalnya, penulis buku mengungkapkan bahwa risalah (kerasulan) Muhammad telah termaktub dalam Bibel, tetapi bagian ayat itu dihilangkan, bahkan sekarang ini Bibel tesebut sudah dilarang digunakan atau dijadikan rujukan. Selanjutnya, penulis buku juga mengungkapkan bahwa Al-Qur'an dan kaum muslimin menempatkan Isa Almasih (yang oleh orang Kristen disebut Yesus) sebagai nabi dan rasul Allah, sama seperti rasul-rasul lain. Ia (Isa) sama sekali bukan Tuhan. Pada bagian akhir buku itu, penulis menutupnya dengan tiga buah ayat, yaitu Surat Ali Imran : 19 yang menjelaskan bahwa agama yang diterima di sisi Tuhan hanyalah Al-Islam, dan keengganan Para Ahli Kitab untuk beriman kepada Al-Qur'an hanyalah disebabkan kedengkian semata. Pernyataan itu lebih dipertegas lagi seperti termaktub pada surat Ali Imran : 84 yang menyebutkan, barang siapa yang mencari agama selain Al-Islam, maka tidak akan diterima dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. Sedangkan surat Al-Maa'idah : 3 mengunci semua argumentasi yang ada, yaitu bahwa Allah telah mencukupkan nikmatnya kepada manusia dan telah menyempurnakan Islam sebagai agama buat seluruh umat manusia, dan Islamlah agama yang diridhaiNya. Dengan membaca buku itu, terbukalah hidayah Allah kepada saya. Saya memang telah meragukan iman Kristen saya, merasa mendapatkan jawabannya dalam Islam. Tekad saya sudah bulat, saya harus masuk Islam, apapun yang terjadi. Singkatnya, atas bantuan tetangga-tetangga, saya diperkenalkan kepada seorang ulama di daerah Cisalak, namanya KH. Marzuki. Oleh beliau saya mendapat penjelasan yang benar tentang Islam. Maka tidak lama setelah itu, tahun 1968, saya mengikrarkan dua kalimat syahadat dibimbing KH. Marzuki. Setelah itu saya mengganti nama menjadi Muhammad Syarif Hidayatullah. Ihwal keislaman saya ini akhirnya sampai juga ke telinga orangtua. Anehnya, pada saat memilih Islam, mama saya justru baru saja masuk Kristen (sebelumnya Konghucu). Mendengar saya telah menjadi seorang muslim, mama marah besar sehingga timbul perang dingin antara saya dan mama. Banyak kejadian yang terjadi setelah itu, setelah situasi agak reda, saya memutuskan masuk pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Beberapa pesantren di Jawa Barat, seperti di Sukanegara Jonggol, Ciharahas Cianjur, Kadukawung Banten pernah saya singgahi dalam rangka memperdalam agama. Dari mualaf.com KotaSantri.com © 2002-2017