BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 KESIMPULAN Penelitian ini mencoba mengidentifikasi periode krisis ekonomi indonesia, melalui pendekatan krisis mata uang. Periode tersebut kemudian digunakan dalam memilih variabel leading yang dapat digunakan dalam memprediksi krisis di masa depan. Exchange market pressure index (EMPI) digunakan sebagai pendekatan krisis mata uang, dengan penentuan periode krisis menggunakan extreme value theory (EVT). Sementara itu, variabel leading dipilih dari 35 variabel di sektor keuangan dan riil. Penelitian ini menggunakan rentang periode analisis antara Januari 1990-Desember 2013. Secara umum, temuan yang diperoleh dapat dibagi dalam tiga aspek, yaitu: 1. Periode krisis Secara umum, terdapat 16 periode krisis yang teriidentifikasi. Periode Krisis Asia ditandai pada periode antara 1997-98. Temuan ini sejalan beberapa studi literatur sebelumnya (Kraay, 2000; Osband & Rijkeghem, 2000; Zhang, 2001; Collins, 2003). Sementara itu, periode Krisis Global terdeteksi pada bulan Oktober 2008 dan Mei 2010. Temuan ini sejalan dengan analisis BI mengenai pengaruh Krisis Global terhadap perekonomian Indonesia (2008a; 2010a). Walaupun demikian, beberapa studi empiris lainnya justru tidak melihat adanya periode Krisis Global di Indonesia (Tambunan, 2010; ADB, 2009, 2010; Kuncoro, 2013). 94 Berdasarkan durasinya, Krisis Asia merupakan krisis dengan periode terpanjang, yaitu satu tahun (Agustus 1997-Agustus 1998). Hal ini kemudian didukung dengan sebagian besar model EMPI yang mendeteksi Krisis Asia pada threshold ketiga (parah). Dengan demikian, Krisis Asia memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sementara itu, Krisis Global hanya memiliki durasi satu bulan. Selain itu, beberapa EMPI hanya memprediksi Krisis Global pada threshold pertama (ringan) dan kedua (sedang). Dengan beberapa indikator ekonomi makro yang relatif lebih baik, temuan ini semakin mengindikasikan bahwa Krisis Global tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia (Tambunan, 2010; ADB, 2009, 2010; Kuncoro, 2013). 2. Variabel leading Secara umum, terdapat 13 variabel yang tergolong sebagai leading. Krisis Asia merupakan krisis yang banyak diprediksi oleh variabel leading. Real effective exchange rate (REER) merupakan variabel leading primer Krisis Asia. Hal ini dapat dilihat dari nilai variabel yang telah melebihi threshold pada Oktober 1996. Nilai variabel kemudian terus mengalami peningkatan melebihi threshold-nya, selama Januari 1997-Juli 1997 (Krisis Asia dimulai pada Agustus 1997). Temuan ini mendukung beberapa studi empiris sebelumnya, di mana REER merupakan salah satu faktor utama Krisis Asia (Berg & Pattillo, 1999; Glick & Moreno, 1999; Kaminsky & Reinhart, 1999; Tornell, 1999; Aziz et al., 2000). Selain REER, angka pengganda M2 (M2_Multi) dan indeks harga saham merupakan variabel leading pendukung untuk Krisis Asia. Nilai M2_Multi telah melebihi threshold pada Agustus 1997. Temuan ini sejalan dengan beberapa studi empiris 95 sebelumnya yang menggolongkan M2_Multi sebagai variabel leading Krisis Asia (Kamisnky & Reinhart, 1999; Zhuang & Dowling, 2002; Lestano et al., 2003, 2005). Selain M2_Multi, indeks harga saham merupakan variabel leading pendukung lainnya untuk Krisis Asia. Terdapat empat negara yang indeks harga sahamnya tergolong ke dalam variabel leading, yaitu Indonesia (IHSG), Korea Selatan (KOSPI), Hongkong (Hangseng), dan Singapura (STI). Keempat variabel tersebut mengeluarkan sinyal pada Agustus 1997, dimana terjadi penurunan tingkat pertumbuhan hingga di bawah threshold masing-masing. Selain itu, IHSG juga memiliki keterkaitan yang cukup kuat dengan indeks harga saham regional (KOSPI, STI, dan Hangseng). Temuan ini memperkuat studi empiris sebelumnya, di mana terdapat faktor contagion pasar modal pada Krisis Asia (Baig & Goldfajn, 1998; Caramazza et al., 2000; Fratzscher, 2002). Sementara itu, inflasi, impor barang (IM), selisih claims-deposit bank sentral terhadap pemerintah pusat (CB_CGov_DGov), dan kredit domestik (Domcred_PDBN) merupakan variabel leading Krisis Asia berikutnya. Keempat variabel tersebut baru mengeluarkan sinyal pada Januari 1998, di mana terjadi peningkatan nilai hingga di atas threshold masing-masing, yaitu 4% (Inflasi), 170% (IM), 184% (CB_CGov_DGov), dan 729% (Domcred_PDBN). Hal ini kemudian mengindikasikan bahwa keempat variabel tersebut lebih bersifat sebagai variabel terdampak dibandingkan variabel leading. Krisis Global merupakan krisis kedua yang dialami Indonesia. Walaupun demikian, krisis ini lebih banyak diprediksi oleh indeks harga saham (IHSG, KOSPI, Hangseng dan STI). Hasil ini semakin mengindikasikan bahwa dampak Krisis Global terhadap Indonesia lebih bersifat sentimen negatif, daripada pemburukan kondisi ekonomi makro (Tambunan, 2010; ADB, 2009, 2010; Kuncoro, 2013). Sentimen tersebut lebih 96 bersifat tidak langsung, di mana indeks harga saham Eropa dan AS terkait kuat dengan indeks saham regional Asia 3. Peramalan Variabel non-performing loans (NPL) dan harga minyak dunia (POil) diprediksi akan melewati threhold-nya, masing-masing sejak Desember 2017 dan Juni 2014. Nilai kedua variabel tersebut kemudian terus meningkat setelahnya. Walaupun demikian, probabilitas terjadinya krisis berdasarkan indeks komposit untuk periode 2014-18, hanya berkisar antara 2%-21%. Rendahnya probabilitas tersebut disebabkan sebagian besar variabel leading, tidak melewati threshold-nya. Dengan demikian, potensi terjadinya krisis untuk periode 2014-18 dapat dikatakan rendah. V.2 SARAN Penelitian mengenai krisis mata uang bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa studi literatur bahkan telah mengembangkan berbagai metode yang lebih komperhensif, tidak hanya dalam prediksi krisis di masa depan melainkan juga faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini hanyalah bagian awal dari pengembangan studi mengenai krisis ekonomi di Indonesia. Penelitian mengenai krisis ekonomi selanjutnya sebaiknya mencakup jenis krisis ekonomi lainnya, seperti krisis perbankan dan utang. Hal ini terutama terkait dengan adanya hubungan antara satu jenis krisis dengan jenis krisis lainnya. Dengan cakupan yang lebih luas, maka tidak hanya akurasi periode krisis saja yang meningkat melainkan faktor-faktor yang mempengaruhinya akan semakin mudah teridentifikasi. 97 Selain itu, penelitian selanjutnya juga sebaiknya mencakup variabel-variabel nonekonomi. Sebagai contoh, beberapa studi literatur telah memasukan aspek politik dalam analisis krisisnya (Mei, 1999; Block, 2002; Leblang & Satyanath, 2008). Walaupun memiliki peran signifikan, menganalisis variabel non-ekonomi tidaklah mudah, mengingat keterbatasan data maupun akses yang terbatas. Penelitian selanjutnya mungkin dapat mempertimbangkan pengumpulan data tersebut secara langsung, misalkan melalui survei. Walaupun relatif mahal, namun analisis dengan data non-ekonomi memungkinkan untuk menganalisis krisis melalui berbagai sudut pandang. V.3 IMPLIKASI KEBIJAKAN Temuan penelitian ini semakin menguatkan pentingnya koordinasi antar otoritas keuangan dalam mengantisipasi krisis di masa depan. Gambar 5.1 menjelaskan hubungan antara variabel leading yang teridentifikasi dengan kewenangan masing-masing ototritas keuangan di Indonesia. Pada Gambar 5.1, terdapat empat otoritas keuangan yang saling bersinergi dalam Forum Stabilitas Sistem keuangan (FSSK), yaitu Bank Indonesia (B)I, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)44. Terkait dengan temuan penelitian ini, Gambar 5.1 kemudian dapat dijelaskan dalam tiga poin berikut: 1. Berdasarkan visinya, BI bertugas menjaga stabilitas pada nilai tukar (REER) dan inflasi. Selain itu, BI juga berkoordinasi dengan pemerintah pusat, dalam menjaga keseimbangan posisi kreditnya kepada pemerintah pusat (CB_CGov_DGov). 44 Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011, 98 2. OJK merupakan otoritas dengan tanggung jawab cukup besar, meliputi aktivitas lembaga keuangan (M2_Multi, NPL, dan Domcred_PDBN) maupun pasar modal (IHSG). Dalam pengawasannya terhadap perbankan, OJK berkoordinasi dengan LPS, mengingat LPS memiliki fungsi dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Pada pengawasan pasar modal, OJK juga harus memperhatikan secara seksama dinamika pada indeks harga saham regional (KOSPI, Hangseng, dan STI), mengingat adanya keterkaitan erat terhadap IHSG. 3. Kemenkeu bertanggung jawab terhadap posisi kredit pemerintah pusat terhadap bank sentral (CB_CGov_DGov) dan lalu lintas impor barang (IM). Terkait CB_CGov_DGov, Kemenkeu berkoordinasi dengan BI, sebagai pihak terkait langsung. Sementara pada IM, Kemenkeu berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), sebagai lembaga yang terlibat langsung dalam lalu lintas perdagangan internasional. Kemenkeu juga harus senantiasa memperhatikan fluktuasi harga minyak dunia (POil), mengingat hal tersebut terkait asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. 99 Gambar 5.1 Kewenangan dan Koordinasi Otoritas Keuangan Indonesia (terkait Variabel Leading) 100